Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbiter merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di sengketa-sengketa atau negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.

2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani

Sengketa Ekonomi Syariah Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis perkara yang menjadi kewenangannya, seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam dan atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam. Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti dan keterangan, dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada Yusna Zaida, 2007: 9. Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Semenjak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah. Dasar hukum kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun

1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 Ayat 1 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pasal 25 Ayat 3 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini semakin mempertegas kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Selain itu hal ini juga mensejajarkan Pengadilan Agama dengan lingkup pengadilan lain sehingga sudah sepatutnya Pengadilan Agama diberikan kepercayaan untuk menangani suatu sengketa yang timbul dari berbagai bisnis syariah.

b. Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006

Jo Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 membawa perubahan yang fundamental dalam tugas dan kewenangan Pengadilan Agama yaitu terkait ekonomi syariah. Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Kompetensi absolut peradilan agama mengenai sengketa ekonomi syariah sebagaimana tercantum dalam UU No 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa jika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa, maka penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, Peradilan Agama diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah. Untuk itu dituntut kesiapan lembaga tersebut dalam banyak hal, termasuk di dalamnya kesiapan hukum substantif yang tidak terlepas dari hukum Islam sebagai pijakan. Di samping menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini para hakim dan aparatur lainnya Yusna Zaida, 2007:4. Meskipun UU No 3 Tahun 2006 telah diubah dengan UU No 50 Tahun 2009, namun pada Pasal 49 huruf i terkait kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah tidak berubah.

c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008, memberi kewenangan absolut peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, khususnya sengketa Perbankan Syariah makin kuat, karena dalam Pasal 55 Ayat 1 UU No 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama. Sehingga apabila terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. Penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU No 21 tahun 2008 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: 1 Musyawarah; 2 Mediasi perbankan; 3 Melalui Basyarnas atau lembaga arbritase lain; 4 Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini berarti UU No 21 Tahun 2008 juga memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Sehingga menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut Peradilan Agama di bidang Perbankan Syariah. Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam sengketa Perbankan Syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Untuk itu Dadan Muttaqien, dosen Universitas Islam Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi agar menyelesaikan persoalan yang membingungkan para praktisi Perbankan Syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 Ayat 2 huruf d UU No 21 Tahun 2008 Achmad Cholil, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, http:www.hukumonline.comberitabacahol21872 dualisme -penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 Pukul 19:00 WIB Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait penjelasan Pasal 55 Ayat 2 huruf d UU No 21 Tahun 2008. Ia mengajukan penarikan kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9PUU- VIII2010 yang isinya adalah mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon, menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No 21 Tahun 2008 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 dan UU No 21 Tahun 2008 hal ini menjadi wacana baru di Pengadilan Agama karena sebelumnya hanya menangani sengketa terkait perkawinan, waris dan shadaqoh. Sehingga perangkat hukum di Pengadilan Agama perlu belajar lagi mengenai hukum ekonomi syariah sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan eksistensinya menangani sengketa tesebut. B. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama