Aktivitas dan karakter senyawa inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 endofit tanaman pegagan (Centella Asiatica)

AKTIVITAS DAN KARAKTER SENYAWA INHIBITOR ACE
Streptomyces sp. AEP-1 ENDOFIT TANAMAN PEGAGAN
(Centella asiatica)

ANNA MARIAM FADHILAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas dan Karakter
Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan
(Centella asiatica) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, 29 Agustus 2012

Anna Mariam Fadhilah
G351090211

ABSTRACT
ANNA MARIAM FADHILAH. ACE Inhibitor Activities and Characterities of
Endophytic Streptomyces sp. AEP-1 from Pegagan (Centella asiatica). Under
direction of YULIN LESTARI and SRI BUDIARTI.
Centella asiatica has long been used to control hypertension. Endophytic
Streptomyces sp. AEP-1 from Centella asiatica has been proven to have
Angiotensin Converting Enzyme inhibitor activity, which is one of mechanism to
control hypertension. This study aimed to assess the ability of Streptomyces sp.
AEP-1 to produce ACE inhibitor and characterize the ACE inhibitor compound.
The AEP-1 was grown on YMA, WA, YSA, and OM media and incubated at
room temperature for 28 days. To find the optimum ACE inhibitor activity over
the growth period, the AEP-1 was cultured on YMB medium and harvested at day
5, 10, 15, and 20 for the crude extract and biomass. Crude extract contained ACE
inhibitor compound was assessed for its in vitro activity based on ACE inhibitor

assay using hypuryl-hystidyl-leucin as substrate. Protein in the crude extract was
precipitated using 80% acetone and then fractionationated using gel filtration
chromatography. Its molecular weight was measured using SDS-PAGE. The
results showed that AEP-1 grew well on YMA medium within 14 days
incubation. ACE inhibitor activity was optimally obtained at day-10 with 86,8%
activity and become 127,7% after precipitation using acetone. From the protein
fractionation, there were 9 fractions obtained which have various absorption
peaks. The no. 74 fraction produced the highest ACE inhibitor activity of 86,6%.
SDS-PAGE of the fractions showed a protein molecular weight of 30,42 kDa and
58,76 kDa with 39,04% and 53,07% activity. Based on the activity of ACE
inhibitors on the two protein bands were suspected acting as an ACE inhibitor is a
protein complex.
Keywords: endophytic actinomycetes, Centella asiatica, hypertension, ACE
inhibitor.

RINGKASAN
ANNA MARIAM FADHILAH. Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE
Streptomyces sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella asiatica).
Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan SRI BUDIARTI.
Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang

menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Obat
kimia paten yang digunakan sebagai obat hipertensi antara lain adalah obat dari
golongan inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Inhibitor ACE bekerja
dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II dan mendegradasi
bradikinin sebagai substrat kompetitif. ACE meregulasi keseimbangan antara
penyempitan pembuluh oleh angiotensin II dan pelebaran pembuluh darah oleh
bradikinin. Pegagan (Centella asiatica) telah lama digunakan sebagai obat herbal
untuk mengatasi hipertensi. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa
mikrob endofit mampu menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan
oleh inangnya. Streptomyces sp. AEP-1 endofit tanaman pegagan terbukti mampu
menghasilkan senyawa inhibitor ACE dengan aktivitas yang tinggi sebesar
279,2%, sehingga potensial untuk digunakan sebagai obat anti hipertensi. Namun
demikian, karakterisasi senyawa inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 belum
dikaji.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan Streptomyces AEP-1
endofit tanaman Pegagan dalam menghasilkan inhibitor ACE melalui kajian
aktivitas dan karakterisasi. Isolat AEP-1 ditumbuhkan pada media YMA, WA,
YSA, OM dan diinkubasi pada suhu ruang selama 28 hari. Untuk mencari
aktivitas inhibitor ACE optimum, isolat dikulturkan pada media YMB dan di
panen pada hari ke-0, 5, 10, 15, dan 20 untuk diambil supernatan dan

biomassanya. Supernatan yang didapat diukur aktivitas inhibisinya terhadap ACE
secara in vitro menggunakan metode inhibitor ACE assay dengan HHL sebagai
substrat. Protein dalam ekstrak kasar diendapkan menggunakan aseton 80%
kemudian di fraksinasi menggunakan kromatografi filtrasi gel dan diukur bobot
molekulnya dengan SDS-PAGE.
Hasil menunjukkan bahwa isolat AEP-1 tumbuh baik pada media kaya
YMA dengan waktu inkubasi 14 hari. Pada media cair YMB, waktu inkubasi yang
dibutuhkan lebih cepat, hanya dalam 5 hari inkubasi isolat sudah menghasilkan
biomassa yang cukup banyak, hal ini dikarenakan ketersediaan oksigen yang lebih
banyak pada media cair yang digoyang. Senyawa inhibitor ACE yang dihasikan
oleh AEP-1 merupakan ekstraseluler metabolit sekunder. Hal ini terlihat dari
waktu optimum produksi biomassa dan aktivitas tertinggi inhibitor ACE yang
terdapat pada fase awal stasioner. Aktivitas inhibitor ACE optimum didapat pada
hari ke-10 dengan aktivitas sebesar 86,8%.
Pengujian keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1 menunjukkan
hasil negatif, sehingga kuat dugaan bahwa senyawa inhibitor ACE yang
dihasilkan berupa protein. Aktivitas inhibitor ACE dapat ditingkatkan menjadi
127,7% dengan pengendapan menggunakan aseton 80%. Fraksinasi terhadap
protein hasil pengendapan mendapatkan 9 fraksi yang memiliki serapan puncak.
Fraksi no.74 merupakan fraksi dengan aktivitas inhibitor ACE tertinggi sebesar

86,6%, aktivitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif Captopril

0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml yang memiliki aktivitas sebesar 39,3% dan 53,1%.
SDS-PAGE terhadap fraksi tersebut menunjukkan bobot molekul protein sebesar
30,42 kDa dan 58,76 kDa dengan aktivitas inhibitor ACE masing-masing sebesar
39,04% dan 53,07%. Berdasarkan adanya aktivitas inhibitor ACE pada kedua pita
tersebut, diduga protein yang berperan sebagai inhibitor ACE merupakan komplek
protein. Aktivitas inhibitor ACE gabungan kedua protein pada fraksi 74 lebih
besar jika dibandingkan dengan aktivitas protein dalam keadaan terpisah. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua protein tersebut memiliki situs aktif yang dapat
berikatan dengan ACE pada kondisi tunggal, namun aktivitasnya akan lebih
optimal jika protein tersebut membentuk komplek.
Kata kunci: aktinomiset endofit, Centella asiatica, hipertensi, inhibitor ACE

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

AKTIVITAS DAN KARAKTER SENYAWA INHIBITOR ACE
Streptomyces sp. AEP-1 ENDOFIT TANAMAN PEGAGAN
(Centella asiatica)

ANNA MARIAM FADHILAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Hasim Danuri, DEA.

: Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces

Judul

sp. AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella Asiatica)
Nama

: Anna Mariam Fadhilah

NRP

: G351090211

Program Studi

: Mikrobiologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yulin Lestari
Ketua

Dr. dr. Sri Budiarti
Anggota

Diketahui
Ketua Mayor Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pasacasarjana IPB

Prof. Dr. Anja Meryandini, MS.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2012

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 hingga Maret
2012 ini adalah Aktivitas dan Karakter Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp.
AEP-1 Endofit Tanaman Pegagan (Centella Asiatica).
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yulin Lestari dan Dr. dr. Sri Budiarti atas
bantuan, bimbingan, dan sarannya kepada penulis selama menempuh pendidikan
S2. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada DR. Ir. Yulin
Lestari yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Penelitian
Pascasarjana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tanoto Foundation
yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama dua semester.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kepala dan staf
laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB, laboratorium
Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta laboratorium Uji
Biofarmaka IPB atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Ungkapan
terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada bapak, ibu, suami, adikadik, dan anak-anak tercinta atas segala pengertian, semangat, doa, dan kasih
sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan penulis mengucapkan terima kasih atas

bantuan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 29 Agustus 2012

Anna Mariam Fadhilah
G351090211

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Januari 1985 sebagai anak
dari pasangan DR. Ir. H. Suswono MMA dan Mieke Wahyuni. Penulis merupakan
putri pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2008 penulis menikah dengan
Jaya Dharwiniar Cipta S.Hut dan memiliki dua orang anak.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor, pada tahun yang
sama penulis diterima di Program Studi Biologi, Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam IPB melalui jalur Undangan Seleksi
masuk IPB. Pada tahun 2006 penulis meraih penghargaan emas dalam penulisan
karya ilmiah pada Program Kreativitas Mahasiswa di Pekan Ilmiah Nasional XIX.
Penulis menyelesaikan studi S1 pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 penulis

melanjutkan studi pada Mayor Mikrobiologi, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation pada semester 3 dan 4.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................................ 2
Manfaat ...................................................................................................... 3
Waktu dan Tempat ..................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi ................................................................................................... 4
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) .................................................... 5
Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme ................................................. 6
Pegagan (Centella asiatica) ....................................................................... 8
Aktinomiset Endofit................................................................................... 9
BAHAN DAN METODE
Bahan .........................................................................................................11
Metode .......................................................................................................11
Peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 ...............................................11
Penentuan Waktu Produksi Senyawa Inhibitor ACE Terbaik .........11
Pengukuran Aktivitas Inhibitor ACE ...............................................12
Produksi dan Panen Ekstrak Kasar Senyawa Inhibitor ACE ...........12
Penentuan Jenis Senyawa Inhibitor ACE AEP-1 .............................12
Pengendapan Protein ........................................................................13
Pengukuran Konsentrasi Protein ......................................................13
Kromatografi Filtrasi Gel .................................................................14
Penentuan Fraksi Aktif .....................................................................14
Pendugaan Bobot Molekul (BM) Fraksi Aktif Dengan SDSPAGE ...............................................................................................14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pertumbuhan Streptomyces sp. AEP-1 ...............................15
Aktivitas Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 .....................16
Karakteristik Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1 ...............18
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ................................................................................................26
Saran ..........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................27
LAMPIRAN ........................................................................................................32

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII (JNC VII 2004) ...................... 5

2

Obat hipertensi golongan inhibitor ACE (Brown & Voughan 1998) ............ 7

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Regulasi ACE terhadap keseimbangan antara angiotensin II dan bradikinin
(Brown & Vaughan 1998) ........................................................................... 6

3

Struktur Captopril ........................................................................................ 7

2

Pegagan (Centella asiatica) 8

4

Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari ...................... 15

5

Aktivitas inhibitor ACE (

) dan biomassa (

) pada hari panen ke-5,

10, 15, dan 20............................................................................................... 17
6

Hasil negatif keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1 ditunjukkan
dari tidak adanya warna yang terbentuk pada lapisan amil alkohol ............ 18

7

Konsentrasi protein hasil pengendapan ...................................................... 19

8

Aktivitas inhibitor ACE hasil pengendapan ................................................ 19

9

Serapan fraksi hasil kromatografi filtrasi gel protein Streptomyces
sp. AEP-1 pada panjang gelombang 215 nm ............................................... 20

10

Aktivitas inhibitor ACE 9 fraksi hasil kromatografi filtrasi gel yang
memiliki serapan puncak pada panjang gelombang 215nm ....................... 21

11

Bobot molekul fraksi no.74 yang diduga sebagai inhibitor ACE ................ 22

12

Aktivitas inhibitor ACE dua pita protein hasil SDS-PAGE ........................ 23

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Komposisi media peremajaan Streptomyces sp. AEP-1 .............................. 33

2

Standar protein bovin serum albumin .......................................................... 34

3

Standar marker SpectraTM multicolor low range no. 26628 ....................... 35

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak
diderita penduduk di negara berkembang maupun negara maju. Penyakit ini cukup
berbahaya karena dapat menyebabkan kematian mendadak bagi penderitanya.
Hipertensi merupakan penyakit gangguan sistem peredaran darah akibat adanya
kenaikan tekanan darah di atas 140/90 mmHg yang dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa (JNC VII 2004).
Obat kimia komersial yang biasa digunakan sebagai obat hipertensi antara
lain adalah obat dari golongan inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE).
Inhibitor ACE bekerja dengan menghambat ACE dalam membentuk angiotensi II
dan mendegradasi bradikinin sebagai substrat kompetitif. ACE meregulasi
keseimbangan antara penyempitan pembuluh oleh angiotensin II dan pelebaran
pembuluh darah oleh bradikinin (Brown & Vaughan 1998). Untuk mengurangi
penggunaan obat-obatan kimia sintetis, sejak tahun 1990-an mulai dicari sumber
senyawa alami baru yang memiliki fungsi sebagai penurun tekanan darah.
Tumbuhan merupakan salah satu sumber senyawa alami potensial karena
telah digunakan secara turun temurun sebagai alternatif pengobatan, khususnya
bagi penduduk Indonesia yang biasa menggunakan jamu sebagai obat.
Tempuyung (Sonchus arvensis), belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), mengkudu
(Morinda citrifolia), sambiloto (Andrographis paniculata) dan pegagan (Centella
asiatica) adalah beberapa contoh tanaman yang digunakan sebagai obat anti
hipertensi (Wijayakusuma & Dhalimartha 2005). Kemampuan pegagan dalam
menurunkan tekanan darah bahkan telah terbukti secara ilmiah. Hansen et al.
(1995) berhasil mendapatkan dan menguji aktivitas inhibitor ACE senyawa
kuersetin dari pegagan, sedangkan Loh dan Hadira (2011) mengekstrak senyawa
yang diduga berupa protein yang juga memiliki aktivitas inhibitor ACE.
Mikrob merupakan sumber potensial penghasil inhibitor ACE alami selain
tanaman. Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan oleh mikrob dalam
memperbanyak diri relatif singkat dan tidak membutuhkan lahan yang luas dalam

produksinya, sehingga akan lebih cepat dan mudah jika dibandingkan dengan
mengambil senyawa aktif dari tanaman. aktinomiset, terutama dari genus
Streptomyces mendapat perhatian besar sebagai penghasil senyawa baru inhibitor
ACE karena kemampuanya dalam menghasilkan banyak senyawa metabolit,
diantaranya antibiotik, enzim, enzim inhibitor, biopigmen, dan immunomodifier.
Selain mikrob yang hidup bebas, mikrob endofit juga sangat potensial
digunakan sebagai penghasil suatu senyawa baru, hal ini dikarenakan kemampuan
mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa metabolit yang serupa dengan
metabolit inangnya (Tan & Zou 2001). Bacon dan White (2000) mendefinisikan
endofit sebagai mikrob yang hidup berkoloni dalam jaringan tanaman yang tidak
menimbulkan efek negatif bagi tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001)
setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung sejumlah mikrob endofit, mikrob
endofit ini dapat berupa cendawan dan bakteri termasuk aktinomiset. Beberapa
penelitian

menunjukkan

bahwa

aktinomiset

endofit

tanaman

mampu

menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh tanaman inangnya.
Streptomyces NRRL 30566, yang berasal dari daun Gravillea pteridifolia,
diketahui mampu menghasilkan antibiotik Kakadumycins sama seperti tanaman
inangnya (Castillo et. al, 2003). Aktinomiset endofit penghasil senyawa
antihiperlipidemia juga telah diisolasi dari Jati Belanda (Guazuma ulmifolia)
(Wirawan 2009). Sari (2011) berhasil mengisolasi Streptomyces sp. AEP-1
endofit tanaman pegagan yang mampu menghasilkan senyawa inhibitor ACE
dengan aktivitas yang tinggi sebesar 279,2%, sehingga potensial untuk digunakan
sebagai obat anti hipertensi.

Namun demikian, karakterisasi senyawa inhibitor

ACE Streptomyces sp. AEP-1 belum dikaji. Langkah ini diperlukan sebagai dasar
pengembangan potensinya lebih lanjut.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan Streptomyces
AEP-1 endofit tanaman pegagan dalam menghasilkan inhibitor ACE melalui
kajian aktivitas dan karakterisasi senyawa aktifnya.

Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi ilmiah tentang
peran Streptomyces sp. AEP-1 sebagai penghasil inhibitor ACE dan karakter
senyawa yang dihasilkannya sebagai dasar pengembangan produk obat hipertensi.

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2011 hingga Maret 2012 di
laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB, laboratorium
Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB dan di laboratorium Uji
Biofarmaka IPB.

TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi
Penyakit hipertensi atau darah tinggi merupakan penyakit tidak menular
yang perlu diwaspadai dan diperhatikan dengan serius karena hipertensi
merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah stroke dan
tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di
Indonesia (Riskesdas 2007). Dilaporkan bahwa sebesar 31,7% penduduk dewasa
di Indonesia menderita penyakit ini. Penyakit ini juga banyak diderita oleh
penduduk dunia, di negara-negara Afrika sekitar 30% dari populasi penduduk
dewasanya terindikasi menderita penyakit ini (Addo et al. 2007), sedangkan di
Amerika Serikat penyakit ini diderita oleh 25% orang dewasanya (Field et al.
2004).
Hipertensi diindikasikan dengan kondisi tekanan darah sistolik seseorang
diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Hal ini terjadi akibat
menyempitnya pembuluh darah sehingga menaikkan tekanan darah. Hipertensi
dikategorikan menjadi hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi
esensial terjadi dengan sebab yang belum diketahui, sedangkan hipertensi
sekunder terjadi akibat dari penyakit ginjal, kelainan endokrin, penurunan fungsi
organ tubuh, atau karena pemakaian obat (Howel et al. 2004).
Joint National Committee on the Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure VII (JNC VII 2004) mengklasifikasikan hipertensi menjadi
tiga tahap (Tabel 1). Semakin tinggi tahap hipertensi yang diderita, resiko
kematiannya akan semakin besar. Pengklasifikasian ini juga berfungsi untuk
penentuan jenis pengobatan yang dilakukan karena tiap tahapan membutuhkan
terapi pengobatan yang berbeda (Howel et al. 2004).
Penyakit hipertensi dapat menimbulkan komplikasi dengan munculnya
penyakit lain. Penyakit tersebut ialah kerusakan otak karena pecahnya pembuluh
darah (stroke) akibat tekanan yang tinggi, kerusakan jantung akibat pembesaran
otot jantung kiri karena harus bekerja memompa darah dengan lebih kuat,
kerusakan ginjal akibat tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah, dan

kerusakan mata karena tekanan darah yang tinggi menekan pembuluh darah mata
dan syaraf sehingga penglihatan terganggu.

Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII (JNC VII 2004)
Tekanan Sistolik

Tekanan Diastolik

(mmHg)

(mmHg)

Optimal

100 – 120

75 - 80

Normal

120 – 129

80 - 84

Perbatasan (High Normal)

130 – 139

85 - 89

Tahap 1

140 – 159

90 - 99

Tahap 2

160 – 179

100 - 109

Tahap 3

>180

37

>60

50-60

70

13

36

Gambar 2 Struktur Captopril.

ada produk makanan yang mengandung inhibitor ACE sebagai suplemen untuk
menjaga keseimbangan peredaran darah agar tidak terjadi hipertensi. Contoh dari
produk yang mengandung peptida inhibitor ACE ialah Ameal S (Calpis Co. Ltd.,
Tokyo, Jepang), yaitu tablet susu asam yang mengandung inhibitor ACE hasil dari
fermentasi kasein oleh Lactobacillus helveticus dan Saccharomyces cerevisiae
(Nakamura et al. 1995).
Senyawa inhibitor ACE yang diperoleh dari hasil fermentasi bakteri
berupa protein, namun senyawa inhibitor ACE yang diekstrak dari tanaman
umumnya berupa flavonoid. Goretta et al. (2003) mendapatkan senyawa flavan3-ols dari tanaman coklat, sedangkan Hansen et al. (1995) mendapatkan kuersetin
dari tanaman pegagan.

Pegagan (Centella asiatica)
Pegagan (Centella asiatica) merupakan terna menahun yang mempunyai
batang pendek, berbentuk roset, dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang
10-80 cm. Tinggi tumbuhan ini berkisar 10-50 cm, memiliki daun satu helaian
yang tersusun roset akar terdiri dari 2-10 helai daun. Daunnya berwarna hijau,
berbentuk seperti kipas, atau ginjal, permukaan dan punggunngnya licin, tepinya
agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang berambut. Tulang daunnya
berpusat di pangkal dan tersebar ke ujung, berdiameter 1-7 cm (Gambar 3).
Tumbuhan ini tersebar di daerah dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500
m dpl. Pegagan menyukai tanah agak lembab, cukup sinar matahari atau agak
terlindung (Heyne 1987; Dalimarta 2000).

Gambar 3 Pegagan (Centella asiatica).

Pegagan diklasifikasikan ke dalam ordo Monocotyledonae, family
Umbelliferae, genus Centella. Beberapa nama daerahnya di Indonesia antara lain
kaki kuda (Sumatra), pegagan (Jawa), antanan (Sunda), kos tekosan (Madura) dan
kisu-kisu (Sulawesi). Nama asingnya adalah gotu kola (Amerika), indian
hydrocotyle (Inggris), dan ji xue cao (Cina) (Heyne 1987). Tumbuhan yang
umumnya tumbuh liar ini, berasal dari kawasan asia terutama pada daerah tropis.
Khasiat pegagan tidak hanya terkenal di Indonesia, tumbuhan ini juga
digunakan sebagai obat herbal di negara lain seperti Malaysia, Thailand, China,
dan India. Selama ratusan tahun, pegagan telah digunakan sebagai obat berbagai
macam penyakit, seperti asma, epilepsi, bronkitis, lepra, amnesia, alzeimer, anti
depresi dan darah tinggi (Vohra et al. 2011). Dalam kaitannya dengan terapi
penyakit hipertensi, pegagan telah terbukti secara ilmiah menghasilkan senyawa
antihipertensi. Hansen et al. (1995), mendapatkan senyawa kuersetin, sedangkan
Loh dan Hadira (2011) menguji senyawa yang diduga berupa protein yang
memiliki akifitas inhibitor ACE sebesar 48,45%.

Aktinomiset Endofit
Aktinomiset, terutama dari genus Streptomyces mendapat perhatian besar
untuk diteliti karena kemampuannya menghasilkan banyak senyawa metabolit,
diantaranya antibiotik, enzim, enzim inhibitor, biopigmen, dan immunomodifier.
Berdasarkan analisis 16S rRNA aktinomiset diklasifikasikan ke dalam domain
Bakteria, filum Actinobacteria, kelas Schizomycetes dan ordo Actimomycetales
(Hayakawa 2003). Aktimomiset adalah bakteri gram positif yang kaya kandungan
GC, yaitu sekitar 57-75% (Lo et al. 2002). Aktinomiset mudah dibedakan dengan
bakteri lainnya karena bentuk koloninya yang keras yang tumbuh seperti akar di
dalam medium agar. Koloni Aktinomiset berbentuk bulat cembung dengan tepian
rata dan tidak beraturan dengan permukaan bertepung, licin, kasar, atau keriput
(Miyadoh 2003).
Siklus hidup aktinomiset dimulai dengan berkecambahnya spora dan
membentuk miselium vegetatif diikuti dengan pembentukan hifa yang masuk ke
dalam medium. Hifa aerial terbentuk pada permukaan medium dan mengalami
fragmentasi membentuk spora. Secara morfologi aktinomiset lebih mirip dengan

