Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor
RINGKASAN
KHAIRUL IKHWAN. D14080037. 2013. Evaluasi Good Milking Practice Pada
Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah
Sareal Bogor. Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si
Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si
Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan
melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat
pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan
ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan.
Penanganan susu yang kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan
keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi
pendapatan peternak. Pemerahan yang higienis dapat terwujud dengan menerapkan
Good Milking Practice (GMiP).
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai dari bulan Juni sampai
Juli 2012. Sapi yang digunakan dalam penelitian adalah sapi FH betina laktasi
berjumlah 219 ekor dari 29 peternak. Pengambilan data dengan cara wawancara dan
observasi menggunakan kuisioner. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Penelitian dilakukan untuk mengkaji penerapan Good Milking Practice (GMiP) di
kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kajian dibagi
menjadi tiga aspek pemerahan yaitu (a) sebelum pemerahan (b) saat pemerahan (c)
setelah pemerahan. Kajian GMiP juga dilakukan berdasarkan umur dan lama
beternak.
Hasil kajian GMiP memperlihatkan peternak kurang baik melaksanakan
GMiP saat pemerahan dan sebelum pemerahan, namun peternak cukup baik
melaksanakan GMiP setelah pemerahan. Peternak berumur 31-40 tahun dan
pengalaman beternak 21-30 tahun menghasilkan nilai penerapan GMiP tertinggi.
Pengalaman peternak yang tinggi ternyata tidak menghasilkan nilai GMiP yang
tinggi. Peternak dengan penerapan GMiP cukup memiliki jumlah Total Plate Count
(TPC) lebih tinggi akan tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding
peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Kuarter ambing sapi bagian belakang
lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%).
Kata-kata kunci : Good Milking Practice, Kebon Pedes, sapi perah.
i
ABSTRACT
Evaluation of Good Milking Practice (GMiP) on the Traditionally Farms at
Kebon Pedes Tanah Sareal District Bogor
Ikhwan, K., A. Atabany, A. Murfi
Less hygienic handling of milk resulted in low quality and safety of milk causing
major losses and reducing farmer income. Milking hygiene can be realized by
implementing Good Milking Practice (GMiP). Interview and observation have been
done to 29 sample farmers in Kebon Pedes, Tanah Sareal district, Bogor. The
questionnaire was used as tool for observation and interview process. Three
important aspects of Good Milking Practice have been evaluated i.e. (a) pre-milking
(b) milking (c) post milking. The results showed that the highest value of Good
Milking Practice had implemented by farmers aged 31-40 years. Farmers by 21-30
years experience result the highest Good Milking Practice value. Higher experience
has no effect on the high value of GMiP. The result in implemented of Good
Milking Practice showed that the farmers had less implemented of Good Milking
Practice aspects in their dairy farm.
This condition associated with low
microbiological quality of the milk. The good enough farmers doing GMiP produce
TPC but produce mastitis lower than poorly farmers doing GMiP. Amount of 876
quarters affected in cows, hind quarters showed higher involvement (55,81%) than
fore quarters (44,19%).
Keywords: Good Milking Practice (GMiP), Kebon Pedes , Traditional farmer
ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi susu per kapita di Indonesia tergolong rendah dibanding negara
Asia lainnya walaupun tingkat konsumsi terus meningkat karena pertumbuhan
penduduk.
Produksi susu dari peternak lokal sebagian besar diserap Industri
Pengolahan Susu (IPS). Peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan
kualitas yang ditetapkan oleh IPS. Kualitas mikrobiologis dan fisiko-kimia susu
yang buruk dapat menyebabkan penolakan dari IPS, sehingga susu tersebut dibuang.
Penanganan susu kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan
keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi
pendapatan peternak.
Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah
terjadinya pencemaran susu. Kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat berasal
dari 3 sumber yaitu lingkungan, ambing dan peralatan susu. Pencemaran dapat
berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia,
peralatan, dan udara.
Jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dapat
bertambah karena beberapa faktor, antara lain pencemaran dari tangan dan baju
pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, air, serta peralatan lain juga dapat
meningkatkan jumlah mikroorganisme (Lukman et al., 2009).
Penanganan susu secara higienis akan meningkatkan mutu dan keamanan
susu.
Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan
melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat
pemerahan dan lingkungan (pakan dan kandang), kebersihan dan kesehatan ternak,
serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan
dan pengawasan yang ketat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menjaga
kualitas susu.
Pemerahan higienis dapat terwujud dengan melaksanakan Good Milking
Practice (GMiP). Good Milking Practice (GMiP) adalah tata cara pemerahan yang
baik dan benar untuk menghindarkan kontaminasi yang dapat menurunkan kualitas
susu. Good Milking Practice (GMiP) sangat mudah diterapkan namun di Indonesia
penerapan GMiP kurang mendapat perhatian terutama oleh peternak rakyat.
1
Kebon Pedes merupakan pusat peternakan sapi perah di Kota Bogor Jawa
Barat. Peternak sapi perah di Kebon Pedes merupakan peternakan sapi perah rakyat.
Peternak memerah secara tradisional tanpa memperhatikan kebersihan dan kesehatan
proses pemerahan. Peternak memerah sapi dengan menggunakan tangan dan dengan
peralatan seadanya. Susu segar dihasilkan peternak dijual langsung ke masyarakat
melalui distributor lokal. Penerapan Good Milking Practices (GMiP) diharapkan
menjaga kualitas susu yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPS serta
aman dikonsumsi masyarakat.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Good Milking Practice
(GMiP) sapi perah di peternakan rakyat Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota
Bogor Jawa Barat.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein (FH)
Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu
hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat
ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah
dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011).
Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susu paling tinggi dengan kadar lemak susu
rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis
maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan
jantan dewasa 1000 kg (Sudono et al., 2003).
Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot
badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi
susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu lingkungan
yang optimum untuk sapi dewasa berkisar antara 5-21 oC, sedangkan kelembaban
udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran
50%-75% (Ensminger, 1995). Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi
rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).
Kualitas Susu
Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih,
yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun
kecuali pendinginan (BSN, 2011). Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada
Tabel 1. Kandungan terbesar susu adalah air. Lemak susu mengandung vitamin
yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan Martindah,
2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan masa laktasi.
Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik
sedikit (Sudono et al., 2003).
Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa berfungsi sebagai
sumber energi, kalsium membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak
menghasilkan energi, protein kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferum, serta
mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potasium (Susilorini dan Sawitri,
3
2006). Susu mengandung berbagai macam protein, dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu karena
adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk).
Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara
alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012).
Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011)
No
Karakteristik
Satuan
Syarat
g/ml
1,0270
a.
Berat jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum
b.
Kadar lemak minimum
%
3,0
c.
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum
%
7,8
d.
Kadar protein minimum
%
2,8
e.
Warna, bau, rasa, kekentalan
-
Tidak ada perubahan
SH
6,0 – 7,5
o
f.
Derajat asam
g.
pH
-
6,3 – 6,8
h.
Uji alkohol (70%) v/v
-
Negatif
i.
Cemaran mikroba, maksimum:
1.
Total Plate Count
CFU/ml
1 × 106
2.
Staphylococcus aureus
CFU/ml
1 × 102
3.
Enterobacteriaceae
CFU/ml
1 × 103
sel/ml
4 × 105
-
Negatif
-
Negatif
j.
Jumlah sel somatik maksimum
k.
Residu
antibiotika
(Golongan
penisilin,
Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida)
l.
Uji pemalsuan
m.
Titik beku
n.
Uji peroxidase
o.
Cemaran logam berat, maksimum:
o
C
-0,520 s.d -0,560
-
Positif
1.
Timbal (Pb)
µg/ml
0,02
2.
Merkuri (Hg)
µg/ml
0,03
3.
Arsen (As)
µg/ml
0,1
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2011)
4
Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi susu yaitu: bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi),
umur, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan. Bangsa
sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda, misalnya sapi
perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah bila
dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010).
Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama
terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada
akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut
biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada
musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009).
Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap
komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu
menurun sekitar 0,2% (Muchtadi, 2009).
Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan
akan mengurangi produksi susu.
Keragaman cukup besar yang terjadi dalam
kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi
komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan
tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat
jelas kadar dan komposisi lemak susu (Muchtadi, 2009).
Usaha Sapi Perah
Mukson et al. (2009) menyatakan bahwa secara umum pengelolaan sapi
perah oleh petani masih dilakukan secara tradisional. Usaha ternak sapi perah saat
ini sebagian besar masih berbentuk usaha kecil yang bersifat sambilan dengan ratarata kepemilikan 2-3 ekor. Pulungan dan Pambudy (1993) menyatakan ciri usaha
peternakan rakyat ini antar lain : skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga,
dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana sehingga
produktivitasnya rendah dan mutu produk bervariasi serta bersifat padat karya
dengan basis pengorganisasian kekeluargaan. Perusahaan sapi perah adalah usaha
komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki 10 ekor sapi laktasi atau
lebih, atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih.
5
Swastika et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di
Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih
rendah. Peternak Cibungbulang didominasi oleh peternakan rakyat, sebab umumnya
mereka memiliki sapi tidak lebih dari 10 ekor walaupun demikian, beberapa
diantaranya memiliki jumlah sapi yang cukup banyak yaitu lebih dari 10 ekor
(Sinaga, 2000). Rata-rata kepemilikan sapi perah di Tajur Halang, Cibeureum dan
kabupaten Bandung sebanyak 4 ekor, 7 ekor dan 3 ekor (Agustina, 2001 dan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011). Usaha sapi perah di kecamatan Cepogo,
Boyolali belum merupakan usaha komersial, ditandai dengan penguasaan ternak 2-4
ekor per kepala keluarga (Rusdiana dan Praharani, 2009).
Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice (GHP)
International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The
United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang
aman dari suatu peternakan sapi perah, maka ada lima bagian besar yang perlu
diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan
ternak, kesejahteraan ternak, dan lingkungan peternakan.
Menurut Direktorat
Penanganan Pasca Panen Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (2006), beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan susu
yang berkualitas baik diantaranya:
1) pemeliharaan kesehatan ternak agar selalu sehat dengan memberikan pakan yang
bergizi dan sesuai dengan kebutuhan ternak, serta melakukan pemeriksaan
kesehatan ternak secara rutin,
2) pekerja yang menangani ternak dan pemerahan harus dalam kondisi yang sehat,
menjaga diri agar tidak melakukan kebiasaan menggaruk, batuk-batuk, merokok
ataupun bersin untuk menghindarkan kontaminasi pada susu,
3) upaya menjaga lingkungan lingkungan agar selalu bersih sangat dianjurkan agar
dapat mencegah bahaya pencemaran susu pada saat pemerahan,
4) pemerahan dilakukan di tempat yang bersih, peralatan yang higienis dan
kebersihan ternak, serta dengan metode yang tepat,
5)
penyimpanan susu pada suhu dibawah 3-4 °C dilakukan secepat mungkin agar
bakteri tidak berkembang biak,
6
6) pengujian kualitas susu dengan parameter yang sesuai dengan parameter yang
dipersyaratkan IPS agar diketahui tingkat kualitas susu yang diterima oleh IPS
tersebut dan
7) pencucian serta sanitasi semua peralatan untuk penanganan susu setelah
digunakan.
Tujuan pemerahan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah untuk
mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak
sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total
cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun.
Menurut Puspitasari (2008), puting dan ambing perlu dibersihkan dengan air hangat.
Membersihkan ambing dan puting dengan air hangat bertujuan untuk membersihkan
ambing dan merangsang hormon pengeluaran susu, karena usapan yang hangat pada
ambing merangsang otak untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Lukman et al.
(2009) menambahkan bahwa ambing harus dicuci dengan air hangat selama 15-30
detik kemudian ambing dikeringkan dengan menggunakan lap yang bersih dan
kering kemudian ambing diberikan larutan pembersih seperti larutan klor dan
ambing dilap dengan kain yang kering.
Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada
mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi
perah adanya gejala mastitis atau tidak (Zakiah, 2011). Puting susu diberikan
sanitaiser (teat dipping) dan peralatan pemerahan harus dibersihkan setelah
pemerahan selesai (Lukman et al., 2009). Zakiah (2011) menambahkan susu yang
telah diperah, disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can.
Menurut Saleh (2004), penanganan susu dilakukan dengan cara:
1) Pemindahan air susu dari kandang. Setelah memerah, air susu dibawa ke kamar
susu.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu tersebut tidak
berbau sapi ataupun kotoran,
2) Penyaringan air susu untuk menghilangkan kotoran-kotoran dari air susu,
sebaiknya air susu disaring dengan menggunakan saringan yang memakai filter
kapas atau kain biasa yang dicuci dan direbus setiap kali habis dipakai,
7
3) Sebaiknya setelah diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan
agar dapat menghambat dan mengurangi perkembangan kuman.
o
Air susu
o
sebaiknya didinginkan maksimum 7 C dan minimum 4 C; dan
4) Pengawasan terhadap lalat perlu dilakukan. Hal ini dimaksud untuk mengurangi
jumlah kuman dan menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap
lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat
ditekan.
Tata Cara Pemerahan
Saleh (2004) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi susu
antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu
pemerahan. Jumlah pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi
susu daripada jika
hanya diperah dua kali sehari.
Sudono et al.
(2003)
menambahkan bahwa waktu pemerahan dalam sehari umumnya dilakukan dua kali,
yaitu pagi dan sore. Namun pemerahan sebaiknya dilakukan 3 kali jika produksi
lebih dari 25 liter per hari. Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang
dihasilkan. Jika jaraknya adalah 12 jam, maka jumlah susu yang dihasilkan pada
waktu pagi dan sore akan sama.
Jarak pemerahan yang tidak sama akan
menyebabkan jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari akan lebih sedikit daripada
susu yang dihasilkan pada pagi hari. Pemerahan pada pagi hari mendapatkan susu
sedikit berbeda komposisinya daripada susu hasil pemerahan sore hari. Mahardhika
et al. (2012) menyatakan bahwa metode pemerahan dengan tangan antara lain
yaitu whole hand milking, kneevelen dan strippen, diantara ketiga metode
tersebut yang terbaik adalah dengan menggunakan metode whole hand milking.
Saleh (2004) menyatakan bahwa pemerahan menggunakan tangan ataupun
menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan dalam produksi susu, kualitas
ataupun komposisi susu. Menurut Sudono et al. (2003) tahapan pemerahan dengan
cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:
1) Membersihkan kandang dari segala kotoran;
2) Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah;
3) Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika dilakukan
pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenan;
8
4) Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane
susu;
5) Membersihkan tangan pemerah;
6) Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih;
dan
7) Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan.
Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air
Lukman et al. (2009) menyebutkan bahwa, susu merupakan bahan makanan
dengan nilai gizi
tinggi, komponen nutrisi yang lengkap, dan komposisi yang
berimbang. Di sisi lain, susu termasuk produk yang mudah rusak. Susunan yang
sempurna dari susu sekaligus menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan
berbagai jenis mikroorganisme. Susu sangat peka terhadap cemaran kuman dan
mudah rusak. Kerusakan susu akibat kontaminasi kuman membahayakan konsumen,
karena dapat terjadi penularan penyakit seperti brucellosis dan tubercullosis (TBC).
Kontaminasi mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan. Cara
beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak
perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk
memperpanjang daya
tahan produk susu
sekaligus
menekan
pencemaran
mikroorganisme.
Dairy Hygiene Inspectorate (DHI) (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai
keamanan pangan, peralatan yang digunakan untuk pemerahan dan penanganan susu
harus selalu dibersihkan setelah digunakan. Pencucian peralatan pemerahan dan
penanganan susu harus dengan menggunakan larutan pembersih.
Total Bakteri
Menurut Sanjaya et al.
(2007), susu yang keluar dari ambing selalu
mengandung mikroba. Pencemaran dapat berasal dari ambing sendiri atau masuk
melalui puting susu.
Usmiati dan Nurdjannah (2007) menyebutkan bahwa
pemerahan secara manual menimbulkan kontaminasi bakteri jumlahnya cukup
banyak dan semakin bertambah saat susu dikumpulkan di tempat penampungan susu
dan koperasi. Kontaminasi bakteri juga disebabkan pemerahan yang tidak tuntas.
9
Santoso et al. (2012) menambahkan kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari
tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor.
Total mikroba yang terdapat pada susu di KUNAK Bogor sebanyak 2,8 ×
105cfu/ml (Aryana, 2011). Total mikroba pada peternakan sapi perah di Cisarua
Bandung sebanyak 3,5 × 106 cfu/ml (Budiyanto dan Usmiati, 2008). Hasil penelitian
Usmiati dan Nurdjannah (2007) menunjukkan bahwa TPC di daerah KUD
Sarwamukti dan Tandangsari Sumedang masing-masing sebesar 1,32 × 108 cfu/ml
dan 4,86 × 106 cfu/ml. TPC di daerah Semarang sebesar 1,1 × 106 cfu/ml.
10
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di peternakan rakyat sapi perah di daerah kelurahan
Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pengujian kualitas
susu dilaksanakan di Laboratotium Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan sekitar dua bulan dari
bulan Juni sampai dengan Bulan Juli 2012.
Materi
Bahan yang digunakan dalam pengujian kualitas susu yaitu susu, aquades,
Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW). Sebanyak 219 sapi
laktasi dilakukan pengujian mastitis menggunakan bahan yaitu pereaksi IPB-1
Mastitist Test.
Sebanyak 29 orang peternak di wawancarai dengan bantuan
kuisioner.
Instrumen untuk memperoleh data yaitu alat tulis, kuisioner, kamera, dan
videocam. Pengujian kualitas susu menggunakan tabung reaksi, waterbath, gelas
piala, cawan petri, botol kaca, gunting, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex),
inkubator, kompor, gelas ukur, pipet volumetrik, timbangan digital, cooler box, rak
tabung reaksi, mikro pipet, lemari steril, lemari pendingin, plastik wrap, kapas dan
plastik.
Prosedur
Penelitian dilaksanakan di peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes Bogor
dengan cara melakukan wawancara dan pengamatan langsung ke 29 peternak serta
melakukan uji kualitas susu meliputi uji mastitis pada 219 sapi laktasi dan TPC
(Total Plate Count) pada 29 ekor sapi.
Wawancara dan pengamatan langsung
bertujuan mengevaluasi penerapan Good Milking Practice (GMiP).
Wawancara
dilakukan pada seluruh peternak di kebon pedes yamg berjumlah 29 orang.
Wawancara dan pengamatan langsung berpedoman pada kuisioner yang telah
disiapkan.
Aspek sebelum, saat dan setelah pemerahan yang diamati yaitu:
kebersihan kandang, peralatan pemerahan, penanganan ambing, pemerah, uji
mastitis, teknik memerah, penanganan sapi, pengalaman pemerah, pemberian pakan,
pembersihan puting, dan penanganan sapi.
Aspek pemerahan yang ditinjau
menentukan performa pelaksanaan GMiP.
11
Total Plate Count (Badan Standarisasi Nasional, 2008)
Pemupukan menggunakan media Plate Count Agar (PCA). Pengenceran
dilakukan dengan cara pengambilan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan dalam 9 ml
Buffer Pepton Water (BPW) untuk mendapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1).
Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran
seperseratus (P-2) hingga diperoleh P-8. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang
dikehendaki (P-3 sampai P-5) diambil/diteteskan dengan pipet ke dalam cawan petri
steril, kemudian ditambahkan media PCA yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1 oC )
dituangkan ke dalam cawan petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran
tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk
arah angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasikan dengan posisi
terbalik pada suhu 37 ± 1 oC selama 24 - 48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan
metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil sesuai dengan Standard Plate
Count (SPC).
Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer
IPB-1 Mastitis Test (Sudarwanto, 1998)
Sebanyak dua ml contoh susu dimasukkan ke pedel, lalu ditambahkan dua ml
pereaksi IPB-1. Pencampuran keduanya dibantu dengan menggerak-gerakkan pedel
secara horizontal. Hasil dibaca berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi yaitu:
tidak ada gumpalan, gumpalan sedikit, gumpalan nyata, cepat menggumpal terdapat
sedikit jel, jel terbentuk; dengan hasil diberi tanda -, +, ++, +++, ++++ .
Rancangan dan Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif
digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi perah rakyat
di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Data yang diperoleh
dengan kuisioner disimpulkan sesuai poin-poin yang telah disusun dan diberi skor 4,
3, 2, 1 dan 0. Nilai yang didapat dari setiap aspek kemudian dirata-ratakan. Hasil
evaluasi aspek pemerahan kemudian diberi nilai mutu dengan penjabaran sebagai
berikut :
1) jika nilai rata-rata 0,00 – 0,50 maka nilai mutu yang diberikan adalah 0, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut sangat buruk;
12
2) jika nilai rata-rata 0,51 – 1,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 1, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut buruk;
3) jika nilai rata-rata 1,01 – 2,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 2, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut kurang baik;
4) jika nilai rata-rata 2,01 – 3,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 3, artinya
penerapan GMiP di peternakan cukup baik;
5) jika nilai rata-rata 3,01 – 4,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 4, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut baik.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan
Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat
pemerintahan kota ± 2 km dan dari pusat pemerintahan kecamatan ± 0,5 km.
Kelurahan Kebon Pedes mempunyai luas sekitar 104 ha. Kelurahan Kebon Pedes
berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak di sebelah Utara, Kelurahan Cibogor di
sebelah Selatan, Kelurahan Ciwaringin di sebelah Barat dan Kelurahan Tanah Sareal
di sebelah Timur.
Kebon pedes memiliki topografi yang datar, berada pada
ketinggian 250 dpl, curah hujan rata-rata 3.500 - 4.000 m, suhu diantara 22-32 oC
dan kelembaban 55%-96%.
Kebon Pedes kurang sesuai dijadikan wilayah
peternakan sapi perah. Sutardi (1981) menyebutkan bahwa lokasi yang baik untuk
ternak sapi perah pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Suhu di Kebon
Pedes juga tidak baik untuk sapi perah. Suhu rata-rata yang baik untuk sapi perah
adalah 18,3 oC (Sutardi, 1981).
Kawasan peternakan sapi perah Kebon Pedes berada di daerah padat
penduduk.
Keterbatasan lahan dapat menyulitkan peternak terutama dalam
penyediaan lahan untuk menanam hijauan, penambahan luas kandang, dan
pengolahan limbah. Penyediaan pakan hijauan sulit dilakukan karena peternak harus
mencari hijauan lebih jauh dari kawasan peternakan.
Peternak memanfaatkan
alternatif hijauan dengan memanfaatkan limbah pasar berupa klobot jagung.
Kandang sapi mempunyai ukuran yang kecil, sangat berdekatan dengan rumah warga
bahkan menjadi satu dengan rumah peternak. Pengelolaan limbah menjadi masalah
besar karena sebagian besar limbah langsung dibuang tanpa diolah terlebih dahulu.
Hal ini dapat mencemari lingkungan perairan dan lingkungan sekitarnya.
Keterbatasan lahan peternakan tidak menghalangi peternak untuk melakukan
usaha ternaknya.
Lokasi peternakan merupakan daerah perkotaan memudahkan
peternak dalam pemasaran susu. Setiap hari masyarakat sekitar datang membeli dan
distributor lokal atau loper datang ke peternakan untuk membeli dan menjual
kembali susu ke masyarakat.
