Laju Produktivitas Primer Perairan Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

70

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara

71

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian

1. Kepping secchi disk

2. Ember 5 liter

3. Termometer °C

Universitas Sumatera Utara

72

Lampiran 1. Lanjutan


4. Alat ukur (meteran)

5. Lakban putih

6. Tali raffia

Universitas Sumatera Utara

73

Lampiran 1. Lanjutan

7. Botol sampel klorofil-a

8. pH meter air

9. Lux meter

Universitas Sumatera Utara


74

Lampiran 1. Lanjutan

10. Sampel air Rawa Kongsi

11. Reagen oksigen terlarut (DO)

Universitas Sumatera Utara

75

Lampiran 2. Prosedur Pengambilan Sampel Air

1. Pengambilan sampel air menggunakan ember 5 liter

2. Pengambilan sampel air untuk analisis Klorofil-a

Universitas Sumatera Utara


76

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuran Klorofil -a
1000 ml sampel air

Disaring

Hasil filtrasi
Dipindahkan ke dalam botol kuvet
Ditambahkan 5 ml Larutan aseton

Ekstraksi Aseton
dalam Tabung
Disentrifuge dengan kecepatan 1500
rpm selama 5 menit
Dituang ke dalam kuvet
Ekstrak Aseton
dalam Kuvet
Pengukuran

Klorofila
dengan
spektofotometer pada λ = 665 nm dan
λ = 730 nm
Hasil

Universitas Sumatera Utara

77

Lampiran 4. Cara Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

1. Pengukuran kecerahan menggunakan secchi disk

2. Pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer

Universitas Sumatera Utara

78


Lampiran 4. Lanjutan

3. Pengukuran pH air menggunakan pH meter

4. Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter

Universitas Sumatera Utara

79

Lampiran 5. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan
(DO)

Oksigen

Sampel Air
1 ml MnSO4
1 ml KOH-KI
Dikocok
Didiamkan

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat
1 ml H2SO 4
Dikocok
Didiamkan
Larutan Sampel Berwarna Coklat
Diambil sebanyak 100 ml
Dititrasi Na2S2O3 0,0125 N
Sampel Berwarna
Kuning Pucat
Ditambahkan 5 tetes amilum
Sampel Berwarna
Biru
Dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N
Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 0,0125 N
yang terpakai (= nilai DO akhir)
Hasil

Universitas Sumatera Utara


80

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran DO dengan Metode Winkler

1. 1 ml MnSO4

2. 1 ml KOH-KI

3. Dilarutkan ke dalam sampel air

Universitas Sumatera Utara

81

Lampiran 6. Lanjutan

4. Sampel air dikocok hingga warna air berubah menjadi coklat

5. Ditambahkan 1 ml H2SO4 ke dalam sampel


6. Sampel air dikocok hingga warna air menjadi kuning

Universitas Sumatera Utara

82

Lampiran 6. Lanjutan

7. Ditambahkan larutan Na2S2O3

8. Diambil sampel air 100 ml lalu ditambahkan Na2S2O3 hingga air
berwarna kuning pucat

9. Ditambahkan 5 tetes amilum ke dalam sampel

Universitas Sumatera Utara

83


Lampiran 6. Lanjutan

10. Sampel air diaduk hingga air berwarna biru gelap

11. Ditambahkan larutan Na2S2O3

12. Air diaduk hingga berwarna bening kemudian dihitung banyaknya
Na2S2O3 yang terpakai. Na2S2O3 = DO

Universitas Sumatera Utara

84

Lampiran 7. Perhitungan Produktivitas Primer Perairan Rawa Kongsi

Stasiun

Botol Initial

Botol Terang


Botol gelap

I

2.3

1.9

1.3

II

2.3

2

1.1

III


2.1

1.9

0.9

IV

2.3

1.9

1.1

Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas Kotor (PG) – Respirasi (R)
R = O2 awal – O2 akhir pada botol gelap
PG = O2 akhir pada botol terang - O2 akhir pada botol gelap

1. Stasiun I

4. Stasiun IV

PG = 1.9 – 1.3 = 0.6

PG = 1.9 – 1.1 = 0.8

R

R

= 2.3 – 1.3 = 1

PN = 0.6 – 1 = 0.4 x 375.36
= 150.144 × 4
= 600.576 mgC/m3/hari

= 2.3 – 1.1 = 1.2

PN = 0.8 – 1.2 = 0.4 x 375.36
= 150.144 × 4
= 600.576 mgC/m3/hari

2. Stasiun II
PG = 2 – 1.1 = 0.9
R

= 2.3 – 1.1 = 1.2

PN = 0.9 – 1.2 = 0.3 x 375.36
= 112.608 × 4
= 450.432 mgC/m3/hari

3. Stasiun III
PG = 1.9 – 0.9 = 1
R

= 2.1 – 0.9 = 1.2

PN = 1 – 1.2 = 0.2 x 375.36
= 75.072 × 4 = 300. 288 mgC/m3/hari

Universitas Sumatera Utara

85

Lampiran 8. Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver. 18.00
Correlations
PPP
PPP

KlorofilA
1
.918

DO
.870

Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.082
.130
N
4
4
4
**
KlorofilA
Pearson
.918
1 .994
Correlation
Sig. (2-tailed)
.082
.006
N
4
4
4
**
DO
Pearson
.870
.994
1
Correlation
Sig. (2-tailed)
.130
.006
N
4
4
4
pH
Pearson
.853
.846
.816
Correlation
Sig. (2-tailed)
.147
.154
.184
N
4
4
4
**
Suhu
Pearson
-.870
-.994
**
Correlation
1.000
Sig. (2-tailed)
.130
.006
.000
N
4
4
4
Kecerahan
Pearson
.942
.833
.778
Correlation
Sig. (2-tailed)
.058
.167
.222
N
4
4
4
Intensitas
Pearson
.882
.875
.846
Cahaya
Correlation
Sig. (2-tailed)
.118
.125
.154
N
4
4
4
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

pH
.853

Suhu
Kecerahan
-.870
.942

Intensitas
Cahaya
.882

.147
4
.846

.130
4
**
-.994

.058
4
.833

.118
4
.875

.154
4
.816

.006
4
**
-1.000

.167
4
.778

.125
4
.846

.184
4
1

.000
4
-.816

.222
4
.953*

.154
4
**
.998

4
-.816

.184
4
1

.047
4
-.778

.002
4
-.846

.184
4
.953*

4
-.778

.222
4
1

.154
4
.962*

.047
4
**
.998

.222
4
-.846

4
.962*

.038
4
1

.002
4

.154
4

.038
4

4

Universitas Sumatera Utara

67

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, R. 2011. Diversitas Fitoplankton di Danau Tasikardi Terkait dengan
Kandungan Karbondioksida dan Nitrogen. [Skripsi]. Fakultas Sains
dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Asriyana dan Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta.
Ayu, W. F. 2009. Keterkaitan Makrozoobenthos dengan Kualitas Air dan Substrat
di Situ Rawa Besar, Depok. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Bahri, S., F. Ramadhan dan I. Reihannisa. 2015. Kualitas Perairan Situ Gintung
Tangerang Selatan. Jurnal Ilmiah Biologi. Vol. 3 (1) Hal 16-22. ISSN
2302-1616. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Banerjea, S. M. 1971. Water Quality and Soil Condition of Fish Pond in Some
Water of Indian Relation Fish Education Indian. Journal of Fisher
Voinn. New York.
Barus, T. A. 2004. Limnologi. Usupress. Medan.
Barus, T. A., S. S. Sinaga., dan R, Tarigan. 2008. Produktivitas Primer
Fitoplankton dan Hubungannya dengan Faktor Fisik-Kimia Air di
Perairan Parapat, Danau Toba. Jurnal Biologi. Vol. 3 (1) Hal 11-16
ISSN 1907-5537. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bayurini. D. H. 2006. Hubungan antara Produktivitas Primer Fitoplankton
Dengan Distribusi Ikan di Ekosistem Perairan Rawa Pening
Kabupaten Semarang. [Skripsi]. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Connen, W. D dan J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Doods. W. K. 2014. Freshwater Ecology Concepts and Environmental Aplications
of Limnology. Content Technologies Inc. New Delhi
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. ITB Bandung. Bandung.
Fahey. T and A, K. Knap. 2007. Principles and Standards for Measuring Primary
Production. Oxford University Press Inc. New York
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Universitas Sumatera Utara

68

Fitra, E. 2008. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Keanekaragaman
Vegetasi Akuatik di Perairan Parapat Danau Toba. [Tesis]. Universitas
Sumatera Utara, Medan
Gandasasmita. K., Suwarto., W. Adhy dan Sukmara. 2006. Karakteristik dan
Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Geiger, R.J and B. A. Osborne 1992. Algae Photosynthesis. Chapman and Hall.
London
Hardiyanto, R., H. Suherman dan R. I. Pratama. 2012. Kajian Produktivitas
Primer Fitoplankton di Waduk Saguling Desa Bongas dalam
Kaitannya dengan Kegiatan Perikanan.jurnal Perikanan dan Kelautan.
Vol 3 (4) Hal 51-59.. ISSN: 2088-3137. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
Hastono, S. P. 2001. Analisis Data. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Isnaini, A. 2011. Penilaian Kualitas Air dan Kajian Potensi Situ Salam sebagai
Wisata Air di Universitas Indonesia, Depok. [Tesis]. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia,
Depok.
Jubaedah, D., M. M. Kamal., I. Muchsin dan S. Hariyadi. 2015. Karakteristik
Kualitas Air dan Resiko Ekobiologi Herbisida di Perairan Rawa
Banjiran Lubuk Lampam Sumatera Selatan. Jurnal Manusia dan
Lingkungan. Vol 22 (1) : 12-21. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lieth. H and R, H. Whittaker. 1975. Primary Productivity of the Biosphere.
Springer-Verlag. New York.
Minggawati. I. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Rawa
Banjiran Sungai Rungan Kota Palangkaraya. Jurnal Ilmu Hewani
Tropika. Vol 2 (2). ISSN: 2301-7783. Universitas Kristen Palangka
Raya. Palangka Raya.
Nita dan S. Eddy. 2015. Struktur Komunitas Fitoplankton di Danau OPI
Jakabaring Kota Palembang. Vol 12 (1) : 56-66. ISSN 1829. 586x.
Universitas PGRI Palembang. Palembang.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 82. 2001. Pengelolaan Kualitas
air dan Pengelolaan Pencemaran Air. Presiden Republik Indonesia.
Pitoyo, A dan Wiryanto. 2002. Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik
Boyolali. Fakultas Matematikan Ilmu Pengetahuan Alam. ISSN:
1412-033X . Universitas Negeri Surakarta. Semarang.
Rukmini., M, D. Arfiati dan A, Mursyid. 2012. Karakteristik Ekologis Habitat
Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) di Perairan Rawa Monoton
Danau Bangkau Kalimantan Selatan. Universitas Brawijaya. Malang.

Universitas Sumatera Utara

69

Salwiyah. 2011. Kondisi Kualitas Air Sehubungan dengan Kesuburan Perairan
Sekitar PLTU NII Tanasa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari.
Salam, A. 2010. Analisis Kualitas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan Indeks
Keanekaragaman Fitoplankton. Jakarta.
Siagian, M. 2012. Jenis dan Keanekaragaman Fitoplankton di Waduk PLTA Koto
Panjang Kampar Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau, Pekanbaru.
Silalahi,

J. 2009. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan
Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba.
[Tesis]. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sinurat, G. 2009. Studi Tentang Nilai Tentang Produktivitas Primer Di
Pangururan Perairan Danau Toba. [Skripsi]. Universitas Sumatera,
Medan.
Sitorus, M. 2009. Hubungan Nilai Produktivitas Primer dengan Konsentrasi
Klorofil-a dan Faktor Fisik Kimia di Perairan Danau Toba Balige
Sumatera Utara [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Soedarsono, H. J. 2004. Lahan Rawa Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah
Sulfat Masam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soeprobowati, T. R dan S. W. A. Suedy. 2010. Status Trofik Danau Rawapening
dan Solusi Pengelolaannya. Jurnal Sains & Matematika (JSM). Vol 18
(4) : 158-169. ISSN 0854-0675. Universitas Diponegoro. Semarang.
Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang.
Sutrisno, T. C. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Wardana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset,
Yogyakarta.
Wibowo, H. 2004. Tingkat Eutrofikasi Rawa Pening Dalam Kerangka Kajian
Produktivitas Primer Fitoplankton [Tesis]. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Universitas Sumatera Utara

37

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari – Maret 2016, di Perairan Rawa
Kongsi Kecamatan Patumbak Provinsi Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian
beserta stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. Sedangkan
analisis data dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian (PUSLIT) Universitas
Sumatera Utara.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di Rawa Kongsi Kecamatan Patumbak

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember 5 liter, botol
winkler, botol terang, botol gelap, pH meter, thermometer, sechidisk, botol
sampel, kamera digital, pipet tetes, spektrofotometri, botol kuvet, centrifuge,
pompa vakum, dan alat tulis.

Universitas Sumatera Utara

38

Bahan yang digunakan adalah sampel air, MnSO4, H2SO4, KOH-KI,
Na2S2O3, akuades, lakban, sarung tangan, tali, aluminium foil, larutan aseton,
kertas label dan tissu. Alat dan bahan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Deskripsi Area
Penelitian

ini

menggunakan

metode

deskriptif.

Sampel

diambil

menggunakan metode purposive sampling. Lokasi pengambilan sampel dilakukan
di perairan rawa dengan memilih stasiun berdasarkan ekologi dengan karakteristik
kegiatan yang dibagi menjadi 4 stasiun pengamatan.
Stasiun I
Stasiun I merupakan area yang secara visual masih terjaga kondisi
lingkungannya. Stasiun I ini terdapat aktivitas pemancingan oleh penduduk
sekitar. Lokasi stasiun I secara geografis terletak pada 3°31'007" LU dan
98º 42'29,76" BT dan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Stasiun I

Universitas Sumatera Utara

39

Stasiun II
Stasiun II merupakan area perairan rawa yang terdapat aktivitas keramba,
ternak

itik

serta

memiliki

tanaman

liar

serta

enceng

gondok

(Eichhornia crassipes). Lokasi stasiun II secara geografis terletak pada
3°31'007,5"LU dan 98º 42'28,32" BT dan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Stasiun II

Stasiun III
Stasiun III merupakan area yang berada langsung di sekitar pemukiman
penduduk Secara geografis stasiun III terletak pada 3°31'007,1" LU dan
98º42'27,81" BT dan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Stasiun III

Universitas Sumatera Utara

40

Stasiun IV
Stasiun IV berada di sekitar wilayah pertanian dengan pinggiran rawa
memiliki tanaman kelapa sawit. Secara geografis lokasi stasiun IV terletak pada
3°31'006,6" LU dan 98º 42'29,31" BT dan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Stasiun IV

Pengambilan Sampel Air
Pengambilan sampel air dilakukan pada empat stasiun pengamatan dalam
tiga periode dengan interval waktu setiap dua minggu. Sampel air diambil secara
horizontal (permukaan) dari badan air. Prosedur pengambilan sampel air dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Prosedur Kerja
Pengukuran produktivitas primer perairan
Pengukuran produktivitas primer perairan dilakukan dengan cara
mengambil contoh air pada setiap lokasi penelitian menggunakan botol Winkler
yang terdiri dari botol terang (light bottle), botol gelap (dark bottle), satu botol
winkler untuk Initial Bottle sebagai oksigen awal (DOo). Botol Terang dan botol
gelap setelah terisi sampel air diinkubasi di perairan selama 3 jam. Setelah itu

Universitas Sumatera Utara

41

diukur kandungan oksigen terlarutnya dengan menggunakan metode winkler,
kemudian dihitung nilai produktivitasnya.
Botol – botol winkler gelap dan terang yang telah diinkubasi selama 3 jam
di perairan lalu diangkat dari setiap stasiun dan dihitung nilai oksigen terlarutnya
dengan menggunakan metode winkler, kemudian dihitung nilai produktivitasnya.
Pengukuran Konsentrasi Klorofil –a
Sampel air diambil dari setiap stasiun masing-masing sebanyak 1000 ml
(1 liter), kemudian dibawa ke Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Alam
(PUSLIT SDA) Universitas Sumatera Utara kemudian diukur konsentrasi klorofil
-a dengan menggunakan spektrofotometer. Prosedur pengukuran klorofil -a dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Pengukuran kualitas perairan dilakukan secara insitu meliputi parameter
fisika dan kimia yang terdiri dari suhu, kedalaman, pH dan DO dapat dilihat pada
Lampiran 4. Parameter fisika dan kimia yang diamati serta alat pengukurannya
dapat dilihat pada Tabel 3.
1. Suhu
Suhu

air

diukur

dengan menggunakan thermometer air raksa yang

dimasukkan ke dalam air. Lalu dibaca skala thermometer tersebut. Pengukuran
suhu air dilakukan di lapangan (in-situ) saat melakukan pengamatan.
2. Kedalaman
Kedalaman perairan rawa diukur dengan menggunakan tali yang memiliki
skala dalam satuan centi meter (cm) yang dimasukkan ke dalam badan air,
kemudian dilihat skala panjang pada tali ukur.

Universitas Sumatera Utara

42

3. Kecerahan
Pengukuran penetrasi cahaya dengan menggunakan keping sechi yang
dimasukkan kedalam badan air sampai keping sechi tidak terlihat, lalu diukur
panjang tali yang masuk ke dalam air (d1). Kemudian turunkan secchi disk dan
perlahan-lahan tarik ke atas, jika sudah mulai terlihat bagian secchi disk yang
berwarna putih/hitam lalu dicatat kedalamannya (d2). Pengukuran penetrasi
cahaya dilakukan di lapangan (in-situ). Berdasarkan Suin (2002), nilai kecerahan
diperoleh dengan menggunakan rumus:
Kecerahan (cm) = d1+d2
2
Keterangan:
d1 = Skala saat bagian secchi disk mulai tidak kelihatan lagi (cm)
d2 = Skala saat bagian secchi disk pertama kali kelihatan (cm)
4. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya perairan rawa dapat diketahui dengan menggunakan alat
lux meter. Alat tersebut dimasukkan ke dalam badan air, kemudian dilihat angka /
nilai yang tertera pada lux meter.
5. pH (Derajat Keasaman)
Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan memasukkan
pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari perairan sampai pembacaan
konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut. Pengukuran pH
perairan dilakukan di lapangan (in-situ).
6. DO (Dissolved Oxygen)
Dissolved oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metode winkler
dengan menggunakan reagen-reagen kimia yaitu MnSO4, KOH-KI, H2SO4 ,
Na2S2O3, dan Amilum. Bagan metode winkler dapat dilihat pada Lampiran 5.

Universitas Sumatera Utara

43

Metode kerja pengukuran DO yaitu diambil sampel air, ditambahkan 1 ml
MnSO4, 1 ml KOH-KI lalu dikocok dan didiamkan sampai sampel berwarna putih
coklat, ditambahkan 1 ml H2 SO4 dikocok dan didiamkan sehingga sampel
berwarna coklat, diambil sebanyak 100 ml dan ditetesi Na2S2O3 0,0125 N hingga
larutan sampel berwarna kuning pucat, ditambahkan 5 tetes amilum hingga
sampel berwarna biru, ditetesi Na2S2O3 0,0125 N, dikocok hingga sampel
berwarna bening, dihitung volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai. Prosedur
pengukuran DO dengan metode winkler dapat dilihat pada Lampiran 6.
Tabel 3. Parameter fisika dan kimia yang diamati serta alat pengukurannya
No. Parameter

Satuan

Alat

Tempat Pengukuran

Fisika
1.

Suhu Air

o

Termometer Raksa

In-situ

2.

Kedalaman

Cm

Tali berskala

In-situ

3.

Kecerahan

Cm

Sechi disk

In-situ

4.

Intensitas Cahaya

Candella

Lux meter

In-situ

pH meter

In-situ

Metode Winkler

In-situ

Spektofotometri

Lab. Puslit

C

Kimia
4.

pH Air

-

5.

Do

Mg/l

6.

Klorofil –a

3

Mg/m

Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan diolah dengan menghitung Nilai
Produktivitas Primer Perairan dan klorofi -a .
Menghitung Nilai Produktivitas Primer (PP)
Menurut Barus (2004), untuk mengetahui nilai Produktivitas Primer suatu
perairan adalah menggunakan botol terang dan botol gelap. Produktivitas Primer

Universitas Sumatera Utara

44

dapat diukur sebagai produktivitas kotor dan produktivitas bersih. Hubungan
antara keduanya dapat dinyatakan dengan:
Produktivitas Bersih (PN) = Produktivitas Kotor (PG) – Respirasi (R)
Keterangan:
R = O2 awal pada boto gelap – O2 akhir pada botol gelap (mgC/m3/hari)
Pg = O2 akhir pada botol terang – O2 akhir pada botol gelap (mgC/m3/hari)
Untuk mengubah nilai mg/l oksigen menjadi C/m3, maka nilai dalam mg/l
dikalikan dengan 375.36, hal ini akan menghasilkan mg C/m3 untuk jangka waktu
pengukuran. Untuk mendapatkan nilai produktivitas dalam satuan hari, maka nilai
perjam harus dikalikan dengan 12, mengingat cahaya matahari hanya selama 12
jam per hari.
Menghitung Nilai Klorofil -a
Menurut Geiger dan Osborne (1992), untuk menghitung nilai konsentrasi
klorofil –a digunakan rumus:
Klorofil-a (mg/L) = 11.58 (OD664) – 1.54 (OD647) – 0.08 (OD630)
Konsentrasi Klorofil-a (mg/m3) = Ca x V1
V2
Keterangan:
11.58 = Koefisien absorbs pada λ 664
1.54 = Koefisien absorbs pada λ 647
0.08 = Koefisien absorbs pada λ 630
V1

= Volume ekstrak aseton (L)

V2

= Volume sampel yang disaring (m3)

Ca

= Konsentrasi klorofil-a (mg/L)

Universitas Sumatera Utara

45

Analisis Korelasi Pearson
Analisis korelasi pearson dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi
SPSS Ver.16,00. Uji ini merupakan uji statistik untuk mengetahui korelasi antara
nilai Produktivitas Primer dengan Klorofil –a dan faktor fisik kimia perairan.
Menurut Hastono (2001), menyatakan nilai indeks korelasi pada Tabel 4.
Tabel 4. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan Antar Faktor
Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0.00 – 0.25

Tidak ada hubungan / hubungan lemah

0.26 – 0.50

Hubungan sedang

0.51 – 0.75

Hubungan kuat

0.76 – 1.00

Hubungan sangat kuat / sempurna

Hubungan kedua variabel dapat berpola positif maupun negative.
Hubungan positif akan terjadi bila kenaikan satu variabel diikuti dengan kenaikan
variabel yang lain. Sedangkan hubungan negative dapat terjadi bila kenaikan satu
variabel diikuti penurunan variabel yang lain

Universitas Sumatera Utara

46

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan Rawa Kongsi
maka diperoleh nilai parameter fisika kimia perairan yang berbeda-beda pada
setiap stasiun pengambilan sampel. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi
STASIUN
PARAMETER

I

II

III

IV

Suhu (°C)

30

30

31

30

Kecerahan (cm)

112

85

71

98

Kedalaman (cm)

126

112

114

116

Intensitas

397

327

251

332

pH

6.7

6.6

6.5

6.6

DO (mg/L)

2.3

2.3

2.16

2.3

Cahaya (Cd)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu rata – rata tertinggi terdapat
pada stasiun III yaitu 31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama
yaitu 30°C. Kecerahan rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun I, yaitu 112 cm
sedangkan terendah terdapat pada stasiun III, yaitu 71 cm. Intensitas cahaya rata –
rata tertinggi terdapat pada staisun I, yaitu 397 Cd sedangkan intensitas terendah
terdapat pada stasiun III, yaitu 251 Cd. pH rata – rata tertinggi terdapat pada
stasiun I yaitu 6.7 sedangkan terendah pada stasiun III, yaitu 6.5, pada stasiun I,
II dan IV memiliki nilai DO yang sama, yaitu 2.33 mg/L dan terendah pada
stasiun III, yaitu 2.16 mg/L.

Universitas Sumatera Utara

47

Pengukuran beberapa parameter perairan di Rawa Kongsi memperlihatkan
perbedaan namun ada juga yang tidak mengalami perubahan. Pada suhu antara
stasiun I, II dan IV tidak terjadi peningkatan maupun penurunan. Namun pada
stasiun III terjadi peningkatan suhu. Perbedaan suhu dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Nilai suhu pada setiap stasiun
Nilai parameter kedalaman pada perairan Rawa Kongsi menunjukkan
perbedaan pada setiap stasiun. Dimana nilai tertinggi terdapat pada stasiun I
sedangkan paling rendah terdapat pada stasiun II. Perbedaan kedalaman dari
setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Nilai kedalaman pada setiap stasiun

Universitas Sumatera Utara

48

Pengukuran faktor fisika kecerahan perairan di Rawa Kongsi dilakukan
pada 4 stasiun, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan nilai yang berbeda-beda
pada setiap stasiun. Perbedaan nilai kecerahan setiap stasiun dapat dilihat pada
Gambar 11.

Gambar 11. Nilai kecerahan pada setiap stasiun
Intensitas cahaya pada perairan Rawa Kongsi diukur dengan menggunakan
lux meter, hasil yang diperoleh dari setiap stasiun berbeda-beda. Perbedaan nilai
intensitas cahaya dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Nilai intensitas cahaya pada setia stasiun

Universitas Sumatera Utara

49

Berdasarkan pengukuran pH yang telah dilakukan maka dapat diketahui
terjadi peningkatan pH pada stasiun I dan pada stasiun III mengalami penurunan
yang merupakan lokasi pembuangan limbah rumah tangga masyarakat sekitar.
Perbedaan nilai pH dari setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Nilai pH pada setiap stasiun
Kadar oksigen terlarut yang telah diukur menunjukkan perbedaan yang
tidak signifikan, dimana nilai DO yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat
pada Gambar 14.

