Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

(1)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN BELANJA

MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

Risuhendi 097017025 / Akuntansi

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN BELANJA

MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

Risuhendi

097017025/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

S

E K

O L

A H

P A

S C

A S A R JA

N


(3)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN BELANJA MODAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Risuhendi 097017025/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(4)

Judul Tesis : Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : Risuhendi Nomor Pokok : 097017025 Program Studi : Akuntansi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak) (Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA,CPA) (Prof.Dr.Ir.A. Rahim Matondang,MSIE)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 20 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak Anggota :1. Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak

2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA 3. Drs. Rasdianto, MA,Ak


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan Tesis yang berjudul :

“Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”.

Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan,

Yang membuat pernyataan :


(7)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan pengujian regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel independen pada penelitian ini adalah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal sedangkan variabel dependen adalah Pertumbuhan Ekonomi. Jumlah populasi penelitian ini sebanyak 33 Pemerintah Kabupaten/Kota dan dengan menggunakan purposive sampling diperoleh 25 Kabupaten/Kota sebagai sampel dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan desentralisasi fiskal dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Secara parsial desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera.


(8)

ABSTRACT

The aim of this research was to know whether fiscal decentralization and capital expenditure had significant influence on the economic development in districts/towns in North Sumatra Province.

The method used in this research was quantitative, using multiple regression tests and the classical assumption tests before finding the best research model. The independence variables in the research were fiscal decentralization and capital expenditure, whereas the dependence variable was the economic development. The population was 33 districts/towns in North Sumatra Province and 25 of them were used as the samples from, conducted from 2006 until 2010.

The results of the research showed that the fiscal decentralization and capital expenditure had significant influence on the economic development of districts/towns in North Sumatra Province. Partially, the fiscal decentralization had significant influence on the economic development of the districts/towns in North Sumatra Province, whereas the capital expenditure did not have significant influence on the economic development of the districts/towns in North Sumatera Province.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”

Tesis ini merupakan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA selaku Ketua Program Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan bertindak sebagai Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan kritik untuk perbaikan hingga selesainya tesis ini.

4. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, SE, M.Si, Ak selaku Sekretaris Program Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan bertindak sebagai Dosen Pembanding.


(10)

5. Ibu Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan saran dalam proses penelitian dan penulisan untuk menyusun tesis ini.

6. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan saran dalam proses penelitian dan penulisan untuk menyusun tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana yang telah membekali ilmu dan pengetahuan penulis selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Sembah sujud Ananda kepada kedua orang tua (Rosmawi S dan Irwanti Iskandar) yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik, mendoakan dan selalu memberi motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Kepada keluarga besar aku Drs. Darmili dan Istri, Hj. Dawiyah nenek , mak Ucok dan bu Dee, Doriyani, bang Opi dan kak Nong, Gun dan Ineng, Rolan dan Niken, Rudi dan Rosi, Rosa, keponakan yang selalu menjadi penyemangat bagi penulis. 10. Pemerintah Kota Simeulue yang telah memberikan bantuan Beasiswa Tugas

Belajar kepada Penulis

11. Teman-temanku seperjuangan Angkatan XVII Program Magister Akuntansi-USU yang telah banyak membantu pada masa perkuliahan dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu.


(11)

12. Bapak dan Ibu tata usaha Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu-ilmu Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari dengan kemampuan dan pengetahuan yang sangat terbatas, penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin...

Medan, Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

A. Data pribadi

Nama : Risuhendi

Tempat/Tanggal Lahir : Sinabang, 29 Januari 1978 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. Harapan Pasti Barat No.8, Medan Telp/HP 081264946535

Pendidikan

- Tamatan Sekolah Dasar Muhammadiyah Sinabang tahun 1990 - Tamatan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sinabang tahun 1993 - Tamatan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Banda Aceh tahun 1996

- Tamatan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2004

B. Pengalaman Kerja

- Sekretaris Bidang pada Bidang Akuntan Negara di Perwakilan BPKP Provinsi NAD.

- Auditor pada Kantor Akuntan Publik PKF Paul Hadiwinata, Hidajat, Arsono, Ade Fatma dan Rekan di Medan.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Originilitas Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Landasan Teori ... 13

2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi ... 13

2.1.2. Desentralisasi Fiskal ... 18

2.1.3. Pengukuran Derajat Fiskal dan Perekonomian Daerah .. 20

2.1.4. Belanja Modal ... 22


(14)

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN DAN PENGEMBANGAN

HIPOTESIS ... 29

3.1. Kerangka Konseptual ... 29

3.2. Hipotesis Penelitian ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN ... 34

4.1. Jenis Penelitian ... 34

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4.3. Populasi dan Sampel ... 34

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

4.5. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel ... 36

4.6. Metode Analisis Data ... 39

4.6.1. Analisis Statistik... 39

4.6.2. Analisis Deskriptis... 39

4.6.3. Uji Asumsi Klasik... 40

4.6.4. Model Pengujian Hipotesis... 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1. Hasil Penelitian ... 44

5.1.1. Deskripsi Data Penelitian... 44

5.1.2. Deskripsi Statistik Data Penelitian... 45

5.2. Pengujian Asumsi Klasik ... 48

5.2.1. Uji Normalitas... 48

5.2.2. Uji Multikolinieritas... 50

5.2.3. Uji Heteroskedastisitas... 51

5.2.4. Uji Autokorelasi... 53

5.3. Uji Hipotesis ... 54

5.3.1. Hasil Uji Koefisien Determinasi... 54


(15)

5.3.3. Hasil Uji Parsial... 56

5.4. Pembahasan ... 58

BAB V1 KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

6.1. Kesimpulan ... 64

6.2. Keterbatasan Data ... 65

6.3. Saran ... 65


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1.

2.1.

2.2.

4.1.

4.2.

5.1.

5.2.

5.3.

5.4.

Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2008 ...

Belanja Modal Kab/Kota di Sumut (Milyar Rupiah)

Review Penelitian Terdahulu ……….

Populasi dan Sampel Penelitian ……….

Definisi Operasional Variabel dan Skala Pengukuran ...

Deskriptif Statistik Data Pertumbuhan Ekonomi, Desentralisasi Fiskal (%) dan Belanja Modal (milyar rupiah) ………...

Hasil Uji Multikolinieritas ……….

Uji Glesjer………...

Uji Autokorelas………...

3

25

27

35

38

45 51

53


(17)

5.5.

5.6.

5.7.

Koefisien Determinasi ………...

Hasil Uji Simultan …………...

Hasil Analisis Koefisien Regresi …..…………... 54

55


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

3.1.

5.1.

5.2.

5.3.

Kerangka Konseptual ……….

Normal P-Plot of Regression Standardized Residual..…...

Histogram ………...

Grafik scatterplots ………..

29

49

49


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

1.

2.

3. 4. 5.

6. 7. 8. 9. 10.

Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten/Kota atas dasar Harga Konstan (%) Tahun 2006-2010

Jumlah PAD, bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota Tahun 2006-2010

Realisasi Pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun 2006-2010 Desentralisasi Fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun 2006-2010 Belanja Modal pemerintah Kabupaten/Kota provinsi Sumatera Utara Tahun 2006-2010

Deskripsi Statistik Uji Asumsi Klasik Histogram

Statistics Uji Hipotesis


(20)

DAFTAR SINGKATAN

BPS : Badan Pusat Statistik

DAU : Dana Alokasi Umum

DAK : Dana Alokasi Khusus

DBH : Dana Bagi Hasil

GNP : Gross national Product

PAD : Pendaptan Asli Daerah

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto


(21)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan pengujian regresi berganda dengan melakukan uji asumsi klasik sebelum mendapatkan model penelitian yang terbaik. Variabel independen pada penelitian ini adalah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal sedangkan variabel dependen adalah Pertumbuhan Ekonomi. Jumlah populasi penelitian ini sebanyak 33 Pemerintah Kabupaten/Kota dan dengan menggunakan purposive sampling diperoleh 25 Kabupaten/Kota sebagai sampel dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan desentralisasi fiskal dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Secara parsial desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera.


(22)

ABSTRACT

The aim of this research was to know whether fiscal decentralization and capital expenditure had significant influence on the economic development in districts/towns in North Sumatra Province.

The method used in this research was quantitative, using multiple regression tests and the classical assumption tests before finding the best research model. The independence variables in the research were fiscal decentralization and capital expenditure, whereas the dependence variable was the economic development. The population was 33 districts/towns in North Sumatra Province and 25 of them were used as the samples from, conducted from 2006 until 2010.

The results of the research showed that the fiscal decentralization and capital expenditure had significant influence on the economic development of districts/towns in North Sumatra Province. Partially, the fiscal decentralization had significant influence on the economic development of the districts/towns in North Sumatra Province, whereas the capital expenditure did not have significant influence on the economic development of the districts/towns in North Sumatera Province.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5% dibanding tahun 2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-masing sebesar Rp 2.082,3 triliun dan Rp 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 naik sebesar Rp 662,0 triliun, yaitu dari Rp 4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp 5.613,4 triliun pada tahun 2009 (Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIII, 10 Februari 2010).

Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 15,5%, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8%, Sektor Konstruksi 7,1%, Sektor Jasa-Jasa 6,4%, Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perumahan 5,0%, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,4%, Sektor Pertanian 4,1%, dan Sektor Industri Pengolahan 2,1%, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1%. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9% yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara keseluruhan yang besarnya 4,5%.


(24)

Sektor pengangkutan dan komunikasi yang mengalami pertumbuhan sebesar 15,5% sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula terhadap total pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu sebesar 1,2%. Selanjutnya sumber pertumbuhan yang cukup besar yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar 0,6% (Badan Pusat Statistik, 2010).

Struktur ekonomi Sumatera Utara didominasi oleh Pertanian (24,23%), Industri (22,54%) dan Perdagangan (18,38%), pertumbuhan terjaga pada level yang sangat baik. Secara sektoral, pertumbuhan terjadi pada sektor-sektor tersier (pengangkutan dan jasa).

Begitu juga dengan perkembangan harga komoditas utama ekspor mengalami perbaikan, sehingga memicu peningkatan ekspor. Untuk ekspor Sumatera Utara didominasi oleh produk perkebunan (CPO dan karet). Ekspor sempat mengalami tekanan pada triwulan IV-2008, terkait dengan perekonimian global yang kurang kondusif, namun memasuki triwulan II-2009 ekspor kembali rebound yang artinya mengalami peningkatan kembali setelah sebelumnya mengalami resesi/penurunan.

Berikut ini merupakan data pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2010.


(25)

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010

%

Lapangan Usaha/Industrial Origin 2006 2007 2008 2009 2010 1. Pertanian/

Agriculture

2,32 4,98 6,05 4,85 5,08 2. Pertambangan dan

Penggalian/Mining and Quarrying

4,17 9,78 6,13 1,43 5,87 3. Industri Pengolahan/Manufacturing

Industry

5,47 5,09 2,92 2,76 4,52 4. Listrik, Gas dan Air

Minum/Electricity, Gas and Water Supply

3,08 0,22 4,46 5,57 7,06

5. Konstruksi/

Construction

10,33 7,78 8,10 6,54 6,77 6. Perdagangan, Hotel dan

Restoran/Trade, Hotel and Restaurant

6,95 7,55 6,14 5,43 6,51

7. Pengangkutan dan

Komunikasi/Transport and Communicatin

11,91 9,90 8,89 7,56 9,44

8. Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan/Finance, Real Estate and Business Service

9,87 12,43 11,30 6,14 10,78

9. Jasa-Jasa/

Services

7,09 8,25 9,48 6,62 6,77

PDRB/GRDP 6,18 6,90 6,39 5,07 6,35

Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2011

Tingkat pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara berjalan positif diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan itu sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 6,18%, 6,90%, 6,39%, 5,07% dan 6,35%. Namun ada


(26)

catatan yang perlu disampaikan disini bahwa walaupun terjadi pertumbuhan positif namun gerakannya mulai melambat, yang artinya potensi ekonomi yang terpakai selama ini (pantai timur Sumut) sudah menunjukkan kejenuhan. Perlu ada perluasan pembangunan ke daerah pantai barat Sumatera Utara.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka PDRB Sumatera Utara mengalami peningkatan, yang dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan perkembangan positif, masing-masing Rp 160.033 milyar, Rp 194.140 milyar, Rp 210.985 milyar, . Besaran PDRB ini disumbang oleh sektor industri 25,74%, sektor pertanian 22,18%, dan sektor jasa (perdagangan, hotel dan restoran) 18,96%. Sektor-sektor ini, khususnya Sektor-sektor industri dan jasa, berjalan di kota besar, yaitu daerah pantai timur Sumatera Utara. Jadi tidak mengherankan jika lebih dari 65% PDRB Sumatera Utara itu disumbang oleh daerah pantai timur Sumatera Utara. Sumbangan yang diberikan oleh daerah-daerah pantai timur pada pembentukan PDRB Sumatera Utara masing-masing Kota Medan 30,57%, Deli Serdang 13,62%, Asahan 10,40%, Labuhan Batu 7,85%, dan Langkat 5,99% (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2010).

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2001. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Diharapkan dengan adanya otonomi dan desentralisasi fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai


(27)

dengan keinginan daerah untuk mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.

Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut UU No.33 Tahun 2004 sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

Otonomi daerah merupakan hak, kewenangan dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum di UU Otonomi daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik, 2002).

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi Pemerintah Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan perbedaan fungsi tersebut menunjukkan


(28)

bahwa pada pemerintah, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak eksekutif, legislatif dan publik.

Anggaran Daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijakan umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Kebijakan otonomi daerah merupakan pendelegasian kewenangan yang disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam kerangka desentralisasi fiskal. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa potensi fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah yang lain bisa menjadi sangat beragam. Perbedaan ini pada gilirannya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula. Hasil penelitian yang dilakukan Darwanto dan Yustikasari, (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi positif namun tidak signifikan terhadap belanja modal. Pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang


(29)

lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efesien berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik (Mardiasmo, 2002). Dengan demikian, bahwa desentralisasi memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan mengalokasikan secara efesien berbagai potensi lokal untuk kepentingan layanan publik.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Bing Bang atau terburu-buru tanpa persiapan dan sosialisasi karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro, 2003). Terlebih ditengah-tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang berkepanjangan dari pertengahan tahun 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan (fiskal) daerah yang berbeda satu dengan yang lain, terlebih kebijakan ini terlahir disaat disparitas pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Belanja modal sebagai bentuk perubahan yang cukup fundamental di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah mulai dilakukan pasca reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah terutama UU No. 22/1999, UU No. 25/1999, PP No. 105/2000, dan PP No. 108/2000 (Halim, 2002:18). Sebelumnya di dalam APBD, pengalokasian untuk jenis belanja berupa investasi, diklasifikasikan ke dalam belanja pembangunan. Layaknya belanja pembangunan, belanja modal dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk


(30)

pengadaan aset daerah sebagai investasi, dalam rangka membiayai pelaksanaan otonomi daerah yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Armayani (dalam Halim, 2002:237) menyatakan bahwa peran pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai Katalisator dan Fasilitator, karena pihak pemerintahlah yang lebih mengetahui sasaran tujuan pembangunan yang akan dicapai. Sebagai pihak katalisator dan fasilitator maka pemerintah daerah memerlukan sarana dan fasilitas pendukung yang direalisasikan melalui belanja modal guna meningkatkan pelayanan publik.

Alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Halim dan Abdullah, 2006:19). Menurut Halim (2002:72), dengan melakukan belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Akan tetapi berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pemerintah Daerah (Pemda) lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektor-sektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang kurang produktif dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% belanja daerah rata-rata hanya 21,69% yang digunakan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan aset untuk investasi dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.


(31)

Berkaitan dengan pelayanan publik, alokasi belanja modal merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena akan meningkatkan produktivitas perekonomian daerah. Semakin banyak belanja modal maka semakin tinggi pula produktivitas perekonomian karena belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Menurut Haryanto dan Hari Adi (2007) menjelaskan bahwa tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efesiensi dan efektivitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Namun melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengeloalaan belanja daerah terutama belanja modal masih belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata. Keefer dan Khemani (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) menyatakan bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Padahal menurut Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa ,”Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat”. Undang-Undang tersebut


(32)

mengisyaratkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efesien dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan konsep Multi-Term Expenditure Framework (MTEF) yang disampaikan oleh Allen dan Tommasi (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) yang menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan aset terkait dengan belanja pemeliharaan dan sumber pendapatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis membuat penelitian dengan judul ”Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap

Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Apakah terdapat Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara secara Parsial dan Simultan?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui apakah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal


(33)

berpengaruh signifikan secara Parsial dan Simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian :

1) Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menganalisis pertumbuhan ekonomi pasca desentralisasi fiskal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

2) Bagi pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten/Kota di Sumetera Utara yang menjadi lokasi penelitian, untuk dapat menganalisis kemampuan alokasi dari Belanja Modal daerahnya secara optimal.

3) Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama pada bidang penelitian yang sejenis.

1.5 Originalitas Penelitian

Penelitian ini berbentuk replikasi. Replikasi penelitian ini juga dilatarbelakangi belum ditemukannya keseragaman kesimpulan tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Replikasi penelitian ini dilakukan terhadap penelitian Sasana (2006).


(34)

Perbedaan penelitian Sasana (2006) dengan replikasi penelitian ini :

1) Objek Penelitian

Sasana (2006) mengamati objek penelitian pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Sedangkan peneliti mengamati objek penelitian pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Perbedaan ini patut dipertimbangkan, disamping perbedaan jumlah cakupan objek yang diteliti, juga didasarkan perbedaan karakteristik, budaya, potensi dan besaran anggaran tentunya mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan belanja modal yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

2) Variabel Penelitian

Sasana (2006) mengamati 1 (satu) variabel bebas dan 1 (satu) variabel terikat, yaitu Desentralisasi Fiskal sebagai variabel bebas dan pertumbuhan ekonomi variabel terikat. Sedangkan peneliti mengamati 2 (dua) variabel bebas, yaitu Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal dan 1 (satu) variabel terikat yaitu Pertumbuhan Ekonomi.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

Untuk mendukung studi ini digunakan beberapa teori yang relevan serta berkaitan dengan pokok bahasan dalam studi sebagai berikut :

2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam kontek perekonomian yang terus berkembang (Todaro, 2004:21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu Negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan. Selanjutnya menurut Todaro, ada 3 (tiga) nilai inti dari pembangunan yaitu :


(36)

1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic

needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan.

2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongan-dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu.

3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan disini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan.

Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Menurut Sen dalam Ackerman (2000:154-155) berpendapat bahwa kapabilitas untuk dapat berfungsi (capabilities to function) adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya sesorang. Selanjutnya menurut Sen pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Dengan demikian tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas seperti pemahaman konvensional, yang paling penting bukanlah apa yang dimiliki seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan


(37)

dari barang-barang tersebut, melainkan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barang-barang tersebut, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan bukan hanya karakteristik komoditi yang dikonsumsi, seperti dalam pendekatan utilitas, tetapi manfaat apa yang dapat diambil oleh konsumen dari komoditi-komoditi tersebut (Todaro, 2004:22). Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 (tiga) nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya

(basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai

manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from

servitude).

Sementara itu Swasono (2004 :13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan mengatakan pembangunan ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus emansipatori. Selanjutnya Swasono mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan (entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah/gajinya, tetapi adalah meningkat/meluasnya pemartabatan, peningkatan nilai tambah ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co,

yaitu co-ownership (ikut memiliki), co-determination (ikut menggariskan wisdom)


(38)

Oleh karena itu pembangunan manusia tidak hanya mencakup pemenuhan kebutuhan pokok saja, melainkan merupakan konsep multidimensi : yaitu gabungan antara 4 (empat) dimensi : dimensi ekonomi, sosial-psikoligi, politi dan spiritual.

Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Untuk mencapai kehidupan yang serba lebih baik semua masyarakat minimal harus memiliki 3 (tiga) tujuan inti sebagai berikut (Todaro, 2004:24) :

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemua itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil, melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa

secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.


(39)

Dalam relevansinya dengan Pembangunan Nasional Dimensi Pembangunan Nasional menurut Swasono (2005:22), adalah merupakan suatu proses dari demokrasi baik secara politik (political democratization), sosial maupun ekonomi (economic

democratization) untuk mencapai kemajuan (progress), kebebasan (freedom) serta

mengurangi hambatan (elimination of freedom), dimana proses ini juga merupakan proses dari humanisasi. Disamping itu menumbuhkan (growth) melalui penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi bahkan menghapus pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya/basic needs

(ILO dalam Masjkuri, 2007) serta negara mampu menjamin hajat hidup orang banyak (Hatta dalam Masjkuri, 2007). Sementara itu menurut Rostow dalam Arief (1998:21) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menimbulkan perubahan dalam kehidupan perekonomian, politik dan sosial masyarakat. Adapun proses pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 (lima) tahap yaitu : 1. tahap masyarakat tradisional. 2. syarat prasyarat tinggal landas (pre-condition to take off), 3. tahap tinggal landas (take off), 4. tahap gerakan kearah kedewasaan (maturity), 5. tahap konsumsi tinggi (mass consumption). Selanjutnya Rostow memfokuskan analisisnya pada tahap tinggal landas. Proses tinggal landas terjadi pada 2 (dua) situasi sistem kemasyarakatan yaitu pada sistem masyarakat yang sudah ada dan teratur (settled

society) dan pada sistem kemasyarakatan yang baru saja berdiri (newly settled


(40)

Menurut Swasono (2005:23) dasar strategi pembangunan nasional Indonesia meliputi :

1) Transformasi sosial ekonomi, Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945

2) Meraih nilai-tambah ekonomi, dan sekaligus nilai-tambah sosial kultural dan nilai-tambah ketahanan nasional

3) Dignity, proses mencapai kecerdasan hidup bangsa

4) Memperkukuh national intergration

5) Pancasilanisasi, menjadi tuan di negeri sendiri (bukan lagi ein nation von kuli und

kuli unter den nationen)

2.1.2. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002:1).

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di


(41)

sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.

Selanjutnya World Bank (dalam Masjkuri, 2007 menyatakan keuntungan dari desentralisasi fiskal adanya mobilitas pendapatan, inovasi dalam aktivitas ekonomi, akuntabilitas dari pejabat pemerintah dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Mobilisasi pendapatan secara keseluruhan dapat dipenuhi, karena desentralisasi dapat memperluas jaringan pajak. Sebagian besar pelayanan pemerintah dibiayai oleh pajak Pertambahan Nilai dan pajak pendapatan.

Sangat mungkin bahwa dalam jangka pendek dan menengah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan menimbulkan gejolak, tetapi dalam jangka panjang otonomi daerah dapat menstabilkan kondisi politik, sosial dan ekonomi. Adanya desakan pada pemerintah pusat agar manajemen pemerintah dikelola dengan pendekatan desentralisasi dan memperluas otonomi daerah sangat cocok untuk negara Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan mempunyai penduduk yang besar sekitar 230 juta jiwa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam,.

Desentralisasi sebagai upaya untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya daerah yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan


(42)

antara pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah.

Desentralisasi fiskal dapat diketahui dengan menghitung Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah, Rasio Subsidi dan bantuan pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi terhadap total penerimaan daerah, Rasio Pajak untuk daerah terhadap total penerimaan daerah dan Rasio Penerimaan Daerah terhadap terhadap total penerimaan negara. Pengukuran derajat desentralisasi fiskal daerah dapat terlihat dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah (Suparmoko, 1999:320).

2.1.3. Pengukuran Derajat Fiskal dan Perekonomian Daerah

Pengukuran derajat otonomi keuangan menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah dan pembangunan berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tingkat kemampuan keuangan daerah dari sisi penerimaan secara bertingkat dapat dapat diklasifikasikan dari hasil penelitian Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (1991) kemampuan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi dilihat dari 6 (enam) faktor yaitu, kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan ekonomi daerah, demografi serta kemampuan administrasi dan organisasi. Adapun tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar derajat otonomi fiskal daerah adalah dengan kriteria sebagai berikut :


(43)

1) 0,00% - 10,00% dinilai sangat kurang 2) 10,01% - 20,00% dinilai kurang 3) 20,01% - 30,00% dinilai sedang 4) 30,01% - 40,00% dinilai cukup 5) 40,01% - 50,00% dinilai baik 6) 50,00% - ke atas dinilai sangat baik Tim Fisipol UGM, Sumber : 2004 : 106

Kegiatan perekonomian suatu daerah dapat kita lihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator yang penting dalam menggambarkan kemajuan/kegiatan perekonomian suatu daerah. Dalam lingkup suatu negara istilah.Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diartikan sebagai nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam periode waktu tertentu, biasanya satu tahun, berarti Produk Domestik Regional Bruto mempunyai pengertian yang sama tapi hanya dalam lingkup suatu daerah (Wijaya, 1999:13).

Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan yang secara umum kita kenal pendekatan pertama yaitu pendekatan produksi yang menyangkut jumlah nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu daerah selama jangka waktu tertentu. Pendekatan kedua yaitu pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu proses produksi. Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pengeluaran, menyangkut jumlah pengeluaran yang dilakukan baik oleh rumah tangga, swasta maupun pemerintah.


(44)

Badan Pusat Statistik (BPS), Lembaga Keuangan serta Bappeda baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi selalu mencantumkan Produk Domestik Regional Bruto menurut harga berlaku (current year price) dan harga konstan (basic year price), menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, sedangkan harga konstan dihitung berdasarkan tahun dasar yang telah ditetapkan menurut suatu tahun tertentu. Tahun dasar biasanya digunakan tiap 10 (sepuluh) tahun sekali.

Produk Domestik Regional Bruto menunjukkan besarnya nilai uang dari

output tahunan yang dihasilkan. Dari pengalaman, diketahui bahwa nilai satuan uang

sepanjang waktu mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi secara umum karena penurunan nilai uang, akibat inflasi atau kenaikan harga umum, ataupun sebaliknya terjadi penurunan tingkat harga umum.

Jika kegiatan perekonomian meningkat/ PDRB yang dalam hal ini diwakili oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Angkutan dan Komunikasi mengalami peningkatan secara dinamis, maka kecenderungan tingkat pendapatan masyarakat naik, tingkat kekayaan bertambah dan penerimaan PAD akan mengalami kenaikan, sehingga sangat dimungkinkan ada hubungan antara PDRB dengan PAD.

Meningkatnya kegiatan perekonomian masyarakat, memiliki ketertarikan yang erat dengan Jumlah Penduduk dan Jumlah Kendaraan Bermotor, hal ini dikarenakan bahwa tinggi dan rendahnya penerimaan yang bersumber dari PAD


(45)

tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang bermukim serta jumlah kendaraan bermotor yang merupakan sarana transportasi dalam menggerakkan perekonomian. Artinya dengan semakin meningkatnya perekonomian/PDRB berarti tingkat kesejahteraan dan tingkat sosial ekonomi semakin baik, meskipun PDRB belum sepenuhnya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat suatu daerah secara keseluruhan.

2.1.4. Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual (Abdullah, 2008).

Belanja modal yaitu pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal, antara lain untuk pembangunan, peningkatan dan pengadaan serta kegiatan non fisik yang mendukung pembentukan modal. Dalam belanja ini termasuk untuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang dan lain sebagainya yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.


(46)

1. Belanja Modal Tanah yaitu semua biaya yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengerukan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administrasi sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin yaitu jumlah biaya untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan. Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin dan diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.Belanja Modal Gedung dan Bangunan yang termasuk dalam belanja ini adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan kegiatan pembangunan gedung yang presentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan.

3. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan yaitu biaya untuk penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi.


(47)

4. Belanja Modal Fisik Lainnya adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perolehan melalui pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi) dan belanja modal non fisik, yang termasuk dalam belanja modal ini antara lain : kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah.


(48)

Tabel 2.1. Belanja Modal Pemerintah Kab/Kota di Sumut (MilyarRupiah)

No. Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 2009 2010

1 Asahan 134.81 219.36 191.70 201.29 210.87

2 Dairi 41.06 116.66 137.24 144.10 150.97

3 Deli Serdang 159.72 311.68 316.21 332.02 347.83

4 Humbahas 95.10 161.63 156.33 164.15 171.97

5 Karo 50.96 169.70 103.95 109.14 114.34

6 Labuhan Batu 84.49 236.91 123.61 129.80 135.98

7 Langkat 99.64 157.25 108.54 113.97 119.39

8 Mandailing Natal 104.00 161.88 147.44 154.81 162.18

9 Nias 38.58 133.46 125.80 132.09 138.38

10 Nias Selatan 17.75 101.57 208.18 218.59 229.00

11 Pakpak Bharat 70.87 120.37 111.18 116.74 122.30

12 Samosir 102.44 72.73 144.18 151.39 158.60

13 Serdang Bedagai 94.02 106.68 87.52 91.90 96.28

14 Simalungun 104.07 176.30 278.18 292.09 305.99

15 Tapanuli Selatan 127.07 166.74 233.33 245.00 256.67

16 Tapanuli Tengah 67.17 129.93 129.42 135.89 142.36

17 Tapanuli Utara 84.68 127.51 129.89 136.38 142.88

18 Toba Samosir 76.25 110.14 99.20 104.16 109.12

19 Binjai 49.14 77.54 76.79 80.63 84.47

20 Medan 215.68 413.09 242.53 254.65 266.78

21 Padangsidempuan 62.27 87.09 70.03 73.53 77.03

22 Pematangsiantar 64.39 82.66 74.84 78.58 82.33

23 Sibolga 40.31 103.87 96.95 101.80 106.65

24 Tanjung Balai 67.64 100.74 139.93 146.93 153.92

25 Tebing Tinggi 62.27 120.87 108.88 114.33 119.77


(49)

2.2. Review Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam menganalisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Beberapa penelitian terdahulu yaitu :

Brodjonegoro dan Dartanto (2003) bahwa, setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Sasana (2006) menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil estimasi ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota akan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

Wibowo (2008) menemukan bahwa (1) desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibanding dengan rezim desentralisasi fiskal sebelumnya. (3) Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang


(50)

kurang favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak retribusi daerah yang kurang efektif.

Harianto dan Adi (2007) menemukan bahwa Dana Alokasi Umum sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal. Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita, tetapi pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata sehingga banyak ketimpangan/jarak ekonomi antar daerah. Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal (efek tidak langsung).

Darwanto dan Yustikasari (2007) yang meneliti diseluruh Kabupaten/Kota se Jawa dan Bali dalam pengujian secara parsial variabel independen yang digunakan dalam model menyimpulkan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel Belanja Modal.


(51)

Tabel 2.2. Review Penelitian Terdahulu

Nama/Tahun Peneliti

Judul Penelitian Variabel yang Digunakan

Hasil yang Diperoleh

Brodjonegoro dan Dartanto (2003) Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan

Daerah : Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan Desentralisasi Fiskal (X), Kesenjangan

Fiskal (Y1) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y2

Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah

)

Sasana (2006) Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

Wibowo (2008) Mencermati Dampak Desentraliasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y)

(1) Desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibandingkan dengan rezim desentralisasi fiskal sebelumnya. (3) sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang kurang


(52)

favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang kurang efektif.

David

Haryanto dan Priyo Hari Adi (2007)

Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita

Dana Alokasi Umum (X1), Belanja Modal (X2),

Pendapatan Asli Daerah (X3

(1) Dana Alokasi Umum sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal (2) Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui Pendapatan Asli Daerah (3) Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Perkapita (4) Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifika terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal (efek tidak langsung) ) dan Pendapatan Per Kapita (Y) Darwanto dan Yutikasari (2007) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi (X1), PAD (X2

Secara parsial variabel independen yang digunakan dalam model menyimpulkan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel Belanja Modal.

), Dana Alokasi Umum (X3) dan Pengelolaan Anggaran

Belanja Modal (Y)


(53)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori dapat dibuat kerangka konseptual yang akan diteliti seperti yang terlihat dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual

Dari Gambar 3.1. tersebut dapat dilihat pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal secara parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Dari pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal secara simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Beberapa alasan yang mendasari bahwa desentralisasi fiskal mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah sebagai berikut :

Pertumbuhan Ekonomi

(Y) Belanja

Modal (X2) Desentralisasi

Fiskal (X1)


(54)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan hubungan kausal (causal effect), di mana penelitian yang dilakukan terhadap fakta-fakta untuk membuktikan secara empiris pengaruh desentralisasi fiskal dan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi pada 25 Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara tahun amatan 2006-2010.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penyelesaian penelitian ini diperoleh dari laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara dari perpustakaan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara yang beralamat di Jl. Asrama No. 179 Medan dan mengakses situs Dirjen Perimbangan Keuangan Republik Indonesia yaitu

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 33 kabupaten dan kota. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah


(55)

pemerintah daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara pada tahun 2006-2010.

Tabel 4.1. Populasi dan Sampel Penelitian

No. Kabupaten/Kota Kriteria Sampel

1 Kabupaten Asahan  Sampel 1

2 Kabupaten Batubara X -

3 Kabupaten Dairi  Sampel 2

4 Kabupaten Deli Serdang  Sampel 3

5 Kabupaten Humbang Hasundutan  Sampel 4

6 Kabupaten Karo  Sampel 5

7 Kabupaten Labuhanbatu  Sampel 6

8 Kabupaten Labuhanbatu Selatan X -

9 Kabupaten Labuhanbatu Utara X -

10 Kabupaten Langkat  Sampel 7

11 Kabupaten Mandailing Natal  Sampel 8

12 Kabupaten Nias  Sampel 9

13 Kabupaten Nias Barat X -

14 Kabupaten Nias Selatan  Sampel 10

15 Kabupaten Nias Utara X -

16 Kabupaten Padang Lawas X -


(56)

18 Kabupaten Pakpak Barat  Sampel 11

19 Kabupaten Samosir  Sampel 12

20 Kabupaten Serdang Bedagai  Sampel 13

21 Kabupaten Simalungun  Sampel 14

22 Kabupaten Tapanuli Selatan  Sampel 15

23 Kabupaten Tapanuli Tengah  Sampel 16

24 Kabupaten Tapanuli Utara  Sampel 17

25 Kabupaten Toba Samosir  Sampel 18

26 Kota Binjai  Sampel 19

27 Kota Gunungsitoli X -

28 Kota Medan  Sampel 20

29 Kota Padangsidempuan  Sampel 21

30 Kota Pematangsiantar  Sampel 22

31 Kota Sibolga  Sampel 23

32 Kota Tanjungbalai  Sampel 24

33 Kota Tebing Tinggi  Sampel 25

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumut

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2005:78). Sampel diambil dengan kriteria yaitu kabupaten dan kota yang memiliki data pertumbuhan ekonomi berturut-turut mulai dari tahun 2006 sampai dengan 2010. Dari 33


(57)

kabupaten dan kota yang dijadikan populasi, hanya sebanyak 25 yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian pada Tabel 4.1.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan data sekunder yaitu berupa pengumpulan bahan-bahan dan data yang berhubungan dengan pokok bahasan yang peneliti kutip dari catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan) yang berasal dari perpustakaan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara dan mengakses situs Dirjen

Perimbangan Keuangan Republik Indonesia yaitu

4.5. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel

Penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen) adalah Desentralisasi Fiskal dan Belanja Modal yang terdiri atas Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan Fisik Lainnya. Sedangkan variabel terikat (dependen) yaitu Pertumbuhan Ekonomi. Definisi operasional variabel pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :


(58)

1. Pertumbuhan Ekonomi, pertumbuhan ekonomi daerah dimaksud dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto per tahun menurut harga berlaku, yang dinyatakan dalam satuan persen.

Pertumbuhan ekonomi (PE) dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan formula :

PEPer tahun

PDRB =

t – PDRB

X 100% (t-1)

PDRBt-1

2. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi Fiskal dimaksud dalam penelitian ini adalah proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Desentralisasi fiskal (DF) dalam penelitian ini diproxy melalui rasio antara Pendapatan Asli Daerah ditambah bagi hasil pajak dan bukan pajak dengan realisasi pengeluaran total pemerintah kabupaten/kota.

DFPer tahun

PAD + Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

= X 100%


(59)

3. Belanja Modal

Belanja Modal yaitu pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud.

Berikut adalah jenis variabel yang digunakan oleh peneliti serta definisi operasional variabel dan skala pengukurannya :

Tabel 4.2.Definisi Operasional Variabel dan Skala Pengukuran

Jenis Variabel Nama Variabel Indiktor Kinerja Definisi Operasional Variabel Skala Pengukuran

Dependen Pertumbuahan Ekonomi (Y) PDRB Harga Konstan tahun 2006-2010 Pertumbuhan Ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan

barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat Rasio


(60)

Independen Desentralisasi Fiskal (X1

• PAD ) • Bagi Hasil

Pajak dan Bukan Pajak • Realisasi Pengeluara n Pemerinta h Kab/Kota tahun 2006-2010 Desentralisasi Fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melaksanakan

fungsinya secara efektif dalam penyediaan

pelayanan di sektor

publik serta didukung

sumber-sumber keuangan yang memadai dari PAD termasuk

surcharge of taxes,

pinjaman, maupun Dana Perimbangan dari Pusat.

Rasio

Independen Belanja Modal (X2) Belanja Modal tahun 2006-2010 Belanja Modal yaitu pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.


(61)

4.6 Metode Analisis Data 4.6.1. Analisis Statistik

Pengujian hipotesis dengan menggunakan Uji F atau yang biasa disebut dengan Analysis of Variance (ANOVA). Pengujian ANOVA atau Uji F biasa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan melihat tingkat signifikansi atau dengan membandingkan F hitung dengan F tabel. Pengujian dengan tingkat signifikansi dilakukan dengan ketentuan yaitu apabila hasil signifikansi pada tabel ANOVA < α

0,05, maka Ho ditolak (berpengaruh), sementara sebaliknya apabila tingkat signifikansi pada tabel ANOVA > 0,05 maka Ho diterima (tidak berpengaruh).

Pengujian dengan membandingkan F hitung dengan F tabel dilakukan dengan ketentuan yaitu apabila F hitung > F tabel (α 0,05) maka Ho ditolak (berpengaruh), sementara sebaliknya apabila F hitung < F tabel (α 0,05) maka Ho diterima (tidak berpengaruh). Adapun F tabel dicari dengan memperhatikan tingkat kepercayaan (α) dengan derajat bebas (degree of freedom). Pengujian dengan membandingkan t hitung dengan t tabel dilakukan dengan ketentuan yaitu apabila t hitung > t tabel (α 0,05) maka Ho ditolak dan apabila t hitung < t tabel (α 0,05) maka Ho diterima.

4.6.2. Analisis Deskriptis

Data statistik yang diperoleh dalam penelitian perlu diringkas dengan baik dan teratur. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sekumpulan data yang diproleh baik mengenai sampel atau populasi.


(62)

4.6.3. Uji Asumsi Klasik

Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi maka diperlukan pengujian asumsi klasik meliputi :

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak dapat dilihat melalui normal probability plot

dengan membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. Uji statistik dilakukan uji one sample Kolmogorov Smirnov Test, jika nilai Kolmogorov Smirnov signifikannya di atas α = 0,05, maka Ho diterima yang berarti data residual berdistribusi normal (Ghozali, 2005).

2. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui apakah ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model. Selain itu deteksi terhadap multikolinieritas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel independen


(63)

terhadap variabel dependen. Deteksi multikolinieritas pada suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai

Tolerance tidak kurang dari 0,1, maka model tersebut dapat dikatakan

terbebas dari multikolinieritas. VIF = 1/Tolerance, maka jika VIF = 10 maka

Tolerance = 1/10 = 0,1 (Ghozali, 2005).

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah model regresi yang memiliki kesamaan variance residual suatu periode pengamatan dengan pengamatan yang lain, atau homokesdastisitas, dengan kata lain tidak terjadi heteroskedastisitas. Cara memprediksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas pada suatu model dapat dilihat dari pola gambar scatter plot model tersebut. Bila titik-titik menyebar secara acak, tidak membentuk suatu pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji statistik dilakukan dengan uji Glejser, jika variabel independen tidak signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai Absolut Ut (AbsUt), maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).


(64)

4. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Pengujian asumsi ketiga ini, dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson (Durbin-Watson Test), yaitu untuk menguji apakah terjadi korelasi serial atau tidak dengan menghitung nilai d statistik. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi adalah dengan memakai uji statistik Durbin Watson (DW test). Jika nilai Durbin Watson berada diantar -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi. Nilai Durbin Watson yang diperoleh dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%. Jika nilai Durbin Watson > batas atas (du), dan kurang dari jumlah variabel independen – batas atas (du), maka dapat disimpulkan bahwa terima Ho, yang berarti tidak terdapat autokorelasi (Ghozali, 2005).

4.6.4. Model Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan bantuan SPSS. Uji hipotesis yang dilakukan pada dasarnya merupakan jawaban atas berbagai hubungan yang memungkinkan dalam model penelitian. Model ini menunjukkan pola hubungan yang relatif komprehensif antar berbagai variabel, baik dalam hubungan langsung


(65)

(direct effect), maupun hubungan tidak langsung (indirect effect). Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi berganda.

Persamaan regresinya adalah :

Y = a + b1X1 + b2X2

Keterangan :

+e

Y = Pertumbuhan Ekonomi a = Konstanta

b1,2 = Koefisien regresi X1

X

= Desentralisasi Fiskal 2

e = Error


(66)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Data Penelitian

Sebelum melakukan pembahasan mengenai data secara statistik harus terlebih dahulu memperhatikan deskripsi data Kabupaten/Kota yang telah ditentukan sebagai sampel. Populasi pada penelitian ini berjumlah 33 Kabupaten/Kota, terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota di Provinsi Sumatera Utara. Di antara 33 Kabupaten/Kota tersebut yang memenuhi kriteria menjadi anggota sampel sesuai dengan maksud penelitian adalah sebanyak 25 Kabupaten/Kota, yang terdiri dari 18 kabupaten dan 7 kota.

Data kuantitatif yang dipergunakan pada penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 sampai dengan 2010. Desentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 yang diperoleh berdasarkan PAD ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 dan Pengeluaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara.


(67)

5.1.2. Deskripsi Statistik Data Penelitian

Berdasarkan data penelitian yang diperoleh selama 5 tahun pengamatan, maka diperoleh deskriptif statistik data penelitian. Dari data deskriptif statistik data penelitian diperoleh data hasil yang mencakup n (banyaknya data yang diperoleh), rata-rata (mean), standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum atas variable-variabel penelitian. Variabel-variable-variabel tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan belanja modal yang dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Deskriptif Statistik Data Pertumbuhan Ekonomi, Desentralisasi Fiskal (%) dan Belanja Modal (milyar rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%) Desentralisasi Fiskal (%) Belanja Modal (Rp. Milyar)

N Valid 125 125 125

Missing 0 0 0

Mean Median Mode Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum 5,42 5,44 3,99 0,76 0,583 4,90 2,88 7,78 4,13 3,45 1,86 3,41 11,63 22,89 0,77 23,66 143,19 127,07 62,27 73,69 5430,94 395,34 17,75 413,09 Sumber : Data Primer diolah, 2011

Hasil deskriptif statitik data pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal dan belanja modal dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan 125 (seratus dua puluh lima) data sampel yang diperoleh maka data statistik yang dapat diuraikan atas variabel pertumbuhan ekonomi adalah sebagai


(68)

berikut : bahwa rata-rata (mean) pertumbuhan ekonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang diteliti adalah sebesar 5,42%. Sedangkan nilai tengah (median) pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota yang diteliti adalah sebesar 5,44% yang menunjukkan bahwa 50% pertumbuhan ekonomi daerah adalah 5,44% keatas dan sisanya sebesar 50% adalah 5,44% kebawah, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang paling serasi dicapai Kabupaten/Kota (mode) adalah sebesar 3,99%. Sedangkan standar deviasi pertumbuhan ekonomi daerah adalah 0,76%. Tingkat pertumbuhan ekonomi daerah terendah yang dicapai adalah 2,88% dan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggi yang dicapai adalah 7,78%, sehingga jarak (range) antara capaian maksimum pertumbuhan ekonomi daerah dengan capaian minimum pertumbuhan ekonomi daerah adalah 4,90% (7,78% - 2,88%). Hasil ini menunjukkan selama periode tahun 2006-2010 terdapat pertumbuhan ekonomi yang rendah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 2,88%, sehingga mengakibatkan pembangunan daerah di Kabupaten/Kota tersebut berjalan lambat.

b. Desentralisasi Fiskal

Berdasarkan 125 (seratus dua puluh lima) data sampel yang diperoleh maka data statistik yang dapat diuraikan atas variabel desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut : bahwa rata-rata (mean) desentralisasi fiskal daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang diteliti adalah sebesar 4,13%. Sedangkan nilai tengah


(69)

yang menunjukkan bahwa 50% desentralisasi fiskal daerah adalah 3,45% keatas dan sisanya sebesar 50% adalah 3,45% kebawah, dimana tingkat desentralisasi fiskal daerah yang paling serasi dicapai Kabupaten/Kota (mode) adalah sebesar 1,86%. Sedangkan standar deviasi desentralisasi fiskal daerah adalah 3,41%. Tingkat desentralisasi fiskal daerah terendah yang dicapai adalah 0,77% dan tingkat desentralisasi fiskal daerah tertinggi yang dicapai adalah 23,66%, sehingga jarak

(range) antara capaian maksimum desentralisasi fiskal daerah dengan capaian

minimum desentralisasi fiskal daerah adalah 22,89% (23,66% - 0,77%).

c. Belanja Modal

Berdasarkan 125 (seratus dua puluh lima) data sampel yang diperoleh maka data statistik yang dapat diuraikan atas variabel belanja modal adalah sebagai berikut: bahwa rata-rata (mean) belanja modal daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang diteliti adalah sebesar Rp. 143,19 milyar. Sedangkan nilai tengah (median) belanja modal Kabupaten/Kota yang diteliti adalah sebesar Rp. 127,07 milyar yang menunjukkan bahwa 50% belanja modal daerah adalah Rp. 127,07 milyar keatas dan sisanya sebesar 50% adalah Rp. 127,07 milyar kebawah, dimana tingkat belanja modal daerah yang paling banyak dibelanjakan Kabupaten/Kota (mode) adalah sebesar Rp. 62,27 milyar Sedangkan standar deviasi belanja modal daerah adalah Rp. 73,69 milyar Tingkat belanja modal daerah terendah yang dicapai adalah Rp. 17,75 milyar dan tingkat belanja modal daerah tertinggi yang dicapai adalah Rp. 413,09 milyar%, sehingga jarak (range) antara capaian maksimum


(70)

belanja modal daerah dengan capaian minimum belanja modal daerah adalah Rp. 395,34 milyar (Rp. 413,09 milyar – Rp. 17,75 milyar).

5.2. Pengujian Asumsi Klasik 5.2.1. Uji Normalitas

Uji normalitas data bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Erlina, 2008). Untuk menguji apakah data penelitian ini terdistribusi normal atau tidak dapat diketahui melalui 2 cara yaitu analisis grafik dan analisis statistik

Cara mudah untuk melihat normalitas residual adalah dengan melihat probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Selain itu untuk melihat normalitas residual juga dapat dilakukan dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara observasi dengan distribusi normal yang mendekati distribusi normal.

Dengan melihat tampilan grafik normal plot pada Gambar 5.1. dapat disimpulkan bahwa data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonalnya. Hal ini menunjukan data residual berdistribusi normal. Demikian pula dengan hasil grafik histogram pada Gambar 5.2. yang menunjukkan bahwa data residual berdistribusi normal yang dilihat dari gambar berbentuk lonceng yang hampir sempurna (simetris).


(71)

Gambar 5.1. Normal P-Plot of Regression Standardized Residual

Gambar 5.2. Histogram

0.00.20.40.60.81.0 0.00.2 0.40.60.81.0

Expected Cum Prob

Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

-4Regression Standardized Residual-3-2-10123

051015202530

Frequency

Mean = -1.47E-15 Std. Dev. = 0.992 N = 125 Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi Histogram


(72)

Berdasarkan hasil analisis menggunakan kurva Skewness dan Kurtois menunjukkan bahwa hasil uji normalitas yang diperoleh adalah Skewness kurva adalah -0,068 dengan standar error sebesar 0,217. Kurtois kurva adalah 0,819 dengan standar error sebesar 0,430. Dari data tersebut bisa diperoleh rasio Skewness dan rasio Kurtois dengan membagi nilai Skewness dan Kurtois dengan standard errornya. Rasio Skewness sebesar -0,313 dan rasio Kurtois sebesar 1,90. Dari hasil tersebut terlihat bahwa rasio Skewness dan Kurtois berada pada kisaran -2 sampai +2, sehingga bisa disimpulkan bahwa distribusi kurva pertumbuhan ekonomi adalah normal.

5.2.2. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem Multikolinieritas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Pengujian ada tidaknya gejala multikolinearitas dilakukan dengan memperhatikan nilai matriks korelasi yang dihasilkan pada saat pengolahan data serta nilai VIF (Variance Inflation Faktor) dan

Tolerance-nya. Nilai dari VIF yang kurang dari 10 dan toleransi yang lebih dari 0,10

maka menandakan bahwa tidak terjadi adanya gejala multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tersebut tidak terdapat problem multikolinieritas.


(73)

Tabel 5.2. Hasil Uji Multikolinieritas

Model Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant)

Desentralisasi Fiskal .973 1.028

Belanja daerah .973 1.028

a Dependent Variable: Nilai Investasi Sumber : Data diolah, 2011

Dari perhitungan menggunakan program SPSS versi 15 dapat kita ketahui bahwa nilai VIF dan tolerance sebagai berikut : Variabel Desentralisasi Fiskal mempunyai nilai VIF sebesar 1,028 dan toleransi sebesar 0,973. Variabel belanja daerah mempunyai nilai VIF sebesar 1,028 dan toleransi sebesar 0,973.

Dari ketentuan yang ada bahwa jika nilai VIF < 10 dan tolerance > 0,10 maka tidak terjadi gejala multikolinearitas dan nilai-nilai yang didapat dari perhitungan adalah sesuai dengan ketetapan nilai VIF dan toleransi, dan dari hasil analisis diatas dapat diketahui nilai toleransi semua variabel independen (desentralisasi fiskal dan belanja modal) lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10 maka dapat disimpulkan bahwa variabel independennya tidak terjadi multikolinieritas sehingga model tersebut telah memenuhi syarat asumsi klasik dalam analisis regresi.

5.2.3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk


(74)

mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat grafik scatterplots.

Gambar 5.3. Grafik scatterplots

Dari grafik scatterplots dalam Gambar 5.3. menunjukkan bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola tertentu yang teratur, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.


(1)

Lampiran 7. Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas

0.00.2Observed Cum Prob0.40.60.81.0 0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

Expect

ed Cum Prob

Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual


(2)

Statistics Pertumbuhan Ekonomi

N Valid 125

Missing 0

Mean 5.4204

Median 5.4400

Mode 3.99(a)

Std. Deviation .76375

Variance .583

Skewness -.068

Std. Error of Skewness .217

Kurtosis .819

Std. Error of Kurtosis .430

Sum 677.55

a Multiple modes exist. The smallest value is shown

-4Regression Standardized Residual-3-2-10123

0

5

1015

20

25

30

Frequency

Mean = -1.47E-15 Std. Dev. = 0.992 N = 125

Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi Histogram


(3)

Uji Multikolinieritas

Coefficients(a)

Mod el

Unstandardized Coefficients

Standardiz ed Coefficien

ts t Sig.

Collinearity Statistics

B

Std.

Error Beta

Toleran

ce VIF

1 (Constant) 5.380 .166 32.474 .000

Desentralisa

si Fiskal .082 .018 .368 4.484 .000 .973 1.028 Belanja

Modal -.002 .001 -.202 -2.468 .015 .973 1.028 a Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi

Coefficient Correlations(a)

Model

Belanja Modal

Desentralisasi Fiskal

1 Correlations Belanja Modal 1.000 .166

Desentralisasi

Fiskal .166 1.000

Covariances Belanja Modal .000 .000

Desentralisasi

Fiskal .000 .000


(4)

Uji Autokorelasi

Model Summary(b)

Mode

l R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 .448(a) .201 .188 .68825 1.762

a Predictors: (Constant), Belanja Modal, Desentralisasi Fiskal b Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi

Uji Heteroskedastisitas

-2Regression Standardized Predicted Value0246

-4-3

-2

-10

12

3

Regressi

on Student

ized Residual

Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi Scatterplot


(5)

Uji Glesjer

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B

Std.

Error Beta

1 (Constant) .475 .099 4.806 .000

Desentralisa

si Fiskal -.006 .011 -.053 -.587 .558

Belanja

Modal .001 .001 .117 1.289 .200

a Dependent Variable: abs_res Lampiran 8. Uji Hipotesis Variables Entered/Removed(b)

Mode l

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 Belanja

Modal, Desentralisasi Fiskal(a)

. Enter

a All requested variables entered.

b Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi

Model Summary

Mode

l R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .448(a) .201 .188 .68825


(6)

ANOVA(b) Mode

l

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression 14.543 2 7.271 15.351 .000(a)

Residual 57.789 122 .474

Total 72.332 124

a Predictors: (Constant), Belanja Modal, Desentralisasi Fiskal b Dependent Variable: Pertumbuhan Ekonomi

Coefficients(a) Mode

l

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 5.380 .166 32.474 .000

Desentralisasi

Fiskal .082 .018 .368 4.484 .000

Belanja Modal -.002 .001 -.202 -2.468 .015