Peternak menjual sebagian produksi susunya ke
Koperasi Peternak Sapi (KPS) karena peternak terhimpun sebagai anggota KPS.
Peternak menjual susu sapi langsung kemasyarakat atau distributor lokal lebih
14
banyak dibanding menjual ke KPS. Susu dari peternak dihargai oleh KPS Rp.
3000/liter sedangkan non-KPS membeli susu dari peternak Rp. 5000/liter. Terdapat
selisih harga Rp. 2000/liter sehingga peternak lebih menyukai menjual susu langsung
ke masyarakat ataupun distributor lokal.
Tabel 2. Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun 2012
No.
Uraian
Jumlah (ekor)
Satuan Ternak
% Satuan Ternak
219,00
219,00
63,80
a. Tidak bunting
2,00
2,00
0,60
b. Bunting
12,00
12,00
3,50
a. Tidak bunting
29,00
14,50
4,22
b. Bunting
37,00
18,50
5,40
a. Muda
35,00
17,50
10,19
b. Dewasa
24,00
24,00
6,99
a. Jantan
22,00
5,50
1,60
b. Betina
51,00
12,75
3,70
431,00
343,25
100,00
1
Sapi Laktasi
2
Kering kandang
3
4
5
Sapi dara
Jantan
Anak
Total
Peternak sapi perah di Kebon Pedes berjumlah 29 orang.
Sapi perah
digunakan oleh peternak adalah bangsa sapi FH dan peranakan FH. Sapi perah
terdapat di Kebon pedes berjumlah 431 ekor.
Sebagian besar sapi dipelihara
peternak adalah sapi sedang laktasi yaitu 63,8% (Tabel 2) dari total populasi.
Bangunan kandang sapi di Kebon Pedes berdekatan dengan rumah bahkan
terdapat kandang yang menyatu dengan rumah menyalahi syarat-syarat teknis
perusahaan peternakan sapi perah yang dikeluarkan Direktur Jenderal Peternakan
(1982) menyatakan bahwa ketentuan lokasi perusahaan peternakan sapi perah, yaitu:
1. Lokasi peternakan sapi perah tidak bertentangan dengan ketertiban dan
kepentingan umum setempat.
15
2. Lokasi peternakan sapi perah tidak terletak di pusat kota dan pemukiman
penduduk dengan jarak sekurang-kurangnya 250 m dari pemukiman
penduduk.
3. Letak
atau
ketinggian
lokasi
terhadap
wilayah
sekitarnya
harus
memperhatikan lingkungan atau topografi sedemikian rupa sehingga kotoran
dan sisa-sisa perusahaan tidak mencemari wilayah di sekitar perusahaan.
Peternak Kebon Pedes tidak ingin sepenuhnya disalahkan karena kawasan
peternakan sudah ada sebelum pemukiman di daerah sekitar menjadi padat. Mereka
berpendapat bahwa masyarakat yang datang mendekati kawasan peternakan.
Pemerintah Kota Bogor pada tahun 1995 merelokasi usaha peternakan sapi perah di
Kebon Pedes ke wilayah Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) di Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Sebagian besar peternak menolak relokasi tersebut
karena mereka menilai bahwa dilokasi baru akan mengalami kesulitan dalam hal
pemasaran serta membutuhkan banyak biaya untuk membangun sarana dan prasarana
peternakan.
Umur Peternak
Data hasil kajian penerapan Good Milking Practice berdasarkan umur
peternak disajikan pada Tabel 3. Persentase peternak berumur antara 18-30 tahun
sebanyak 17,24%, menunjukkan bahwa ketertarikan golongan muda untuk bekerja
sebagai peternak kurang dan lebih memilih bekerja di luar bidang peternakan. Hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya krisis peternak di tahun-tahun berikutnya.
Peternak berusia muda dan sedang digolongkan peternak yang energik dan kreatif.
Menurut Nadjib (1990), peternak berusia muda ialah peternak yang berumur antara
18-35 tahun, peternak yang berumur antara 36-45 tahun termasuk peternak yang
berusia sedang.
Mereka yang berumur antara 46-64 tahun sudah digolongkan
berusia agak lanjut dan peternak lebih dari 64 tahun termasuk berusia lanjut.
Sebagian besar peternak Kebon Pedes berumur 50 tahun dengan persentase 44,82%,
termasuk golongan agak lanjut dan lanjut. Golongan lanjut dan agak lanjut bertolak
belakang dengan golongan muda.
Umur mempengaruhi produktifitas peternak
karena pada usia tua kemampuan berfikir dan fisik semakin berkurang seiring
bertambahnya usia.
16
Tabel 3. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur Peternak
Umur Peternak
Jumlah Peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
18-30 tahun
5
17,24
1,92
31-40 tahun
7
24,14
1,94
41-50 tahun
4
13,79
1,98
51-60 tahun
9
31,03
1,84
> 60 tahun
4
13,79
1,67
Total
29
100,00
1,87
Rataan Good Milking Practice berdasarkan umur peternak sebesar 1,87.
Hasil kajian GMiP menunjukkan bahwa nilai penerapan yang paling tinggi
dihasilkan oleh peternak yang berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 1,98.
Namun penerapan GMiP oleh peternak tersebut kurang baik. Umur 41-50 tahun
dikaitkan dengan pengalaman bekerja yang cukup, terlatih dalam bekerja dan
memiliki etos kerja baik namun tidak terlalu tua untuk menghasilkan karya-karya
kreatif dan terbuka dalam menerima perubahan. Nilai penerapan Good Milking
Practice yang paling kecil ditunjukkan oleh peternak berumur diatas 60 tahun, yaitu
sebesar 1,67 mungkin dikarenakan tenaga kurang untuk beternak dan kurang terbuka
dalam menerima masukan.
Pasaribu (2007) menjelaskan bahwa keterampilan
seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi semakin
menurun seiring dengan berjalannya waktu, kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut,
dan kurangnya rangsangan intelektual pada usia tua, dapat berpengaruh terhadap
berkurangnya produktivitas.
Lama Beternak
Pengalaman beternak berpengaruh terhadap pengetahuan peternak tentang
manajemen pemerahan yang baik. Hasil kajian penerapan Good Milking Practice
oleh peternak Kebon Pedes ditinjau dari pengalaman beternak disajikan pada Tabel
4. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata peternak Kebon Pedes yaitu 56,52%
memiliki pengalaman beternak lebih dari 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
profesi beternak di peternakan sapi perah Kebon Pedes merupakan usaha yang sudah
dilakukan secara turun menurun (Salundik, 2012).
17
Tabel 4. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama Beternak
Lama Beternak
Jumlah Peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
40 tahun
3
10,35
1,86
Total
29
100,00
1,89
Nilai GMiP tertinggi dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 21-30
tahun sedangkan terendah dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 31-40,
hasil ini kontradiktif dengan penjelasan Pasaribu (2007) menyatakan bahwa semakin
lama masa kerja maka semakin banyak pula orang tersebut mendapatkan pendidikan
dan pelatihan yang akan mendukung pekerjaan mereka sehingga dapat meningkatkan
produktivitas kerjanya akan tetapi penerapan GMiP oleh peternak kurang baik
dengan nilai antara 1,01-2,00. Peternak meyakini manajemen pemeliharaan yang
selama ini dilaksanakan sudah benar dan sulit menerima masukan-masukan baru,
selain itu perkembangan pengetahuan peternak yang lambat mengenai teknologi
peternakan karena informasi tidak terjangkau oleh peternak.
Pendidikan
Pendidikan peternak merupakan salah satu faktor berhasilnya usaha ternak.
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa peternak sapi perah Kebon Pedes
sebagian besar lulusan SMA (37,93%) disusul lulusan SMP (27,59%) dan lulusan SD
(20,69%). Peternak sapi perah Kebon Pedes yang tidak mengenyam pendidikan
sebesar 3,45% dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan tinggi Diploma
sebesar 3,45% dan Strata 1 sebesar 6,89%. Peternak sapi perah Kebon Pedes
lulusan perguruan tinggi ternyata memiliki nilai GMiP lebih rendah (2,08) dibanding
peternak yang sama sekali tidak bersekolah (2,17) akan tetapi penerapan GMiP
kedua peternak itu sama-sama cukup (nilai GMiP 2,01-3,00).
bertolakbelakang
Hasil ini
dengan pendapat Pasaribu (2007) yang menyatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan dan meningkatkan produktivitas pegawai.
Pelatihan
18
bertujuan untuk meningkatkan keahlian dalam menjalankan suatu pekerjaan tertentu
dan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan
lingkungan. Peternak berpendidikan tinggi seharusnya menghasilkan nilai GMiP
lebih besar dibanding peternak berpendidikan rendah.
Gejala ini mungkin
disebabkan jurusan pendidikan yang diambil tidak sesuai dengan bidang peternakan.
Tabel 5. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Pendidikan
Pendidikan
Jumlah peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
Tidak Sekolah
1
3,45
2,17
SD/ Sederajat
6
20,69
1,96
SMP/Sederajat
8
27,59
1,71
SMA/ Sederajat
11
37,93
1,86
Akademi D1-D3
1
3,45
2,08
Strata 1 (S1)
2
6,89
2,08
29
100
1,88
Good Milking Practice
Manajeman pemerahan meliputi manajemen sebelum pemerahan, manajemen
saat pemerahan dan manajemen setelah pemerahan. Manajemen sebelum pemerahan
meliputi pembersihan kandang, pembersihan peralatan pemerahan, pembersihan
ambing dan kebersihan pemerah. Manajemen saat pemerahan meliputi tes mastitis,
memerah, handling sapi, dan pemberian pakan.
Manajemen setelah pemerahan
meliputi pembersihan puting, penanganan susu dan penanganan sapi.
Sebelum Pemerahan
Pemerahan oleh peternak di Kebon Pedes dilakukan pada pagi dan sore hari.
Pagi hari peternak memulai kegiatan memerah jam 3 pagi dan terdapat peternak
memulai kegiatan memerah jam 6 pagi, sedangkan di sore hari peternak memerah
jam 3 sore. Peternak memulai pemerahan jam 3 pagi mempunyai interval pemerahan
12:12 jam sedangkan peternak yang memulai pemerahan jam 6 pagi mempunyai
interval pemerahan 9:15 jam. Schmidt (1971) menyatakan sapi diperah dengan
selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak dibandingkan
dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam. Jumlah produksi susu
19
dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan
cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu
pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003).
Tabel 6. Hasil Kajian Good Milking Practice Sebelum Pemerahan
No
Aspek pemerahan
Nilai
1
Kebersihan kandang
2,72
2
Peralatan
1,55
3
Ambing
1,48
4
Pemerah
2,03
Kegiatan pemerahan di Kebon Pedes diawali dengan membersihkan kandang.
Pembersihan kandang penting dilakukan sebelum pemerahan karena dapat
menghindarkan kontaminasi susu dari feses sapi ataupun kotoran sisa pakan.
Peternak sapi perah di Kebon Pedes membersihkan feses yang menempel di lantai
dan di dinding kandang dilanjutkan dengan membersihkan kotoran sisa pakan yang
terdapat di tempat pakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemerahan
dilakukan antara lain kandang terlebih dahulu dibersihkan dan menghindari
mengerjakan aktifitas lain (Lukman et al., 2009). Sudono (1999) menyatakan bahwa
sebelum sapi diperah, kandang tempat sapi harus dibersihkan dan dihilangkan dari
bau, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang
berbau atau silage karena air susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat
mempengaruhi kualitas susu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP pada
aspek kebersihan kandang adalah cukup dengan nilai 2,72 (Tabel 6).
Peternak sapi perah di Kebon Pedes umumnya menggunakan ember plastik
bekas untuk menampung susu, hanya sebagian kecil yang menampung susu
menggunakan ember stainless steel. Ember yang digunakan untuk memerah sudah
kering karena telah dibersihkan setelah selesai digunakan pada saat pemerahan
sebelumnya. Peternak sapi perah Kebon Pedes mencuci ember yang digunakan
untuk memerah hanya menggunakan air dingin. Menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (1998) pencucian peralatan misalnya ember, milk can,
botol dan lain-lain sebaiknya dengan menggunakan air panas dan larutan klor.
Hal ini dapat melarutkan lemak susu yang menempel pada alat–alat tersebut.
20
Peralatan yang tidak bersih dalam penanganan susu mengakibatkan susu
mengandung mikroorganisme. Peforma peternak dalam menerapkan GMiP aspek
peralatan pemerahan kurang baik dengan nilai sebesar 1,55 (Tabel 6). Peralatan
pemerahan terutama ember dan milk can yang digunakan untuk pemerahan harus
sudah dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan yang digunakan untuk pemerahan
harus memiliki permukaan yang licin agar mudah membersihkannya. Ember plastik
yang digunakan peternak untuk menampung susu sangat mudah tergores, sehingga
susu dapat tertinggal disela-sela goresan dan menjadi tempat berkembang mikroba.
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa peternak sapi perah
Kebon Pedes membersihkan ambing hanya dengan menyiramkan air dingin.
Penerapan GMiP pada aspek kebersihan ambing kurang baik dilaksanakan peternak
dengan nilai sebesar 1,48 (Tabel 6). Pembersihan dengan cara penyiraman air dapat
mengakibatkan air yang disiramkan peternak dapat jatuh dan mengontaminasi susu.
Proses pembersihan ambing dilakukan untuk membersihkan kotoran yang menempel
pada ambing.
Pembersihan ambing dilakukan dengan cara membasuh ambing
dengan air hangat menggunakan kain yang bersih kemudian pencelupan ambing ke
larutan desinfektan.
Khasanah (2010) menyatakan pencelupan puting akan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang masuk
melalui lubang puting,
dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel
sehingga
desinfektan
dapat
masuk
dalam
sitoplasma
sampai
pada
sel
mikroorganisme, dengan demikian mikroorganisme tidak dapat berkembang biak
hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati,
sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin.
Pembersihan ambing dapat sekaligus merangsang hormon pengeluaran susu.
Rangsangan pada ambing dilakukan anak sapi atau oleh peternak. Rangsangan pada
ambing secara otomatis memerintahkan otak untuk melepaskan hormon oksitosin.
Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan adanya pelepasan hormon
oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitari dan masuk ke dalam aliran darah.
Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya
kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu
memasuki sistem saluran yang lebih besar. Pelepasan air susu hanya berlangsung 6
21
sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar
diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994).
Peforma pemerahan dari aspek kebersihan peternak dan keselamatan kerja
cukup dengan nilai sebesar 2,03 (Tabel 6). Kebersihan peternak dapat menjaga
higienitas pemerahan karena peternak sebagai subjek pemerahan langsung terlibat
dalam proses pemerahan. Selain itu, faktor keselamatan pekerja saat memerah perlu
diperhatikan.
Idealnya saat memerah peternak dalam keadaan bersih dan
menggunakan sepatu bot, karet atau kulit untuk menghindarkan kaki peternak
terinjak sapi dan menginjak feses. Pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa
sebagian besar peternak sapi perah Kebon Pedes tidak mandi atau membersihkan diri
sebelum melakukan pemerahan.
Kontaminasi susu dapat berasal dari peternak,
seperti dari tangan peternak yang kotor, pakaian dan kelengkapan pemerahan yang
lain.
Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa tangan pemerah
merupakan salah satu sumber kontaminasi mikroorganisme dalam susu, dengan
ditemukannya mikroorganisme pathogen seperti Staphylococcus aureus (S. aureus)
dan Escherichia coli (E. coli). Kesadaran peternak dalam menjaga keselamatan kerja
sudah tinggi. Hal ini terbukti dengan peternak memakai sepatu bot setiap melakukan
pemerahan.
Saat Pemerahan
Susu dari perahan pertama digunakan untuk menguji apakah sapi terjangkit
mastitis. Susu hasil perahan pertama mengandung banyak mikroba ikut terbuang
untuk digunakan sebagai uji mastitis. Menurut Usmiati dan Nurdjannah (2009)
untuk menghindari kontaminasi silang, maka sapi terjangkit mastitis harus dipisah
penanganannya serta diobati secara tuntas. Mastitis dalam keadaan parah dapat
mematikan puting susu sehingga puting tidak berfungsi. Nilai untuk aspek Good
Milking Practice ambing sangat buruk dengan nilai sebesar nol (Tabel 7) artinya
belum ada kesadaran peternak untuk memperhatikan kesehatan ambing sapi perah.
Sapi perah sehat dan kebutuhan gizi cukup tentu dapat menghasilkan produksi susu
maksimal.
Peternak sapi perah Kebon Pedes melakukan pemerahan secara manual
dengan tangan menggunakan teknik memerah dua jari. Memerah dilakukan menarik
puting dari atas ke bawah. Pemerahan dengan cara menarik puting susu dari atas ke
22
bawah dapat membuat puting menjadi panjang ke bawah (Siregar et al., 1996).
Kelemahan pemerahan dengan dua jari adalah mudah terjadi perlukaan pada
ambing, ambing dan puting selalu basah, dan sumber kontaminasi karena ambing
terus bergerak dan tertarik. Keuntungan pemerahan dengan seluruh jari adalah
memerah lebih cepat, puting tidak tertarik, dan puting tidak terlalu basah sehingga
kotoran jarang atau sedikit terikut dalam susu (Lukman et al., 2009). Nilai peforma
peternak untuk aspek teknik memerah sebesar nol artinya peforma peternak sangat
buruk dalam teknik memerah.
Tabel 7. Hasil Kajian Good Milking Practice Saat Pemerahan
No
Aspek pemerahan
Nilai
1
Ambing
0,00
2
Memerah
0,00
3
Penanganan sapi
1,00
4
Pemerah
2,93
5
Pemberian pakan
2,76
Memerah sapi dibantu dengan pelicin berupa margarin ataupun vaselin. Sapi
yang diperah dengan margarin dapat mempengaruhi kualitas susu. Saputro (2009)
mengatakan, bahwa pelicin berupa margarin atau minyak kelapa bertujuan untuk
mempermudah proses pemerahan dan sapi tidak merasa sakit, namun penggunaan
pelicin dapat menyebabkan kontaminasi pada susu yang dihasilkan. Pelicin banyak
mengandung lemak sering terbawa dalam susu sehingga menyebabkan mudah terjadi
ketengikan. Hidayat et al. (2002) menambahkan bahwa penggunaan vaselin pada
proses pemerahan akan menutupi permukaan puting.
Bila terus menerus
menggunakan pelicin (vaselin), maka penularan penyakit sulit untuk dihindari,
sehingga sebaiknya vaselin tidak digunakan.
Pelaksanaan yang buruk dalam menerapkan GMiP dengan aspek penanganan
sapi dengan nilai sebesar 1,00 (Tabel 7). Menurut Sanjaya et al. (2007), Jumlah
mikroba bertambah dengan adanya pencemaran dari sapi. Sapi yang akan diperah
sebaiknya terlebih dahulu diikat kaki dan ekornya, sehingga tidak menyulitkan
peternak yang memerah.
Sapi yang tidak tenang dan banyak bergerak saat
23
pemerahan dapat menginjak susu yang telah ditampung dalam ember penampung
susu. Kotoran dari ekor sapi dapat masuk ke dalam ember apabila tidak diikat.
Peforma penerapan GMiP oleh peternak sapi perah di Kebon Pedes pada
aspek pemerah adalah cukup dengan nilai sebesar 2,93 (Tabel 7).
peternak untuk tidak merokok saat memerah sangat kurang.
Kesadaran
Merokok dapat
mempengaruhi kualitas susu dan dapat memperlambat proses pemerahan.
Keberhasilan pemerahan dipengaruhi oleh pengalaman peternak. Peternak
berpengalaman memiliki ketelatenan tinggi sehingga sapi diperah dengan nyaman.
Pengalaman dimiliki peternak di dapat secara otodidak untuk memelihara sapi perah
bertahun-tahun maupun melalui penyuluhan yang mereka dapatkan. Salundik (2012)
menyatakan bahwa sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (65,72%)
telah memiliki pengalaman beternak sapi perah sudah lebih dari 20 tahun. Sebagian
besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (97,14%) pernah mengikuti pendidikan
informal seperti pelatihan-pelatihan terkait sebagai profesi peternak akan
meningkatkan keterampilan sesuai dengan jenis pelatihan yang pernah diikuti.
Pelatihan yang pernah diikuti peternak antara lain pelatihan budidaya sapi perah,
pengolahan limbah dan pembuatan bio gas serta pengolahan susu dan pemeriksaan
kualitas susu.
Pola pemberian pakan sapi perah oleh Peternak di Kebon Pedes sangat
beragam. Pemberian pakan konsentrat atau hijauan ketika pemerahan dilakukan
peternak agar sapi tenang saat diperah.
Performa peternak cukup baik dalam
melaksanakan GMiP dengan aspek pemberian pakan saat pemerahan dengan nilai
sebesar 2,76 (Tabel 7). Menurut Sudono et al. (2003), konsentrat diberikan kepada
sapi yang akan diperah sehingga pada saat pemerahan, sapi makan dalam keadaan
tenang. Tristy (2009) menambahkan bahwa pemberian hijauan yang baik adalah
setelah pemerahan, sebab apabila diberikan sebelum pemerahan akan menurunkan
kualitas susu.
Hal ini berkaitan dengan baubauan hijauan yang dapat
mengontaminasi susu.
Hal tersebut dapat terjadi karena susu memiliki sifat
mengabsorbsi bau-bauan disekitarnya.
Setelah Pemerahan
Peternak sapi perah di kebon Pedes setelah proses pemerahan, menstripping
puting hingga susu di dalam ambing habis kemudian membersihkan puting dengan
24
cara menyiramkan air dingin ke puting. Pembersihan puting oleh peternak kurang
baik dilaksanakan dengan nilai Good Milking Practice aspek kebersihan puting
sebesar 2,00 (Tabel 8). Setelah pemerahan dilaksanakan, puting seharusnya diberi
larutan desinfektan untuk menghilangkan mikroba yang menempel.
Direktorat
Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa keuntungan melakukan suci hama
adalah puting dapat terhindar dari mastitis.
Pembersihan puting dengan
menyiramkan air dingin akan memicu berkembangnya mikroba hingga bermuara
menjadi penyakit mastitis.
Sudono (1999) menyarankan selesai diperah puting
dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan klorin atau iodophor
dengan kepekatan 0,01%.
Perlakuan pencelupan puting akan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme
bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma
sampai pada sel mikroorganisme. Mikroorganisme tidak dapat berkembang biak
hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati,
sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin (Khasanah, 2010).
Tabel 8. Hasil Kajian Good Milking Practice Setelah Pemerahan
No.
Aspek pemerahan
Nilai
1
Puting
2,00
2
Penanganan susu setelah pemerahan
2,14
3
Sapi setelah diperah
3,59
Susu didapat dari hasil pemerahan sebaiknya ditimbang terlebih dahulu dan
disaring. Penimbangan berfungsi untuk mengetahui produksi susu sehingga peternak
dapat memperhitungkan aliran keuangan serta dapat digunakan untuk menentukan
langkah manajemen peternakan berikutnya. Kotoran tercampur dengan susu dapat
tertahan apabila susu disaring.
Peternak menyaring susu dengan kain.
Nilai
penerapan GMiP sebesar 2,14 (Tabel 8) yang berarti peternak cukup baik
melaksanakan
KHAIRUL IKHWAN. D14080037. 2013. Evaluasi Good Milking Practice Pada
Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah
Sareal Bogor. Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si
Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si
Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan
melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat
pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan
ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan.
