Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan

ABSTRACT
DIAN PERMANA PUTRA. Contamination of Staphylococcus aureus in Chicken
Meat Sold in Markets in South Tangerang. Under direction of DENNY
WIDAYA LUKMAN.
The aim of this study was to observe the total of Staphylococcus aureus in
chicken meat sold in markets in South Tangerang City. This study was conducted
using survey method by interviewing the vendors of chicken meat as respondents
and observation the condition of marketplaces using questionnaires and sampling
the chicken meat for laboratory examination. Total of 24 chicken meat samples
was obtained purposively from 3 traditional markets, i.e., Pasar Modern, Pasar
Bukit, and Pasar Jombang, and was examined with the spread plate method (the
plate count method). The result of observation showed that Pasar Modern had the
best criteria of general hygienic practices. Nevertheless, the laboratory result
found that the chicken meat samples from Pasar Modern showed the highest
amount of S. aureus (1116.0 + 1461.0 cfu/gram) and it was followed by Pasar
Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram) and Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram),
with the mean of 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Compared to the maximum limit of
microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI
7688:2009), 80% of chicken samples from Pasar Modern were higher than the
standard (maximum limit = 100 cfu/gram), and then 66.7% of samples from Pasar
Jombang and 54.5% of samples from Pasar Bukit were higher than the standard.

The high number of S. aureus contamination in chicken meat was supposed in
relation with inadequate personal hygiene practices and lack of cold chain from
poultry processing plant until marketplace. This condition should be considered
as a risk of food intoxication for the consumers since the presence of S. aureus in
food in high number could produce the toxin which is heat-stable.
Keywords: Staphylococcus aureus, chicken meat, markets in South Tangerang
City

RINGKASAN
DIAN PERMANA PUTRA. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam
yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DENNY
WIDAYA LUKMAN.
Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi
masyarakat. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan produk olahannya
semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah,
serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Pangan asal
hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai
pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially
hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan
bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang

berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan.
Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan
ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut
untuk menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya
ditemukan pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988
menunjukkan bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan
oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait
dengan hidangan dari daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika
Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus.
S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di
kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu
pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena
hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun.
Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang
dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food
intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus
memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus
penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika
melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak
1 µg. Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang

dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg.
Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala
klinis dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada
saluran pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh
rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang
muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare.
Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S.
aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional di Tangerang
Selatan. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai
kondisi higiene penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam
yang dijual di pasar tradisional di Tangerang Selatan sebagai masukan dalam
rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan wawancara
kepada pedagang daging ayam sebagai responden dan observasi kondisi tempat
penjualan daging ayam menggunakan kuesioner, serta pengambilan sampel
daging ayam. Sebanyak 24 sampel daging ayam diambil secara purposif dari tiga
pasar tradisional (Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang) dan diuji
terhadap jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan (plate count method)
dengan cara sebar (spread plate method) menggunakan agar Baird-Parker yang

ditambah egg yolk tellurite berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor
2897 Tahun 2008.
Berdasarkan observasi, pasar yang mempunyai kriteria yang paling baik dari
aspek higiene adalah Pasar Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan
bahwa jumlah S. aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi
adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8
cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 +
1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka sampel
daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar
Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang
(66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik higiene
personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah potong unggas
sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat keberadaan S.
aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin yang tahan panas dapat
berisiko menyebabkan keracunan makanan pada konsumen.
Kata kunci: Staphylococcus aureus, daging ayam, pasar di Kota Tangerang
Selatan

CEMARAN Staphylococcus aureus PADA DAGING AYAM

YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR
DI TANGERANG SELATAN

DIAN PERMANA PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Cemaran
Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di
Tangerang Selatan adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012
Dian Permana Putra
B04080084