cendawan daripada dengan bakteri pada umumnya karena membentuk miselium,
namun miselium cendawan lebih tebal dari miselium aktinomiset (Miyadoh
2003).
Aktinomiset banyak ditemukan di dalam tanah terutama pada bagian
topsoil dan jumlahnya semakin berkurang seiring dengan bertembahnya kedalam
tanah. Populasinya pada tanah rizosfer (sekitar perakaran) rumput mendekati 40%
dari total mikroflora tanah. Pertumbuhan optimum aktinomiset tercapai pada pH
netral dengan kisaran suhu 25-300C. Aktinomiset umumnya tergolong bakteri
aerob yang bersifat saprofit, dorman dalam bentuk spora yang akan berkembang
menjadi miselium apabila nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi lainnya sesuai
dengan syarat tumbuhnya (Alexander 1961; Miyadoh 2003).
Selain di tanah, telah ditemukan juga aktinomiset endofit pada tanaman.
Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa mikrob endofit mampu
menghasilkan senyawa yang sama seperti yang dihasilkan oleh inangnya.
Streptomyces NRRL 30566, yang berasal dari daun Gravillea pteridifolia yang
tumbuh di Australia sebelah utara, diketahui mampu menghasilkan antibiotik
kakadumisin sama seperti tanaman inangnya (Castillo et. al, 2003). Antibiotik
berspektrum luas munumbisin, dihasilkan oleh Streptomyces sp. Strain NRRL
30562, yang endofit pada Kennedia nigricans. Munumbisin dapat menghambat
dan membunuh bakteri gram positif seperti Bacillus antrachis dan bakteri yang
resisten terhadap berbagi obat Mycobacterium tuberculosis (Castillo et. al, 2002).
Irawan (2009) mendapatkan isolat aktinomiset endofit Temulawak (Curcuma
xanthorhiza) yang menghasilkan senyawa antidiabetes, sedangkan Wirawan
(2009) mengisolasi aktinomiset endofit penghasil senyawa antihiperlipidemia dari
Jati Belanda (Guazuma ulmifolia).
Aktinomiset endofit telah dapat diisolasi dari beberapa tanaman yang
biasa digunakan sebagai obat darah tinggi yaitu pegagan dan belimbing wuluh
(Sari 2011). Dari kedua tanaman tersebut diperoleh 12 isolat aktinomiset endofit
yang memiliki kemampuan menghasilkan inhibitor ACE. Salah satu isolat
diantaranya yaitu Streptomyces sp. AEP-1 yang diisolasi dari daun pegagan
memiliki aktivitas yang sangat baik, yaitu sebesar 279,2%. Isolat ini sangat
potensial sebagai penghasil senyawa inhibitor ACE alami.

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain, isolat Streptomyces sp. AEP-1,
media Yeast Malt Agar (YMA), Water Agar (WA), Yeast Soluble Starch Agar
(YSA), Oatmeal Agar (OM), dan Yeast Malt Broth (YMB), hypuryl-histidylleucin (HHL) (Sigma Aldrich Co.), enzim ACE (ACE-A6778, Sigma Aldrich
Co.), dapar sodium borat pH 8,3, HCl, etil asetat, Captopril, aseton, amonium
sulfat, dapar fosfat 0,1 m pH 7, sephadex G-25, sodium dodesil sulfat, perak
nitrat, dan marker protein SpectraTM multicolor low range no. 26628.

Metode

Peremajaan Streptomyces sp. AEP-1
Streptomyces sp. AEP-1 diremajakan pada empat media berbeda yaitu
YMA, WA, YSA dan OM (Lampiran 1). Isolat diinkubasi pada suhu ruang
selama 28 hari.

Media dengan pertumbuhan koloni terbaik dan tercepat

digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.

Penentuan Waktu Produksi Senyawa Inhibitor ACE Terbaik
Sebanyak tiga lup isolat Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA
berumur 14 hari diinokulasikan ke dalam 30 ml media YMB. Isolat diinkubasi
selama 20 hari. Pada hari ke-0, 5, 10, 15 dan 20 biakan dipanen. Supernatan dan
biomassa dipisahkan dengan disentrifugasi pada 1432 x g, 4°C, selama 10 menit.
Supernatan yang diperoleh digunakan untuk uji aktivitas inhibitor ACE,
sedangkan biomassanya dikeringkan di dalam oven pada suhu 80oC selama 24
jam dan kemudian ditimbang. Aktivitas inhibitor ACE pada setiap hari panen
dibandingkan dengan biomassanya, hari panen dengan aktivitas tertinggi
digunakan sebagai hari optimum untuk produksi senyawa inhibitor ACE. Masingmasing perlakuan dibuat ulangan tiga kali.

Pengukuran Aktivitas Inhibitor ACE
Aktivitas inhibitor ACE diukur dengan menggunakan metode Hayes et al.
(2007). Sebanyak 200 µl larutan HHL (5mM HHL dalam 0,1 M dapar sodium
borat mengandung 0.3 M NaCl, pH 8.3) ditambahkan 80 µl ekstrak inhibitor dan
diinkubasi selama 3 menit pada suhu 370C. Larutan kemudian ditambahkan 20 µl
ACE (0,05 unit/ml), dan diinkubasi selama 1 jam pada 370C. Reaksi dihentikan
dengan menambahkan 250 µl HCl 1 M. Untuk menghilangkan fase airnya larutan
di evaporasi, namun sebelumnya ke dalam larutan ditambahkan 1,7 ml etil asetat.
Fraksi yang terbentuk dilarutkan kembali dengan 1 ml akuades, kemudian diukur
absorban konsentrasi substrat HHL pada λ 228 nm. Aktivitas inhibitor ACE
dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hayes et al. 2007):
Aktivitas ACE inhibitor (%) = 100 – [100 x (C – D) / (A – B)]
A = Absorban ACE tanpa ACE inhibitor
B = Absorban tanpa ACE dan ACE inhibitor
C = Absorban dengan ACE dan filtrat
D = Absorban filtrat tanpa ACE

Produksi dan Panen Ekstrak Kasar Senyawa Inhibitor ACE
Dengan menggunakan sedotan plastik steril berdiameter 10 mm isolat
AEP-1 pada media YMA yang berumur 14 hari diinokulasikan ke dalam 100 ml
media YMB dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari dengan aerasi 100 rpm.
Pada umur biakan tujuh hari, biakan dituang ke dalam 1 l media YMB untuk
produksi senyawa inhibitor ACE, inkubasi dilakukan selama 10 hari. Untuk
mendapatkan ekstrak kasar, biakan disentrifugasi pada 1432 x g, 4°C, selama 10
menit. Supernatan dipisahkan untuk kemudian digunakan dalam uji aktivitas dan
karakterisasi inhibitor ACE.

Penentuan Jenis Senyawa Inhibitor ACE AEP-1
Keberadaan flavonoid di dalam ekstrak kasar diuji menggunakan metode
Harborne dan William (2000). Sebanyak 0,1 ml ekstrak dimasukkan kedalam
gelas piala kemudian ditambahkan 10 ml air panas dan didihkan selama 5 menit
lalu disaring. Filtrat yang didapat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 0,5 g serbuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol kemudian
dikocok kuat. Uji positif flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna merah,
kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol. Pendugaan protein aktif dilakukan
dengan pengukuran aktivitas inhibitor ACE melalui serangkaian metode
pemurnian protein.

Pengendapan Protein
Ekstrak kasar diendapkan dengan menggunakan dua metode pengendapan,
yaitu dengan menggunakan aseton dan ammonium sulfat (Scopes 1994).
Pengendapan menggunakan aseton dilakukan secara bertahap mulai dari
konsentrasi 50, 60, 70, dan 80%. Sebanyak 200 ml ekstrak kasar ditambahkan
aseton dingin sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan menggunakan pengaduk
magnetik. Campuran tersebut disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin,
kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1432 x g pada suhu 4°C selama 15 menit.
Untuk pengendapan menggunakan ammonium sulfat, sebanyak 100 ml
ekstrak kasar ditambahkan ammonium sulfat secara bertahap mulai dari
konsentrasi awal 0-10 % hingga konsentrasi akhir 70-80 % pada suhu 4°C.
Campuran tersebut disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin, kemudian
disentrifugasi pada kecepatan 1432 x g pada suhu 4°C selama 15 menit.
Endapan protein yang terbentuk dari kedua metode tersebut diambil dan
dilarutkan dalam 20 ml dapar fosfat 0,1 M pH 7.0. Selanjutnya dilakukan uji
aktivitas inhibitor ACE pada hasil pengendapan untuk melihat aktivitas tertinggi,
yang digunakan untuk uji selanjutnya.

Pengukuran Konsentrasi Protein
Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976),
dengan cara mencampur 0,4 ml ekstrak dengan 4 ml reagen Bradford lalu dikocok
dengan vortex dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansi pada
λ=595. Sebagai blanko digunakan 0,4 ml akuades yang direaksikan dengan
pereaksi yang sama. Standar protein yang digunakan ialah bovin serum albumin
(BSA) pada kisaran konsentrasi 0-0,1 mg/ml dengan selang 0,02 mg/ml.

Kromatografi Filtrasi Gel
Sebanyak 3,5 g Sephadex G-25 dikembangkan (swelling) dalam 20 ml
dapar fosfat 10 mM pH 7, dan diinkubasi semalam. Sebelum dimasukkan ke
dalam kolom, gel divakum untuk menghilangkan gelembung udara sehingga tidak
mengganggu proses kromatografi. Kolom dengan tinggi 30 cm dan diameter 1,5
cm diisi dengan gel secara perlahan hingga diperoleh tinggi kemasan yang
diinginkan. Protein hasil pengendapan sebanyak 1 ml diaplikasikan ke dalam
kolom dan dielusi dengan laju air fase gerak 1 ml/menit. Sephadex G-25 sebagai
fase diam dan larutan dapar fosfat 1 mM pH 7 sebagai fase gerak (Kim et al.
2004, Ma et al. 2006). Fraksi-fraksi yang diperoleh ditampung setiap 3 ml dan
diukur serapannya menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang
gelombang 215 nm.

Penentuan Fraksi Aktif
Fraksi-fraksi yang diperoleh dari kromatografi filtrasi gel dikelompokkan
berdasarkan waktu retensi dalam kolom. Kelompok fraksi tersebut kemudian
diuji aktivitas inhibitor ACE. Kontrol positif yang digunakan adalah Captopril
0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml.

Pendugaan Bobot Molekul (BM) Fraksi Aktif Dengan SDS-PAGE
Bobot molekul fraksi aktif diduga menggunakan sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dengan konsentrasi gel pemisah
15% dan gel penahan 5% (Bollag et al. 1996). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 70 mVolt selama 3 jam.

Setelah itu, gel direndam dalam larutan

pewarna perak nitrat sambil digoyang perlahan selama 20 menit. Marker yang
digunakan adalah SpectraTM multicolor low range no. 26628. Pita yang terbentuk
kemudian dipotong untuk diuji aktivitas inhibitor ACE untuk memastikan protein
tersebut merupakan protein target.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pertumbuhan Streptomyces sp. AEP-1
Isolat Streptomyces sp. AEP-1 hanya dapat tumbuh baik pada media YMA
(Gambar 4), dengan waktu inkubasi 7-14 hari, sedangkan pada media WA, YSA,
dan OM isolat tersebut tidak tumbuh hingga 28 hari masa inkubasi. Pada media
cair YMB, waktu inkubasi yang dibutuhkan lebih cepat, hanya dalam 5 hari
inkubasi isolat sudah menghasilkan biomassa yang cukup banyak.

Gambar 4 Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari.

Komposisi media tumbuh yang berbeda berpengaruh pada pertumbuhan
Streptomyces. Isolat AEP-1 tumbuh baik pada media kaya gula YMA, media ini
mengandung ekstrak malt, ragi, dan glukosa tapi tidak mengandung mineral.
Menurut Shirling dan Gottlieb (1966) YMA merupakan media standar bagi
pertumbuhan Streptomyces. Media YSA, dan OM juga merupakan media kaya
hanya saja gulanya masih dalam bentuk polisakarida. Media WA adalah media
miskin yang tidak mengandung gula maupun mineral. Komposisi media dapat
menjadi selektif terhadap aktinomiset endofit yang ditumbuhkan (Araujo et al.
1999).
Tidak semua aktinomiset endofit tumbuh baik pada media kaya, ada
beberapa aktinomiset endofit yang justru tumbuh lebih baik pada media miskin
hara (El-Shatoury et al. 2006), bahkan ada yang mampu tumbuh pada substrat
yang sulit didegradasi seperti pektin, lignin, kitin, lateks, dan senyawa aromatik
(Prescott 1999). Aktinomiset endofit yang memiliki kemampuan tumbuh pada

media miskin untuk peremajaannya di luar tanaman inang akan lebih
menguntungkan, karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau cendawan
kontaminan.
Waktu inkubasi yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mendapatkan kultur
yang bagus adalah 7-14 hari. Hal ini menguatkan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa aktinomiset endofit umumnya tumbuh dalam waktu 5-10 hari
masa inkubasi (Araujo et al. 2000, Tian et al 2004, El-Shatoury et al. 2006,
Gangwar et al. 2012). Streptomyces merupakan bakteri aerob, yang membutuhkan
oksigen untuk pertumbuhannya. Ketersediaan oksigen yang lebih banyak pada
media YMB yang digoyang membuat isolat AEP-1 lebih baik dan lebih cepat
tumbuh pada media ini dibandingkan pada media agar cawan. Lamanya waktu
yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mencapai pertumbuhan yang baik membuat
media sering terkontaminsi oleh bakteri dan cendawan yang tumbuh lebih cepat
dari isolat AEP-1.

Aktivitas Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1
Pengukuran terhadap aktivitas inhibitor ACE yang dihasilkan AEP-1
dipengaruhi oleh umur biakan. Pada hari ke-5 isolat sudah menghasilkan senyawa
inhibitor ACE dengan aktivitas sebesar 36,2%. Aktivitas optimum terdapat pada
hari panen ke-10 dengan aktivitas sebesar 86,8%. Aktivitas kemudian menurun
pada hari ke-15 dan 20 menjadi 41,3% dan 33,9% (Gambar 5). Tingginya
aktivitas inhibitor ACE berkorelasi positif dengan biomassa yang dihasilkan. Pada
hari ke-5 biomassa yang dihasilkan sebesar 0,036 g, lalu meningkat pada hari ke10 menjadi 0,060 g dan kemudian turun lagi menjadi 0,037 g dan 0,042 g pada
hari ke-15 dan 20 (Gambar 5).
Aktivitas inhibitor ACE yang diatas 85% menunjukkan tingginya aktivitas
penghambatan ACE yang dihasilkan isolat AEP-1 sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan. Beberapa penelitian mengenai inhibitor ACE yang diperoleh dari
mikrob maupun tanaman memiliki aktivitas yang beragam, ada yang dibawah
80%, ada pula yang memiliki aktivitas di atas 80%.

Inhibitor ACE yang

dihasilkan oleh khamir memiliki aktivitas antara 40%-80% (Roy et al. 2000; Kim
et al. 2004). Aktivitas inhibitor ACE yang tinggi sebesar 85,5% dihasilkan oleh

Lactobacillus animalis DPC6134 (Hayes et al. 2007). Senyawa inhibitor ACE
dari tanaman pegagan dapat berupa kuersetin (Hansen et al. 1995) dan protein
(Loh & Hadira 2011) yang masing-masing memilki aktivitas inhibitor ACE

120

0.07

100

0.06
0.05

80

0.04
60
0.03
40

Bobot (g)

Aktivitas (%)

sebesar 73% dan 48,4%.

0.02

20

0.01

0

0
0

5

10

15

20

Periode Panen Filtrat (Hari ke-)
Gambar 5 Aktivitas inhibitor ACE (

) dan biomassa (

) pada hari panen ke-

5, 10, 15, dan 20.

Senyawa inhibitor ACE yang dihasikan oleh AEP-1 nampaknya
merupakan metabolit sekunder ekstraseluler. Hal ini terlihat dari waktu optimum
produksi biomassa dan aktivitas tertinggi inhibitor ACE setelah biakan berumur
10 hari, dan kemudian diikuti penurunan produksi biomassa dan aktivitas ACE.
Metabolit yang dihasilkan pada fase ini kemungkinan merupakan metabolit yang
berperan dalam pertahanan diri atau adaptasi pada kondisi lingkungan yang
hanya dihasilkan pada jangka waktu tertentu, bukan untuk pertumbuhan. Mikrob
endofit diketahui bersinergi dengan tanaman inang dalam menghasilkan metabolit
sekunder yang digunakan untuk melindungi tanaman inang dari serangan penyakit
(Taechowisan et al. 2005). Aktinomiset sendiri dikenal akan kemampuannya
dalam menghasilkan beragam senyawa bioaktif baik sebagai antibakteri,
antifungi, maupun senyawa pengatur pertumbuhan tanaman (Gangwar et al.
2012).

Isolat AEP-1 terbukti mampu mengasilkan senyawa inhibitor ACE seperti
tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001) tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa
bioaktif atau metabolit sekunder serupa dengan tanaman inangnya yang diduga
sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari
tanaman inang ke dalam mikrob endofit.

Karakteristik Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1
Pengujian kualitatif terhadap keberadaan flavonoid dalam ekstrak kasar
AEP-1 menunjukkan hasil negatif (Gambar 6). Isolat AEP-1 tidak menghasilkan
senyawa flavonoid seperti tanaman inangnya. Pada awalnya diduga bahwa
senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 merupakan senyawa
flavonoid dan protein. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian yang menunjukkan
bahwa tanaman pegagan menghasilkan senyawa kuersetin yang termasuk
golongan flavonoid yang dapat menghambat aktivitas ACE (Hansen et al. 1995),
sedangkan pada penelitian lain inhibitor ACE yang diproduksi dari bakteri
merupakan suatu peptida (Kim et al. 2004, Hayes et al. 2007). Berdasarkan
keberadaan flavonoid yang negatif, kemungkinan besar senyawa dalam ekstrak
kasar AEP-1 yang berperan sebagai inhibitor ACE ialah peptida atau protein
sehingga dilakukan isolasi protein untuk mendapatkan protein spesifik inhibitor
ACE.
Ekstrak
AEP-1

Kontrol
positif

Gambar 6 Hasil negatif keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1
ditunjukkan dari tidak adanya warna yang terbentuk pada lapisan
amil alkohol.

Pengendapan ekstrak kasar dengan menggunakan amonium sulfat 80%
dan aseton 80% dapat meningkatkan kadar protein yang terdapat dalam sampel
uji. Hal ini terlihat dari kadar protein yang meningkat dari 0,060 mg/ml pada
ekstrak kasar menjadi 0,126 mg/ml setelah diendapkan dengan aseton 80% dan
0,105 g jika menggunakan amonium sulfat

80% (Gambar7) (Lampiran 2).

Aktivitas inhibitor ACE meningkat setelah diendapkan dengan menggunakan
aseton, dari 86,8% menjadi 127,6%, namun dengan pengendapan menggunakan
amonium sulfat aktivitas inhibitor ACE justru menurun menjadi 44,2% (Gambar
8).
140

0.14

120

0.12

Aktivitas (%)

Kadar Protein mg/ml

0.16

0.10
0.08
0.06
0.04

100
80
60
40

0.02

20

0.00

0

Ekstrak
Kasar

Ekstrak
Kasar

Aseton Amonium
Sulfat

Gambar 7 Konsentrasi protein hasil

Aseton Amonium
Sulfat

Gambar 8 Aktivitas inhibitor ACE

pengendapan.

hasil pengendapan.

Kedua metode pengendapan yang digunakan merupakan metode
pemisahan protein berdasarkan kelarutannya dengan prinsip salting out. Ketika
ditambahkan asam amino atau aseton ke dalam ekstrak, air yang ada akan
berikatan lebih kuat dengan amonium sulfat atau aseton, sehingga protein akan
kehilangan air dan terpisahkan. Kedua metode itu tidak mengubah struktur kimia
protein, sehingga protein yang terendapkan dapat dengan mudah larut kembali di
dalam air atau larutan dapar (Burgess 2008).
Pengendapan dengan menggunakan aseton merupakan metode yang baik
untuk mengisolasi protein yang berfungsi sebagai inhibitor ACE pada ekstrak
AEP-1. Protein dapat terendapkan tanpa mempengaruhi aktivitas inhibitor ACE.
Metode pengendapan menggunakan ammonium sulfat ternyata kurang tepat

untukdigunakan sebagai pemurnian senyawa inhibitor ACE isolat AEP-1. Garam
amonium sulfat ataupun pengadukan yang lama tidaklah merusak struktur protein
yang ada, namun dalam kasus ini hal tersebut dapat mengganggu aktivitas
inhibitor ACEnya. Proses pengadukan yang terlalu lama dan kuat dapat
menyebabkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas suatau enzim (Bollag et
al.1996, Burgess 2008).
Penentuan fraksi aktif yang spesifik sebagai inhibitor ACE pada ekstrak
yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel
menunjukkan adanya sembilan puncak serapan (Gambar 9). Daerah puncak
serapan menunjukkan kelompok protein dengan nisbah konsentrasi lebih tinggi
dari daerah lainnya. Kromatografi filtrasi gel menggunakan sephadex merupakan
metode pemisahan protein berdasarkan bobot molekulnya. Kelompok protein
dengan ukuran sama akan keluar menjadi satu fraksi, ukuran protein akan berbeda
pada setiap fraksi yang diperoleh.

0.700

60

Absorban

0.600

13

35

94

0.500
0.400

15

74

10-12

37

0.300

44-45

0.200
0.100
0.000
10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95 100

No Fraksi
Gambar 9 Serapan fraksi hasil kromatografi filtrasi gel protein Streptomyces sp.
AEP-1 pada panjang gelombang 215 nm.

Pemisahan suatu protein dari campuran beragam protein dapat dilakukan
karena beragamnya sifat kimia maupun fisik yang dimiliki oleh setiap protein.
Sifat ini sebagai akibat dari berbedanya sekuen dan jumlah asam amino pada
masing-masing protein. Residu asam amino yang menempel pada polipeptida
dapat bermuatan positif atau negatif, netral dan polar, atau netral dan hidrofobik.

Selain itu polipeptida juga dapat melipat membentuk struktur sekunder atau tersier
yang membuatnya sangat berbeda dari ukuran, bentuk, dan distribusi residu asam
amino pada permukaannya (Bollag et al. 1996, Burgess 2008). Dengan
mengetahui sifat protein seperti ukuran, bentuk, muatan, hidrofobisitas, kelarutan,
ligan dan logam yang berikatan, serta sekuennya dapat memudahkan dalam
menyusun metode isolasi suatu protein yang diinginkan. Masing-masing protein
memiliki sifat yang unik, sehingga untuk mengisolasinya membutuhkan
penanganan yang berbeda untuk setiap protein.
100
90
80

Aktivitas (%)

70
60
50
40
30
20
10
0
10,11,12

13

15

35

37

44,45

60

74

94

cap 0,01 cap 0,02
mg/ml mg/ml

Fraksi
Gambar 10 Aktivitas inhibitor ACE 9 fraksi hasil kromatografi filtrasi gel yang
memiliki serapan puncak pada panjang gelombang 215nm.

Hasil uji aktivitas inhibitor ACE terhadap kesembilan fraksi, menunjukkan
adanya aktivitas.

Empat fraksi yaitu fraksi 35, 44-45, 60, dan 74 memiliki

aktivitas inhibitor ACE yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif
Captopril 0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml