Genetic Transformation of Rice (Oryza sativa L.) with Aluminum Tolerant Gene Candidate

ABSTRACT

ARIEF PAMBUDI. Genetic Transformation of Rice (Oryza sativa L.) with
Aluminum Tolerant Gene Candidate. Supervised by MIFTAHUDIN and
TETTY CHAIDAMSARI
Utilization of marginal lands such as acid soils could be an alternative solution
to increase rice cultivation area. One main problem found in acid soils is high
solubility of Al3+ ion that toxic for plant. Al tolerant varities are required to
overcome this problem. Generally, Al-tolerant varieties have poor agronomic
characteristics, such as low productivity, compared to the popular varieties that
typically Al-sensitive. Genetic engineering could be an alternative way to improve
agronomic characters. One candidate of Al tolerant genes, namely B11 gene, has
been successfully isolated from Al-tolerant rice, Hawara Bunar, an Indonesian
local rice genotype. The B11 gene was inserted into pBIN and pGWB5 plasmids
and introduced to several rice genotypes through particle bombardment and
Agrobacterium-mediated transformation techniques. Agrobacterium mediated
transformation efficiency in T309 genotype was 10%. However, transformation
into IR64 genotype through callus and immature embrio infection was not
succesfull. In-planta transformation was succesffully introduced the gene into
several rice genotypes with various transformation efficiency, which were 80.0,
75.0, 66.7, 33.3 and 33.3 percent for rice genotype IR64, Grogol, Krowal Oval,

T309, and Situbagendit, respectively. The in-planta technique has not been
succcesfully transformed the gene into rice genotype Hawara Bunar and Danau
Gaung.
Keywords: Agrobacterium-mediated transformation, in-planta transformation,
particle bombardment, transgenic rice

RINGKASAN

ARIEF PAMBUDI. Transformasi Genetik Padi (Oryza sativa L.) dengan
Kandidat Gen Toleran Aluminium. Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan TETTY
CHAIDAMSARI.
Kebutuhan pangan akan semakin bertambah seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk dan konversi lahan untuk pemukiman. Hal ini mendorong untuk
dilakukannya ekstensifikasi pertanian pada lahan marginal, salah satunya lahan
masam. Kelarutan Aluminium (Al) yang tinggi pada lahan masam menyebabkan
masalah tersendiri karena Al dalam bentuk kation trivalen bersifat toksik pada
tanaman, salah satunya padi. Penggunaan varietas-varietas toleran Al sebenarnya
dapat menjadi solusi dalam ekstensifikasi pertanian. Namun, karakter agronomis
varietas toleran umumnya tidak sebaik varietas-varietas populer yang banyak
digunakan oleh petani. Perbaikan sifat tanaman padi perlu dilakukan untuk

menghasilkan tanaman dengan karakter agronomis yang baik dan toleran Al.
Salah satu cara perbaikan sifat tanaman dapat dilakukan dengan rekayasa genetika
melalui peningkatan ekspresi gen yang berperan dalam toleransi Al. Salah satu
kandidat gen yang diduga berperan dalam toleransi Al adalah gen B11 yang
berhasil diisolasi dari genotipe padi toleran Al, Hawara Bunar. Transformasi gen
ini pada tanaman tembakau menunjukkan peningkatan toleransi terhadap cekaman
Al dibandingkan pada tanaman kontrol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi plasmid ekspresi pBIN
yang membawa gen B11 lalu mengintroduksikannya pada tanaman padi melalui
beberapa pendekatan. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh konstruk
plasmid rekombinan pBIN-B11 dan diperoleh pula metode transformasi yang
paling efektif untuk menghasilkan tanaman padi transgenik.
Penelitian dilakukan mulai Februari 2009 hingga Mei 2012 bertempat di
laboratorium penelitian Fisiologi dan Genetika Tumbuhan, Departemen Biologi
FMIPA IPB. Konstruksi dilakukan menggunakan metode konvensional berupa
restriksi-ligasi. Introduksi gen dilakukan dengan membandingkan penggunaan
particle bombardment, infeksi oleh Agrobacterium tumefaciens pada kalus dan
embrio muda, serta secara in-planta. Penembakan kalus padi dengan particle
bombardment dilakukan oleh Dr. Saptowo J. Pardal dan tim. Evaluasi hasil
transformasi dilakukan melalui seleksi antibiotik, uji toleransi terhadap cekaman

Al, uji keberadaan gen sisipan, dan analisis ekspresi gen sisipan.
Penyisipan gen B11 dalam pBIN menghasilkan 4 macam konstruksi
dengan beberapa ukuran gen sisipan, antara lain pBIN-E, pBIN-F, pBIN-I, dan
pBIN-K. Plasmid rekombinan pBIN-B11 digunakan langsung untuk penembakan
pada kalus genotipe T309 dan IR64 menggunakan particle bombardment. Untuk
genotipe T309 penembakan partikel dengan pBIN-F menghasilkan satu tanaman
yang lolos seleksi antibiotik. Analisis toleransi Al biji transgenik dari generasi T1
hingga T3 menunjukkan peningkatan toleransi terhadap cekaman Al dibandingkan
tipe liarnya (kontrol). Uji keberadaan gen sisipan menunjukkan bahwa gen tersisip
ke dalam DNA genom padi. Analisis ekspresi menunjukkan secara umum terjadi
peningkatan ekspesi gen B11 pada padi transgenik, namun nilai ekspresinya masih
belum sesuai harapan. Efisiensi transformasi masih rendah akibat tingginya

persentase tanaman yang albino karena seleksi menggunakan kanamisin,
sedangkan untuk genotipe IR64 belum diperoleh regeneran lolos seleksi.
Percobaan infeksi melalui A. tumefaciens pada kalus T309 dan IR64
dilakukan sebagai pembanding metode particle bombardment. Tingginya
persentase albino mendorong dilakukannya infeksi oleh A. tumefaciens
menggunakan konstruk B11 dalam pGWB5 hasil penelitian peneliti sebelumnya
(Roslim 2009). Penggunaan plasmid pGWB5 memungkinkan seleksi

menggunakan higromisin. Infeksi kalus T309 menghasilkan tanaman lolos seleksi
lebih banyak dibandingkan saat penggunaan particle bombardment dengan pBINB11. Nilai efisiensi transformasi genotipe T309 sebesar 10% sesuai dengan hasil
uji sisipan gen. Transformasi pada kalus dan embrio muda genotipe IR64 belum
memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Sifat genotipe IR64 yang rekalsitran menjadi masalah tersendiri dalam
proses transformasi melalui kultur jaringan. Infeksi secara in-planta dilakukan
untuk mengatasi masalah ini. Teknik ini dilakukan pada 7 genotipe padi tanpa
melalui tahapan kultur jaringan. Berdasarkan pengujian sisipan gen, teknik infeksi
in-planta berhasil dilakukan dengan nilai efisiensi yang bervariasi antar genotipe,
yaitu sebesar 80.0, 75.0, 66.7, 33.3 dan 33.3 persen berturut-turut untuk genotipe
IR64, Grogol, Krowal Oval, T309, dan Situbagendit. Genotipe Hawara Bunar dan
Danau Gaung masih belum berhasil ditransformasi.
Konstruksi gen B11 dalam pBIN dapat digunakan untuk pekerjaan
lanjutan pada rekayasa tanaman padi dengan sedikit modifikasi pada prosedur
seleksi untuk menghindari kejadian albino. Teknik infeksi A.tumefaciens secara
in-planta dapat menjadi pilihan teknik yang mudah, murah, dan efektif untuk
mengintroduksi gen pada tanaman padi dibanding metode menggunakan particle
bombardment dan infeksi A. tumefaciens berbasis kultur jaringan.
Kata kunci: Infeksi Agrobacterium, padi toleran aluminium, padi transgenik,
particle bombardment, transformasi in-planta.


 
 
 

11 
 
 
 

PENDAHULUAN 
 
 

Latar Belakang 
 

Usaha ekstensifikasi  tanaman padi  ke lahan-lahan  marginal  seperti  tanah 
masam perlu diupayakan, seiring berkurangnya areal pertanian tanaman pangan di 
Indonesia terutama di pulau Jawa. Namun, usaha pertanian pada tanah masam 

terutama terkendala oleh keracunan Aluminium (Al). Kelarutan ion Al trivalen 
yang tinggi menjadi penghambat pertumbuhan dan fungsi akar, yang selanjutnya 
dapat menurunkan produksi tanaman (Kochian 1995). 
Penggunaan  varietas  padi  toleran  cekaman  Al  dapat  menjadi  salah  satu 
solusi  dalam  ekstensifikasi  pertanian  tanaman  padi  di  tanah  masam.  Namun, 
produktivitas varietas toleran Al secara alami tidak sebaik varietas unggul yang 
umumnya sensitif cekaman Al. Pemuliaan tanaman melalui persilangan maupun 
rekayasa  genetika  menjadi  upaya  untuk  memperbaiki  sifat  tanaman.  Rekayasa 
genetika  memungkinkan  untuk  merakit  tanaman  transgenik  melalui  modifikasi 
satu jenis gen tanpa mempengaruhi sifat-sifat lain. Hal ini menjadi keunggulan 
dari rekayasa genetika dibandingkan persilangan. 
Mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al beragam antar  spesies 
yang berbeda. Namun pada tanaman pangan seperti gandum (Triticum aestivum 
L.),  barley  (Hordeum  vulgare  L.),  rye  (Secale  cereale  L.),  sorgum  (Sorgum 
bicolor  L.),  jagung  (Zea  mays  L.)  secara  umum  menunjukkan  mekanisme 
toleransi terhadap cekaman Al yang mirip yaitu melalui pengaktifan sekresi asam 
organik berupa anion malat, sitrat, maupun oksalat (Li et al. 2000, Furukawa et al. 
2007, 

Ryan  et  al.  2009). 


Penelitian  Miftahudin  dan  Chikmawati  (2008) 

menunjukkan adanya peningkatan sekresi asam  malat dan sitrat pada  genotipe 
Hawara Bunar dan Grogol (toleran Al) dibandingkan genotipe IR64 (sensitif Al) 
saat  diberi  cekaman  Al.  Selain  itu,  terdapat  pula  akumulasi  Al  pada  daerah 
apoplas sel akar yang mengindikasikan bahwa Al tidak masuk ke dalam sel. Hal 
ini memberikan dugaan bahwa ada peran protein transporter untuk mengeluarkan 
asam  organik  yang  mengkelat  Al  dari  dalam  sel  seperti  ALMT-1.  Namun 
demikian, penelitian Sasaki et al. (2004) menunjukkan bahwa ekspresi berlebih 
ALMT-1 pada padi tidak memberikan peningkatan toleransi Al yang signifikan

 
 
 


 
 
 


antara tanaman transgenik  ALMT-1 dan non-transgenik. Oleh karena itu untuk 
tanaman padi, mungkin masih ada gen lain yang lebih bertanggung jawab dalam 
mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman Al. 
Penelitian Miftahudin et al. (2005) pada tanaman rye menunjukkan adanya 
hubungan sinteni antara daerah pada lengan panjang kromosom 4 rye dan daerah 
pada lengan pendek kromosom 3 padi terkait dengan toleransi terhadap cekaman 
Al.  Berdasarkan  hubungan  sinteni  ini,  Roslim  (2009)  melakukan  penapisan 
beberapa   marka   pada   daerah   kromosom   3   padi.   Daerah   B11   mengalami 
peningkatan ekspresi (up-regulated) saat diberi perlakuan Al. Pada genotipe padi 
toleran Al peningkatan ekspresi daerah tersebut lebih tinggi dibanding genotipe 
sensitif Al. Oleh karena itu, daerah B11 yang kemudian disebut sebagai gen B11 
dapat dijadikan sebagai salah satu kandidat gen yang berperan dalam toleransi Al. 
Roslim (2011) berhasil mengisolasi gen B11 dari padi lokal Indonesia yang 
toleran Al, Hawara Bunar. Paralel dengan penelitian pada padi, Roslim (2011) 
melakukan  penyisipan  gen  B11  pada  plasmid  ekspresi  pGWB5  lalu 
diintroduksikan  pada  tembakau  melalui  infeksi   Agrobacterium  tumefaciens. 
Tembakau transgenik B11 mengalami peningkatan toleransi Al dibandingkan non- 
transgenik.  Hipotesis  peran  B11  sebagai  salah  satu  gen  toleransi  Al  perlu 
dibuktikan pada padi sebagai tanaman asal gen tersebut. 

