TAREKAT SEBAGAI MEDIA PEMBINAAN MENTAL ( Studi Analisis Terhadap Tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Cirebon )

(1)

TAREKAT SEBAGAI MEDIA PEMBINAAN MENTAL

( Studi Analisis Terhadap Tawasulan

di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Cirebon )

T E S I S

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Studi Islam ( M.S.I. )

dalam Bidang Psikologi Pendidikan Islam

Diajukan oleh: S A P A R I NPM. 20131010412

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI ISLAM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku kehidupan masyarakat dewasa ini, khususnya kalangan remaja yang emosinya masih labil sudah cukup memprihatinkan, easternisasi yang diharapkan malah justru westernisasi yang tidak terbendung yang terjadi. Masyarakat dengan begitu mudahnya menerima bahkan menelan mentah-mentah arus budaya globalisasi yang masuk ditengah kehidupan. Masyarakat sepertinya belum siap menerima perubahan yang begitu cepat terjadi, di bidang kemajuan teknologi, budaya, sosial, persaingan ekonomi, bahkan perubahan politik yang berimbas pada perubahan perilakunya. Sehingga hal ini tanpa terasa berakibat pada timbulnya ketegangan psiko-sosial.

Semakin maju (moderen) suatu masyarakat, maka semakin banyak yang harus diketahui orang dan sulit untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup, sebab kebutuhan hidup manusia semakin meningkat dan semakin banyak persaingan dan perebutan kesempatan untuk meraih keuntungan- keuntungan.1

Di balik moderenisasi yang serba gemerlap terdapat gejala yang disebut “The Agoni of modernization” yaitu sengsara karena modernisasi, yakni adanya ketegangan psikososial di tengah masyarakat yang berupa


(3)

semakin meningkatnya angka- angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, pembunuhan, judi, penyalahgunaan obat narkotika, minuman keras, kenakalan remaja, prostitusi, bunuh diri, gangguan jiwa (depresi mental ), dan lain sebagainya.2

Ketegangan psiko-sosial tersebut bukan hanya dialami oleh masyarakat lapisan atas saja, namun juga dialami oleh masyarakat lapisan bawah. Mereka (masyarakat lapisan atas dan bawah) mencoba mempertahankan kehidupannya dengan bekerja keras dengan jalan apa saja, apakah itu halal atau haram, kalau perlu dengan cara kekerasan.3

Kehidupan modern saat ini menuntut siapapun untuk lebih arif dan bijaksana dalam menyikapinya. Pengaruh modernisasi disikapi oleh masyarakat dengan cara yang beragam, ada sebagian orang yang larut dalam arus kehidupan modern yang hedonistik dan materialistik. Sebagian masyarakat juga ada yang meresponnya dengan cara menarik diri dari hingar bingar kehidupan modernisasi dan menenggelamkan dirinya dalam dunia spiritual guna meningkatkan kekayaan ruhaninya.

Kemoderenan menampilkan dua sisi mata pedang. Di satu sisi, ia menjadi keniscayaan bagi sebuah perubahan zaman. Sedangkan di sisi lain, kemoderenan ditengarai telah melahirkan nestapa kemanusiaan yang

2Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, ( Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999 ), hlm. 43.

3

Mahfud AN, Petunjuk Mengatasai Stres, (Bandung: Sinar Baru Agensida, 1999), hlm. 92.


(4)

serius dan harus dibayar mahal dalam sejarah kehidupan umat manusia sejagat. Para ahli Agama banyak menunjuk permasalahan kemanusiaan tersebut sebagai krisis dalam kehidupan manusia dan masyarakat moderen.4

Tulisan ini berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (The age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu sendiri.

Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering ditinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis daripada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke- Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-

4 Ali Usman, Kiai Mengaji Santri Acungkan jari: Refleksi Kritis atas Tradisi dan


(5)

kemajuan yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan- perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem.

Dalam konsepsi ilmu psikologi, pertumbuhan jiwa manusia terjadi sejak lahir sampai dewasa. Kesadaran itu mulai dari kesadaran akan diri sendiri. Dari pengalaman-pengalaman bergaul sejak kecil, berkembanglah kesadaran sosial anak-anak dan memuncak pada umur remaja. Para remaja sangat memperhatikan penerimaan sosial dari teman-teman sebaya dan lingkungannya.

Dalam pergaulan komunitas remaja misalnya, seringkali dalam masyarakat yang kurang menghargai atau kurang memberikan status yang pasti bagi remaja, timbul kelompok-kelompok remaja, yang sikap dan tindakannya seolah-olah menentang nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, dan tidak jarang yang menjadi sasaran mereka adalah agama dan lembaga-lembaga keagamaan. Tapi kalau lembaga-lembaga agama dapat mengisi kekosongan remaja dan dapat memberikan penghargaan dan status yang tegas kepada remaja, mereka akan dapat ikut aktif dan bekerja giat di bidang agama. Apalagi kalau lembaga-lembaga keagamaan dapat


(6)

menolong menyelesaikan problema-problema yang mereka hadapi.5 Pembentukan kepribadian mereka akan lebih terdidik apabila dibimbing melalui lembaga- lembaga kepesantrenan. Lembaga Pondok Pesantren memiliki program pendidikan akhlak yang diharapkan mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan mental dan kepribadian mereka. Faktor yang sangat mempengaruhi baik buruknya kepribadian seseorang, salah satunya adalah karena lingkungannya.6

Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-daerah perkotaan yang saling bersaing dalam segala bidang. Sehingga kondisi tersebut memaksa tiap individu untuk beradaptasi dengan cepat. Padahal tidak semua orang mampu untuk itu. Akibatnya yang muncul adalah individu- individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.

Dalam kondisi seperti ini, manusia sebagai makhluk spiritual memerlukan sentuhan dan tuntunan agama sebagai pedoman dalam menjalani gejolak problematika kehidupannya di dunia ini. Manusia membutuhkan ajaran agama yang mampu memenuhi kekeringan ruhaninya guna menjadi penyejuk jiwa dan pikirannya agar setiap perilakunya tetap dalam garis kebenaran sejati yang Ilahi.

5Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003 ), hlm. 105.

6 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan


(7)

Dewasa ini muncul kecenderungan masyarakat untuk mengikuti kegiatan- kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya.

Islam adalah agama yang rohmatanlil’alamin, ajarannya mampu menjadi lentera kehidupan bagi seluruh alam beserta isinya. Keberadaannya sengaja Allah turunkan melalui wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad berupa Al-Qur’an agar menjadi penuntun bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat. Ajaran Islam menyatu dalam laku lampah Nabi Muhammad SAW, bahkan disebut sebagai Al-Qur’an berjalan.

Doktrin agama Islam mempunyai dua cabang yang esensial: akidah dan syari’at7. Akidah (‘aqidah)8 adalah aspek teoritis (nazhari) yang harus diyakini kebenarannya tanpa ragu- ragu oleh setiap muslim, sedangkan syariat merupakan aspek praktis (‘amali) yang memuat aturan- aturan yang

7 M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.1.

8Akidah dalam bahasa Indonesia berarti: kepercayaan, keyakinan. Lihat: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet. VIII, hlm. 25. Pengertian ini sesuai dengan etimologinya yang berasal dari Bahasa Arab: ‘aqidah

(jamak: ‘aqa’id), berarti sesuatu yang diyakini oleh hati, kepercayaan yang dianut orang dalam beragama.


(8)

harus dipatuhi seorang muslim dalam kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta dan sesama manusia, maupun dengan kehidupan itu sendiri. Dalam terminologi al-Qur’an, akidah disebut “al-iman” (kepercayaan) dan syariat disebut “al-‘amal al-shalih” (perbuatan baik). Keduanya sering disebut bergandengan dalam ayat- ayat al-Qur’an, sehingga tampak integralitas keduanya dalam ajaran Islam.

Doktrin Islam yang tertuang dalam al-Qur’an memuat ajaran tentang sendi-sendi kehidupan manusia. Pesan ajarannya mengurai dan menjawab secara gamblang tentang multi aspek, baik soal akidah, muamalah, bahkan persoalan kekinian umat manusia di dunia ini. Manusia dibimbing baik dalam kehidupan di dunuia maupun di akherat.

Lembaga Pesantren sebagai manifestasi institusi keagamaan yang fokus pada penggalian ilmu-ilmu keislaman hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menjadi jamu dari keringnya tuntunan nur Ilahiah yang dirasakan masyarakat moderen. Keberadaan Pesantren dengan berbagai programnya, di harapkan mampu menjadi angin penyejuk bagi masyarakat moderen banyak mengalami penyakit bathin/ mental.

Pesantren merupakan sebuah institusi yang sejak dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ritual yang diajarkan oleh para Kyai-nya. Bermacam-macam ritual Islam selalu dan terus dilestarikan dari generasi ke generasi dalam pesantren. Di samping sebagai kegiatan rutin (punya nilai istiqomah), juga merupakan usaha untuk menjaga nilai bahkan amal


(9)

jariyah dan ilmu-ilmu Islam yang telah ditanam para Kyai, juga merupakan penghormatan dan penghargaan terhadap generasi yang lebih dulu mengamalkan ritual amalan di pesantren tersebut. Sehingga ritual (tawasulan) yang dilakukan di institusi pesantren sudah menjadi tradisi atau adat para santri.

Tradisi Pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton.9

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan non formal yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Pondok Pesantren lazimnya diasuh/diampuh oleh para kiyai dengan sistem pengajarannya ada yang tradisional ( pengajian weton dan sorogan ) atau dalam bentuk yang lebih moderen, seperti sekolah atau madrasah. Lembaga Pesantren biasanya dijadikan tumpuan dan harapan masyarakat untuk mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam sebagai pedoman hidup di dunia dan akherat.

Dalam perkembangannya hingga kini, pesantren sebagai tempat para santri menuntut ilmu setidaknya telah dibuat tipologinya menjadi dua kelompok. Pertama tipologi pesantren dibuat berdasarkan elemen yang

9Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya


(10)

dimiliki. Kedua tipologi pesantren didasarkan pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.10

Pondok Pesantren merupakan komunitas kehidupan yang ditata oleh aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang sengaja dibuat untuk mendidik sehingga terkondisikan suatu lingkungan pendidikan yang mewarnai santri dan kehidupannya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bahwa keberadaan pondok pesantren harus mampu menjadi filter atas arus globalisasi kebudayaan negatif yang merangsek masuk kedalam kehidupan masyarakat. Pondok Pesantren juga harus mampu menjadi agen perubahan atas fenomena prilaku masyarakat yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol.

Keberadaan pondok pesantren di tanah air sangat banyak, masing-masing memiliki ciri khas dan penekanan-penekanan kajian di bidang tertentu. Setiap pesantren memiliki karakteristik yang unik dan berbeda-beda dengan pesantren lain.11

Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul adalah salah satu Pondok Pesantren salafiyah yang ada di desa Munjul Cirebon yang mampu memberikan warna tersendiri dalam mendidik moral dan mental para santri dan masyarakat yang ada di dalamnya agar tidak goyah oleh

10Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 ), hlm. 24.


(11)

pengaruh-pengaruh kebudayaan dari luar yang masuk. Pondok pesantren ini selain memberikan pengajaran pendidikan ilmu- ilmu agama melalui pengajian kitab kuning juga memiliki keunikan tersendiri di banding pondok pesantren yang lain. Keunikan yang lain di pondok pesantren ini menitikberatkan pembelajaran dan kegiatan para santrinya dalam bidang tasawuf/tarekat.

Tarekat yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul adalah Tarekat As-Syahadatain, tarekat yang ajarannya menekankan pada memperbanyak kegiatan ritual keagamaan ahlu as-sunnah wal jama’ah. Di antara kegiatan tarekat tersebut adalah wiridan puji dina, tawasulan, marhabanan, yakni berdzikir dan berdo’a guna mencari ridho Allah.

Tawasulan adalah salah satu produk ajaran tarekat as-Syahadatain berupa acara ritual rutin yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul setiap malam Minggu. Acara tersebut adalah bentuk riyadhoh bathin bagi pengikutnya sebagai wujud ketaatan terhadap ajaran tarekat dan refleksi loyalitas kepada guru Mursyid. Kegiatan ini memberikan ruang bagi pembentukan mental dan kepribadian remaja dan masyarakat secara umum dan menempatkan kodratnya sebagai manusia yang memiliki kecenderungan untuk selalu berbuat baik kepada sesama.

Komitmen terhadap pengamalan ajaran agama serta memperbanyak amal dzikir, melakukan mujahadah dan riyadhoh dipandang oleh sebagian


(12)

orang mampu membentengi diri dari kecemasan dan kebutuhan hidup, atau dapat membentuk mental dan moral yang sehat.

Muhasabah, mujahadah, dan riyadhoh serta pengendalian nafsu yang merupakan awal permulaan seseorang memasuki dunia tasawuf, merupakan sesuatu yang berharga bagi peningkatan dan pembinaan moralitas, harkat kemanusiaan dan jiwa ketuhanan seseorang.12

Pondok Pesantren Nuruh Huda Munjul dalam tujuan pendidikannya selain pada pengajaran kitab kuning sebagai dasar untuk memperdalam memahami ilmu-ilmu agama, lebih fokus lagi menitikberatkan pada penggalian aspek- aspek spiritualitas pada diri santri untuk membentuk dan menciptakan pribadi- pribadi yang bermental kuat dan handal dalam menghadapi situasi dan pergesekan budaya apapun. Menggali kecerdasan spiritual dan memunculkan kesalehan sosial melalui riyadhoh spiritual yakni puji dina, tawasulan, dan marhabanan. Bahkan kegiatan- kegiatan ritual yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul bukan hanya diikuti oleh para santri saja, masyarakat sekitar pun semakin banyak yang mengikutinya dari berbagai kalangan.

Sementara itu, fenomena ketertarikan masyarakat terhadap kegiatan tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul semakin direspon positif. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya santri dan

12Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, ( Jakarta: Rasa Grafindo Persada, 1997 ), hlm. 36.


(13)

masyarakat sekitar yang mengikuti kegiatan tawasulan tersebut. Kepatuhan dan ketundukan terhadap tuntunan ajaran tareqat dan figur seorang Guru Mursyid yang menjadi panutan tercermin dalam pola hidup yang dijalani santri dan masyarakat yang ada di sekitar wilayah pondok. Kehidupan masyarakat dan santri yang sinergis, tenteram, aman, dan rukun menjadi warna tersendiri bagi masyarakat dan santri yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Cirebon.

Fenomena psiko-sosial yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul adalah fenomena yang unik dan menarik untuk diteliti menurut penulis, di tengah- tengah kehidupan yang serba glamour dan materialistis hedonis seperti saat ini, ternyata masih ada masyarakat yang mampu menjaga nilai- nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari- hari. Kondisi masyarakat yang tenteram, aman, dan Islami dapat terwujud melalui pembinaan mental dan moral dengan menjaga dan melestarikan tradisi tawasulan sebagai medianya. Pondok Pesantren di harapkan bisa menjadi benteng terakhir untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan umat manusia, ketika teknologi tidak lagi mampu memberikan jalan keluar yang terbaik.

Terapi religi dalam amalan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul melalui media Tawasulan membuka dialog antara situasi dunia yang telah maju dalam teknologi dalam semua unsure kehidupan manusia dengan kondisi riil ketidak mampuan manusia menghindari keterbatasan, dengan


(14)

memberikan alternative problem solving kepada masyarakat, ketika pendekatan teknologi secara empiris mengalami titik klimaks. Sehingga ralitas tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi sulit, manusia sangat membutuhkan kehadiran agama untuk memberikan solusi dan jawaban intuitif yang ditunggu sebagai juru selamat bagi seluruh manusia.

Tradisi Tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul diharapkan mampu menjadi salah satu Metode atau Psikoteraphy dalam pembinaan mental para santri dan masyarakat agar lebih siap menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bahwa Tradisi Tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul sebagai Metode Pembinaan Mental yang bermuara pada terbentuknya kekuatan ruhani ( spiritual ), harus tetap dijaga dan lestari sepanjang masa. Sebab,Tawasulan pada dasarnya bertujuan menjadikan manusia agar bisa mendekatkan diri pada Tuhannya, mendapat ridho dari Alloh, ma’rifat dan dicintai oleh Allah swt.

Untuk mengetahui lebih jauh, penulis akan melakukan penelitian lebih dalam mengenai bagaimanakah prosesi Tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul?, dan sejauh manakah implikasi psikologis tradisi tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul terhadap para santri dan masyarakat yang ada di sekitar Pondok?.


(15)

B. Rumusan Masalah

Untuk membatasi pembahasan dalam penelitian agar tidak melebar dari inti masalah, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana prosesi tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul?

2. Mengapa para santri mengikuti kegiatan tawasulan, apa tujuannya? 3. Bagaimana implikasi psikologis tradisi tawasulan terhadap para santri

dan masyarakat di pondok Pesantren Nurul Huda Munjul?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis ini diharapkan memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Proses tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul.

2. Untuk mengetahui tujuan para santri mengikuti tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul.

3. Untuk mengetahui efek psikologis kegiatan tawasulan terhadap para santri dan masyarakat yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul.


(16)

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pesantren Nurul Huda Munjul tentang pentingnya pendidikan mental spiritual.

2. Menambah wacana keilmuan dunia spiritual dan dunia pendidikan pesantren.

3. Memberikan kontribusi pemikiran di dunia ilmu psikologi pendidikan Islam.

E. Batasan masalah

Agar penelitian ini tidak terlalu meluas dan melebar, maka perlu dilakukan pembatasan masalah. Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Tradisi Tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul, praktek, dan prosesinya.

2. Motif dan tujuan para santri dan masyarakat mengikuti kegiatan Tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul.

3. Dimensi dan implikasi tradisi Tawasulan terhadap para santri dan masyarakat yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul.


(17)

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Tarekat secara umum sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Hal ini ditandai dengan banyaknya sejumlah karya ilmiah yang ada khasanah referensi pustaka bacaan.

Tarekat sebagai jalan tasawuf/sufisme merupakan salah satu tema kajian keislaman yang semakin menarik para pengamat. Hal ini karena keberadaannya telah menimbulkan kontroversi banyak kalangan, ada yang menyambut positif karena bagi mereka tarekat merupakan salah satu pilar dalam proses keberlangsungan dan perubahan peradaban Islam. Walaupun anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun pandangan semacam itu agaknya cukup dominan, baik dikalangan pemikir non muslim maupun pemikir muslim sendiri. Sedangkan, kalangan yang menyambut negatif atas tarekat dengan argumentasi bahwa orang yang terjun dalam dunia tarekat adalah orang yang mementingkan kehidupan akhirat saja tanpa memperdulikan kehidupan di dunia.

Penelitian yang dilakukan oleh saudara Sulistiana mengenai keberadaan Tarekat Naqsabandiyah sebagai salah-satu tarekat mu’tabaroh yang ada di Indonesia. Penelitiannnya berfokus pada materi mengenai pertumbuhan dan perkembangan Tarekat Naqsabandiyah Haqqani dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di Jakarta, lebih tepat penelitiannya mengangkat tema “ Berdiri dan berkembangnya tarekat Naqsyabandi Haqqani di Jakarta”, penelitian ini studi kasus keberadaan


(18)

tarekat Naqsyabandiah dan menelisik lebih dalam tentang aspek kesejarahannya dari awal hingga kini.

Penelitian mengenai tarekat banyak di teliti karena selain dianggap menarik untuk dikaji juga materinya berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia secara langsung, terutama kebutuhan ruhani. Beberapa penelitian ilmiah misalnya yang dilakukan Martin Van Bruinessen tentang Tarekat Naksabandiyah di Indonesia juga menguraikan dalam satu bab perkembangan tarekat Naqsabandiyah dan sedikit tentang bentuk ritualnya. Demikian juga dalam hasil penelitian Zamakhsari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, menyinggung sedikit tentang perkembangan tarekat ini. Nur Cholis Madjid dalam bukunya Islam Agama Peradaban membahas Tarekat ini dalam kaitannya untuk menjelaskan bahwa keberadaan tarekat sebenarnya merupakan bentuk kelembagaan praktek dan gerakan kesufian. Kemudian tarekat ini diangkat sebagai contoh kongkrit ijtihad dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui teknik- teknik dalam riyadah, sebagai informasi atas pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap keberadaan madzhab- madzhab dalam tasawuf/ tarekat.

Di luar penelitian yang penulis lakukan, ternyata ada beberapa karya lain yang nampaknya memiliki fokus kajian hampir serupa, antara lain :

“Tarekat dan upaya pencapaian ketenangan jiwa (Analisis Terhadap Pemikiran Hamka tentang Tarekat)” yang di teliti oleh Lilik


(19)

Supriyanto pada tahun 2003. Penelitian menyimpulkan bahwa tarekat merupkan suatu jalan tasawuf untuk mencapai ketenangan jiwa, dan bagi Hamka, jalan tasawuf yang benar adalah jalan yang mempunyai semangat berjuang, yaitu semangat yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi, dalam arti kegiatan yang dapat mendukung pemberdayaan umat Islam agar kemiskinan ekonomi, kemiskinan ilmu pengetahuan, kemiskinan budaya serta kemiskinan politik ; bukan jalan yang justru membelakangi dunia atau eskapisme. Ketenangan jiwa dalam pandangan Hamka adalah jiwa yang memusatkan diri agar kita selalu ingat kepada Tuhan. Hati akan merasakan ketenteraman setelah manusia mempunyai pusat dan tujuan ingatan yaitu Allah SWT dan sikap itu akan termanifestasi dalam setiap gerak-gerik dan tingkah lakunya.

Selanjutnya adalah “Bimbingan Agama Dalam Upaya Memberantas Kemungkaran di Gubug Kabupaten Grobogan” oleh Solikin pada tahun 1997. karya ini menjelaskan bahwa upaya dalam memberantas kemungkaran yaitu dengan melakukan bimbingan agama dalam bentuk pengajian-pengajian seperti pengajian mingguan, hari-hari besar dan selapanan.

Berikutnya adalah “Konsep Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat menurut Pemikiran Hanna Djumhana Bastman” yang diteliti oleh Sulimin Trubus pada tahun 2000. Dalam karya tersebut dinyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan yang dimaksud adalah masyarakat muslim


(20)

(Islam) dimana satu sama lain sarat dengan kasih sayang dan toleransi yang luas, punya sikap tegas dan punya dedikasi perjuangan yang tinggi. Selanjutnya adalah “Bimbingan Penyuluhan Agama Terhadap Karang Taruna Di Kecamatan Tanon Kabupaten Sragen” oleh Sukimi pada tahun 1994. Penelitian ini menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan agama adalah bertujuan untuk membantu si terbimbing supaya memiliki religius referens (sumber pegangan keagamaan) dalam pemecahan problem, untuk membantu si terbimbing agar dengan kesadaran serta kemampuannya bersedia mengamalkan ajaran agama. Berikutnya adalah “Bimbingan dan Konseling dalam Islam” karya Aunur Rahim Faqih. Dia menyatakan bahwa bimbingan Islam merupakan proses pemberian bantuan; artinya bimbingan tidak menentu atau mengharuskan, melainkan sekedar membantu individu.Individu dibantu dan dibimbing agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Artinya bahwa:

1. Hidup selaras dengan ketentuan Allah berarti sesuai dengan kodrat yang ditentukan Allah, sesuai dengan Sunnatullah dan sesuai dengan hakekatnya sebagai mahluk Allah.

2. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah melalui Rasulnya (ajaran Islam).


(21)

3. Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti menyadari eksistensi diri sebagai mahluk Allah yang diciptakan Allah untuk mengabdi kepadaNya, mengabdi dalam arti seluas-luasnya.

Berikutnya adalah Menggugat Tasawuf, Karya Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA., tasawuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang secara keilmuan lahir dikemudian hari melalui proses yang panjang dengan dinamikanya sendiri, kelahirannya sebagai perwujudan dari pemahaman al-Qur©an dan al-Hadits sesuai dengan konteks zamannya, ada tiga ajaran pokok tasawuf, yaitu tentang Tuhan, manusia dan dunia. Ketiga-tiganya mempunyai hubungan yang sistematik. Tuhan itu rohani dan Maha Suci oleh karena itu yang dapat mendekati dan mengenalnya ialah ruh atau intuisi manusia yang suci dari hal-hal yang mengotorinya yaitu dunia. Dengan demikian diperlukan upaya pembersihan diri dengan mujahadah dan riyadhah.

Beradasarkan beberapa karya tersebut, lain dengan penelitian yang penulis kaji baik obyek serta tempat penelitian “Bimbingan Rohani Tarekat Asy-Syahadatain pada Masyarakat Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus”. Adapun yang akan penulis bahas dalam tesis ini adalah Tarekat Sebagai Media Pembinaal Mental (Studi analisis terhadap tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Crebon.

Penelitian dalam rangka Disertasi untuk gelar Doktor pernah dilakukan oleh Kharisudin Aqib, Tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah


(22)

Suryalaya: Studi tentang Tazkiyatun Nafsi sebagai metode penyadaran diri. Penulisan tesis misalnya Qowait, tarekat dan politik kasus tarekat qodariyah wa naqsabandiyah di desa Mranggen Demak Jawa Tengah. Kharisudin, Tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah studi tentang ajaran dan teori- teori filsafatnya.

Penulisan skripsi misalnya Achmad Fauzan, Peranan Tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah dalam pembentukan pribadi muslim. M. Magrus, studi tentang Peranan Tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah dalam meningkatkan aqidah para pengikutnya di desa sukomulyo Lamongan. Beberapa penulisan tersebut kajian dan penelitiannya tidak sama baik dari sisi pandang maupun pembahasannya.

Beradasarkan beberapa karya tersebut, lain dengan penelitian yang penulis kaji baik obyek serta tempat penelitian “Bimbingan Rohani Tarekat Asy-Syahadatain pada Masyarakat Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus”. Adapun yang akan penulis bahas dalam tesis ini adalah Tarekat Sebagai Media Pembinaal Mental (Studi analisis terhadap tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Crebon.

Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa penelitian yang relevan tersebut dapat dinyatakan bahwa topik pembahasan yang akan diangkat dalam penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya. Untuk itu dirasa perlu untuk menambah hasanah dalam bidang tasawuf dan dalam ilmu jiwa agama/ psikologi Islam.


(23)

G. Kerangka Teori

Perilaku beragama seseorang sangat erat kaitannya dengan aspek psikologis. Ada 3 (tiga) teori psikologis yang dapat menjelaskan bagaimana perilaku beragama seseorang bisa muncul.13 Teori pertama adalah teori sifat dasar, yang beranggapan bahwa keberagamaan seseorang karena ada naluri atau insting keberagamaan yang dibawa manusia sejak lahir. Teori sifat dasar ini dapat bersifat biologis maupun psikologis. Teori kedua adalah teori kognitif, yang melihat kebutuhan kognitif yang menjadi dasar keberagamaan seseorang. Disebutkan bahwa agama muncul sebagai akibat yang normal dan natural dari proses perkembangan kognitif. Agama mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul berkaitan dengan masalah keterbatasan manusia, karena pikiran manusia mampu melewati batas-batas situasi. Teori ketiga adalah teori emosi, yang menganggap kehidupan di dunia ini penuh dengan persoalan dan kesedihan. Ketidakpastian masa depan yang menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran itulah yang menjadi dasar kehidupan spiritual dalam teori emosi.

Kebutuhan makhluk akan Khalik, sama sekali tidak bisa dihindarkan. Makhluk sebagai ciptaan, bagaimanapun sangat tergantung kepada Sang Pencipta (Khalik). Rasa ketergantungan ini muncul pada

13 M. A. Subandi, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2013), hlm. 41.


(24)

makhluk, karena memang potensi tersebut sudah ada dalam diri setiap makhluk. Pada benda-benda mati potensi ini disebut watak (al-thabi’ah) yang menunjukkan ciri khas atau karakteristik makhluk itu masing-masing. Pada hewan disebut naluri (al-gharizah), sedangkan pada manusia adalah fitrah.

Hubungan manusia dan agama merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur.14 Manakala dalam menjalankan kehidupannya, manusia menyimpang dari nilai-nilai fitrah-nya, maka secara psikologis ia akan merasa adanya semacam “hukuman moral”. Lalu spontan akan muncul rasa bersalah atau rasa berdosa.

Secara garis besar, dalam Tarekat terdapat tiga tujuan yang masing-masing melahirkan tatacara dan jenis-jenis amalan kesufian.15 Ketiga tujuan pokok tersebut adalah: Pertama,Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) yaitu satu proses penyucian jiwa yang akan menghasilkan ketenteraman, ketenangan dan rasa dekat dengan Allah swt, dengan menyucikan hati dari segala kekotoran dan penyakit hati atau penyakit jiwa. Dengan bersihnya

14 Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami perilaku dengan mengaplikasikan

prinsip-prinsip psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 159.

15 M. Sholeh Bahruddin, Sabilus Salikin (Jalan Para Salik): Ensiklopedi


(25)

jiwa dari berbagai macam penyakit, akan secara langsung menjadikan seseorang dekat kepada Allah swt.

Kedua, Taqarrub (Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT). Taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT merupakan tujuan utama para sufi dan ahli tarekat. Ini diupayakan dengan beberapa cara yang tersendiri. Salah satu caranya dengan selalu mengingat Allah (zikir) secara terus-menerus, sehingga tidak sedetik pun seorang salik itu lupa kepada Allah SWT. Diantara cara yang biasanya dilakukan oleh para pengikut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih berkesan ialah:Tawasul & Wasilah.Tawasul adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah yang biasa dilakukan pengikut tarekat dengan cara menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada Syeikh yang memiliki silsilah tarekat yang diikutinya sejak Nabi Muhammad SAW sampai kepada Mursyid yang mengajar zikir kepadanya.

Ketiga, Muraqabah (Pengawasan). Muraqabah ialah duduk bertafakkur atau mengheningkan perbuatan dengan penuh kesungguhan hati, dengan seolah- olah berhadapan dengan Allah, meyakinkan diri bahawa Allah senantiasa mengawasi dan memerhatikannya. Sehingga dengan latihan Muraqabah ini, seorang salik akan memiliki nilai Ihsan yang baik, dan akan dapat merasakan kehadiran Allah di mana saja dan pada setiap masa.


(26)

Tawasulan dilakukan ketika seseorang merasa dirinya tidak bisa berdoa dengan baik, atau merasa doanya tidak didengar oleh Allah (padahal Allah itu Maha Mendengar doa-doa), atau merasa dirinya kotor sehingga membutuhkan orang-orang yang dianggap bersih untuk menyampaikan permohonan kepada Allah. Intinya, rasa tidak percaya diri dengan keadaan diri sendiri, sehingga membutuhkan pihak tertentu untuk memanjatkan doa. Atau bisa jadi karena kondisi yang sedemikian pelik, sehingga membutuhkan cara-cara khusus untuk mendatangkan pertolongan Allah.

Tawasulan biasanya dilakukan dengan memanjatkan doa dengan menyebut nama-nama wali tertentu , atau tawasul dengan nama dan kedudukan Nabi Muhammad shallallah ‘alaihi wa sallam, atau tawasul dengan kedudukan orang-orang shalih, dan sebagainya. Tawasul juga ada yang melakukannya dengan perantara kuburan wali-wali, dengan tempat-tempat keramat, benda tertentu, dan lainnya. Juga ada tawasul dengan meminta doa dari orang lain, membaca Al Fatihah, membaca shalawat, dengan menyebut amal shalih, dan sebagainya.

Maksud hakiki dari tawasul adalah Allah swt. sedangkan sesuatu yang dijadikan sebagai perantara hanyalah berfungsi sebagai pengantar dan atau mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. artinya tawassul merupakan salah satu cara atau jalan berdo’a dan merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu menghadap Allah swt.


(27)

Dalam memahami hakikat tawasul, terdapat beberapa pendapat yang mengharamkan tawasul dengan alasan tawasul tersebut identik dengan memohon pertolongan kepada selain Allah, dan hal ini dihukumi musyrik. Namun mereka tidak menyalahkan orang yang bertawassul dengan amal shalih. Orang yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an, berarti dia bertawasul dengan puasanya, shalatnya, dan bacaan al-Qur’annya untuk mendapatkan ridho Allah.

Bahkan tawasul dimaksud lebih memberi optimisme untuk diterima dan tercapainya tujuan. Dalam hal ini tidak ada perselisihan sedikitpun. Dalilnya adalah hadits mengenai tiga orang yang terkurung dalam gua. Orang pertama bertawasul dengan baktinya kepada orangtua, orang kedua bertawasul dengan sikapnya menjauhi perilaku keji, dan orang ketiga bertawasul dengan kejujurannya dalam memelihara harta orang lain. Maka Allah swt kemudian berkenan melapangkan kesulitan yang sedang mereka alami.

Tawasulan sebagai salah satu ritual keagamaan yang bernilai ibadah semestinya dimaknai dengan pemahaman sebagai berikut:

Pertama, secara intrinsik Tawasulan bisa menjadi media untuk membangun rasa pengabdian atau penghambaan diri kepada Allah. Sebagai pernyataan penghambaan kepada Tuhan, Tawasulan juga mengandung arti pengagungan, kepatuhan, dan ketundukan serta pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan. Melalui Tawasulan seorang


(28)

Mu’min akan mengalami penghampiran spiritual dengan pencipta-Nya. Pengalaman keruhanian seperti ini merupakan inti sari keberagamaan atau religiusitas, yang dalam pandangan mistis, seperti pada kalangan sufi, memiliki tingkat keabsahan yang sangat tinggi.

Namun demikian, sebagai bentuk penghambaan, dalam pengertian yang luas, Tawasulan sebagai sebuah ritual ibadah harus mampu diaplikasikan maknanya mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup ini, termasuk kegiatan-kegiatan duniawi sehari-hari, dengan syarat kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian kepada Allah. Inilah maksud firman Allah bahwa manusia (dan jin) diciptakan hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Mengabdi berarti memfungsikan hidup sepenuhnya untuk menunaikan tugas dan tujuan hidupnya, sebagai hamba yang wajib mengabdi kepada pencipta-Nya. Tanpa penunaian tugas dan tujuan hidup ini, keberadaan manusia menjadi absurd.

Kedua, di samping makna intrinsiknya, ibadah juga mengandung makna instrumental. Maksudnya, kebiasaan berdoa dan berdzikir dengan media Tawasulan bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok kearah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku etis, moral. Melalui Tawasulan, seorang yang beriman membina dan menumpuk kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya dalam mewujudkan kehidupan bersama


(29)

yang bermartabat, sejahtera, damai, tentram, dan aman. Akar kesadaran ini adalah keinsafan bahwa segala perbuatan dan tingkah lakunya di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dalam proses pengadilan yang seadil-adilnya.

Jadi, efek terpenting ritual tawasulan selain memperkukuh komitmen pribadi juga membawa berkah sosial yang luas. Bahkan ditegaskan dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, ritual Ibadah (tawasulan) yang tidak menumbuhkan kepekaan, kepedulian, keinsafan, atau solideritas sosial bukan saja sia-sia dan tidak membawa keselamatan bagi pelakunya, malahan juga dikutuk oleh Tuhan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Deskriptif adalah metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas pristiwa pada masa sekarang, bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.16

Sedangkan pendekatan fenemonologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam


(30)

situasi tertentu.17 Dalam penelitian ini akan digambarkan sekelompok orang/anak yang berstatus sebagai santri/anggota Tarekat, secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,sifat-sifat kegiatan, dan peristiwa yang berkaitan dengan kegiatan spiritual tawasulan

Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan metode penelitian ini : 1. Sumber Data

Sumber data diperoleh dari sejumlah literatur yang berkaitan dengan topik pembahasan dan hasil penelitian yang relevan serta diperoleh daripenelitian lapangan, diantaranya dari pimpinan pondok pesantren Nurul Huda Munjul, para ustadz,para santri dan jama’ah tawasulan.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan secara langsung dilapangan,diantara teknik- teknik pengumpulan data adalah; a. Observasi atau Pengamatan

Usaha pengamatan atau Observassi yang cermat dapat di anggap merupakan salah satu cara penelitian ilmiah yang paling sesuai bagi para ilmuan dalam bidang ilmu-ilmu sosial.18

17Lexi, J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 ), hlm. 9.

18Harsya, W. Bachtiar dan Kuntjara Ningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta: Gramedia, 1979 ), hlm. 136.


(31)

Oleh karena itu maka salah satu cara atau metode dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan cara observasi atau pengamatan yaitu mengamati gejala, peristiwa, fenomena dari kegiatan-kegiatan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul termasuk kegiatan tradisi Tawasulan. Bahan untuk mendapatkan data yang lebih meyakinkan observasi ini menggunakan pengamatan terlibat, artinya peneliti secara langsung mengikuti proses kegiatan Tawasulan.

b. Wawancara

Metode Wawancara atau metode interview mencakup cara yang digunakan oleh seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau penjelasan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap, berhadapan muka dengan orang itu.19

Dalam penelitian ini wawancara diperlukan untuk mendapatkan data dari pimpinan pengasuh pondok, Ustadz, Santri

dan jama’ah tawasulan. Teknik Wawancara yang sebelumnya

sudah disiapkan daftar pertanyaan secara tertulis.

19Kuntjoro Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta: Gramedia, 1979 ), hlm. 162.


(32)

c. Dokumentasi

Dokumentasi dipakai untuk membantu penelitian memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, mempertajam dan memperluas pengalaman. Dokumentasi yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan di pondok Pesantren Nurul Huda Munjul dikumpulkan, dipelajari sebagai sumber penelitian.

d. Angket

Angket atau yang disebut kuisioner merupakan metode pengumpulan data dengan cara menyusun daftar pertanyaan secara tertulis. Dalam penelitian ini angket disebarkan kepada para santri dan jama’ah untuk mengetahui data-data yang lebih mendetail. 3. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan metode deskriptif eksploratif deskriptif. Dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh unsur yang ada pada tradisi Tawasulan. Sedang eksploratif dimaksudkan untuk mencari alasan/faktor yang berkaitan dengan kontribusi Tawasulan yang dirasakan oleh para santri yang selanjutnya akan digabungkan dengan keadaan dalam jiwa para santri.


(33)

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini maka secara sistematis pembahasan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut: BAB l PENDAHULUAN

Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan.

BAB II KAJIAN TEORITIK

Membahas tentang konsep tarekat, pengertian tarekat, dasar hukum tarekat, tujuan dan ajaran tarekat, tawasul, pengertian tawasul, dasar hukum tawasul, maksud dan tujuan tawasul, praktek prosesi tawasulan di Indonesia, pembinaan mental, pengertian mental, dasar dan tujuan pembinaan mental, indikasi mental yang sehat dalam lslam.

BAB lll LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Membahas tentang gambaran umum pondok pesantren Nurul Huda Munjul, Sejarah berdirinya, keadaan pengurus, tenaga kependidikan dan sarana prasarana pondok pesantren Nurul Huda Munjul, program pesantren Nurul Huda dalam pembinaan, akhlak dan mental santri.

Selain itu, dalam bab ini juga membahas tentang tarekat Asy- Syahadatain di pondok pesantren Nurul Huda Munjul, sejarah munculnya tarekat Asy- syahadatain, ajaran tarekat Asy- syahadatain, kekhasan ajaran tarekat Asy- syahadatain, ritual dzikir dan do’a setelah sholat dalam tarekat


(34)

Asy- syahadatain, tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul, sejarah perkembangan tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul pelaksanaan tawasulan, dimensi lmplikasi tradisi tawasulan di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul, implikasi tawasulan terhadap para santri, implikasi tawasulan terhadap masyarakat .

BAB IV PENUTUP


(35)

KAJIAN TEORITIK A. Konsep Tarekat

1. Pengertian Tarekat

Kata tarekat berasal dari bahasa arab “thariqah” yang secara harfiyah berarti jalan semakna dengan kata syari’ah, sirat,sabil dan minhaj.20 Tarekat berasal dari kata bahasa Arab Thariqat yang artinya

jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu, seperti dalam firman Allah Q.S.; 72; 16 :

َ

َ

َ

َ

َ

ل

َ و

َ

َ

س

َ ت

َ

َ م

َ و

َ عَ

َ

َ طل َ

َ

َ ي

َ

َ

َ

َ

ل

َ

س

َ

َ ي

َ

َ

َ م

َ

ًق غًَء م

َ

(

َ

َ ن ل

َ:

٦

)

َ

artinya: “ Dan bahwasannya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu ( Agama Islam ), benar- benar Kami akan memberi

minum kepada mereka air yang segar ( rizki yang banyak )”.21

Dari segi bahasa, thariqat atau ada yang menyebut tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan atau petunjuk jalan atau cara, metode, sistem (al-uslub), mazhab, aliran, keadaan (al-halah), tiang tempat

20Asep Usman Ismail, Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, ( Jakarta: PT. Iktiar Baru Van Hoeve, ttp ),hlm. 316.

21

Mushaf An- Nahdlah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Jakarta: Hati Emas, 2014 ), hlm. 573.


(36)

disebutkan bahwa thariqat adalah suatu jalan, keadaan, atau petunjuk agar sampai pada suatu tujuan yaitu pada Allah SWT.

Yang di maksud jalan disini adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ( Taqarrabun Ilallah ), berupa suatu perbuatan yang ditentukan dan dicontohkan Rasulullah, dikerjakan oleh para tabi’in kemudian diteruskan secara turun temurun sampai kepada guru tarekat.23 Agar dapat mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Suci, ruh manusia harus lebih dahulu disucikan. Sufi- sufi besar kemudian merintis jalan tersebut sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama tarekat ( jalan ).

Jalan dalam tarekat itu antara lain terus menerus berada dalam naungan zikir atau ingat selalu kepada Tuhan dan terus menerus menghindsrksn diri dari dari sesuatu yang melupakan Tuhan.24 Dengan demikian kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tarekat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang di dalamnya memuat amalan- amalan ibadah yang dapat mempertemukan seorang hamba dengan Tuhannya dengan menyebut nama Allah serta sifat- sifatnya yang disertai dengan penghayatan yang mendalam. Amalan

22Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tareqat: Kajian Historis Tentang Mistik, ( Solo: Ramadhani, 1993 ), hlm. 67.

23Budi Munawar Rahman dan Asep Usman Ismail, Cinta di Tempat Matahari Terbit, ( Ulumul Qur’an No 8 Vol. 2 , 1991 ), hlm. 100.


(37)

dengan Tuhan.25

Pengertian tarekat menurut pandangnan ulama Mutoohawwifin ialah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta tabi’it tabi’in dan terus bersambung hingga kepada para guru-guru, ulama, kiai-kiai secara bersambung hingga sekarang ini.26

Dalam tasawuf istilah tarekat ialah jalan menuju Allah SWT guna mendapatkan ridho-Nya.27 Istilah tarekat dalam tasawuf sering dihubungkan dengan dua istilah lain yakni, syariat, hakikat, dan ma’rifat. Istilah-istilah tarekat dipakai untuk menggambarkan peringkat penghayatan keagamaan muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal disebut syari’at, peringkat kedua disebut tarekat, ketiga hakekat dan keempat makrifat. Yang dimaksud dengan syariat adalah jalan utama yang mengandung peraturan keagamaan yang bersifat umum dan formal. Adapun tarekat merupakan jalan yang lebih sempit, yang terdapat dalam jalan umum syariat. Tarekat mengandung peraturan yang lebih khusus

25Abudin Nata, Akhlak Tasawuf , hlm. 271.

26Moh. Saifullah Al-Azis Senali, Tasawuf Dan Jalan Hidup Para Wali, ( Gresik: Putra Pelajar, 2000 ), hlm. 32.


(38)

keagamaan yang lebih tinggi.

Pengamalan syariat merupakan jenis penghayatan eksoterik, sedangkan tarekat merupakan jenis penghayatan keagamaan esoteris. Adapun hakekat secara harfiah berarti kebenaran, tetapi yang dimaksud dengan hakekat di sini ialah pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan yang dimulai dengan pengamalan syariat dan tarekat secara seimbang. Sedangkan makrifat adalah pembelajaran yang terakhir sehingga orang yang telah mencapai tingkat makrifat ini disebut dengan arif dalam bidang ilmu-ilmu ajaran islam. Makna makrifat adalah pengenalan dengan sesuatu dan ajaran merupakan ujung segala perjalanan dari ilmu pengetahuan.28

Di samping itu tarekat juga dapat berarti cara atau metode. Tarekat dipandang sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amalan yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in, lalu secara sambung menyambung diteruskan oleh guru-guru tarekat. Transmisi rohaniah dari seorang guru tarekat kepada guru tarekat yang berikutnyadengan istilah silsilah tarekat. Guru tarekat itu sendiri biasa dipanggil “Mursyid” (pembimbing spiritual). Kata tarekat kemudian

28Moh. Siddiq, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf, ( Surabaya: Putra Pelajar, 2001 ), hlm.10.


(39)

ditempuh olehseorang sufi’ dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selanjutnya istilah itu digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologis yang dilakukan oleh seorang guru (mursyid) kepada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam. melalui metode psikilogis itu murid dilatih mengamalkan syariat dan latihan-latihan kerohanian secara ketat sehingga ia mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan. 2. Dasar Hukum Tarekat

Dalam pembahasan masalah dasar hukum tarekat ini sebenarnya dapat dilihat melalui beberapa segi yang terdapat dalam tarekat itu sendiri, sehingga dari seni akan dapat diketahui secara jelas tentang kedudukan hukumnya dalam islam. Disamping itu juga untuk menghindari adanya penilaian negatif terhadap tarekat yang selama ini tumbuh dengan pesat dan diamalkan oleh masyarakat di Indonesia. Menurut penyelidikan para ulama ahli tarekat, dasar hukum tarekat dapat dilihat dari beberapa segi:

Pertama: segi eksistensi amalan tarekat yang bertujuan hendak mencapai pelaksanaan syariat secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma-norma yang dikehendaki Allah dan Rasul. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al- Jin, ayat 16.


(40)

(ajaran Islam) benar-benar kami akan memberikan minum kepada mereka air yang segar (rejeki yang berlimpah).29

Menurut tinjauan para ulama tarekat, ayat di atas secara formal (bunyi lafalnya) maupun material (isi yang terkandung di dalamnya) adalah merupakan tempat sumber hukum diijinkannya pelaksanaan amalan-amalan tarekat. Karena dengan mengamalkan tarekat akan dapat diperoleh tujuan pelaksanaan syariat Islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT danRasulullah SAW.

Kedua: dari segi materi pokok amalan tarekat yang berupa wirid dzikrullah, yang dilakukan secara terus-menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firmanAllah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 41-42.

َ ي

َ

َ ي

َ

ل

َ

َ ي

َ ن

َ

َ م

َ

َ و

َ

َ ك

َ

َ ه ل

َ

َ

َ

ك

َ ـ

ًَ

َ

َ ك

َ ث

َ ي

ًَ

َ

َ

َ

س

َ

َ ح

َ و

َ

َ

َ ب

َ

َ

ًَ

َ

َ

َ

َ ص

ًَلي

.

hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”30

Jika kita melihat ayat ini, maka jelaslah bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk tetap senantiasa berdzikir dan bertasbih dengan menyebut nama Allah, baik dilakukan pada waktu pagi atau petang, siang atau malam. Jadi amalan dzikir

29Mushaf An- Nahdlah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 985. 30Mushaf An- Nahdlah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 674.


(41)

bersifat mutlak. Dalam arti bahwa syariat dzikir bentuk asal hukumnya masih global. Disini maka para ulama tarekat membuat amalan dzikrullah dengan syarat dan rukun-rukun tertentu serta bentuknya yang bermacam-macam misal tentang waktunya, jumlahnya, cara membaca dan sebagainya.

Ketiga: dari segi sarana pokok yang hendak dicapai dalam mengamalkan Tarekat, yakni terwujudnya rasa menyatu antara hamba dengan Allah karena ketekunan dan keikhlasan dalam menjalankan syariat Allah secara utuh dan terasa indah oleh pantulan sinar cahaya Allah. Sebagaimana diterangkan di dalam hadis Nabi SAW:

َ ع

َ ن

َ

َ

َ ب

َ ي

َ

َ ه

َ

َ ي

َ

َ

َ

َ ق

َ

َ

َ ك

َ

َ

َ ل

َ

َ

ي

َ

َ ص

َ

َ

َ ه ل

َ

َ ع

َ

َ ي

َ ه

َ

َ

َ

س

َ

َ م

َ

َ ب

َ

ًَ

َ يَ

َ و

ًَم

َ

َ ل

َ

َ

س

َ

َ ف

َ

َ ت

َ

َ

َ

َ ج

َ ل

َ

َ ف

َ

َ

:

َ

َ م

َ َ

َ ل

َ ي

َ

َ

َ قَ ؟

َ

َ َ :

َ ل

َ ي

َ

َ

َ

َ

َ

َ

َ ت

َ

َ م

َ ن

َ

َ ب

َ ه ل

َ

َ

َ م

َ ل

َ ئ

َ

َ ت

َ ه

َ

َ ه ئ ب

َ

َ ه ل و س ب

َ

َ

ث ع

ل بَ ن م ت

...

َ

)م م َ

ل َ

(

َ

َ

َ Dari Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari tiba-tiba ada seorang laki-laki (Jibril) datang kepadanya seraya berkata: apakah iman itu? Nabi menjawab: Iman ialah


(42)

3. Percaya akan bertemu Allah dihari kiamat 4. Percaya terhadap para Rasul-Nya

5. Percaya kepada adanya hari kebangkitan31

Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi kepada Nabi. Apakah Islam itu? Jawab Nabi: Islam ialah menyembah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya, mengerjakan shalat fardhu, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, kemudian laki-laki itu bertanya lagi kepada Nabi: Apakah Ihsan itu? Jawab Nabi: Ihsan ialah keadaan engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat engkau. (H.R. Bukhari).32

Dalam hadis ini dapat dipahami adanya beberapa pengertian bahwa kehidupan beragama dalam jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat mengumpulkan tiga faktor pokok yang sangat menentukan yaitu: Iman, Islam, dan Ihsan. Masing-masing dapat dicapai dengan mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan tentang masalahnya.

Para ulama mempunyai pendirian yang sama bahwa faktor iman dapat dipelajari lewat ilmu yang dinamakan Ushuluddin atau ilmu kalam atau ilmu tauhid. Sedang Islam dapat dipelajari lewat ilmu fiqih atau

31Imam Abi al-Husain bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisabury, Sohih Muslim, Juz 1 (Kairo: Daar al-Fikr, 2007), hlm. 28.


(43)

dengan ihsan dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan ilmu tasawuf atau ilmu Tarekat.

Iman, Islam, dan Ihsan ketiganya berkaitan erat dalam mencapai sasaran pokok, yaitu mengenal Allah untuk diyakini. Hal ini menuntut terwujudnya sikap perilaku dan perbuatannya dalam hidup, sebagai bukti kepatuhan melaksanakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang dengan penuh keikhlasan karena Allah semata disertai penuh rasa cinta terhadap-Nya. Ketika keadaan ini sudah mencapai puncaknya maka akan tercapailah hakekat tujuan hidup yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sendiri lewat syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW33.

3. Tujuan dan Ajaran Tarekat

Secara singkat tujuan tarekat adalah mempertebal iman pengikut-pengikutnya sedemikian rupa sehingga timbul perasaann tidak ada yang lebih indah dan dicintai selain Allah, dan kecintaan tersebut melupakan dirinya kepada dunia ini seluruhnya. Dalam perjalanan ke arah tujuannya itu, manusia harus ikhlas, bersih, segala amal dan niatnya muroqobah, merasa diri selalu diawasi Allah dalam segala gerak-geriknya, muhasabah, memperhitungkan laba rugi amalnya, dengan akibat selalu menambah kebaikan, tajarrud, melepaskan segala ikatan apapun yang


(44)

demikian itu maka jiwa dapat diisi dengan isyqu, rindu yang tidak terbatas dengan Tuhan, sehingga kecintaan kepada Tuhan melebihi kecintaan terhadap dirinya dan alam yang ada disekitarnya.

Oleh sebab itu, dalam suatu tarekat terdapat syech atau mursyid, yaitu guru yang memberi petunjuk mengenai riyadhah, atau latihan-latihan dalam melakukan dzikir dan wirid, melakukan latihan-latihan mengendalikan lidah dan hati, memperbaiki penyakit-penyakit jiwa. Hidup mengembara sebagai fakir, atau hidup menyendiri, berkhalwat, dengan latihan-latihan berdiam diri, menahan lapar, berpakaian apa adanya, hidup tidur di malam hari, memperbanyak amalan sunat, tawajjuh menetapkan ingatan hanya kepada Allah, dan lain sebagainya.

Tarekat pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek- aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlak atau tasawuf.


(45)

karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah- tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat, sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi.

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan tuhannya, dan bisa juga untuk orang- orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura- hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup manusia lebih materialistik dan individualistik. Perkembangan industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat,telah menempatkan manusia modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan.Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi kalau peran agama menjadi tergeser oleh kepentingan materi duniawi.


(46)

sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak,yaitu ajaran-ajaran mrngenai moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf prilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya. Aliran tasawuf yang benar adalah aliran yang menjung-jung tinggi harkat dan martabat manusia,aliran yang tumbuh dari asuhan iman, Islam, dan Ihsan. Aliran tasawuf yang benar adalah aliran yang tumbuh berdasarkan ilmu dan amal yang benar sehingga dapat memperkaya perasaan manusiadengan pengabdian seikhlas-ikhlasnya kepada Allah SWT, mendorong manusia untuk rela mengorbankan hidup dan matinya demi keridhaan Allah, dan mempertajam jangkauan daya indra serta intuisnya hingga sanggup mengenal dan menyaksikan hakekat eksistensi-Nya.34

Adapun tujuan-tujuan dan amalan-amalan Tarekat di antaranya adalah:

a. Untuk latihan (riyadhah) dan berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan diisi dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini dilakukan melalui perbaikan budi pekerti dalam berbagai segi.

34Muhammad Thahir dan Abu Laila, Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, ( Bandung: Mizan, 1993 ), hlm. 65.


(47)

Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir disertai tafakkur yang dilakukan secara terus menerus.

c. Untuk menimbulkan perasaan takut kepada Allah, sehingga timbul pula dalam diri seseorang suatu usaha untuk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat mnenyebabkan lupa kepada Allah SWT.

d. Untuk mencapai tingkatan ma’rifat, sehingga dapat diketahui segala rahasia dibalik tabir cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang benderang.

e. Untuk memperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup ini. Berbicara masalah tarekat tidak terlepas dari tasawuf, karena ajaran tarekat adalah salah satu pokok ajaran yang ada dalam tasawuf.35 Ilmu tarekat ini sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan ajaran tasawuf dan tidak dapat dipisahkan dari kalangan orang-orang sufi. Ada beberapa ajaran dalam tarekat ini, diantaranya adalah :36 1) Suluk

Suluk artinya jalan, sama dengan thariq yang artinya juga jalan. Namun penggunaan istilah itu makin lama makin menjalani

35Moch. Sidik, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf, hlm. 13. 36Moch. Sidik, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf , hlm. 56.


(48)

untuk mengartikan suatu pelajaran atau latihan pada kurun waktu tertentu. Orang yang berlatih baik dalam berdo’a, dzikir, berpuasa maupun mengurangi tidur hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, meminta ampunan atas kesalahannya dinamakan salik.

Ada tiga macam suluk dalam ajaran tarekat, yaitu: a) Suluk Ibadah

Suluk ini sebagai latihan dalam bentuk ibadah, caranya dengan memperbanyak bentuk syariat serta proses yang dimulai dalam wudhu, sholat sampai berdzikir. Murid yang melakukan latihan dalam bentuk ibadah ini tak segan-segan mengisi hari-harinya dengan melaksanakan perintah yang wajib dan yang sunat layaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Islam pada umumnya. Proses dan latihan (suluk) semacam ini dilakukan secara rutin dan berlangsung terus menerus setiap hari. Suluk yang demikian itu jika dilakukan secara terus menerus dengan tenang, dengan ikhlas dan penuh konsentrasi, maka dalam waktu yang tidak ditentukan akan datang petunjuk dari Allah yang di bawa malaikat baik dalam bentuk mimpi atau secara langsung.


(49)

suluk ibadah seorang murid diperintahkan untuk mengamalkan peribadatan seperti sholat baik yang wajib atau yang sunat, wirid dan dzikir, maka suluk riyadhah bentuk dan pengamalannya ialah meliputi meditasi, bertapa, berpuasa, menyepi, menjauhkan diri dari pergaulan kehidupan sehari-hari, mengurangi tidur, mengurangi berbicara, mengurangi segala yang berhubungan dengan kepentingan duniawi termasuk memisahkan diri dengan seorang mursyid (guru), ketika melihat murid-muridnya mulai melakukan kesalahan-kesalahan dan tertutup debu-debu nafsu mata hatinya.

Suluk riyadhah dilakukan semata-mata untuk mensucikan jiwa dan menghindari kesalahan. Dengan melakukan riyadhah diharapkan Tuhan akan menghapus segala kesalahan dan dalam hati yang selanjutnya akan mendapat ampunan, petunjuk dan barokah-Nya.

c) Suluk Penderitaan

Suluk penderitaan ialah latihan untuk hidup menderita. Pada dasarnya semua ajaran tarekat, baik syariatnya maupun suluknya mencerminkan bahwa mereka senantiasa menghindari keinginan yang bersifat duniawi. Untuk itu suluk dalam bentuk penderitaan merupakan suatu rangkaian ajaran


(50)

memerintahkannya.

Bagi orang awam latihan atau suluk penderitaan dianggap merupakan suatu perbuatan yang tolol dan menyia-nyiakan sisa hidup. Tapi bagi golongan tarekat, memandang bahwa penderitaan dalam hidup memang perlu dan harus dialami. Karena orang tanpa merasakan penderitaan hidup dan sengsara, maka ia akan lupa diri dan timbul perasaan tinggi hati, sombong yang kemudian melupakan siapa dan bagaimana peranan Tuhan dalam alam nyata ini. Suluk atau latihan penderitaan ini sangat berguna untuk membina akhlak yang kurang terpuji, misal sikap kikir, sombong, congkak, dan sebagainya.

2) Suluk Safar

Ajaran lain dalam tarekat adalah suluk safar. Safar artinya keluar dari tempat tinggal (rumah) dan pergi mengembara. Orang yang melakukan safar disebut musafir. Safar ini merupakan salah satu latihan atau suluk dalam ajaran tarekat. Dalam melakukan safar sangat banyak hikmahnya, artinya seseorang yang melakukan perjalanan jauh keluar dari rumahnya, maka ia akan menemukan hikmah dan pelajaran yang tiada ternilai harganya demi safar tersebut.


(51)

diantaranya adalah:

a) Safar dengan tujuan untuk menuntut ilmu

b) Safar dilakukan semata-mata karena kewajiban ibadah c) Safar dilakukan karena menghindarkan diri dari kedzaliman d) Safar dilakuakan semata-mata karena menghindari wabah

penyakit.

3) Akhlak hidup sehari-hari

Pada umumnya semua ajaran tarekat mengajarkan kepada murid-muridnya untuk membenahi akhlak, memperbaiki budi pekerti dan sikap-sikapnya. Akhlak merupakan suatu tingkah laku sehari-hari dalam pergaulan yang berhubungan dengan sesama manusia, akhlak yang baik akan membaikkan ibadah seseorang. Bagi pengikut tarekat akhlak yang demikian sangatlah penting, sebab jika kualitas akhlak itu baik dan terpuji maka dapat mengantarkan seseorang sampai ke tingkat kesempurnaan. Pembinaan akhlak akan diberikan sebagai bagian dari suluk atau latihan dan mereka itu lebih dahulu menghindari apa yang disebut

“takhali” atau akhlak yang tercela.

Menurut pandangan Imam Al-Ghazali bahwa akhlak itu berkaitan erat dengan kalbu seseorang. Dikatakan jika seseorang mempunyai akhlak mulia terhadap sesama, bersopan santun, selalu


(52)

orang tersebut. Segala gerakan anggota tubuh adalah hasil goresan dalam hati dan segala amal perbuatan adalah hasil dari budi pekerti.

Akhlak menurut kacamata sufi/tarekat adalah bahwa seseorang diperintahkan untuk berbaik budi dan selalu dijalur kebenaran terhadap apa yang diperbuat serta diucapkan hendaknya sesuai dengan kata hatinya. Orang sufi tidak membenarkan jika berkata benar namun hatinya menolak berkata tidak tetapi hatinya menerima, berkata suka namun hatinya benci, berkata benci namun hatinya cinta. Orang sufi mengajarkan kepada para pengikutnya untuk senantiasa jujur dan terus terang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatan. Kesimpulannya bahwa antara pikiran, perkataan dan perbuatan harus selaras dan tidak boleh ada salah satu yang bertentangan. Sikap dan sifat yang demikian itu disebut “sadaq”. Adapun orang yang sudah mengamalkan sifat, sikap serta akhlak yang demikian itu diberi nama “siddiq”.

4. Macam-macam Tarekat

Dr Syeikh H.Jalaluddin, seorang pakar ilmu Tasawuf dan seorang ahli tarekat, telah banyak menulis tentang perkembangan tarekat- tarekat, antara lain tarekat-tarekat yang telah diakui kesahihannya. Beliau menerangkan tarekat-tarekat tersebut ialah: Tarekat Qadiriyah, Tarekat


(53)

Rifaiyyah, Tarekat Dasukiyyah, Tarekat Akbariyyah, Tarekat Maulawiyyah, Tarekat Qurabiyyah, Tarekat Suhrawardiyyah, Tarekat Khalwatiyyah Tarekat Jalutiyyah, Tarekat Bakdasiyyah, Tarekat Ghazaliyyah, Tarekat Rumiyyah, Tarekat Jastiyyah, Tarekat

Sya’baniyyah, Tarekat Kaisaniyya, Tarekat Hamzawiyyah, Tarekat

Sya’baniyya, Tarekat ‘Alawiyyah, Tarekat ‘Usyaqiyyah, Tarekat

‘Umariyyah, Tarekat ‘Uthmaniyyah, Tarekat ‘Aliyyah, Tarekat

Bakriyyah, Tarekat ‘Abbasiyyah, Tarekat Haddadiyyah, Tarekat Maghribiyyah, Tarekat Ghaibiyyah, Tarekat Hadiriyyah, Tarekat Syattariyyah, Tarekat Bayumiyyah, Tarekat ‘Aidrusiyyah, Tarekat Sanbliyyah, Tarekat Malawiyyah, Tarekat Anfasiyyah,Tarekat Sammaniyyah, Tarekat Sanusiyyah, Tarekat Idrisiyyah, Tarekat Badawiyyah.37

Sebagai contoh, di antara sejarah dan perkembangan ringkas beberapa tariqah yang tercatat di atas berupa tarekat yang masih diamalkan di Indonesia sampai saat ini adalah: Tarekat Syaziliyyah. Nama pendiri tarekat ini ialah Abul Hassan Ali As-Syazili dalam sejarah keturunannya dihubungkan dengan keturunan Sayidina Hassan putera Sayidina Ali Bin Abi Thalib ra. Lahir di Amman, sebuah desa kecil di

37 M. Sholeh Bahruddin, Sabilus Salikin (Jalan Para Salik): Ensiklopedi


(54)

ringan lidahnya, baik segala ucapannya sehingga segala ucapan yang keluar dari mulutnya mengandungi hikmah dan pengertian yang besar dan mendalam. Tariqah Syaziliyyah dibentuk dengan menisbah kepada nama penggagasnya. Ia merupakan tarekat yang silsilahnya sambung menyambung sampai kepada Hassan bin Ali bin Abi Thalib ra dan terus sampai kepada Rasulullah SAW .

Tarekat Qadiriyyah. Tarekat ini didirikan oleh seorang wali sufi yang agung, As-Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani. Beliau seorang yang alim dan zahid, diberi gelaran Qutbul Aqtab. Sejarah tentang kehidupan As-Syeikh dengan segala macam karamahnya banyak tercatat dalam kitab-kitab Manaqib As-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Ibnu Batutah menceritakan bahwa dalam zamannya sudah mulai dipergunakan orang tempat melakukan latihan-latihan suluk, dan latihan-latihan yang dilakukan di Baghdad itu menurut ajaran-ajaran As-Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani. Sehingga dengan demikian ajarannya itu lama kelamaan merupakan satu mazhab Sufi dan setiap murid yang telah menamatkan ajarannya sudah memperoleh ijazah khirqah dan berjanji akan meneruskan dan menyiarkan ajarannya itu. Demikianlah diceritakan As-Suhrawardi dalam kitabnya ‘Awariful Ma’arif’ yang tertulis pada ujung kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Gozali.


(55)

Haddad semasa waktu hidup As-Syeikh telah mula menyebarkan tarekat ini di Yaman. Muhammad Batha’ berasal dari Balbek, pula menyebarkan tariqah ini di Syria. Begitu juga Muhammad Al-Yunani terkenal sebagai seorang penyair Tarekat Qadiriyyah di Balbek dan juga Muhammad bin Abdus Samad yang mewakli As-Syeikh Abdul Qadir sendiri untuk mengembangkan tarekatnya di Mesir.

Demikianlah seterusnya ajaran Tarekat Qadiriyyah disebarkan luas ke negara-negara lain. Ke Makkah, Turki, tersiar juga ke Afrika Tengah, ke Asia sehingga membawa ke rantau nusantara kita ini. Tarekat Qadiriyyah mempunyai zikir-zikir, wirid dan hizib-hizib yang tertentu. Wirid-wirid Tarekat Qadiriyyah termuat dalam kitab ‘Al-Fuyudat

Ar-Rabbaniyyah’ karangan Abdullah Bin Muhammad Al-Ajami, juga

seorang sufi yang alim yang telah mencapai umur 183 tahun (527–721 H) Pokok dasar Tarekat Qadiriyyah terdiri dari lima asas yang penting yaitu taqwa kepada Tuhan dhohir dan bathin, mengikut sunnah dalam perkataan dan perbuatan, menjauhkan diri dari makhluk di depan dan di belakang, rela terhadap Tuhan dalam pemberiannya yang sedikit atau banyak, kembali kepada Tuhan dalam waktu susah dan senang.

Tarekat Rifa’iyyah. Penggasas Tarekat Rifaiyyah adalah seorang sufi yang bernama Rifa’I, pendiri tarekat ini. Tidak banyak lembaran sejarah yang menulis tentang riwayat hidup As-Syeikh ini. Begitu juga Ibnu


(1)

Ternyata yang datang bukan hanya sepeda motor, tetapi juga pesawat terbang yang rusak sehingga sulit bahkan tidak bisa diperbaiki. Santri yang bandel bahakan terkadang menularkan kebiasaan buruknya kepada santri-santri yang lain. Tetapi santri yang demikian tetap diterima dengan harapan dapat sedikit merubah prilakunya.

Tidak semua prilaku santri buruk. Sebenarnya hanya sebagian kecil saja yang berprilaku seperti itu. Peringatan dan sangsian diberikan kepada santri yang melangar aturan. Apabila prilaku buruk it uterus diulang atau melakukan prilaku yang tergolong berat maka orang tua santri yang melanggar tersebut dipangil untuk diberitahukan pernyataan ketidak sanggupan pengasuh mendidik putranya (dikembalikan kepada orangtuanya).


(2)

ABSTRAK

Kemajuan yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia,baik sosial, ekonomi, budaya dan politik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Tidak semua orang mampu untuk beradaptasi, akibatnya adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya. Tasawuf sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Pencipta.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Deskriptif adalah metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Sedangkan pendekatan fenemonologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Dalam penelitian ini akan digambarkan sekelompok orang/anak yang berstatus sebagai santri/anggota Tarekat, secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,sifat-sifat kegiatan, dan peristiwa yang berkaitan dengan kegiatan spiritual tawasulan

Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul merupakan Pondok Pesantren yang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan kebanyakan Pondok Pesantren yang ada di Indonesia. Salah satu kegiatan spiritual di Pondok Pesantren Nurul Huda yang menarik untuk diteliti adalah Tradisi Tawasulan yang sudah berjalan lama. Jumlah peserta dalam kegiatan Tawasulan dari waktu- kewaktu semakin bertambah , baik dari kalangan santri maupun dari masyarakat sekitar.

Tradisi Tawasulan yang ada di Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul memberikan implikasi psikologis positif bagi para santri dan masyarakat sekitar. Hal ini ditandai dengan terciptanya kehidupan masyarakat yang tenang, tentram, akur,dan damai. Bagi para santri Tradisi Tawasulan memberikan dampak psikologis munculnya kesadaran diri yang membatin tentang pentingnya rasa tanggung jawab dalam menimba ilmu di Pondok. Perasaan tersebut mendorong para santri untuk serius dan tekun dalam mengaji dan menjalani kehidupan sehari- hari sesuai dengan tata nilai yang ada di Pondok Pesantren. Bagi masyarakat sekitar, Tradisi Tawasulan memberikan Implikasi psikologis munculnya totalitas kepasrahan atas segala kehendak Allah dengan disertai keyakinan bahwa Allah akan memberikan ketenangan jiwa dan dapat menghindarkan mereka dari kegoncangan jiwa. Sehingga kepatuhan rasa tersebut mendorong seseorang lebih siap dalam menghadapi setiap perubahan dan kemajuan Zaman.


(3)

ABSTRACT

The Progress which has penetrated into various aspects of human life, whether social, economic, cultur and politic, requires individuals to adapt to the changes that occur quickly and surely. Whereas the fact is that individuals are not able to do it at all, so that our society have a lot of problems. Not everyone is able to adapt, so the effect of it is that individuals who have various psychological and physical problems, thus it takes effective ways to overcome them. Sufism as the core of Islam appears to provide solutions and therapies for human problems by making closer to God The Creator.

The method used is descriptive qualitative method with phenomenological approach. Descriptive is method in researching the status of human group, a system of thought or an event class today which aims to create a systematic illustration, factual and accurate information on the facts, characteristic and the connection between the phenomenon investigated. While fenemonologis approach seeks to understand the meaning of events and linkages to ordinary people in certain situations. In this research it will be described a group of people or children's status as students or members of Sufism, in a systematic, factual and accurate information about the facts, characteristic of activities and events related to spiritual activities of tawasulan.

Islamic collage Nurul Huda Munjul is an Islamic collage having different characteristic from the majority of Islamic collage in Indonesia. One of the spiritual activities in Islamic collage Nurul Huda which is interesting to study is tradition Tawasulan longstanding. The number of participants in the activities of Tawasulan is increasing more and more, from the students and the surrounding community.

Tradition of Tawasulan in Islamic collage Nurul Huda Munjul provides positive psychological implications for the students and the surrounding community. It is characterized by the creation of a society that is quiet, peaceful, get along, and tranquility. For the students, the Tradition of Tawasulan provides psychological impact the emergence of self-consciousness thought about the importance of a sense of responsibility to study in Islamic Collage. The feeling of encouraging the students to be serious and diligent to study and have a daily life according to the values in Pondok Pesantren. For the communities, Tradition of Tawasulan provides psychological implications of the emergence of the totality of submission of all the will of God, accompanied by the belief that God will give you peace of mind and can prevent them from shaking soul. So that the feeling of compliance encourages a person more ready to face any change and progress of Period.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tareqat, Solo : Ramadhani, 1993 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2000 Agus Salim, Wiridan Harian Asy- Syahadatain, Pustaka Syahadat Sejati , 2014 Agus Susanto, Islam Itu Sangat Ilmiah : Mengungkap fakta-fakta Ilmiah dalam

Ajaran-ajaran Islam, Yogyakarta, Najah 2012

Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Ali Usman, Kiai Mengaji Santri Acungkan jari: Refleksi Kritis atas Tradisi dan Pemikiran Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013.

Asep Usman Ismail, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT. Iktiar Baru Van Hoeve, Jakarta

Budi Munawar Rahman dan Asep Usman Ismail, Cinta di Tempat Matahari Terbit, Ulumul Qur’an No 8 Vol. 2 ( 1991 )

CT. Chaplin, KamusLengkapPsikologi, Ter.

Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyaakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1999

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, 1992

Drever James, Ter. Nancy Simanjuntak, Kamus Psikologi, Jakarta: Bina Aksara, ttp.

Faiqah, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren, Jakarta, Kucica 2003

Hamdani Bahran Adz Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam,FajarPustakaBaru Yogyakarta, 2001.

Harsya, W. Bachtiar dan Kuntjara Ningrat, metode-metode penelitian masyarakat, Gramedia Jakarta, 1979


(5)

HM. Arifin, Pokok-PokokPikirantentangBimbingandanPenyuluhan, Jakarta, BulanBintang 1979

Imam Abi al-Husain bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisabury, Sohih Muslim, Juz 1 Kairo: Daar al-Fikr, 2007

Imam Bukhari. Shahih Bukhari, Darul Fikri, Kairo, 1990

KartiniKartono, Psikologi Anak ( Psikologi Perkembangan ), Bandung: Mandar Maju,1995.

Kuntjoro Ningrat, Metode-metode Penelitiann Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1979.

Lexi, J Moleong, metodelogi penelitian kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya 1999

Mahfud AN Petunjuk Mengatasai Sters, Bandung Sinar Baru Agensida, 1999 M. Abdul Hakim, Mencari Ridho Allah , Pimpinan Pusat Jama’ah Syahadatain,

Cirebon. 2011

Mahfud Umar, Dasar- Dasar Hukum Tentang Amalan Dan Tuntunan Asy- Syahadatain, Sumatra Barat: Pustaka Pribadi, 2003.

Masaru Emoto, The True Power of Water: Hado, Bandung: MQ Publishing, 2006 M.A. Subandi, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2013

Moeljono Notosoedirjo, kesehatan mental: Konsep dan penerapan, Malang, UMM Press, 2001

Moh . Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalian Indonesia 1988

Moh. Saifullah Al-Azis Senali, Tasawuf Dan Jalan Hidup Para Wali, Putra Pelajar, Gresik, 2000

Moh. Siddiq, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf, Putra Pelajar, Surabaya, 2001

M. Sholeh Bahruddin, Sabilus Salikin (Jalan Para Salik): Ensiklopedi Thariqah/Tasawwuf, Pondok Pesantren NGALAH: Pasuruan, 2012

Muhammad Thahir dan Abu Laila, Al-Ghazali menjawab 40 soal Islam Abad 20, Bandung : Mizan, 1993


(6)

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1996

M. Zurkani Jahja, Teologi al-Ghozali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Parlindungan Marpaung, Fulfilling Life: Merayakan Hidup yang Bukan Main!, Bandung: MQ Publishing, 2007.

RachmatDjatnika, SistemEtika Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, Rasa Grafindo Persada 1997 Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional,

dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Siswanto, Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007

Suharsimi Arikunto, Penantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional 1982

Team Dosen Fir IKIP Malang, PengantarDasar-DasarPendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1980

Yusuf Muhajir Ilallah, Fenomena Pengagungan Dzurriyyah Nabi: Studi Kritik dan Living atas Hadis- Hadis yang Digunakan Jamaah Asy- Syahadatain dalam Risalah KH. Mhammad Khozim, Kudus: Pustaka Pribadi, 2010. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, LP3ES: Jakarta 2011 ZakiahDarajat, Pendidikan Agama Islam dalamPembinaan Mental, Jakarta,

BulanBintang, 1982.

ZakiahDarajat, MembinaNilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta, BulanBintang, 1971.

Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1978

ZakiahDarajat, Kesehatan Mental dalamKeluarga, Jakarta, PustakaAntarisa, 1992 Zakiyah Darajat, Islam dan kesehatan Mental, Bulan Bintang, 1982