Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro

(1)

EFFECT OF TEMPERATURE AND DURATION TIME OF BREWING BLACK TEA (Camellia sinensis) ALSO DIGESTION PROCESS IN VITRO CONCERNING INHIBITION OF ALPHA

AMYLASE AND ALPHA GLUCOSIDASE ACTIVITY IN VITRO Suriah Anggraeni and Endang Prangdimurti

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 62 251 8624622, e-mail: suriah.anggraeni@yahoo.com

ABSTRACT

Diabetes is a chronic disease that occurs either when the pancreas does not produce enough insulin or when the body cannot effectively use the insulin. Natural alpha amylase and alpha glucosidase inhibitors from food-grade plants offer an attractive strategy to eather manage or prevent type 2 diabetes by controlling of starch breakdown and intestinal glucose absorption. Black tea is the second most widely consumed beverage in the world after water. A lot of researches about bioactive compounds in tea related have been done. In this study, six extracts treated with different combination of temperature and brewing time were investigated for alpha amylase and alpha glucosidase inhibitory potential. Furthermore, the influence of the digestion condition in vitro to the activity of the enzymes was also performed in this study. The enzymes inhibitory and total phenol was measured by spectrophotometric while tannin content was measured by gravimetric method. Results showed that tea brewed by 70oC 15 minutes, 70oC 30 minutes, 100oC 5 minutes, 100oC 15 minutes can optimally inhibit amylase at initial extract (as an estimation of salivary alpha amylase), 70oC 15 minutes and 100oC 5 minutes can optimally inhibit pH digestion-controlled extract (pancreatic amylase), 70oC 30 minutes and 100oC 30 minutes can optimally inhibit alpha glucosidase at initial extract, also 70oC 15 minutes, 100oC 15 minutes, and 100oC 30 minutes can optimally inhibit at pH digestion-controlled extract. Alpha amylase inhibitory has a positive correlation with tannin content but not with total phenol. While alpha glucosidase inhibitory showed no correlation with tannin and showed a negative correlation with total phenol.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat penting bagi makhluk hidup dikarenakan kandungan energi yang disimpannya. Karbohidrat (pati dan gula) menyumbangkan 80% kalori dari total kalori yang dibutuhkan dan memberikan nilai energi fisiologis 4 Kkal/g (Muchtadi et al. 2006). Walaupun karbohidrat bukan satu-satunya sumber energi namun karbohidrat merupakan sumber energi yang paling murah sehingga banyak dikonsumsi. Kelebihan dalam mengonsumsi karbohidrat banyak dihubungkan dengan berbagai macam penyakit seperti carries gigi, penyakit jantung koroner, kanker, diabetes mellitus, dan kegemukan atau obesitas.

Jumlah penderita penyakit degeneratif cenderung meningkat secara signifikan. Salah satu penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan adalah Diabetes Melitus (DM). WHO (2011) menunjukkan bahwa sekitar 346 juta penduduk dunia menderita DM.The International Diabetes Federation (IDF) (2011) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, penderita diabetes akan meningkat menjadi 438 juta jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melakukan pendataan terakhir pada tahun 2007, yaitu sekitar 12.5 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami diabetes dan diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 21.3 juta jiwa pada tahun 2030 (Riskesdas 2007).

DM merupakan salah satu penyakit degeneratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria). DM disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya di bawah normal atau di atas normal atau daya kerjanya lemah (Depkes 2003). Hormon insulin diproduksi oleh kelenjar pankreas dan dibutuhkan tubuh untuk mengubah glukosa menjadi energi. DM diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh tubuh yang tidak dapat memproduksi insulin sehingga penderita kekurangan insulin dalam darahnya dan membutuhkan suntikan insulin. DM tipe 2 terjadi bila tubuh tidak cukup memproduksi insulin atau kehilangan sensitifitas dalam membuat insulin.

Pencegahan DM pada individu yang beresiko dapat dilakukan melalui modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan (Depkes 2005). Pencegahan DM juga dapat dilakukan dengan mendorong masyarakat mengonsumsi pangan fungsional yang berfungsi untuk membatasi asupan kalori dengan jalan menghambat kerja enzim pemecah karbohidrat seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Dengan menghambat kedua enzim tersebut, diharapkan sebagian karbohidrat tidak terserap di usus halus dan langsung memasuki usus besar untuk difermentasi. Namun karbohidrat yang berlebihan pada usus juga dilaporkan dapat menimbulkan beberapa gangguan. Cummings dan Mann (2009) menghubungkan kelebihan karbohidrat dengan beberapa gangguan perut, seperti produksi gas berlebih yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada perut atau flatulensi, serta produksi biomassa mikroba usus yang meyebabkan efek laktasif seperti mulas dan diare.

Belakangan ini komponen bahan aktif dari beberapa tanaman obat, bahan pangan, dan produk pertanian lainnya telah secara empiris dilaporkan mempunyai aktivitas biologis yang berguna untuk pengobatan penyakit diabetes. Efek hipoglikemik komponen bioaktif pada


(3)

2

tanaman dapat mengembalikan fungsi sel pankreas sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, menghambat absorpsi glukosa di usus dan menghambat kerja enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kebanyakan tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti glikosida, alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan karotenoid mempunyai aktivitas antidiabetes (Kimet al.2006 diacu dalam Suarsanaet al.2008).

Teh adalah minuman yang berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) yang sudah banyak diteliti memiliki banyak khasiat. Komponen bioaktif yang terkenal ada pada teh adalah polifenol yang berkontribusi sebesar 25-30% berat kering (Ullah 1991). Teh dan polifenolnya dilaporkan memiliki efek antioksidan (Wan et al. 2009), mencegah kanker dan menekan karsinogenesis prostat (Lin 2009a), mencegah inflamasi (Ramji et al. 2009), menghambat proliferasi sel kanker payudara (Lin et al. 2009b), mengontrol berat badan (Shi et al. 2009), menekan lipogenesis dan obesitas (Linet al.2009c), serta menghambat enzim alfa amilase (Hara dan Honda 1990 diacu dalam Thalapaneni 2008).

Berdasarkan proses pengolahannya, teh pada umumnya digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh oolong. Teh hijau diproses tanpa fermentasi, teh oolong diproses dengan setengah fermentasi, dan teh hitam difermentasi dengan sempurna. Dari ketiga jenis teh tersebut, teh hitam merupakan teh yang paling banyak dikonsumsi. Konsumsi teh hitam didunia mencapai 80% dibandingkan konsumsi jenis teh lainnya (Huang 2006). Di Indonesia, angka konsumsi teh hitam lebih tinggi dari pada angka konsumsi teh hijau. Pada tahun 2005, angka konsumsi teh hitam mencapai 67.9 juta ton sedangkan teh hijau hanya mencapai 31.3 juta ton (Wanet al.2009).

Teh hitam memiliki komponen bioaktif yang diduga mampu menghambat enzim-enzim pencernaan seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kedua enzim tersebut berperan penting dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa yang akan diserap tubuh. Penghambatan kedua enzim oleh teh diharapkan dapat mereduksi jumlah glukosa pada usus sehingga dapat digunakan untuk mencegah atau menjaga kadar gula darah pada penderita DM.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu penyeduhan teh hitam serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penghambatan aktivitas enzim alfa amilase dan enzim alfa glukosidase secarain vitrosebagai salah satu upaya untuk mengurangi asupan glukosa pada penderita DM.


(4)

(5)

4

Tabel 1. Klasifikasi tanaman teh

Kingdom Plantae

Divisi Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub divisi Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)

Kelas Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)

Sub kelas Dialypetalae

Ordo (bangsa) Guttiferales (Clusiales)

Familia (suku) Camelliaceae (Theaceae)

Genus (marga) Camellia

Spesies (jenis) Camellia sinensis

Sumber : Tuminah (2004) diacu dalam Kusumaningrum (2008)

Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum dipanaskan dan dikeringkan. Selama itu, enzim yang terdapat pada daun-daun teh akan mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang ada di dalam teh sehingga menghasilkan warna, rasa, dan aroma (Hartoyo 2003). Komposisi kimia daun teh sangat berpengaruh terhadap bubuk teh yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan dari pengaruh reaksi-reaksinya selama proses pengolahan. Komponen-komponen ini berpengaruh langsung terhadapstrength, warna,flavour, dan rangsangan seduhan teh tersebut. Presentase komposisi teh hitam dapat dilihat pada Tabel 2.

Teh hitam yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam menggunakan sistem pengolahan CTC (Crushing Tearing Curling) jenis mutuBroken Pekoe 1 (BP 1) yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas, Bogor. Proses pengolahan teh hitam di perkebunan ini terdiri dari proses pemetikan, pelayuan, penggulungan atau penggilingan, fermentasi, pengeringan, sortasi, dan pengepakan.

Pemetikan dilakukan setiap hari menggunakan tangan atau gunting. Keuntungan pemetikan dengan tangan adalah tingkat selektifitasnya yang tinggi karena pekerja dapat benar-benar memilih pucuk-pucuk yang benar-benar-benar-benar layak petik sedangkan pemetikan dengan gunting dilakukan apabila pucuk yang harus dipetik jumlahnya banyak sedangkan jumlah tenaga pemetik tetap.

Pelayuan bertujuan untuk mengeluarkan sebagian cairan sel, merubah susunan sel, dan untuk menciptakan kondisi yang baik untuk proses penggulungan atau penggilingan. Pelayuan dilakukan pada suhu 27°C-30°C selama 10 jam (Panuju 2008).

Penggulungan atau penggilingan bertujuan untuk memecah sel-sel daun, mengeluarkan cairan sel, dan merusak jaringan daun yang menyebabkan unsur-unsur di dalamnya termasuk polifenol dan beberapa enzim bergabung menjadi satu. Hasil gilingan yang baik adalah daun tidak menjadi bubuk dan tidak ada air yang menetes dari alat (Aji 2011). Bentuk gulungan dipengaruhi oleh kualitas bahan baku serta tingkat kelayuan pucuk.

Fermentasi dilakukan secara oksidatif enzimatis selama 40 menit sampai 4 jam pada suhu 25-32°C (Panuju 2008). Waktu yang dibutuhkan untuk seluruh proses fermentasi teh hitam di PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas adalah sekitar 58 menit (Tirtasujana 1997).

Pengeringan dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim sehingga proses fermentasi berhenti dan menurunkan kandungan air sampai kira-kira 3% basis basah (Kusumaningrum 2008). Alat yang digunakan untuk proses pengeringan teh hitam terdiri dariFluid Bed Dryer


(6)

(7)

6

Tabel 2. Komposisi kimia teh hitam

Komponen Kadar (%)

Selulosa dan serat kasar 34

Protein 16

Klorofil dan pigmen 1

Pati 0.25

Tanin teh 18

Tanin teroksidasi 4

Kafein 4

Asam amino 9

Mineral 4

Abu 5.5

Sumber : Nasution dan Tjiptadi (1975)

Teh hitam memiliki pembentuk warna atau pigmen yang khas, yaitu theaflavin, thearubigin, dan theasinensis. Pigmen-pigmen tersebut termasuk ke dalam kelompok polifenol yang telah banyak dilaporkan memiliki efek positif bagi kesehatan sehingga dapat digolongkan menjadi senyawa bioaktif. Pigmen-pigmen tersebut terbentuk pada saat proses fermentasi dalam pembuatan teh hitam. Theaflavin dibentuk melalui reaksi oksidasi berpasangan (oxidative coupling) antara katekin jenis katekol (epikatekin dan epikatekin galat) dan katekin jenis pyrogallol(epigalokatekin dan epigalokatekin galat) (Tanakaet al. 2009). Shahidi dan Naczk (2004) menyatakan bahwa fermentasi daun teh akan menyebabkan epimerisasi epikatekin dan epigalokatekin menjadi katekin dan galokatekin. Kedua hasil epimerasi tersebut akan mengalami oksidasi dengan bantuan katekol oksidase dan menghasilkan o-quinone yang kemudian akan membentuk kompleks yang disebut theaflavin. Theaflavin yang terdapat pada teh hitam ada empat jenis, yaitu theaflavin (TF), theaflavin 3 gallat (TF-3-G), theaflavin 3’ gallat (TF-3’-G), dan theaflavin 3,3’-digallat (TF-3,3’-DG). Prekursor dan kadar masing-masing jenis theaflavin tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 sedangkan struktur theaflavin dapat dilihat pada Gambar 3. Apabila reaksi oksidasi berlangsung terlalu lama, maka theaflavin akan mengalami degradasi oksidatif yang merupakan reaksi utama dalam pembentukan thearubigin. Sebagian theaflavin yang terbentuk akan bereaksi dengan katekin kuinon dan menjadi bagian dari kompleks thearubigin. Total theaflavin dan thearubigin pada teh masing-masing berkisar 3-6% dan 12-18% (Wong et al. 2009). Sedangkan adanya kondensasi berpasangan antara dua jenis galokatekin, yaitu epigalokatekin galat (EGCG) dan epigalokatekin (EGC), akan membentuk dimer kuinon lain, terutama dehidrotheasinensis yang akan dikonversi menjadi theasinensis apabila dipanaskan atau dikeringkan (Wanet al.2009).

Senyawa bioaktif diluar flavonoid adalah alkaloid, saponin (triterpenoid saponin), ligan, dan pigmen. Kafein, theobromin dan theofilin adalah golongan purine alkaloid yang paling banyak ada pada teh (Wonget al.2009) yaitu berkisar 3-4% (Ullah 1991). Sejumlah ligan telah terdeteksi pada teh sebanyak 6%, serta asam amino non protein yang disebut L-theanin (γ -ethylamino-L-glutamic acid) juga dilaporkan merupakan zat bioaktif pada daun teh dengan jumlah berkisar antara 1.5% - 3% berat kering dan merupakan komponen asam amino utama dalam teh dengan jumlah lebih dari 50% dari total asam amino bebas (Wanet al.2009).


(8)

Tabel 3. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam

Komponen Kadar (mg/100 g)

Quersetin 2.1

Kaemferol 1.5

Myricetin 0.3

Luteolin

-Apigenin

-β-prosianidin 5.4

Epigalokatekin galat 3.9

Katekin 0.8

Epikatekin 3.7

Epigalokatekin galat 6.0

Epikatekin galat 5.9

Galokatekin 1.9

Naringenin

-Hesperitin

-Sumber : Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham (2006) Tabel 4. Prekursor dan kadar theaflavin pada teh hitam

Prekursor Jenis Theaflavin Kadar (% bk)

EC + EGC TF 0.2–0.3

EC + EGCG TF-3-G 1.0–1.5

ECG + EGC TF-3’-G

ECG + EGCG TF-3,3’-G 0.6–1.2

Sumber : Wanet al.(2009) Keterangan:

EC = Epikatekin

ECG` = Epikatekin galat

EGC = Epigalokatekin


(9)

(10)

(11)

10

C. Proses Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan polihidroksi aldehida ataupun keton. Nama karbohidrat mempunyai rumus empirisyang menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah karbon ‘hidrat’ serta mempunyai nisbah perbandingan C terhadap H terhadap O sebanyak 1: 2: 1 (Muchtadiet al.1993). Karbohidrat disintesis oleh tanaman dari air dan karbon dioksida dengan bantuan sinar matahari. Rumus umum dari karbohidrat adalah (CH2O)n. Glukosa merupakan contoh karbohidrat yang paling sederhana, dengan rumus molekul C6H12O6. Glukosa sangat mudah larut dan siap ditransportasikan ke seluruh jaringan tanaman atau hewan yang mana nantinya akan dioksidasi kembali menjadi air dan karbondioksida. Proses oksidasi tersebut akan menghasilkan energi bagi tanaman dan hewan melalui proses metabolik seluler (Mann dan Truswell 2009).

Karbohidrat adalah sumber energi yang paling penting bagi hampir seluruh penduduk di dunia. Bahan pangan utama yang mengandung karbohidrat didapat dari jenis serealia, seperti nasi, gandum, jagung, barley, rye, oat, millet, dan sorgum. Pangan berbasis karbohidrat memberikan sekitar 40-80% dari total kalori yang dibutuhkan, tergantung dari budaya dan status ekonomi (Mann dan Truswell 2009). Pangan berbasis karbohidrat juga memberikan kontribusi bagi sejumlah protein, vitamin, mineral, komponen pangan lainnya seperti fitokimia dan antioksidan.

Mann dan Truswell (2009) mengklasifikasikan karbohidrat menjadi tiga kelas berdasarkan derajat polimerisasinya, yaitu sugarsatau gula-gula sederhana, oligosakarida, dan polisakarida. Klasifikasi karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 5.

Senyawa karbohidrat kompleks (bukan monosakarida) harus dipecah terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih pendek dan sederhana agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Muchtadiet al. (1993) mengemukakan bahwa proses pemecahan karbohidrat ini dibantu oleh adanya peranan enzim, seperti enzim pemecah pati (amilase atau ptialin), enzim pemecah disakarida (disakaridase), enzim sukrase intestinal yang menguraikan sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa, enzim maltase intestinal yang menguraikan maltosa menjadi glukosa dan glukosa dan enzim laktase intestinal yang menguraikan laktosa menjadi galaktosa dan glukosa. Muchtadi et al. (1993) juga meringkas suatu proses pencernaan karbohidrat ke dalam bagan sederhana yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Karbohidrat mulai dicerna pada mulut secara mekanik dengan pengunyahan dan kimiawi oleh enzim amilase saliva yang disekresikan. Enzim amilase saliva hanya memecah pati sebagai karbohidrat kompleks bukan memecah gula-gula sederhana. Namun, aktivitas pencernaan oleh enzim tersebut akan terhenti apabila makanan sudah masuk ke lambung melalui kerongkongan karena adanya asam klorida pada lambung yang memiliki pH 2. Oleh karena itu, hasil pencernaan yang terjadi di mulut relatif tidak begitu signifikan apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh melalui proses pencernaan oleh enzim-enzim pankreas di usus halus. Pada lambung karbohidrat dihidrolisis lebih lanjut dengan hadirnya HCl dari mukosa (Astawan M 2009). Setelah itu, hasil hidrolisis dari lambung masuk mukosa usus halus, yaitu berupa campuran disakarida, α-limit dekstrin, dan sebagian kecil monosakarida. Permukaan usus halus diselimuti oleh mikrofili-mikrofili sehingga memperluas permukaan area penyerapan lebih dari 200 m2. Membran mikrofili biasa disebut dengan istilahbrush border. Menurut Cummings dan Mann (2009), ada tiga enzim utama yang menyelesaikan proses pencernaan karbohidrat menjadi monosakarida, yaitu 1) glukoamilase (α-glukosidase), 2) sukrose isomaltase (mengurangi produk hasil pencernaan pati dengan mengubahnya menjadi monomer glukosa, serta memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa), dan 3) laktase atau β-galaktosidase (menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa).


(12)

Tabel 5. Klasifikasi karbohidrat

Kelas (Derajat Polimerisasi) Sub-Kelas Komponen Utama

Sugars (1-2) 1. Monosakarida Glukosa, Fruktosa,

Galaktosa 2. Disakarida Sukrosa, Laktosa,

Maltosa, Trehalosa 3. Polyols

(gula alkohol)

Sorbitol, Mannitol, Laktitol, Xylitol, Eritritol Oligosakarida (3-9)

(Karbohidrat rantai pendek)

1. Malto-oligosakarida (α-glucans)

Maltodekstrin 2. Oligosakarida bukan

α-glucan

Rafinosa, Stakiosa, Fruktooligosakarida, Galaktooligosakarida, polidektrosa, inulin Polisakarida (≥ 10) 1. Pati (α-glucans) Amilosa, Amilopektin,

Pati termodifikasi 2. Polisakarida bukan

pati

Selulosa, Hemiselulosa, Pektin, Arabinoxylans, Glucomannans, Plant gums dan getah (mucilages), Hidrokoloid. Sumber : Mann dan Truswell (2009)

Glukosa, galaktosa, dan fruktosa dibawa dari usus halus ke liver melalui darah. Liver mengonversi seluruh fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa. Glukosa digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagai glikogen apabila jumlahnya sudah berlebih.

Gula alkohol seperti sorbitol dan manitol tidak mempunyai mekanisme yang spesifik sehingga diserap melalui difusi sederhana. Apabila jumlah gula alkohol yang dikonsumsi berlebihan, melebihi kapasitas usus halus, maka sebagian tidak diserap di usus halus dan dibiarkan melewati usus besar. Gula alkohol memiliki bobot molekul yang relatif kecil sehingga dapat menahan sejumlah air pada usus besar yang dapat mengakibatkan diare.


(13)

12

Gambar 6. Bagan proses pencernaan karbohidrat (Muchtadi et al. 1993)

Pati resisten, oligosakarida bukan α glukan(fruktooligosakarida dsb.), dan polisakarida bukan pati (selulosa dsb.) tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan dilewati di usus halus dan memasuki usus besar atau kolon untuk difermentasi. Hal ini diperkirakan karena ikatan kimia dan bentuk fisik jenis karbohidrat tersebut yang tidak mudah diserap baik oleh brush border maupun enzim-enzim pankreas, contohnya selulosa memiliki ikatan β-1,4 (berkebalikan dengan pati yang memiliki ikatan α-1,4). Perbedaan stereokimia tersebut dapat mencegah proses hidrolisis selulosa oleh enzim amilase di pankreas. Semua karbohidrat yang memasuki kolon akan difermentasi dengan bakteri yang hidup di kolon. Bakteri di kolon jumlahnya sekitar 1012 sel/gram.

Proses fermentasi oleh mikroba pada tubuh merupakan proses anaerobik yang unik. Selain menghasilkan zat sisa seperti hidrogen, karbon dioksida, metana, dan biomassa mikroba, proses ini juga menghasilkan produk berupa asam lemak rantai pendek seperti asetat, propionat, dan butirat. Asam lemak rantai pendek lebih mudah larut air sehingga lebih cepat diserap (Cummings dan Mann 2009). Proses fermentasi karbohidrat di kolon dapat dilihat pada Gambar 7.

Intestinal laktase Karbohidrat

Pati Gula

Dekstrin Maltosa Sukrosa Laktosa

Glukosa dan Glukosa Glukosa

Glukosa dan Fruktosa

Galaktosa dan Glukosa Amilase/ Ptialin

Pancreatic

amylase Intestinal

maltase

Intestinal sukrase


(14)

Gambar 7. Bagan proses fermentasi karbohidrat di kolon (Cummings dan Mann 2009)

D. Inhibitor Enzim

Zat yang dapat menghambat kerja enzim disebut zat penghambat atau inhibitor enzim. Sebagian besar enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimiawi tertentu.

Penghambat enzim dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penghambat yang bekerja secara tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible). Penghambat tidak dapat balik adalah penghambat yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya, contohnya adalah senyawa diisoprofilfluorofosfat (DFP) yang menghambat enzim asetilkolinesterase (enzim yang penting di dalam transmisi impuls syaraf) (Lehninger 1982). Penghambat dapat balik dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif dan non kompetitif. Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Penghambat kompetitif ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada struktur dimensinya. Penghambat non kompetitif terjadi bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik. Menurut Lehninger (1982) penghambat nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks enzim-substrat (ES), membentuk kompleks enzim-inhibitor (EI) dan kompleks enzim-subtrat-inhibitor (ESI) yang tidak aktif.

Pada penderita DM, penghambatan terhadap enzim yang berperan dalam hidrolisis karbohidrat menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Obat yang biasa diberikan pada penderita DM adalah Acarbose. Acarbose merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari fermentasi mikroorganisme Actiniplanes utahensis, memiliki berat molekul 645.6, larut air, dan mempunyai nilai pKa 5.1

Laktosa/Gula alkohol

Non-digestable

oligosakarida

Pati resisten

Polisakarida bukan pati

Uap air dari pernapasan

dan buang angin (flatus)

Metabolisme Mikroba Anaerobik

Hidrogen

Karbon dioksida

Metana

Asetat

Propionat

Butirat

Biomassa

mikroba

Asam amino

Urea


(15)

14

(Info Obat Indonesia 2009). Calder dan Geddes (1989) meneliti bahwa Acarbose menghambat enzim alfa glukosidase secara kompetitif.

Belakangan ini, berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim. Banyak peneliti yang tertarik menguji berbagai jenis tanaman dan fitokimia yang dikandungnya dan diduga dapat menghambat kerja enzim. Senyawa fitokimia tersebut antara laindieckol(sejenis florotanin) dari alga coklat Ecklonia cavayang dapat menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase (Leeet al2010),vasicinedanvasicinolpada daunAdhatoda vasica Nees sebagai inhibitor enzim alfa amilase, alfa glukosidase, dan sukrase (Gao et al. 2008). Senyawarosmarinic acid, quersetin,protocatechuic acid, danpara-Coumaric acidpada tanaman herbal oregano dilaporkan dapat menghambat porcine pankreas amilase in vitro (McCueet al.2004). Onoet al.(2005) meneliti bahwa ekstrak daunNelumbo nuciferamampu menghambat enzim pankreas amilase dan lipase, namun setelah komponen fenolik pada ekstrak tersebut dihilangkan, daya hambatnya menghilang. Kayu secang mengandung komponen kuersetin yang dapat berperan dalam inhibisi enzim α-amilase dan α-glukosidase (Cai et al. 2007).

Enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat (Taderaet al.2006). Berbagai kelas senyawa fenolik memang telah banyak diberitahukan sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase. McDougall et al. (2009) mengutarakan bahwa elagitanin, proantosianidin, dan polifenol pada buah berry (strawberry, claudberry, dsb) dapat menghambat enzim lipase. Shaiet al. (2010) juga meneliti enam jenis tanaman obat yang tumbuh di Phalaborwa-Afrika Selatan, memiliki kemampuan menghambatyeast alpha glucosidasewalaupun belum diteliti lebih lanjut senyawa bioaktif apa saja yang berperan dalam penghambatan tersebut.

Teh hitam yang memiliki pigmen khas yaitu theaflavin telah banyak diteliti memiliki kemampuan inhibisi pada beberapa enzim. TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas inhibisi terhadap UVB-induced phophatidylinositol-3-kinase(PI3K). Produksi nitrit dan proteininducible nitric oxide synthase(Inos) dapat dihambat oleh asam galat, EGC (epigalokatekin), EGCG (epigalokatekin gallat), TF-1 (theaflavin), TF-2 (theaflavin-3-gallat), dan TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat). Zega (2010) mengatakan bahwa theaflavin dan theaflavin-3-gallat memiliki aktivitas inhibisi yang tinggi dalam melawanhuman hystolytic lymphoma, tetapi kurang efektif dalam melawan acute T-cell leukimia Jurkat, sedangkan TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas yang lebih rendah. Linet al.(2009c) melaporkan bahwa ekstrak teh dan polifenol teh, seperti TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) menghambat enzim yang berperan dalam lipogenesisfatty acid synthase(FAS).


(16)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe1). Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis daya inhibisi enzim alfa amilase antara lain: enzim alfa amilaseporcine pancreas(Sigma A3176), pati murni (Merck), pereaksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS), buffer natrium fosfat pH 6.9. Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis daya inhibisi enzim alfa glukosidase antara lain: enzim alfa glukosidase dari Saccharomyces cerevisiae tipe I (Sigma G5003), buffer kalium fosfat pH 6.8, larutan p-nitrofenil-α -D-glukofiranosida (Sigma N1377), dan Na2CO3. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengukur total fenol antara lain: etanol 95%,folin ciocalteau50%, Na2CO35%, asam galat 250 mg/L, dan akuades. Kadar tanin diuji dengan menggunakan bahan-bahan seperti HCl 32%, formalin (HCHO 37%), dan akuades. HCl 11.96 N dan NaOH 10 N digunakan untuk menetapkan pH proses pencernaanin vitro.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spektrofotometer, pH meter, sentrifugasi, gelas piala, tabung reaksi, tabung sentrifugasi, kuvet, alat vortex, pipet dan mikropipet, penangas air, gelas ukur, neraca analitik, alumunium foil, penyaring vakum, termometer, waterbath, sudip, gelas pengaduk, gelas arloji, corong dan saringan.

B. Metode Penelitian

Penelitian pertama-tama dilakukan dengan menyeduh bubuk teh hitam dengan menggunakan suhu air dan lama penyeduhan yang berbeda. Ekstrak teh hitam yang didapat dari penyeduhan kemudian diberi dua perlakuan yang berbeda, yaitu ada yang diberi perlakuan pengaturan simulasi pH pencernaan dan ada yang tanpa diberi perlakuan (disebut ekstrak awal). Ekstrak yang dibiarkan seperti ekstrak awal langsung dilakukan beberapa uji, yaitu pengukuran pH, inhibisi enzim alfa amilase, inhibisi enzim alfa glukosidase, total fenol, dan kadar tanin. Ekstrak awal yang diberi pengaturan simulasi pH pencernaan pertama-tama diubah pH nya seperti pH lambung (pH 2) dan didiamkan selama 30 menit kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8 seperti pH pada usus halus. Ekstrak tersebut diuji daya inhibisinya terhadap enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.


(17)

16

Gambar 8. Diagram alir penelitian

1. Ekstraksi

Teh hitam diblender kering sampai menghasilkan partikel halus (bubuk) yang homogen. Konsentrasi teh hitam dibuat yang sama, yaitu 0.04 g/ml (4 gram teh ditambah dengan 100 ml air). Teh diseduh dengan perlakuan dua suhu dan tiga waktu penyeduhan yang berbeda. Suhu air yang digunakan untuk menyeduh yaitu suhu 70°C dan suhu 100°C atau mendidih. Sedangkan waktu penyeduhan yaitu 5, 15, dan 30 menit. Larutan teh tersebut disaring dengan kain saring, disentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit, dan disaring kembali dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman No. 41. Volume ekstrak kemudian ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Perlakuan pH Simulasi Sistem Pencernaan

In vitro

Pada percobaan ini, ekstrak teh akan melalui proses pencernaan secara in vitro dengan mengubah nilai pH sesuai pH saluran pencernaan, yaitu lambung dan usus halus. Ekstrak teh yang didapat pertama-tama diukur pH nya sehingga didapat pH ekstrak awal. Kemudian ekstrak diubah pH nya sesuai pH lambung yaitu pH 2 dengan menggunakan

Teh Hitam

Ekstraksi (penyeduhan 4 gram teh hitam dalam 100 ml air pada

suhu awal 70

o

C dan 100

o

C selama 5, 15, dan 30 menit)

Pengukuran inhibisi alfa amilase

Pengukuran inhibisi alfa glukosidase

Pengukuran pH

Pengukuran inhibisi alfa amilase

Pengukuran inhibisi alfa glukosidase

Pengukuran total fenol

Pengukuran kadar tanin

Ekstrak

Teh Hitam

Pengaturan

simulasi

pH

pencernaan (pH 2 selama 30

menit kemudian pH 6.8)


(18)

kurang lebih tiga sampai empat tetes HCl 11.96 N dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian ekstrak yang pH nya sama dengan pH lambung tersebut diubah kembali mengikuti pH usus halus, yaitu pH 6.8 dengan penambahan NaOH 10 N sebanyak lima sampai tujuh tetes.

3. Pengujian

Pengujian daya inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase hanya dilakukan baik pada ekstrak dengan pH awal maupun pada pH pada usus halus (6.8) setelah melalui pH lambung (pH 2) selama 30 menit. Pengukuran pH dengan pH meter, total fenol, dan kadar tanin juga diukur pada ekstrak awal.

a) Pengujian inhibisi enzim alfa amilase

Pada percobaan ini ingin diketahui pengaruh penambahan teh hitam pada masing-masing suhu dan waktu penyeduhan serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penurunan aktivitas enzim alfa amilase dalam memecah pati sehingga hasilnya adalah penurunan daya cerna pati. Pati dihidrolisis oleh enzim alfa amilase menjadi gula-gula sederhana. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Glukosa dan maltosa dapat bereaksi dengan DNS (asam dinitrosalisilat) sehingga kadar keduanya dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm.

b) Pengujian inhibisi enzim alfa glukosidase

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas penghambatan enzim alfa glukosidase yang berasal dari Saccharomyces cerevisiae tipe I secara in vitro. Pemecahan substrat p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida menjadi p-nitrofenil berwarna kuning dan glukosa oleh enzim alfa glukosidase. Aktivitas penghambatan enzim diukur berdasarkan jumlah p-nitrofenil yang dihasilkan dengan mengukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.

c) Pengujian total fenol

Analisis total polifenol menggunakan folin-ciocalteau yaitu dengan melihat kemampuan mereduksi dari komponen fenol. Standar yang digunakan adalah asam galat. Asam galat merupakan salah satu senyawa asam fenolat terbanyak dalam teh. Prinsip dari metode ini adalah reduksi dari reagen fosfomolibdat (MoO42-) dan fosfotungstat (WO42-) sehingga terbentuk kompleks warna biru yang dapat terukur secara spektrofotometri sinar tampak pada panjang gelombang 725 nm.

d) Pengujian kadar tanin

Pengukuran kadar tanin secara kuantitatif dilakukan dengan metode gravimetri. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehida. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Ummah 2010). Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (termasuk golongan


(19)

18

flavonoid) atau tanin terkondensasi untuk membentuk kompleks pada struktur flavonoid yang dapat diendapkan oleh formaldehida (Garro Galvez et al. 1996 diacu dalam Kassimet al.2011).

4. Prosedur

a) Inhibisi enzim alfa amilase (Thalapaneniet al.2008)

Larutan enzim alfa amilase yang digunakan adalah enzim porcine pancreatic amylase 1 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37°C selama 10 menit, larutan pati 1% (b/v) ditambahkan sebanyak 125 µl dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 10 menit. Setelah inkubasi kedua, pereaksi DNS 0.096 M ditambahkan sebanyak 500 µl dan diinkubasi kembali selama 5 menit pada air mendidih. Setelah itu, 5 ml air suling ditambahkan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Kontrol positif yang digunakan adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N.

Buffer natrium fosfat dibuat dari larutan natrium fosfat monobasik 0.02 M ditambah dengan larutan natrium klorida 0.0067 M dengan perbandingan 1:1, kemudian campuran larutan tersebut dinaikkan pH nya menjadi pH 6.9 dengan penambahan NaOH 1 M. Pati 1% (b/v) dibuat dari 1 gram pati kentangsolubledilarutkan dengan 100 ml buffer natrium fosfat, kemudian dididihkan selama 15 menit dan setelah dingin ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Pereaksi DNS 0.096 M dibuat dengan melarutkan 1 gram asam 3,5-dinitrosalisilat ke dalam 50 ml akuades yang dididihkan. Larutan DNS tersebut kemudian dicampurkan dengan larutan natrium kalium fosfat, yang dibuat dari 30 gram natrium kalium tartrate dipanaskan bersama-sama dengan 20 ml NaOH 2 M. Volume campuran larutan tersebut kemudian ditepatkan sampai 100 ml dengan penambahan akuades.

Tabel 6 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer natrium fosfat, dan enzim yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula sederhana awal pada pati yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan untuk menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis enzim. Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh hitam sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor yaitu teh.


(20)

Tabel 6. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa amilase

Larutan Blanko

(µl)

Kontrol A (µl)

Kontrol B (µl)

Sampel (µl)

Sampel - - 125 125

Buffer natrium fosfat 250 125 125

-Enzim - 125 - 125

Pati 125 125 125 125

Pereaksi DNS 500 500 500 500

Air suling 5000 5000 5000 5000

Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (1) sebagai berikut:

% = 100% (1)

Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A–Absorbansi blanko A2 = Absorbansi sampel–Absorbansi kontrol B

b) Inhibisi enzim alfa glukosidase (Mayuret al.2010)

Enzim alfa glukosidase yang digunakan berasal dariSaccharomyces cerevisiae tipe I dengan aktivitas 0.2 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37°C selama 10 menit, larutan p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida 0.0005 M ditambahkan sebanyak 350 µl dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30 menit. Setelah inkubasi kedua, tambahkan 1400 µl larutan natrium karbonat 0.2 M dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 410 nm. Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N.

Buffer kalium fosfat dibuat dari larutan kalium fosfat monobasik 0.1 M (13.609 gram dilarutkan dalam 1 liter akuades) dan dinaikkan pH nya menjadi 6.8 dengan penambahan NaOH 1 M. Substrat p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida 0.0005 M dibuat dengan menimbang 1.505 mg dan dilarutkan dalam 10 ml akuades dingin. Larutan natrium karbonat 0.2 M dibuat dengan melarutkan 21.198 gram dalam 1 liter akuades.

Tabel 7 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer kalium fosfat, dan enzim yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula sederhana awal pada substrat yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan untuk menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis enzim. Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada substrat dan teh hitam sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada substrat dan teh hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor yaitu teh.


(21)

20

Tabel 7. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa glukosidase

Larutan Blanko

(µl)

Kontrol A (µl)

Kontrol B (µl)

Sampel (µl)

Sampel - - 140 140

Buffer kalium fosfat 1190 840 1050 700

Enzim - 350 - 350

Substrat 350 350 350 350

Na2CO3 1400 1400 1400 1400

Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (2) sebagai berikut:

% = 100% (2)

Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A–Absorbansi blanko A2 = Absorbansi sampel–Absorbansi kontrol B

c) Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu dalam Zega 2010)

Larutan standar asam galat dibuat pada berbagai konsentrasi, yaitu 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm. Pengujian ini menggunakan reagen folin ciocalteau 50% dan pereaksi Na2CO35%.

Pertama-tama, larutan standar atau ekstrak sebanyak 0.5 ml dilarutkan dalam 0.5 ml etanol 95%, 2.5 ml akuades dan 2.5 ml larutan reagenfolin ciocalteau. Setelah itu larutan didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap dan kemudian ditambahkan 0.5 ml larutan Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap selama 1 jam. Setelah inkubasi, larutan divorteks dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.

d) Uji kadar tanin (Nugraha 1999)

Ekstrak teh sebanyak 25 ml atau disetarakan 1 gram sampel teh ditambahkan HCl 32% sebanyak 5 ml. Kemudian tambahkan 10 ml formalin (HCHO) 37% dan panaskan selama 30 menit. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan akuades sampai bebas asam. Endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu 100°C selama 24 jam kemudian ditimbang. Kandungan tanin dari ekstrak dihitung dengan rumus (3) berikut ini:

= ( )


(22)

5. Analisis Statistik

Data-data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan Dua Faktor. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan analisis beda Duncan pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Uji t-test dua berpasangan digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap nilai inhibisi enzim amilase.


(23)

22

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi Teh Hitam

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif pada tanaman. Ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen kimia yang ada pada suatu tanaman. Proses ektraksi teh dilakukan dengan cara penyeduhan. Isi sel teh hitam akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Pada penelitian ini, sebanyak 4 gram teh hitam diseduh dalam 100 ml air. Konsentrasi ekstrak teh hitam dibuat sama sedangkan suhu air dan waktu penyeduhan bervariasi, yaitu pada suhu 70°C dan 100°C selama 5, 15, dan 30 menit.

Menurut Laresolo (2008), komposisi yang benar untuk menghasilkan minuman teh dengan cita rasa yang pas yaitu sebanyak 2 gram bubuk teh diseduh dalam 100 ml air. Walaupun komposisi tersebut tidak bersifat mutlak karena tiap orang memiliki cita rasa yang berbeda. Sebagian orang menyukai teh yang kental dan sebagian lagi lebih menyukai teh yang tidak terlalu kental. Konsentrasi teh hitam yang digunakan pada penelitian ini lebih pekat, yaitu dua kali lipat dari saran penyajian. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi apabila komposisi yang disarankan tersebut terlalu encer sehingga kemampuan inhibisi terhadap enzim belum bisa dilihat atau dihitung.

Perbedaan suhu penyeduhan didasarkan atas kebiasaan masyarakat dalam menyeduh teh. Pada umumnya, masyarakat memasak air sampai mendidih untuk menyeduh teh, suhu air mendidih adalah sekitar 100°C. Suhu penyeduhan 70°C diperoleh dari kebiasaan masyarakat kota yang sering memakai air panas yang berasal dari dispenser untuk menyeduh teh. Oleh karena itu, setelah dilakukan pengecekan dengan termometer, suhu air panas yang dihasilkan mesindispensermenunjukkan suhu 70°C.

Tidak ada ketentuan khusus seberapa lama teh harus diseduh. Namun, apabila teh hitam diseduh terlalu sebentar maka rasa dan flavor teh kurang muncul sedangkan jika sebaliknya maka minuman teh akan terasa lebih pahit. Menurut Laresolo (2008) waktu yang sesuai untuk menyeduh teh adalah 5 menit. Perlakuan penyeduhan teh dibuat selama 5, 15, dan 30 menit untuk mengetahui perbedaan inhibisi yang dihasilkan oleh komponen bioaktif yang ada dalam teh jika diseduh dengan waktu yang bervariasi.

Ekstrak teh hitam diberi perlakuan atas perbedaan suhu awal air seduh dan waktu penyeduhannya. Berdasarkan perbedaan tersebut, terdapat enam ekstrak yang berbeda : 1) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 5 menit, 2) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 15 menit, 3) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 30 menit, 4) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 5 menit, 5) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 15 menit, dan 6) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 30 menit. Dikarenakan suhu penyeduhan akan menurun seiring lamanya waktu penyeduhan, maka dilakukan pengecekan suhu akhir. Pada suhu air awal 70°C setelah diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 55, 45, dan 39°C. Sedangkan suhu air awal 100°C setelah diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu akhir ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 81, 61, dan 50°C.

Selain ingin mengetahui nilai inhibisi pada ekstrak awal, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak teh tersebut masih memiliki kemampuan menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase setelah melewati saluran pencernaan. Oleh karena itu, proses


(24)

pencernaan secarain vitro dikenakan pada ekstrak teh hitam dengan cara mengubah nilai pH sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa makanan pertama-tama dicerna di mulut kemudian masuk ke lambung melalui kerongkongan. Kondisi di dalam lambung sangat asam, yaitu sekitar pH 1-2. Seberapa lama makanan berada di lambung itu tergantung dari jenis makanan dan berapa banyak jumlah yang dimakan. Rata-rata diperlukan waktu empat sampai lima jam untuk makanan padat keluar dari lambung sedangkan diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk makanan cair atau minuman mengalir dari lambung ke usus kecil (Aryani 2011). Miller (1998) juga menambahkan bahwa waktu yang diperlukan lambung untuk mencerna minuman sekitar 30 menit. Makanan semifluid keluar dari lambung menuju usus halus yang memiliki pH sekitar netral dan bercampur dengan enzim pencernaan yang diproduksi oleh pankreas (Siregar 2004), seperti alfa amilase dan alfa glukosidase yang merupakan enzim pencernaan karbohidrat. Berdasarkan hal tersebut, maka ekstrak teh hitam yang merupakan cairan atau minuman tersebut diubah pH nya sesuai dengan pH lambung dan didiamkan 30 menit, setelah itu diubah lagi pH larutannya menjadi sekitar pH 6.8 sesuai dengan kondisi usus halus.

B. Nilai pH Ekstrak Teh Hitam

Teh hitam yang diekstrak dengan suhu dan waktu yang berbeda kemudian diukur derajat keasamannya dengan menggunakan pH meter. Hasil pengukuran tersebut dinamakan nilai pH pada ekstrak awal. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit masing-masing memiliki nilai pH sebesar 5.00, 5.00, 5.06, 5.02, 5.04, dan 4.93. Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu penyeduhan, dan kombinasi keduanya tidak memengaruhi nilai pH pada larutan ekstrak teh tersebut (p  0.05). Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa nilai suatu pH larutan tidak dipengaruhi oleh besarnya suhu dan waktu serta interaksi keduanya pada penelitian ini. Data lengkap dan hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

C. Inhibisi Enzim Alfa Amilase

a. Inhibisi Enzim Alfa Amilase pada Ekstrak Awal

Inhibisi enzim alfa amilase pada ekstrak awal dilakukan untuk melihat kemampuan ekstrak teh hitam pada kondisi awal dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase. Alfa amilase terdapat pada saliva dan cairan pankreas. Ekstrak teh awal belum melalui proses pencernaan in vitrosehingga nilai inhibisi yang dihasilkan dapat menggambarkan dugaan kemampuan ekstrak teh dalam menghambat enzim amilase saliva. Telah diketahui bahwa karbohidrat pertama-tama dicerna oleh enzim amilase saliva yang ada di mulut. Bayeret al. (1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak jauh berbeda.

Hasil penelitian pada ekstrak teh hitam yang diberi berbagai perlakuan suhu dan waktu menunjukkan adanya daya hambat terhadap enzim alfa amilase (Gambar 9). Teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 94.60%, 95.13%, 97.92%, 97.54%, 96.04%, dan 89.14% (Lampiran 4). Kontrol positif yang digunakan adalah Acarbose yang memiliki daya hambat sebesar 99.12% (Lampiran 4). Widowati (2007)


(25)

24

menerangkan bahwa penghambatan enzim alfa amilase berdampak pada penurunan daya cerna pati yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas hipoglikemik yang berperan positif untuk penderita diabetes. Ankolekaret al.(2011) meneliti bahwa teh yang telah difermentasi menunjukkan daya inhibisi enzim alfa amilase yang lebih tinggi dari teh yang tidak mengalami proses fermentasi, yaitu sekitar 71.60-84.10% dengan waktu ekstraksi teh hitam selama lima menit.

Analisis statistik ekstrak teh pada pH awal menunjukkan bahwa faktor suhu dan faktor waktu tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05), sedangkan interaksi suhu dan waktu penyeduhan memiliki pengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p0.05) (Lampiran 5).

Interaksi suhu dan waktu diuji kembali dengan melibatkan Acarbose. Hasilnya adalah interaksi tersebut berpengaruh terhadap nilai inhibisi (p0.05) (Lampiran 6). Oleh karena interaksi suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi nilai inhibisi maka data diolah lebih lanjut dengan uji Duncan (Lampiran 7).

Uji lanjut Duncan menjelaskan empat ekstrak hasil penyeduhan 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, dan 100°C 15 menit tidak berbeda nyata dengan Acarbose. Keempat ekstrak tersebut diduga memiliki senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim alfa amilase dengan sangat baik. Dengan demikian diperkirakan alfa amilase yang ada pada saliva juga mengalami penghambatan oleh keempat ekstrak tersebut.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditunjukkan pula bahwa ekstrak hasil penyeduhan 70°C 5 menit dan 100°C 30 menghasilkan nilai inhibisi yang berbeda nyata dengan Acarbose, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan nilai inhibisi oleh Acarbose. Hal tersebut diduga dikarenakan pada kondisi penyeduhan 70°C 5 menit diduga senyawa bioaktif yang mampu menghambat enzim amilase belum banyak terekstrak, sedangkan ekstraksi 100°C 30 menit diduga merupakan kondisi penyeduhan yang terlalu lama sehingga diperkirakan komponen bioaktif yang memiliki kemampuan menginhibisi enzim alfa amilase mengalami perubahan struktur yang dapat menurunkan daya inhibisinya. Selain itu, mungkin saja pada kombinasi suhu dan waktu tersebut ada senyawa bioaktif jenis lain yang terekstrak yang memiliki kemampuan inhibisi enzim alfa amilase yang rendah yang memengaruhi nilai inhibisi secara keseluruhan karena senyawa bioaktif terekstrak pada waktu dan kondisi yang berbeda-beda.

Tadera et al.(2006) menemukan bahwa senyawa flavonoid yang memiliki potensi dalam menghambat enzim porcine pancreatic amylase adalah senyawa luteolin, myricetin dan quersetin. Minuman teh hitam mengandung myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 0.3 dan 2.1 mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham 2006). Taderaet al.(2006) juga mengemukakan bahwa struktur flavonoid yang bertanggung jawab dalam penghambatan enzim alfa amilase adalah ikatan ganda pada cincin B posisi 2’ dan 3’, 5-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3’, dan gugus OH pada cincin B. Perubahan pada struktur tersebut diduga dapat menurunkan kemampuan inhibisinya.


(26)

b. Inhibisi Enzim Alfa Amilase setelah Melewati Pencernaan

Keenam ekstrak teh setelah melalui simulasi pH sistem pencernaan mengalami penurunan kemampuan inhibisi enzim alfa amilase. Teh hitam yang diseduh pada kondisi penyeduhan 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar masing-masing sebesar 72.66%, 87.14%, 10.40%, 85.40%, 23.04%, 23.62%, sedangkan Acarbose sebagai kontrol positif juga mengalami penurunan daya inhibisi enzim alfa amilase menjadi sebesar 85.18% (Gambar 9). Data lengkap ekstrak dan Acarbose setelah melalui proses pencernaanin vitro dapat dilihat pada Lampiran 4. Kondisi ini dapat menggambarkan daya inhibisi teh hitam terhadap enzim alfa amilase yang bekerja pada usus halus, yaitu enzim amilase pankreas.

Hasil statistik menunjukkan bahwa proses pencernaanin vitroberpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05) (Lampiran 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teh yang diseduh pada 70°C 15 menit dan 100°C 5 menit memiliki nilai hambat terhadap enzim alfa amilase yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose, yang mana memiliki nilai inhibisi yang relatif masih tinggi pada kondisi pH usus halus. Hal ini diperkirakan kombinasi penyeduhan pada 70°C selama 15 menit dan suhu 100°C selama 5 menit merupakan kombinasi yang dapat mengekstrak senyawa bioaktif yang mampu menghambat aktivitas enzim alfa amilase secara optimal walaupun sudah melewati proses pencernaan secarain vitro(Lampiran 9).

Uji t test dua berpasangan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara nilai inhibisi oleh ekstrak pH awal dan oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaanin vitro. Hasil analisis menunjukkan bahwa besar inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal berbeda nyata dengan besar inhibisinya setelah melalui proses pencernaanin vitro(p0.05) (Lampiran 10). Dapat dilihat pula pada Gambar 9 bahwa nilai inhibisi enzim alfa amilase mengalami penurunan setelah melewati proses pencernaan in vitro. Hal ini diperkirakan bahwa senyawa bioaktif pada teh hitam yang bertanggung jawab dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase cenderung mengalami perubahan struktur atau tidak stabil setelah melewati pH lambungin vitro(pH 2) selama 30 menit kemudian dikondisikan berada pada pH usus halusin vitro (pH 6.8). Peleqet al.(1998) menyatakan bahwa penambahan asam pada kelompok polifenol seperti katekin, asam galat, dan tanin akan meningkatkan rasa sepat atau astringency yang disebabkan oleh pengikatan senyawa fenolik dengan enzim saliva amilase. Bayeret al.(1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak jauh berbeda. Penelitian yang lain, yaitu Lee et al. (2005) menyatakan bahwa pada kondisi pH asam theaflavin stabil, tetapi akan terdegradasi dengan lambat pada pH sekitar netral (pH 7-7.5) sedangkan pada pH 9 theaflavin terdegradasi dengan cepat. Hal tersebut menerangkan bahwa perubahan pH memengaruhi senyawa bioaktif dan memengaruhi potensi yang dimilikinya.

Khasiat hipoglikemik yang diberikan oleh ekstrak teh akan lebih optimal apabila dapat menghambat enzim amilase saliva di mulut dan enzim amilase pankreas di usus halus. Oleh karena itu, ekstrak teh yang dapat menghambat dua jenis enzim amilase tersebut adalah teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C 15 menit dan 100°C 5 menit karena menghasilkan nilai inhibisi yang tinggi, baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui pangaturan simulasi proses pencernaan.


(27)

Keterangan: Nilai yang diiku

berbe  Gambar 9. Nila

D. Inhibisi Enzim Alfa Gl

a. Inhibisi Enzim Alfa

Inhibisi alfa gluko awal apakah ekstrak te sebelum diberi perlakuan pH awal dapat dilihat pa menit, 70°C 30 menit, 1 hambat masing-masing sedangkan Acarbose me (2006) meneliti bahwa te besar diantara jenis teh tersebut juga menjelask glukosidase disertai pe kombinasi yang paling b Kwonet al.(2006) deng lebih besar, yaitu masing jumlah enzim yang lebih cara ekstraksi yang meng Analisis statistik

keduanya berpengaruh te 

12). Interaksi suhu dan

nilai inhibisi enzim alfa g  94.60b 95.13

72.66

y 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

70 C 5 menit 70 m Inhi b is i (%) Ekstrak aw

ikuti oleh huruf yang berbeda untuk kondisi ekstrak yang sama men beda nyata (p0.05) dengan uji lanjut Duncan

ilai inhibisi enzim alfa amilase dari ekstrak teh hitam

Glukosidase

Alfa Glukosidase pada Ekstrak Awal

ukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk mendapatkan teh hitam memiliki kemampuan menghambat enzim gl an lain. Hasil penelitian inhibisi enzim alfa glukosidase pad t pada Gambar 10. Ekstrak hasil penyeduhan 70°C 5 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit mem g sebesar 95.96%, 95.96%, 98.36%, 91.34%, 82.32%, da memiliki daya hambat sebesar 99.87% (Lampiran 11). Kw

teh hitam memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase ya teh lainnya, besar inhibisinya mencapai lebih dari 90%. laskan bahwa penghambatan yang lebih tinggi pada en

penghambatan enzim alfa amilase yang lebih rendah m baik untuk mengontrol diabetes. Perbedaan penelitian yang ngan penelitian ini adalah konsentrasi teh hitam dan unit en ing-masing 0.1 g/ml dan 1 unit/ml, cara analisis dengan men bih besar dua kali lipat dari jumlah substrat yang ditambah

nggunakan refluks selama 1 jam.

tik menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu dan terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p0.05) ( n waktu penyeduhan teh hitam dan Acarbose berpengaruh a glukosidase (p0.05) (Lampiran 15).

95.13bc 97.92bc 97.54bc 96.04bc

89.14a

99.12

87.14

z

10.40

w

85.40

z

23.04

x

23.62

x

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

Acar Perlakuan sampel

awal Ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro

enunjukkan 

n informasi glukosidase pada ekstrak nit, 70°C 15 emiliki daya dan 99.42% Kwon et al. yang paling %. Penelitian enzim alfa merupakan g dilakukan t enzim yang enggunakan ahkan, serta an interaksi

 ) (Lampiran uh terhadap

99.12c

89.18

z

arbose


(28)

Suhu penyeduhan 70°C menghasilkan daya inhibisi yang lebih tinggi (96.76%) dibandingkan dengan daya inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak menggunakan suhu penyeduhan 100°C (91.03%) (Lampiran 13). Besar penghambatan enzim alfa glukosidase dari yang paling tinggi sampai paling rendah dihasilkan oleh ekstrak yang diseduh selama 30

515 dengan daya hambat sebesar masing-masing 98.98 93.6489.14% (Lampiran 14).

Lampiran 16 menunjukkan bahwa ekstrak hasil penyeduhan 70°C 30 menit dan 100°C 30 menit menghasilkan daya hambat enzim alfa glukosidase yang besarnya tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Acarbose) dimana nilai inhibisinya paling tinggi. Hal ini diperkirakan karena senyawa bioaktif yang terdapat pada kedua ekstrak tersebut memiliki kemampuan menginhibisi enzim alfa glukosidase yang besarnya setara dengan Acarbose.

Taderaet al.(2006) melaporkan bahwa enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat. Katekin, epikatekin, dan epigalokatekin galat terkandung dalam minuman teh hitam sebesar 0.8, 3.7, 6.0 mg/100 g namun belum diketahui mengandung naringenin dan apigenin (Kyle dan Duthie). (Taderaet al.2006) juga menambahkan bahwa senyawa flavonoid lain yang berpotensi menghambat enzim alfa glukosidase yang berasal dari khamir adalah antosianidin, isoflavon, dan kelompok flavonol. Valant-Vetschera dan Wollenweber diacu dalam Andersen dan Markham (2006) memaparkan bahwa quersetin, kaemferol, dan myricetin termasuk ke dalam golongan flavonol. Minuman teh hitam mengandung kaemferol, myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 1.5, 0.3, dan 2.1 mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham 2006). Taderaet al.(2006) meneliti bahwa struktuf flavonoid yang memiliki andil dalam penghambatan enzim alfa glukosidase adalah cincin C tidak jenuh (unsaturated), 3-OH, 4-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3’, dan gugus hidroksil pada cincin B.

b. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase setelah Melewati Pencernaan

Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase setelah melalui proses pencernaanin vitro pada teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 90.56%, 97.74%, 96.15%, 87.10%, 98.37%, 97.94%, dan Acarbose memiliki daya hambat sebesar 99.48% (Gambar 10). Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.

Uji statistik menunjukkan bahwa proses pencernaan secarain vitromemengaruhi nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p0.05) (Lampiran 17).Teh hitam yang diseduh pada 70°C 15 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose sebagai kontrol positif (Lampiran 18). Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan yang paling baik untuk menghambat enzim alfa glukosidase adalah teh hitam yang diseduh pada 70°C 15 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit.

Uji t-test dua berpasangan menunjukkan bahwa besar inhibisi alfa glukosidase oleh ekstrak awal tidak berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak setelah melalui proses pencernaan in vitro (p value  0.05) (Lampiran 19). Hal ini diperkirakan bahwa senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim alfa glukosidase memiliki kecenderungan tahan terhadap perubahan pH.


(29)

95.96c

95.96c 98.36d 91.34b 82.32a 99.42d

99.87d

90.56x

97.74yz 96.15y

87.10w

98.37yz 97.94yz 99.48z

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

Acarbose

Inhi

b

is

i

(%)

Perlakuan sampel


(30)

E. Total Fenol

Uji total fenol dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik di dalam teh hitam yang diekstrak dengan kombinasi suhu dan waktu yang berbeda. Fenol merupakan senyawa yang strukturnya mengandung gugus hidroksil yang berikatan dengan gugus fenil sedangkan polifenol adalah senyawa kimia yang ada pada tumbuhan yang memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Oleh karena itu, hasil uji total fenol akan mewakili secara kasar jumlah polifenol yang ada pada ekstrak. Polifenol daun teh jumlahnya hampir 35% berat kering (Shahidi dan Naczk 2004). Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol memiliki andil dalam menghambat aktivitas enzim. Gugus OH pada senyawa tersebut diyakini dapat berikatan dengan protein. Haslamet al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan juga adanya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada yang bersifat dapat balik maupun tidak dapat balik. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat dengan protein (Siebert 1999 diacu dalam Ali 2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millicet al.1968 diacu dalam Ali 2002).

Pengujian dilakukan hanya pada ekstrak awal teh hitam. Pertama-tama, kurva standar asam galat dibuat dengan memplotkan absorbansi yang dihasilkan dengan beberapa konsentrasi asam galat yang sudah ditentukan. Persamaan garis nya adalah y = 0.0044x-0.1021 dengan R= 0.9902. Kurva asam galat dan persamaannya dapat dilihat pada Lampiran 20. Kemudian total fenol ekstrak didapat dari persamaan garis kurva standar asam galat tersebut. Perhitungan total fenol ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil penelitian total fenol dinyatakan sebagai Asam Galat Ekuivalen (GAE). Teh yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit masing-masing mengandung total fenol sebesar 19.35, 19.46, 19.52, 18.48, 22.82, dan 18.33 mg GAE/g (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 19.35 mg komponen fenolik dalam 1 gram teh (contohnya pada teh yang diseduh pada 70°C 5 menit), dan seterusnya. Kwonet al.(2007) meneliti bahwa kandungan komponen fenolik pada teh hitam sebesar 4.75 mg/g sedangkan Moraes de Souzaet al. (2008) melaporkan bahwa teh hitam mengandung total polifenol dengan rentang 35-40 mg GAE/g. Perbedaan kandungan fenol di dalam teh dipengaruhi oleh varietas, unsur hara dalam tanah, musim, serta proses pengolahannya seperti perbedaan lama fermentasi dan sebagainya.

Analisis statistik menerangkan bahwa perbedaan suhu penyeduhan teh hitam tidak memengaruhi kandungan total fenol di dalamnya (p  0.05), sedangkan perbedaan waktu penyeduhan dan interaksi suhu-waktu penyeduhan memberikan pengaruh terhadap besarnya kandungan total fenol ekstrak teh (p 0.05). Hasil uji statistik total fenol dapat dilihat pada Lampiran 22.

Ekstraksi polifenol dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut, pH, suhu, banyaknya tahap ekstraksi, ukuran partikel dan bentuknya. Escribano dan Santos (2002) menyatakan bahwa suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu yang terlalu tinggi dapat mendegradasi senyawa polifenol. Harbourneet al.(2009) menambahkan bahwa penurunan total fenol pada suhu tinggi dikarenakan adanya penguapan komponen volatil fenol, penguraian senyawa fenol dan penggabungan senyawa fenol tertentu dengan komponen lain. Marostica Jret al. (2010) mengatakan bahwa beberapa komponen fenolik sensitif terhadap panas (thermosensitive). Rosset al.(2011) meneliti tentang stabilitas panas pada senyawa fenolik dan


(31)

30

melaporkan bahwa kadar katekin dan epikatekin menurun seiring dengan kenaikan suhu sedangkan asam galat dan galokatekin meningkat jumlahnya seiring bertambahnya suhu, dengan penggunaan suhu berkisar 120-240°C dengan waktu 0-90 menit. Pada percobaan ini, perbedaan suhu awal penyeduhan tidak memengaruhi jumlah fenol karena diperkirakan jarak kedua suhu tersebut tidak besar sehingga jumlah fenolnya belum terlihat perbedaannya.

Kondisi pH lingkungan memengaruhi kestabilan polifenol. Friedmen dan Jurgens (2000) meneliti kestabilan senyawa polifenol tanaman pada rentang pH 3-11 dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komponen fenolik jenis kafeat, klorogenat, dan asam galat tidak stabil pada pH tinggi dan ketidakstabilannya bersifat tidak dapat balik, polifenol jenis asam klorogenat stabil pada pH asam, serta polifenol jenis katekin, epigalokatekin, asam ferulat, rutin, dan asam trans sinamat cenderung tahan degradasi akibat perubahan pH. Perbedaan tersebut dipengaruhi kekuatan resonansi dalam menstabilkan ion fenoksida dan quinon pada senyawa polifenol tersebut. Penelitian yang dilakukan Kwonet al. (2006) memberikan informasi bahwa senyawa fenolik memiliki daya inhibisi enzim alfa glukosidase yang berbeda-beda sesuai pH lingkungannya, fenol jenis asam hidroksibenzoat, asam galat, dan asam protokatekuat memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase lebih tinggi pada pH 3.5-4.5 dibandingkan pada pH 6.5-7.5, sedangkan katekol, quersetin, katekin, asam rosmarat, asam elagat, dan asam kumarat memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa pH saluran pencernaan juga memengaruhi besarnya suatu inhibisi enzim sesuai jenis dan jumlah komponen fenolik yang ada pada tanaman tersebut. Teh hitam diketahui mengandung senyawa fenol seperti katekin, epigalokatekin, asam galat, dan quersetin, rutin, asam kafeat, asam ferulat, dan asam kumarat yang memiliki kestabilan terhadap pH yang berbeda-beda yang akan memengaruhi nilai inhibisi terhadap suatu enzim.

Teh yang diseduh selama 15 menit mengandung total fenol yang berbeda nyata dibandingkan dengan total fenol pada teh yang diseduh selama 5 dan 30 menit. Total fenol yang diperoleh pada ekstrak teh hitam yang diseduh selama 15 menit jumlahnya lebih tinggi dibandingkan pada teh yang diekstrak selama 5 menit dan 30 menit (Lampiran 23). Hal ini diperkirakan bahwa waktu penyeduhan selama 15 menit merupakan waktu yang paling optimal untuk mengekstrak senyawa fenol yang ada pada teh. Waktu penyeduhan teh hitam selama 5 menit diduga belum mampu mengekstrak senyawa polifenol lebih banyak, sedangkan waktu penyeduhan selama 30 menit mungkin merupakan waktu yang terlalu lama untuk mengekstrak polifenol sehingga senyawa tersebut menjadi teroksidasi. Telah diyakini sebelumnya bahwa waktu ekstraksi yang terlalu lama akan memicu pemaparan oksigen lebih banyak yang akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi senyawa fenolik (Shahidi dan Naczk 2004). Polifenol oksidase (PPO) adalah enzim yang berperan dalam oksidasi senyawa polifenol. PPO aktif pada suhu optimum berkisar 50-80°C (Capecka 2005). Keberadaan PPO menyebabkan total fenol berkurang karena telah teroksidasi. Yang Li (2009) menambahkan bahwa pada umumnya, semakin lama waktu ekstraksi maka proses ektraksi semakin efisien, namun ekstraksi yang terlalu lama juga tidak disarankan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya oksidasi senyawa fenolik kecuali jika ditambahkan agen pereduksi pada pelarut. Agen pereduksi yang biasa ditambahkan untuk mencegah oksidasi fenolik adalah asam askorbat (FAO 2000). Penambahan asam askorbat pada beberapa produk minuman teh dalam kemasan dilakukan untuk mengurangi terjadinya oksidasi.

Oksidasi adalah proses kimia yang melibatkan transfer elektron dari atom atau molekul (sekelompok atom) melalui reaksi dengan atau tanpa adanya penambahan oksigen atau kehilangan hidrogen (Geldenhuys 2009). Fenol sangat mudah teroksidasi. Buah yang


(32)

19.35bc 19.46c 19.52c

18.48ab

22.82d

18.33a

0 5 10 15 20 25

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

T

o

ta

l

fe

no

l

(m

g

G

A

E/

g

)


(33)

0 10 20 30 40 50

84 86 88 90 92 94 96 98 100

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

T

o

ta

l

F

e

no

l

(m

g

G

A

E/

g

)

Inhi

b

is

i

(%)

Perlakuan sampel


(34)

0 10 20 30 40 50

0 20 40 60 80 100 120

70 C 5 menit 70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

T

o

ta

l

F

e

no

l

(m

g

G

A

E/

m

g

)

Inhi

b

is

i

(%)

Perlakuan sampel


(35)

34

F.

Kadar Tanin

Tanin merupakan metabolit sekunder yang termasuk ke dalam kelompok senyawa fenolik. Tanin dapat membentuk kompleks dengan protein dan mengkelat logam. Rangari (2007) mengemukakan bahwa tanin merupakan kompleks polifenolik berbobot molekul tinggi yang dihasilkan melalui reaksi polimerisasi senyawa polifenol sederhana. Bate-Smith (1962) diacu dalam Hagerman (2002) mendefinisikan tanin sebagai senyawa fenolik larut air yang memiliki bobot molekul berkisar 500-3,000 (disebut ester asam galat), memberikan reaksi fenolik yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dan memiliki sifat khas seperti kemampuannya dalam mengendapkan gelatin dan protein lainnya. Bahkan tanin yang memiliki berat molekul sebesar 20,000 (disebut proantosianidin) juga pernah dilaporkan. Selain dengan protein, tanin juga memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan polisakarida (Haslam 1989 diacu dalam Hagerman 2002).

Tanin dibedakan atas dua jenis, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis adalah tanin yang dapat dihidrolisis oleh asam-asam mineral atau enzim seperti enzim tannase dan struktur molekulnya merupakan turunan dari asam galat. Tanin terkondensasi atau dikenal dengan proantosianidin adalah tanin yang tidak mudah dihidrolisis oleh asam mineral dan enzim serta merupakan turunan flavonoid. Rangari (2007) menggolongkan daun teh sebagai tanaman yang mengandung tanin terkondensasi. Penelitian yang dilakukan Engelhardtet al. (2003) menunjukkan bahwa teh hitam mengandung tanin terkondensasi (proantosianidin) sebesar 0.5 g/100 g dan memiliki tanin terhidrolisis berkisar 0.02-0.15 g/100 g. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa semakin lama proses fermentasi pada teh maka konsentrasi tanin terhidrolisis semakin rendah.

Penentuan kadar tanin dilakukan dengan menggunakan formaldehida. Tanin, khususnya tanin terkondensasi, dapat bereaksi dengan formaldehida pada kondisi asam. Tanin bereaksi dengan monomernya untuk membentuk senyawa berbobot molekul lebih besar. Monomer dari proantosianidin adalah katekin. Penambahan aldehida seperti formaldehida dapat mempercepat terjadinya reaksi tersebut. Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (tanin terkondensasi) (Garro Galvezet al.1996 diacu dalam Kassimet al.2011) membentuk endapan tanin-formaldehida.

Pengujian kadar tanin dilakukan pada ekstrak awal. Teh yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki kadar tanin masing-masing sebesar 3.14%, 4.01%, 4.20%, 3.40%, 3.06%, dan 1.18% (Gambar 16). Data perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 26. Atanassova et al. (2009) meneliti kadar tanin pada beberapa tanaman dan buah-buahan, termasuk teh hitam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kadar tanin yang ada pada teh hitam mencapai 10.23%. Perbedaan persentase ini mungkin terjadi karena perbedaan cara ekstraksi dan metode analisisnya. Pada penelitian tersebut, teh hitam diekstrak hanya dengan merendam dengan air selama 4 jam. Metode analisis yang digunakan pada penelitian tersebut juga menggunakan titrimetri, bukan gravimetri yang digunakan dalam penelitian ini.

Analisis statistik menunjukkan bahwa suhu penyeduhan, waktu penyeduhan, dan interaksi keduanya memengaruhi kadar tanin yang ada pada ekstrak (p0.05) (Lampiran 27). Kadar tanin pada suhu penyeduhan 70°C berbeda nyata dengan kadar tanin pada suhu 100°C. Suhu penyeduhan 70°C menghasilkan rata-rata kadar tanin (3.78%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kadar tanin yang ada pada ekstrak teh yang diseduh pada 100°C (2.54%) (Lampiran 28). Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu awal penyeduhan 70°C lebih optimal dari pada 100°C dalam mengekstrak senyawa tanin. Lokeswariet al.(2011) menguji kadar tanin pada


(36)

kelopak tumbuhan Caesalpinia coriaria dengan perbedaan suhu air untuk ekstraksi berkisar 75°C sampai 100°C, hasil penelitiannya membuktikan bahwa jumlah tanin yang terekstrak paling tinggi diperoleh dari ekstraksi menggunakan suhu air 90°C, suhu air 75°C, 80°C, 85°C, dan 95°C dapat mengekstrak tanin dengan jumlah lebih rendah, sedangkan suhu air 100°C menghasilkan kadar senyawa tanin yang paling rendah. Tiga waktu penyeduhan yang berbeda ternyata memengaruhi kadar tanin ekstrak teh. Kadar tanin pada teh yang diseduh selama 5 dan 15 menit tidak berbeda nyata. Kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 30 menit lebih rendah dari pada kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 5 dan 15 menit (Lampiran 29). Kemungkinan yang terjadi adalah senyawa tanin sudah mencapai kadar maksimumnya sehingga semakin lama teh diseduh maka akan menyebabkan penurunan kadar tanin.

Uji statistik menunjukkan interaksi suhu dan waktu memengaruhi kadar tanin (p0.05) (Lampiran 30). Dapat dilihat pada Gambar 14 bahwa kadar tanin tertinggi diperoleh pada kondisi penyeduhan 70°C 15 menit dan 70°C 30 menit sehingga kombinasi suhu dan waktu penyeduhan tersebut dapat dikatakan optimal dalam mengekstrak senyawa tanin, sedangkan kadar tanin terendah diperoleh dari kondisi penyeduhan 100°C 30 menit (Lampiran 31).

Hasil pengujian kadar tanin ekstrak teh memperlihatkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan total fenolnya padahal tanin merupakan bagian total fenol yang seharusnya jumlahnya lebih rendah. Hal ini diperkirakan menunjukkan adanya kesalahan positif dalam pengujian kadar tanin ini. Formaldehida diperkirakan dapat mengikat struktur benzen dari senyawa selain tanin. Senyawa bukan tanin yang memiliki struktur benzen adalah salah satunya asam amino aromatik (triptofan, tirosin, dan fenilalanin). Asam amino merupakan penyusun protein. Telah diketahui sebelumnya bahwa kandungan protein pada teh hitam cukup tinggi, yaitu 16 % (Nasution dan Tjiptadi 1975). Adanya kandungan protein yang tinggi diduga dapat mengganggu pengukuran kadar tanin sehingga jumlah kadar tanin lebih tinggi dari seharusnya.

Kawamotoet al.(1997) membagi mekanisme pembentukan kompleks tanin-protein pada dua tahap, proses pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan kemudian dilanjutkan dengan proses pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan tahap pertama yaitu pembentukan kompleks sedangkan suhu, pH, dan kekuatan ionik memengaruhi proses pengendapan. Tanin yang digunakan pada penelitiannya adalah jenis galloylglucose. Gambar 15 menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein.


(37)

(38)

3.14

b

4.01

c

4.20

c

3.40

b

3.06

b

1.18

a

0 1 2 3 4 5

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

K

a

da

r

T

a

ni

n

(

%)


(39)

0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

84 86 88 90 92 94 96 98 100

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

K

a

da

r

T

a

ni

n

(

%)

Inhi

b

is

i

(%)

Perlakuan sampel


(40)

0 2 4 6 8 10

0 20 40 60 80 100 120

70 C 5 menit

70 C 15 menit

70 C 30 menit

100 C 5 menit

100 C 15 menit

100 C 30 menit

K

a

da

r

T

a

ni

n

(

%)

Inhi

b

is

i

(%)

Perlakuan sampel


(41)

40

IV.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan teh hitam memengaruhi besarnya penghambatan enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Daya hambat yang dianggap paling optimal adalah daya hambat yang besarnya tidak berbeda nyata secara statistik dengan daya hambat yang dihasilkan oleh Acarbose sebagai kontrol positif.

Daya hambat enzim alfa amilase oleh ekstrak awal dapat menggambarkan dugaan penghambatan terhadap enzim amilase saliva. Ekstrak awal yang menghasilkan nilai inhibisi paling optimal diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (95.13%), 70°C selama 30 menit (97.92%), 100°C selama 5 menit (97.54%), dan 100°C selama 15 menit (96.04%).

Daya hambat enzim alfa glukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk memberikan informasi awal sebelum diberi perlakuan simulasi perubahan pH pencernaan pada ekstrak. Nilai inhibisi paling optimal dihasilkan oleh ekstrak awal teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 30 menit (98.36%) dan 100°C selama 30 menit (99.42%).

Daya hambat enzim alfa amilase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan oleh teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (87.14%) dan 100°C selama 5 menit (85.40%). Besar inhibisi amilase setelah melalui proses pencernaan berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal.

Daya hambat enzim alfa glukosidase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan oleh teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (97.74%), 100°C selama 15 menit (98.37%), dan 100°C selama 30 menit (97.94%). Inhibisi glukosidase pada kondisi pencernaan inilah yang dapat mewakili daya hambat enzim glukosidase yang hanya terdapat pada usus halus. Besar inhibisi glukosidase setelah melalui proses pencernaan tidak berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan asupan kalori karbohidrat maka disarankan meminum teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit. Kondisi penyeduhan tersebut merupakan kondisi paling baik dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.

Pengukuran terhadap total fenol dan kadar tanin pada ekstrak awal menunjukkan bahwa daya hambat enzim alfa amilase berkorelasi positif dengan kadar tanin tetapi tidak berkorelasi dengan total fenol sedangkan daya hambat enzim alfa glukosidase berkorelasi negatif dengan total fenol tetapi tidak berkorelasi dengan kadar tanin yang ada pada ekstrak teh hitam.

B. Saran

Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya uji lanjut untuk mengetahui apakah ada penghambatan aktivitas enzim oleh ekstrak teh hitam jika senyawa tanin telah dihilangkan dari ekstrak, uji penghambatan aktivitas enzim secarain vivountuk melihat aktivitas ekstrak dalam tubuh, pengukuran kadar total fenol dan tanin pada ekstrak setelah melalui proses pencernaanin vitro, mengidentifikasi komponen fenolik pada berbagai proses penyeduhan baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui proses pencernaanin vitro, melakukan pengujian inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase dari konsentrasi ekstrak teh hitam yang divariasikan misalnya lebih rendah dari 4 gram/100 ml, serta perlu dilakukan analisis alkaloid seperti kafein dalam menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.


(42)

(1)

77

Lampiran 30. Hasil uji statistik untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin

One way

ANOVA Kadar tanin

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 11.602 5 2.320 40.965 .000

Within Groups .340 6 .057


(2)

78

Lampiran 31. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin

Pos Hoc Test

Homogeneous Subsets

Kadar tanin ekstrak awal Duncan

Interaksi N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

100oC 30’ 2 1.1750

100oC 15’ 2 3.0550

70oC 5’ 2 3.1350

100oC 5’ 2 3.3950

70oC 15’ 2 4.0100

70oC 30’ 2 4.1950

Sig. 1.000 .216 .466


(3)

79

Lampiran 32. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim alfa amilase

Correlations

Inhibisi Fenol

Amilase Pearson Correlation 1 .298

Sig. (2-tailed) .566

N 6 6

Fenol Pearson Correlation .298 1

Sig. (2-tailed) .566


(4)

80

Lampiran 33. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim glukosidase

Correlations

InhGlukosidase Fenol

Glukosidase Pearson Correlation 1 -.825*

Sig. (2-tailed) .043

N 6 6

Fenol Pearson Correlation -.825* 1

Sig. (2-tailed) .043

N 6 6


(5)

81

Lampiran 34. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa amilase

Correlations

Inhibisi Tanin Amilase Pearson Correlation 1 .892*

Sig. (2-tailed) .017

N 6 6

Tanin Pearson Correlation .892* 1

Sig. (2-tailed) .017

N 6 6

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(6)

82

Lampiran 35. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa glukosidase

Correlations

InhGlukosidase Tanin

Glukosidase Pearson Correlation 1 -.119

Sig. (2-tailed) .823

N 6 6

Tanin Pearson Correlation -.119 1

Sig. (2-tailed) .823