S PAI 0906253 Chapter (1)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Ramayulis (2010: 17), Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang dilalui peserta didik dengan segala lingkungan dan sepanjang hayat. Pada hakikatnya kehidupan mengandung unsur pendidikan karena adanya interaksi dengan lingkungan, namun yang penting bagaimana peserta didik menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun. Pendidikan dalam pengertian luas ini belum mempunyai sistem. Sebagai pendidik tentu saja memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan warna Islām pada lingkungannya.

Pendidikan dalam batasan yang sempit adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal (madrasaħ/sekolah). Dalam batasan sempit ini pendidikan Islām muncul dalam bentuk system yang lengkap. (Ramayulis, 2010: 17). Sedangkan pendidikan dalam arti luas terbatas adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan pengajaran dan latihan yang diselenggarakan di lembaga pendidikan formal (sekolah), non-formal (masyarakat) dan in-formal (keluarga) dilaksanakan sepanjang hayat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar berperan dalam berbagai kehidupan. Pendidikan dalam pengertian sempit sudah mempunyai sistem namun sistem tersebut terutama di lembaga pendidikan non-formal dan in-formal tidak begitu terikat secara ketat dengan peraturan yang berlaku (Ramayulis, 2010: 18).

Zuhairini (2008: 167) mengemukakan pendapatnya tentang pendidikan bahwa: “Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek

kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup”. Ketika dirasakan pendidikan


(2)

2

yang ingin dicapai bagi pelaku yang mendapatkan pendidikan dengan arahan atau petunjuk untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan dasar kebutuhan pendidikan ternyata masih luas cakupannya karena perkembangan zaman dengan berbagai kebutuhan yang berbeda dan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan pemecahan masalahnya maka pendidikan pun dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan potensi manusia itu sendiri.

Dan tidak semua pelaksana pendidikan dapat mengemban tugas dan fungsi pendidikan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperan bagi pengemban manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitrah manusia yang dimiliki.Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islām, memerlukan Pendidikan Islāmī sebagai kebutuhan membenahi kualitas hidup manusia itu agar menjadi lebih baik. Sebagaimana Ramayulis (2010: 12) menyatakan bahwa:

“Dengan pendidikan Islām manusia sebagai khalīfaħ tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran kepada Allāh, dan bahkan ia berusaha agar segala aktifitasnya sebagai khalīfaħ harus dilaksanakan

dalam rangka „ubūdiyaħkepada AllāhSWT”.

Pendidikan Islām berperan sebagai mediator dalam memasyarakatkan ajaran Islām kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islām sesuai dengan ketentuan Al-Qur´āndan Sunnaħ. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengalaman masyarakat terhadap ajaran Islām amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islām yang diterimanya. Pendidikan Islām tersebut berkembang setahap demi setahap hingga mencapai tingkat seperti sekarang ini.

Berangkat dari konsep pendidikan Islām sekarang ini pendidikan Islām masuk dalam kurikulum sekolah yang dinamakan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islām (PAI). Menurut Syahidin (2009:1) bahwa “Mata pelajaran PAI merupakan mata pelajaran wajib di sekolah umum sejak TK sampai


(3)

Perguruan tinggi, kurikulum PAI dirancang secara khusus sesuai dengan situasi kondisi dan penjenjangan pendidikan Islāmsecara utuh”.

Dewasa ini, kecenderungan akan terjadinya apa yang dinamai sebagai kemunduran akhlak makin kental pada keseharian generasi muda. Zaman dulu, terutama di pesantren-pesantren, jangankan lewati kiai secara langsung, pintu rumah kiai yang tertutup rapat pun, begitu kita lewat di pekarangan rumahnya tetap ada tatakramanya, kita berjalan sambil badan sedikit menunduk. Sekarang ini, ada orang bertamu ke rumah kiai, lalu diminta untuk menunggu setengah jam saja sudah menggerutu dengan mengatakan tidak menghargai tamu.

Akhlāq adalah buah dari keimanan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa

yang perlu diselidiki terlebih dahulu adalah mengenai bagaimana seharusnya pendidikan di keluarga, pendidikan formal di sekolah, dan di masyarakat itu dapat secara langsung membuahkan akhlāq yang karīmaħ. Dan yang pertamakali disorot adalah tentang apa yang menjadi tujuan dari pendidikan sebagai salah satu komponen di antara sekian banyak komponen dalam pendidikan (Gymnastiar, 2004: 37).