Gambara 14. Nilai DO pada setiap stasiun

Universitas Sumatera Utara

50

Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa Kongsi
Nilai klorofil-a dihitung dengan menggunakan metode spektrofotometer.
Klorofil-a umumnya akan mempengaruhi kadar oksigen di perairan yang terdapat
pada fitoplankton, pada saat fitoplankton melakukan fotosintesis maka terjadi
pelepasan O2 di perairan. Proses fotosintesis terjadi dengan bantuan cahaya
matahari serta bahan-bahan kimia yang terdapat pada badan air sehingga
menghasilkan bahan organik. Proses pembentukan bahan organik tersebut
dinamakan produktivitas primer. Perhitungan nilai produktivitas primer perairan
dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai klorofil-a dan produktivitas primer dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa
Kongsi

Stasiun
I

Klorofil a (mg/ m )
2,575

Produktivitas Primer Perairan
(mgC/m3/hari)
600,576

II

2,528

450,432

III

2,157

300,288

IV

2,572

600,576

3

Dari hasil yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa nilai klorofil-a yang
paling tinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 2,575 mg/ m3 sedangkan nilai
klorofil-a paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu dengan nilai 2,157 mg/ m3.
Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi geografis
perairan rawa Kongsi. Nilai klorfil-a pada Rawa Kongsi dapat dilihat Gambar 15.

Universitas Sumatera Utara

51

Gambar 15. Nilai Klorofil-a di Rawa Kongsi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan botol
terang dan botol gelap, maka nilai produktivitas primer tertinggi di perairan Rawa
Kongsi terdapat pada stasiun I dan stasiun IV yaitu 600,576 mgC/m3/hari
sedangkan nilai paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu 300,288
mgC/m3/hari. Nilai produktivitas pada setiap stasiun dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 16.

Gambar 16. Nilai Produktivitas primer pada setiap stasiun

Universitas Sumatera Utara

52

Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver. 18.00
Untuk mengetahui korelasi dari setiap parameter fisika kimia terhadap
nilai produktivitas primer perairan, maka dilakukan analisis korelasi pearson
dengan hasil seperti yang tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi Pearson antara Sifat Fisika-Kimia Perairan
dengan Produktivitas Primer Perairan Rawa Kongsi
Korelasi
Pearson
PP

Klorofil -a

DO

.918

.870

pH
.853

Suhu
-.870

Kecerahan Intensitas
Cahaya
.942
.882

Keterangan:
Nilai + : Arah korelasi searah
Nilai - : Arah korelasi berlawanan
Pembahasan
Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi
Suhu
Suhu perairan pada lokasi penelitian di Rawa Kongsi berkisar antara 30 –
31°C dengan rata-rata 30.25°C. Suhu perairan merupakan suhu alami yang terukur
secara in situ pada saat penelitian. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu
31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama yaitu 30°C. Hal ini
dapat disebabkan kisaran waktu yang berbeda pada saat pengukuran sampel air.
Suhu perairan Rawa Kongsi masih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton.
Kisaran nilai tersebut berbeda sedikit di atas nilai optimum untuk pertumbuhan
fitoplankton. Effendi (2003) menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimum
untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 20 – 30 °C. Sedangkan pada stasiun III
dimana suhu sudah termasuk tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan
fitoplankton kurang baik.

Universitas Sumatera Utara

53

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia dan
peningkatan suhu air juga akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut.
Menurut Barus (2004) suhu perairan mempengaruhi kelarutan oksigen yang
diperlukan organisme melakukan metabolisme. Semakin tinggi suhu suatu
perairan, kelarutan oksigennya semakin menurun dan sebaliknya.
Suhu yang cukup tinggi pada stasiun III yaitu 31°C tidak baik untuk
pertumbuhan fitoplankton. Secara tidak langsung pengaruh suhu dapat
dipengaruhi melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam
air, termasuk oksigen, sesuai dengan pernyataan Salwiyah (2011) tingginya nilai
suhu dapat meningkatkan kebutuhan fitoplankton akan oksigen. Hal ini
disebabkan karena suhu dapat memicu aktivitas fisiologis fitoplankton sehingga
kebutuhan oksigen semakin meningkat.
Peningkatan suhu pada stasiun III juga disebabkan karena terjadinya
evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan faktor fisika yang
terjadi di dalam kolom air, dengan terjadinya evaporasi maka akan terjadi aliran
bahan dari udara ke permukaan air. Evaporasi merupakan proses penguapan air
menjadi uap air ke atmosfer dengan bantuan cahaya matahari. Menurut Asriyana
dan Yuliana (2012), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0.1 °C
pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter.
Suhu berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup
dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya. Suhu
mampu mengatur proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Sesuai dengan
Minggawati (2013), menyatakan suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi
kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan.

Universitas Sumatera Utara

54

Kecerahan
Nilai kecerahan pada semua stasiun berkisar antara 71 cm – 112 cm
(Tabel 5). Tingginya kecerahan pada stasiun I mendukung kehidupan organisme
fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Sedangkan pada stasiun III tingkat
kecerahan rendah hal ini dipengaruhi dari limbah rumah tangga yang langsung
dibuang ke perairan rawa oleh masyarakat sekitar. Kecerahan matahari merupakan
salah satu komponen mutlak yang diperlukan dalam proses fotosintesis hingga
fitoplankton dapat menghasilkan produksi dan didukung dengan Salwiyah (2011)
bahwa kecerahan merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan
fitoplankton karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan
perairan dan dan cahaya yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk
perkembangannya.
Perbedaan kecerahan pada perairan Rawa Kongsi berpengaruh pada
intensitas cahaya. Semakin tinggi intensitas kecerahan maka akan semakin tinggi
juga intensitas cahaya dan diikuti juga dengan meningkatnya nilai klorofil-a
seperti yang terlihat pada stasiun I, sebaliknya jika kecerahan rendah maka
intensitas beserta klorofil-a juga akan menurun. Dengan demikian maka
kecerahan akan mempengaruhi produktivitas primer perairan. Sesuai dengan
Isnaini (2011), menyatakan apabila kecerahan berkurang maka proses fotosintesis
akan terhambat sehingga oksigen dalam air berkurang, dimana oksigen
dibutuhkan

organisme

akuatik

untuk

metabolisme.

Kecerahan

akan

mempengaruhi intensitas cahaya yang akan menentukan tebalnya lapisan eufotik.