Empat  macam  plasmid  rekombinan  pBIN-B11  hasil  konstruksi  yang 
dilakukan pada penelitian ini digunakan oleh Saptowo dan timnya (Balai Besar 
Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Litbang Deptan) untuk transformasi padi 
melalui  particle  bombardment.  Hanya  satu  konstruk  yaitu  pBIN-B11-F  yang 
menghasilkan  satu  tanaman  fertil  dari  penembakkan  tersebut,  yang  kemudian 
dievaluasi  dalam  penelitian  ini  hingga  generasi  T3.  Sejalan  dengan  evaluasi 
tanaman hasil penembakan partikel, dilakukan pula introduksi gen B11 pada padi 
dengan bantuan A. tumefaciens melalui beberapa pendekatan. 
 
 
 

Tujuan Penelitian 
 

Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi plasmid rekombinan pBIN 
yang  membawa  gen  B11,  melakukan  seleksi  dan  evaluasi  tanaman  transgenik

 
 

 


 
 
 

generasi  T1-T3  hasil  transformasi  dengan  teknik  particle  bombardment,  serta 
mengintroduksi  gen  B11  pada  tanaman  padi.  Introduksi  dilakukan  terutama 
melalui infeksi A. tumefaciens dengan beberapa metode infeksi untuk memperoleh 
efisiensi transformasi yang terbaik. 
 
 
 

Manfaat Penelitian 
 

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa: 
1.   Konstruk gen B11 dalam plasmid ekspresi dapat digunakan untuk pekerjaan- 

pekerjaan downstream lainnya dalam rekayasa padi toleran Al. 
2.   Protokol yang efektif untuk melakukan perakitan padi transgenik yang dapat 
diterapkan untuk produksi padi transgenik. 
3.   Galur padi transgenik toleran Al yang dapat dikembangkan menjadi varietas 
unggul spesifik lokasi (VUSL) khususnya untuk tanah masam. 
 
 
 

Alur dan Pengembangan Penelitian 
 

 
Konstruksi plasmid 
rekombinan pBIN-B11 

Konstruksi plasmid rekombinan 
pGWB5-B11 (Roslim 2011) 

Transfromasi genetik dengan 
particle bombardment pada IR64 dan 
T309 (Pardal dan tim 2009) 

Transfromasi genetik melalui  infeksi 
Agrobacterium 

 
 
 

 
 

 
 
 

 
 

 
 
 

Kalus 
IR64 

Kalus 
T309 

Kalus 
T309 

 
 
 

 
 
 

 
 
 

Kalus 
IR64 

Embrio 
muda 

 
 
 
Teknik 
In-planta 

Analisis putatif transgenik: 
Seleksi antibiotik, toleransi terhadap Al, uji insersi, uji ekspresi 

 
 

Padi transgenik B11 toleran Al 

 
Gambar   1   Alur   dan   pengembangan   penelitian   yang   dilakukan.   Tanda   panah   putus-putus 
merupakan  pengembangan  dari  rencana  awal  sedangkan  kotak  yang  diberi  arsiran 
tidak dilakukan dalam penelitian ini. 

 
 
 


 
 
 

TINJAUAN PUSTAKA 
 
 

Padi dan Cekaman Aluminium 
Padi  (Oryza  sativa   L.)  merupakan  tanaman  serealia  semusim   yang 
merupakan sumber karbohidrat utama bagi penduduk dunia, terutama Indonesia. 
Secara  taksonomi  padi  termasuk  dalam  Divisi  Angiospermae,  Kelas 
Monocotiledoneae,  Ordo  Poales,  Famili  Poaceae  atau  Gramineae  serta  Genus 
Oryza. Oryza sativa terdiri dari tiga sub spesies yaitu indica,   japonica,   serta 
javanica yang hanya terdapat di pulau Jawa dengan sifat antara kedua subspesies 
pertama (Matsuo & Hoshikawa 1993). 
Secara   alami,   tanaman   selalu   dihadapkan   pada   berbagai   cekaman 
lingkungan baik biotik maupun abiotik. Cekaman biotik disebabkan oleh serangan 
hama,   penyakit   dan   gulma,   sedangkan   cekaman   abiotik   disebabkan   oleh 
kekeringan, salinitas, suhu tinggi, suhu rendah dan tanah masam. Keracunan Al 
merupakan  hambatan dalam  produksi  pertanian di  tanah  masam.  Kelarutan  Al 
berhubungan dengan bentuk senyawa Al dan pH larutan. Menurut Kochian (1995) 
terdapat tiga bentuk senyawa Al yaitu mononuklear (Al3+), Al polinuklear, dan 
molekul Al kompleks.  Endapan Al(OH)3 terbentuk pada pH netral, sedangkan 
pada pH tinggi Al terdapat dalam bentuk Al(OH)4-. Ketika pH rendah (kurang dari 
4) akan terbentuk Al(H2O)63+ atau dikenal dengan Al3+ yang merupakan bentuk Al 
paling toksik bagi tanaman karena dapat menghambat pertumbuhan dan fungsi 
akar (Kochian 1995, Matsumoto 2000). 
Kerusakan sistem perakaran tanaman akibat keracunan Al   selanjutnya 
akan 

mengubah   anatomi   dan   morfologi   akar   (memendek,   menebal,   dan 

menggulung),  mengganggu  penyerapan  unsur  hara  (khususnya  Ca  dan  K), 
mengganggu sitoskeleton dan proses-proses pada apoplas yang berdampak pada 
penghambatan pertumbuhan, gangguan dalam transport intraseluler, dan memicu 
radikal bebas yang menyebabkan cekaman oksidatif sehingga tanaman menjadi 
rentan  terhadap  cekaman  lingkungan  lain,   hingga  pada  akhirnya  menurunkan 
produktivitas tanaman (Ryan et al. 2011). 
Padi memiliki beragam genotipe dalam hal toleransi   terhadap cekaman 
Al. Beberapa genotipe sensitif dan beberapa genotipe lainnya toleran. Beberapa

 
 
 


 
 
 

contoh genotipe toleran Al antara lain IRAT 144, IRAT 303, Hawara Bunar, IAC- 
1246,  Azucena,  IRAT  351,  IRAT  352,  IRAT  379,  Grogol,  Danau  Gaung 
(Silitonga 2008, Roslim 2011), sedangkan contoh genotipe padi sensitif Al antara 
lain IR64 dan Krowal (Roslim 2011). Ciherang dan Situ Bagendit juga merupakan 
dua genotipe yang sensitif Al dari pengujian RRG yang dilakukan pada penelitian 
pendahuluan  sebelumnya.  Penggunaan  genotipe  padi  toleran  Al  dapat  menjadi 
solusi   dalam   ekstensifikasi   pada   lahan-lahan   masam.   Namun   karena   pada 
umumnya varietas-varietas toleran Al memiliki produktivitas yang rendah, maka 
penggunaan varietas toleran Al kurang menguntungkan petani. 
 
 

Mekanisme Toleransi  Cekaman Aluminium 
Ryan  dan   Delhaize  (2010)  mengelompokkan  mekanisme  pertahanan 
terhadap  cekaman  Al  menjadi  2  strategi,  yaitu  strategi  toleransi  dan  strategi 
resistensi  (eksklusi).  Strategi  toleransi  merupakan  mekanisme  tanaman  untuk 
dapat mengizinkan ion Al trivalen masuk dalam aliran simplas namun kemudian 
dikelat  dalam  kompleks  atau  diisolasi  dalam  organel  tertentu  sehingga  tidak 
berbahaya  bagi  metabolisme  sel.  Mekanisme  ini  umum  terjadi  pada  spesies- 
spesies endemik tropis yang memiliki banyak tanah masam. Contoh tanaman yang 
melakukan  mekanisme toleransi  ini  adalah teh  (Camellia  sinensis),  buckwheat 
(Fagopyrum esculentum), Melastoma, dan  Hydrangea sp. Tanaman-tanaman ini 
mengakumulasi Al pada daun sehingga disebut juga tanaman akumulator. 
Mekanisme eksklusi yaitu  strategi pertahanan tanaman terhadap cekaman 
Al   melalui   pencegahan   akumulasi   ion   Al   trivalen   dalam   simplas   dan 
meminimalisasi interaksi berbahaya dengan membran plasma, dinding sel, atau 
target lain di apoplas. Mekanisme ini  dilakukan melalui pengeluaran eksudat akar 
berupa anion organik untuk mendetoksifikasi ion Al pada apolas atau pengikatan 
dan pengeluaran ion Al dari dalam sel. Beberapa asam organik yang disekresi oleh 
tanaman padi melalui akar antara lain  anion sitrat, malat, oksalat (Li et al. 2000, 
Furukawa et al. 2007,  Ryan et al. 2009).

 
 
 


 
 
 

B11 sebagai Salah Satu Kandidat Gen Toleransi Aluminium 
Miftahudin  (2005)  telah  mengidentifikasi  daerah  Alt3  yang  memegang 
peranan dalam toleransi Al pada tanaman rye (Secale cereale L.). Berdasarkan 
hubungan kolinearitas antara genom rye dan padi, terdapat sinteni antara daerah 
Alt3  rye  dengan  klon  BAC  pada  kromosom  3  padi.  Kemudian  dikembangkan 
marka-marka   molekular   berdasarkan   sekuen   BAC   kromosom   3   padi   dan 
diterapkan pada rye. Terdapat 4 marka (B11, B25, B26, B27)   yang kemudian 
diuji pada populasi F2 hasil silangan antara rye varietas sensitif dan toleran Al. 
Dari  keempat  marka  tersebut,  diketahui  bahwa  dua  marka,  B11  dan  B26 
mengalami ko-segregasi dengan lokus Alt3. Hasil ini mengindikasikan bahwa gen 
Alt3 berjarak sangat dekat dengan kedua marka tersebut. Hubungan sinteni antara 
padi dan rye ditampilkan pada Gambar 2. Peta resolusi tinggi menunjukkan bahwa 
Alt3 terletak di antara interval B11 dan B26, atau bahkan dapat merupakan B11 
atau B26 itu sendiri (Miftahudin et al. 2005). 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar   2   Homologi   kromosom   4RL   rye   dengan   kromosom   3   pada   padi.   Gen   Alt3   yang 
memegang  peranan  terhadap  toleransi  Al  pada  rye  berjarak  sangat  dekat  dengan 
marka B11 dan B26 (Miftahudin et al. 2005). 

 

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Roslim (2009) dengan melakukan 
penapisan 19 marka STS (Sequence Tag Site) dari tanaman rye pada padi dengan 
teknik PCR. Penapisan ini menghasilkan 5 marka terpilih yang memberikan 1 pita 
pada genotipe toleran Al (Hawara Bunar) dan sensitif Al (IR64) yaitu B11, B31, 
22B6, 24B7, dan 26B8. Tahap kedua, dilakukan penapisan dengan menggunakan 
RT-PCR pada lima marka terpilih. Hasilnya menunjukkan bahwa  B11 mengalami 
peningkatan ekspresi pada cekaman 15 ppm Al, dan tingkat ekspresi B11 jauh

 
 
 


 
 
 

lebih tinggi pada genotipe toleran Al dibanding ekspresi pada genotipe sensitif Al. 
Hasil ini menjadikan marka B11 yang kemudian disebut sebagai gen B11 dapat 
dijadikan sebagai salah satu kandidat gen yang berperan dalam toleransi Al. 
Gen B11 berhasil diisolasi dan diklon ke dalam plasmid ekspresi pGWB5. 
Transformasi  gen  B11  pada tanaman telah  dilakukan  pada tanaman tembakau. 
Pengujian  cekaman  Al  pada  tembakau  transgenik  menunjukkan  peningkatan 
toleransi Al dibandingkan tembakau kontrol (Roslim 2011). 
 
 

Teknik Introduksi Gen ke Tanaman 
Particle Bombardment 
Teknik   introduksi   gen   secara   langsung   dapat   dilakukan   dengan 
penembakan   menggunakan   particle   bombardment.   Metode   penembakan   ini 
dilakukan  dengan  melapisi  DNA  dalam  plasmid  ekspresi  yang  akan 
ditransformasi  dengan  partikel  emas.  Dengan  tekanan  yang  berasal  dari  gas 
helium, plasmid yang telah dilapis ditembakkan ke material yang menjadi target 
transformasi  (Glick  &  Pasternak  1998).  Variabel  yang  dapat  diatur  adalah 
pengaturan  jarak  tembak.  Jarak  tembak  yang  lebih  dekat  akan  memberikan 
tekanan  yang lebih  kuat.  Tekanan  yang kuat  akan  melubangi  sel  dan  plasmid 
dapat masuk ke dalam sel target. 
Transformasi dengan particle bombardment  dipastikan bahwa DNA yang 
diintroduksikan masuk ke dalam sel, namun dengan masuknya DNA asing dalam 
sel belum dapat dipastikan bahwa DNA tersebut akan diekspresikan. Hal ini yang 
menjadi kekurangan teknik penembakan, di samping DNA yang akhirnya masuk 
ke dalam sel umumnya tidak hanya satu copy. Jumlah DNA yang masuk lebih dari 
satu   copy   dalam   sel   mampu   menyebabkan   silensing   gen   sisipan   melalui 
mekanisme silensing pasca transkripsi. Hal ini dapat menyebabkan ekspresi gen 
yang  disisipkan  rendah  atau  bahkan  termutasi  sama  sekali  (Kakkar  &  Verma 
2011). 
 
 

Infeksi A. tumefaciens 
Cara lain untuk menghasilkan tanaman transgenik adalah melalui infeksi 
A. tumefaciens. Keuntungan teknik infeksi adalah tidak membutuhkan peralatan

 
 
 


 
 
 

khusus,  dapat  dilakukan  dengan  peralatan  laboratorium  yang  sederhana,  dan 
sisipan   gen   tunggal   berpeluang   lebih   tinggi   dibanding   dengan   particle 
bombardment, sehingga stabilitas ekspresi gen lebih tinggi (Hansen  & Chilton 
1996, Dai et al. 2001, Rahmawati 2006). 
Proses  infeksi  yang  dilakukan  A.  tumefaciens  mampu  menyebabkan 
transfer  DNA  dari  bakteri  ke  tanaman  inang.  Kemampuan  transfer  ini  karena 
adanya  6-8  operon  (bergantung  pada  strain  bakteri)  pada  plasmid  Ti  yang 
meregulasi proses transfer dan integrasi DNA ke dalam genom inang (Rahmawati 
2006).  Daerah T-DNA (yang dibatasi oleh LB dan RB ) merupakan daerah yang 
akan ditransfer ke dalam genom inang. Pada  A. tumefaciens  tipe liar, T-DNA 
mengandung gen-gen fitohormon (auksin, sitokinin), dan opine (sumber C dan N 
bagi bakteri) yang ekspresinya dapat menyebabkan terbentuknya tumor mahkota 
(Glick & Pasternak 1998). 
Mekanisme   integrasi   T-DNA   ke   genom   tanaman   ditampilkan   pada 
Gambar 3. Proses ini diawali dengan pengenalan sinyal flavonoid yang dihasilkan 
oleh  tanaman  saat  luka  oleh  VirA/VirG  yang  merupakan  komponen  dalam 
transduksi sinyal. VirA merupakan reseptor membran, sedangkan VirG terdapat di 
dalam  sitoplasma.  Aktivasi  VirG  oleh  VirA  mengaktifkan  operon  Vir  lainnya 
melalui fosforilasi. VirC mengenali daerah enhancer overdrive RB T-DNA. T- 
DNA   utas   tunggal   kemudian   dihasilkan   melalui   pemutusan   T-DNA   oleh 
kompleks protein VirD1/D2 pada bagian RB terlebih dahulu kemudian berjalan 
menuju LB. Kompleks VirD1/D2 lalu memulihkan plasmid Ti akibat pemutusan 
utas tunggal T-DNA. T-DNA belum matang (immature) yang terikat pada protein 
VirD2 pada ujung 5’ kemudian disekresikan bersama dengan Vir E2 dan VirF ke 
sel  inang  melalui  kanal  hasil  asosiasi  protein-protein  VirB  dan  VirD4.  VirD2 
berperan sebagai protein pengantar hingga mencapai inti sel inang. Saat keluar 
dari kanal penghubung, T-DNA mengalami pematangan melalui penyelubungan 
oleh VirE2. VirE2 berperan sebagai pelindung T-DNA dari nuklease di sitoplasma 
sel inang. Setelah sampai di dalam sel inang, kompleks T-DNA mengalami proses 
transport  intraseluler,  pemasukan  ke  dalam  inti,  transport  dalam  inti, 
pembongkaran kompleks T-DNA, dan intergrasi T-DNA (Gambar 4).

 
 
 

10 
 
 
 

Kompleks  T-DNA  matang  kemudian  ditransfer  ke  inti  melalui  NPC 
(nuclear pore complex). Di dalam inti, T-DNA dilepaskan dari protein VirD2 dan 
selubung VirE2 melalui interaksi dengan VirF dan beberapa protein yang terdapat 
pada  inang  (host  factor)  seperti  karyopherin  α,  CAK2M  (Cyclin-dependent 
kinase-activating kinase), VIP1 (VirE2-interacting protein), histon H2A-1 (core 
histone),  ASK1  (protease  VirE2),  DSBs  (double-strand  breaks),  dan  KU80 
(Tzfira dan Citovsky 2006). 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar   3   Mekanisme   integrasi   T-DNA   dari   A.   tumefaciens   ke   genom   tanaman   (Tzfira   & 
Citovsky 2006). 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Gambar  4  Detil  proses  transfer  T-DNA  setelah  mencapai  sel  tanaman  hingga  terjadi  integrasi 
dengan genom tanaman (Tzfira & Citovsky 2006).

 
 
 

11 
 
 
 

Operon Vir akan tetap mentransfer apa yang terkandung di dalam daerah 
T-DNA, sekalipun T-DNA sudah tidak berisi gen-gen fitohormon dan opine. Oleh 
karena itu, penyisipan suatu gen sasaran di daerah T-DNA akan memungkinkan 
untuk   ditransfer   ke   genom   tanaman.   Pengetahuan   inilah   yang   kemudian 
digunakan sebagai media untuk mentransfer DNA dari bakteri ke dalam genom 
tanaman. 
 
 

Infeksi A. tumefaciens secara In-Planta 
Infeksi in-planta merupakan teknik transformasi sederhana yang pertama 
kali dikembangkan oleh Kojima et al. (2000). Kelebihan dari teknik ini adalah 
tidak membutuhkan teknik kultur jaringan sehingga tidak membutuhkan  kondisi 
aseptik,  tidak  terjadinya  variasi  somaklonal,  tidak  ada  masalah  dalam  hal 
regenerasi  sehingga  waktu  pengerjaan  dapat  diprediksi.  Berbagai  kelebihan 
tersebut  membuat  teknik  ini  memungkinkan  dilakukan  siapapun,  bahkan  oleh 
orang  yang  belum  pernah  melakukan  sekalipun.  Teknik  ini  meniru  infeksi 
Agrobacterium  secara  alami  yang  pada  awalnya  dikembangkan  untuk 
transformasi  pada  Arabidopsis  (Bent  2000)  melalui  infeksi  pada  organ  bunga. 
Berbagai kelebihan infeksi in-planta membuat Kojima et al. (2000) melakukan 
modifikasi   teknik   agar   metode   ini   dapat   digunakan   untuk   tanaman   lain. 
Modifikasi dilakukan dengan menjadikan sel meristem kecambah sebagai objek 
infeksi   melalui   penusukan   jarum   yang   dilumuri   suspensi   A.   tumefaciens. 
Penelitian   Kojima   et   al.   (2000)   yang   dilakukan   pada   kecambah   tanaman 
buckwheat  (Fagophyrum  esculentum)  berumur  4-5  hari  memberikan  efisiensi 
yang cukup tinggi (sekitar 70%) berdasarkan pengujian dengan PCR. Teknik ini 
dicobakan  pula  pada  tanaman  kenaf  (Hibiscus  cannabinus)  dan  memberikan 
efisiensi transformasi sebesar sekitar 85% (Kojima et al. 2004). 
Pada tanaman padi khususnya padi japonica, teknik transformasi in-planta 
dikembangkan oleh Supartana et al. (2005) dengan sedikit pengembangan dari 
pekerjaan yang dilakukan Kojima et al. (2000, 2004). Material yang dijadikan 
objek adalah bagian meristem apikal pada daerah embrio. Teknik ini dilakukan 
pada biji padi yang masih belum berkecambah. Teknik transformasi in-planta ini

 
 
 

12 
 
 
 

berhasil memberikan efisiensi transformasi sebesar 40% berdasarkan pengujian 
PCR pada generasi T1. 
Penerapan  teknik  transformasi  in-planta  pada padi  indica  pertama kali 
dilakukan oleh Lin et al. (2009). Adopsi teknik sesuai dengan metode Supartana 
et  al.  (2005)  hanya  memberikan  efisiensi  transformasi  kurang  dari  0.2%. 
Rendahnya nilai efisiensi transformasi pada padi indica membuat dilakukannya 
modifikasi lain berupa penggunaan vakum setelah penusukan pada biji padi dan 
penggunaan media MS setengah konsentrasi sebagai larutan untuk meresuspensi 
inokulum. Lin et al. (2009) juga memaparkan lokasi penusukan yang tepat pada 
embrio untuk memberikan hasil terbaik dan mencegah kegagalan perkecambahan 
akibat  kesalahan  lokasi  dan  teknik  penusukan,  yaitu  pada  meristem  daerah 
plumula (Gambar 5). 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 5 Lokasi penusukan jarum dalam infeksi in-planta pada padi (Lin et al. 2009). 

 
 

Walaupun  memiliki  banyak  kelebihan,  teknik  infeksi  in-planta  juga 
memiliki kelemahan. Kelemahan dari teknik ini adalah terjadinya kimera karena 
sasaran  penusukan  jarum  tidak  dapat  dipastikan  mengenai  bagian  meristem. 
Embrio  memiliki  primordia-primordia  organ  yang  sudah  lebih  terdiferensiasi 
dibandingkan meristem. Jika jarum melukai sel yang sudah terdiferensiasi  dan 
infeksi terjadi pada sel yang sudah terdiferensiasi, maka akan dihasilkan tanaman 
kimera  (sebagian  transgenik,  sebagian  lainnya  non-transgenik).  Transformasi

 
 
 

13 
 
 
 
menggunakan teknik infeksi in-planta akan memberikan generasi T0 yang hampir 

dapat dipastikan kimera, sehingga hal penting yang perlu dilakukan adalah seleksi 
intensif  pada  generasi  T1  untuk  mendapatkan  keturunan  yang  sepenuhnya 
transgenik (Keshamma et al. 2008). 
Hingga saat ini selain tanaman yang telah disebutkan, teknik infeksi in- 
planta   telah   banyak   diterapkan   pada   beberapa   tanaman   dengan   beberapa 
modifikasi. Beberapa tanaman tersebut antara lain gandum (Supartana et al. 2006, 
Risacher et al. 2009), kaktus Notocactus scopa cv Soonjung (Seol et al. 2008), 
alfalfa (Weeks et al. 2008), jagung (Chumakov et al. 2006), Medicago truncatula 
(Trieu et al. 2000), kacang tanah (Rohini dan Rao 2000), dan kapas (Keshamma et 
al. 2008). 
 
 

Marka Seleksi untuk Tanaman Transgenik 
Setelah proses infeksi dilakukan, proses seleksi dibutuhkan untuk dapat 
memilah  regeneran  yang  mengandung  gen  sisipan  (transgenik)  dan  regeneran 
yang non-transgenik. Untuk dapat melakukan seleksi, harus ada sekuen lain yang 
berada  dalam  fragmen  T-DNA  yang  memang  berperan  dalam  proses  seleksi. 
Dalam melakukan konstruksi gen dalam plasmid ekspresi, marka seleksi selalu 
disertakan untuk masuk dalam ruas T-DNA. 
Berdasarkan  mekanisme  kerjanya,  marka seleksi  digolongkan  ke dalam 
empat kategori (Wei et al. 2012), antara lain: 
1.   Marka  positif,  yaitu  marka  seleksi  yang  tidak  menyebabkan  letal  pada 
regeneran non-transgenik namun memberikan peningkatan pertumbuhan 
atau laju metabolisme pada regeneran  transgenik. Regeneran transgenik 
akan  terlihat  tumbuh  lebih  pesat  dibanding  regeneran  non-transgenik. 
Marka positif dikelompokkan kembali menjadi tiga kelas: 
a.   Marka berupa gen-gen terkait biosintesis hormon, contohnya gen 
uidA penyandi enzim β-glucoronidase (GUS) dan ipt (isopentenil 
transferase).   Gen-gen   ini   mampu   meningkatkan   pertumbuhan 
melalui peningkatan ekspresi gen biosintesis hormon. 
b.   Marka terkait metabolisme sakarida seperti pmi, phosphomanose 
isomerase (He et al. 2004); xylA, xilose isomerase (Haldrup et al.

 
 
 

14 
 
 
 

2001);   atlD,   arabitol  dehidrogenase  (LaFayette   et   al.   2005). 
Marka-marka  dalam  kelas  ini  memungkinkan  transforman 
memanfaatkan sakarida-sakarida yang tidak umum seperti manosa, 
xilosa, dan arabitol. 
c.   Marka yang berasosiasi dengan metabolisme asam amino seperti 
AK   (aspartate   kinase),   DAO1   (D-amino   acid   oxidase),   TSB 
(Triptophan synthase beta1),  yang mampu mengaktivasi lintasan 
metabolisme  asam 

amino 

yang  dapat 

menjadi 

pemicu 

pertumbuhan. 
2.   Marka  negatif,  yaitu  marka  seleksi  yang  menyebabkan  penghambatan 
bahkan  kematian  pada  regeneran  non-transgenik,  sedangkan  regeneran 
transgenik tetap mampu tumbuh. Contoh marka negatif adalah gen-gen 
penyandi resistensi terhadap antibiotik seperti npt (resistensi kanamisin) 
dan  hpt  (resistesi  higromisin)  (Kutty  et  al.  2011)  atau  bar  penyandi 
resistensi herbisida Basta (Lin et al. 2009). 
3.   Marka visual, yaitu marka diferensial yang dapat membedakan transgenik 
dan non-transgenik. Umumnya marka visual digunakan sebagai reporter 
gene. Contoh marka visual adalah GFP, green fluorescence protein (Vain 
et al. 1998), lacZ atau GUS, β-glucoronidase (Helmer et al. 1984), dan 
Luc, Luciferase (Chia et al.1994). 
4.   Marka berbasis patogen, yaitu marka terkait toleransi terhadap patogen. 
Contohnya pflp, plant feredoxin-like protein (You et al. 2003) yang dapat 
meningkatkan   resistensi   tanaman   terhadap   infeksi   bakteri   Erwinia 
carotovora.

 
 
 

15 
 
 
 

BAHAN DAN METODE 
 
 

Waktu dan Tempat Penelitian 
Penelitian  berlangsung  dari  bulan  Februari  2009  sampai  Mei  2012  di 
Laboratorium Penelitian Fisiologi dan Biologi Molekular Tumbuhan serta Rumah 
Kaca Departemen Biologi FMIPA IPB, Darmaga, Bogor. 
 
 

Bahan Penelitian 
Padi  genotipe  T309,  IR64,  Situbagendit,  Danau  Gaung,  Grogol,  Krowal 
Oval,  dan  Hawara  Bunar  digunakan  dalam  penelitian  ini.  Penelitian  ini  juga 
menggunakan bahan berupa tanaman transgenik T309 hasil penembakan dengan 
particle bombardment hasil pekerjaan Dr. Saptowo J Pardal dan tim di BB Biogen 
(Deptan), plasmid pFLAP dan pBD80 (Gambar 6 dan 7), plasmid pGEM-T Easy 
rekombinan  pembawa  gen  B11  sebagai  sumber  gen  untuk  amplifikasi,  serta 
plasmid rekombinan pGWB5 (Gambar 8) yang membawa gen B11 hasil pekerjaan 
Roslim (2011). 
SphIClaI

 
 

 

 
SalI

HindIII
AscI

pFLAP

 

BamHI

 
 

 

amp                                                                                                
pFLAP 
GOI
35S  CaMVTnos
 

 

  

KpnI
EcoRI
BglII
NotI
PacI

  

r

 

Gambar 6 Peta linier pFLAP. 

 
 

 
 
 

ApaI
PspOMI
Acc65I
EcoRIKpnI

 

pBD80

 

ColE

 

oriV

 

NPTIII

 

 

LB

 

 
 
 

PacI

NPTII                        
Pro‐GOI‐Term  RB 

 
Gambar 7 Peta linier pBD80. 

 
 
 
 
 
B11 

 
 
 

 

ClaI
SphI
HindIII
AscI

Gambar 8 Peta linier daerah T-DNA pGWB5 pembawa gen B11. 

pBD80

 

 
 
 

16 
 
 
 

Metode Penelitian 
Konstruksi Plasmid Rekombinan Pembawa Gen B11 
Gen B11 diamplifikasi dengan reaksi PCR (Polimerase Chain Reaction) 
menggunakan  tiga  macam 

pasangan  primer  spesifik  gen  B11  yang  telah 

mengandung adapter situs BamHI dan SalI pada ujungnya. Hasil pita DNA yang 
diharapkan antara lain 200 pb (sekuen parsial), 500 pb (sekuen penuh), dan 573 pb 
(sekuen penuh hasil desain ulang). PCR dilakukan menggunakan Dreamtaq DNA 
polimerase  (Fermentas,  Kanada)  dengan  suhu  penempelan  primer  65oC.  Hasil 
PCR divisualisasi pada 1% gel Agarose (LE GQ Top Vision, Fermentas, Kanada) 
dengan pewarnaan menggunakan 5µg/ml etidium bromida. 
Sebagai vektor entry, digunakan pFLAP. Plasmid pFLAP terlebih dahulu 
dipotong dengan enzim restriksi BamHI dan SalI (Fermentas, Kanada) dengan 
inkubasi  37oC  selama  18  jam  untuk  membuatnya  menjadi 

linear.  Kemudian 

sisipan  dan  vektor  FLAP  dielektroforesis  dan  dipurifikasi  dari  gel  (elusi) 
menggunakan  kit  Wizard  SV  Minicolumn  PCR  Clean-up  System  (Promega, 
USA),  lalu selanjutnya diligasi dengan enzim T4 DNA ligase (Promega, USA). 
Hasil ligasi kemudian diintroduksikan ke dalam E. coli DH5α mengikuti prosedur 
kejutan panas (Sambrook et al. 1989). 
Plasmid  pFLAP-B11  sebagai  entry  clone  rekombinan  yang  dihasilkan, 
kemudian dipotong menggunakan enzim AscI dan PacI (New England Biolabs, 
USA). Pita DNA berukuran 1397, 1697, dan 1770 pb kemudian dielusi dari gel. 
Sebagai  basis  vektor  ekspresi  digunakan  pBD80  yang  sebelumnya  dipotong 
terlebih dahulu dengan enzim yang sama (AscI-PacI), dielektroforesis pada 1% 
gel agarose, dan fragmen berukuran 11091 pb dielusi untuk mendapatkan fragmen 
linear dari pBD80. Hasilnya kemudian diligasi  dengan beberapa jenis fragmen 
B11 dengan bantuan T4 DNA ligase sehingga diperoleh plasmid ekspresi pBIN- 
B11 rekombinan. Hasil ligasi kemudian ditransformasi kembali ke dalam E. coli 
DH5α  mengikuti  prosedur  kejutan  panas.  Isolasi  plasmid  dilakukan  dengan 
Wizard Minicolumn Plasmid Extraction kit (Promega, USA).

 
 
 

17 
 
 
 

Transformasi Tanaman Padi dengan Gen B11 
Transformasi menggunakan particle bombardment. Transformasi dengan 
particle bombardment dilakukan oleh Dr. Saptowo J Pardal dan timnya di BB 
Biogen, Cimanggu, Bogor. Hanya satu tanaman T0 fertil hasil penembakan yang 
diperoleh untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. 
Infeksi A. tumefaciens pada kalus padi.   Kultur A. tumefaciens AgL0 
pembawa  plasmid  biner  pGWB5  (Gambar  8)  hasil  pekerjaan  Roslim  (2011) 
dengan  OD660  =  0.6  digunakan  untuk  menginfeksi  kalus  dua  genotipe  yang 
berbeda  (T309  dan  IR64).  Kalus  disiapkan  dengan  menumbuhkan  biji  padi 
genotipe T309 dan IR64 pada media MS (Lampiran.1) yang mengandung 2 ppm 
2,4-D.  Kalus  kemudian  diinfeksi  dengan  merendamnya  di  dalam  suspensi  A. 
tumefaciens   dalam   media   ko-kultivasi   cair   yang   mengandung   100   µM 
acetosiringone.  Seleksi  dilakukan  menggunakan  higromisin  5  ppm.  Regenerasi 
kalus dilakukan menggunakan media MS + 2 ppm BAP (Lampiran.2). 
Infeksi  A.  tumefaciens  pada  embrio  muda  padi.  Infeksi  embrio  muda 
dilakukan sesuai metode Hiei dan Komari (2008). Bahan embrio muda dipanen 
dari malai padi berumur 7 hari setelah penyerbukan saat biji masih dalam bentuk 
cairan  (matang  susu).  Terdapat  5  jenis  media  yang  dipergunakan,  antara  lain 
media ko-kultivasi, media resting, media pre-regenerasi, media regenerasi, dan 
media  pengakaran.  Komposisi  media  sesuai  dengan  Hiei  dan  Komari  (2008) 
disajikan pada Lampiran 3 
Infeksi  A. tumefaciens secara in-planta. Infeksi in-planta dilakukan pada 
tujuh  genotipe  padi  (IR64,  Situbagendit,  Hawara  Bunar,  Krowal  Oval,  Danau 
Gaung, Grogol, dan T309) sesuai prosedur yang dilakukan oleh Supartana et al. 
(2005) dengan sedikit modifikasi. Biji padi  yang akan digunakan dioven pada 
30oC selama 24 jam untuk memcahkan dormansi. Setelah dioven, tanpa dikupas 
terlebih  dahulu,  biji  disterilisasi  permukaan  menggunakan  larutan  NaOCl  1% 
selama  15  menit  dan  dibilas  3x  menggunakan  akuades  steril.  Selanjutnya  biji 
direndam dalam akuades selama 24 jam hingga daerah embrio terlihat berwarna 
putih.   A.   tumefaciens   yang   digunakan   untuk   infeksi   adalah   suspensi   A. 
tumefaciens  dengan  OD660 = 1.0  (Hiei  &  Komari 2009)  dalam  akuades  steril. 
Embrio  dari  biji  yang  telah  direndam  kemudian  ditusuk  menggunakan  jarum

 
 
 

18 
 
 
 

(diameter 0.5 mm) yang sebelumnya dicelupkan dalam suspensi A. tumefaciens 
sedalam  kira-kira  1-1.5  mm.  Biji  yang  embrionya  telah  ditusuk  kemudian 
diletakkan pada cawan petri yang sebelumnya diberi alas kapas dan kertas saring 
basah, lalu diinkubasi selama 7 hari pada suhu 23oC (gelap). 
 
 

Evaluasi Tanaman Hasil Transformasi dan Penanaman Padi di Rumah Kaca 
Seleksi antibiotik. Seleksi antibiotik dilakukan terhadap kalus padi hasil 
infeksi secara aseptik dan biji generasi T1 hasil infeksi secara in-planta. Seleksi 
terhadap  kalus  hasil  transformasi  pBIN-B11  menggunakan  kanamisin  25  ppm, 
sedangkan pada kalus hasil transformasi pGWB5-B11 menggunakan higromisin 
30  ppm.  Seleksi  dilakukan  selama  2-3  minggu  pada  media  regenerasi  yang 
ditambahkan antibiotik sesuai konsentrasi masing-masing antibiotik (Lampiran 2) 
dengan suhu ruang kultur 28oC dan intensitas cahaya 300 PPFD (Photo Proton 
Flux Density) 
Seleksi   biji   T1   hasil   infeksi   secara   in-planta   dilakukan   dengan 
menumbuhkan biji pada larutan higromisin 20 ppm dalam air steril. Skoring hasil 
seleksi  antibiotik  dilakukan  pada  hari  keempat  pengujian.  Biji  yang  mampu 
berkecambah  normal  (memunculkan  akar  dan  tunas)  merupakan  biji  putatif 
transgenik. 
Uji toleransi terhadap cekaman Al. Analisis toleransi Al dilakukan untuk 
biji generasi T1 dan T2 menggunakan parameter Root-Re-Growth (RRG) dengan 
cekaman  15  ppm  Al  (Al  diberikan  dalam  bentuk  larutan  AlCl3·6H2O)  sesuai 
dengan metode yang diuraikan Miftahudin et al. (2002) (Lampiran 4).  Kategori 
sensitif jika nilai RRG