Saat ini, memang tidak setiap keluarga terkena pengaruh buruk narkoba, namun banyak sekali keluarga yang terkena oleh gejala dari apa yang namanya

tark al-ṣalāħ (meninggalkan salat). Ayah sibuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Hampir sebagian besar dari waktunya dihabiskan di tempat kerja. Memang, dari segi finansial kebutuhan keluarga terpenuhi, namun akibat lainnya tidak jarang rumah tangga menjadi sepi. Ibu pun demikian, di perkotaan di mana akses pendidikan menjadi lebih mudah, ada banyak sekali kaum perempuan yang lulusan sarjana. Kaum Ibu yang berpendidikan ini, merasa sayang jika menjadi satu di antara golongan pengangguran dari kalangan terdidik. Mereka tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika tidak berkesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan yang mereka peroleh di Perguruan Tinggi dan hanya menghabiskan kesehariannya dengan tugas-tugas rumah tangga. Yang pertamakali dirugikan dari keluarnya seorang Ibu untuk bekerja adalah anak


(4)

4

Implikasi dari kehidupan finansial yang memadai adalah, anak menjadi tidak terbiasa untuk minta kepada Allāh. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang manja, yang ingin apapun tinggal minta kepada orangtua. Misalnya, anak ingin membeli hand phone baru, Ibunya menunjukkan bahwa uangnya ada di lemari. Anak menginginkan sepatu baru, ayahnya pun menunjukkan bahwa uangnya ada di lemari. Satu kali, dua kali, anak masih minta izin mau ambil uang, kali ketiga, keempat, bablas saja mengambil tanpa pamitan dulu. Dalam bukunya Sakinah: Manajemen Qalbu untuk Keluarga, K.H. Abdullah Gymanstiar memberikan

sebuah jawab: “Rumah kita harus Allāh oriented.” (Gymnastiar, 2004: 38).

Kalau prinsip ini sudah dijalankan secara penuh, sudah bagus sekali, karena bukan main, prinsip yang pertama ini adalah tentang tauhīd. Suami akan melihat anak sebagai titipan Allāh. Suami akan mensyukuri kehadiran anak sebagai anugerah yang luar biasa besarnya dari Allāh. Ada banyak yang menikah setahun, dua tahun lamanya namun belum Allāhpercayai untuk diberi titipan-Nya. Kalau rasa syukur ini yang menjadi pijakan, maka seorang suami tidak akan berleha-leha dalam bekerja untuk menafkahi keluarga di samping dia juga akan berhati-hati tentang darimana datangnya nafkah itu berasal (Gymnastiar, 2004: 38).

Penulis ingin mengutip peran seorang suami, tentang bagaimana idealnya menjadi seorang istri, serta kewajiban kita sebagai seorang anak secara lebih lengkap masih dari buku yang sama:

1. Suami sebagai pemimpin dalam keluarga

Kita mulai dengan firman Allāhdalam Surat An-Nisā ayat ke 34:






























(5)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allāh telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (wanita),

dan karena mereka telah membelanjakan sebagian dari harta mereka....”1 .

Seperti halnya dalam logika, peran sesuatu menjadi lebih spesifik karena

kehadiran sesuatu yang lain. Demikian pula “suami dinamai pemimpin karena ada yang dipimpin. Artinya, jangan merasa lebih dari yang dipimpin.” (Gymnastiar, 2004: 44-46).

Alangkah lebih baiknya jika di dalam niatnya, jika di dalam buah

fikirannya seorang suami kerap memikirkan, “saya harus mampu memimpin

rumah tangga mengarungi episode hidup di dunia yang hanya sebentar ini, agar seluruh awak kapal dan penumpang bisa selamat sampai kepada tujuan akhir dalam naungan riḍāAllāh.” (Gymnastiar, 2004: 47).

Dalam Surat Tahrīm ayat 6 Allāh berfirman:





















“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api

neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...”

Jelas dalam ayat di atas bahwa tanggung jawab terberat untuk menyelamatkan rumah tangga dari api neraka dibebankan di pundak suami. Dan dengan ayat di atas nampaknya penulis telah menemukan penutup yang baik untuk pembahasan tentang peran seorang suami sebagai pemimpin keluarga. 2. Istri salehah

1

Seluruh teks dan terjemah Al-Qur`ān dalam skripsi ini dikutip dari Ms.Word menu Add-Ins Al-Qur`ān

disesuaikan dengan al-ikmaħ, Al-Qur`ān dan Terjemahnya. Penerjemah Departemen Agama RI. Lajnah Pentahsih mushaf Al-Qur`ān penerbit : Diponegoro. Bandung, 2009.