Penanganan susu yang kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan
keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi
pendapatan peternak. Pemerahan yang higienis dapat terwujud dengan menerapkan
Good Milking Practice (GMiP).
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai dari bulan Juni sampai
Juli 2012. Sapi yang digunakan dalam penelitian adalah sapi FH betina laktasi
berjumlah 219 ekor dari 29 peternak. Pengambilan data dengan cara wawancara dan
observasi menggunakan kuisioner. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Penelitian dilakukan untuk mengkaji penerapan Good Milking Practice (GMiP) di
kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kajian dibagi
menjadi tiga aspek pemerahan yaitu (a) sebelum pemerahan (b) saat pemerahan (c)
setelah pemerahan. Kajian GMiP juga dilakukan berdasarkan umur dan lama
beternak.
Hasil kajian GMiP memperlihatkan peternak kurang baik melaksanakan
GMiP saat pemerahan dan sebelum pemerahan, namun peternak cukup baik
melaksanakan GMiP setelah pemerahan. Peternak berumur 31-40 tahun dan
pengalaman beternak 21-30 tahun menghasilkan nilai penerapan GMiP tertinggi.
Pengalaman peternak yang tinggi ternyata tidak menghasilkan nilai GMiP yang
tinggi. Peternak dengan penerapan GMiP cukup memiliki jumlah Total Plate Count
(TPC) lebih tinggi akan tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding
peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Kuarter ambing sapi bagian belakang
lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%).
Kata-kata kunci : Good Milking Practice, Kebon Pedes, sapi perah.
i
ABSTRACT
Evaluation of Good Milking Practice (GMiP) on the Traditionally Farms at
Kebon Pedes Tanah Sareal District Bogor
Ikhwan, K., A. Atabany, A. Murfi
Less hygienic handling of milk resulted in low quality and safety of milk causing
major losses and reducing farmer income. Milking hygiene can be realized by
implementing Good Milking Practice (GMiP). Interview and observation have been
done to 29 sample farmers in Kebon Pedes, Tanah Sareal district, Bogor. The
questionnaire was used as tool for observation and interview process. Three
important aspects of Good Milking Practice have been evaluated i.e. (a) pre-milking
(b) milking (c) post milking. The results showed that the highest value of Good
Milking Practice had implemented by farmers aged 31-40 years. Farmers by 21-30
years experience result the highest Good Milking Practice value. Higher experience
has no effect on the high value of GMiP. The result in implemented of Good
Milking Practice showed that the farmers had less implemented of Good Milking
Practice aspects in their dairy farm.
This condition associated with low
microbiological quality of the milk. The good enough farmers doing GMiP produce
TPC but produce mastitis lower than poorly farmers doing GMiP. Amount of 876
quarters affected in cows, hind quarters showed higher involvement (55,81%) than
fore quarters (44,19%).
Keywords: Good Milking Practice (GMiP), Kebon Pedes , Traditional farmer
ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi susu per kapita di Indonesia tergolong rendah dibanding negara
Asia lainnya walaupun tingkat konsumsi terus meningkat karena pertumbuhan
penduduk.
Produksi susu dari peternak lokal sebagian besar diserap Industri
Pengolahan Susu (IPS). Peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan
kualitas yang ditetapkan oleh IPS. Kualitas mikrobiologis dan fisiko-kimia susu
yang buruk dapat menyebabkan penolakan dari IPS, sehingga susu tersebut dibuang.
Penanganan susu kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan
keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi
pendapatan peternak.
Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah
terjadinya pencemaran susu. Kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat berasal
dari 3 sumber yaitu lingkungan, ambing dan peralatan susu. Pencemaran dapat
berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia,
peralatan, dan udara.
Jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dapat
bertambah karena beberapa faktor, antara lain pencemaran dari tangan dan baju
pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, air, serta peralatan lain juga dapat
meningkatkan jumlah mikroorganisme (Lukman et al., 2009).
Penanganan susu secara higienis akan meningkatkan mutu dan keamanan
susu.
Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan
melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat
pemerahan dan lingkungan (pakan dan kandang), kebersihan dan kesehatan ternak,
serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan
dan pengawasan yang ketat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menjaga
kualitas susu.
Pemerahan higienis dapat terwujud dengan melaksanakan Good Milking
Practice (GMiP). Good Milking Practice (GMiP) adalah tata cara pemerahan yang
baik dan benar untuk menghindarkan kontaminasi yang dapat menurunkan kualitas
susu. Good Milking Practice (GMiP) sangat mudah diterapkan namun di Indonesia
penerapan GMiP kurang mendapat perhatian terutama oleh peternak rakyat.
1
Kebon Pedes merupakan pusat peternakan sapi perah di Kota Bogor Jawa
Barat. Peternak sapi perah di Kebon Pedes merupakan peternakan sapi perah rakyat.
Peternak memerah secara tradisional tanpa memperhatikan kebersihan dan kesehatan
proses pemerahan. Peternak memerah sapi dengan menggunakan tangan dan dengan
peralatan seadanya. Susu segar dihasilkan peternak dijual langsung ke masyarakat
melalui distributor lokal. Penerapan Good Milking Practices (GMiP) diharapkan
menjaga kualitas susu yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPS serta
aman dikonsumsi masyarakat.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Good Milking Practice
(GMiP) sapi perah di peternakan rakyat Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota
Bogor Jawa Barat.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein (FH)
Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu
hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat
ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah
dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011).
Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susu paling tinggi dengan kadar lemak susu
rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis
maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan
jantan dewasa 1000 kg (Sudono et al., 2003).
Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot
badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi
susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu lingkungan
yang optimum untuk sapi dewasa berkisar antara 5-21 oC, sedangkan kelembaban
udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran
50%-75% (Ensminger, 1995). Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi
rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).
Kualitas Susu
Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih,
yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun
kecuali pendinginan (BSN, 2011). Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada
Tabel 1. Kandungan terbesar susu adalah air. Lemak susu mengandung vitamin
yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan Martindah,
2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan masa laktasi.
Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik
sedikit (Sudono et al., 2003).
Kandungan gizi yang terdapat dalam susu yaitu, laktosa berfungsi sebagai
sumber energi, kalsium membantu dalam pembentukan massa tulang, lemak
menghasilkan energi, protein kaya akan kandungan lisin, niasin dan ferum, serta
mineral-mineral lain seperti magnesium, seng dan potasium (Susilorini dan Sawitri,
3
2006). Susu mengandung berbagai macam protein, dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu karena
adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk).
Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara
alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012).
Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011)
No
Karakteristik
Satuan
Syarat
g/ml
1,0270
a.
Berat jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum
b.
Kadar lemak minimum
%
3,0
c.
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum
%
7,8
d.
Kadar protein minimum
%
2,8
e.
Warna, bau, rasa, kekentalan
-
Tidak ada perubahan
SH
6,0 – 7,5
o
f.
Derajat asam
g.
pH
-
6,3 – 6,8
h.
Uji alkohol (70%) v/v
-
Negatif
i.
Cemaran mikroba, maksimum:
1.
Total Plate Count
CFU/ml
1 × 106
2.
Staphylococcus aureus
CFU/ml
1 × 102
3.
Enterobacteriaceae
CFU/ml
1 × 103
sel/ml
4 × 105
-
Negatif
-
Negatif
j.
Jumlah sel somatik maksimum
k.
Residu
antibiotika
(Golongan
penisilin,
Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida)
l.
Uji pemalsuan
m.
Titik beku
n.
Uji peroxidase
o.
Cemaran logam berat, maksimum:
o
C
-0,520 s.d -0,560
-
Positif
1.
Timbal (Pb)
µg/ml
0,02
2.
Merkuri (Hg)
µg/ml
0,03
3.
Arsen (As)
µg/ml
0,1
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2011)
4
Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi susu yaitu: bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi),
umur, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan. Bangsa
sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda, misalnya sapi
perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah bila
dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010).
Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama
terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada
akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut
biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada
musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009).
Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap
komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu
menurun sekitar 0,2% (Muchtadi, 2009).
Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan
akan mengurangi produksi susu.
Keragaman cukup besar yang terjadi dalam
kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi
komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan
tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat
jelas kadar dan komposisi lemak susu (Muchtadi, 2009).
Usaha Sapi Perah
Mukson et al. (2009) menyatakan bahwa secara umum pengelolaan sapi
perah oleh petani masih dilakukan secara tradisional. Usaha ternak sapi perah saat
ini sebagian besar masih berbentuk usaha kecil yang bersifat sambilan dengan ratarata kepemilikan 2-3 ekor. Pulungan dan Pambudy (1993) menyatakan ciri usaha
peternakan rakyat ini antar lain : skala usaha kecil, motif produksi rumah tangga,
dilakukan sebagai usaha sampingan, menggunakan teknologi sederhana sehingga
produktivitasnya rendah dan mutu produk bervariasi serta bersifat padat karya
dengan basis pengorganisasian kekeluargaan. Perusahaan sapi perah adalah usaha
komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki 10 ekor sapi laktasi atau
lebih, atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih.
5
Swastika et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di
Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih
rendah. Peternak Cibungbulang didominasi oleh peternakan rakyat, sebab umumnya
mereka memiliki sapi tidak lebih dari 10 ekor walaupun demikian, beberapa
diantaranya memiliki jumlah sapi yang cukup banyak yaitu lebih dari 10 ekor
(Sinaga, 2000). Rata-rata kepemilikan sapi perah di Tajur Halang, Cibeureum dan
kabupaten Bandung sebanyak 4 ekor, 7 ekor dan 3 ekor (Agustina, 2001 dan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011). Usaha sapi perah di kecamatan Cepogo,
Boyolali belum merupakan usaha komersial, ditandai dengan penguasaan ternak 2-4
ekor per kepala keluarga (Rusdiana dan Praharani, 2009).
Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice (GHP)
International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The
United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang
aman dari suatu peternakan sapi perah, maka ada lima bagian besar yang perlu
diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan
ternak, kesejahteraan ternak, dan lingkungan peternakan.
Menurut Direktorat
Penanganan Pasca Panen Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (2006), beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan susu
yang berkualitas baik diantaranya:
1) pemeliharaan kesehatan ternak agar selalu sehat dengan memberikan pakan yang
bergizi dan sesuai dengan kebutuhan ternak, serta melakukan pemeriksaan
kesehatan ternak secara rutin,
2) pekerja yang menangani ternak dan pemerahan harus dalam kondisi yang sehat,
menjaga diri agar tidak melakukan kebiasaan menggaruk, batuk-batuk, merokok
ataupun bersin untuk menghindarkan kontaminasi pada susu,
3) upaya menjaga lingkungan lingkungan agar selalu bersih sangat dianjurkan agar
dapat mencegah bahaya pencemaran susu pada saat pemerahan,
4) pemerahan dilakukan di tempat yang bersih, peralatan yang higienis dan
kebersihan ternak, serta dengan metode yang tepat,
5)
penyimpanan susu pada suhu dibawah 3-4 °C dilakukan secepat mungkin agar
bakteri tidak berkembang biak,
6
6) pengujian kualitas susu dengan parameter yang sesuai dengan parameter yang
dipersyaratkan IPS agar diketahui tingkat kualitas susu yang diterima oleh IPS
tersebut dan
7) pencucian serta sanitasi semua peralatan untuk penanganan susu setelah
digunakan.
Tujuan pemerahan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah untuk
mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak
sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total
cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun.
Menurut Puspitasari (2008), puting dan ambing perlu dibersihkan dengan air hangat.
Membersihkan ambing dan puting dengan air hangat bertujuan untuk membersihkan
ambing dan merangsang hormon pengeluaran susu, karena usapan yang hangat pada
ambing merangsang otak untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Lukman et al.
(2009) menambahkan bahwa ambing harus dicuci dengan air hangat selama 15-30
detik kemudian ambing dikeringkan dengan menggunakan lap yang bersih dan
kering kemudian ambing diberikan larutan pembersih seperti larutan klor dan
ambing dilap dengan kain yang kering.
Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada
mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi
perah adanya gejala mastitis atau tidak (Zakiah, 2011). Puting susu diberikan
sanitaiser (teat dipping) dan peralatan pemerahan harus dibersihkan setelah
pemerahan selesai (Lukman et al., 2009). Zakiah (2011) menambahkan susu yang
telah diperah, disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can.
Menurut Saleh (2004), penanganan susu dilakukan dengan cara:
1) Pemindahan air susu dari kandang. Setelah memerah, air susu dibawa ke kamar
susu.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu tersebut tidak
berbau sapi ataupun kotoran,
2) Penyaringan air susu untuk menghilangkan kotoran-kotoran dari air susu,
sebaiknya air susu disaring dengan menggunakan saringan yang memakai filter
kapas atau kain biasa yang dicuci dan direbus setiap kali habis dipakai,
7
3) Sebaiknya setelah diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan
agar dapat menghambat dan mengurangi perkembangan kuman.
o
Air susu
o
sebaiknya didinginkan maksimum 7 C dan minimum 4 C; dan
4) Pengawasan terhadap lalat perlu dilakukan. Hal ini dimaksud untuk mengurangi
jumlah kuman dan menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap
lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat
ditekan.
Tata Cara Pemerahan
Saleh (2004) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi susu
antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu
pemerahan. Jumlah pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi
susu daripada jika
hanya diperah dua kali sehari.
Sudono et al.
(2003)
menambahkan bahwa waktu pemerahan dalam sehari umumnya dilakukan dua kali,
yaitu pagi dan sore. Namun pemerahan sebaiknya dilakukan 3 kali jika produksi
lebih dari 25 liter per hari. Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang
dihasilkan. Jika jaraknya adalah 12 jam, maka jumlah susu yang dihasilkan pada
waktu pagi dan sore akan sama.
Jarak pemerahan yang tidak sama akan
menyebabkan jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari akan lebih sedikit daripada
susu yang dihasilkan pada pagi hari. Pemerahan pada pagi hari mendapatkan susu
sedikit berbeda komposisinya daripada susu hasil pemerahan sore hari. Mahardhika
et al. (2012) menyatakan bahwa metode pemerahan dengan tangan antara lain
yaitu whole hand milking, kneevelen dan strippen, diantara ketiga metode
tersebut yang terbaik adalah dengan menggunakan metode whole hand milking.
Saleh (2004) menyatakan bahwa pemerahan menggunakan tangan ataupun
menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan dalam produksi susu, kualitas
ataupun komposisi susu. Menurut Sudono et al. (2003) tahapan pemerahan dengan
cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:
1) Membersihkan kandang dari segala kotoran;
2) Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah;
3) Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika dilakukan
pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenan;
8
4) Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane
susu;
5) Membersihkan tangan pemerah;
6) Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih;
dan
7) Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan.
Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air
Lukman et al. (2009) menyebutkan bahwa, susu merupakan bahan makanan
dengan nilai gizi
tinggi, komponen nutrisi yang lengkap, dan komposisi yang
berimbang. Di sisi lain, susu termasuk produk yang mudah rusak. Susunan yang
sempurna dari susu sekaligus menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan
berbagai jenis mikroorganisme. Susu sangat peka terhadap cemaran kuman dan
mudah rusak. Kerusakan susu akibat kontaminasi kuman membahayakan konsumen,
karena dapat terjadi penularan penyakit seperti brucellosis dan tubercullosis (TBC).
Kontaminasi mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan. Cara
beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak
perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk
memperpanjang daya
tahan produk susu
sekaligus
menekan
pencemaran
mikroorganisme.
Dairy Hygiene Inspectorate (DHI) (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai
keamanan pangan, peralatan yang digunakan untuk pemerahan dan penanganan susu
harus selalu dibersihkan setelah digunakan. Pencucian peralatan pemerahan dan
penanganan susu harus dengan menggunakan larutan pembersih.
Total Bakteri
Menurut Sanjaya et al.
(2007), susu yang keluar dari ambing selalu
mengandung mikroba. Pencemaran dapat berasal dari ambing sendiri atau masuk
melalui puting susu.
Usmiati dan Nurdjannah (2007) menyebutkan bahwa
pemerahan secara manual menimbulkan kontaminasi bakteri jumlahnya cukup
banyak dan semakin bertambah saat susu dikumpulkan di tempat penampungan susu
dan koperasi. Kontaminasi bakteri juga disebabkan pemerahan yang tidak tuntas.
9
Santoso et al. (2012) menambahkan kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari
tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor.
Total mikroba yang terdapat pada susu di KUNAK Bogor sebanyak 2,8 ×
105cfu/ml (Aryana, 2011). Total mikroba pada peternakan sapi perah di Cisarua
Bandung sebanyak 3,5 × 106 cfu/ml (Budiyanto dan Usmiati, 2008). Hasil penelitian
Usmiati dan Nurdjannah (2007) menunjukkan bahwa TPC di daerah KUD
Sarwamukti dan Tandangsari Sumedang masing-masing sebesar 1,32 × 108 cfu/ml
dan 4,86 × 106 cfu/ml. TPC di daerah Semarang sebesar 1,1 × 106 cfu/ml.
10
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di peternakan rakyat sapi perah di daerah kelurahan
Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pengujian kualitas
susu dilaksanakan di Laboratotium Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan sekitar dua bulan dari
bulan Juni sampai dengan Bulan Juli 2012.
Materi
Bahan yang digunakan dalam pengujian kualitas susu yaitu susu, aquades,
Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW). Sebanyak 219 sapi
laktasi dilakukan pengujian mastitis menggunakan bahan yaitu pereaksi IPB-1
Mastitist Test.
Sebanyak 29 orang peternak di wawancarai dengan bantuan
kuisioner.
Instrumen untuk memperoleh data yaitu alat tulis, kuisioner, kamera, dan
videocam. Pengujian kualitas susu menggunakan tabung reaksi, waterbath, gelas
piala, cawan petri, botol kaca, gunting, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex),
inkubator, kompor, gelas ukur, pipet volumetrik, timbangan digital, cooler box, rak
tabung reaksi, mikro pipet, lemari steril, lemari pendingin, plastik wrap, kapas dan
plastik.
Prosedur
Penelitian dilaksanakan di peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes Bogor
dengan cara melakukan wawancara dan pengamatan langsung ke 29 peternak serta
melakukan uji kualitas susu meliputi uji mastitis pada 219 sapi laktasi dan TPC
(Total Plate Count) pada 29 ekor sapi.
Wawancara dan pengamatan langsung
bertujuan mengevaluasi penerapan Good Milking Practice (GMiP).
Wawancara
dilakukan pada seluruh peternak di kebon pedes yamg berjumlah 29 orang.
Wawancara dan pengamatan langsung berpedoman pada kuisioner yang telah
disiapkan.
Aspek sebelum, saat dan setelah pemerahan yang diamati yaitu:
kebersihan kandang, peralatan pemerahan, penanganan ambing, pemerah, uji
mastitis, teknik memerah, penanganan sapi, pengalaman pemerah, pemberian pakan,
pembersihan puting, dan penanganan sapi.
Aspek pemerahan yang ditinjau
menentukan performa pelaksanaan GMiP.
11
Total Plate Count (Badan Standarisasi Nasional, 2008)
Pemupukan menggunakan media Plate Count Agar (PCA). Pengenceran
dilakukan dengan cara pengambilan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan dalam 9 ml
Buffer Pepton Water (BPW) untuk mendapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1).
Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran
seperseratus (P-2) hingga diperoleh P-8. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang
dikehendaki (P-3 sampai P-5) diambil/diteteskan dengan pipet ke dalam cawan petri
steril, kemudian ditambahkan media PCA yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1 oC )
dituangkan ke dalam cawan petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran
tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk
arah angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasikan dengan posisi
terbalik pada suhu 37 ± 1 oC selama 24 - 48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan
metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil sesuai dengan Standard Plate
Count (SPC).
Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer
IPB-1 Mastitis Test (Sudarwanto, 1998)
Sebanyak dua ml contoh susu dimasukkan ke pedel, lalu ditambahkan dua ml
pereaksi IPB-1. Pencampuran keduanya dibantu dengan menggerak-gerakkan pedel
secara horizontal. Hasil dibaca berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi yaitu:
tidak ada gumpalan, gumpalan sedikit, gumpalan nyata, cepat menggumpal terdapat
sedikit jel, jel terbentuk; dengan hasil diberi tanda -, +, ++, +++, ++++ .
Rancangan dan Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif
digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi perah rakyat
di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Data yang diperoleh
dengan kuisioner disimpulkan sesuai poin-poin yang telah disusun dan diberi skor 4,
3, 2, 1 dan 0. Nilai yang didapat dari setiap aspek kemudian dirata-ratakan. Hasil
evaluasi aspek pemerahan kemudian diberi nilai mutu dengan penjabaran sebagai
berikut :
1) jika nilai rata-rata 0,00 – 0,50 maka nilai mutu yang diberikan adalah 0, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut sangat buruk;
12
2) jika nilai rata-rata 0,51 – 1,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 1, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut buruk;
3) jika nilai rata-rata 1,01 – 2,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 2, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut kurang baik;
4) jika nilai rata-rata 2,01 – 3,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 3, artinya
penerapan GMiP di peternakan cukup baik;
5) jika nilai rata-rata 3,01 – 4,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 4, artinya
penerapan GMiP di peternakan tersebut baik.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan
Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat
pemerintahan kota ± 2 km dan dari pusat pemerintahan kecamatan ± 0,5 km.
Kelurahan Kebon Pedes mempunyai luas sekitar 104 ha. Kelurahan Kebon Pedes
berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak di sebelah Utara, Kelurahan Cibogor di
sebelah Selatan, Kelurahan Ciwaringin di sebelah Barat dan Kelurahan Tanah Sareal
di sebelah Timur.
Kebon pedes memiliki topografi yang datar, berada pada
ketinggian 250 dpl, curah hujan rata-rata 3.500 - 4.000 m, suhu diantara 22-32 oC
dan kelembaban 55%-96%.
Kebon Pedes kurang sesuai dijadikan wilayah
peternakan sapi perah. Sutardi (1981) menyebutkan bahwa lokasi yang baik untuk
ternak sapi perah pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Suhu di Kebon
Pedes juga tidak baik untuk sapi perah. Suhu rata-rata yang baik untuk sapi perah
adalah 18,3 oC (Sutardi, 1981).
Kawasan peternakan sapi perah Kebon Pedes berada di daerah padat
penduduk.
Keterbatasan lahan dapat menyulitkan peternak terutama dalam
penyediaan lahan untuk menanam hijauan, penambahan luas kandang, dan
pengolahan limbah. Penyediaan pakan hijauan sulit dilakukan karena peternak harus
mencari hijauan lebih jauh dari kawasan peternakan.
Peternak memanfaatkan
alternatif hijauan dengan memanfaatkan limbah pasar berupa klobot jagung.
Kandang sapi mempunyai ukuran yang kecil, sangat berdekatan dengan rumah warga
bahkan menjadi satu dengan rumah peternak. Pengelolaan limbah menjadi masalah
besar karena sebagian besar limbah langsung dibuang tanpa diolah terlebih dahulu.
Hal ini dapat mencemari lingkungan perairan dan lingkungan sekitarnya.
Keterbatasan lahan peternakan tidak menghalangi peternak untuk melakukan
usaha ternaknya.
Lokasi peternakan merupakan daerah perkotaan memudahkan
peternak dalam pemasaran susu. Setiap hari masyarakat sekitar datang membeli dan
distributor lokal atau loper datang ke peternakan untuk membeli dan menjual
kembali susu ke masyarakat.