ABSTRACT
DIAN PERMANA PUTRA. Contamination of Staphylococcus aureus in Chicken
Meat Sold in Markets in South Tangerang. Under direction of DENNY
WIDAYA LUKMAN.
The aim of this study was to observe the total of Staphylococcus aureus in
chicken meat sold in markets in South Tangerang City. This study was conducted
using survey method by interviewing the vendors of chicken meat as respondents
and observation the condition of marketplaces using questionnaires and sampling
the chicken meat for laboratory examination. Total of 24 chicken meat samples
was obtained purposively from 3 traditional markets, i.e., Pasar Modern, Pasar
Bukit, and Pasar Jombang, and was examined with the spread plate method (the
plate count method). The result of observation showed that Pasar Modern had the
best criteria of general hygienic practices. Nevertheless, the laboratory result

found that the chicken meat samples from Pasar Modern showed the highest
amount of S. aureus (1116.0 + 1461.0 cfu/gram) and it was followed by Pasar
Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram) and Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram),
with the mean of 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Compared to the maximum limit of
microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI
7688:2009), 80% of chicken samples from Pasar Modern were higher than the
standard (maximum limit = 100 cfu/gram), and then 66.7% of samples from Pasar
Jombang and 54.5% of samples from Pasar Bukit were higher than the standard.
The high number of S. aureus contamination in chicken meat was supposed in
relation with inadequate personal hygiene practices and lack of cold chain from
poultry processing plant until marketplace. This condition should be considered
as a risk of food intoxication for the consumers since the presence of S. aureus in
food in high number could produce the toxin which is heat-stable.
Keywords: Staphylococcus aureus, chicken meat, markets in South Tangerang
City

RINGKASAN
DIAN PERMANA PUTRA. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam
yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DENNY
WIDAYA LUKMAN.

Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi
masyarakat. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan produk olahannya
semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah,
serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Pangan asal
hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai
pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially
hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan
bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang
berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan.
Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan
ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut
untuk menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya
ditemukan pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988
menunjukkan bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan
oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait
dengan hidangan dari daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika
Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus.
S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di
kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu
pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena

hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun.
Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang
dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food
intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus
memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus
penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika
melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak
1 µg. Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang
dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg.
Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala
klinis dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada
saluran pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh
rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang
muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare.
Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S.
aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional di Tangerang
Selatan. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai
kondisi higiene penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam
yang dijual di pasar tradisional di Tangerang Selatan sebagai masukan dalam
rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.


Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan wawancara
kepada pedagang daging ayam sebagai responden dan observasi kondisi tempat
penjualan daging ayam menggunakan kuesioner, serta pengambilan sampel
daging ayam. Sebanyak 24 sampel daging ayam diambil secara purposif dari tiga
pasar tradisional (Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang) dan diuji
terhadap jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan (plate count method)
dengan cara sebar (spread plate method) menggunakan agar Baird-Parker yang
ditambah egg yolk tellurite berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor
2897 Tahun 2008.
Berdasarkan observasi, pasar yang mempunyai kriteria yang paling baik dari
aspek higiene adalah Pasar Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan
bahwa jumlah S. aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi
adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8
cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 +
1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka sampel
daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar
Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang
(66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik higiene

personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah potong unggas
sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat keberadaan S.
aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin yang tahan panas dapat
berisiko menyebabkan keracunan makanan pada konsumen.
Kata kunci: Staphylococcus aureus, daging ayam, pasar di Kota Tangerang
Selatan

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

CEMARAN Staphylococcus aureus PADA DAGING AYAM
YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR
DI TANGERANG SELATAN

DIAN PERMANA PUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi : Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang
Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan
Nama
: Dian Permana Putra
NIM
: B04080084

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi.
Ketua

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian
yang diambil adalah Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang
Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya
Lukman, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh
kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak drh
Suparno, M.Si. sebagai Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan
(BPMPP) Bogor yang telah memberikan ijin dan dukungannya dalam penelitian
ini. Kepada Bapak drh. Imron Suandy, MVPH, Bapak drh. Eko, Ibu Tuti, Ibu drh.
Eri, Ibu drh. Ika, serta seluruh staf dan laboran di BPMPP yang telah banyak
membantu kelancaran penelitian ini disampaikan ucapan terima kasih.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik
tersayang (Iswandi, Eva Lindra, dan Gina Permata Sari), dan Om, Tante, kakak,
dan adik (Yulizar, Harnelli Hevi, Kemala Meilinda Putri, dan Deka Permana
Putra), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan
selama penelitian dan skripsi (Meriza dan Kiki). Ucapan terima kasih disampaikan
juga kepada teman-teman seangkatan Avenzoar 45, serta keluarga besar Ikatan
Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Ikatan Keluarga
Mahasiswa Payakumbuh (IKMP) yang sama-sama berjuang dalam menempuh
pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan,
untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2012
Dian Permana Putra