(6)

6

Rasūlullāh Saw. bersabda: “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salehah.(HR. Muslim). “Memang sungguh sangat beruntung kehidupan dunia ini bagi istri salehah. Sebab dia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan dalam melahirkan generasi dambaan. Satu saat ketika ia wafat, Allāh akan menjadikannya bidadari Surga” (Gymnastiar, 2004: 50). Jika ada pertanyaan kapan sebenarnya pendidikan anak dimulai? Pendidikan dimulai saat seorang laki-laki memilih pasangan hidupnya. Apakah cikal bakal anak tersebut di dalam rahim wanita salehah atau wanita biasa.

Menurut Gymnastiar (2004: 50), seorang wanita salehah di Timur tengah diberitakan mengunci diri dan kandungannya di dalam kamar selama 24 jam dan membaca Qur´ān terus- menerus. Dari kerja keras itu kemudian lahirlah seorang doktor Qur´ān cilik yang terkenal itu. Seandainya wanita salehah ini menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, bekerja di sebuah perusahaan bonafid, memperoleh bayaran tinggi dan kemudian menikah dengan laki-laki yang penghasilannya biasa-biasa saja, wanita ini tidak akan menjadikan suaminya merasa kerdil melainkan menjadi sosok Siti Khadījaħ yang kaya raya, yang memberikan hartanya yang banyak itu itu untuk mendukung dakwah Rasūlullāh Saw.

3. Memuliakan orangtua

“Ketika telah berumah tangga, saat berbagai macam persoalan dan desakan

hidup mulai menerpa, terkadang kita mungkin agak melupakan orangtua.”

(Gymnastiar, 2004: 53). Sekarang ini ada banyak anak yang kemudian tumbuh menjadi orang besar yang dulunya duduk di pangkuan Ibu yang miskin. Gaji dia setiap bulan hampir seluruhnya dia berikan ke istri. Tidak sedikitpun yang dia sisihkan untuk orangtuanya dan untuk mertuanya.

“Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan

orangtuanya. Manakala orangtua sudah semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, dititipkannyalah orangtuanya itu ke panti jompo,

astagfirullāh, ini adalah perbuatan yang sangat tercela.” (Gymnastiar,

2004: 56).


(7)





















































dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu

membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang

santun.”

Namun demikian, tentu ada lembaga pendidikan lain, yakni pendidikan formal. Dalam pendidikan formal ada suatu istilah yang sering digunakan oleh para pakar pendidikan untuk menyebut bagian-bagian dalam keseluruhan aktifitas pendidikan yaitu istilah komponen pendidikan. Namun para pakar tersebut tidak bersepakat dalam menyebut jumlah komponen yang dimaksud. Di antara komponen penting dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan. Berkenaan dengan rumusan tujuan pendidikan Islām, Djawad Dahlan (Syahidin, 2009: 10) berpendapat bahwa dalam ajaran Islām terdapat dua konsep yang diajarkan oleh Rasulullāh Saw. yang maknanya memiliki kaitan erat dengan tujuan pendidikan

Islām; yaitu konsep Imān dan taqwā. Untuk itu, dapat dipahami bahwa

pendidikan dalam Islām bertujuan untuk mencapai derajat Imān dan taqwā.

Abdurrahman Saleh (Syahidin, 2009: 10) menyebutkan bahwa Al-Qur´ān

dan As-Sunnaħ mengisyaratkan tujuan umum pendidikan Islām itu bersifat absolut. Finalitas kenabian Muhammad Saw., menyatakan finalitas yang diajarkannya kepada manusia yaitu kebahagiaan dunia akhirat. Abdurrahman Saleh berpendapat bahwa karakteristik tujuan umum pendidikan Islām adalah


(8)

8

diarahkan pada hal-hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dengan mengutip pendapat Jamal Shaliba (Syahidin, 2009: 10), Abdurahman menegaskan bahwa tujuan praktis pendidikan Islām adalah mengejawantahkan realisasi kebahagiaan hidup di dunia saat ini dan kebahagiaan saat mendatang yang sering diterjemahkan dengan tingkah laku lahir. Islām mendidik bahwa kebaikan yang dilakukan di dunia itu pahalanya tersalur kepada kehidupan individu kelak di akhirat. Jadi, jarak antara dunia dengan akhirat tidaklah sejauh itu.