Peternak menjual sebagian produksi susunya ke
Koperasi Peternak Sapi (KPS) karena peternak terhimpun sebagai anggota KPS.
Peternak menjual susu sapi langsung kemasyarakat atau distributor lokal lebih
14
banyak dibanding menjual ke KPS. Susu dari peternak dihargai oleh KPS Rp.
3000/liter sedangkan non-KPS membeli susu dari peternak Rp. 5000/liter. Terdapat
selisih harga Rp. 2000/liter sehingga peternak lebih menyukai menjual susu langsung
ke masyarakat ataupun distributor lokal.
Tabel 2. Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun 2012
No.
Uraian
Jumlah (ekor)
Satuan Ternak
% Satuan Ternak
219,00
219,00
63,80
a. Tidak bunting
2,00
2,00
0,60
b. Bunting
12,00
12,00
3,50
a. Tidak bunting
29,00
14,50
4,22
b. Bunting
37,00
18,50
5,40
a. Muda
35,00
17,50
10,19
b. Dewasa
24,00
24,00
6,99
a. Jantan
22,00
5,50
1,60
b. Betina
51,00
12,75
3,70
431,00
343,25
100,00
1
Sapi Laktasi
2
Kering kandang
3
4
5
Sapi dara
Jantan
Anak
Total
Peternak sapi perah di Kebon Pedes berjumlah 29 orang.
Sapi perah
digunakan oleh peternak adalah bangsa sapi FH dan peranakan FH. Sapi perah
terdapat di Kebon pedes berjumlah 431 ekor.
Sebagian besar sapi dipelihara
peternak adalah sapi sedang laktasi yaitu 63,8% (Tabel 2) dari total populasi.
Bangunan kandang sapi di Kebon Pedes berdekatan dengan rumah bahkan
terdapat kandang yang menyatu dengan rumah menyalahi syarat-syarat teknis
perusahaan peternakan sapi perah yang dikeluarkan Direktur Jenderal Peternakan
(1982) menyatakan bahwa ketentuan lokasi perusahaan peternakan sapi perah, yaitu:
1. Lokasi peternakan sapi perah tidak bertentangan dengan ketertiban dan
kepentingan umum setempat.
15
2. Lokasi peternakan sapi perah tidak terletak di pusat kota dan pemukiman
penduduk dengan jarak sekurang-kurangnya 250 m dari pemukiman
penduduk.
3. Letak
atau
ketinggian
lokasi
terhadap
wilayah
sekitarnya
harus
memperhatikan lingkungan atau topografi sedemikian rupa sehingga kotoran
dan sisa-sisa perusahaan tidak mencemari wilayah di sekitar perusahaan.
Peternak Kebon Pedes tidak ingin sepenuhnya disalahkan karena kawasan
peternakan sudah ada sebelum pemukiman di daerah sekitar menjadi padat. Mereka
berpendapat bahwa masyarakat yang datang mendekati kawasan peternakan.
Pemerintah Kota Bogor pada tahun 1995 merelokasi usaha peternakan sapi perah di
Kebon Pedes ke wilayah Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) di Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Sebagian besar peternak menolak relokasi tersebut
karena mereka menilai bahwa dilokasi baru akan mengalami kesulitan dalam hal
pemasaran serta membutuhkan banyak biaya untuk membangun sarana dan prasarana
peternakan.
Umur Peternak
Data hasil kajian penerapan Good Milking Practice berdasarkan umur
peternak disajikan pada Tabel 3. Persentase peternak berumur antara 18-30 tahun
sebanyak 17,24%, menunjukkan bahwa ketertarikan golongan muda untuk bekerja
sebagai peternak kurang dan lebih memilih bekerja di luar bidang peternakan. Hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya krisis peternak di tahun-tahun berikutnya.
Peternak berusia muda dan sedang digolongkan peternak yang energik dan kreatif.
Menurut Nadjib (1990), peternak berusia muda ialah peternak yang berumur antara
18-35 tahun, peternak yang berumur antara 36-45 tahun termasuk peternak yang
berusia sedang.
Mereka yang berumur antara 46-64 tahun sudah digolongkan
berusia agak lanjut dan peternak lebih dari 64 tahun termasuk berusia lanjut.
Sebagian besar peternak Kebon Pedes berumur 50 tahun dengan persentase 44,82%,
termasuk golongan agak lanjut dan lanjut. Golongan lanjut dan agak lanjut bertolak
belakang dengan golongan muda.
Umur mempengaruhi produktifitas peternak
karena pada usia tua kemampuan berfikir dan fisik semakin berkurang seiring
bertambahnya usia.
16
Tabel 3. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur Peternak
Umur Peternak
Jumlah Peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
18-30 tahun
5
17,24
1,92
31-40 tahun
7
24,14
1,94
41-50 tahun
4
13,79
1,98
51-60 tahun
9
31,03
1,84
> 60 tahun
4
13,79
1,67
Total
29
100,00
1,87
Rataan Good Milking Practice berdasarkan umur peternak sebesar 1,87.
Hasil kajian GMiP menunjukkan bahwa nilai penerapan yang paling tinggi
dihasilkan oleh peternak yang berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 1,98.
Namun penerapan GMiP oleh peternak tersebut kurang baik. Umur 41-50 tahun
dikaitkan dengan pengalaman bekerja yang cukup, terlatih dalam bekerja dan
memiliki etos kerja baik namun tidak terlalu tua untuk menghasilkan karya-karya
kreatif dan terbuka dalam menerima perubahan. Nilai penerapan Good Milking
Practice yang paling kecil ditunjukkan oleh peternak berumur diatas 60 tahun, yaitu
sebesar 1,67 mungkin dikarenakan tenaga kurang untuk beternak dan kurang terbuka
dalam menerima masukan.
Pasaribu (2007) menjelaskan bahwa keterampilan
seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi semakin
menurun seiring dengan berjalannya waktu, kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut,
dan kurangnya rangsangan intelektual pada usia tua, dapat berpengaruh terhadap
berkurangnya produktivitas.
Lama Beternak
Pengalaman beternak berpengaruh terhadap pengetahuan peternak tentang
manajemen pemerahan yang baik. Hasil kajian penerapan Good Milking Practice
oleh peternak Kebon Pedes ditinjau dari pengalaman beternak disajikan pada Tabel
4. Dapat dilihat pada tabel bahwa rata-rata peternak Kebon Pedes yaitu 56,52%
memiliki pengalaman beternak lebih dari 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
profesi beternak di peternakan sapi perah Kebon Pedes merupakan usaha yang sudah
dilakukan secara turun menurun (Salundik, 2012).
17
Tabel 4. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama Beternak
Lama Beternak
Jumlah Peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
40 tahun
3
10,35
1,86
Total
29
100,00
1,89
Nilai GMiP tertinggi dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 21-30
tahun sedangkan terendah dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 31-40,
hasil ini kontradiktif dengan penjelasan Pasaribu (2007) menyatakan bahwa semakin
lama masa kerja maka semakin banyak pula orang tersebut mendapatkan pendidikan
dan pelatihan yang akan mendukung pekerjaan mereka sehingga dapat meningkatkan
produktivitas kerjanya akan tetapi penerapan GMiP oleh peternak kurang baik
dengan nilai antara 1,01-2,00. Peternak meyakini manajemen pemeliharaan yang
selama ini dilaksanakan sudah benar dan sulit menerima masukan-masukan baru,
selain itu perkembangan pengetahuan peternak yang lambat mengenai teknologi
peternakan karena informasi tidak terjangkau oleh peternak.
Pendidikan
Pendidikan peternak merupakan salah satu faktor berhasilnya usaha ternak.
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa peternak sapi perah Kebon Pedes
sebagian besar lulusan SMA (37,93%) disusul lulusan SMP (27,59%) dan lulusan SD
(20,69%). Peternak sapi perah Kebon Pedes yang tidak mengenyam pendidikan
sebesar 3,45% dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan tinggi Diploma
sebesar 3,45% dan Strata 1 sebesar 6,89%. Peternak sapi perah Kebon Pedes
lulusan perguruan tinggi ternyata memiliki nilai GMiP lebih rendah (2,08) dibanding
peternak yang sama sekali tidak bersekolah (2,17) akan tetapi penerapan GMiP
kedua peternak itu sama-sama cukup (nilai GMiP 2,01-3,00).
bertolakbelakang
Hasil ini
dengan pendapat Pasaribu (2007) yang menyatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan dan meningkatkan produktivitas pegawai.
Pelatihan
18
bertujuan untuk meningkatkan keahlian dalam menjalankan suatu pekerjaan tertentu
dan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan
lingkungan. Peternak berpendidikan tinggi seharusnya menghasilkan nilai GMiP
lebih besar dibanding peternak berpendidikan rendah.
Gejala ini mungkin
disebabkan jurusan pendidikan yang diambil tidak sesuai dengan bidang peternakan.
Tabel 5. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Pendidikan
Pendidikan
Jumlah peternak
Persentase (%)
Nilai GMiP
Tidak Sekolah
1
3,45
2,17
SD/ Sederajat
6
20,69
1,96
SMP/Sederajat
8
27,59
1,71
SMA/ Sederajat
11
37,93
1,86
Akademi D1-D3
1
3,45
2,08
Strata 1 (S1)
2
6,89
2,08
29
100
1,88
Good Milking Practice
Manajeman pemerahan meliputi manajemen sebelum pemerahan, manajemen
saat pemerahan dan manajemen setelah pemerahan. Manajemen sebelum pemerahan
meliputi pembersihan kandang, pembersihan peralatan pemerahan, pembersihan
ambing dan kebersihan pemerah. Manajemen saat pemerahan meliputi tes mastitis,
memerah, handling sapi, dan pemberian pakan.
Manajemen setelah pemerahan
meliputi pembersihan puting, penanganan susu dan penanganan sapi.
Sebelum Pemerahan
Pemerahan oleh peternak di Kebon Pedes dilakukan pada pagi dan sore hari.
Pagi hari peternak memulai kegiatan memerah jam 3 pagi dan terdapat peternak
memulai kegiatan memerah jam 6 pagi, sedangkan di sore hari peternak memerah
jam 3 sore. Peternak memulai pemerahan jam 3 pagi mempunyai interval pemerahan
12:12 jam sedangkan peternak yang memulai pemerahan jam 6 pagi mempunyai
interval pemerahan 9:15 jam. Schmidt (1971) menyatakan sapi diperah dengan
selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak dibandingkan
dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam. Jumlah produksi susu
19
dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan
cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu
pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003).
Tabel 6. Hasil Kajian Good Milking Practice Sebelum Pemerahan
No
Aspek pemerahan
Nilai
1
Kebersihan kandang
2,72
2
Peralatan
1,55
3
Ambing
1,48
4
Pemerah
2,03
Kegiatan pemerahan di Kebon Pedes diawali dengan membersihkan kandang.
Pembersihan kandang penting dilakukan sebelum pemerahan karena dapat
menghindarkan kontaminasi susu dari feses sapi ataupun kotoran sisa pakan.
Peternak sapi perah di Kebon Pedes membersihkan feses yang menempel di lantai
dan di dinding kandang dilanjutkan dengan membersihkan kotoran sisa pakan yang
terdapat di tempat pakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemerahan
dilakukan antara lain kandang terlebih dahulu dibersihkan dan menghindari
mengerjakan aktifitas lain (Lukman et al., 2009). Sudono (1999) menyatakan bahwa
sebelum sapi diperah, kandang tempat sapi harus dibersihkan dan dihilangkan dari
bau, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang
berbau atau silage karena air susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat
mempengaruhi kualitas susu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP pada
aspek kebersihan kandang adalah cukup dengan nilai 2,72 (Tabel 6).