Universitas Sumatera Utara

55

Kedalaman
Perairan Rawa Kongsi stasiun yang memiliki kedalaman lebih tinggi
adalah stasiun I dengan kedalaman 126 cm dimana stasiun ini merupakan lokasi
yang masih terjaga kondisi lingkungannya hanya ada aktivitas pemancingan pada
stasiun ini. Sedangkan kedalaman yang paling rendah terdapat pada stasiun II
dengan nilai 112 cm dimana pada stasiun ini terjadi aktivitas peternakan itik serta
ditumbuhi tumbuhan air yaitu eceng gondok. Pada penelitian ini sampel air yang
diukur merupakan air permukaan sehingga tinggi rendahnya hasil analisis
kedalaman yang diperoleh tidak mempengaruhi parameter lain.. Sesuai dengan
pernyataan Hardiyanto, dkk (2012) bahwa kandungan DO semakin menurun
seiring dengan kedalamannya, ini disebabkan semakin ke dalam perairan semakin
berkurang cahaya matahari yang masuk sehingga proses fotosintesis fitoplankton
kurang berjalan dengan baik.
Nilai kedalaman air yang diperoleh pada setiap stasiun berbeda-beda
dengan substrat berlumpur. Kedalaman suatu

ekosistem

perairan

dapat

bervariasi tergantung pada zona kedalaman dari suatu perairan tersebut, semakin
dalam perairan tersebut maka intensitas cahaya matahari yang masuk semakin
berkurang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nita dan Eddy (2015),
bahwa kedalaman suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik dan
bahan anorganik seperti lumpur dan pasir halus.
Intensitas Cahaya
Hasil pengukuran intensitas cahaya pada Rawa Kongsi diperoleh nilai
tertinggi 397 Cd dan terendah 251 Cd dengan nilai rata-rata yaitu 327 Cd.
Tingginya nilai intensitas cahaya diikuti dengan tingginya nilai klorofil-a. Seiring

Universitas Sumatera Utara

56

dengan semakin besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas
cahaya matahari semakin kuat masuk ke perairan. Sehingga sangat mempengaruhi
aktivitas fitoplankton untuk memperbanyak diri. Jika penyinaran matahari
semakin besar maka jumlah fitoplankton akan semakin banyak diikuti dengan
klorofil-a yang dihasilkan oleh fitoplankton sehingga mempengaruhi produktivitas
primer perairan, seperti yang dikemukakan oleh Pitoyo dan Wiryanto (2002)
distribusi fitoplankton pada umumnya terkait erat dengan intensitas cahaya
matahari yang menembus perairan. Stratifikasi cahaya dalam kolom air,
menyebabkan kelimpahan fitoplankton terkonsentrasi pada permukaan air.
Hasil pengukuran diperoleh bahwa intensitas cahaya tertinggi terdapat
pada stasiun 1 dan terendah terdapat pada stasiun 3. Perbedaan yang terjadi
disebabkan adanya perbedaan waktu dalam pengukuran pada lokasi pengambilan
sampel. Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke badan air
akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan
diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan dengan
bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya akan mengalami
perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai
ke suatu tumbuhan lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari
dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses assimilasi. Besarnya
nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang
memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Hal ini dikemukakan
oleh Minggawati (2013) pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya
matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan.

Universitas Sumatera Utara

57

Tingkat intensitas yang sangat rendah dapat menghambat proses
pertumbuhan dari fitoplankton yang berkaitan dengan laju fotosintesis. Laju
fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi. Sesuai dengan Barus
(2004), intensitas cahaya matahari mempengaruhi produktivitas primer, hasil
perubahan energi matahari menjadi energy kimia dapat diperoleh melalui proses
fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesa sangat tergantung pada
intensitas cahaya matahari, oksigen terlarut dan suhu perairan.
Derajat Keasaman (pH)
pH perairan pada setiap stasiun berkisar antara 6.5 - 6.7, pH mempunyai
peranan penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan di air,
sehingga pH dalam suatu perairan dapat dipakai sebagai petunjuk untuk
menyatakan baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Banerjea
(1971), menyatakan bahwa nilai pH yang berkisar antara 6,5-8,5 menunjukkan
tingkat kesuburan perairan tersebut berkisar antara cukup produktif sampai
produktif. Menurut Sutrisno (1991), bahwa kebanyakan mikroorganisme seperti
fitoplankton tumbuh baik pada pH 6,0-8,0. Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukkan bahwa pH air di Rawa Kongsi cocok untuk kehidupan ikan dan
plankton.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH terendah ada pada stasiun III
dengan nilai 6.5, hal ini diduga akibat pengaruh limbah rumah tangga penduduk
sekitar yang dibuang langsung ke perairan rawa sehingga limbah menumpuk di
dasar

perairan maka banyak mikroorganisme melakukan proses dekomposisi

secara anaerob yang akhirnya menyebabkan pH di perairan menurun. Sesuai
dengan Ayu (2009) yang menyatakan bahwa semakin berkurangnya nilai pH

Universitas Sumatera Utara

58

didukung oleh semakin meningkatnya masukan senyawa- senyawa yang berasal
dari aktifitas penduduk. Aktivitas penduduk umumnya membawa limbah bahan
organik.
Nilai pH suatu perairan adalah salah satu parameter yang cukup penting
dalam pemantauan kualitas air. Nilai pH dipengaruh oleh beberapa faktor antara
lain aktifitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah, pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa
kimia (Effendi, 2003), sementara Salwiyah (2011) menyatakan suatu perairan
dengan pH 5,5 - 6,5 dan pH lebih besar dari 8,5 termasuk perairan yang tidak
produktif, perairan dengan pH 6,5 – 7,5 termasuk perairan yang produktif dan
perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai produksi yang tinggi. Dengan
demikian, maka kodisi pH yang didapatkan masih dalam batas toleransi yang
wajar sehingga fitoplankton masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Nilai pH di setiap stasiun tidak menunjukkan perbedaan mencolok.
Perubahan lingkungan pada suatu perairan akan mempengaruhi keberadaan
plankton baik langsung atau tidak langsung dimana keberadaan fitoplankton
sangat tergantung pada kondisi lingkungan

perairan

yang

sesuai

dengan

hidupnya dan dapat menunjang kehidupannya. Menurut PP No 82 Tahun 2001,
derajat keasaman (pH) yang diperlukan untuk mendukung kehidupan ikan dan
jasad hidup lainnya adalah berkisar 6-9.
Dissolved Oxygen (DO)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai DO yang terdapat pada perairan
Rawa Kongsi berkisar 2.16mg/L – 2.33mg/L, Oksigen diperlukan oleh organisme

