Keberadaan Aset-Aset Indonesia di Wilayah Timor Leste Setelah Pemisahan

Asset individu ini masih diurusi dan memang perkembangannya baru 2 tahun yang lalu disepakati terbentuknya working group Technical Sub Committee TSC mengenai asset untuk mencari jalan keluar penyelesaian masalah ini, sejauh ini belum ada kemajaun karena pemerintah Timor Leste masih memiliki kendala yaitu belum diselesaikannya UU pertanahan nasional Timor Leste yang menjadi rujukan dalam pembahasan masalah ini. Hanya asset milik warga eks timor Leste saja yang dapat dikembalikan oleh pemerintah Timor Leste. Sementara untuk asset milik pemerintah, negara, termasuk BUMN sesuai hukum Internasional asset tersebut secara otomatis langsung dimiliki oleh Timor Leste.

C. Keberadaan Aset-Aset Indonesia di Wilayah Timor Leste Setelah Pemisahan

Sewaktu Timor Leste menyatakan perpisahannya dari RI, masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum aset-aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut. Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa aset-asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-aturan hukum internasional yang berlaku. Sebaliknya Timor Leste berpendapat bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya. Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda aset publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi negara Universitas Sumatera Utara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik negara sebelumnya. 47 Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian ini, yakni D.P. OConnell, mengemukakan bahwa negara pengganti successor state memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari hak milik dari negara yang digantikannya. 48 Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam dari harta benda negara State property. Tampaknya yang menjadi alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai pengertian harta negara ini. 49 Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara State property adalah property, rights and interests in a legal sense which, at the date of the succession of State, were owned by that State. Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta benda, hak dan kepentingan dalam arti hukum yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya suksesi negara. 50 Dalam hal negara pengganti succession States tersebut bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan agreement. Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih kepada negara tersebut. 47 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 5. 48 Ibid., hal. 6. 49 Ibid. 50 Blogspot.com, “Perspektif Hukum International Mengenai Suksesi Negara Dalam Menginterpretasi Kasus Timor-Timur”, http:el-ridho-el.blogspot.com200903perspektif- hukum-international-mengenai.html, Diakses tanggal 28 Pebruari 2014.. Universitas Sumatera Utara Pasal 17 1 b Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta benda yang ada kaitannya dengan kegiatan negara yang diganti lama di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti. Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh oleh negara yang digantikan sebelum, misalnya, terjadinya kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti baru. Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang adil equitable proportion. 51 Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang baru merdeka newly independent State, maka kesepakatan di antara para pihak tidak diperlukan Pasal 15 1 b. Demikian pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak yang semula milik wilayah yang sekarang menjadi negara baru meredeka selama jangka waktu wilayah tersebut masih dimiliki negara lama. Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang sekarang merdeka. Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset negara RI yang berada di sana. Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah 51 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 6-7. Universitas Sumatera Utara dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang- Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status hukum perjanjian internasional di negara baru pasal 20. RI tidak punya aturan susesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah negara baru. Contoh lain sebagai perbandingan adalah hukum Amerika Serikat AS. Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat dalam the Foreign Relations Law. Menurut Section 209 UU ini, Subject to agreement between the predecessor and successor states, title to state property passes as follows: ... c where part of a state becomes a separate state, property of the predecessor state located in the territory of the new state passes to the new state. 52 Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan hukum nasional Konstitusi Timor Leste. Namun yang menarik dari hukum AS ini adalah bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada kesepakatan di antara para pihak. Artinya, ia tidak beralih secara otomatis. 53 Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan berikut. Aset negara lama RI yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru merdeka pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru merdeka. Ketentuan ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1983, hukum AS dan hukum Timor Leste. Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina 1983 bersifat mengikat, dan, apakah hukum nasional dapat dipakai sebagai pedoman dalam sengketa 52 Ibid., hal. 7-8. 53 Ibid., hal. 8. Universitas Sumatera Utara sekarang ini. Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku terhadap Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian, Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli hukum internasional terkemuka para anggota ILC. Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak mengikat RI. 54 Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional Konstitusi Timor Leste dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Masalah hukum lain yang mendapat sorotan di tanah air adalah status Perjanjian Timor Gap Timor Gap Treaty antara RI dan Australia. Masalah hukum yang lahir adalah: 1. Apakah Perjanjian Timor Gap masih berlaku setelah Timor Timur lepas dari wilayah RI, dan 2. Kalau jawaban pertanyaan 1 di atas adalah negatif, apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di landas kontinen di wilayah Timor Gap berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut 54 Blogspot.com, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara 1982. 55 Perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan pengaturan sementara antara RI – Australia yang ditempuh mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk itu telah berlangsung cukup lama sekitar 10 tahun. Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak mengenai prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai situasi geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap. Daripada masalah penetapan garis batas berlarut-larut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan pengaturan sementara. Pengaturan sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan: “Pending agreement as provided for in paragraph 1, the Sates concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation ... “ 56 Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona, yakni zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang tindih overlapping atau daerah sengketa disputed area. Di zona ini kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan “fifty-fifty”. 55 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 9. 56 Ibid., hal. 9. Universitas Sumatera Utara Zona ini adalah daerah landas kontinen yang di Selatan dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia median line, dan di utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia di Palung Timor atau Timor Trough. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, dan sesuai dengan praktek negara, negara-negara yang bersangkutan dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut sebagai joint development zone atau zona pengembangan bersama dengan pembagian keuntungan “fifty-fifty”. 57 Zona B adalah zona di mana Indonesia menuntut bagian dari keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen yang memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak di luar batas klaim maksimal Indonesia terletak di sebelah selatan median line. Hal ini dimaksudkan untuk kompensasi bagi garis batas landas kontinen berdasarkan Perjanjian tahun 1972 yang kurang menguntungkan Indonesia terlalu dekat dengan pantai Indonesia. Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang berlaku waktu itu kurang menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16 dari hasil yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya merupakan daerah yurisdiksi eksklusif Australia. Indonesia mengenai Zona B tersebut dapat menerima usulan, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan, Australia menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim maksimal Australia di utara Palung Timor di mana Australia akan “memperoleh” 10 dari “keuntungan” di daerah tersebut, 57 Ibid. Universitas Sumatera Utara yang kemudian dinamakan Zona C yang sejak semula sudah diketahui oleh kedua belah pihak sebagai daerah yang tidak prospektif. Jadi sebenarnya Zona C ditetapkan dan disepakati sekedar untuk menampung keinginan Australia untuk menciptakan suatu keseimbangan tanpa merugikan Indonesia. 58 Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 Agustus 1999 di mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI, pemerintah mengeluarkan TAP MPR No VMPR1999 yang menerima jejak pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No VIMPR1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor Gap telah kehilangan hukumnya. Dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk pendapatnya tersebut adalah berdasarkan pada sumber hukum perjanjian internasional tentang berakhirnya perjanjian internasional. Pemerintah berpendapat bahwa apabila obyek dari suatu perjanjian berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua belah pihak untuk mengakhir perjanjian. Pendapat pemerintah RI ini kurang tepat. Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional adalah karena berubahnya obyek perjanjian. Namun masalahnya adalah, obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor Gap tidak berubah. Alasan yang tampaknya lebih tepat adalah alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah Timor Timur dari wilayah RI dan hilangnya 58 Blogspot.com, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara kedaulatan RI atas wilayah Timor Timur. Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini kepada Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri Perjanjian Timor Gap. Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters tanggal 1 Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidak berlaku lagi dan wilayah Timor Gap karenanya bergantung kepada perjanjian atau kesepakatan antara Timor Timor dan Australia. Terserah kepada kedua negara ini apakah mereka akan merundingkan penetapan garis batas landas kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti yang dilakukan antara RI–Australia. Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap berdasarkan hukum internasinal, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982. Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas kontinen di antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang terletak di antara dua titik dasar pada pulau Timor, yaitu di sebelah timur pada titik median line antara pulau Leti Indonesia dan pulau Yako Timor-Timur, dan di sebelah barat pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur dan NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI- Australia tahun 1972. Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau celah di mana garis batas landas kontinen kedua negara belum dapat ditetapkan karena adanya perbedaan posisi antara Portugal dan kemudian Indonesia- dengan Australia mengenai cara menarik garis batas landas kontinen di Universitas Sumatera Utara daerah itu. 59 Dengan demikian daerah di sebelah Barat dan Timur dari Timor Gap tidak termasuk Timor Gap, dan garis batas landas kontinen antara kedua negara di kedua daerah tersebut sudah ditetapkan berdasarkan Perjanjian tahun 1972. Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia termasuk Timor Barat tidak lagi mempunyai hak terhadap landas kontinen di daerah “Timor Gap” berdasarkan hukum internasional.

D. Akibat Hukum Pemisahan Negara Timor Leste Terhadap Indonesia