Jurnal Skripsi Ekonomi Pembangunan 1999 - 2005 - Jurusan Manajemen

http://epserv.fe.unila.ac.id

ABSTRAK
ANALISIS PENGARUH FISCAL STRESS TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI LAMPUNG TAHUN 2001

Oleh
KHAIRUNNISA NASUTION

Sejak awal pelaksanaannya, APBN 2001 menghadapi tantangan, hambatan dan
tekanan keuangan (fiscal stress) yang sangat berat. Menurut penjelasan Undang-undang
No.1 Tahun 2002, faktor-faktor yang mempengaruhi fiscal sress pada tahun 2001
terutama berkaitan dengan meningkatnya depresiasi nilai tukar rupiah, suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan inflasi yang cukup jauh dari dari asumsi dasar yang
ditetapkan. Sebagai piranti utama dalam pengelolaan kebijakan keuangan negara , APBN
2001 bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, agar APBN
2001 benar-benar mencerminkan kebijakan fiskal yang realistis, dalam pelaksanaannya
harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut,
pada pertengahan Juni 2001 telah ditempuh langkah-langkah penyesuaian sebagaimana
dituangkan dalam Paket Kebijakan Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2001 yang
disepakati bersama oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya

kebijakan tersebut, beberapa asumsi pokok yang menjadi dasar penyusunan APBN 2001
mengalami penyesuaian, yaitu sasaran pertumbuhan ekonomi dari 5,0 persen menjadi 3,5
persen, tingkat inflasi dari 7,2 persen menjadi 9,3 persen, nilai tukar rupiah terhadap
dolar US dari Rp 7.800 per US$ 1 menjadi Rp 9.600 per US$ 1, serta tingkat suku bunga
SBI 3 bulan dari 11,5 persen menjadi 15,0 persen.
Tetapi faktor-faktor non ekonomi yang terjadi menyebabkan realisasi tingkat inflasi,
tingkat suku bunga SBI, dan melebihi asumsi yang sudah disesuaikan. Sehingga Ketiga
peningkatan indikator tersebut menyebabkan adanya fiscal stress atau tekanan keuangan
pada APBN 2001.
Fiscal stress yang terjadi menyebabkan meningkatnya defisit pada APBN 2001
karena setiap kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar satu persen,
jumlah beban bunga obligasi pemerintah akan bertambah sekitar Rp 2,3 triliun. Setiap
terjadinya depresiasi rupiah sebesar 1000 basis point, defisit anggaran yang diakibatkan
oleh membengkaknya subsidi akan meningkat sebsesar Rp 8 triliun. Dengan demikian
defisit anggaran pemerintah naik dengan cepat dari Rp 52 triliun atau 3,7 persen dari
PDB menjadi 88 triliun atau 7 persen dari PDB pada tahun anggaran 2001. Untuk
memperkecil besarnya defisit anggaran sehingga sesuai dengan defisit target yang telah

disepakati dalam perundingan RI-IMF yaitu sebesar 3,7 persen dari PDB, pemerintah
merancang berbagai perubahan kebijakan fiskal yang pada dasarnya berusaha untuk

meningkatkan penerimaan dan mengurangi pengeluaran. Kebijakan fiskal yang diajukan
oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah peningkatan pajak dan pengurangan
subsidi. Pajak Penjualan (PPn) akan ditingkatkan dari 10 persen menjadi 12,5 persen
mulai juli 2001. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dikurangi dengan
meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi 30,10 persen dari harga
sebelumnya pada tanggal 16 juni 2001, juga pengurangan subsidi tarif listrik dan telepon
dengan meningkatkan tarif dasar listrik sebesar 17,47 persen mulai 1 juli 2001 dan
meningkatkan tarif telepon sebesar 21,67 persen (Oktaviani,2001:34).
Pengurangan subsidi BBM, tarif dasar listrik dan telepon untuk menghindari
pembengkakan defisit APBN pada gilirannya membawa dampak tersebut pada
pengeluaran Pemerintah Daerah. Karana peningkatan harga BBM, tarif dasar listrik dan
telepon ini diikuti oleh peningkatan gaji pegawai negeri yang menyebabkan
meningkatnya pengeluaran daerah, Untuk Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung
pengeluaran untuk gaji pegawai adalah meningkat dari Rp 445 miliar menjadi Rp 1,078
triliun yaitu meningkat sebesar 58,41 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu
pelaksanaan pembayaran oleh Pemerintah Pusat terhadap dana-dana kompensasi BBM
ini terlambat, dipihak lain rakyat yang berkepentingan tidak dapat menunggu sehingga
demi keamanan dan ketertiban maupun keamanan dan ketertiban maupun ketentraman,
Pemerintah Daerah harus menalanginya terlebih dahulu. Dampaknya jelas terasakan
pada kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dengan demikian

tekanan keuangan (fiscal stress) yang dihadapi Pemerintah Pusat pada akhirnya dialami
juga oleh Pemerintah Daerah. Dalam kondisi Pemerintah Kabupaten/Kota mengalami
tekanan keuangan (fiscal stress) maka akibat lebih jauh adalah pada tingkat kepastian
anggaran pendapatan. Kalau pada sebelum terjadinya fiscal stress tingkat kepastian
anggaran pendapatan lebih tinggi anggaran pendapatan lebih tinggi, maka sesudah
terjadinya kondisi tersebut tingkat kepastiannya menjadi lebih rendah.
Pada tingkat kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menghadapi pelaksanaan
otonomi daerah, dengan munculnya akibat atau dampak fiscal stress terhadap anggaran
pendapatan daerah mengakibatkan ketidakstabilan kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota
utamanya dalam hal keuangannya, kinerja keuangan sebagai tolak ukur kesiapan
Pemerintah Kabupaten/Kota dengan tekanan keuangan akan terganggu dan mengalami
ketidakstabilan.
Dengan analisis Tabel yang membandingkan rasio kinerja keuangan pemerintah
Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung sebelum fiscal stress dan pada saat fiscal stress
menunjukkan bahwa fiscal stress secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja
keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung sehingga kinerja keuangan
Pemerintah pada saat fiscal stress mengalami penurunan.
Keyword : fiscal stress, Defisit APBN, Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah