1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam kehidupan manusia Mc Collum, 2009: 14. Terjadinya konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam
proses interaksi antar-individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang masing-masing disebabkan oleh perbedaan baik dalam
latar belakang interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun tujuan berinteraksi. Tidak terkecuali konflik juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang mempunyai
latar belakang politik, etnis, suku, dan agama yang berbeda. Dari latar belakang yang beragam ini, corak konflik yang terjadi di Indonesia juga beragam
diantaranya konflik yang terjadi karena permasalahan etnis seperti yang pernah terjadi di Solo antara etnis Cina dengan Pribumi pada Mei 1998 Copel. 2006:
73, karena permasalahan politik dalam bentuk separatisme yang pernah terjadi di Papua dan Aceh Braithwaite. 2010: 49-166; 343-428; Bertrand. 2004: 161
karena permasalahan suku antara suku Dayak dengan suku Madura seperti yang terjadi di Sampit Kalimantan Barat Klinken. 2007: 55; Braithwaite: 291 dan
karena permasalahan agama antara agama Islam dan Kristen seperti yang terjadi di Ambon Klinken: 88.
Konflik mempunyai dua sifat yaitu destruktif merusak dan konstruktif membangun. Sean Mc Collum 2009: 18 mengutip pendapat Deutsch Morton
seorang ahli dalam resolusi konflik yang berpendapat bahwa ketika konflik muncul akan mengarah pada konstruktif atau destruktif tergantung pada beberapa
2
faktor. Arah konflik dipengaruhi oleh latar belakang yang ada di balik konflik yang terjadi; apa yang sedang dipertaruhkan; nilai-nilai dan norma apa yang
terhubung pada jaringan tersebut. Hasil yang didapatkan dari sebuah konflik juga dipengaruhi oleh sikap dan keterampilan dalam resolusi konflik dan pengalaman
oang-orang yang terlibat dalam konflik. Dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia terutama kondisi
menjelang reformasi sampai reformasi bergulir, tercatat oleh Bapenas dan PBB dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2004 terjadi sebanyak 3600 peristiwa
konflik di seluruh Indonesia Kapanlagi.com. Dari jumlah yang tergolong banyak tersebut menurut penelitian Klinken, 2007: 138 selama antara tahun 1999-2004
konflik yang terjadi telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 19.000 orang meninggal dunia. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa konflik tersebut
menandakan bahwa selama ini konflik yang terjadi di Indonesia berjalan ke arah destruktif yaitu merusak.
Dalam konteks skala perbandingan sebelum reformasi orde baru sampai masa reformasi Sukardi Rinakit dalam Maribeth 2005: 83 memaparkan bahwa
telah terjadi peningkatan intensitas konflik pada saat sebelum dan sesudah Suharto lengser dengan sifat yang semakin regional dan menelan korban jiwa yang sangat
besar. Peningkatan ini menurut Sukardi dikarenakan proses reformasi yang diikuti dengan otonomi daerah tidak dijalankan dengan hati-hati mengingat Indonesia
mempunyai latar belakang yang beragam baik etnis, agama, demografi, politik dan kelas sosial yang sangat memungkinkan terjadi konflik horizontal. Data yang
berhasil di himpun oleh Sukardi menunjukkan bahwa konflik horizontal di
3
Indonesia yang pada mulanya hanya terjadi maksimal 8 kali dalam setahun dengan korban jiwa ratusan dan meningkat intensitasnya menjadi ratusan kali
konflik dengan jumlah korban jiwa yang mencapai ribuan. Berikut data konflik dari tahun 1990 sampai tahun 2001.
Gambar 2.1: Angka Konflik di Indonesia antara 1990-2001 Sumber: Sukardi Rinakit 2005: 83
Fenomena konflik yang cenderung meningkat di Indonesia dari masa sebelum reformasi sampai terjadi reformasi menarik perhatian banyak peneliti untuk
mengkajinya. John Braithwaite 2010: 1 mempublikasikan hasil penelitiannya tentang fenomena konflik di Indonesia dan sempat memberikan kesimpulan
bahwa kurun waktu antara tahun 1997-2004 di Indonesia secara teoritik mengalami masa yang dalam bahasa Emile Durkheim adalah anomie yaitu sebuah
kondisi tanpa norma. Kondisi tersebut didasari oleh fenomena bahwa selama
4
kurun itu telah terjadi kekacauan yang telah didukung oleh lembaga. Menurutnya pihak keamanan di Indonesia mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dan
bukannya mencegah terjadinya kekerasan pada semua pihak. Oleh karena itu sangat wajar apabila kurun waktu tersebut disimpulkan sebagai kondisi anomi
bangsa Indonesia. Intensitas konflik di Indonesia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari
masa transisi pemerintahan yang pada waktu sebelumnya bersifat terpusat menjadi desentralisasi. Proses desentralisasi ini juga dibarengi dengan proses politik yang
pada masa sebelumnya bersifat top down sekarang menjadi bottom up. Proses perubahan politik praktis seperti pemilihan kepala daerah yang pada masa lalu di
pilih oleh pemerintah pusat, sekarang menjadi hak setiap warga negara untuk memilihnya secara langsung. Proses politik inipun menjadi salah satu pemicu
terjadinya konflik yang sifatnya komunal dan regional. Sukardi Rinakit dalam Maribeth 2005: 84 memaparkan bahwa selama kurun waktu antara tahun 1999-
2001 terjadi peristiwa konflik di 18 daerah dan 16 diantaranya bersifat komunal dan 2 lainnya bersifat separatis dengan jumlah korban jiwa sebesar 6.208. Pada
kenyatannya proses peralihan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi telah meminta korban jiwa yang tidak sedikit.
Proses politik pemilihan kepala daerah tingkat I dan II secara langsung sebagai tindak lanjut desentralisasi di Indonesia juga menjadi salah satu potensi
terjadinya konflik. Terhitung sejak disahkannya Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya disingkat Pilkada pada tahun 2005 sampai 2010
tercatat ada 124 kasus yang diadukan kepada pemerintah dan lima diantaranya
5
menimbulkan kerusuhan Tempointeraktif.com: 2010. Konflik pasca pilkada yang belanjut pada kerusuhan ini terjadi di Maluku Utara, Bengkulu, Aceh
Tenggara, Sulawesi Barat dan Tuban. Dari kelima kasus tersebut penulis tertarik untuk mengkaji adalah kasus konflik kekerasan pasca konflik pilkada yang terjadi
di Tuban Jawa Timur. Perbedaan kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban diantara kelima yang lainnya adalah: kasus ini terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur
yang notabene terletak di Pulau Jawa dan berbeda secara geografis dengan keempat kasus yang lainnya; kasus kerusuhan di Tuban berlangsung sangat hebat
dan singkat meskipun tidak sampai jatuh korban jiwa. Berdasarkan observasi pendahuluan yang dilakukan penulis, konflik Tuban tahun 2006 telah
meluluhlantakkan gedung pemerintahan, hotel, rumah pribadi, gudang, pompa bensin, kendaraan, dan yang lainnya; sisa-sisa kerusuhan berupa konflik laten
sampai sekarang masih terlihat. Dalam konflik yang terjadi pasca pilkada di beberapa daerah biasanya tidak
berlanjut pada kerusuhan. Konflik akan berakhir seiring dengan adanya keputusan dari Pemerintah tentang penyelesaian konflik tersebut. Konflik pasca pilkada yang
terjadi di Tuban tahun 2006 antara masyarakat pendukung Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping selanjutnya disingkat Non-Stop dengan pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati yang pada saat itu menjadi calon incumbent sampai sekarang masih menyisakan konflik secara laten. Konflik laten tersebut dapat
dilihat dari masih berdiri sisa-sisa bangunan pendopo yang dibiarkan hangus tidak diperbaiki oleh pihak pemerintah sampai sekarang, Kantor KPUD yang dirusak
dan dibakar oleh masyarakat pendukung Non-Stop; banyak graffiti bernada
6
tantangan kepada pemerintah di tembok-tembok; beredarnya kaos bernada tantangan kepada Bupati; proses pembangunan oleh pemerintah yang timpang;
bahkan pengaturan jadual imam di Masjid jami’ Tuban pun tidak terlepas dari konflik laten yang terjadi wawancara: M. Beberapa karakteristik yang unik dari
kasus konflik kerusuhan di Kabupaten Tuban inilah yang menarik untuk di jadikan sebuah kajian, terutama jika dikaitkan dengan pendidikan IPS yang
seharusnya mempunyai andil besar dalam rangka proses pemberian ketrampilan resolusi konflik untuk menjadikan masyarakat menjadi warga negara yang baik.
Konflik kekerasan pasca Pilkada di Tuban Jawa Timur terjadi antara masa pendukung Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan Pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati sebagai incumbent berawal dari pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2006. Masa pendukung Non-Stop
merasa pengumuman hasil Pilkada pada saat itu banyak sekali di warnai kacurangan. Konsentrasi masa pendukung Non-Stop mulai terlihat sejak sore hari
pada waktu penghitungan suara di kantor KPUD Tuban hingga larut malam Radar Bojonegoro, 29 April 2006. Setelah penghitungan suara hasil pilkada
berakhir dan ternyata Non-Stop dinyatakan kalah, menimbulkan kekecewaan di pihak pendukungnya. Akhirnya malam itu juga mereka terlihat melakukan
koordinasi untuk melakukan protes di KPUD keesokan harinya dengan mengerahkan masa yang sangat banyak.
Pada tanggal 29 April pukul 09.00, sekitar 15 ribu sampai 30 ribu masa pendukung Non-Stop mulai berkumpul di depan kantor KPUD dan melakukan
orasi Radar Surabaya, 30 April 2006. Orasi ini dipimpin secara bergantian oleh
7
saudara RS, saudara R dan saudara YM. Orasi mereka antara lain mengiginkan adanya tinjauan ulang terhadap hasil pilkada dengan membeberkan jumlah DPT
Daftar Pemilih Tetap dengan rekapitulasi hasil pilkada oleh KPUD. Aksi mereka tidak mendapat respon sama sekali oleh para pimpinan KPUD dan akhirnya aksi
masa memaksa masuk ke kantor KPUD. Sempat terjadi aksi saling dorong antara masa aksi dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga didepan kantor KPUD.
Akhirnya masa aksi dengan mempergunakan kendaraan truk tronton menabrak barikade polisi dan berhasil menguasai kantor KPUD. Setelah kantor KPUD
mereka kuasai akhirnya mereka merusak dan membakarnya sampai luluh lantah Surya, 30 april 2006.
Karena merasa aksi mereka belum mendapatkan hasil, maka masa aksi melanjutkan demonstrasinya di depan kantor Bupati dan Pemda di Alun-alun
Tuban. Seperti tuntutan sebelumnya, mereka meminta hasil pemilu di batalkan dan menuntut Bupati untuk turun jabatan. Karena tidak mendapatkan respon
akhirnya masa aksi merangsek kedalam rumah dinas Bupati dan Pendopo Kabupaten Tuban. Karena jumlah aparat keamanan tidak sebanding dengan
banyaknya masa aksi, akhirnya dengan tiada berdaya aparat keamanan membiarkan pendopo krido manunggal, dan enam bangunan lainnya seperti
gedung Korpri, gedung PKK, guest house, gedung dharma pertiwi, gedung organisasi wanita GOW
Jawa Pos, 30 April 2006. Masa dikomando oleh orator sambil
membakar semangat
perlawanan terhadap
Bupati meluapkan
kekecewaannya dengan melakukan pembakaran terhadap asset-aset pribadi bupati dan negara yang ada di sekitar rumah dinas bupati.
8
Sekitar pukul 1 siang masa mulai menyebar menuju asset-aset bupati yang lain yaitu rumah mewahnya yang berdiri diatas tanah seluas sekitar 10 hektar,
hotel mustika milik bupati, gudang 99 milik bupati, pompa bensin di jalan RE Martadinata dan Jl. Manunggal, Rumah pribadi bupati di Jl. Agus Salim, Kantor
Golkar di Jl. Basuki Rahmat Surya, 30 April 2006. Semua bangunan tersebut dijarah dan di rusak. Bahkan rumah mewah, hotel dan gudang milik Bupati
sempat dibakar oleh masa. Aksi tidak hanya dilakukan pada asset-aset pribadi bupati, akan tetapi merembet pada rumah-rumah para pimpinan KPUD
diantaranya rumah Sumitro Karmani dan rumah pendukung Bupati yang notanebe para kontraktor. Siang itu Kota Tuban menjadi lautan api dan terjadi kepanikan
warga terutama para pendukung Bupati yang mendapatkan ancaman bahwa rumah mereka akan dibakar. Terjadi eksodus di beberapa tempat untuk menyelamatkan
asset-aset berharga terutama oleh pihak-pihak yang selama ini mendukung bupati. Pada awalnya aksi masa tidak dapat di kendalikan oleh aparat Polres maupun
Kodim Tuban karena jumlah antara aparat dengan masa aksi yang tidak sebanding. Bahkan para aparat hanya bisa menonton sambil mengamankan
beberapa tempat yang masih dapat mereka amankan. Menjelang siang konsentrasi masa mulai terpecah menuju asset-aset pribadi Bupati dan pada saat bersamaan
didatangkan bantuan dari polres Bojonegoro, Lamongan, Jombang dan Polda Jatim
Radar Surabaya, 30 April 2006. Kondisi inilah yang memudahkan para aparat untuk sedikit mengendalikan aksi masa. Sampai malam tiba, kondisi
Kabupaten Tuban masih sangat mencekam karena beredar isu aka nada aksi pembakaran pada rumah-rumah pendukung bupati. Malam itu kondisi Tuban
9
ibarat kota mati karena diberlakukan jam malam untuk mengantisipasi gerakan masa susulan.
Keesokan harinya beredar isu akan ada aksi masa balasan dari beberapa sektor pendukung Bupati sebagai calon incumbent. Siang itu kondisi jalan-jalan
sepi dan aktifitas perekonomian kota Tuban lumpuh total. Masa pendukung Non- stop maupun Heany masing-masing berjaga-jaga untuk mengamankan asset
mereka masing-masing. Beberapa orang menjadi DPO dan terus di buru oleh pihak aparat yang sudah mendapatkan bala bantuan personil yang sangat banyak
Memo, 1 Mei 2006. Beberapa orang yang dicurigai ikut terlibat dan menjadi provokator satu persatu ditangkap dan membuat shock terapi tersendiri bagi
warga. Akhirnya kondisi mencekam ini dapat dikendalikan meskipun masih menyisakan berbagai permasalahan yang sampai sekarang masih terlihat.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat Tuban pendukung calon bupati Noor Nahar Husein terhadap lawan politiknya yaitu
Haeny Relawati tidak mencerminkan sebuah perilaku kaum terpelajar ataupun agamawan. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Tuban,
seharusnya perilaku kekerasan tersebut tidak mesti terjadi dengan tingginya tingkat pendidikan yang ada di Kabupaten Tuban BPPS Tuban: 2010.
Disamping itu, masyarakat Tuban yang religius dengan dibuktikan adanya makam salah satu penyebar agama Islam Sunan Bonang di Tuban dan banyaknya pondok
pesantren yang berdiri di sana, menimbulkan pertanyaan besar, mengapa masyarakat Tuban melakukan kekerasan? Apalagi kekerasan yang dilakukan
adalah bersifat komunal dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah hanya
10
dalam waktu beberapa saat saja. Apakah kekerasan tersebut memang murni kekerasan akibat pilkada atau merupakan akumulasi dari kekecewaan yang
terpendam dan terluapkan pada saat pilkada? Dalam hal ini perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Tuban pada saat pilkada tahun 2006 dapat digolongkan sebagai perilaku kolektifcollective behavior. Kekerasan yang terjadi saat itu merupakan tindakan
kolektif dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah dalam tempo waktu yang sangat singkat. Perlu adanya sebuah analisis tentang sebab-sebab terjadinya
kekerasan tersebut, apakah memang murni permasalahan pilkada ataukah terdapat permasalahan lainnya yang menjadi pemicu. Untuk menganalisis sebab-sebab
munculnya perilaku kolektif masyarakat Tuban tersebut dan bagaimana langkah resolusinya pada saat sekarang melalui nilai-nilai yang terkandung dalam
peristiwa tersebut dapat dipergunakan analisa model the circle of conflict yang telah dipergunakan oleh Christopher Moore dalam CDR Associates Furlong,
2005: 30. Beberapa langkah resolusipenyelesaian konflik telah dilakukan setelah
terjadi konflik 2006, baik secara formal ataupun informal antara masa pendukung Non-Stop dengan Haeny Relawati dan pendukungnya. Langkah-langkah resolusi
yang telah dilaksanakan diantaranya adjudikasi menghukum para pelaku yang diduga melakukan pembakaran dan pengerusakan, mediasi antara pemerintah
dengan elit politik maupun masyarakat yang pernah berseberangan Radar
Bojonegoro,16 Mei 2006. Semua usaha resolusi tersebut agaknya belum begitu maksimal menyelesaikan konflik. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya para
11
eks-terpidana yang sampai sekarang merasa bahwa dirinya tidak bersalah dan menyalahkan pihak lain. Selain itu mediasi yang dilakukan oleh LSM ataupun
pihak-pihak independen sampai sekarang belum dapat menemukan kedua belah pihak untuk bersama-sama melakukan perdamaian. Kegagalan dalam resolusi ini
apakah disebabkan tipologi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat saat itu memang unik dan bukan kekerasan sesaat tetapi sebuah akumulasi? Ataukah
proses resolusi konflik yang dilakukan masih kurang tepat sehingga memerlukan sebuah pendekatan yang baru? Semua hal itu akan menjadi kajian dalam
penelitian ini. Menurut peneliti diperlikan sebuah pendekatan baru dalam penyelesaian
konflik perlu untuk dilakukan di Indonesia khususnya di wilayah yang pernah terjadi konflik seperti di Tuban Jawa Timur yaitu melalui pendidikan terutama
pendidikan sosial. National Curriculum for Social Studies atau disingkat NCSS 1994: 149 sebagai salah satu lembaga yang menaungi pendidikan social social
studies di Amerika Serikat telah memasukkan resolusi konflik sebagai salah satu keterampilan yang harus diajarkan dalam pembelajaran IPS di sekolah. Hal ini
tidak terlepas dari banyaknya fenomena konflik yang mengarah pada tindakan destruktif dan mulai mendapatkan perhatian oleh para ahli yang konsen terhadap
konflik dan resolusi sebagai sebuah kajian yang baru pada tahun 1990 an Schlenberg, 1997: 7.
Menurut Hursh 2000: 65 mengutip pendapat Brameld sebagai seorang pencetus filsafat pendidikan reconstructionism bahwa pendidikan diharapkan ikut
dalam menyelesaikan permasalahan sosial dan membangun sebuah tatanan sosial
12
yang baru. Pendidikan tidak boleh jauh dari realita kehidupan social dan diharuskan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan social.
Pendidikan harus mengawal semua transformasi social yang terjadi sehingga tidak hanya menjadi tempat penggodokan kawah candradimuka saja.
Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik sebagaimana Morton dan Susan Frydenberg. 2005: 139 berpendapat bahwa
sekolah adalah pusat kehidupan social siswa. Perbedaan etnis, gender, usia, kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta
kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya
akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara
damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama, pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam
mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.
Berkaitan dengan permasalahan konflik pilkada di kabupaten Tuban yang telah terjadi pada tahun 2006 dan sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa konflik
yang bersifat laten, diperlukan sebuah langkah resolusi yang dapat meredakan konflik dan bahkan menghilangkan potensi-potensi yang sampai sekarang masih
tersisa. Oleh karena itu diperlukan pengungkapan latar belakang konflik terutama
13
berkaitan dengan nilai-nilai yang mendorong masyarakat melakukan konflik kerusuhan tersebut. Dibutuhkan sebuah pengungkapan kronologis kejadian untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang peristiwa konflik kekerasan pasca pilkada tahun 2006 tersebut. Dengan pengungkapan kronologi tersebut maka akan
dapat dianalisa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut. Pada gilirannya dari peristiwa tersebut dapat diambil beberapa nilai-nilai
khususnya nilai-nilai pendidikan yang terkandung sehingga dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS untuk memberikan bekal keterampilan kepada peserta
didik khususnya di Kabupaten Tuban agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
B. Rumusan masalah