Universitas Sumatera Utara

59

air untuk menghasilkan energi yang penting bagi proses pencernaan dan asimilasi
makanan pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Menurut
Wardana (1995) kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/L sudah cukup untuk
mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Dengan demikian
fitoplankton dapat bertumbuh di perairan Rawa Kongsi.
Tingginya kandungan oksigen terlarut pada stasiun I diduga karena pada
stasiun I masih termasuk lokasi yang masih terjaga tidak ada terdapat aktivitas
apapun sehingga pertumbuhan fitoplankton lebih medukung. Hal ini sesuai
dengan Soeprobowati dan Suedy (2010) bahwa jika perairan tidak ada tumbuhan
airnya memiliki kandungan oksigen terlarut (DO) yang tinggi sementara yang
tertutup tumbuhan air konsentrasinya rendah.
Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun III diikuti dengan
tingginya suhu pada stasiun III, kandungan oksigen terlarut berbanding terbalik
dengan suhu. Menurut Bahri, dkk (2015) suhu rendah sehingga meningkatkan
kelarutan oksigen dalam air tinggi. Oksigen dari atmosfer akan lebih mudah
berdifusi tidak hanya pada suhu rendah. Hal ini juga dinyatakan oleh Fardiaz
(1992), bahwa kenaikan suhu air akan menimbulkan jumlah oksigen terlarut di
dalam air menurun serta kecepatan reaksi kimia meningkat.
Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia yang berperan pada kehidupan
biota perairan. Penurunan oksigen terlarut
pengambilan

oksigen

bagi

dapat

biota perairan

mengurangi

sehingga

efisiensi

menurunkan

kemampuannya untuk hidup normal. Berdasarkan kriteria pencemaran perairan
menurut Sitorus (2009) dilihat dari oksigen terlarutnya (DO), nilai yang didapat
pada pengamatan di perairan, Rawa Kongsi merupakan perairan tercemar sedang.

Universitas Sumatera Utara

60

Rendahnya kadar oksigen terlarut (DO) pada perairan Rawa Kongsi
disebabkan oleh karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen.
Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan non organik
yang berasal dari limbah rumah tangga masyarakat sekitar, limbah pertanian,
kotoran (hewan dan manusia) serta sampah organik yang dibuang ke dalam
perairan. Menurut Connen dan Miller (1995) bahwa sebagian besar dari zat
pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik.
Kadar oksigen terlarut (DO) meningkat diikuti dengan meningkatnya nilai
kecerahan dan intensitas cahaya dan sebaliknya kadar oksigen terlarut (DO)
rendah diikuti dengan rendahnya nilai kecerahan dan intensitas cahaya. Menurut
Hardiyanto, dkk (2012) bahwa cahaya matahari dibutuhkan fitoplankton untuk
proses fotosintesis. Dengan adanya fotosintesis yang baik maka DO di dalam
perairan akan semakin meningkat juga.
Klorofil-a
Hasil analisis klorofil-a pada ke empat stasiun diperoleh nilai klorofil-a
berkisar antar 2.157 mg/m3 – 2.575 mg/ m3. Dari hasil penelitian nilai klorofil-a
tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 2.575 mg/ m3, hal ini disebabkan oleh
tingginya kecerahan yang dapat meningkatkan laju fotosintesis pada fitoplankton.
Sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun III yaitu 2.157 mg/ m3, hal ini
disebabkan oleh karena pembuangan limbah rumah tangga langsung ke lokasi
stasiun III sehingga menjadikan perairan lebih keruh sehingga kecerahan
berkurang. Sesuai dengan Pitoyo dan Wiryanto (2002) semakin banyak jumlah
klorofil dalam suatu satuan luas akan meningkatkan penangkapan cahaya

Universitas Sumatera Utara

61

Menurut Soeprobowati dan Suedy (2010), bahwa klorofil-a merupakan
salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer perairan.
Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi
suatu

perairan.

Beberapa

parameter

fisik-kimia

yang

mengontrol

dan

mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya, nutrient. Hal ini
sesuai dengan nilai intensitas cahaya dan kecerahan yang diperoleh berbanding
lurus dengan nilai klorofil-a.
Sebagai parameter biologi , klorofil-a sering dijadikan sebagai indikator
kestabilan dan kesuburan. Oleh sebab itu, klorofil-a mempunyai peranan penting
dalam rantai makanan di ekosistem perairan. klorofil-a merupakan pigmen yang
paling dominan dimiliki oleh fitoplankton. Menurut Wibowo (2004), pembagian
tingkat trofik perairan berdasarkan klorofil-a, bahwa perairan Rawa Kongsi
termasuk ke dalam kategori oligotrofik (> 2,5 mg/m3) yaitu tingkat kesuburannya
rendah dengan nilai rata – rata 2,458 mg/m3.
Produktivitas Primer Perairan
Nilai produktivitas primer terendah pada stasiun III, diikuti dengan nilai
kandungan oksigen terlarut paling rendah ada pada stasiun III. Hal ini disebabkan
karena senyawa organik yang dihasilkan fitoplankton lebih sedikit pada stasiun
III, dimana senyawa organik tersebut dibentuk dari senyawa anorganik seperti
karbondioksida, air kemudian melalui proses fotosintesis. Menurut Wibowo
(2004), bahwa produktivitas primer dapat diartikan sebagai laju pembentukan
senyawa organik dari senyawa anorganik. Produktivitas primer juga dianggap
sama dengan fotosintesis. Dengan memanfaatkan energi cahaya matahari yang
ditangkap oleh klorofil dalam kloroplast akan terjadi proses fotosintesis. Oksigen

Universitas Sumatera Utara

62

yang dihasilkan dari proses fotosintesis tersebut dilepas untuk dipergunakan oleh
organisme lain dalam proses respirasi.
Produktivitas primer bersih lebih tinggi pada stasiun I dimana stasiun ini
memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Dimana cahaya sangat mempengaruhi produktiitas perairan karena cahaya dan
klorofil digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, hal ini sesuai
dengan Pitoyo dan Wiryanto (2001) menyatakan cahaya merupakan komponen
utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap
nilai produktivitas primer perairan.
Tingginya konsentrasi nilai klorofil-a pada stasiun I sangat baik untuk
melakukan proses fotosintesis sehingga nilai produktivitas primer perairan juga
tinggi. Sebaliknya rendahnya nilai produktivitas primer pada stasiun III diduga
karena keanekaragaman fitoplankton pada stasiun III lebih rendah, hal ini dapat
dilihat berdasarkan konsentrasi klorofil-a pada stasiun III cenderung lebih rendah,
karena fitoplankton berperan sebagai produsen primer. Menurut Barus (2004),
pengaruh keanekaragaman plankton di suatu ekosistem perairan dapat
menyebabkan laju fotosintesis yang tinggi sehingga menghasilkan produktivitas
primer yang tinggi.
Pengukuran produktivitas primer di perairan Rawa Kongsi dilakukan
dengan memperhitungkan intensitas matahari saat penyinaran tertinggi. Dengan
dasar itu dilakukan pengingkubasian untuk menghitung besarnya produktivitas
primer fitoplankton dalam suatu perairan serta menghubungkannya dengan
konsentrasi klorofil-a. Soeprobowati dan Suedy (2010), mengemukakan
produktivitas primer perairan yang berhubungan sangat erat dengan kandungan

Universitas Sumatera Utara

63

klorofil fitoplankton. Besarnya produktivitas primer fitoplankton merupakan
ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton
suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas
penghuninya, sebaliknya produktivitas primer fitoplankton yang rendah
menunjukkan daya dukung yang rendah pula.
Produktivitas primer dihitung secara tidak langsung dengan mengikuti alur
fotosintesis. Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung produktivitas
primer perairan adalah dengan menghitung besarnya perubahan oksigen dalam
suatu medium, karena oksigen merupakan zat yang akan dilepaskan dalam suatu
siklus fotosintesis, dan digunakan untuk penguraian hasil fotosintesis dalam
respirasi.
Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver. 18.00
Hasil uji analisis korelasi antara beberapa faktor fisik-kimia perairan
berbeda tingkat korelasi serta dengan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan
terjadi hubungan yang searah antara faktor fisika kimia perairan dengan nilai
produktivitas primer, apabila nilai satu parameter
produktivitas primer juga

meningkat maka nilai

akan meningkat. Sedangkan nilai (–) menjelaskan

hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisika kimia perairan
dengan nilai produktivitas primer, semakin besar nilai faktor fisika kimia perairan
maka nilai produktivitas primer akan semakin kecil sebaliknya jika semakin kecil
nilai faktor disika-kimia perairan maka nilai produktivitas primer akan semakin
besar. Analisis korelasi dari setiap parameter fisika kimia terhadap nilai
produktivitas primer perairan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Universitas Sumatera Utara

64

Klorofil-a, DO, pH, kecerahan dan intensitas cahaya mempunyai korelasi
searah dengan produktivitas primer perairan Rawa Kongsi sedangkan suhu
memiliki korelasi yang berlawanan arah dengan produktivitas primer perairan.
Menurut Hastono (2001), berdasarkan interval koefisien korelasi yang diperoleh
maka tingkat hubungan antar faktor dapat diketahui. Nilai korelasi antara
produktivitas primer dengan klorofil-a sebesar 0.918, maka hubungan korelasi
antara klorofil-a dengan produktivitas primer memiliki tingkat hubungan yang
sangat kuat, diikuti dengan DO memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat
dengan nilai 0.870, suhu dengan nilai - 0.870 tingkat hubungannya yang sangat
kuat. Kecerahan dengan nilai korelasi 0.942 memiliki hubungan yang sangat kuat
serta intensitas cahaya dengan nilai 0.882 juga memiliki hubungan yang sangat
kuat.
pH memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat dengan nilai 0.853.
Parameter suhu menunjukkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding
terbalik dengan produktivitas primer, maksudnya adalah semakin tinggi suhu
perairan maka produktivitas primer perairan akan rendah dan sebaliknya jika suhu
perairan semakin menurun maka produktivitas primer perairan Rawa Kongsi akan
meningkat.
Rekomendasi Pengelolaan
Perairan Rawa Kongsi merupakan salah satu perairan daratan yang bersifat
tergenang sehingga limbah – limbah yang masuk ke dalam perairan akan
bertumpuk seiring dengan pemasukannya setiap hari. Upaya yang dapat dilakukan
supaya perairan Rawa ini tidak masuk ke dalam kategori tercemar berat maka
masyarakat setempat harus melakukan hal – hal berikut:

Universitas Sumatera Utara

65

1. Melibatkan stake holder / pemegang kekuasaan dari perairan rawa Kongsi.
2. Aktivitas peternakan yang intensif di sekitar rawa Kongsi tidak mengonsumsi
pakan yang mengandung bahan kimia yang berlebihan.
3. Aktivitas pertanian menggunakan pupuk yang tidak mengandung bahan kimia
yang berlebihan.
4. Pembuangan limbah rumah tangga tidak langsung ke badan air dan tidak
sembarangan
Menurut Wibowo (2004), bahwa pengelolaan dan penyelesaian masalah
lingkungan harus menggunakan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem
menyertakan tiga aspek utama yaitu masyarakat, ekonomi dan lingkungan. Ketiga
aspek tersebut berada dalam satu lingkaran tertutup. Tidak satu pun dari ketiga
aspek tersebut yang dapat dikorbankan demi tujuan satu aspek yang lain.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu alternative pengambilan
keputusan yang dinilai cukup bijaksana. Diharapkan masyarakat juga mampu
bekerja sama dengan pemerintah dan akademisi untuk mendapatkan keputusan
yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

66

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Produktivitas primer tertinggi pada permukaan perairan Rawa Kongsi terdapat
pada stasiun I dengan nilai 600.576 mgC/m3/hari sedangkan terendah terdapat
pada stasiun III dengan nilai 300.288 mgC/m3/hari.

Tinggi rendahnya

produktivitas primer pada setiap stasiun dipengaruhi oleh kecerahan, intensitas
cahaya dan klorofil-a.
2. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara laju produktivitas primer perairan
dengan klorofil-a dan faktor fisika kimia perairan (suhu, kecerahan, intensitas
cahaya, DO dan pH) dengan nilai > 0,76 . Berdasarkan kandungan klorofil-a
maka tingkat trofik perairan Rawa Kongsi termasuk dalam oligotrofik yaitu
tingkat kesuburannya rendah (tidak subur) dengan nilai rata – rata klorofil-a
adalah 2,458 mg/m3.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan perlu adanya
penelitian lanjutan mengenai produktivitas primer perairan di Rawa Kongsi
berdasarkan musim sehingga data yang diperoleh dapat dibandingkan untuk
menentukan kesuburan perairan Rawa Kongsi pada musim penghujan dengan
musim kemarau.

Universitas Sumatera Utara

22

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Rawa
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu
kesatuan. Di dalam ekosistem perairan terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik
(produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal
balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu bentuk
ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan
suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam
dengan aliran tertentu (Silalahi, 2009).
Suatu perairan disebut rawa bila perairan tersebut dangkal d