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 28
November 1989 dari ayah Iswandi dan ibu Eva Lindra. Penulis merupakan putra
pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 01 Tanjung Jati, Kabupaten
Lima Puluh Kota dan lulus pada tahun 2002, yang kemudian dilanjutkan ke
MTsN Padang Japang, Kabupaten 50 Kota dan lulus pada tahun 2005.
Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA N 1 Suliki, Kabupaten 50 Kota dan
lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian
Bogor.

Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Minang (IPMM) Bogor, Ikatan Keluarga Mahasiswa Payakumbuh (IKMP),
Komunitas Seni STERIL FKH IPB, serta Himpunan Minat dan Profesi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB. Penulis juga aktif sebagai
Asisten Praktikum Anatomi Veteriner 1 pada Tahun Akademik 2009-2010.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ………………………………………...………...........

xi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................

xiii

PENDAHULUAN ……………………………………………………......
Latar Belakang …………………………………...…………….......
Tujuan ……………………………………………...………….........
Manfaat …………………………………………………………......

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………........
Karakteristik Staphylococcus aureus ................................................
Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan ................

4
4
6
9

BAHAN DAN METODE ………………………………….......…….......
Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........
Desain Penelitian ...............................................................................
Pengambilan dan Besaran Sampel ……………………………….....
Bahan dan Alat …………………………………………………......
Pengujian Staphylococcus aureus ......................................................
Analisis Data ……………………………………………………......

15
15
15
15
15
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….........
Karakteristik Tempat Penjualan Ayam ..............................................
Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam ..............
Jumlah Staphylococcus aureus pada Daging Ayam ..........................
Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan ...................

18
18
21
24
28

SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….......
Simpulan ............................................................................................
Saran ..................................................................................................

31
31
31

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..……......

33

LAMPIRAN ...............................................................................................

39

x

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin .........

6

2

Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara

10

3

Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan ................

10

4

Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta,
Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 ..................................................

11

5

Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di Pasar Cina

11

6

Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi
Staphylococcus aureus .........................................................................

13

Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media
isolasi ...................................................................................................

13

Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai
responden di Kota Tangerang Selatan .................................................

18

Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang
diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan .......................

22

10 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi
batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di
pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ................................................

25

7
8
9

xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Skema pengujian jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di
pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ................................................

17

xii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2

Jumlah Staphylococcus aureus pada sampel daging ayam di pasarpasar di Kota Tangerang Selatan .........................................................

40

Kuesioner tentang karakteristik pedagang dan tempat penjualan
daging ayam (kios) di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ............

41

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai penduduk
terbesar keempat di dunia (Hutapea 2011). Berdasarkan sensus penduduk yang
dilakukan pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia yaitu sebesar 237.6 juta
jiwa, sedangkan pada tahun 2011 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia
bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih (Alimoeso 2011).

Hal tersebut

menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan, terutama pangan asal
hewan. Jumlah kebutuhan pangan asal hewan terutama daging sangat tinggi,
namun jumlah yang dapat diproduksi tiap tahunnya masih rendah. Oleh karena
itu, pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan program swasembada daging
untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Daging ayam adalah produk dari peternakan unggas yang sangat penting
untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Permintaan konsumen terhadap daging

ayam dan juga produk olahan semakin tinggi karena harganya yang terjangkau,
kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang
untuk pengolahannya (Álvarez-Astorga et al. 2002).

Kondisi tersebut sesuai

dengan laporan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang bahwa populasi ayam ras
pada tahun 2000 berjumlah 3020500 ekor, sedangkan produksi daging ayam
petelur berjumlah 953.18 ton. Sementara itu, pada tahun 2002 produksi daging
ayam meningkat menjadi 1140.98 ton, sedangkan untuk produksi ayam ras
pedaging pada tahun 2001 berjumlah 12199.27 ton. Pada tahun 2002 terjadi
kenaikan produksi daging ayam menjadi 15421.65 ton (Anonim 2008).
Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat
menyebabkan penyakit pada konsumen (foodborne disease). Pangan asal hewan
segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan
yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous food)
(Lukman 2009). Selain itu, kebanyakan kasus foodborne disease terkait dengan
konsumsi pangan asal hewan yang mentah atau tidak dimasak dengan baik.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar

2
50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil
ditelusuri adalah pangan asal hewan (Beier dan Pillai 2007).
Tingginya produksi daging ayam harus diikuti dengan peningkatan kualitas
daging ayam. Keberadaan mikroorganisme pada daging ayam biasanya berasal
dari rumah potong atau tempat pemotongan, tempat pengolahan (proses),
penyimpanan, dan pendistribusian.

Secara umum, faktor-faktor yang dapat

menyebabkan kontaminasi adalah higiene personal, peralatan yang digunakan,
cara penjualan, serta lingkungan sekitar.

Mikroorganisme yang umum

mengontaminasi daging ayam antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus, dan
Campylobacter (Bhunia 2008).
Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoksin berperan sebagai
mikroorganisme penyebab intoksikasi makanan (Atanassova et al. 2001; Bhunia
2008). Keberadaan S. aureus enterotoksigenik dalam pangan merupakan masalah
(ancaman) dalam kesehatan masyarakat karena terkait dengan kemampuan bakteri
tersebut untuk menimbulkan gejala klinis pada konsumen.

S. aureus

menghasilkan toksin jika populasinya telah melebihi 105 cfu/gram (Gorman et al.
2002).

Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin biasanya dihubungkan

dengan daging, daging unggas, dan produknya (Wieneke et al. 1993). Walaupun
sumber utama S. aureus adalah manusia, produk unggas telah banyak terlibat
dalam wabah intoksikasi makanan (Cunningham 1988).

Bryan (1988)

menunjukkan bahwa dari 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S.
aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan
hidangan dari daging ayam. Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak
400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus (Cook dan Cook 2006).
Pada kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh S. aureus tidak ditemukan
infeksi di tubuh konsumen secara menyeluruh dan orang yang mengonsumsi
bakteri S. aureus hidup tidak harus menimbulkan gejala klinis atau sakit. Dengan
demikian, pemanasan makanan tidak mampu mencegah intoksikasi makanan oleh
S. aureus karena toksinnya tahan terhadap panas atau heat stable (Cook dan Cook
2006).
Melihat banyaknya penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran
mikroorganisme patogen, khususnya S. aureus, maka perlu dilakukan penelitian

3
mengenai S. aureus pada daging ayam di Tangerang Selatan melalui pemeriksaan
sampel daging secara acak dari pasar-pasar tradisional yang tersebar di Tangerang
Selatan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S.
aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional Tangerang
Selatan.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kondisi higiene
penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam yang dijual di
pasar di Tangerang Selatan sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan
pengawasan pangan asal hewan.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Staphylococcus aureus
Bakteri
berkebangsaan

Staphylococcus
Skotlandia

pertama kali

sebagai

akibat

ditemukan oleh ahli
banyaknya

infeksi

bedah

piogenik

(terbentuknya pus) pada manusia (Martin dan Landolo 1999; Adams dan Moss
2008). Staphylococcus aureus adalah salah satu spesies dari 32 spesies dalam
genus Staphylococcus.

Spesies yang lain pada umumya tidak menginfeksi

manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia.

Nama Staphylococcus sendiri

berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang
berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus atau bulat (Martin dan
Landolo 1999); sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yaitu “gold”
yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook
dan Cook 2006; Bhunia 2008).
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang bersifat Gram positif dan tidak
motil (Holt 1994 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002; Bhunia 2008). S. aureus
hidup di kulit (Meggitt 2003) dan membran mukosa dari hewan berdarah panas.
Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di
membran hidung karena hangat dan basah (Genigeorgis 1989, Jablonski dan
Bohach 1997 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002 ). S. aureus dapat ditemukan
di hidung pada 10-40% manusia dewasa (Meggitt 2003). Selain itu S. aureus juga
ditemukan pada habitat lain, seperti di dalam air, bahan yang busuk, dan di
berbagai permukaaan (Cook dan Cook 2006).
Bakteri S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun. Bakteri
ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah itu dapat
ditemukan pada seluruh bagian tubuh dengan jumlah yang sedikit (Mead 1989;
ICMSF 1998). S. aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki
metabolisme melalui respirasi atau fermentasi. S. aureus memiliki sifat katalase
positif dan mampu memecah sebagian besar karbohidrat (Harvey dan Gilmour
2000).
Bakteri S. aureus tumbuh optimum pada suhu sekitar 37 °C dan mampu
bertahan pada suhu rendah di bawah 8 °C, sehingga digolongkan menjadi bakteri

5
mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh adalah
pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin
dan Landolo 1999). S. aureus adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas
air (a w ) yang rendah, yaitu minimum 0.86 (ICMSF 1980; Reichart dan Fung 1976
yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Selain itu, S. aureus dapat tumbuh
pada konsentrasi garam yang tinggi sehingga disebut osmotoleran (Anonim 2011).
Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin,
yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan
(food intoxication) pada konsumen (Halpin-Dohnalek dan Marth 1989 yang
dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Keenam enterotoksin tersebut adalah A,
B, C1, C2, D, dan E (SEA, SEB, dan lain-lain), yang mana tipe A dan D banyak
ditemukan di makanan. Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal
yang bersifat antigenik dengan berat molekul 26-29 kDa (Normanno et al. 2005).
Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas
atau heat resistant (Meggitt 2003). Kebanyakan enterotoksin tersebut mampu
bertahan pada suhu didih dalam makanan sampai 30 menit dan enterotoksin tipe B
menunjukkan stabilitas paling tinggi. Enterotoksin tipe B akan kehilangan 6070% aktivitasnya dalam beberapa menit pada suhu di atas 80 °C. Pengaktifan
kembali dapat terjadi selama penyimpanan yang lama pada suhu kamar atau
pemanasan pada suhu lebih tinggi (Forsythe dan Hayes 1998). Toksin ini bersifat
neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten
terhadap enzim proteolitik seperti tripsin, kimotripsin, renin, dan papain (Bergdoll
dan Wong 2006).

Secara rinci, pertumbuhan S. aureus dan produksi

enterotoksinnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Keberadaan sejumlah besar S. aureus dalam makanan tidak berarti bahwa
enterotoksin dihasilkan.

Banyak faktor

yang mempengaruhi produksi

enterotoksin, antara lain jenis makanan, nilai pH (enterotoksin sedikit dihasilkan
pada pH di bawah 5.0), suhu (suhu optimum produksi enterotoksin 37 °C, namun
rentang suhu cukup lebar), keberadaan oksigen (produksi enterotoksin buruk pada
kondisi anaerob) dan keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat
pertumbuhan S. aureus (Forsythe dan Hayes 1998).

6
Tabel 1

Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin
(Pawsey 2002)

Karakteristik

Suhu °C

pH

Aktivitas air (a w )

Atmosfer

37

6-7

0.98

Aerobik

Rentang (range)
pertumbuhan (di bawah
kondisi optimum)

7-48

4-10

0.83 - >0.99
(aerobik)

Anaerobikaerobik

Optimum untuk
produksi toksin

40-45

7-8

0.98

Aerobik (5-20%
dissolved
oxygen)

Rentang produksi
toksin (di bawah
kondisi optimum)

10-48

4.5-9.6
(aerobik)

0.87 - >0.99
(aerobik)

Anaerobikaerobik

Optimum untuk
pertumbuhan

0.90 - >0.99
(anaerobik)

0.92 - >0.99
(anaerobik)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh
enterotoksin S. aureus adalah: (1) galur S. aureus penghasil enterotoksin berada
pada makanan selama produksi, pengolahan, atau penyiapan makanan; (2) bakteri
dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah
ribuan S. aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan
sebelum tercemar S. aureus, atau makanan mengandung banyak garam atau gula;
(4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau
dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah,
atau kondisi yang tidak buruk sebelum S. aureus menghasilkan enterotoksin; (5)
makanan, setelah tercemar oleh S. aureus, kondisi makanan mendukung
pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang
suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan S. aureus sampai
menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang
dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan
keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).

Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus
Mikroorganisme patogen yang sering menimbulkan wabah foodborne
disease tidak menyebabkan perubahan fisik pada pangan, sehingga tidak mudah

7
dikenali secara sensoris, melainkan memerlukan pengujian laboratorium.
Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan infeksi pangan (food infection),
toksiko-infeksi pangan (food-toxico infection), dan intoksikasi pangan (food
intoxication) (Lukman 2009). S. aureus merupakan penyebab foodborne illness
terpenting ketiga di dunia.

Beberapa dekade sebelumnya, S. aureus sebagai

penyebab 25% wabah foodborne illness di Amerika Serikat, namun pada tahun
1988 sampai 1992 persentase peran bakteri tersebut dalam wabah foodborne
illness menurun, yaitu 1.8% (1988), 2.8% (1989), 2.4% (1990), 1.7% (1991) dan
1.5% (1992). Selama periode 5 tahun tersebut, S. aureus menyebabkan 5.1%
wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia menyebabkan 4 dari 233 wabah
yang dilaporkan (Normanno et al. 2005).
Kontaminasi S. aureus pada makanan mentah, khususnya yang berasal dari
hewan, biasanya tidak berhubungan dengan kontaminasi dari manusia.
Kontaminasi S. aureus pada karkas/daging berasal dari kulit hewan, bulu, dan
kulit yang berasal dari lesio atau kerusakan jaringan. Kontaminasi S. aureus dari
kulit pada karkas sering tidak dapat dihindarkan (Lancette dan Bennet 2001).
Sejumlah besar S. aureus pada makanan dibutuhkan untuk menyebabkan kejadian
keracunan makanan agar menghasilkan jumlah enterotoksin yang cukup, namun
jumlahnya tidak pasti.

Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat

menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang
diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah 1 µg enterotoksin
cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada
anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg (Forsythe dan Hayes 1998).
Masalah utama dalam mengidentifikasi enterotoksin pada makanan adalah
kadar enterotoksin pada makanan yang sangat kecil.

Enterotoksin dapat

teridentifikasi di dalam makanan apabila jumlah Staphylococcus >106 sel/g
(Lancette dan Bennet 2001), sedangkan menurut Bremer et al. (2004) yang
dikutip oleh Malheiros et al. (2010), jumlah S. aureus harus sudah mencapai
minimum 1000 cfu/g atau ml untuk menyebabkan keracunan pada manusia.
Makanan yang terkontaminasi oleh toksin S. aureus akan menimbulkan
gejala klinis pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut dalam rentang
waktu antara 1 dan 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam (Meggitt 2003). Gejala

8
klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah
dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang
muncul biasanya adalah kram perut dan diare (Forsythe dan Hayes 1998; Meggitt
2003). Respon muntah terjadi karena adanya enterotoksin dari S. aureus yang
sering dikategorikan ke dalam neurotoksin berbahaya.

Enterotoksin tersebut

dapat menimbulkan respon muntah karena dapat mengaktifkan reseptor yang ada
di usus yang akan menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan
simpatis (Adams dan Moss 2008).
Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian
besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian.

Bakteri ini

membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut, jerawat,
sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan abses di kulit
dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat menimbulkan
penyakit swimmer’s ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan gangguan di saluran
kemih.

