Tasawuf dan perubahan sosial di Cirebon: kontribusi tarekat syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik

(1)

TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:

Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan

Institusi Keraton, Pondok Pesantren, dan Industri Batik

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh :

IVAN SULISTIANA NIM. 1111111000057

Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2015 M/ 1436 H


(2)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:

Kontribusi Tarekat Syatariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton, Pondok Pesantren, dan Industri Batik

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Agustus 2015


(3)

PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:

KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI KERATON, PONDOK PESANTREN, DAN INDUSTRI BATIK

oleh: Ivan Sulistiana 1111111000057

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua Sidang,

Husnul Khitam, M.Si

Penguji I, Penguji II,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Ahmad Abrori, M.Si. NIP.197609182003122003 NIP. 197602252005011005 Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 8 September 2015.

Ketua Program Studi Sosiologi, FISIP UIN Jakarta


(4)

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si. NIP. 197609182003122003


(5)

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis tentang “Tasawuf dan Perubahan Sosial di Cirebon: Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton, Pondok Pesantren, dan Industri Batik”. Tujuan dari penelitian ini ialah menjelaskan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik di Cirebon. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan audio-visual. Selanjutnya, data-data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara induktif menjadi tema-tema khusus yang selanjutnya dianalisis menggunakan kerangka teori. Adapun kerangka teori yang digunakan ialah teori strukturasi Giddens mengenai peran agency (reflexive monitoring of action, rasionalization of action, dan motivation of action) dan konsep substantivies (signifikansi, dominasi, dan legitimasi).

Dari hasil analisis menggunakan teori strukturasi, dapat dilihat kontribusi tarekat Syattariyah di Cirebon terhadap: berdirinya institusi keraton, pesantren, dan industri batik; serta menyinergikan antara tradisi dan modernisasi di tengah perubahan sosial di ketiga institusi tersebut. Fenomena perubahan sosial yang dianalisis ialah perubahan dari masyarakat Hindu ke Islam pada abad ke-16; serta modernisasi di keraton, pesantren, dan industri batik pada abad ke-20. Dari hasil analisis kedua fenomena perubahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tarekat Syattariyah di Cirebon berkontribusi dalam: (i) memelopori perubahan dari masarakat Hindu ke Islam melalui proses invantion (kombinasi unsur tradisi Hindu dan ajaran Islam); dan (ii) menyinergikan antara tradisi ke-Islaman di Cirebon yang bernuansa sufistik dengan modernisasi di keraton, pesantren, dan industri batik. Dengan demikian, hasil penelitian ini membuktikan bahwa tarekat bukanlah aktor yang pasif, eksklusif, atau anti-perubahan. Tarekat dapat menjadi aktor yang aktif, yang dapat berkontribusi dalam menciptakan dan menyinergikan perubahan di institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik di Cirebon.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Segala puja-puji syukur kepada Allah Subhannahu wa Ta‟ala., yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya yang tak berhingga, sehingga peneliti dapat merampungkan skripsi ini sesuai dengan keridhoan-Nya. Shawalat beserta salam selalu tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga dan para sahabatnya.

Proses penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari kemurahan hati berbagai pihak yang telah memberikan bantuannya, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuannya, penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sebagai dosen pembimbing penulis, yang selalu sabar dan murah hati dalam membimbing dan memotivasi penulis merampungkan skripsi ini.

2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Prodi Sosiologi, yang telah membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini.

3. Bapak Husnul Khitam, M.Si., selaku Sekretaris Prodi, yang telah memberikan masukan dan bantuannya dalam proses penulisan skripsi ini. 4. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D, selaku dosen pembimbing

akademik penulis yang telah memotivasi dan membantu proses penulisan skripsi ini.


(7)

vi

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen pengajar Prodi Sosiologi, FIIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingannya selama penulis masih berkuliah.

6. Para staff pengurus bidang akademik dan administrasi, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu kepengurusan berkas dan admnistrasi dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FISIP UIN Jakarta yang telah membantu penulis untuk mengakses buku-buku dan litaratur.

8. Pimpinan dan Staff Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Islamic Centre Jakarta, Perpustakaan UI, Perpustakaan IAIN Syeikh Nurjati, dan Perpustakaan Jakarta Utara, yang telah membantu penulis bagi tambahan literatur.

9. Segenap civitas akademika, teman-teman mahasiswa prodi sosiologi, FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu mendorong dan memotivasi penulis menyelesaikan skripsi ini.

10.Rama Guru P. Muhammad Nurbuwat Purbaningrat, Elang Bagoes Chandra Kusumaningrat, keluarga dan para murid, atas keramah-tamahan, kesedian wawancara, dan segala bantuannya kepada penulis selama proses pengumpulan data di Pengguron Pegajahan.

11.Rama Guru Bambang Iriyanto dan Rama Guru Harman Raja Kaprabon, yang telah membantu penulis dalam proses pengumpulan data di Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam.


(8)

vii

12.KH. M. Ade Nasihul Umam, Lc. (Kang Babas) dan KH. M. Anas Azaz, S.Pd.I (Kang Anas), beserta Ibu Nyai, keluarga, dan para santri, atas keramah-tamahan dan segala bantuannya kepada penulis selama proses pengumpulan data di Pesantren Buntet.

13.KH. Muhammad Hasan, Ibu Nyai, beserta keluarga dan para santri, atas keramah-tamahan, kesediaan wawancara, dan segala bantuannya kepada penulis selama proses pengumpulan data di Pesantren Benda.

14.Kyai Tonny, beserta keluarga dan pengurus makam Mbah Trusmi, atas kesediaan wawancara dan segala bantuannya selama proses pengumpulan data di Trusmi.

15.Bapak Katura AR., beserta keluarga dan pengurus Sanggar Batik Katura, atas keramah-tamahan dan kesediaannya untuk wawancara dan memotret koleksi batik selama proses pengumpulan data di Trusmi.

16.Sultan, sesepuh, abdi dalem, pengurus, dan keluarga Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Pengguron Kaprabonan, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam proses pengumpulan data. 17.Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak H. Sutana, MM. dan Ibu Hj. Dyah

Eulis Tisnawardhany, yang selalu sabar mendukung, menasihati, dan membantu penulis, baik secara lahir maupun batin sampai selesailah skripsi ini.

18.Adik-adik tercinta, adinda Susi Nurdinaningsih dan ananda Nurul Alam, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera merampungkan skripsi ini.


(9)

viii

Demikianlah ucapan terima kasih penulis, semoga segala bantuan dan dukungannya menuai keberkahan dan mendapat balasan yang berlipat-lipat ganda dari Allah Swt. Amin ya rabbal „alamin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, civitas akademika, dan segenap pihak yang memerlukannya.

Jakarta, 11 Agustus 2015


(10)

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Kerangka Teoritis ... 19

E.1 Definisi Konseptual ... 19

E.2 Definsi Operasional ... 34

E.3 Kajian Teori: Teori Strukturasi ... 36

F. Metode Penelitian ... 45

G. Sistematika Penelitian ... 53

BAB II: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota/Kabupaten Cirebon ... 54

B. Keraton dan Pengguron ... 59

C. Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep ... 70


(11)

x

BAB III: TAREKAT SYATTARIYAH DI CIREBON

A. Akar Historis Tarekat Syattariyah ... 79

B. Masuknya Tarekat Syattariyah ke Nusantara Sampai Cirebon ... 83

C. Pemetaan Tarekat Syattariyah di Cirebon... 89

D. Ajaran Tarekat Syattariyah di Cirebon ... 98

E. Aktivitas Tarekat Syattariyah di Cirebon ... 108

BAB IV: KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL DI CIREBON A. Peran Mursyid Dalam Perspektif Strukturasi ... 119

B. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton di Cirebon ... 127

C. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep ... 154

D. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Industri Batik Trusmi ... 174

E. Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik 189

BAB V: PENUTUP A. Simpulan ... 199

B. Saran ... 202

DAFTAR PUSTAKA 203


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Bentuk Institusi Sosial dalam Teori Strukturasi ... 40 Tabel 1.2 Konsep Perubahan Sosial dalam Teori Strukturasi ... 42 Tabel 2.1 Lokasi Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah... 68 Tabel 3.1 Jalur Tarekat dan Keturunan Pengguron Tarekat Syattariyah

di Cirebon ... 90 Tabel 3.2 Silsilah Tarekat Syattariyah di Pondok Pesantren Buntet ... 95 Tabel 4.1 Perbandingan Peran Mursyid dari Perspektif Tarekat dan

Strukturasi ... 126 Tabel 4.2 Analisis Keraton Berdasarkan Konsep Tipologi Institusi Sosial 133 Tabel 4.3 Hasil Komparasi Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Hubungan Timbal-balik Antar Institusi Sosial... 27

Gambar 1.2 Model Skema Stratifikasi Agency... 37

Gambar 1.3 Tahapan Analisis Data ... 52

Gambar 2.1 Peta Kota Cirebon ... 56

Gambar 2.2 Kereta Singa Barong di Museum Keraton Kasepuhan... 60

Gambar 2.3 Siti Inggil di Keraton Kanoman ... 62

Gambar 2.4 Jinem di Keraton Kecirebonan ... 64

Gambar 2.5 Halaman Pengguron Kaprabonan... 66

Gambar 2.6 Halaman Depan Pengguron Pegajahan ... 69

Gambar 2.7 Masjid Kuno di Pesantren Buntet... 72

Gambar 2.8 Masjid Kuno di Pesantren Benda Kerep ... 74

Gambar 2.9 Show Room Batik di Desa Trusmi ... 77

Gambar 3.1 Kegiatan Kliwonan Tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan ... 113

Gambar 3.2 Kegiatan Shalawatan Tarekat Syattariyah Pada Acara Rajaban ... 116

Gambar 3.3 Kegiatan Muludan Tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan ... 117

Gambar 4.1 Peninggalan Bangunan Keraton Dalem Agung Pakungwati ... 130

Gambar 4.2 Patung Macan Ali sebagai Lambang Kesultanan Cirebon Penerus Kerajaan Pajajaran ... 136

Gambar 4.3 Makam Santri di Buntet Sebagai Bukti Dakwah Mbah Muqoyyim ... 156


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Silsilah-silsilah... xiv Lampiran 2. Dokumentasi Visual ... xviii Lampiran 3. Transkrip Wawancara ... xxx


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Pernyataan Masalah

Permasalahan utama penelitian ini berfokus pada kontribusi Syattariyah terhadap perubahan sosial yang dilihat dari perkembangan institusi sosial di Cirebon. Dari permasalahan tersebut, peneliti hendak menjelaskan: (1) sejarah, perkembangan, ajaran, dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon; dan (2) kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan tiga institusi sosial di Cirebon (keraton, pesantren, dan industri batik) yang mendorong terciptanya perubahan sosial di Cirebon. Dalam penelitian ini, tarekat dilihat sebagai organisasi kaum sufi yang dapat secara aktif berkontribusi terhadap perubahan sosial yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan agama masyarakat Cirebon.

Jika ditelaah secara historis, memang penyebaran Islam di Indonesia pun tidak terlepas dari kontribusi para ulama tarekat yang membawa ajaran tasawuf ke Nusantara. Terdapat argumen A.H. Johns (1961) yang menyatakan bahwa salah satu jalur masuk dan penyebaran Islam di Indonesia ialah melalui jalur tasawuf (Azra, 2006:21-22). Ajaran tasawuf atau yang disebut sebagai kaum orientalis sebagai „sufisme‟ atau „mistisme Islam‟ ini dibawa oleh kaum sufi yang berafiliasi sebagai pedagang sekaligus pendakwah di Nusantara sejak kurun abad


(16)

2

ke-13. Faktor utama yang mendukung keberhasilan para sufi dalam menyebarkan Islam ke Nusantara ialah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang menekankan kesesuaian antara Islam dan praktik keagamaan lokal (Azra, 2013:15). Penyebaran Islam di Nusantara berlangsung secara damai di mana terjadi pembauran antara Islam sufistik dengan tradisi budaya lokal. Turner (2012: 195) mengatakan “pengakuan sebagai orang suci adalah salah satu bagian terpenting otoritas yang dimiliki wali-wali Islam. Wali-wali Islam biasanya

populer, membaur, dan mewariskan kharisma dan tidak bersifat ortodoks”. Oleh

karena itu, dengan figur kharismatik yang dipandang sebagai “orang suci”, para tokoh sufi yang dicap sebagai wali (sunan) telah berhasil menyelaraskan ajaran Islam dengan tradisi yang berkembang di masyarakat.

Martin Van Bruinessen (1999:15) juga mengatakan bahwa “...menjelang penghujung abad ke-13, ketika orang Indonesia mulai berpaling kepada Islam, tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya”. Memang tasawuf atau tarekat ini telah menjadi bagian dinamika ke-Islaman sejak berabad-abad silam. Tentunya dengan rentang waktu yang panjang hingga saat ini tarekat telah banyak berkontribusi bagi dinamika dan perkembangan institusi sosial yang ada, terutama pada aspek tradisi keagamaan di Indonesia. Dengan kata lain, tarekat telah menjadi fenomena gerakan esoteris keagamaan yang luas (Kahmad, 2009:210).

Saat ini telah banyak berkembang berbagai aliran tarekat di Indonesia. Sedikitnya terdapat sekitar delapan jenis aliran utama yang berpredikat muktabarah (diakui sanad dan ajarannya yang terus bersambung sampai ke Nabi Saw.), antara lain: aliran tarekat Qadariyah, Syadziliyah, Naqsabandiyah,


(17)

3

Khalwatiyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan Qadariyah wa Naqsabandiyah (Mulyati dkk., 2004). Tarekat-tarekat ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, yang masih eksis dan terus berkembang hingga dewasa ini.

Namun demikian, walaupun tarekat atau kelompok sufi sudah berkembang luas di kalangan masyarakat Islam Indonesia, masih banyak persepsi (stigma) yang beranggapan bahwa para sufi dan kelompok-kelompok tarekat cenderung bersifat pasif, eksklusif, tertutup, dan kurang berkontribusi bagi kehidupan masyarakat. Bisa jadi, stigma tersebut merupakan penafsiran keliru dari masyarakat terhadap istilah dan kegiatan tasawuf yang merujuk pada suatu jalan

hidup “zuhud”, yaitu mekanisme penyucian diri dengan cara menjauhi kesenangan dan kemewahan duniawi, untuk hidup sederhana dan hanya fokus untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini senada dengan penjelasan Ibnu Khaldun (2011) dalam Muqaddimah yang memandang konsep zuhud dalam tasawuf mengarah pada praktik eksklusifisme beragama:

Ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu syari‟at yang muncul di kemudian hari dalam agama... yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan memfokuskan pada pengabdian kepada Allah Ta‟ala, menghindari kemegahan gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya, mengasingkan diri dari keramaian dunia, serta berkhalwat untuk memusatkan diri dalam beribadah. (h.865).

Memang salah satu sasaran kritik terhadap tasawuf selama ini terutama tentang ajaran asketisme dan zuhud yang dianggap tidak relevan bagi kemajuan dan pembangunan di era modern. Di abad ke-21 ini, sejumlah intelektual seperti Geertz, Arberry, dan Gellner juga memandang tasawuf sebagai penghambat


(18)

4

kemajuan umat Islam baik dalam konteks Indonesia maupun di negara lain. Tasawuf dipandang akan pudar mengingat perubahan sosial (modernisasi) sangat membantu pergantian ritual-ritual emosional dan mistis dengan sikap skeptis para ulama yang berpusat di kota (Howell, 2008:374). Oleh karena itu, berdasarkan kontradiksi di dalam perkembangan tasawuf tersebut, peneliti terdorong untuk membuktikan bahwa stigma pesimistis ini tidak sepenuhnya tepat. Tarekat/tasawuf tidak melulu bersifat pasif dan anti-perubahan yang dapat pula berkontribusi bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam penelitian ini tarekat dilihat sebagai aktor perubahan, baik dalam memelopori atau menyinergikan antara tradisi dan modernisasi institusi sosial di Cirebon.

Adapun tarekat yang menjadi subjek penelitian ini ialah tarekat Syatariyah yang berafiliasi di Cirebon, Jawa Barat. Dari hasil observasi pendahuluan peneliti, saat ini berkembang banyak aliran tarekat di Cirebon, seperti tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah, Qadiriyah-Naqsabandiyah, Akmaliyah, Syadzaliyah, dan Syattariyah. Dari berbagai aliran tarekat tersebut, peneliti memilih tarekat Syattariyah sebagai subjek penelitian dibandingkan aliran tarekat lainnya dengan alasan sebagai berikut:

1) Tarekat Syattariyah merupakan aliran tarekat yang berkembang dengan bentuk neo-sufisme, yang mensinergikan antara tasawuf dan syari‟at sehingga ajarannya bersifat dinamis (Sri Mulyati, dkk., 2004:171). Sifat dinamis tersebut dimanifestasikan dengan memperlunak filosofi mistisnya sehingga dapat beradaptasi dan bersinergi dengan syari‟at Islam dan tradisi budaya lokal. Hal ini terbukti dengan adanya pengaruh sufistik terhadap


(19)

5

berbagai tradisi sosial-keagamaan lokal, seperti perayaan tradisi Panjang Jimat/Muludan (perayaan kelahiran Nabi Saw.), kliwonan (manaqiban), rajaban (Isra‟ Mi‟raj), ataupun tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Adha di Cirebon. Oleh karena itu, tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang “membumi” dengan sifatnya yang konsilitatif terhadap tradisi kebudayaan lokal (Bruinessen, 1999:194).

2) Tarekat Syattariyah juga merupakan salah satu aliran tarekat tertua di Cirebon yang telah berumur sekitar 600 tahun sejak kedatangannya. Tarekat ini telah banyak berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Cirebon secara umum, dan khususnya perkembangan keraton- keraton yang ada di Cirebon (Sulendraningrat, 1985:67).

3) Tarekat Syattariyah hingga saat ini masih berafiliasi kuat dengan pondok pesantren di Cirebon, khususnya Buntet dan belakangan berkembang ke Benda Kerep. Pengaruh tarekat ini demikian kuat terhadap dinamika pendidikan Islam dalam format pesantren di Cirebon, baik dari segi ajaran maupun perkembangan pesantren itu sendiri (Muhaimin, 2001:340-341). 4) Tarekat Syattariyah berperan sebagai pelopor kegiatan membatik di

Trusmi oleh para murid tarekat asal Trusmi yang berguru ke pengguron di keraton. Selanjutnya, kegiatan ini memberikan pengaruh terhadap motif-motif batik yang banyak memiliki filosofi dari ajaran tarekat sehingga terdapat kaitan antara tarekat dan perkembangan industri batik saat ini yang tengah berkembang pesat (Irianto, 2015:41-42).


(20)

6

Berdasarkan keempat pertimbangan di atas, tarekat Syattariyah yang menjadi subjek dalam penelitian ini akan dilihat sebagai agen perubahan yang berkontribusi dalam mempengaruhi dinamika perubahan sosial di Cirebon. Adapun perubahan sosial yang dimaksud ialah perkembangan tiga institusi sosial (keraton, pondok pesantren, dan industri batik) di Cirebon yang telah mengalami banyak perubahan akibat proses modernisasi. Kajian perubahan sosial dalam penelitian ini termasuk dalam tataran messo, di mana organisasi tarekat Syattariyah menjadi agen perubahan, sementara perkembangan institusi sosial menjadi titik tolak analisis untuk melihat perubahan sosial yang terjadi, seperti perubahan masyarakat Hindu ke Islam, modernisasi keraton dan pondok pesantren, serta berkembangnya industri batik di Trusmi.

Dalam konteks ini, peneliti hendak mengkaji melalui pendekatan sosio-historis dengan mengaitkan antara aspek sejarah dan fenomena sosial yang terjadi; perihal kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan berbagai institusi sosial di Cirebon. Masalah penelitian ini penting untuk dikaji, mengingat masih sedikit penelitian berbasis sosiologi, khususnya sosiologi agama yang mengkaji kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial.

B.

Pertanyaan Masalah

Permasalahan utama yang diteliti dalam penelitian ini yaitu kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial di Cirebon. Secara khusus pertanyaan masalah penelitian ini meliputi:


(21)

7

1. Bagaimana sejarah, perkembangan, ajaran dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon?

2. Bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini ialah untuk menjelaskan kontribusi Tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon Jawa Barat. Secara khusus, tujuan penelitian ini meliputi:

1. Menjelaskan sejarah, perkembangan, ajaran, dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon.

2. Menjelaskan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik?

C.2. Manfaat Penelitian

C.2.1 Manfaat Akademis

Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: (i) memberikan penjelasan analitis berbasis sosiologis tentang kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial; (ii) memperkaya khazanah intelektual sosiologi agama tentang kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial.


(22)

8 C.2.2 Manfaat Praktis

Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan rujukan bagi para praktisi atau instansi, seperti: Departemen Agama RI, Majelis Ulama Indonesia, pihak keraton, pondok pesantren Buntet, serta pemerintah kota/kabupaten Cirebon, agar dapat melahirkan kebijakan untuk memberdayakan dan mendukung aktivitas tarekat Syattariyah di pengguron, keraton, pesantren, ataupun industri batik di Cirebon.

D.

Tinjauan Pustaka

Dari beberapa hasil kajian tarekat yang peneliti temukan, terdapat beberapa penelitian tentang tarekat yang berasal dari disiplin sosiologi dan interdisipliner yang relevan dengan penelitian ini. Berbagai penelitian tersebut menunjukan adanya persinggungan antara tarekat sebagai fokus penelitian dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dari kaitan antara tarekat dengan kehidupan sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Berikut adalah beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini baik dari segi permasalahan, konseptual, metodologi, maupun subjek yang diteliti.

Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek sosial-budaya, terdapat penelitian Nur Syam, Fatuhurrahman, dan Darno. Penelitian Nur Syam (2013) mengkaji

tentang “Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat fenomenologis dengan melakukan observasi, wawancara, dan kajian pustaka selama 3 bulan. Kajian yang dilakukaan di desa Kuanyar, Jawa Tengah ini menggambarkan bagaimana kehidupan


(23)

9

religiusitas petani tarekat dalam interaksinya dengan kehidupan sosial-budaya lokal. Hasil penelitian Nur Syam menjelaskan bahwa penganut tarekat bukanlah seorang yang hidup di dalam dunianya sendiri, namun mereka adalah individu yang hidup di dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat di dalam kegitan sosio-religius seperti upacara sambatan, pengajian umum, dan mengikuti kegiatan sosial maupun ekonomi yang sifatnya profan. Penelitian Nur Syam memiliki kesamaan subjek, namun dalam wialayah yang berbeda. Penelitian ini lebih bersifat menggambarkan keseharian penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar secara fenomenologis.

Berbeda dengan Nur Syam, Penelitian Oman Fathurahman (2003) tentang

“Tarekat Syattariyah di Minangkabau” lebih bersifat interdisipliner yang mengkaji aspek filologi naskah tarekat dengan aspek sosiologis perkembangan, ajaran, dan dinamika tarekat Syattariyah di Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, melalui analisa teks dengan menyertakan 10 manuskrip tentang tarekat Syattariyah dari Minangkabau dan dua naskah dari Cirebon dan Giriloyo. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19 ajaran Syattariyah di Minangkabau terlepas dari doktrin wahdatul wujud yang dipandang bertentangan dengan ajaran Ahlussunah wal Jamaah, yang mana hal ini menjadikannya terlepasnya dari ajaran tersebut dan menjadi suatu kekhasan tarekat Syattariyah di Minangkabau, yang berbeda dengan di tanah Jawa dan Sunda. Temuan lain dari penelitian ini ialah bahwa setelah bersentuhan dengan budaya lokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyah menjadi banyak dipengaruhi dan sarat akan nuansa lokal. Hal ini mencerminkan suatu kelenturan dan fleksibilitas


(24)

10

ajaran tarekat Syattariyah. Penelitian Fathurrahman juga telah menjelaskan bagaimana masuknya tarekat Syattariyah ke nusantara melalui jalur Syeikh Abdurrauf. Sebagaimana relevansi dengan penelitian Nur Syam, penelitian Fathurrahman ini juga memiliki kesamaan subjek dalam konteks dan lokasi yang berbeda. Namun, penelitian Fathurrahman terlalu berfokus pada aspek filologi yang terbatas pada ketersediaan teks dan kurang mendalami aspek sosiologis ketika membahas tradisi budaya lokal.

Darno (1995) juga telah meneliti tentang “Studi Kasus Tarekat Syathariyah di Kecamatan Karangrejo, Tulung-Agung, Jawa Timur”. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui insturmen wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, Darno berusaha menggali tentang sejarah, ajaran, ritual, struktur tarekat, dan relasi sosial tarekat. Hasil penelitian Darno menggambarkan bahwa tarekat Syattariyah masuk ke Kec. Karangrejo sejak tahun 1951 yang dibawa oleh H.Dimyati, yang mana ajaran tarekat ini meliputi tentang hakekat Tuhan, anasir diri manusia (jasad dan ruh yang terdiri dari 4 anasir; air, tanah, api, dan udara), dan hakikat dunia yang akan terjadi kerusakan apabila terputus washitah (mata-rantai) guru. Darno juga menjelaskan ritual peribadahannya (shalat, dizikir, doa-doa khusus, dan sedekah) sera hubungan tarekat Syattariyah di Tulungrejo dengan masyarakat setempat, tokoh agama, dan pejabat pemerintahan yang bersifat terbuka. Namun, penelitian ini terlalu bersifat deskriptif yang kurang menjelaskan aspek analitis prihal kaitan tarekat dan masyarakat.

Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek pendidikan dapat dilihat dari penelitian Martin, Muhaimin, dan Zulkifli. Martin van Bruinessen (1999) telah


(25)

11

mengkaji tentang “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di

Indonesia”. Kajian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat etnografis melalui instrumen kajian teks, observasi, dan wawancara. Martin menjelaskan adanya keterkaitan antara tradisi keilmuan Islam dalam kitab-kitab kuning di pesantren dengan penyebaran Islam di Indonesia oleh para ulama tasawuf dengan berbagai aliran tarekat yang berbeda. Hasil dari penelitian ini berkesimpulan bahwa khazanah intelektual di pesantren yang telah ada sejak era walisongo dan bersumber dari dominasi tradisi keilmuan Islam di Hijaz dari para ulama Kurdi, Timur Tengah. Penelitian ini telah secara apik menjelaskan hubungan antara tarekat dan tradisi keilmuan di Indonesia, namun Martin tidak secara khusus membahas suatu aliran tarekat tetapi beberapa aliran tarekat, seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Syadzaliyah sehingga pembahasan-nya terlalu melebar. Aspek antropologis dari penelitian yang berbasis etnografis ini sangat kental sehingga kurang membahas kaitan antara berbagai tarekat tersebut dengan kehidupan masyarakat di mana mereka berada.

Dengan metode yang sama dengan Martin, Muhaimin A.G. (1995) telah melakukan penelitian berbentuk etnografi tentang uraian mendalam tentang tradisi sosial-keagamaan masyarakat Islam di Cirebon Jawa Barat berjudul “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanase Muslims”. Temuan penelitian ini menjelaskan secara deskriptif dan holistik prihal berbagai aspek tradisi keagamaan di Cirebon, meliputi sistem kepercayaan dan mitologi masyarakat Cirebon, perayaan hari-hari besar Islam, ziarah kubur, serta tradisi dan tarekat di pesantren Buntet. Temuan tentang yang terakhir ini relevan dengan


(26)

12

permasalahan peneliti, di mana terdapat dua aliran tarekat di pesantren Buntet, yaitu tarekat Tijaniyah dan Syattariyah, yang keduanya berpengaruh terhadap ajaran keagamaan, aktivitas keagamaan, dan relasi sosial-pendidikan di Pesantren Buntet. Secara umum, penelitian ini telah cukup apik mendeskripsikan tentang kehidupan keagamaan dan tradisi Islam di masyarakat Cirebon, namun kurang fokus pada analisa tentang kaitan antara tarekat dengan pesantren.

Zulkifli (2002) mengkaji tentang “Sufism in Java: the Role of the Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java”. Penelitian ini memiliki kesamaan metode dengan Martin dan Muhaimin, namun dengan analisis yang lebih mendalam. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pesantren dan para kyai di Jawa telah berperan dalam menanamkan tasawuf kepada para santrinya sehingga tumbuh pesat melalui institusi pesantren. Zulkifli melihat bahwa ibadah haji merupakan media dalam menghubungkan ulama Indonesia yang mengajar di Mekah (Masjid Al-Haram), seperti Imam Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dengan para santri di Indonesia untuk menyalurkan ilmu tasawufnya sehingga terjadi relasi antara tradisi Jawa dan Mekah. Kemudian Zulkifli juga telah membandingkan antara dua pesantren di Jawa, yaitu: (1) Pesantren Tebu Ireng,

Jawa Timur di bawah tradisi Syeikh Hasyim Asy‟ari yang telah me-maintenance tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Jawa Timur; dan (2) Pesantren Suralaya, Jawa Barat di bawah pimpinan Abah Anom yang berhasil mengembangkan ajaran tasawuf TQN yang ditanamkan melalui pengajaran di pesantren dari satu genenrasi ke generasi melalui Pondok Remaja Inabah (pondok rehabilitasi pemuda yang terjangkit narkoba). Penelitian ini telah menggambarkan


(27)

13

secara antropologis peranan institusi pesantren dalam melakukan maintenance ajaran tasawuf melalui metode yang dikembangkan di pesantren.

Dalam kaitan tasawuf dengan institusi ekonomi terdapat beberapa penelitian

dari Mu‟tashim dan Mulkhan, serta Lukman Hakim. Mu‟tashim dan Mulkhan (1998) meneliti tentang “Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat

Industri”. Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan sosio-ekonomi penganut tarekat Syadzaliyah di Kudus Kulon, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa relasi antara kehidupan spiritual dan sosial penganut tarekat Syadzaliyah tercermin dari tiga pusat kegiatan kehidupan mereka: rumah, pasar, dan masjid. Etos kerja yang bersumber dari ajaran tarekat berkembang menjadi dasar ekonomi produktif. Jaringan bisnis kaum tarekat Syadzaliyah menjadi suatu sistem yang memberi landasan kekuasan dan pengembangan ekonomi produktif. Di sini juga tercermin adanya dualisme, di mana di satu sisi mereka sangat fanatik terhadap ajaran tarekatnya, tetapi di satu sisi mereka bekerja keras pada waktu siang dalam usaha mencari untung dari kegiatan ekonomi yang dijalankan. Hasil penelitian ini menepis tuduhan bahwa kaum tarekat sangat skeptis terhadap kehidupan material, tetapi mereka juga turut andil dalam usaha bisnis dan kegiatan ekonomi yang mereka jalankan. Penelitian ini memiliki perbedaan dari segi subjek dan konteks penelitian. Namun, hasil kajian yang menggunakan metode kualitatif ini sangat relevan, yang telah mengaitkan antara tarekat dan institusi ekonomi secara sosiologis, di mana peneliti hendak melihat kaitan antara tarekat dengan industri batik.


(28)

14

Lukman Hakim (2003) telah meneliti tentang “Etos Kerja Penganut Tarekat

(Studi Kasus Terhadap Pengikut Tarekat Assyahadatain di Desa Gebang Kulon Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon)”. Penelitian ini mengkaji keterkaitan ajaran tarekat dan etos kerja ekonomi para penganutnya. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka, hasil penelitian ini menunujukan bahwa terdapat perbedaan etos kerja antara sesama anggota tarekat satu dengan yang lain yang dipengaruhi oleh pemahaman ajaran tarekat dan faktor-faktor lain (kebutuhan hidup, penguasaan terhadap aset produksi, dan penguasaan pemasaran). Penelitian ini memiliki kesamaan wilayah kajian dan metode dengan penelitian peneliti, yaitu sama-sama meneliti kajian tentang tasawuf di Cirebon dengan menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya terletak pada subjek penelitiannya, yang mana Hakim mengkaji tentang tarekat Assyahadatain dan fokusnya hanya kepada perilaku etos kerja, sementara peneliti hendak mengkaji tarekat Syattariyah dalam kaitannya dengan perkembangan institusi sosial. Kendati berbeda, temuan Hakim ini telah menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara ajaran tarekat dengan perilaku ekonomi (etos kerja) para penganutnya sehingga sangat relevan dengan penelitian peneliti.

Dalam kaitan antara tarekat dan aspek sosio-politik terdapat penelitian Thohir dan Hamdi yang melihatnya dari sisi historis. Ajid Thohir (2002) telah

meneliti tentang “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik

Anti-Kolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat telaah historis dengan format kajian pustaka. Penelitian ini menggambarkan bagaimana Tarekat Qadiriyah wa


(29)

15

Naqsabandiyah (TQN) mengubah peran dan fungsinya dari sistem sosial-organik ke sistem religio-politik. Fenomena perubahan sosial politik di Indonesia dari kesultanan ke kolonialisme pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 menjadi faktor utama TQN bertransformasi ke gerakan politik menentang kolonialis Belanda. Penelitian ini menjelaskan bahwa ikatan solidaritas sufi yang didukung oleh kharisma suci telah menjadi jembatan efektif dalam menggalang konsolidasi dan membangun gerakan berideologi anti-kolonial. Penelitian Thohir ini memiliki perbedaan metodologi yang lebih bersifat historis dan terbatas pada data-data sejarah. Penelitian Thohir juga kurang menjelasakan perkembangan gerakan sosial TQN dari sisi sosiologis pada masa saat ini.

Dengan mengaitkan antara sejarah dan perkembangan saat ini, Mohammad Hamdi (2009) telah mengkaji tentang “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Keraton Cirebon”. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika, sejarah, ajaran, dan kegiatan tarekat Syattariyah di lingkungan kraton. Melalui metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, studi pustaka, dan dokumentasi, penelitian Hamdi menemukan bahwa: (i) Secara historis, masuknya tarekat Syattariyah ke Cirebon melalui dua jalur, yaitu melalui jalur Syeikh Datul Kahfi pada masa awal penyebaran Islam sekitar abad ke-15 M, dan melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan; (ii) Ajaran wajib tarekat ini meliputi kegiatan bai’at, shalat, puasa, dzikir, dan pengjian di pengguron-pengguron; (iii) Dinamika perkembangan tarekat Syattariyah di keraton bersifat fluktuatif, naik-turun dari masa ke masa; (iv) Sekitar tahun 2009 perkembangan dan kuantitas jamaah tarekat ini sedang menurun yang disinyalir telah dipengaruhi arus modernisasi.


(30)

16

Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian berbasis historis. Namun secara implisit penelitian ini menggambarkan bahwa tarekat sejak dulu telah berafiliasi dengan keraton, di mana keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan, hingga terjadi perubahan di mana keraton saat ini hanya berfungsi sebagai pusat kultural di Cirebon. Penelitian Hamdi juga kurang mengeksplor kaitan antara tarekat dengan kehidupan keraton saat ini sehingga pembahasannya terlalu terfokus pada deskripsi sejarah tarekat Syattariyah di keraton Cirebon.

Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian Selo Soemardjan dan Hiroko Horikosi. Penelitian Selo Seomardjan (1961) tentang “Perubahan Sosial di

Yogyakarta” merupakan kajian sosio-historis tentang perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan yang terjadi di Yogyakarta sejak masa kolonial Belanda (1755-1942), masa kolonial Jepang (1942-1945) hingga masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-1950an). Observasi, wawancara mendalam, dan kajian historis atas naskah-naskah teks kuno merupakan instrumen yang melandasi metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif ini. Dari hasil studi ini, Soemardjan menggambarkan suatu proses perubahan sosial berdasarkan berbagai karakteristik khusus, seperti perubahan fungsi kesultanan yang fluktuatif dari masa ke masa, perubahan sistem ekonomi di pedesaan yang berubah dari sistem agraris beralih ke sistem produksi, maupun perubahan pendidikan dan budaya, serta hambatan-hambatan perubahan yang terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Yang terpenting dalam penelitian ini adalah relevansinya tentang penjelasan agen perubahan (agent of change) sebagai pelopor perubahan sekaligus dipengaruhi


(31)

17

pula oleh perubahan yang diciptakan. Sultan Yogyakarta dipandang sebagai agen yang memainkan peran penting sebagai pelopor perubahan sosial. Dalam hal ini, lembaga poltik, keagamaan, ekonomi dan pendidikan terjalin satu sama lain sehingga perubahan penting yang terjadi pada suatu lembaga mungkin sekali diikuti oleh perubahan pada lembaga lainnya (Soemardjan, 1961:304).

Sementara Soemardjan lebih mengaitkan sultan sebagai agen perubahan, penelitian Hiroko Horikoshi (1987) tentang “Kyai dan Perubahan Sosial” lebih menitikberatkan tokoh agama sebagai agen perubahan. Penelitian ini menjelaskan peranan kyai dan ulama yang tidak lagi berperan sebagai cultural broker (makelar budaya) sebagaimana asumsi C. Geertz . Horikoshi telah menghadirkan suatu studi etnografis yang menjelaskan bahwa kyai dan ulama sebagai tokoh kharismatik telah mampu berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa. Dengan otoritas yang dimiliki, kyai juga mampu menjadi agen perubahan dengan menggandeng modernisasi dan tidak hanya menyaring atau menyampaikannya saja. Kyai telah mampu membangun desa dan turut andil dalam usaha memajukan ekonomi masyarakat desa. Penelitian ini cukup relevan untuk menggambarkan bagaiaman agen (kyai) berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa.

Kedua penelitian ini telah menggambarkan agen perubahan yang memiliki berkontribusi penting dalam mewujudkan perubahan sosial. Baik kyai maupun sultan keraton memiliki otoritas kekuasaan di mana perubahan fungsi yang dialaminya telah mempengaruhi perubahan lingkungan sosialnya. Kedua penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini, telah apik menggambarkan secara sosiologis peran agen dalam mempengaruhi perubahan. Namun, peneliti


(32)

18

belum menemukan penelitian yang secara khusus menjelasakan kaitan antara tarekat dengan perubahan sosial dari perspektif sosiologis.

Berdasarkan 12 penelitian terdahulu yang terkait dengan kaitan antara tarekat dengan perubahan sosial, pada umumnya kesemuanya menggunakan metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Sebagian penelitian juga menggunakan kajian interdisipliner, yang mengaitkan antara disiplin sosiologi dengan filologi, antropologi, politik, dan ekonomi, yang menggunakan metode fenomenologi, etnografis, kajian historis, atau kajian manuskrip. Kesemua penelitian tersebut cukup relevan dengan topik yang hendak peneliti kaji, yaitu tasawuf dan perubahan sosial. Adapun kelemahan berbagai penelitian terdahulu tersebut antara lain: (i) kebanyakan penelitian tarekat Syattariyah hanya bersifat deskriptif-etnografis; (ii) ketika membahas kaitan antara tarekat dengan perekembangan masyarakat secara interdisipliner, kebanyakan penelitian terlalu terfokus pada satu sudut pandang disiplin ilmu saja sehingga menimbulkan ketimpangan analisis; (iii) belum ada penelitian yang membahas kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang mencakup perkembangan institusi sosial secara komprehensif.

Oleh karena itu, peneliti hendak mengisi lubang kosong yang terdapat dari literatur penelitian tentang tarekat Syattariyah dari perspektif sosiologi. Penelitian ini penting untuk menjelaskan kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang dilihat dari perkembangan institusi sosial, meliputi; keraton, pondok pesantren, dan industri batik.


(33)

19

E. Kerangka Teoritis

E.1. Definisi Konseptual E.1.1. Tasawuf

Istilah “tasawuf” secara umum berarti jalan hidup menuju kedekatan kepada Tuhan, ketenangan dan kesucian batin, serta kemuliaan akhlak (moral atau budi pekerti). Tasawuf juga sering disamakan dengan fenomena mistisme dalam tradisi Kristen atau agama lainnya, namun para ahli sepakat bahwa tasawuf (sufisme) adalah khusus pada agama Islam (Amsal Bakhtiar, 2003:22).

Adapun penganut ajaran tasawuf disebut dengan sufi. Dalam menelusuri asal-usul kata “sufi”, para ahli berbeda pendapat. Sebagian mengatakan kata

“sufi” berasal dari kata shaf (bersih), shaffah (penjaga pintu Ka‟bah), atau ada pula yang mengatakan istilah ini berasal dari bahasa Yunani sfia (filsafat/hikmah). Namun yang paling masyhur ialah bahwa istilah sufi berasal dari kata shuf yang berarti kain wol. Pendapat ini dapat ditelusuri dari sejarah tasawuf yang menjelaskan, apabila seseorang hendak menempuh jalan tasawuf, maka ia diharuskan menanggalkan pakaian mewah, diganti dengan kain wol kasar yang melambangkan kesederhanaan serta jauh dari kehidupan dunia (Al-Taftazani, 2008:22-23). Jadi, kaum sufi dengan kehidupan asketiknya ditandai dengan kebiasaan memakai jubah penuh tambalan, yang setelah meninggal dunia syeikh mewariskan jubah tersebut kepada muridnya (Turner, 2012:195).

Dalam mendefiniskan istilah „tasawuf‟ para ahli pun berlainan pendapat. Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdy dalam kitabnya, Tanwirul Qulub fi


(34)

20

Mu’amalah ‘Alamil Ghuyub, berpendapat bahwa “tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya)” (dalam Mustafa, 2007:203-205). Dalam ilmu tersebut, Al-Kurdy merumuskan bahwa jalan menuju kepada Tuhan melalui empat cara, yaitu syari‟at, thariqat, haqiqat, dan ma‟rifat.

Kemudian Ibnu Khaldun (2011) dalam karyanya Mukaddimah, mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :

Ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu syari‟at yang muncul di kemudian hari dalam agama... yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan memfokuskan pada pengabdian kepada Allah Ta‟ala, menghindari kemegahan gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya, mengasingkan diri dari keramaian dunia serta berkhalwat untuk memusatkan diri dalam beribadah (h.865).

Ibnu Khaldun melihat tasawuf sebagai suatu jalan hidup (the way of life) yang berusaha menjauhi kehidupan duniawi dan aspek material (zuhud), untuk beralih kepada jalan hidup sederhana, dengan berkontemplasi, mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup hanya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan.

Menurut Harun Nasution (2010:43), “tasawuf merupakan ilmu pengetahuan

yang karenanya mempelajari cara-cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat

berada sedekat mungkin dengan Allah Swt”. Maka, tasawuf dapat diartikan sebagai tuntunan, cara atau jalan yang bertujuan untuk mencapai kedekatan hati, penyucian hati, dan kemuliaan akhlak.


(35)

21 E.1.2. Tarekat

Istilah tasawuf sebagai jalan hidup ini identik dan berkaitan dengan istilah

“tarekat” yang sering diasosiasikan sebagai suatu kelompok atau komunitas aliran tasawuf. Istilah tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan), dalam artian sebagai suatu jalan menuju kepada hakikat, atau sama dengan pengamalan syariat (Mustofa, 2007:280). L. Massignon, yang telah meneliti kehidupan tasawuf di

beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah “tarekat”

mengandung dua macam pengertian (Mustofa, 2007:281-282):

1) Tarekat sebagai jalan pendidikan kerohanian, atau tingkatan yang sedang ditempuh oleh penganut cara hidup tasawuf (suluk). Tingkatan tersebut sering disebut juga maqamat (tingkatan) atau ahhwal (keadaan). Pengertian ini masyhur pada masa-masa awal sekitar abad ke-9 dan 10 M.

2) Tarekat sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan tertentu yang

dibuat oleh seorang “syeikh” atau guru yang menganut aliran tasawuf

tertentu. Dalam perkumpulan tersebut seorang syeikh mengajarkan ilmu tasawuf menurut aliran tarekat yang dianutnya, lalu dipraktikkan bersama-sama dengan muridnya. Pengertian ini menonjol setelah abad ke-10 M.

Berdasarkan pendapat Massignon tersebut, definisi tarekat telah bergeser dari sebagai suatu tingkatan capaian pendidikan batin, menjadi suatu organisasi (perkumpulan) tasawuf. Definisi tarekat sebagai suatu perkumpulan tasawuf ini dikukuhkan oleh Al-Taftazani (2008:294) yang menyatakan:


(36)

22

Tarekat bagi sufi masa terakhir diartikan sebagai sekumpulan sufi yang bergabung dengan seorang syeikh tertentu, tunduk pada aturan-aturan yang terperinci dalam tindakan spiritual, hidup secara berkeliling dalam momen-momen tertentu serta membentuk majlis-majlis ilmu secara organisasi.

Dari definisi ini terlihat peran sentral seorang syeikh sebagai tokoh utama dalam organisasi atau perkumpulan tarekat. Oleh karena itu, penamaan suatu tarekat sering dinisbatkan kepada syeikh atau ulama yang menjadi pendiri atau pemimpin suatu tarekat, seperti tarekat Qadariyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani (w.561 M/1166 H), tarekat Syadzaliyyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abu Hasan A-Syadzili (w.656 H/1258 M), atau tarekat Syattariyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdullah Al-Syaththari (w.809 H/1485 M), dan berbagai tarekat lain yang demikian halnya.

Senada dengan Al-Taftazani, Martin Van Bruinessen (1996:15) juga memandang tarekat sebagai organisasi sufi :

Kata tarekat secara harfiyah berarti jalan, mengacu baik kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dsb.) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini. Tarekat itu mensistematisasikan ajaran metode-metode tasawuf (h.15).

Berdasarkan definisi tersebut, tarekat di sini dapat dilihat sebagai organisasi tasawuf atau kelompok para sufi yang dipimpin oleh seorang mursyid (guru tarekat) yang dikelilingi oleh para murid-murid setianya yang sedang menempuh jalan kesufian (salik). Mereka bersama-sama mengamalkan ajaran dan ritual keagamaan (muraqabah, dzikir, wirid, dsb.) sesuai dengan tuntunan dari mursyid sebagai sistem latihan meditasi maupun amalan. Tarekat dipandang sebagai organisasi yang mensistematisasikan ajaran metode-metode tasawuf, di mana


(37)

23

seorang pengikut tarekat dapat mencapai kemajuan dengan melalui sederetan ijazah berdasarkan tingkatnya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat yang sama; dari pengikut biasa (mansub) hingga murid, selanjutnya hingga pembantu syaikh atau khalifah-nya, dan akhirnya __dalam beberapa kasus__ hingga menjadi guru yang mandiri (mursyid).

Menurut Martin (1996:15-16) tarekat juga memiliki fungsi-fungsi bagi pengikutnya dan masyarakat luas; (1) Fungsi spiritual (memberikan ketenangan dan peningkatan spiritual melalui metode meditasi tasawuf); (2) Fungsi sosial (satu pengikut dengan pengikut lain adalah keluarga (ikhwan) di kala sedang melakukan perjalanan jauh dapat menginap di zawiyah (pondokan) kepunyaan anggota lain); (3) Fungsi politis (banyak syeikh kharismatik yang juga memainkan peran politik karena mendapat dukungan besar dalam percaturan politik.

E.1.3. Institusi Sosial

a) Definisi Institusi Sosial

Dalam sosiologi, terdapat perbedaan dalam penyebutan konsep “institusi

sosial”. Sebagian ahli menyebutnya sebagai “lembaga sosial”, sebagian lainnya menyebutnya dengan “lembaga kemasyarakatan”, adapula yang menyebutnya sebagai “pranata sosial”. Hal itu dikarenakan belum ada istilah yang tepat untuk

menerjemahkan istilah social institutions dari bahasa Inggris. Peneliti tidak akan membahas secara panjang lebar tentang perdebatan istilah ini. Dalam penelitian ini, peneliti cenderung memilih istilah “institusi sosial” sebagai penyerapan langsung dari istilah social institutions.


(38)

24

Para sosiolog pun telah mendefinisikan istilah social institutions. Menurut

Mac Iver dan Charles H. Page (1957:15), “institutions defined as established forms of procedure” (institusi didefinisikan sebagai berbagai bentuk tat a-cara/prosedur yang dibentuk). Dengan kata lain, definisi ini menjelaskan institusi sebagai rangkaian tata-cara kehidupan guna mengatur hubungan manusia. Sumner (1960:61-62) juga mengatakan, “An institution consists of a concept (idea, notion, doctrine, interest) and a structure... The structure holds the concept and furnishes instrumentalities for bringing it into the world of fact and action in a way to serve the interest the man in society” (Suatu institusi berisikan suatu konsep (ide, dokrin, kebutuhan) dan struktur. Struktur berisikan konsep dan cara-cara yang mengantarkan pada berbagai fakta dan tindakan guna memenuhi kebutuhan masyarakat). Dengan kata lain, institusi dilihat sebagai tata cara dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut Paul B. Horton dan Charles L. Hunt (1984:245-246) institusi sosial

ialah “sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebuthan dasar masyarakat”. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa „nilai-nilai‟ umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; „prosedur‟ umum adalah pola

perilaku yang dibakukan dan diikuti; sementara „sistem hubungan‟ adalah

jaringan peran serta status yang menjadi media untuk melaksanakan suatu peran dan tindakan tertentu.


(39)

25 b) Karakteristik Institusi Sosial

J. Lewis Gillin dan J. Philip Gillin (dalam Soemardjan dan Soemantri, 1964:67-70) menjelaskan beberapa karakteristik institusi sosial, yang meliputi:

1. Suatu institusi sosial adalah suatu organisasi pola pemikiran dan perilaku yang dimanifestasikan dalam aktivitas sosial dan produk material.

2. Semua institusi sosial memiliki tingkat kekekalan tertentu. 3. Suatu institusi sosial memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.

4. Suatu institusi sosial memiliki alat-alat/perlengkapan yang digunakan untuk menjapai tujuan dari institusi yang bersangkutan.

5. Suatu institusi sosial memiliki lambang atau simbol.

6. Suatu institusi sosial memiliki tradisi tertulis maupun tidak tertulis yang berisikan formulasi dari tujuan, tata cara, dan perilaku individu-individu yang berpartisipasi di dalamnya.

c) Tipe-tipe Institusi Sosial

Gillin dan Gillin juga menjelaskan tipe-tipe institusi sosial (dalam Soemardjan dan Soemantri, 1964:70-72) berdasarkan perspektif yang berbeda:

i. Dari sudut pandang perkembangan institusi (development of institutions):

Crescive institutions (institusi yang tidak sengaja tumbuh dari tradisi/adat kebiasaan masyarakat);

Enacted institutions (institusi yang segaja dibentuk untuk memenuhi


(40)

26

ii. Dari sudut pandang sistem nilai yang diterima masyarakat (the accepted system of values):

Basic institutions (institusi yang paling penting untuk menjaga ketertiban sosial dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat);

Subsidiary institutions (institusi yang kurang penting dan hanya

berfungsi memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat).

iii. Dari sudut pandang penerimaan masyarakat (public acceptance):

Sanctioned institutions (institusi yang diterima masyarakat);

Unsanctioned institutions (institusi yang menyimpang/tidak diterima

masyarakat).

iv. Dari sudut pandang penyebaran dalam populasi (spread of population):

General institutions (institusi yang dikenal seluruh masyarakat);

Restricted institutions (institusi yang dikenal sebagian masyarakat saja). v. Dari sudut pandang metode penggunaannya (method of functioning):

Operative institutions (institusi yang berfungsi mengoperasikan pola atau tata cara untuk mencapai tujuan utama);

Regulative institutions (institusi yang berfungsi untuk meregulasi/

mengawasi adat istiadat atau tata perilaku masyarakat).

d) Hubungan Antar Institusi Sosial

William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff (1964:637-638) melihat institusi sebagai bagian dari sistem sosial. Mereka mengelompokan institusi ke dalam lima bentuk yaitu: institusi ekonomi, keluarga, pemerintahan, pendidikan, dan agama.


(41)

27

Semua institusi tersebut saling terhubung satu sama lain sebagai sebuah sistem (lihat gambar 1.1).

Dari sudut pandang demikian Ogurn dan Nimkoff menjelaskan bahwa terdapat interrelationship antar satu institusi dengan institusi lain. Ogburn dan Nimkoff juga menambahkan bahwa setiap institusi memiliki fungsi yang berbeda, namun terhubung satu sama lain sebagai sebuah sistem.

Gambar 1.1 Hubungan Timbal-balik Antar Institusi Sosial

*Sumber: Diadopsi dari Ogburn dan Nimkoff, Sociology (1964:638)

Kemudian James W. Vander Zenden (1979:370) juga mengatakan bahwa

Institutions do not exist in isolation from one another. They are bound together within a complex web of interrelationships” (Berbagai institusi yang ada tidak lah terisolasi satu sama lain. Mereka terikat bersama dalam suatu jaringan kompleks hubungan timbal balik). Dengan hubungan timbal balik antar institusi sosial, maka perubahan pada suatu institusi akan berpengaruh terhadap perubahan pada institusi lainnya.

Institusi Ekonomi

Institusi Keluarga

Institusi Pendidikan Institusi

Pemerintahan Institusi


(42)

28

e) Pendekatan/Metode Analisis Institusi Sosial

Mac Iver dan Charles H. Page menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam menganalisis institusi sosial (dalam Soemardjan dan Soemantri, 1964:77):

1. Historical Analysis; analisis secara historis dengan menelusuri sejarah timbul dan perkembangan suatu institusi sosial tertentu.

2. Comparative Analysis; analisis secara komparatif yang membandingkan suatu kasus pada institusi tertentu dengan institusi lain

3. Functional Interrelationships Analysis; analisis secara fungsional tentang hubungan timbal balik antara suatu institusi dengan institusi lain dalam suatu masyarakat tertentu.

Ketiga pendekatan/metode tersebut merupakan instrumen untuk meneliti institusi sosial. Pendekatan tersebut dapat pula digunakan secara bersamaan untuk menggambarkan hasil penelitian yang lebih komprehensif.

E.2.4. Perubahan Sosial

a) Definisi Perubahan Sosial

Para sosiolog memiliki difinisi yang berbeda-beda mengenai perubahan sosial. Sztompka (2010:3) menjelaskan perubahan sosial sebagai bagian dari

sistem sosial bahwa “perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang

terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan

antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan”. Dari definisi ini,


(43)

29

perbandingan yang sama. Apabila dipilah-pilah, maka perubahan sosial tersebut mencakup: perubahan komposisi, struktur, fungsi, batas, hubungan antar subsistem, dan perubahan lingkungan.

Horton dan Hunt (1984:208) mendefinisikan perubahan sosial sebagai

“perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial”. Di sini struktur sosial

diandaikan sebagai kerangka bangunan masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan secara interdependen sehingga perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi perubahan elemen lainnya.

Selo Soemardjan (1961:3) mendefinisikan konsep perubahan sosial sebagai

“bermacam perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola tingkah laku antar-kelompok di dalam masyarakat”. Menurut Soemardjan (1961:4) tidak ada perubahan yang berdiri sendiri sehingga apabila terjadi bagian pada salah satu bagian, maka akan terjadi perubahan pada bagian lain. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi dari tatanan struktur sosial yang saling berjalin (interwoven) dari berbagai lembaga sosial dalam masyarakat.

Dari sudut pandang tingkat perubahan, Lauer (2003:5) mendefinisikan

perubahan sosial sebagai “...perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehi

-dupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia”. Pada titik ini

perubahan sosial dapat dianalisis dalam tingkatan level sosial yang berbeda: mikro, mezzo, dan makro. Pada tingkat mikro, perubahan dapat dilihat pada unit analisa keluarga, komunitas, kelompok pekerjaan, dan lingkungan pertemanan.


(44)

30

Pada tingkat mezzo perubahan dilihat pada unit perusahaan, partai politik, gerakan keagamaan, dan asosiasi besar. Sedangkan pada tingkat makro perubahan terjadi pada tingkat sistem internasional, bangsa, atau negara.

b) Sifat Perubahan Sosial

Sifat perubahan sosial dapat dibedakan menjadi dua, berdasarkan terencananya perubahan (Setiadi dan Kolip, 2011:645-646):

1) Perubahan yang dikehendaki (intended-change) dan direncanakan (planned change); perubahan yang diperkirakan atau telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan (agent of change), yaitu seseorang atau kelompok yang berperan terhadap perubahan yang terjadi. Cara yang digunakan melalui sistem yang teratur dan terencana disebut social planning.

2) Perubahan yang tidak dikehendaki (unitended change) dan tidak direncanakan (unlaned change); perubahan sosial yang terjadi tanpa dikehendaki sehingga proses perubahan di luar jangkauan kontrol masyarakat sehingga kerap kali menimbulkan akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan.

c) Proses Perubahan Sosial

Horton dan Hunt (1984:212-213) mengklasifikasikan proses perubahan sosial menjadi tiga:


(45)

31

1) Discovery (penemuan baru); Tambahan pengetahuan terhadap khazanah pengetahuan yang telah diverifikasi kebenarannya, tentang sesuatu yang sudah ada. Suatu penemuan baru dapat menjadi faktor perubahan sosial bila hasil penemuan tersebut didayagunakan masyarakat.

2) Invensi (kombinasi baru); kombinasi atau cara penggunaan baru dari pengetahuan yang sudah ada, menjadi suatu benda yang belum pernah ada sebelumnya yang meliputi rangkaian modifikasi, pengembangan, dan kombinasi ulang yang dapat bersifat baru dari segi bentuk, fungsi, dan maknanya.

3) Difusi (penyebaran); penyebaran unsur-unsur budaya dari satu kelompok ke kelompok lainnya yang dapat berlangsung baik di dalam masyarakat maupun antar masyarakat. Apabila beberapa kebudayaan saling mengadakan kontak, maka pertukaran beberapa unsur kebudayaan terjadi. Difusi juga merupakan proses selektif disertai modifikasi tertentu terhadap unsur-unsur serapan. Dalam hal ini, dapat terjadi proses akulutrasi (penggabungan dua budaya atau lebih menjadi suatu budaya gabungan tanpa menghilangkan unsur budaya masing-masing) ataupun proses asimilasi (penggabungan dua budaya atau lebih menjadi suatu budaya baru yang meleburkan unsur-unsur budayanya.

d) Faktor-faktor Penentu Perubahan Sosial

Gillin dan Gillin (1957) mengatakan bahwa perubahan sosial meliputi


(46)

perubahan-32

perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat”. Penjelasan tersebut mengindikasikan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

A.W. Green (1964) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat dan kadar perubahan sosial meliputi: (1) Ultimate Conditions; berbagai faktor yang berada di luar batas kekutan manusia seperti: lingkungan fisik, perubahan iklim, dan ukuran populasi; (2) Institutional Integration; sistem yang mempersaatukan berbagai institusi agar berjalan secara harmonis menuju titik keseimbangan (equilibrium); (3) Social Values and Ideology; ide atau nilai-nilai yang mengatur hubungan antar masyarakat dalam konteks tertentu, seperti: sosialisme dan kapitalisme; (4) Technology Base; perkembangan dan kemajuan teknologi dalam masa tertentu yang turut mempengaruhi hubungan sosial, seperti revolusi industri yang didasari penemuan mesin uap; (5) the Role of Innovator; peran aktor-aktor yang menemukan suatu penemuan baru yang selanjutnya diikuti, diterima, dan merubah kehidupan banyak orang, seperti: pemuka agama, tokoh pemikir, dan para ilmuwan.

Adapun faktor pendorong perubahan sosial dapat meliputi faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal perubahan sosial antara lain (Stark, 1987:434-436): Pertama, Innovations (penemuan baru), yang di sini meliputi: respon terhadap teknologi baru, budaya baru berupa kepercayaan dan nilai-nilai baru, dan struktur sosial baru seperti munculnya masyarakat modern melalui proses modernisasi. Kedua, Conflict (perselisihan); yang bersumber dari


(47)

33

perbedaan kelas, ras, kelompok etnis, dan perbedaan agama. Ketiga, Growth (pertumbuhan); yang meliputi kelahiran, kematian, atau migrasi yang mempengaruhi ukuran dalam suatu populasi.

Sementara faktor-faktor eksternal perubahan sosial yaitu (Stark, 1987:439-440): Pertama, diffussion (penyebaran), yaitu proses penyeberan budaya daru suatu masyarakat ke masyarakat sehingga interaksi antar budaya dapat menumbuhkan budaya baru, atau menggabungkan kedua budaya. Kedua, conflict (perang); antara masyarakat pribumi dan pendatang, meliputi konflik keyakinan, suku, ataupun konflik rasial. Ketiga, ecology (ekologi); yaitu perubahan dalam lingkungan fisik yang turut mempengaruhi perubahan sosial. seperti: bencana alam, global warming, dan perubahan iklim.

Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya mempengaruhi perubahan sosial. Namun dampak dari keduanya dapat berbeda. Terkadang dapat membawa kemunduran atau kehancuran suatu masyarakat, tapi di sisi lain dapat pula membawa kemajuan. Hal itu bergantung dari respon masyarakat, proses perubahan, dan fenomena yang terjadi setelah adanya perubahan (Stark, 1987:440).

Selain faktor-faktor pendorong di atas, terdapat pula faktor penghambat perubahan sosial, antara lain (Schaffer, 2008: 289-291): (i) Sikap masyarakat yang tertutup karena adanya nilai dan kepentingan yang mendarang daging (vested interest); (ii) Faktor ekonomi dan kultural, dengan memproteksi nilai-nilai material dan non-material, sehingga menyebabkan kesenjangan budaya (cultural


(48)

34

lag); (iii) Penolakan terhadap teknologi, seperti menolak adanya industri, internet, dan berbagai hal yang berbau asing dan modern __umumnya terjadi pada masyarakat adat atau pedalaman yang menjaga tradisi.

E.2. Definisi Operasional

E.2.1. Tasawuf sebagai Jalan Hidup

Tasawuf didefinisikan sebagai suatu pandangan hidup (the world of view) dan jalan hidup (the way of life) yang dijalankan oleh sekelompok orang berlandaskan nilai-nilai luhur ajaran Islam untuk menuju kemuliaan akhlak dan keselamatan di akhirat, dengan jalan menjauhi kehidupan duniawi dan aspek material, beralih kepada jalan hidup sederhana, berkontemplasi, mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup hanya dengan beribadah, mendekatkan Tuhan.

E.2.2. Tarekat sebagai Organisasi Sosial

Tarekat diartikan sebagai organisasi yang terdiri dari sekumpulan sufi yang bergabung dengan seorang syeikh tertentu, tunduk pada aturan-aturan yang terperinci. Tindakan spiritual dalam tarekat ditentukan berdasarkan otoritas syeikh, hidup secara bersama, menganut nilai-nilai hidup yang sama, melakukan ritual dan aktivitas khusus bersama, atau terikat dalam suatu ikatan emosional sebagai suatu saudara dalam menempuh jalan hidup dan tujuan yang sama. Organisasi tarekat yang menjadi subjek dalam penelitian ini ialah tarekat Syattariyah yang tersebar di keraton, pesantren, dan pengguron di Cirebon.


(49)

35 E.2.3. Institusi Sosial

Dalam penelitian ini, institusi sosial didefinisikan sebagai seperangkat aturan, norma, dan tata-cara yang dimanifestasikan dalam tindakan dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Institusi yang akan diteliti dalam penelitian ini ialah institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik. Dengan menggunakan pendekatan analisis historis, komparatif, dan fungsional, peneliti akan menganalisis kontribusi tarekat Syattariyah terhadap ketiga institusi tersebut, serta tipe dan hubungan antar institusi tersebut.

E.2.3. Perubahan Sosial

Perubahan sosial dibatasi sebagai proses transformasi dari suatu bentuk sistem sosial ke bentuk sistem sosial lainnya yang terjadi melalui perubahan pada suatu lembaga yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya. Perubahan tersebut mencakup nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku kelompok di masyarakat.

Cakupan perubahan sosial yang terjadi akan diamati dan dianalisis pada tataran mezzo, yakni berpusat pada tarekat Syattariyah sebagai organisasi keagamaan. Di sini akan dilihat kontribusi Tarekat Syattariyah sejak awal kehadiran di Cirebon terhadap perkembangan institusi-institusi sosial di Cirebon.

Proses perubahan sosial dapat dilihat melalui konsep discovery, invention ataupun diffussion, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial akan dianalisa dari sudut faktor internal maupun eksternal.


(50)

36

E.3. Kajian Teori: Teori Strukturasi

Teori strukturasi (theory of structuration) dicetuskan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens (1984) melalui bukunya The Constitution of Society. Teori ini memfokuskan pada hubungan dialektis antara agensi (agency) dan struktur (structure), di mana hubungan antara agensi dan struktur merupakan dualitas kesatuan. Semua tindakan sosial meliputi struktur dan semua struktur meliputi tindakan sosial, agensi dan struktur terjalin tidak terpisahkan dalam kegiatan-kegiatan praktik sosial yang berulang dan berkelanjutan. Giddens memerhatikan pula proses dialektis ketika praktik, struktur, dan kesadaran dihasilkan. Menurut

Ritzer (2012:890), “Giddens membahas isu agensi-struktur dengan cara yang historis, prosesual, dan dinamis”.

Titik tolak analisis teori strukturasi Giddens terletak pada “social practices ordered across space and time” (praktik-praktik sosial yang berulang-ulang lintas ruang dan waktu). Giddens mengatakan:

Human social activities, like some self-reproducing items in nature, are recursive. That is to say, they are not brought into being by social actors but continually recreated by them via the very means where by they express themselves as actors. In and through their activities agents reproduce the conditions that make these activities possible. (Giddens, 1984:2)

Jika diartikan secara bebas, maka fokus analisis teori ini terletak pada aktivitas sosial yang mana dalam mengungkapkan diri sebagai aktor, mereka terlibat dalam praktik dan melalui praktik itulah dihasilkan kesadaran maupun struktur. Proses ini berlangsung secara berkelanjutan dan melewati ruang dan waktu dalam dinamika perubahan masyarakat yang panjang.


(51)

37

Secara lebih rinci, Giddens (1984) menjelaskan tentang elemen-elemen dari teori strukturasi, yaitu:

1) Agency

Menurut teori strukturasi, agency (pelaku) merupakan aktor yang melakukan tindakan dan aktivitas sosial. Di sini Giddens (1984:5) menjelaskan tiga aspek penting yang terdapat pada agency dalam praktek-praktek sosialnya: (i) reflective monitoring of action (memonitor tindakan secara reflektif), yaitu gambaran tindakan sehari-hari aktor, meliputi hubungan aktor dengan orang lain di mana aktor tidak hanya memonitor tindakanya secara kontinu, tetapi juga aspek-aspek sosial dan prikologis di mana mereka bergerak; (ii) rasionalization of action (rasionalisasi

tindakan), yaitu bahwa aktor secara rutin membangun “theoritical understanding”-nya terhadap tindakan-tindakannya; (iii) motivation of action (motivasi tindakan), yaitu potensi atau tujuan yang mendorong aktor untuk bertindak. Ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 1.2. Model Skema Stratifikasi Agency

Sumber: Giddens (1984:5), the Constitutions of Society

Dalam ranah kesadaran, Giddens juga membedakan antara discursive consiousness (kesadaran diskursif) dan practical consiousness (kesadaran

unacknwoledged reflexive monitoring of action unintended conditions of razionalization of action consequences


(1)

lxxv

umum saja. Karena pertamanya ada alam, ya di sini. Yang samping kolam itu namanya witana, witana tuh awit-awitnya adanya tanah tuh di situ. Itu ada kula, ya mula-mulanya ada air ya di situ. Di sini belum ada orang di langit sudah ada orang, namanya planet wusna, yang dipimpin Batara Guru. Jadi orang-orang wayang itu ada, ya sama dengan orang kita. Kalau pewayangan itu mengisahkan orang tua.

12 P: Kalau vcd yang batiknya ada maknanya, seperti mega mendung maknanya apa gitu gak ada pak yai?

I: Ya ada, cuma dipinjam. Ya dulu kalau kita pakai mega mendung, itu dipanggil sama raja. „Kamu yang sabar, yang tenang, dalam rumah tangga‟. Kalau masih bujangan ya jangan marahan sama pacar. Ya udah kelihatan dari batik aja. Umpamanya kapal kandas, berarti sedang kandas dalam percintaan, apa dalam pekerjaan, dalam rumah tangga. Udah tahu raja tuh dari batik aja.

Batik mencerminkan kepribadian

pemakainya.

13 P: Berarti batik tuh mencerminkan kepribadian ya kyai? I: Ya begitu.

14 P: Kalau toko-toko batik itu kalau buka izin ke sini dulu kyai? I: Ya sekarang sih sudah umum aja, wong orang dari mana-mana ke sini semua, dari Bandung, Jakarta, Brebes, banyak. Ya kalau Sunan Gunung Jati terangnya kan ponakan, kalau di sini uwa nya. 15 P: Jadi Mbah Trusmi itu bagaimana kyai?

I: Ya Mbah Kuwu Cirebon ya Mbah Trusmi, ya awal-awal Cirebon ya di Trusmi ini.

16 P: Sama dengan Pangeran Cakrabuana?

I: Ya sama, Pangeran Cakrabuana, Raden Walangsungsang, orangnya itu-itu juga, namanya banyak. Itu tuh yang bikin daerah, yang bikin negara, ya dia.

17 P: Kalau bangunan yang ada sekarang itu di makam dari dulu memang begitu kyai?

I: Ya begitu.

18 P: Gak pernah direnovasi tah kyai?

I: Gak, gak pernah. Cuma diperbaiki yang bocor-bocor. Ya gak boleh dirubah. Kita misalnya kalau mau dapat bantuan, ya bisa bikin proposal ke pemerintah, tapi kita gak mau jadi komersil.

19 P: Kalau masyarakat di Trusmi itu kebanyakan apa pekerjaan kyai? I: Kebanyakan ya masyarakat sini membatik, di rumah-rumah. Saya juga dulu batik, selain Kyai terus juga usaha rotan, ke mana-mana, untuk ekspor. Dulu juga pameran di Jerman juara 1, ya saya. Saya tuh apa saja. Pernah sekali saya perputaran itu sampai milyaran, dari nol saya. Saya tiap usaha itu gak pernah punya modal. Cuma kalau orang tua dulu itu besar pasak daripada tiang. Jadi, usaha omset berapa sampai melambung milyaran, itu lebih banyak sedekahnya. Jadi antara sosial sama keuntungan itu lebih banyak sosialnya. Karena saya seneng nolong orang. Tapi saya walau sudah untung banyak, tetap bergaul dengan siapa saja, dengan tukang becak, dengan apa. Karena kalau kita bergaul dengan orang miskin itu kita bisa sedekah.

Mayoritas

masyarakat Trusmi bekerja sebagai pembatik.

20 P: Jadi kita jadi orang itu harus berjiwa sosial ya kyai?

I: Iya, cuma berat, mana ada pengusaha mau begitu. Saya kalau ada ya ada, enggak ada ya gak ada. Kalau ada ya saya kasih. Kita itu harus jujur, yang sering bohong itu ya ustadz-ustadz yang suka ceramah itu. Bicara surga itu begini-begini, memang dia pernah ke surga? kan enggak.


(2)

lxxvi

orang-orang yang sudah ma‟rifat, di sini itu akan kelihatan. Makannya dalam hadits itu man „arafa nafsahu faqad „arafa rabbahu, siapa mengenal dirinya pasti mengenal tuhannya. Cuma ilmu-ilmu seperti itu gak diajarai di Pesantren, nanti kalau diajari kyai-kyai gak ada murid. Hubungan dengan ghaib udah langsung. 21 P: Berarti itu seperti thoriqot-thoriqot itu ya kyai. Kalau di sini ada itu kyai, kalau di keraton kan ada pengguron, kalau di sini apa ada perkumpulan thoriqot seperti itu?

Sudah tidak ada mursyid tarekat di Trusmi.

I: Kalau di sini ya sudah gak ada perkumpulan thoriqoh. 22 P: Kalau peziarah itu biasanya pada nginep di sini atau di makam

kyai?

I: Kalau yang tirakat ada yang di sini, ada yang di makam sana. 23 P: Kalau thoriqot-thoriqot seperti Naqsabandiyah, Syattariyah, di

Trusmi itu apa ada sampai sekarang kyai?

I: Dulunya Naqsabandiyah ada, Syattariyah ada. Tapi sekarang sudah gak ada, karena para mursyidnya sudah meninggal.

Dulu sempat ada tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah, namun karena mursyidnya meninggal sekarang sudah tidak ada. 24 P: Itu waktu masih ada thoriqot-thoriqot itu tahun berapa pak kyai?

I: Ya sekitar tahun 73an. Itu terakhirnya, jadi sekitar 70an lah. Dulu sih kebanyakan orang sini semua. Kan yang paling pertama itu Naqsabandiyah, kalau Syattariyah itu lebih ke sini.

25 P: Kalau thoriqot yang 70an itu ada yang membatik juga?

I: Ya ada, bisa semua. Dulu kan mursyidnya di sini, Kyai Tholhah. Tapi sekarang sudah meninggal.

Sampai tahun 70an tarekat masih ada. 26 P: Berarti sepeninggalnya itu, perkembangan thoriqotnya tergilas

oleh kemodernan ya kyai? I: Ya, oleh keadaan.

27 P: Kalau di sini, dulu pimpinan thoriqot Naqsabandiyah nya itu siapa pak yai?

I: Itu Kyai Amad, Haji Tholhah. Ya dulu tempatnya di dekat makam keramat situ. Sampai sekarang juga masih kosong, gak ada apa-apanya, gak ada yang nempati. Dulu sih apa-apa itu sederhana. Kalau makan ada ya sama-sama, kalau gak ada ya sudah.

28 P: Jadi modelnya bukan pengguron atau pondok pesantren ya kyai? I: Ya kalau pesantren kan dikomersilkan kalau di sini enggak. Makannya di sini lambangnya juga padi. Kalau Belanda itu kan lambangnya pohon kelapa, kalau Cirebon kan padi. Kita gak bisa seperti ini kalau gak ada isinya. Orang juga kalau belum punya ilmu ya sombong aja. Tapi kan kalau punya ilmu ya nunduk. Dan kalau di sini itu gak ada murid gak ada guru, ya sama-sama. Nanggapnya ya anak saya, saudara saya, jadi gak mau kita menjatuhkan martabat orang lain. Sifatnya jadi kaya keluarga. Kalau murid ada bekas murid, kalau saudara gak ada bekas saudara. 29 P: Kalau batik ini kan mulai ramainya itu tahun 80an, itu memang

ada bantuan dari pemerintah atau menjamur sendiri begitu? I: Ya bantuan ya ada untuk pengerajin-pengerajin kecil itu. Pameran ya ada. Tapi kebanyakan buka sendiri.

30 P: Itu pengusahanya orang Cirebon semua atau pendatang? I: Ya orang sini, dari luar ada, tapi tetep orang sini.


(3)

lxxvii

I: Ya ada. Ya yang tani yang membatik juga, sama itu. Ya membatik dia nyuruh orang, tani dia juga buruh orang. Sawahnya itu luas-luas orang sini. Itu showroom-showroom omsetnya bisa ada 50 juta sehari. Tapi mereka itu kalau di keramat ada yang rusak, ratusan juta juga keluar itu. Asal kebutuhan di situ langsung, tapi ya kotak sumbangan tidak ada.

32 P: Berarti kalau ngasih ke sini dulu pak yai?

I: Ya walaupun ke sana, saya juga tahu karena kan ada laporan ke saya. Kalau ada saya ya langsung ke saya.

33 P: Baik pak yai, terima kasih banyak informasinya mohon maaf kalau saya ganggu gitu. Saya pamit dulu.

I: Ya sama-sama. Nanti kalau ke sini, kemaleman, mampir aja, tidur di sini gak apa-apa jangan malu-malu.


(4)

lxxviii

TRANSKRIP WAWANCARA XV

Informan : Bapak Katura AR.

Lokasi : Sanggar Batik Katura, Desa Trusmi Wetan, Kediaman Beliau

Status : Tokoh Masyarakat, Pimpinan (Pemilik) Sanggar Batik Katura, Seniman

Batik Nasional, Peraih Honoris Causa Magister of Art dari Hawaii University.

Tanggal : 15 Mei 2015

Waktu : 14.03-15.05

No Dialog Komentar

1 P: Kalau awal mula berkembangnya industri batik di Trusmi itu bagaimana pak?

I: Ya batik ini sudah ada sejak abad 14 dulu. Awalnya sih yang buat orang Trusmi sendiri, atas permintaan sultan waktu itu. Itu juga untuk dipakai sendiri saja, jadi dibuat lalu dijual untuk masyarakat sendiri saja.

Awalnya batik di Trusmi dibuat untuk dipakai sendiri. Mulai ada sejak abad 14 M.

2 P: Kalau mulai ramai seperti sekarang itu sejak kapan, apa perkembangannya meningkat atau menurun?

I: Kalau itu sih meningkat. Tapi batik mulai ramai itu ya baru-baru ini, baru tahun 1990an lah. Banyak bantuan dari pemerintah, pengusaha, investor juga akhirnya ramai seperti sekarang. Tapi sekarang batik itu ada yang dicap, ada yang ditulis. Tapi yang ditulis itu beda, harganya bisa sampai jutaan, dan lama bisa sampai berbulan-bulan. Kalau di sini kebanyakan tulis.

Mulai berkembang menjadi industri batik sejak 1990an.

3 P: Kalau di sini, itu sanggar Katura ini mulai perkembangannya bagaimana, apa Cuma ada di sini saja yang mengajarkan batik? I: Ya sekarang cuma di sini saja. Dulu sih banyak. Sanggar ini itu berdiri tahun 2007, baru. Tapi saya membatik ya sudah lama. Sering dari sekolah-sekolah itu pada ke sini, belajar batik. Biasanya rombongan gitu. Dulu juga ada dari Jepang, seperti mas ini, tapi dari fakultas seni. Dia skripsi saya yang bantu sampai selesai. Tapi dia lama waktu itu sampai berbulan-bulan.

4 P: Kalau pengrajin di sini sekarang ada berapa pak, apa kebanyakan itu orang Trusmi?

I: Kalau yang kerja sih sekarang sekitar 30 orang. Ya macam-macam, ada yang dari Garut, Indramayu, Tasik, tapi ya kebanyakan memang orang sini.

5 P: Itu bekerja nya dari kapan pak?

I: Itu setiap hari, tapi malam jumat libur. Karena kata orang tua dulu, ya harus seimbang lah antara usaha dan ibadah, jadi malam jumat ya untuk ibadah saja.

6 P: Kalau bekerjanya dari jam berapa pak?

I: Bekerjanya sih mulai jam 8 pagi sampai sore jam 5 lah.

P = Peneliti I = Informan


(5)

lxxix

7 P: Pak kalau dari sejarah yang saya baca, dulu itu awalnya batik Trusmi itu dibuat oleh para penganut thoriqot, itu apa betul pak? I: Ya sekarang sih sudah tidak ada pengrajin dari orang tarekat. Dulu mungkin iya waktu awal-awal. Tapi sekarang sudah umum saja. Yang kerja ya biasa gak ada yang thoriqot begitu.

Waktu awal-awal masih ada pekerja batik dari golongan kaum tarekat. 8 P: Kalau begitu, berarti apa ada makna atau filosofi dari batik itu

yang berkaitan dengan ajaran thoriqot gitu pak, misalkan seperti mega mendung, kangkung, atau paksi naga liman?

I: Ya mungkin ada ya. Seperti mega mendung itu kan artinya kan setiap orang itu harus mampu menahan emosinya, dengan kata lain, hati manusia diharapkan bisa tetap „adem‟ meskipun dalam keadaan marah, seperti awan kan muncul pas mendung itu bisa bikin sejuk. Kemudian makna dari warna batik Mega Mendung ini lambang dari pemimpin dan awan biru sebagai sifat pemimpin, harus bisa mengayomi seluruh masyarakat. Nah kalau gradasi warnanya yang berada di ornamen awannya, gradasi asli dari batik Mega Mendung ini ada tujuh gradasi yang maknanya diambil dari lapisan langit yang memiliki 7 lapis, begitu juga bumi yang tersusun dari 7 lapisan tanah. Jumlah hari dalam seminggu kan ada 7 hari. Kalau sekarang gradasi warna batik Mega Mendung sudah disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Gradasinya dikurangi atau diminimalkan menjadi 3-5 gradasi sesuai pesanan. Bahkan sudah ada juga batik Mega Mendung yang sengaja tidak diberi gradasi warna pada motif awannya karena tuntutan pasar.

Banyak motif batik yang bermaknakan nilai-nilai sufistik.

9 P: Kalau motif lain apa ada juga pak yang maknanya berkaitan dengan ajaran thoriqot syattariyah?

I: Ya kalau saya sih secara umum saja, memang ada kaitannya dengan agama, tapi kalau lebih mendalam saya kurang tahu, karena saya kan seniman ya. Mungkin ada motif dzal, dzal itu kan huruf ke lima, jadi melambangkan rukun Islam yang lima. Paling itu saja. Seperti tadi misalkan mega-mendung yang aslinya 7 gradasi warna, itu kan lambang langit ada 7, bumi ada 7 lapis. Ya paling seperti itu.

Tapi ya sebenarnya istilah batik juga ada filosofinya sendiri mas. Memang ada itu profesor yang bilang batik itu dari Arab, dari istilah huruf ba, ba dan titik, jadi batik. Tapi menurut saya batik itu ya dari Jawa, artinya bayane sitik, bayarnya sedikit, untungnya sedikit. Jadi sampai sekarang saya belum pernah melihat orang membatik, orangnya lho bukan pengusahanya itu kaya. Karena memang untuk satu batik saja butuh berbulan-bulan. Ya belum makannya sehari-hari, lain-lain, lakunya juga belum tentu batik itu. 10 P: Kalau dari motifnya apa ada yang berkaitan dengan thoriqot,

atau pengguron di keraton?

I: Ya motif keraton ada, misalnya motif Keprabonan, (pak Katura lalu ke dalam mengambil kain batik). Nah ini motif keprabonan. Jadi benda-benda yang nempel di keraton itu dijadikan inspirasi untuk motif batiknya. Begitu. Jadi motif batik itu secara umum ada dua. Pertama itu pesisiran, kedua keratonan. Nah kalau pesisiran itu biasanya binatang, pohon-pohon di pesisir, seperti itu. Nah kalau keratonan ya yang ada di keraton, seperti singabarong, mega-mendung, paksi naga liman, sunyaragi, tiap keraton juga ada. Begitu.

Motif batik Cirebon terbagi dua, ada pesisiran dan keratonan. Motif keratonan banyak terinspirasi dari bangunan keraton yang memiliki nilai


(6)

lxxx

filosofis dari tarekat. 11 P: Wah jadi setiap keraton itu punya ya pak. Kalau motif yang

keprabonan itu maknanya bagaimana pak, karena kan pengguron tarekat itu kebanyakan ya dari kaprabonan ya?

I: Iya, kalau keprabonan sih tentang benda-benda yang ada di Kaprabonan saja, seperti pagar, air mancurnya, macam-macam. Terus kita sebagai pembuat batik itu dikreasikan.

12 P: Kalau sekarang di tengah kemodernan perkembangan batik itu seperti apa pak?

I: Ya sekarang sih bisnis. Kadang batik itu banyak yang keluar dari pakemnya, karena memang tuntunan pasar. Sudah buat bisnis saja. Ada batik cap, kalau yang asli kan pakai malam, lilin itu. Jadi ya kalau batik tulis di sini sekarang sudah mulai mahal. Tapi ya sekarang perkembangannya pesat lah, karena bantuan juga semakin besar dari pemerintah. Internet juga kan sekarang sudah zaman modern, maju, jadi kalau mau mesan batik bisa lewat internet. Informasi, segala macam, juga sekarang bisa.

Nilai batik saat ini sudah menjadi komoditas bisnis.

13 P: Apa modernisasi juga malah menghambat perkembangan batik di Trusmi ini pak?

I: Kalau menghambat sih tidak, paling ya sedikit informasi bisa lah lewat internet.

14 P: Baik pak Katura, terima kasih banyak atas waktunya, informasinya, mohon maaf saya jadi mengganggu. I: Iya mas, sama-sama, semoga sukses ya.