Peternak sapi perah di Kebon Pedes umumnya menggunakan ember plastik
bekas untuk menampung susu, hanya sebagian kecil yang menampung susu
menggunakan ember stainless steel. Ember yang digunakan untuk memerah sudah
kering karena telah dibersihkan setelah selesai digunakan pada saat pemerahan
sebelumnya. Peternak sapi perah Kebon Pedes mencuci ember yang digunakan
untuk memerah hanya menggunakan air dingin. Menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (1998) pencucian peralatan misalnya ember, milk can,
botol dan lain-lain sebaiknya dengan menggunakan air panas dan larutan klor.
Hal ini dapat melarutkan lemak susu yang menempel pada alat–alat tersebut.
20
Peralatan yang tidak bersih dalam penanganan susu mengakibatkan susu
mengandung mikroorganisme. Peforma peternak dalam menerapkan GMiP aspek
peralatan pemerahan kurang baik dengan nilai sebesar 1,55 (Tabel 6). Peralatan
pemerahan terutama ember dan milk can yang digunakan untuk pemerahan harus
sudah dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan yang digunakan untuk pemerahan
harus memiliki permukaan yang licin agar mudah membersihkannya. Ember plastik
yang digunakan peternak untuk menampung susu sangat mudah tergores, sehingga
susu dapat tertinggal disela-sela goresan dan menjadi tempat berkembang mikroba.
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa peternak sapi perah
Kebon Pedes membersihkan ambing hanya dengan menyiramkan air dingin.
Penerapan GMiP pada aspek kebersihan ambing kurang baik dilaksanakan peternak
dengan nilai sebesar 1,48 (Tabel 6). Pembersihan dengan cara penyiraman air dapat
mengakibatkan air yang disiramkan peternak dapat jatuh dan mengontaminasi susu.
Proses pembersihan ambing dilakukan untuk membersihkan kotoran yang menempel
pada ambing.
Pembersihan ambing dilakukan dengan cara membasuh ambing
dengan air hangat menggunakan kain yang bersih kemudian pencelupan ambing ke
larutan desinfektan.
Khasanah (2010) menyatakan pencelupan puting akan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang masuk
melalui lubang puting,
dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel
sehingga
desinfektan
dapat
masuk
dalam
sitoplasma
sampai
pada
sel
mikroorganisme, dengan demikian mikroorganisme tidak dapat berkembang biak
hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati,
sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin.
Pembersihan ambing dapat sekaligus merangsang hormon pengeluaran susu.
Rangsangan pada ambing dilakukan anak sapi atau oleh peternak. Rangsangan pada
ambing secara otomatis memerintahkan otak untuk melepaskan hormon oksitosin.
Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan adanya pelepasan hormon
oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitari dan masuk ke dalam aliran darah.
Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya
kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu
memasuki sistem saluran yang lebih besar. Pelepasan air susu hanya berlangsung 6
21
sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar
diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994).
Peforma pemerahan dari aspek kebersihan peternak dan keselamatan kerja
cukup dengan nilai sebesar 2,03 (Tabel 6). Kebersihan peternak dapat menjaga
higienitas pemerahan karena peternak sebagai subjek pemerahan langsung terlibat
dalam proses pemerahan. Selain itu, faktor keselamatan pekerja saat memerah perlu
diperhatikan.
Idealnya saat memerah peternak dalam keadaan bersih dan
menggunakan sepatu bot, karet atau kulit untuk menghindarkan kaki peternak
terinjak sapi dan menginjak feses. Pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa
sebagian besar peternak sapi perah Kebon Pedes tidak mandi atau membersihkan diri
sebelum melakukan pemerahan.
Kontaminasi susu dapat berasal dari peternak,
seperti dari tangan peternak yang kotor, pakaian dan kelengkapan pemerahan yang
lain.
Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa tangan pemerah
merupakan salah satu sumber kontaminasi mikroorganisme dalam susu, dengan
ditemukannya mikroorganisme pathogen seperti Staphylococcus aureus (S. aureus)
dan Escherichia coli (E. coli). Kesadaran peternak dalam menjaga keselamatan kerja
sudah tinggi. Hal ini terbukti dengan peternak memakai sepatu bot setiap melakukan
pemerahan.
Saat Pemerahan
Susu dari perahan pertama digunakan untuk menguji apakah sapi terjangkit
mastitis. Susu hasil perahan pertama mengandung banyak mikroba ikut terbuang
untuk digunakan sebagai uji mastitis. Menurut Usmiati dan Nurdjannah (2009)
untuk menghindari kontaminasi silang, maka sapi terjangkit mastitis harus dipisah
penanganannya serta diobati secara tuntas. Mastitis dalam keadaan parah dapat
mematikan puting susu sehingga puting tidak berfungsi. Nilai untuk aspek Good
Milking Practice ambing sangat buruk dengan nilai sebesar nol (Tabel 7) artinya
belum ada kesadaran peternak untuk memperhatikan kesehatan ambing sapi perah.
Sapi perah sehat dan kebutuhan gizi cukup tentu dapat menghasilkan produksi susu
maksimal.
Peternak sapi perah Kebon Pedes melakukan pemerahan secara manual
dengan tangan menggunakan teknik memerah dua jari. Memerah dilakukan menarik
puting dari atas ke bawah. Pemerahan dengan cara menarik puting susu dari atas ke
22
bawah dapat membuat puting menjadi panjang ke bawah (Siregar et al., 1996).
Kelemahan pemerahan dengan dua jari adalah mudah terjadi perlukaan pada
ambing, ambing dan puting selalu basah, dan sumber kontaminasi karena ambing
terus bergerak dan tertarik. Keuntungan pemerahan dengan seluruh jari adalah
memerah lebih cepat, puting tidak tertarik, dan puting tidak terlalu basah sehingga
kotoran jarang atau sedikit terikut dalam susu (Lukman et al., 2009). Nilai peforma
peternak untuk aspek teknik memerah sebesar nol artinya peforma peternak sangat
buruk dalam teknik memerah.
Tabel 7. Hasil Kajian Good Milking Practice Saat Pemerahan
No
Aspek pemerahan
Nilai
1
Ambing
0,00
2
Memerah
0,00
3
Penanganan sapi
1,00
4
Pemerah
2,93
5
Pemberian pakan
2,76
Memerah sapi dibantu dengan pelicin berupa margarin ataupun vaselin. Sapi
yang diperah dengan margarin dapat mempengaruhi kualitas susu. Saputro (2009)
mengatakan, bahwa pelicin berupa margarin atau minyak kelapa bertujuan untuk
mempermudah proses pemerahan dan sapi tidak merasa sakit, namun penggunaan
pelicin dapat menyebabkan kontaminasi pada susu yang dihasilkan. Pelicin banyak
mengandung lemak sering terbawa dalam susu sehingga menyebabkan mudah terjadi
ketengikan. Hidayat et al. (2002) menambahkan bahwa penggunaan vaselin pada
proses pemerahan akan menutupi permukaan puting.
Bila terus menerus
menggunakan pelicin (vaselin), maka penularan penyakit sulit untuk dihindari,
sehingga sebaiknya vaselin tidak digunakan.
Pelaksanaan yang buruk dalam menerapkan GMiP dengan aspek penanganan
sapi dengan nilai sebesar 1,00 (Tabel 7). Menurut Sanjaya et al. (2007), Jumlah
mikroba bertambah dengan adanya pencemaran dari sapi. Sapi yang akan diperah
sebaiknya terlebih dahulu diikat kaki dan ekornya, sehingga tidak menyulitkan
peternak yang memerah.
Sapi yang tidak tenang dan banyak bergerak saat
23
pemerahan dapat menginjak susu yang telah ditampung dalam ember penampung
susu. Kotoran dari ekor sapi dapat masuk ke dalam ember apabila tidak diikat.
Peforma penerapan GMiP oleh peternak sapi perah di Kebon Pedes pada
aspek pemerah adalah cukup dengan nilai sebesar 2,93 (Tabel 7).
peternak untuk tidak merokok saat memerah sangat kurang.
Kesadaran
Merokok dapat
mempengaruhi kualitas susu dan dapat memperlambat proses pemerahan.
Keberhasilan pemerahan dipengaruhi oleh pengalaman peternak. Peternak
berpengalaman memiliki ketelatenan tinggi sehingga sapi diperah dengan nyaman.
Pengalaman dimiliki peternak di dapat secara otodidak untuk memelihara sapi perah
bertahun-tahun maupun melalui penyuluhan yang mereka dapatkan. Salundik (2012)
menyatakan bahwa sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (65,72%)
telah memiliki pengalaman beternak sapi perah sudah lebih dari 20 tahun. Sebagian
besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (97,14%) pernah mengikuti pendidikan
informal seperti pelatihan-pelatihan terkait sebagai profesi peternak akan
meningkatkan keterampilan sesuai dengan jenis pelatihan yang pernah diikuti.
Pelatihan yang pernah diikuti peternak antara lain pelatihan budidaya sapi perah,
pengolahan limbah dan pembuatan bio gas serta pengolahan susu dan pemeriksaan
kualitas susu.
Pola pemberian pakan sapi perah oleh Peternak di Kebon Pedes sangat
beragam. Pemberian pakan konsentrat atau hijauan ketika pemerahan dilakukan
peternak agar sapi tenang saat diperah.
Performa peternak cukup baik dalam
melaksanakan GMiP dengan aspek pemberian pakan saat pemerahan dengan nilai
sebesar 2,76 (Tabel 7). Menurut Sudono et al. (2003), konsentrat diberikan kepada
sapi yang akan diperah sehingga pada saat pemerahan, sapi makan dalam keadaan
tenang. Tristy (2009) menambahkan bahwa pemberian hijauan yang baik adalah
setelah pemerahan, sebab apabila diberikan sebelum pemerahan akan menurunkan
kualitas susu.
Hal ini berkaitan dengan baubauan hijauan yang dapat
mengontaminasi susu.
Hal tersebut dapat terjadi karena susu memiliki sifat
mengabsorbsi bau-bauan disekitarnya.
Setelah Pemerahan
Peternak sapi perah di kebon Pedes setelah proses pemerahan, menstripping
puting hingga susu di dalam ambing habis kemudian membersihkan puting dengan
24
cara menyiramkan air dingin ke puting. Pembersihan puting oleh peternak kurang
baik dilaksanakan dengan nilai Good Milking Practice aspek kebersihan puting
sebesar 2,00 (Tabel 8). Setelah pemerahan dilaksanakan, puting seharusnya diberi
larutan desinfektan untuk menghilangkan mikroba yang menempel.
Direktorat
Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa keuntungan melakukan suci hama
adalah puting dapat terhindar dari mastitis.
Pembersihan puting dengan
menyiramkan air dingin akan memicu berkembangnya mikroba hingga bermuara
menjadi penyakit mastitis.
Sudono (1999) menyarankan selesai diperah puting
dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan klorin atau iodophor
dengan kepekatan 0,01%.
Perlakuan pencelupan puting akan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme
bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma
sampai pada sel mikroorganisme. Mikroorganisme tidak dapat berkembang biak
hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati,
sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin (Khasanah, 2010).
Tabel 8. Hasil Kajian Good Milking Practice Setelah Pemerahan
No.
Aspek pemerahan
Nilai
1
Puting
2,00
2
Penanganan susu setelah pemerahan
2,14
3
Sapi setelah diperah
3,59
Susu didapat dari hasil pemerahan sebaiknya ditimbang terlebih dahulu dan
disaring. Penimbangan berfungsi untuk mengetahui produksi susu sehingga peternak
dapat memperhitungkan aliran keuangan serta dapat digunakan untuk menentukan
langkah manajemen peternakan berikutnya. Kotoran tercampur dengan susu dapat
tertahan apabila susu disaring.
Peternak menyaring susu dengan kain.
Nilai
penerapan GMiP sebesar 2,14 (Tabel 8) yang berarti peternak cukup baik
melaksanakan