S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan yang serius, seperti

pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis (peradangan
pada meningen dan medulla spinalis), artritis, osteomielitis, dan endokarditis
(Cook dan Cook 2006).
Keberadaan S. aureus dalam makanan harus diinterpretasikan secara hatihati. Adanya bakteri tersebut dalam jumlah besar di makanan tidak cukup untuk
menjadikan makanan tersebut sebagai wahana keracunan makanan karena tidak
semua galur S. aureus memproduksi enterotoksin. Potensi intoksikasi oleh S.
aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian enterotoksigenisitas dari isolat S.
aureus atau membuktikan keberadaan enterotoksin S. aureus dalam makanan.
Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau jumlah S. aureus yang sedikit menjamin
makanan aman (Lancette dan Bennet 2001).
S. aureus merupakan agen foodborne disease yang diisolasi dari rumah
potong unggas (RPU), yang juga penyebab masalah penyakit yang signifikan pada
ayam dan kalkun, walaupun galur yang terlibat biasanya berbeda (Capita et al.
2002). Dalam survei pada 8 RPU yang mengambil sekitar 2500 sampel hati
diperoleh 22 dari 35 galur S. aureus koagulase-positif dan 2 dari 122 galur S.
aureus koagulase-negatif yang merupakan phagetype manusia. Dari 14 galur S.

9
aureus koagulasi-positif, 7 galur bersifat enterotoksigenik.

Hanya 1.6% dari

sampel hati unggas mengandung galur S. aureus koagulase-negatif (Genigeorgis
dan Sadler 1966 yang dikutip oleh Cunningham 1988).
Penelitian Aydin et al. (2011) di Turki mendapatkan bahwa dari 1070
sampel makanan ditemukan 147 galur (13.8%) S. aureus, yang mana 92 galur
(62.6%) diisolasi dari daging (13/13), produk olahan daging (6/6), susu segar
(31/63), perusahaan susu (36/54), perusahaan roti (5/9), dan makanan siap saji
(1/2). Galur ini diisolasi dari sampel yang diambil dari Istanbul (n=42), Edirne
(n=15), Balikesir (n=13), Tekirdag (n=7), Kirklareli (n=7), Bursa (n=6), dan
Canakkale (n=2).
Penelitian Crago et al. (2012) di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai
2010 mendapatkan bahwa dari 693 sampel makanan ditemukan 73 sampel
(10.5%) yang positif terkontaminasi S. aureus, yang mana (29/73) sampel berasal
dari daging (dimasak atau tidak dimasak; daging unggas n=9, daging sapi n=7,
daging babi n=6, dan tidak diketahui 5), (20/73) sampel dari makanan yang
mengandung daging (daging sapi n=8, daging unggas n=4, seafood n=3, daging
babi n=1, dan tidak diketahui 4), (11/73) diisolasi dari makanan yang tidak
mengandung daging, (10/73) diisolasi dari perusahaan susu (susu n=8, keju n=1,
es krim n=1), dan tiga makanan olahan. Pada penelitian ini ditemukan 81%
(59/73) sampel positif terkontaminasi S. aureus yang mana berasal dari daging,
makanan yang berasal dari daging, dan perusahaan susu. Prevalensi S. aureus
pada makanan di beberapa negara dan pada beberapa makanan dapat dilihat pada
Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan
Metode yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung S. aureus
tergantung dari tujuan pengujian.

Makanan yang diduga sebagai penyebab

keracunan S. aureus biasanya mengandung jumlah S. aureus yang sangat tinggi,

10
Tabel 2

Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara

Tempat
León, Barat Daya
Spanyol

Jenis sampel

Prevalensi

Pustaka

Potongan ayam
(kaki, sayap, giblet);
n = 30

Sayap dan giblet 60% (jumlah ratarata log 10 2.47 cfu/g atau log 10 1.65
cfu/cm2)

Álvarez-Astorga et
al. (2002)

Kaki 40% (jumlah rata-rata log 10
3.48 cfu/g atau log 10 2.66 cfu/cm2)
Central Anatolia,
Turki

Sampel makanan, n
= 413

Diisolasi sebanyak 138 galur dan 83
(60.1%) galur menghasilkan satu
atau dua enterotoksin.

Guven et al. (2010)

Portugal

Bermacam sampel
makanan, n = 148

Diobservasi sebanyak 101 (68.2%)

Pereira et al. (2009)

Tidak diketahui

Hati kalkun, n =
360

Sebelum dicuci berjumlah 62
(17%); setelah dicuci berjumlah 3
(3

26

1155

28.7