Proses Pemulihan Anemon Laut Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C.

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem laut dangkal di daerah tropis yang dibentuk dan didominasi oleh hewan karang. Penyusun utama terumbu karang adalah bangunan koloni (polip) hewan karang yang hidup bersimbiosis dengan mikroalga bersel satu (zooxanthellae) yang terdapat di jaringan tubuh hewan karang dan mengeluarkan kerangka kapur (Grimsditch & Salm 2006). Terumbu karang dibentuk oleh ratusan ribu polip dan ditemukan pada perairan tropis yang hangat, dangkal, jernih, rendah nutrien serta perairan subtropis dengan suhu optimum pada kisaran 25-29 ⁰C. Meskipun demikian hewan karang masih dapat ditemukan pada rentang suhu dari 18 ⁰C di Florida hingga 33 ⁰C di Teluk Iran (Buddemeier & Wilkinson 1994).

Terumbu karang memiliki kekayaan spesies dan kompleksitas yang setara dengan hutan hujan tropis. Roberts (2003 dalam Grimsditch & Salm 2006) menyatakan bahwa terumbu karang yang terdapat di laut hanya sebesar 0.2% dari luas permukaan laut bumi tetapi hampir 25% spesies ikan yang ada di laut

ditemukan pada ekosistem ini. Kekayaan ini juga diperlihatkan dengan besarnya produktivitas primer yang dihasilkan yaitu 2500 g m-2 thn-1 dibandingkan dengan produktivitas laut lepas yang sebesar 125 g m-2 thn-1 (Primack 2010). Hal ini dikarenakan kejernihan air pada ekosistem terumbu karang memungkinkan sinar matahari dapat diterima oleh alga simbion untuk melakukan fotosintesis yang bersimbiosis dengan hewan karang.


(2)

Salah satu biota pembentuk ekosistem terumbu karang adalah anemon laut. Anemon laut memiliki kesamaan secara morfologi dan fisiologi dengan hewan karang. Secara morfologi anemon menyerupai bunga serta memiliki warna yang beraneka ragam. Hal ini menjadikan anemon banyak diminati sebagai hewan peliharaan pada akuarium air laut. Selain itu anemon juga dijadikan sebagai tempat hidup bersama atau inang bagi ikan hias (Hadi & Sumadiyo 1992). Secara fisiologi anemon memiliki alga simbion yang terdapat pada jaringan tubuhnya. Hampir semua hewan karang tropis dan anemon laut (filum Cnidaria) memiliki populasi dinoflagelata-simbiotik (zooxanthellae) yang besar pada lapisan endodermis (Gates et al. 1992).

Peningkatan suhu global yang dirasakan pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap kehidupan laut. Perubahan faktor fisika berupa peningkatan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme dari biota laut (Stambler 2010). Hal ini berlaku juga untuk anemon laut. Tekanan alami berupa meningkatnya suhu perairan menyebabkan anemon mengalami stres berupa pemutihan (bleaching) (Jokiel & Coles 1990).

Fitt et al. (2001) menyatakan bahwa pemutihan merupakan kondisi hilangnya alga simbion dan atau pigmen fotosintetis pada alga simbion. Hal ini merupakan respon alami dari karang simbiotik tropis dan beberapa jenis Cnidaria serta Moluska terhadap variasi stres lingkungan. Pelepasan ini mengakibatkan terganggunya metabolisme pada anemon karena keberadaan zooxanthellae sangat dibutuhkan oleh anemon. Bila keadaan ini berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kematian pada anemon.


(3)

Pengamatan proses terjadinya pemutihan pada anemon dapat dilihat dari keberadaan zooxanthellae selain dengan melihat kondisi warna dari anemon.

Parameter yang digunakan dalam evaluasi stres peningkatan suhu pada hewan karang dan anemon diantaranya ialah densitas zooxanthellae (Visram 2005), indeks mitotik (Zamani 1995; Visram 2005), heat shock protein (HSP70) (Sharp et al. 1997), dan heat shock protein (HSP60) (Choresh et al. 2001). Penelitian ini menggunakan nilai indeks mitotik untuk melihat laju pembelahan zooxanthellae atau alga simbion pada Cnidaria yang telah banyak dipelajari (Cook & D’Elia 1987, dalam Suharsono & Brown 1992). Indeks mitotik juga dapat digunakan untuk melihat pengaruh suhu dan salinitas pada densitas populasi alga (Steen & Muscatine 1987; Hoegh-Guldberg & Smith 1989b, dalam Suharsono dan Brown 1992). Penggunaan indeks mitotik dipilih karena biaya yang

dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakaan analisis HSP60 dan HSP70. Indeks mitotik zooxathellae juga dapat dijadikan indikator yang lebih sensitif terhadap stres dari respon pemutihan (Zamani 1995). Data yang dihasilkan dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara hewan inang dengan zooxanthellae.

1.2. Rumusan Masalah

Setiap makhluk hidup memiliki kemampuan untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya terhadap perubahan lingkungan yang ada. Demikian pula dengan anemon laut. Para pakar saat ini memiliki hipotesis bahwa perubahan suhu global secara bertahap atau tidak bersifat drastis dan tiba-tiba, mampu memberikan peluang bagi biota laut untuk membangun mekanisme adaptasi atau ketahanan terhadap perubahan lingkungan.


(4)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengamati proses pemulihan anemon laut

Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan

2 ⁰C. 1.4. Luaran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kemampuan adaptasi dan ketahanan biota laut dalam evaluasi kerentanan ekosistem tropis terhadap perubahan lingkungan.


(5)

5  

2.1. Anemon Laut

Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh silinder. Organisme ini termasuk ke dalam filum Cnidaria (Fautin & Allen 1994) dan merupakan salah satu hewan pembentuk ekosistem terumbu karang. Hewan ini memiliki morfologi dan fisiologi yang mirip dengan hewan karang. Anemon memiliki tubuh seperti bunga sehingga disebut mawar laut (Hadi & Sumadiyo 1992).

Anemon yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon pasir,

Heteractis malu yang dapat dilihat pada Gambar 1. Anemon jenis ini memiliki nama dagang Delicate Sea Anemone. Heteractis malu termasuk dalam filum Cnidaria yang terdapat pada perairan tropis. Hewan ini berasal dari kelas

Anthozoa dan berada pada subkelas yang yang sama dengan hewan karang yaitu Hexacorallia.


(6)

Berikut merupakan klasifikasi anemon pasir yang digunakan dalam penelitian yang terdapat pada Integrated Taxonomy Information System dengan nomor serial taksonomi 611996 .

Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa

Sub Kelas : Hexacorallia Ordo : Actinaria

Sub Ordo : Nyantheae

Famili : Stichodactylidae Genus : Heteractis

Spesies : Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893)

Tubuh anemon secara umum terdiri atas oral disk, coloum dan pedal disk. Struktur tubuh anemon dapat dilihat padaGambar 2. Bagian atas anemon disebut oral disk. Mulut anemon terdapat pada oral disk yang juga berfungsi sebagai anus. Sekeliling mulut anemon memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap makanan. Tentakel anemon mengandung sel knidosit atau sel penyengat yang menjadi ciri khas filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi untuk menyengat mangsa. Bagian yang menghubungkan mulut dengan coelenteron atau rongga perut adalah

stomodaeum. Mesenteri filament terdapat di dalam rongga perut yang berfungsi sebagai usus. Bagian yang menempel pada substrat disebut basal disk.


(7)

Gambar 2 Struktur Umum Tubuh Anemon Laut Metridium dengan Bagian Tubuh Memotong untuk Menggambarkan Anatomi Internal (Fautin &

Mariscal 1991). 2.2. Zooxanthellae

Zooxanthellae merupakan alga simbion bersel tunggal dari kelas

Dinoflagellata (Karako et al. 2001). Sel zooxanthellae berbentuk bulat berwarna coklat dengan ukuran diameter sel 5 µm – 15 µm (Stat et al. 2006). Sebagian besar zooxanthellae yang ditemukan berasal dari genus Symbiodinium (Stat et al.

2006; Rosenberg et al. 2007; Venn et al. 2008; Bouchard & Yamasaki 2008; Stambler 2011). Zooxanthellae dapat ditemukan hidup bebas di perairan atau hidup bersimbiosis dengan hewan invertebrata laut, seperti pada hewan karang, anemon laut, dan kima (Yellowlees et al. 2008). Gambar 3 menunjukkan zooxanthellae yang terdapat pada beberapa spesies.


(8)

Gambar 3 Symbiodinium- Bentuk seperti Sel yang Terdapat di dalam Gastrodermal pada Beberapa Inang Antipatharian. (a, b) Sayatan Melintang Tentakel A. Griggi, (c) Sayatan Membujur pada Rongga Tubuh Antiphates Grandis, dan (d) Sayatan Membujur pada Tentakel

C. Cf. Anguina (Skala Bar = 10 mm; Tanda Panah Menunjukkan

Symbiodinium) (Wagner et al. 2010).

Zooxanthellae sebagai simbion pada tubuh inang dapat diturunkan secara maternal dari induknya ke generasi selanjutnya melalui telur atau larva. Selain itu alga simbion juga dapat diperoleh dari lingkungan perairan sekitar mereka

(Yellowlees et al. 2008).

2.3. Hubungan Simbiosis Anemon dan Zooxanthellae

Hubungan simbiosis anemon dan zooxanthellae merupakan simbiosis mutualisme (Trench 1979; 1987, dalam Gibbons 2008). Hubungan ini bersifat endosimbiotik dimana hewan simbion terdapat di dalam tubuh hewan inang. Zooxanthellae yang merupakan alga simbion dapat ditemukan di dalam vakuola


(9)

pada lapisan endodermis anemon (Trench 1987, dalamGibbons 2008). Gambar 4 menunjukkan tempat zooxanthellae ditemukan pada jaringan tentakel anemon.

Gambar 4 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis Malu Menunjukkan Keberadaan Zooxanthellae pada Lapisan Endodermis.

Hubungan simbiosis antara anemon dengan zooxanthellae sebagian besar adalah proses metabolis alga-invertebrata. Proses ini berupa pengangkutan nutrien inorganik melalui hewan inang invertebrata yang bersifat heterotrof kepada alga simbion yang autotrof (Yellowlees et al. 2008). Hubungan simbiosis ini didasari oleh kebutuhan energi yang diberikan zooxanthellae kepada hewan inang dari hasil fotosintesis dan sebaliknya hewan inang memberikan asupan nutrien berupa nitrogen dan fosfor yang dibutuhkan oleh zooxanthellae (Stambler 2010).

Zooxanthellae menyumbang 95% dari hasil fotosintesisnya untuk

memenuhi kebutuhan energi bagi hewan karang (Muscatine 1990, dalam Hoegh-Guldberg 1999). Sementara itu zooxanthellae mendapat keuntungan berupa perlindungan dari grazer dan ketersediaan nutrien. Nutrien yang disediakan diantaranya nitrogen, fosfor, dan karbondioksida sebagai bahan untuk fotosintesis.


(10)

2.4. Mekanisme Stres

Stres merupakan suatu kondisi penurunan kualitas hidup yang disebabkan oleh adanya perubahan ekosistem atau adanya faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya produktivitas. Stres fisik, kimia, dan biologi yang diterima dapat berdampak terhadap salah satu pasangan simbiosis yakni hewan inang,

zooxanthellae, keduanya, atau hubungan antara mereka (Stambler 2010). Stres dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, reproduksi dan atau kelangsungan hidup holosimbion (Stambler 2010). Anemon yang mengalami stres akan mengalami perubahan dalam metabolisme, respon tingkah laku

terhadap lingkungan dan biologi reproduksinya akibat faktor-faktor eksternal atau pun internal yang membatasi aktivitas biota ini. Hayes & Bush (1990 dalam Zamani 1995) mengemukakan bahwa hewan karang yang mengalami pemutihan akan menghasilkan mucus atau lendir, kerusakan lapisan gastroderm, dan gangguan vakuola yang di dalamnya terdapat zooxanthellae.

Anemon akan melakukan adaptasi untuk mengurangi atau menghilangkan stres. Jika adaptasi yang dilakukan berhasil maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis. Namun apabila tidak berhasil maka biota ini akan

mengalami stres kembali dengan kemungkinan stres yang bertambah besar (Sarwono 1992).

Hewan karang menjaga keberadaan zooxanthellae dengan menyeimbangkan antara pengeluaran dan pertumbuhan zooxanthellae selama mitotis ketika keadaan lingkungan normal. Hoegh-Guldberg et al. (1987) menyatakan bahwa tingkat pengeluaran zooxanthellae kurang dari 4% dimana dalam populasi tersebut juga terjadi penambahan individu baru. Pengurangan populasi zooxanthellae dapat


(11)

terjadi dengan cepat bila kondisi fisik dan kimia lingkungan perairan dalam keadaan yang ekstrim atau tidak normal (Fitt & Warner 1995). Hal ini

menyebabkan terjadinya pemutihan pada hewan karang. Selain hilangnya alga simbion pada hewan karang terjadi pengurangan klorofil a dan pigmen

fotosintesis pada zooxanthellae (Hoegh-Guldberg 1999). Glynn (1996 dalam Gibbons 2008) melaporkan bahwa filum Cnidaria kehilangan 60% - 90% zooxanthellae ketika dalam keadaan pemutihan. Sementara itu setiap

zooxanthellae kehilangan 50% - 80% pigmen fotosintesis selama pemutihan. 2.5. Dampak Peningkatan Suhu Air Laut terhadap Simbiosis Zooxanthellae

dan Hewan Inang

Suhu air sangat mempengaruhi metabolisme kehidupan biota air. Bagi simbiosis alga-cnidaria suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat penting (Davison 1991). Filum Cnidaria yang hidup di perairan tropis lebih sensitif dan rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim dibandingkan dengan kelompok Cnidaria yang hidup di perairan iklim sedang (Muller-Parker & Davy 2001). Hal ini dilihat dari nilai densitas zooxanthellae yang jauh lebih stabil pada anemon subtropis dibandingkan dengan anemon tropis. Sehingga disimpulkan bahwa anemon subtropis lebih tahan terhadap perubahan intensitas cahaya dan suhu dari pada anemon tropis. Oleh karena itu peningkatan suhu yang terjadi akibat pemanasan global dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini terutama pada anemon tropis.

Davison (1991) menyatakan bahwa respon fotosintesis pada Cnidaria terhadap suhu memperlihatkan bahwa panas lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap proses fotosintesis. Hal ini karena laju fotosintesis dan respirasi tergantung pada suhu. Naik atau turunnya suhu air laut dapat


(12)

mengakibatkan naik atau turunnya laju fotosintesis dan respirasi (Howe & Marshall 2001).

Hasil penelitian yang dilakukan Iglesias-Prieto et al. (1992) berkesimpulan bahwa zooxanthellae mengalami dampak langsung dari peningkatan suhu

terhadap kegiatan fotosintesis. Saat kegiatan fotosintesis terganggu terdapat indikasi pembelahan zooxanthellae juga berhenti. Brown (1997) juga menyatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan faktor utama yang menyebabkan

fenomena pemutihan pada karang adalah peningkatan suhu global. Pengaruh peningkatan suhu ini menyebabkan pemutusan simbiosis hewan inang dengan zooxanthellae dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel hewan inang atau pemutihan.

Penelitian Fang et al. (1998) juga mengemukakan bahwa karang yang mengalami stres terutama karena kenaikan suhu lingkungan dalam jangka waktu lama akan memproduksi suatu penanda berupa cytosolic calcium signal (CCS). Penanda ini digunakan untuk menggerakkan zooxanthellae mendekati dinding membran agar zooxanthellae dapat dikeluarkan dari sel setelah membran pada karang inang pecah.


(13)

13

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diambil dari kegiatan penelitian skala laboratorium. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Juni 2011. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Basah Biologi Laut, Bagian Hidrobiologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk pemeliharaan, pengamatan, dan pengambilan sampel biota. Pengukuran parameter dilakukan di Laboratorium Kering Biologi Laut. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Lab. Prolink), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), FPIK, IPB. Pengambilan foto

mikrografi dilakukan di Laboratorium Terpadu, FPIK, IPB.

Data sekunder diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan Zamani (1995). Data sekunder ini digunakan sebagai bahan pembanding untuk melihat pengaruh pemberian stres peningkatan suhu tanpa dilakukan pemulihan terhadap

pembelahan zooxanthellae.

3.2. Alat dan Bahan

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 9 ekor anemon laut (Heteractis malu). Hewan ini dibeli di pasar ikan hias air laut di Jakarta Pusat. Hasil informasi yang didapat dari penjual ikan hias air laut

mengatakan bahwa anemon yang dijual diperoleh dari nelayan Kepulauan Seribu. Alat dan bahan yang akan digunakan selama penelitian dapat


(14)

penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Bagian pertama merupakan kegiatan pemeliharaan dan percobaan. Bagian kedua adalah kegiatan pengambilan dan pembuatan preparat. Kemudian bagian ketiga merupakan pengukuran parameter.

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap yang dilakukan diantaranya persiapan akuarium, aklimatisasi dan pemeliharaan serta penerapan perlakuan.

3.3.1. Persiapan akuarium

Penelitian ini menggunakan tiga set akuarium Recirculation Water System (RWS) yang diberi sekat pemisah. Desain satu set akuarium RWS dapat dilihat pada Gambar 5.

 

Gambar 5 Desain Akuarium Recirculation Water System (1 set).


(15)

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini yaitu pengaturan akuarium untuk pemeliharaan dan percobaan. Pengaturanakuarium yang dilakukan diantaranya penyediaan filter akuarium, air laut, dan komponen yang dibutuhkan dalam percobaan. Pemantauan terhadap salinitas dan suhu air laut dilakukan pada tahap ini. Kontrol salinitas dilakukan setiap hari dan diupayakan untuk tetap pada kisaran 33‰. Kontrol dilakukan dengan menambahkan air tawar apabila salinitas naik dan pemberian air laut bila salinitas turun. Selain itu pada tahap ini juga dilakukan uji cobapemanas yang digunakan untuk meningkatkan suhu. Tujuan dari uji coba ini untuk melihat pada suhu berapa pemanas dipasang agar

mendapatkan suhu yang sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan. Hasil uji coba pemanas merekomendasikan pemasangan 1 ⁰C lebih tinggi dari suhu yang akan diaplikasikan. Waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu yang sesuai adalah sekitar 2-3 jam dari saat pemanas dinyalakan. Selama diberi perlakuan akuarium ditutup dengan plastik untuk menjaga suhu akuarium tetap stabil. Akuarium diletakkan dekat dengan jendela agar mendapat pencahayaan langsung dari matahari. Sketsa posisi akuarium perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.


(16)

Akuarium perlakuan diletakkan sejajar dekat dengan jendela. Setiap anemon diletakkan pada ruang yang dipisahkan oleh sekat. Pemanas air

diletakkan di dinding akuarium sebelah kanan pada akuarium perlakuan. Pemanas air diberi sekat pemisah untuk menghindari sentuhan langsung anemon dengan pemanas.

3.3.2. Aklimatisasi dan pemeliharaan

Kegiatan yang dilakukan setelah persiapan akuarium adalah penyedian hewan yang akan digunakan. Hewan yang dibutuhkan adalah 9 ekor anemon. Setiap akuarium diisi tiga ekor anemon. Aklimatisasi awal dilakukan sebelum hewan diletakkan pada akuarium perlakuan. Kegiatan ini dilakukan agar hewan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi awal dilakukan selama 30 menit hingga 1 jam.

Aklimatisasi dilakukan dengan menaruh kantong plastik berisi anemon pada bak penampungan air laut dalam keadaan tertutup. Hal ini dilakukan agar suhu pada kantong tempat anemon dengan lingkungan yang baru memiliki suhu yang sama. Kegiatan ini dilakukan selama 30 menit hingga 1 jam. Setelah aklimatisasi awal dilakukan kantong plastik dibuka dan dibiarkan dalam keadaan miring untuk memudahkan anemon keluar dengan sendirinya. Anemon langsung ditempatkan pada akuarium perlakuan untuk mengurangi stres karena perpindahan tempat. Tahap selanjutnya adalah aklimatisasi lanjut berupa pemeliharaan anemon yang dilakukan selama 18 hari. Pemantauan terhadap kondisi anemon dilakukan pada tahap ini. Pemberian pakan dilakukan 1 kali dalam 3 hari. Pakan yang digunakan adalah udang rebon kering. Pakan yang diberikan direndam terlebih dahulu di dalam air untuk melunakkannya. Pakan diberikan dengan disuapkan


(17)

langsung ke mulut anemon. Selama masa pemeliharaan anemon yang digunakan sebanyak 15 ekor. Anemon yang dapat bertahan dan memiliki kondisi yang baik kemudian dipilih untuk digunakan dalam percobaan. Anemon yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebanyak 9 ekor anemon. Selama masa pemeliharaan terdapat 2 ekor anemon yang mati dan 4 ekor anemon yang mengalami proses pemutihan sebelum diberi perlakuan. Anemon yang tidak digunakan diletakkan pada akuarium pemeliharaan.

3.3.3. Penerapan perlakuan

Penelitian ini dirancang untuk memperoleh keterangan mengenai daya tahan zooxanthellae dan respon anemon laut Heteractis malu terhadap perlakuan

peningkatan suhu setelah diberikan masa pemulihan pada peningkatan suhu yang sama. Perlakuan suhu yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. P-1 menerapkan suhu 28 ⁰C (kontrol) 2. P-2 menerapkan suhu 29 ⁰C

3. P-3 menerapkan suhu 30 ⁰C

Tabel 1 menunjukkan penerapan perlakuan terhadap unit percobaan. Percobaan dilakukan selama 192 jam dengan interval pengambilan sampel setiap 24 jam saat perlakuan. Setiap perlakuan terdapat 3 ekor anemon dimana masing-masing anemon diambil 3 tentakel. Bagan pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 1 Penerapan Perlakuan terhadap Unit Percobaan Akuarium Awal (jam) Tahap I (jam) Istirahat (jam) Tahap II (jam) 0 24 48 72 96 120 144 168 192

Kontrol (⁰C) 28 28 28 28 28 28

Perlakuan 1 (⁰C) 28 29 29 28 29 29 Perlakuan 2 (⁰C) 28 30 30 28 30 30


(18)

Selama 96 jam yaitu dari jam ke-48 hingga jam ke-144 anemon tidak diberikan perlakuan (masa pemulihan) dan tidak dilakukan pengambilan sampel untuk mengurangi stres pada anemon. Tahap I adalah masa pemberian perlakuan sebelum masa pemulihan. Tahap II merupakan masa pemberian pelakuan setelah masa perlakuan. Perlakuan yang diberikan pada Tahap I dan Tahap II adalah sama. Perlakuan yang diberikan adalah peningkatan suhu sebesar 29 ⁰C untuk perlakuan 1 dan 30 ⁰C untuk perlakuan 2, sedangkan suhu untuk akuarium kontrol adalah 28 ⁰C.

3.4. Metode Pengambilan Data

3.4.1. Indeks mitotik (IM) zooxanthellae

Indeks mitotik zooxanthellae dihitung secara langsung dengan

menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 40 x 10. Sel yang dihitung adalah sel yang sedang dalam keadaan membelah dalam 500 sel yang ada. Pengambilan tentakel anemon dilakukan sebanyak 3 tentakel untuk masing-masing anemon. Tentakel dipotong sebesar 1 cm. Tentakel dipotong-potong dan dihancurkan dengan digerus untuk mengeluarkan zoxanthellae dari tentakel anemon. Tentakel yang telah dihancurkan kemudian dicampur dengan air aquades sebanyak 0.1 ml. Campuran tersebut kemudian diambil sebanyak 0.05 ml dan diletakkan pada kaca preparat ukuran 2 x 2 cm.

3.4.2. Kualitas air

Data kualitas air merupakan data penunjang yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kondisi lingkungan. Pengukuran kualitas air dilakukan secara periodik terhadap beberapa peubah lingkungan. Rincian


(19)

mengenai jenis peubah, metode pengukuran, dan periode pengukuran faktor lingkungan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Peubah yang Diukur, Metode, dan Periode Pengukuran

No. Peubah Satuan Metode Periode Ukur

1. Suhu ⁰C Termometer 1 hari

2. Salinitas ‰ Hand-Held Refractometer 1 hari 3. Nitrit mg/lt APHA, ed 21, 2005,

4500-B/Kolorimeter/Spektro

1 minggu 4. Amonia mg/lt APHA, ed 21, 2005, 4500-NH3

-F

1 minggu

5. pH - pH meter 1 minggu

3.5. Metode Pengolahan Data

3.5.1. Indeks mitotik (IM) zooxanthellae

Nilai indeks mitotik zooxanthellae ditentukan dengan menghitung rasio sel yang membelah terhadap 500 sel yang dihitung. Rumus yang digunakan untuk menentukan indeks mitotik zooxanthellae (Brown & Zamani 1992) adalah sebagai berikut :

n A IM=

... (1) Keterangan :

IM : indeks mitotik zooxanthellae A : jumlah sel yang sedang membelah

n : jumlah sel yang dihitung sebagai dasar perbandingan (500 sel)

Rumus yang digunakan untuk melihat besar peningkatan atau penurunan nilai indeks mitotik adalah sebagai berikut :


(20)

Keterangan :

tn : selisih nilai indeks mitotik

tn : nilai indeks mitotik jam ke-n

tn-1 : nilai indeks mitotik jam ke-(n-1)

3.6. Analisis Statistik

Metode analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi. Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara satu peubah dengan satu peubah lainnya atau satu peubah dengan beberapa peubah lainnya.

3.6.1. Indeks mitotik zooxanthellae dengan waktu

Model regresi yang digunakan untuk mengevaluasi hubungan indeks mitotik zooxanthellae dengan waktu adalah model regresi eksponensial. Persamaaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y

=

α

e

βx ... (3) Keterangan :

Y : nilai indeks mitotik zooxanthellae

α, β : dugaan parameter regresi x : waktu

Persamaan regresi yang digunakan perlu ditranformasi agar dapat diolah. Persamaan yang telah ditranformasi adalah sebagai berikut :

ln( y) = ln

α

+

β

x ... (4) Keterangan :

Y : nilai indeks mitotik zooxanthellae

α, β : dugaan parameter regresi x : waktu


(21)

3.6.2. Indeks mitotik zooxanthellae dengan kualitas air

Model regresi yang digunakan untuk mengevaluasi hubungan indeks mitotik dengan kualitas air adalah model regresi linear berganda. Persamaaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut :

y

=

β

0

+

β

1

x

1

+

β

2

x

2

+

β

3

x

3

+

β

4

x

4 ... (5) Keterangan :

y : nilai indeks mitotik zooxanthellae

β0, β1, β2,β3, β4 : dugaan parameter regresi

x1 : salinitas

x2 : pH

x3 : nitrit


(22)

22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Setiap makhluk hidup memiliki cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan diri dan kelangsungan hidup mereka. Mekanisme ini juga berlaku terhadap biota laut terhadap perubahan lingkungan yang terjadi beberapa dekade terakhir. Hoegh-Guldberg (1999) menyatakan bahwa suhu air laut di daerah tropis rata-rata meningkat sekitar 1–2 ⁰C tiap 100 tahun. Saat ini hewan karang yang merupakan komponen utama dalam ekosistem terumbu karang hidup pada kondisi ambang batas suhu lingkungannya. Pemaparan terhadap kenaikan suhu yang sedikit saja (1-2 ⁰C) akan mengakibatkan stres dan mengalami pemutihan. Ketahanan ekosistem terumbu karang ini tergantung dari respon hewan karang dan zooxanthellae terhadap peningkatan suhu tersebut (Bijlsma et al. 1995, dalam Hoegh-Guldberg 1999).  

Clarke (1983 dalamHoegh-Guldberg 1999) mengemukakan bahwa terdapat dua cara biota laut dalam merespon perubahan suhu. Pertama, biota laut

melakukan aklimatisasi dengan memodifikasi beberapa proses yang membuat metabolisme selular dapat bekerja lebih baik pada kondisi suhu yang baru. Kedua, dengan melakukan seleksi terhadap individu dalam populasi yang dapat bertahan pada suhu yang baru. Hal ini sebagai bentuk adaptasi untuk mengatasi peningkatan suhu dari waktu ke waktu. Skala waktu perubahan yang diperkirakan merupakan kunci dalam menentukan apakah suatu organisme melakukan


(23)

Hasil penelitian ini mengkaji kemampuan penyesuaian diri anemon dan zooxanthellae terhadap peningkatan suhu setelah diberikan masa pemulihan dengan peningkatan suhu yang sama. Selama masa perlakuan kondisi kualitas air pada akuarium masih termasuk dalam rentang kondisi lingkungan yang baik untuk hidup bagi anemon. Data kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.1. Pembelahan Zooxanthellae

Zooxanthellae merupakan alga simbion bersel tunggal dari kelas

Dinoflagellata (Karako et al. 2001). Zooxanthellae ditemukan hidup bersimbiosis pada hewan invertebrata laut, seperti pada hewan karang, anemon laut, dan kima (Yellowlees et al. 2008). Alga simbion ini hidup di dalam sel hewan karang dan anemon laut (Gates et al. 1992). Trench (1987 dalam Gates et al. 1992)

menyatakan bahwa zooxanthellae dapat ditemukan di dalam vakuola sel pada lapisan endodermis dari hewan inang.

Laju pembelahan zooxanthellae pada keadaaan normal adalah 0.2% - 12.3% untuk spesies yang hidup pada daerah tropis (Wilkerson et al. 1988). Laju

pembelahan zooxanthellae ini ditentukan dengan menggunakan persentase dari nilai indeks mitotik. Nilai indeks mitotik dihitung dengan melihat rasio dari sel yang sedang membelah yang terdapat pada 500 sel yang dihitung (Zamani 1995). Penelitian ini dilakukan dengan memberikan tekanan fisik berupa

peningkatan suhu. Peningkatan suhu yang diberikan sebesar 1 ⁰C dan 2 ⁰C dari suhu kontrol (28 ⁰C). Gambar 7 menunjukkan nilai indeks mitotik zooxanthellae selama masa penelitian yang diolah dari Lampiran 4.


(24)

Gambar 7 Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae Saat Tahap I (0, 24, 48) dan Tahap II (144, 168, 192). (A) Kontrol (28 ⁰C), (B) Perlakuan 1 (29 ⁰C), dan (C) Perlakuan 2 (30 ⁰C).

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12

0 24 48 144 168 192

Indeks Mitotik

Waktu (Jam ke-)

A

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12

0 24 48 144 168 192

Indeks Mitotik

Waktu (Jam ke-)

B

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12

0 24 48 144 168 192

Indeks Mitotik

Waktu (Jam ke-)

C

Tahap II Pemulihan Tahap I Tahap II Pemulihan Tahap I Tahap II Pemulihan Tahap I


(25)

Selama Tahap 1 pada jam ke-24 terjadi peningkatan nilai indeks mitotik zooxanthellae pada perlakuan 1 dan 2. Sementara itu kontrol memperlihatkan nilai indeks mitotik zooxanthellae yang terus meningkat hingga jam ke-48 dengan kemiringan grafik yang landai.

Periode pemulihan dilakukan pada jam ke-48 hingga jam ke-144. Selama periode ini akuarium perlakuan 1 dan 2 tidak diberi perlakuan dan pengambilan sampel untuk mengurangi stres pada anemon. Suhu air dikembalikan pada keadaan normal 28 ⁰C. Selama masa pemulihan nilai indeks mitotik zooxanthellae pada perlakuan 1 dan 2 menunjukkan peningkatan.

Nilai indeks mitotik zooxanthellae pada Tahap II menunjukkan pola yang berkebalikan dengan Tahap I. Selama Tahap II nilai indeks mitotik zooxanthellae pada jam ke-168 menunjukkan penurunan yang cukup besar kemudian mengalami kenaikan pada jam ke-192. Sementara itu pada akuarium kontrol menunjukkan grafik nilai indeks mitotik zooxanthellae yang meningkat.

Tabel 4 menunjukkan nilai indeks mitotik zooxanthellae pada penelitian dengan pemberian masa pemulihan. Hasil penelitian menunjukkan nilai indeks mitotik zooxanthellae pada saat tidak diberi perlakuan (kontrol) adalah 0.033 – 0.072. Hal ini menunjukkan bahwa pembelahan sel zooxanthellae pada penelitian ini masih termasuk dalam keadaan normal. Sementara itu nilai indeks mitotik zooxanthellae saat sebelum diberi perlakuan (jam ke-0) adalah 0.033 (28 ⁰C); 0.042 (29 ⁰C), dan 0.031 (30 ⁰C).


(26)

Tabel 3 Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae

Unit Perlakuan IM

Perubahan (tn-1 - tn)

Perlakuan Jam ke- (tn) Rataan SD

Kontrol

(28 C)

0 0.033 1.41 -

24 0.036 0.80 0.003

48 0.038 0.67 0.002

144 0.069 0.91 0.031

168 0.072 0.81 0.003

192 0.071 1.08 -0.001

Perlakuan

1 (29 C)

0 0.042 0.81 -

24 0.051 0.79 0.009

48 0.037 0.83 -0.014

144 0.086 3.72 0.049

168 0.042 2.31 -0.044

192 0.055 1.32 0.014

Perlakuan

2 (30 C)

0 0.031 0.80 -

24 0.058 0.67 0.027

48 0.035 0.46 -0.023

144 0.072 1.28 0.038

168 0.041 1.54 -0.032

192 0.044 1.77 0.003

Peningkatan yang cukup besar terjadi pada perlakuan 2 jam ke-24 sebesar 0.027. Sementara itu pada perlakuan 1 jam ke-24 terjadi peningkatan sebesar 0.009. Penurunan nilai indeks mitotik zooxanthellae sebesar 0.014 terjadi pada jam ke-48 pada perlakuan 1 dan 0.023 pada perlakuan 2.

Nilai indeks mitotik zooxanthellae pada akhir masa pemulihan (jam ke-144) untuk perlakuan 1 sebesar 0.086 dan perlakuan 2 sebesar 0.072. Peningkatan nilai indeks mitotik zooxanthellae sebesar 0.049 selama masa pemulihan pada

perlakuan 1 dan 0.038 pada perlakuan 2.

Penurunan nilai indeks mitotik zooxanthellae sebesar 0.044 pada jam ke-168 dan kenaikan sebesar 0.014 pada jam ke-192 pada perlakuan 1. Perlakuan 2


(27)

menunjukkan penurunan nilai indeks mitotik zooxanthellae sebesar 0.032 pada jam ke-168 dan kenaikan sebesar 0.003 pada jam ke-192.

Gambar 8 menunjukkan rataan nilai indeks mitotik dari tiap akuarium perlakuan selama pemberian perlakuan yang diolah dari Lampiran 4. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa nilai indeks mitotik zooxanthellae mengalami penurunan ketika diberi stres peningkatan suhu. Nilai rataan indeks mitotik zooxanthellae pada kontrol didapat sebesar 0.053 dengan nilai standar deviasi (SD) 0.026. Sementara itu pada perlakuan 1 nilai yang didapat adalah 0.050 dengan nilai SD 0.024 dan 0.047 dengan nilai SD 0.022 pada perlakuan 2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian stres peningkatan suhu yang semakin besar maka nilai indeks mitotik zooxanthellae juga semakin menurun.

Gambar 8 Rataan Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae Tiap Akuarium. Hasil analisis statistik indeks mitotik terhadap waktu dengan menggunakan analisis regresi ditunjukkan pada Tabel 4. Hasil analisis pada suhu 28 ⁰C

menunjukkan nilai P-value sebesar 0.000 yang dibandingkan dengan taraf nyata

0.000 0.015 0.030 0.045 0.060 0.075 0.090

Kontrol (28⁰C) Perlakuan 1 (29⁰C) Perlakuan 2 (30⁰C)

Indeks Mitotik


(28)

5%. Hal ini berarti pada suhu 28 ⁰C waktu berpengaruh secara nyata terhadap perubahan nilai indeks mitotik zooxanthellae. Sementara itu untuk suhu 29 ⁰C dan 30 ⁰C nilai P-value yang didapat adalah 0.082 dan 0.220. Nilai P-value lebih besar dari taraf nyata 5% menunjukkan bahwa waktu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai indeks mitotik zooxanthellae.

Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae dengan Waktu

Peubah Bebas P-value

28 ⁰C*

29 ⁰C 30 ⁰C

Waktu 0.000 0.082 0.220

Ket 1. tanda (*) menunjukkan nilai P-value lebih kecil dari taraf nyata 5% (berpengaruh)

Hasil analisis regresi pada suhu 28 ⁰C menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 47.7%. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman nilai indeks mitotik yang dapat dijelaskan oleh waktu hanya sebesar 47.7% sedangkan sisanya 52.3% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak termasuk pada model. Sementara itu untuk suhu 29 ⁰C dan 30 ⁰C nilai R2

yang didapat cukup kecil yaitu 6.9% dan 2.9%. Hasil pengolahan analisis regresi indeks mitotik dengan waktu dapat dilihat pada Lampiran 5. Persamaan regresi yang didapat untuk suhu 28 ⁰C adalah sebagai berikut :

y

=

e

−3.54+0.00501 x ... (6) Gibbons (2008) mengemukakan bahwa laju pembelahan sel dipengaruhi oleh intensitas cahaya, suhu, dan ketersediaan nutrien. Tinggi intensitas cahaya akan meningkatkan laju fotosintesis sehingga memperbanyak ketersediaan hasil fotosintesis untuk memproduksi sel baru (Verde & McCloskey 2002, dalam Gibbons 2008). Suhu yang meningkat akan mempercepat pembelahan sel akibat


(29)

dari tingginya aktivitas metabolisme (Suharsono & Brown 1992). Nutrien seperti nitrogen dan fosfor dapat merangsang pembelahan sel sedangkan penurunan kelimpahan sumber makanan bagi hewan heterotrofik sehingga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan zooxanthellae (Fitt & Cook 2001).

Hasil analisis regresi indeks mitotik terhadap kualitas air pada akuarium dengan suhu 28 ⁰C menunjukkan bahwa kualitas air yaitu nitrit tidak berpengaruh nyata terhadap indeks mitotik zooxanthellae. Data salinitas dan pH menunjukkan nilai yang konstan sehingga tidak dapat dianalisis. Sementara itu data amonia memiliki korelasi dengan data nitrit, sehingga analisis regresi hanya dilakukan untuk parameter nitrit.

Hal yang berbeda ditunjukkan pada hasil analisis regresi dengan akuarium suhu 29 ⁰C yang menunjukkan bahwa kualitas air yang memberikan pengaruh nyata terhadap indeks mitotik zooxanthellae adalah pH dengan nilai P-value yaitu 0.034 dibandingkan dengan taraf nyata 5%. Data salinitas menunjukkan nilai yang konstan sehingga tidak dapat dianalisis. Sementara itu data nitrit dan amonia memiliki korelasi terhadap pH sehingga analisis regresi hanya dilakukan untuk parameter pH.

Data kualitas air pada akuarium dengan suhu 30 ⁰C menunjukkan nilai yang konstan pada data pH sehingga tidak dapat dianalisis. Sementara itu berdasarkan hasil analisis regresi data nitrit dan amonia memiliki korelasi dengan data salinitas sehingga hanya data salinitas yang dapat dianalisis. Hasil analisis regresi

menunjukkan bahwa salinitas pada akuarium dengan suhu 30 ⁰C memiliki

perngaruh yang nyata terhadap perubahan nilai indeks mitotik zooxanthellae. Hal ini dilihat dari nilai P-value yaitu 0.029 dibandingkan dengan taraf nyata 5%.


(30)

Hasil pengolahan analisis regresi indeks mitotik terhadap kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zamani (1995) merupakan penelitian dengan peningkatan suhu sebesar 3 ⁰C dan 5 ⁰C dari suhu kontrol (28⁰C). Penelitian ini dilakukan selama 48 jam dengan interval pengambilan sampel setiap 3 jam dan 30 menit diawal perlakuan. Perlakuan berlangsung selama 48 jam tanpa ada masa pemulihan. Hasil penelitian yang dilakukan Zamani (1995) dijadikan data sekunder sebagai bahan pembanding untuk melihat respon zooxanthellae terhadap pemberian stres peningkatan suhu tanpa dilakukan masa pemulihan. Hasil penelitian Zamani (1995) dapat dilihat pada Gambar 9 yang diolah dari Lampiran 7.

Penelitian dengan pemberian peningkatan suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C selama 192 jam dan dilakukan masa pemulihan selama 96 jam dari jam ke-48 hingga jam ke-144 menunjukkan pola yang berbeda dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Zamani (1995) dengan peningkatan suhu 3 ⁰C dan 5 ⁰C tanpa adanya masa pemulihan. Penelitian dengan pemberian masa pemulihan menunjukkan nilai indeks mitotik zoxanthellae yang mengalami kenaikan pada jam ke-24 kemudian menurun pada jam ke-48 pada Tahap I. Sementara itu pada masa pemulihan nilai indeks mitotik zooxanthellae mengalami kenaikan. Hal yang berbeda diperlihatkan setelah diberikan perlakuan untuk yang kedua kalinya (Tahap II). Nilai indeks mitotik zooxanthellae mengalami penurunan yang cukup besar pada jam ke-168 kemudian kembali naik pada jam ke-192. Pola ini


(31)

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 0.5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48

Indeks Mitotik

(%

)

Waktu (Jam ke-)

A

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 0.5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48

Indeks Mitotik

(%

)

Waktu (Jam ke-)

B

-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 0.5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48

Indeks Mitotik

(%

)

Waktu (Jam ke-)

C

Gambar 9 Laju Pembelahan Zooxanthellae. (A) Kontrol (28 ⁰C), (B) Perlakuan 1 (31 ⁰C), dan (C) Perlakuan 2 (33 ⁰C) (Zamani 1995).

Hal yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Zamani (1995) dimana pola laju pembelahan zooxanthellae terus menurun hingga jam ke-48. Sementara itu terjadi fluktuasi pada awal pemberian perlakuan dimana terjadi


(32)

peningkatan laju pembelahan zooxanthellae pada 0.5 jam pertama. Sharp et al. (1994) mengemukakan bahwa terjadi peningkatan laju pembelahan zooxanthellae yang signifikan diawal perlakuan peningkatan suhu pada anemon tropis dan subtropis.

Peningkatan laju pembelahan zooxanthellae juga terjadi pada penelitian dengan pemberian masa pemulihan. Nilai indeks mitotik zooxanthellae diawal perlakuan pada penelitian dengan pemberian masa pemulihan mengalami

peningkatan meskipun tidak sebesar hasil yang diperlihatkan oleh Zamani (1995). Keadaan ini terjadi hampir di semua perlakuan yang diberikan pada penelitian dengan pemberian proses pemulihan. Hal ini dapat dikarenakan interval

pengambilan data yang terlalu panjang, yaitu setiap 24 jam sehingga tidak dapat memperlihatkan fluktuasi laju pembelahan zooxanthellae secara jelas.

Visram (2005) menyatakan bahwa terdapat 3 mekanisme dalam pemulihan zooxanthellae yang terjadi pada hewan karang dari kondisi stres. Mekanisme pertama adalah adanya peningkatan pembelahan sel pada zooxanthellae sebelum terjadinya pemutihan (Fitt et al. 1993; Jones & Yellowlees 1997). Mekanisme ini dikombinasikan juga dengan adanya pembelahan sel inang yang terdapat

zooxanthellae di dalamnya dan adanya reditribusi dari zooxanthellae seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10a (Berner et al. 1993).

Mekanisme selanjutnya merupakan pembelahan sel zoxanthellae yang diikuti dengan pengeluaran terhadap zooxanthellae hasil pembelahan yang ditunjukkan pada Gambar 10b. Setelah itu dilakukan pengambilan zoxanthellae yang dikeluarkan oleh sel inang yang tidak terdapat zooxanthellae di dalamnya (Jones & Yellowlees 1997).


(33)

Gambar 10 Mekanisme Pemulihan Zooxanthellae pada Lapisan Endodermis (Visram 2005).

Penelitian dengan pemberian masa pemulihan menunjukkan bahwa dengan adanya proses pemulihan zooxanthellae dapat meningkatkan pembelahannya. Hal ini terlihat dari meningkatnya nilai indeks mitotik zooxanthellae. Setelah

pemberian waktu pemulihan selama 96 jam perlakuan suhu kembali diterapkan dalam penelitian ini.

Selama periode penerapan perlakuan suhu setelah masa pemulihan terlihat adanya penurunan nilai indeks mitotik zooxanthellae diawal perlakuan namun tidak memperlihatkan pola yang terus menurun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai indeks mitotik zooxanthellae pada jam ke-192 walaupun tidak terlalu besar. Dengan demikian penelitian ini memperlihatkan bahwa adanya proses pemulihan dapat memberikan ketahanan pada zooxanthellae terhadap stres peningkatan suhu selanjutnya.


(34)

4.2. Histologi Tentakel Anemon

Perubahan lingkungan yang terjadi selain dapat mempengaruhi alga simbion hal ini juga dapat mempengaruhi kondisi hewan inang atau anemon. Stres yang diterima dari perubahan lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada anemon (Sharp et al. 1994). Hal ini dapat mempengaruhi

keberadaan alga simbion yang terdapat pada jaringan anemon.

Gambar 11 menunjukkan keadaan jaringan tentakel anemon pada akuarium kontrol (28 ⁰C).  Keadaan jaringan tentakel pada akuarium kontrol terlihat dalam

keadaan baik. Bagian endodermis, ektodermis, dan mesoglea tampak terlihat jelas dan dapat dibedakan. Lapisan endodermis menunjukkan keadaan yang baik dilihat dari bentuknya dan keberadaan zooxanthellae yang masih berada pada lapisan endodermis.    

 

Gambar 11 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada Kontrol (28 ⁰C). (a) Jam 0, (b) Jam 48, (c) Jam 144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan Mesoglea (m)).


(35)

Keadaan jaringan tentakel anemon pada akuarium perlakuan 1 (29 ⁰C) dapat

dilihat pada Gambar 12.  Hasil histologi jaringan tentakel pada akuarium

perlakuan dengan suhu 29 ⁰C memperlihatkan kondisi lapisan endodermis yang mengalami kerusakan. Hal ini dapat dikarenakan respon anemon terhadap perubahan suhu yang menyebabkan sel anemon mengalami kerusakan. Kerusakan ini dapat dikerenakan mekanisme sel anemon dalam mengeluarkan zooxanthellae dari selnya. Sementara itu pada perlakuan suhu Tahap II terlihat lapisan endodermis tidak banyak mengalami kerusakan. Hal ini dapat

dikarenakan anemon telah menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu setelah diberikan masa pemulihan sebelumnya sehingga kerusakan yang terjadi tidak sebanyak saat perlakuan tahap awal.

Gambar 12 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada Perlakuan 1 (29 ⁰C). (a) Jam ke-0, (b) Jam ke- 48, (c) Jam ke-144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan Mesoglea (m)). Perbesaran 40x (Skala Bar = 20 µm).


(36)

Gambar 13 menunjukkan keadaan jaringan tentakel anemon pada akuarium perlakuan 2 (30 ⁰C).  Lapisan endodermis pada tahap awal perlakuan 2

memperlihatkan keadaan yang baik dengan tidak terlihatnya kerusakan pada lapisan tersebut. Sementara itu pada tahap peningkatan suhu setelah adanya masa pemulihan (jam ke-144) terlihat adanya kerusakan pada lapisan endodermis. Perbedaan lapisan endodermis, mesoglea, dan ektodermis hampir tidak terlihat jelas. Sementara itu pada jam ke-192 terlihat pemulihan terhadap jaringan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk lapisan jaringan yang dapat dibedakan.

Gambar 13 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada Perlakuan 2 (30 ⁰C). (a) Jam ke-0, (b) Jam ke- 48, (c) Jam ke-144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan Mesoglea (m)). Perbesaran 40x (Skala Bar = 20 µm).


(37)

Hasil foto mikrografi dari preparat histologi tentakel anemon pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 menunjukkan terjadi perbaikan terhadap jaringan tentakel anemon pada tahap kedua perlakuan suhu setelah adanya proses pemulihan. Keadaan jaringan tentakel anemon pada Tahap I cenderung mengalami kerusakan karena sel anemon melakukan pelepasan zooxanthellae yang terdapat pada selnya. Selama masa pemulihan sel anemon melakukan pemulihan terhadap populasi zooxanthellae dan selnya sendiri. Sehingga pada Tahap II kerusakan sel anemon karena pemberian perlakuan yang sama tidak menimbulkan dampak yang besar seperti pada saat Tahap I. Hal ini dapat dikarenakan anemon telah memiliki kemampuan toleransi dan penyesuaian diri terhadap perubahan suhu yang diberikan sebelumnya.

Gambar 14 menunjukkan keadaan jaringan tentakel anemon pada penelitian yang dilakukan oleh Zamani (1995). Keadaan jaringan tentakel anemon

berdasarkan hasil foto mikrografi pada Gambar 14c-d memperlihatkan kerusakan yang cukup besar di lapisan endodermis terhadap kedua perlakuan yang diberikan. Hal ini terjadi terutama pada perlakuan dengan peningkatan suhu sebesar 33 ⁰C.

Perlakuan dengan peningkatan suhu sebesar 31 ⁰C menyebabkan jaringan endodermis mengalami kerusakan berupa kekosongan pada vakuola tempat zooxanthellae berada yang dapat terlihat jelas pada Gambar 14b. Sementara itu pada peningkatan suhu sebesar 33 ⁰C kerusakan yang terjadi disebabkan karena lepasnya zooxanthellae dari lapisan endodermis seperti yang terlihat pada Gambar 14c-d. Keadaan jaringan tentakel pada penelitian ini memperlihatkan kerusakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penelitian yang memberikan perlakuan peningkatan suhu sebesar 29 ⁰C dan 30 ⁰C dengan pemberian proses pemulihan.


(38)

Keadaan jaringan tentakel anemon pada kedua penelitian yang diperlihatkan pada hasil foto mikrografi menunjukkan bahwa pemberian stres peningkatan suhu dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan endodermis yang terjadi karena adanya proses pelepasan zooxanthellae. Sharp et al. (1994) menyatakan bahwa stres yang diterima dari perubahan lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan invertebrata seperti anemon.

Gambar 14 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu. (A) Kontrol (28 ⁰C) Saat Awal Perlakuan, (B) Perlakuan 1 (31 ⁰C) Setelah 48 Jam Perlakuan, (C) Perlakuan 2 (33 ⁰C) Setelah 42 Jam Perlakuan, dan (D) Perlakuan 2 (33 ⁰C) Setelah 48 Jam Perlakuan (Skala Bar A-B = 50 µm; C-D = 100 µm) (Zamani 1995).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Gates et al.

(1992) yang mengemukakan bahwa saat proses pemutihan terjadi pelepasan zooxanthellae dari endodermis yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya perubahan reaksi membran terhadap suhu. Brown (1997) juga menyatakan bahwa pengelupasan jaringan endodermis yang merupakan tempat


(39)

zooxanthellae berada adalah penyebab utama terjadinya pemutihan pada hewan karang.

Semakin besar peningkatan suhu yang diberikan kerusakan pada lapisan endodermis akan semakin besar pula. Pemberian proses pemulihan

memungkinkan zooxanthellae dan jaringan anemon untuk memperbaiki selnya dengan memperbanyak sel. Proses pemulihan juga memberikan ketahanan kepada anemon dan zooxanthellae terhadap pemberian stres kedua dengan perlakuan yang sama.


(40)

40 5.1. Kesimpulan

Proses pengistirahatan untuk pemulihan dari pemberian stres peningkatan suhu mampu meningkatkan daya tahan zooxanthellae dan anemon terhadap

pemberian stres selanjutnya. Selama masa pemulihan zooxanthellae menunjukkan kemampuan untuk bertahan setelah pemberian stres dengan memperlihatkan nilai indeks mitotik zooxanthellae yang meningkat. Keadaan jaringan tentakel anemon memperlihatkan keadaan yang cukup baik setelah diberikan proses pemulihan. 5.2. Saran

Perlu dilakukan pengambilan sampel dengan interval yang lebih pendek sehingga dapat melihat fluktuasi laju pembelahan zooxanthellae. Selama masa pemulihan perlu dilakukan pengambilan data untuk melihat perkembangan pembelahan zooxanthellae selama pemulihan. Masa penerapan perlakuan setelah masa pemulihan sebaiknya dilakukan lebih lama untuk melihat berapa lama daya tahan anemon setelah pemulihan dapat menerima stres untuk kedua kalinya.


(41)

PENINGKATAN SUHU 1

C DAN 2

C

IRNITA YULIANTI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(42)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT

Heteractis

malu

(HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP

PENINGKATAN SUHU 1

C DAN 2

C

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

IRNITA YULIANTI C54063087


(43)

Proses Pemulihan Anemon Laut

Heteractis

malu

(Haddon dan

Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1

C dan 2

C

Oleh: Irnita Yulianti

ABSTRAK

Peningkatan suhu global pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Khususnya hewan dari filum Cnidaria yang memiliki alga simbion dan sensitif terhadap peningkatan suhu diantaranya anemon laut. Peningkatan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini sehingga mengakibatkan terjadinya pemutihan. Pemutihan yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian pada anemon sehingga perlu dilakukan proses pemulihan untuk dapat bertahan dari stres yang diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati proses pemulihan anemon laut

Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan 2

⁰C. Selama penelitian dilakukan peningkatan suhu sebesar 1 ⁰C dan 2 ⁰C dari suhu kontrol yaitu 28 ⁰C. Masa istirahat untuk pemulihan dilakukan selama 96 jam setelah pemberian perlakuan Tahap I selama 48 jam. Pemberian perlakuan pada Tahap II dilakukan selama 48 jam setelah masa pemulihan. Proses

pemulihan dari pemberian stres peningkatan suhu mampu meningkatkan daya tahan zooxanthellae dan anemon terhadap pemberian stres selanjutnya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya nilai indeks mitotik setelah pemberian stres selama masa pemulihan. Pembelahan zooxanthellae meningkat sebesar 0.049 pada perlakuan 1 (29 ⁰C) dan 0.038 untuk perlakuan 2 (30 ⁰C). Selama Tahap II pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan nilai indeks mitotik pada jam ke-196 sebesar 0.014 pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 0.003. Keadaan jaringan tentakel anemon juga menunjukkan keadaan yang cukup baik setelah masa pemulihan.


(44)

IRNITA YULIANTI. Proses Pemulihan Anemon Laut Heteractismalu

(Haddon dan Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1 C dan 2 C. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan MEUTIA SAMIRA ISMET.

Peningkatan suhu global pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Khususnya hewan dari filum Cnidaria yang memiliki alga simbion dan sangat sensitif terhadap peningkatan suhu . Salah satu yang memiliki alga simbion adalah anemon laut. Peningkatan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini sehingga mengakibatkan terjadinya pemutihan. Pemutihan yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian pada anemon sehingga perlu dilakukan proses pemulihan untuk dapat bertahan dari stres yang diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati proses pemulihan anemon laut Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C. Selama penelitian dilakukan peningkatan suhu sebesar 1 ⁰C dan 2 ⁰C dari suhu kontrol yaitu 28 ⁰C. Masa istirahat untuk pemulihan dilakukan selama 96 jam setelah pemberian perlakuan Tahap I selama 48 jam. Pemberian perlakuan pada Tahap II dilakukan selama 48 jam setelah masa pemulihan.

Pengamatan terhadap pembelahan zooxanthellae menunjukkan bahwa selama masa pemulihan pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan. Pembelahan zooxanthellae meningkat sebesar 0.049 pada perlakuan 1 (29 ⁰C) dan 0.038 untuk perlakuan 2 (30 ⁰C). Selama Tahap II pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan nilai indeks mitotik pada jam ke-196 sebesar 0.014 pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 0.003.

Hasil analisis statistik dengan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa pada akuarium kontrol (28 ⁰C) waktu memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan nilai indeks mitotik zooxanthellae. Hal ini dilihat dari nilai P-value yang didapat adalah 0.000 dibandingkan dengan taraf nyata 5%.

Gambaran histologis tentakel anemon menunjukkan selama Tahap I keadaan lapisan endodermis mengalami kerusakan akibat proses pelepasan zooxanthellae. Selama proses pemulihan jaringan tentakel anemon menunjukkan keadaan yang membaik terutama pada perlakuan 1. Perbaikan jaringan anemon kembali ditunjukkan selama Tahap II pada jam ke-196 pada kedua perlakuan.

Proses pemulihan dari pemberian stres peningkatan suhu mampu

meningkatkan daya tahan zooxanthellae dan anemon terhadap pemberian stres selanjutnya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya nilai indeks mitotik setelah pemberian stres selama masa pemulihan. Keadaan jaringan tentakel anemon juga menunjukkan keadaan yang cukup baik setelah masa pemulihan.


(45)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(46)

PENINGKATAN SUHU 1

C DAN 2

C

IRNITA YULIANTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(47)

Judul Laporan : PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893)

TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C Nama Mahasiswa : Irnita Yulianti

Nomor Pokok : C54063087

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003

Tanggal Ujian: 7 Desember 2012 Utama

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc NIP. 19641014 198803 2 001

Anggota

Meutia Samira Ismet, S.Si, M.Si NIP. 19800325 200701 2 002


(48)

 

iii  

KATA PENGANTAR

Daya tahan makhluk hidup terhadap perubahan kondisi suatu lingkungan yang dirasakan beberapa dekade terakhir menarik untuk dikaji. Hal ini sangat bermanfaat untuk mengatasi dan menjaga keberlangsungan hidupnya dimasa akan datang. Hal ini menjadi alasan diajukan topik mengenai daya tahan pada

penelitian ini. Judul yang diajukan adalah Proses Pemulihan Anemon Laut

Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C.

Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu

persyaratan akademik untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dosen pembimbing utama dan anggota yang bersedia membimbing dan memberi bantuan saat penelitian maupun penyusunan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para dosen dan staf yang bersedia membantu selama penelitian dan penulisan.

Bogor, Januari 2013 Irnita Yulianti


(49)

 

iv  

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil'alamin Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas selesainya penulisan skripsi ini dengan segala kesulitan dan kemudahan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc sebagai pembimbing utama yang telah bersabar dalam memberikan arahan, motivasi, dan bantuan dana penelitian hingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan baik. 2. Meutia S. Ismet, S.Si, M.Si sebagai pembimbing anggota yang telah bersabar

dalam memberikan arahan dan motivasi kepada Penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Dietrich G. Bengen, DEA atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji serta memberikan masukan dan perbaikannya.

4. Staf Lab. Hidrobiologi atas informasi dan arahan yang diberikan selama penelitian.

5. Kornel Adithia Warman, S.IK sebagai rekan kerja selama pelaksanaan penelitian.

6. Muta Ali Khalifa, S.IK dan Endah Mulia Ningsih, S.KH atas masukan dan bantuannya selama penulisan skripsi

7. Kedua orang tua yang selalu bersabar dalam memberikan motivasi dan arahan hingga saat ini.

8. Santriwati Ponpres Mahasiswi Al Iffah yang telah memberikan dukungan, motivasi, serta masukan untuk terus memperbaiki diri dan atas ukhuwah yang akan terus terjalin.

9. Teman-teman Angkatan 43 baik teman ITK43 maupun yang pernah

berinteraksi selama ini yang telah memberikan motivasi dan masukan kepada Penulis.


(50)

v

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... v DAFTAR TABEL ... vii DAFTAR GAMBAR ... viii DAFTAR LAMPIRAN ... x 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Luaran ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5 2.1. Anemon Laut ... 5 2.2. Zooxanthellae ... 7 2.3. Hubungan Simbiosis Anemon dan Zooxanthellae ... 8 2.4. Mekanisme Stres ... 10 2.5. Dampak Peningkatan Suhu Air Laut terhadap Simbiosis

Zooxanthellae dan Hewan Inang ... 11 3. METODE PENELITIAN ... 13 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 13 3.2. Alat dan Bahan ... 13 3.3. Prosedur Penelitian ... 14 3.3.1. Persiapan akuarium ... 14 3.3.2. Aklimatisasi dan pemeliharan ... 16 3.3.3. Penerapan perlakuan ... 17 3.4. Metode Pengambilan Data ... 18 3.4.1. Indeks mitotik (IM) zooxanthellae ... 18 3.4.2. Kualitas air ... 18 3.5. Metode Pengolahan Data ... 19 3.5.1. Indeks mitotik (IM) zoxanthellae ... 19 3.6. Analisis statistik ... 20 3.6.1. Indeks mitotik zooxanthellae dengan waktu ... 20 3.6.2. Indeks mitotik zooxanthellae dengan kualitas air ... 21


(51)

   

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21 4.1. Pembelahan Zooxanthellae ... 23 4.2. Histologi Tentakel Anemon ... 34 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40 5.1. Kesimpulan ... 40 5.2. Saran ... 40 DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN ... 45 RIWAYAT HIDUP ... 62


(52)

   

DAFTAR TABEL

N

o Halaman 1. Penerapan Perlakuan terhadap Unit Percobaan ... 17 2. Peubah yang Diukur, Metode, dan Periode Pengukuran ... 19 3. Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae ... 26 4. Hasil Analisis Regresi Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae


(53)

   

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman 1. Anemon Pasir (Heteractis malu) ... 5 2. Struktur Umum Tubuh Anemon Laut Metridium dengan Bagian

Tubuh Memotong untuk Menggambarkan Anatomi Internal

(Fautin dan Mariscal 1991) ... 7 3. Symbiodium- Bentuk seperti Sel yang Terdapat di dalam

Gastrodermal pada Beberapa Inang Antipatharian. (a, b) Sayatan Melintang Tentakel A. Griggi, (c) Sayatan Membujur pada Rongga Tubuh Antiphates Grandis, dan (d) Sayatan Membujur pada Tentakel C. Cf. Anguina (Skala Bar = 10 mm; Tanda

Panah Menunjukkan Symbiodinium) (Wagner et al. 2010) ... 8 4. Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu

Menunjukkan Keberadaan Zooxanthellae pada Lapisan

Endodermis ... 9 5. Desain Akuarium Recirculation Water System (1 set) ... 14 6. Sketsa Posisi Akuarium Perlakuan ... 15 7. Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae Saat Tahap I (0, 24, 48) dan

Tahap II (144, 168, 192). (A) Kontrol (28 ⁰C), (B) Perlakuan 1

(29 ⁰C), dan (C) Perlakuan 2 (30 ⁰C) ... 24 8. Rataan Nilai Indeks Mitotik Zooxanthellae Tiap Akuarium ... 27 9. Laju Pembelahan Zooxanthellae. (A) Kontrol (28 ⁰C), (B)

Perlakuan 1 (31 ⁰C), dan (C) Perlakuan 2 (33 ⁰C) (Zamani 1995) .... 31 10. Mekanisme Pemulihan Zooxanthellae pada Lapisan Endodermis

(Visram 2005) ... 33 11. Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada

Kontrol (28 ⁰C). (a) Jam ke-0, (b) Jam ke- 48, (c) Jam ke-144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan

Mesoglea (m)). Perbesaran 40x (Skala Bar = 20 µm) ... 34 12. Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada

Perlakuan 1 (29 ⁰C). (a) Jam ke-0, (b) Jam ke- 48, (c) Jam ke-144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan

Mesoglea (m)). Perbesaran 40x (Skala Bar = 20 µm) ... 35 13. Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu pada

Perlakuan 2 (30 ⁰C). (a) Jam ke-0, (b) Jam ke- 48, (c) Jam ke-144, dan (d) Jam ke-192 (Endodermis (ed), Ektodermis (ek), dan


(54)

   

14. Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis malu.

(A) Kontrol (28 ⁰C) Saat Awal Perlakuan, (B) Perlakuan 1 (31 ⁰C) Setelah 48 Jam Perlakuan, (C) Perlakuan 2 (33 ⁰C) Setelah 42 Jam Perlakuan, dan (D) Perlakuan 2 (33 ⁰C) Setelah 48 Jam Perlakuan.

(Skala Bar A- B = 50 µm; C-D = 100 µm) (Zamani 1995) ... 38


(55)

   

DAFTAR LAMPIRAN

N

o Halaman 1. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian ... 45 2. Bagan Pengambilan Sampel ... 47 3. Data Pengamatan Kualitas Air ... 48 4. Laju Pembelahan Zooxanthellae dengan Peningkatan Suhu

1 ⁰C dan 2 ⁰C ... 49 5. Hasil Analisis Regresi IM dengan Waktu ... 50 6. Hasil Analisis Regresi IM dengan Kualitas Air ... 55 7. Laju Pembelahan Zooxanthellae dengan Peningkatan Suhu

3 ⁰C dan 5 ⁰C ... 60  


(56)

1 1.1. Latar Belakang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem laut dangkal di daerah tropis yang dibentuk dan didominasi oleh hewan karang. Penyusun utama terumbu karang adalah bangunan koloni (polip) hewan karang yang hidup bersimbiosis dengan mikroalga bersel satu (zooxanthellae) yang terdapat di jaringan tubuh hewan karang dan mengeluarkan kerangka kapur (Grimsditch & Salm 2006). Terumbu karang dibentuk oleh ratusan ribu polip dan ditemukan pada perairan tropis yang hangat, dangkal, jernih, rendah nutrien serta perairan subtropis dengan suhu optimum pada kisaran 25-29 ⁰C. Meskipun demikian hewan karang masih dapat ditemukan pada rentang suhu dari 18 ⁰C di Florida hingga 33 ⁰C di Teluk Iran (Buddemeier & Wilkinson 1994).

Terumbu karang memiliki kekayaan spesies dan kompleksitas yang setara dengan hutan hujan tropis. Roberts (2003 dalam Grimsditch & Salm 2006) menyatakan bahwa terumbu karang yang terdapat di laut hanya sebesar 0.2% dari luas permukaan laut bumi tetapi hampir 25% spesies ikan yang ada di laut

ditemukan pada ekosistem ini. Kekayaan ini juga diperlihatkan dengan besarnya produktivitas primer yang dihasilkan yaitu 2500 g m-2 thn-1 dibandingkan dengan produktivitas laut lepas yang sebesar 125 g m-2 thn-1 (Primack 2010). Hal ini dikarenakan kejernihan air pada ekosistem terumbu karang memungkinkan sinar matahari dapat diterima oleh alga simbion untuk melakukan fotosintesis yang bersimbiosis dengan hewan karang.


(57)

Salah satu biota pembentuk ekosistem terumbu karang adalah anemon laut. Anemon laut memiliki kesamaan secara morfologi dan fisiologi dengan hewan karang. Secara morfologi anemon menyerupai bunga serta memiliki warna yang beraneka ragam. Hal ini menjadikan anemon banyak diminati sebagai hewan peliharaan pada akuarium air laut. Selain itu anemon juga dijadikan sebagai tempat hidup bersama atau inang bagi ikan hias (Hadi & Sumadiyo 1992). Secara fisiologi anemon memiliki alga simbion yang terdapat pada jaringan tubuhnya. Hampir semua hewan karang tropis dan anemon laut (filum Cnidaria) memiliki populasi dinoflagelata-simbiotik (zooxanthellae) yang besar pada lapisan endodermis (Gates et al. 1992).

Peningkatan suhu global yang dirasakan pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap kehidupan laut. Perubahan faktor fisika berupa peningkatan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme dari biota laut (Stambler 2010). Hal ini berlaku juga untuk anemon laut. Tekanan alami berupa meningkatnya suhu perairan menyebabkan anemon mengalami stres berupa pemutihan (bleaching) (Jokiel & Coles 1990).

Fitt et al. (2001) menyatakan bahwa pemutihan merupakan kondisi hilangnya alga simbion dan atau pigmen fotosintetis pada alga simbion. Hal ini merupakan respon alami dari karang simbiotik tropis dan beberapa jenis Cnidaria serta Moluska terhadap variasi stres lingkungan. Pelepasan ini mengakibatkan terganggunya metabolisme pada anemon karena keberadaan zooxanthellae sangat dibutuhkan oleh anemon. Bila keadaan ini berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kematian pada anemon.


(58)

Pengamatan proses terjadinya pemutihan pada anemon dapat dilihat dari keberadaan zooxanthellae selain dengan melihat kondisi warna dari anemon.

Parameter yang digunakan dalam evaluasi stres peningkatan suhu pada hewan karang dan anemon diantaranya ialah densitas zooxanthellae (Visram 2005), indeks mitotik (Zamani 1995; Visram 2005), heat shock protein (HSP70) (Sharp et al. 1997), dan heat shock protein (HSP60) (Choresh et al. 2001). Penelitian ini menggunakan nilai indeks mitotik untuk melihat laju pembelahan zooxanthellae atau alga simbion pada Cnidaria yang telah banyak dipelajari (Cook & D’Elia 1987, dalam Suharsono & Brown 1992). Indeks mitotik juga dapat digunakan untuk melihat pengaruh suhu dan salinitas pada densitas populasi alga (Steen & Muscatine 1987; Hoegh-Guldberg & Smith 1989b, dalam Suharsono dan Brown 1992). Penggunaan indeks mitotik dipilih karena biaya yang

dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakaan analisis HSP60 dan HSP70. Indeks mitotik zooxathellae juga dapat dijadikan indikator yang lebih sensitif terhadap stres dari respon pemutihan (Zamani 1995). Data yang dihasilkan dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara hewan inang dengan zooxanthellae.

1.2. Rumusan Masalah

Setiap makhluk hidup memiliki kemampuan untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya terhadap perubahan lingkungan yang ada. Demikian pula dengan anemon laut. Para pakar saat ini memiliki hipotesis bahwa perubahan suhu global secara bertahap atau tidak bersifat drastis dan tiba-tiba, mampu memberikan peluang bagi biota laut untuk membangun mekanisme adaptasi atau ketahanan terhadap perubahan lingkungan.


(59)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengamati proses pemulihan anemon laut

Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan

2 ⁰C. 1.4. Luaran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kemampuan adaptasi dan ketahanan biota laut dalam evaluasi kerentanan ekosistem tropis terhadap perubahan lingkungan.


(60)

5  

2.1. Anemon Laut

Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh silinder. Organisme ini termasuk ke dalam filum Cnidaria (Fautin & Allen 1994) dan merupakan salah satu hewan pembentuk ekosistem terumbu karang. Hewan ini memiliki morfologi dan fisiologi yang mirip dengan hewan karang. Anemon memiliki tubuh seperti bunga sehingga disebut mawar laut (Hadi & Sumadiyo 1992).

Anemon yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon pasir,

Heteractis malu yang dapat dilihat pada Gambar 1. Anemon jenis ini memiliki nama dagang Delicate Sea Anemone. Heteractis malu termasuk dalam filum Cnidaria yang terdapat pada perairan tropis. Hewan ini berasal dari kelas

Anthozoa dan berada pada subkelas yang yang sama dengan hewan karang yaitu Hexacorallia.


(61)

Berikut merupakan klasifikasi anemon pasir yang digunakan dalam penelitian yang terdapat pada Integrated Taxonomy Information System dengan nomor serial taksonomi 611996 .

Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa

Sub Kelas : Hexacorallia Ordo : Actinaria

Sub Ordo : Nyantheae

Famili : Stichodactylidae Genus : Heteractis

Spesies : Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893)

Tubuh anemon secara umum terdiri atas oral disk, coloum dan pedal disk. Struktur tubuh anemon dapat dilihat padaGambar 2. Bagian atas anemon disebut oral disk. Mulut anemon terdapat pada oral disk yang juga berfungsi sebagai anus. Sekeliling mulut anemon memiliki tentakel yang berfungsi untuk menangkap makanan. Tentakel anemon mengandung sel knidosit atau sel penyengat yang menjadi ciri khas filum Cnidaria. Sel knidosit berfungsi untuk menyengat mangsa. Bagian yang menghubungkan mulut dengan coelenteron atau rongga perut adalah

stomodaeum. Mesenteri filament terdapat di dalam rongga perut yang berfungsi sebagai usus. Bagian yang menempel pada substrat disebut basal disk.


(62)

Gambar 2 Struktur Umum Tubuh Anemon Laut Metridium dengan Bagian Tubuh Memotong untuk Menggambarkan Anatomi Internal (Fautin &

Mariscal 1991). 2.2. Zooxanthellae

Zooxanthellae merupakan alga simbion bersel tunggal dari kelas

Dinoflagellata (Karako et al. 2001). Sel zooxanthellae berbentuk bulat berwarna coklat dengan ukuran diameter sel 5 µm – 15 µm (Stat et al. 2006). Sebagian besar zooxanthellae yang ditemukan berasal dari genus Symbiodinium (Stat et al.

2006; Rosenberg et al. 2007; Venn et al. 2008; Bouchard & Yamasaki 2008; Stambler 2011). Zooxanthellae dapat ditemukan hidup bebas di perairan atau hidup bersimbiosis dengan hewan invertebrata laut, seperti pada hewan karang, anemon laut, dan kima (Yellowlees et al. 2008). Gambar 3 menunjukkan zooxanthellae yang terdapat pada beberapa spesies.


(63)

Gambar 3 Symbiodinium- Bentuk seperti Sel yang Terdapat di dalam Gastrodermal pada Beberapa Inang Antipatharian. (a, b) Sayatan Melintang Tentakel A. Griggi, (c) Sayatan Membujur pada Rongga Tubuh Antiphates Grandis, dan (d) Sayatan Membujur pada Tentakel

C. Cf. Anguina (Skala Bar = 10 mm; Tanda Panah Menunjukkan

Symbiodinium) (Wagner et al. 2010).

Zooxanthellae sebagai simbion pada tubuh inang dapat diturunkan secara maternal dari induknya ke generasi selanjutnya melalui telur atau larva. Selain itu alga simbion juga dapat diperoleh dari lingkungan perairan sekitar mereka

(Yellowlees et al. 2008).

2.3. Hubungan Simbiosis Anemon dan Zooxanthellae

Hubungan simbiosis anemon dan zooxanthellae merupakan simbiosis mutualisme (Trench 1979; 1987, dalam Gibbons 2008). Hubungan ini bersifat endosimbiotik dimana hewan simbion terdapat di dalam tubuh hewan inang. Zooxanthellae yang merupakan alga simbion dapat ditemukan di dalam vakuola


(64)

pada lapisan endodermis anemon (Trench 1987, dalamGibbons 2008). Gambar 4 menunjukkan tempat zooxanthellae ditemukan pada jaringan tentakel anemon.

Gambar 4 Sayatan Melintang Tentakel Anemon Heteractis Malu Menunjukkan Keberadaan Zooxanthellae pada Lapisan Endodermis.

Hubungan simbiosis antara anemon dengan zooxanthellae sebagian besar adalah proses metabolis alga-invertebrata. Proses ini berupa pengangkutan nutrien inorganik melalui hewan inang invertebrata yang bersifat heterotrof kepada alga simbion yang autotrof (Yellowlees et al. 2008). Hubungan simbiosis ini didasari oleh kebutuhan energi yang diberikan zooxanthellae kepada hewan inang dari hasil fotosintesis dan sebaliknya hewan inang memberikan asupan nutrien berupa nitrogen dan fosfor yang dibutuhkan oleh zooxanthellae (Stambler 2010).

Zooxanthellae menyumbang 95% dari hasil fotosintesisnya untuk

memenuhi kebutuhan energi bagi hewan karang (Muscatine 1990, dalam Hoegh-Guldberg 1999). Sementara itu zooxanthellae mendapat keuntungan berupa perlindungan dari grazer dan ketersediaan nutrien. Nutrien yang disediakan diantaranya nitrogen, fosfor, dan karbondioksida sebagai bahan untuk fotosintesis.


(65)

2.4. Mekanisme Stres

Stres merupakan suatu kondisi penurunan kualitas hidup yang disebabkan oleh adanya perubahan ekosistem atau adanya faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya produktivitas. Stres fisik, kimia, dan biologi yang diterima dapat berdampak terhadap salah satu pasangan simbiosis yakni hewan inang,

zooxanthellae, keduanya, atau hubungan antara mereka (Stambler 2010). Stres dapat mempengaruhi laju pertumbuhan, reproduksi dan atau kelangsungan hidup holosimbion (Stambler 2010). Anemon yang mengalami stres akan mengalami perubahan dalam metabolisme, respon tingkah laku

terhadap lingkungan dan biologi reproduksinya akibat faktor-faktor eksternal atau pun internal yang membatasi aktivitas biota ini. Hayes & Bush (1990 dalam Zamani 1995) mengemukakan bahwa hewan karang yang mengalami pemutihan akan menghasilkan mucus atau lendir, kerusakan lapisan gastroderm, dan gangguan vakuola yang di dalamnya terdapat zooxanthellae.

Anemon akan melakukan adaptasi untuk mengurangi atau menghilangkan stres. Jika adaptasi yang dilakukan berhasil maka biota ini akan kembali dalam keadaan homeostatis. Namun apabila tidak berhasil maka biota ini akan

mengalami stres kembali dengan kemungkinan stres yang bertambah besar (Sarwono 1992).

Hewan karang menjaga keberadaan zooxanthellae dengan menyeimbangkan antara pengeluaran dan pertumbuhan zooxanthellae selama mitotis ketika keadaan lingkungan normal. Hoegh-Guldberg et al. (1987) menyatakan bahwa tingkat pengeluaran zooxanthellae kurang dari 4% dimana dalam populasi tersebut juga terjadi penambahan individu baru. Pengurangan populasi zooxanthellae dapat


(1)

59

Lanjutan Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi IM dengan Kualitas Air

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0,00010404 0,00010404 5,01 0,029 Residual Error 52 0,00107946 0,00002076

Total 53 0,00118350

Unusual Observations

Obs Sal IM Fit SE Fit Residual St Resid 15 33,0 0,086000 0,054685 0,003017 0,031315 2,05R 29 32,5 0,108000 0,064099 0,004346 0,043901 3,33R

R denotes an observation with a large standardized residual.

Residual P e r c e n t 0,050 0,025 0,000 - 0,025 - 0,050 99 90 50 10 1 Fitted Value R e s id u a l 0,065 0,060 0,055 0,050 0,045 0,050 0,025 0,000 - 0,025 - 0,050 Residual F r e q u e n c y 0,04 0,02 0,00 -0,02 - 0,04 10,0 7,5 5,0 2,5 0,0

Obser vation Or der

R e s id u a l 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 0,050 0,025 0,000 - 0,025 - 0,050

Normal Probabilit y Plot of t he Residuals Residuals Versus t he Fit t ed Values

Hist ogram of t he Residuals Residuals Versus t he Order of t he Dat a

Residual Plots for I M

RESI 1 P e rc e n t 0,050 0,025 0,000 -0,025 -0,050 -0,075 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean > 0,150 -0,009476 StDev 0,02165 N 54 KS 0,067 P-Value Probability Plot of RESI 1


(2)

60

Lampiran 7. Laju Pembelahan Zooxanthellae dengan Peningkatan Suhu 3⁰ C dan

5⁰ C 

Unit Perlakuan IM (%)

Perlakuan Jam ke- (tn) Rataan SD

Kontrol (28⁰C)

0 2.49 0.72

0.5 1.91 0.6

3 2.87 1.11

6 7.27 2.88

9 3.76 1.09

12 2.56 0.51

15 2.56 0.56

18 2.4 0.78

21 2.31 0.58

24 2.24 0.56

27 3.22 0.68

30 7.67 1.2

33 3.62 1.02

36 2.53 0.57

39 2.31 0.58

42 1.53 0.71

45 1.29 0.39

48 1.16 0.38

Perlakuan 1 (31⁰C)

0 1.51 0.66

0.5 5.24 10.59

3 3.91 2.88

6 3.27 2.46

9 1.8 0.71

12 1.64 0.49

15 1.67 0.53

18 2 0.77

21 1.84 0.56

24 2.04 0.55

27 1.69 0.61

30 3 1.18

33 2.18 0.55

36 2.02 0.67

39 1.8 0.74

42 1.36 0.49

45 1.16 0.46


(3)

61

Lanjutan Lampiran 7. Laju Pembelahan Zooxanthellae dengan Peningkatan Suhu 3⁰ C dan 5⁰ C

Unit Perlakuan IM (%) Perlakuan Jam ke- (tn) Rataan SD

Perlakuan 2 (33⁰C)

0 1.82 0.56

0.5 9.75 1.66

3 5.96 1.39

6 1.91 0.93

9 1.84 0.73

12 1.8 0.53

15 1.82 0.6

18 1.62 0.49

21 1.67 0.68

24 1.64 0.62

27 1.4 0.51

30 1.76 0.05

33 1.42 0.45

36 1.2 0.44

39 1.11 0.4

42 0.6 0.35

45 0.44 0.6


(4)

   

62  

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

      Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, 23 Juli 1988. Penulis merupakan putri dari Sujekri dan

Septini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. 

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Balikpapan, Kalimantan Timur pada tahun 2006. Tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN).

Selama menempuh pendidikan sarjana di IPB penulis aktif dalam kegiatan organisasi. Anggota Lembaga Pengajar Qur’an (LPQ) Al Hurriyyah tahun 2006-2007. Sekertaris Tahsin-Tahfidz Departemen Pengajar Qur’an (DPQ) Al

Hurriyyah tahun 2008. Anggota komisi Eksternal DPM FPIK tahun 2007-2008. Sekertaris departemen Kebijakan HIMITEKA tahun 2007-2007-2008. Staf divisi Cantik Muslimah Forum Komunikasi Muslim FPIK (FKM-C) tahun 2007-2008. Bendahara umum DPQ Al Hurriyyah tahun 2008-2009. Bendahara komisi Ekternal DPM FPIK tahun 2008-2009. Ketua Bidang Kemuslimahan Departemen Sumber Daya Muslim (SDM) Al Hurriyyah. Selain itu Penulis juga pernah menjadi asisten asistensi mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) tahun 2008-2010. Asisten mata kuliah Biologi Hewan Laut tahun 2010 dan Biologi Laut tahun 2011.

Penulis menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses Pemulihan Anemon Laut Heteractis malu (Haddon dan Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C”.


(5)

Proses Pemulihan Anemon Laut

Heteractis

malu

(Haddon dan

Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1

C dan 2

C

Oleh: Irnita Yulianti

ABSTRAK

Peningkatan suhu global pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Khususnya hewan dari filum Cnidaria yang memiliki alga simbion dan sensitif terhadap peningkatan suhu diantaranya anemon laut. Peningkatan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini sehingga mengakibatkan terjadinya pemutihan. Pemutihan yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian pada anemon sehingga perlu dilakukan proses pemulihan untuk dapat bertahan dari stres yang diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati proses pemulihan anemon laut

Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan 2

⁰C. Selama penelitian dilakukan peningkatan suhu sebesar 1 ⁰C dan 2 ⁰C dari suhu kontrol yaitu 28 ⁰C. Masa istirahat untuk pemulihan dilakukan selama 96 jam setelah pemberian perlakuan Tahap I selama 48 jam. Pemberian perlakuan pada Tahap II dilakukan selama 48 jam setelah masa pemulihan. Proses

pemulihan dari pemberian stres peningkatan suhu mampu meningkatkan daya tahan zooxanthellae dan anemon terhadap pemberian stres selanjutnya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya nilai indeks mitotik setelah pemberian stres selama masa pemulihan. Pembelahan zooxanthellae meningkat sebesar 0.049 pada perlakuan 1 (29 ⁰C) dan 0.038 untuk perlakuan 2 (30 ⁰C). Selama Tahap II pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan nilai indeks mitotik pada jam ke-196 sebesar 0.014 pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 0.003. Keadaan jaringan tentakel anemon juga menunjukkan keadaan yang cukup baik setelah masa pemulihan.


(6)

RINGKASAN

IRNITA YULIANTI. Proses Pemulihan Anemon Laut Heteractismalu

(Haddon dan Shackleton 1893) terhadap Peningkatan Suhu 1 C dan 2 C.

Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan MEUTIA SAMIRA ISMET.

Peningkatan suhu global pada beberapa dekade terakhir memberi pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Khususnya hewan dari filum Cnidaria yang memiliki alga simbion dan sangat sensitif terhadap peningkatan suhu . Salah satu yang memiliki alga simbion adalah anemon laut. Peningkatan suhu yang terjadi dapat mempengaruhi hubungan simbiosis ini sehingga mengakibatkan terjadinya pemutihan. Pemutihan yang berlangsung lama dapat menyebabkan kematian pada anemon sehingga perlu dilakukan proses pemulihan untuk dapat bertahan dari stres yang diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati proses pemulihan anemon laut Heteractis malu terhadap pemberian stres dengan peningkatan suhu 1 ⁰C dan 2 ⁰C. Selama penelitian dilakukan peningkatan suhu sebesar 1 ⁰C dan 2

⁰C dari suhu kontrol yaitu 28 ⁰C. Masa istirahat untuk pemulihan dilakukan selama 96 jam setelah pemberian perlakuan Tahap I selama 48 jam. Pemberian perlakuan pada Tahap II dilakukan selama 48 jam setelah masa pemulihan.

Pengamatan terhadap pembelahan zooxanthellae menunjukkan bahwa selama masa pemulihan pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan. Pembelahan zooxanthellae meningkat sebesar 0.049 pada perlakuan 1 (29 ⁰C) dan 0.038 untuk perlakuan 2 (30 ⁰C). Selama Tahap II pembelahan zooxanthellae mengalami peningkatan nilai indeks mitotik pada jam ke-196 sebesar 0.014 pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 0.003.

Hasil analisis statistik dengan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa pada akuarium kontrol (28 ⁰C) waktu memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan nilai indeks mitotik zooxanthellae. Hal ini dilihat dari nilai P-value yang didapat adalah 0.000 dibandingkan dengan taraf nyata 5%.

Gambaran histologis tentakel anemon menunjukkan selama Tahap I keadaan lapisan endodermis mengalami kerusakan akibat proses pelepasan zooxanthellae. Selama proses pemulihan jaringan tentakel anemon menunjukkan keadaan yang membaik terutama pada perlakuan 1. Perbaikan jaringan anemon kembali ditunjukkan selama Tahap II pada jam ke-196 pada kedua perlakuan.

Proses pemulihan dari pemberian stres peningkatan suhu mampu

meningkatkan daya tahan zooxanthellae dan anemon terhadap pemberian stres selanjutnya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya nilai indeks mitotik setelah pemberian stres selama masa pemulihan. Keadaan jaringan tentakel anemon juga menunjukkan keadaan yang cukup baik setelah masa pemulihan.