Seorang ulama yang baru-baru ini menjadi warga Indonesia yang bernama

Syekh Muhammad „Ali Jaber mengumpamakan kehidupan di dunia dengan

kehidupan di akhirat itu jaraknya seperti rentang antara ażān dan ṣalāt, “ketika lahir, kita diadzani, ketika meninggal kita disholati. Dan jarak antara adzan

dengan shalat itu sebentar.” Jadi sebentar saja kehidupan di dunia itu, sementara yang menjadi tujuan dari pendidikan adalah terutama untuk bekal kehidupan kekal di akhirat. Dengan demikian,orang yang beriman kepada Allāh, akan selalu

berikhtiar keras merefleksikan keimānannya di dalam tingkah laku lahiriah selama

hidupnya di dunia (Syahidin, 2009: 10).

Sayyed Naquid Alattas (Syahidin, 2009: 11) merumuskan tujuan pendidikan Islām adalah menghasilkan manusia yang baik. Yang dimaksud manusia yang baik dalam konteks pendidikan Islām adalah manusia yang beradab, yakni manusia yang dapat menampilkan keutuhan antara jiwa dan raga dalam kehidupannya, sehingga ia selalu tampil berkualitas dan beradab. Selanjutnya Alattas (Syahidin, 2009: 11) memperjelas bahwa manusia yang baik, bukan warga negara yang baik sebagaimana dalam rumusan di negara Barat; makna konsep baik dalam definisi manusia yang baik; adalah konsep universalitas Islāmi yang mencerminkan manusia universal atau Insān Kāmil.

Menurut Abdurrahman An Nahlawi (1995: 34):

Pendidikan Islām merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta


(9)

bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya.

Seluruh ide tersebut telah tergambar secara integratif (utuh) dalam sebuah konsep dasar yang kokoh. Islām pun telah menawarkan konsep „aqīdaħ yang

wajib diimāni agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya

pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islām. Perilaku yang dimaksud adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu sendiri, baik dilakukan secara individual maupun kolektif (Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 34).

Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan yang mengakar dan integral, serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk berpandangan ke depan, optimistis, sungguh-sungguh dan berkesadaran. Aspek syariat telah menyumbangkan berbagai kaidah dan norma yang dapat mengatur perilaku dan hubungan manusia. Aspek penghambaan merupakan perilaku seorang manusia yang berupaya mewujudkan seluruh gambaran, sasaran, norma, dan perintah syariat tersebut. Pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian manusia agar seluruh aspek di atas menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan (Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 34).

Menurut Al-Syaibany (Syahidin, 2009: 12), Konferensi Islām Dunia I tentang pendidikan Islām yang diadakan di Makkaħ pada tahun 1977

merekomendasikan bahwa” ....tujuan hakiki pendidikan adalah kesempurnaan akhlāq”. Sebab itu ruh pendidikan Islām adalah pendidikan akhlāq. Rumusan tujuan pendidikan, baik itu menurut Al Gazali maupun para ulama kontemporer, nampaknya masih sangat umum. Untuk mengaplikasikannya ke dalam sistem pendidikan formal, rumusan di atas perlu dijabarkan dalam rumusan tujuan kurikuler.

Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan Islām yang ideal, absolut, dan final, Al-Syaibany (Syahidin, 2009:13) mencoba menjabarkan dan mengklasifikasikannya ke dalam bentuk yang lebih praktis sebagai berikut:


(10)

10

“Tujuan pendidikan adalah suatu perubahan yang diingini, diusahakan

melalui upaya pendidikan, baik pada tingkah laku individu untuk kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitarnya, di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan dan pengajaran itu sendiri sebagai suatu aktivitas asasi dan juga sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemudian Al-Syaibani (Syahidin, 2009:13) mengklasifikasikannya ke dalam tiga tujuan asasi yaitu:

a) Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan individu-individu yang semestinya dimiliki dalam mencapai kebahagiaan individual di dunia dan akhirat.

b) Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan juga dengan apa-apa yang berkaitan dengan kehidupan ini dan terutama tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan yang dikehendaki.

c) Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.

Merujuk pada berbagai rumusan tujuan pendidikan Islām di atas, dapat ditafsirkan bahwa tujuan ideal pendidikan Islām adalah mencapai derajat Insān Kamīl atau manusia yang bertaqwa. Tujuan ideal tersebut dijabarkan dan diklasifikasikan ke dalam tujuan individual, sosial dan profesional. Dari uraian di atas dapat disimak bahwa tujuan pendidikan Islām bersifat final, ideal dan tidak akan pernah berubah, yang mana pada intinya adalah Insān Kāmil (Syahidin, 2009:13).

Menurut Ahmad Farid (2008: 20), ruh pendidikan Islām adalah pendidikan akhlāq. Sasarannya adalah aspek fisik, akal dan jiwa yang berkembang secara terpadu. Tujuan akhir dari pendidikan Islām yang ideal sudah dapat dipastikan tidak akan tercapai bila diupayakan hanya di lembaga-lembaga pendidikan formal akan kurang sekali. Upaya pendidikan mesti dilakukan juga oleh lembaga keluarga, lembaga sekolah dan lembaga masyarakat secara integral. Dari rumusan tujuan akhir pendidikan Islām, tujuan pendidikan hanya akan tercapai dengan baik bila ketiga lembaga di atas dapat bekerjasama secara harmonis dalam suatu landasan, visi, dan misi yang sama.


(11)

Islām secara teologis merupakan rahmat bagi manusia dan alam semesta. Letak kerahmatannya ada pada kesempurnaan Islām itu sendiri. Islām mempunyai nilai-nilai universal yang mengatur semua aspek kehidupan manusia; mulai dari persoalan yang mikro sampai persoalan yang makro, dari persoalan individu hingga persoalan masyarakat, bangsa dan negara dimana ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang sinergis dan integral. Antarbagian di dalam ajaran Islām yang ada merupakan suatu sistem, yakni hubungan yang terdiri dari beberapa bagian ajaran yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yang selanjutnya membentuk bangunan yang utuh yang dinamai Islām(Ahmad Farid, 2008: 21).

Kehadiran agama Islām yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., diyakini oleh umat muslim sebagai ajaran yang dapat menjamin bagi terujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin, dunia dan akhirat. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk normatif tentang bagaimāna seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Membicarakan dasar-dasar ajaran Islām, pada hakikatnya adalah membicarakan kerangka umum dari ajaran Islām. Jika Islām diibaratkan sebagai sebuah bangunan, dengan melihat dasar-dasar ajaran saja, orang Islām sudah mengetahui bagaimana bentuk bangunan Islām seutuhnya. Sebagaimana layaknya bangunan rumah yang utuh, maka padanya terdapat fondasinya, berdiri tembok-temboknya, ada pintu dan jendela serta jelas terlihat atapnya (Zuhairini, 2008: 52).

„Aqīdaħ diletakkan pertamakali sebagai fondasi rumah tersebut karena

memang kedudukannya yang sangat penting dalam ajaran Islām. Seluruh dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran Islām adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Seandainya Islām diumpamakan pohon, maka

„aqīdaħadalah akarnya, dan pohon tanpa akar tentu akan tumbang (Sayyid Sabiq,

2006: 95).

Menurut Syahidin (2009: 5) Pelaksanaan Pendidikan Agama Islām di sekolah dewasa ini dihadapkan kepada dua tantangan besar, baik secara eksternal


(12)

12

perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat karena kemajuan Iptek yang begitu cepat. Di zaman modern seperti sekarang ini yang sering disebut sebagai era globalisasi, pergaulan hidup antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya semakin terbuka seolah-olah sudah tidak ada lagi batas wilayah. Sekitar satu setengah tahun lagi, kita akan dapat menemui makanan Filipina di lingkungan kita seperti halnya orang Myanmar akan mampu untuk menikmati masakan Padang di negara mereka sendiri karena perdagangan bebas di kawasan ASEAN.

Dalam situasi seperti ini, di mana pertukaran informasi, budaya, pola hidup antara bangsa terjadi secara alamiah dan tidak dapat dielakan lagi. Pertukaran pola kehidupan tersebut berdampak pada perubahan dalam berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia sehingga persoalan yang dihadapi masyarakat dirasakan semakin kompleks. Berbagai perubahan itu secara cepat atau lambat akan ikut serta mendorong terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat (Syahidin, 2009: 5).

Menurut Arif Rahman (Syahidin, 2009: 5) ada lima bentuk pergeseran nilai sebagai akibat dari kemajuan Iptek yang tidak terkendali, yaitu:

a) Ditinggalkannya era berfikir mistik menuju pada cara berfikir analistis logis dengan peralatan modern yang canggih, b) Pendidikan (pengajaran) dianggap lebih penting daripada pengalaman dan prestasi akademis sangat dihormati, c) Kompetisi akan menjadi ciri khas dalam era teknologi modern, d) Etos kerja tidak asal selesai mengerjakan tugas, dan e) Agama tidak lagi dijadikan pegangan hidup yang bersifat rutin dan dogmatis.

Kepentingan aqīdaħ kurang diambil perhatian oleh sebagian umat

Islāmmasa kini. Mereka lebih bimbang akan nasib anak bangsa dan anak cucu

mereka kelak akan menjadi miskin harta dan tanah setelah mereka tiada nanti. Tetapi apakah banyak dari kalangan umat Islām yang mengkhawatirkan nasib anak cucu mereka jika mereka miskin īmān dan jiwa? Kita yang berada di akhir zaman ini, sepatutnya lebih bimbang lagi akan keutuhan „aqīdaħ anak-anak kita. Kita patut menyadari akan betapa pentingnya peran „aqīdaħ dalam menentukan nasib bangsa ini (Ahmad Farid, 2008: 22).


(13)

Sebagai umat Islām yang menginginkan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat, kita hendaklah menjadi masyarakat Islām yang memelihara dan menegakkan „aqīdaħ dan syariat Islām. Memelihara dan memperkokoh„aqīdaħ ini pun hendaklah dibina di atas dasar īmān yang kukuh, yang diperkuat dengan ilmu dan amal saleh serta dipelihara dari dicemari oleh berbagai gejala penyelewengan dan kesesatan. Seorang muslim yang memiliki

„aqīdaħ yang kuat akan menampakkan hidupnya sebagai amal saleh. Jadi amal

saleh merupakan fenomena yang tampak sebagai pancaran dari„aqīdaħ (Ahmad Farid, 2008: 22).

Dengan melihat segala permasalahan itulah, akhirnya penulis ingin menganalisis dan memberikan judul skripsinya “Model Pendidikan „Aqīdaħ di kelas Vll Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah, Bandung”.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat dirumuskan permasalahan pokok sebagai berikut:

“Bagaimanakah Model Pendidikan „Aqīdaħ di kelas Vll Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah, Bandung ? “.

Dari masalah pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

2. Bagaimanakah program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

3. Bagaimanakah substansi materi pendidikan „aqīdaħyang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah,


(14)

14

4. Bagaimanakah proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

5. Bagaimanakah bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pokok penelitian ini adalah memperoleh data tentang Model Pendidikan Aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung .

Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

2. Untuk mengetahui program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

3. Untuk mengetahui substansi materi pendidikan„aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

4. Untuk mengetahui proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

5. Untuk mengetahui bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

D. Manfaat Penelitian


(15)

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model pendidikan

„aqīdaħ sebagai solusi dari model pendidikan yang dilaksanakan lembaga

pendidikan formal. Maka dari itu model pendidikan „aqīdaħ ini diharapkan dapat memberikan pengembangan dalam pengajaran pendidikan „aqīdaħ.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak yang terkait. Manfaat tersebut di antaranya:

a) Bagi peserta didik, khususnya bagi pelajar agar menanamkan nilai-nilai aqīdaħ dalam kehidupan sehari-hari.

b) Bagi guru IPAI, diharapkan model dalam pencapaian pendidikan „aqīdaħ ini menjadi suatu pedoman dalam mengajarkan „aqīdaħkepada peserta didik. c) Bagi kepala sekolah, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan contoh

dalam menerapkan „aqīdaħyang kokoh bagi sekolahnya yang berbasis agama. d) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menanamkan keimanan

kepada anak-anaknya.

E. Struktur Organisasi Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini sistematika penulisannya sebagai berikut : BAB I: Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Kajian teoretis tentang „aqīdaħ. Pada bab ini diuraikan data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian serta teori-teori yang mendukung pendekatan pendidikan „aqīdaħ, serta mengenai hasil penelitian yang relevan.

BAB III: Metode penelitian. Pada bab ini penulis menjelaskan metode penelitian, pendekatan, definisi operasional, lokasi dan subjek/ sampel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, desain penelitian, analisis dan pengolahan data.


(16)

16

BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian pengolahan data serta membahas temuan-temuan penelitian disertai dengan analisisnya

BAB V: Kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis berusaha mencoba memberikan kesimpulan dan saran, serta menyertakan lampiran yang berhubungan dengan skripsi ini.


(1)

11

Islām secara teologis merupakan rahmat bagi manusia dan alam semesta. Letak kerahmatannya ada pada kesempurnaan Islām itu sendiri. Islām mempunyai nilai-nilai universal yang mengatur semua aspek kehidupan manusia; mulai dari persoalan yang mikro sampai persoalan yang makro, dari persoalan individu hingga persoalan masyarakat, bangsa dan negara dimana ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang sinergis dan integral. Antarbagian di dalam ajaran Islām yang ada merupakan suatu sistem, yakni hubungan yang terdiri dari beberapa bagian ajaran yang satu sama lain saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yang selanjutnya membentuk bangunan yang utuh yang dinamai Islām(Ahmad Farid, 2008: 21).

Kehadiran agama Islām yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., diyakini oleh umat muslim sebagai ajaran yang dapat menjamin bagi terujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin, dunia dan akhirat. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk normatif tentang bagaimāna seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Membicarakan dasar-dasar ajaran Islām, pada hakikatnya adalah membicarakan kerangka umum dari ajaran Islām. Jika Islām diibaratkan sebagai sebuah bangunan, dengan melihat dasar-dasar ajaran saja, orang Islām sudah mengetahui bagaimana bentuk bangunan Islām seutuhnya. Sebagaimana layaknya bangunan rumah yang utuh, maka padanya terdapat fondasinya, berdiri tembok-temboknya, ada pintu dan jendela serta jelas terlihat atapnya (Zuhairini, 2008: 52).

„Aqīdaħ diletakkan pertamakali sebagai fondasi rumah tersebut karena memang kedudukannya yang sangat penting dalam ajaran Islām. Seluruh dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran Islām adalah penting dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Seandainya Islām diumpamakan pohon, maka

„aqīdaħadalah akarnya, dan pohon tanpa akar tentu akan tumbang (Sayyid Sabiq, 2006: 95).

Menurut Syahidin (2009: 5) Pelaksanaan Pendidikan Agama Islām di sekolah dewasa ini dihadapkan kepada dua tantangan besar, baik secara eksternal maupun internal. Sementara tantangan eksternal lebih merupakan perubahan-


(2)

12

perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat karena kemajuan Iptek yang begitu cepat. Di zaman modern seperti sekarang ini yang sering disebut sebagai era globalisasi, pergaulan hidup antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya semakin terbuka seolah-olah sudah tidak ada lagi batas wilayah. Sekitar satu setengah tahun lagi, kita akan dapat menemui makanan Filipina di lingkungan kita seperti halnya orang Myanmar akan mampu untuk menikmati masakan Padang di negara mereka sendiri karena perdagangan bebas di kawasan ASEAN.

Dalam situasi seperti ini, di mana pertukaran informasi, budaya, pola hidup antara bangsa terjadi secara alamiah dan tidak dapat dielakan lagi. Pertukaran pola kehidupan tersebut berdampak pada perubahan dalam berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia sehingga persoalan yang dihadapi masyarakat dirasakan semakin kompleks. Berbagai perubahan itu secara cepat atau lambat akan ikut serta mendorong terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat (Syahidin, 2009: 5).

Menurut Arif Rahman (Syahidin, 2009: 5) ada lima bentuk pergeseran nilai sebagai akibat dari kemajuan Iptek yang tidak terkendali, yaitu:

a) Ditinggalkannya era berfikir mistik menuju pada cara berfikir analistis logis dengan peralatan modern yang canggih, b) Pendidikan (pengajaran) dianggap lebih penting daripada pengalaman dan prestasi akademis sangat dihormati, c) Kompetisi akan menjadi ciri khas dalam era teknologi modern, d) Etos kerja tidak asal selesai mengerjakan tugas, dan e) Agama tidak lagi dijadikan pegangan hidup yang bersifat rutin dan dogmatis. Kepentingan aqīdaħ kurang diambil perhatian oleh sebagian umat

Islāmmasa kini. Mereka lebih bimbang akan nasib anak bangsa dan anak cucu mereka kelak akan menjadi miskin harta dan tanah setelah mereka tiada nanti. Tetapi apakah banyak dari kalangan umat Islām yang mengkhawatirkan nasib anak cucu mereka jika mereka miskin īmān dan jiwa? Kita yang berada di akhir zaman ini, sepatutnya lebih bimbang lagi akan keutuhan „aqīdaħ anak-anak kita. Kita patut menyadari akan betapa pentingnya peran „aqīdaħ dalam menentukan nasib bangsa ini (Ahmad Farid, 2008: 22).


(3)

13

Sebagai umat Islām yang menginginkan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat, kita hendaklah menjadi masyarakat Islām yang memelihara dan menegakkan „aqīdaħ dan syariat Islām. Memelihara dan memperkokoh„aqīdaħ ini pun hendaklah dibina di atas dasar īmān yang kukuh, yang diperkuat dengan ilmu dan amal saleh serta dipelihara dari dicemari oleh berbagai gejala penyelewengan dan kesesatan. Seorang muslim yang memiliki

„aqīdaħ yang kuat akan menampakkan hidupnya sebagai amal saleh. Jadi amal saleh merupakan fenomena yang tampak sebagai pancaran dari„aqīdaħ (Ahmad Farid, 2008: 22).

Dengan melihat segala permasalahan itulah, akhirnya penulis ingin menganalisis dan memberikan judul skripsinya “Model Pendidikan „Aqīdaħ di kelas Vll Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah, Bandung”.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat dirumuskan permasalahan pokok sebagai berikut:

“Bagaimanakah Model Pendidikan „Aqīdaħ di kelas Vll Madrasah Tsanawiyah, Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan Baleendah, Bandung ? “.

Dari masalah pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

2. Bagaimanakah program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

3. Bagaimanakah substansi materi pendidikan „aqīdaħyang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?


(4)

14

4. Bagaimanakah proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

5. Bagaimanakah bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pokok penelitian ini adalah memperoleh data tentang Model Pendidikan Aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung .

Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui tujuan pendidikan „aqīdaħ yang ingin dicapai di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

2. Untuk mengetahui program pendidikan „aqīdaħ yang dirancang di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

3. Untuk mengetahui substansi materi pendidikan„aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

4. Untuk mengetahui proses pendidikan „aqīdaħ yang dilaksanakan di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

5. Untuk mengetahui bentuk evaluasi pendidikan „aqīdaħ di kelas 7 Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan, Baleendah, Bandung.

D. Manfaat Penelitian


(5)

15

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model pendidikan

„aqīdaħ sebagai solusi dari model pendidikan yang dilaksanakan lembaga pendidikan formal. Maka dari itu model pendidikan „aqīdaħ ini diharapkan dapat memberikan pengembangan dalam pengajaran pendidikan „aqīdaħ.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak yang terkait. Manfaat tersebut di antaranya:

a) Bagi peserta didik, khususnya bagi pelajar agar menanamkan nilai-nilai aqīdaħ dalam kehidupan sehari-hari.

b) Bagi guru IPAI, diharapkan model dalam pencapaian pendidikan „aqīdaħ ini menjadi suatu pedoman dalam mengajarkan „aqīdaħkepada peserta didik. c) Bagi kepala sekolah, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan contoh

dalam menerapkan „aqīdaħyang kokoh bagi sekolahnya yang berbasis agama. d) Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menanamkan keimanan

kepada anak-anaknya.

E. Struktur Organisasi Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini sistematika penulisannya sebagai berikut : BAB I: Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Kajian teoretis tentang „aqīdaħ. Pada bab ini diuraikan data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian serta teori-teori yang mendukung pendekatan pendidikan „aqīdaħ, serta mengenai hasil penelitian yang relevan.

BAB III: Metode penelitian. Pada bab ini penulis menjelaskan metode penelitian, pendekatan, definisi operasional, lokasi dan subjek/ sampel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, desain penelitian, analisis dan pengolahan data.


(6)

16

BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian pengolahan data serta membahas temuan-temuan penelitian disertai dengan analisisnya

BAB V: Kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penulis berusaha mencoba memberikan kesimpulan dan saran, serta menyertakan lampiran yang berhubungan dengan skripsi ini.