ANALISIS SISTEM DETEKSI DINI PADA KETAHANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
ISLAMIC BANKING IN INDONESIA
Oleh SUMANDI 20130430327
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017
(2)
i
ISLAMIC BANKING IN INDONESIA SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh SUMANDI 20130430327
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017
(3)
(4)
(5)
iv
manfaatnya bagi orang lain."
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :
“
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
Hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
“ Sehebat apapun kamu hidup di dunia, setinggi apapun jabatanmu di
dunia dan dimanapun kamu berada, jangan pernah sekali-kali
meninggalkan Sholat dan Al-
Qur’an dan Al
-
Sunnah”
(Orang Tua Penulis)
“
Kunci untuk sukses di dunia dan diakhirat adalah selalu
mengedepankan kejujuran, menjadi orang yang bertanggung jawab
dan
bekerja keras”
(Orang Tua Penulis)
(6)
v
Bapakku yang sangat inspiratif Kamalludin yang dan Ibuku Baiq Nurmiati yang tak pernah lelah dalam memberikan kasih sayangnya kepada peneliti,
dan adik-adikku yang tercinta
Muhammad Nur Hadi adik yang paling unik, Kus Hariadi, adik yang paling penurut
dan Ririn Nurmiati adik yang tidak pernah mau berpisah dengan kakaknya dan dosen kece Dimas Bagus Wiratana Kusuma, serta pasukan GESFIDERS yang
tangguh tiada tara
(7)
vi
hidayah dan karunianya. Setelah berjuang dalam beberapa waktu, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Strata Satu (S-1) pada program studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti menyadari bahwa semua tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang begitu besar kepada :
1. Kedua orang tua penulis yang sering meningatkan penulis tentang arti sebuah hidup. Mengajarkan tentang filosopi hidup yang sangat bermakna, yaitu “ dimanapun kamu hidup, kamu harus bisa bermanfaat untuk orang lain”. Salah satu jalan yang diajarkan orang tua adalah dengan menjadi pembisnis/pengusaha. Karena dengan menjadi pengusaha dapat menciptakan lapangan pekerjaan. 2. Dosen pembimbing pak Dimas Bagus Wiranata Kusuma yang telah
mengajarkan penulis ilmu dukun (forecasting) sistem deteksi dini dan terima kasih telah banyak memberikan banyak motivasi dan dorongan kepada penulis untuk menjadi insan yang berkemajuan. Selain itu, penulis berterima kasih karena telah mengajarkan penulis tentang kesabaran serta telah membimbing penulis menjadi seorang leader yang keberadaannya dapat bermanfaat untuk orang lain.
(8)
vii Ilmu Ekonomi
4. Kaprodi Ilmu Ekonomi pak Imamudin Yuliadi. Sosok yang sangat bersahaja dan mengajarkan tentang arti sebuah kesabaran
5. Dosen-dosen Ilmu Ekonomi yang telah berjibaku mengajarkan kepada penulis tentang ilmu-ilmu ekonomi yang sangat luar biasa. 6. Teman-teman para pendiri Group of Economics Students for
Future Indonesia Development (GESFID), si rizal yang calon Gubernur NTB masa depan, si Pras calon Menteri pemberdayaan Umat Republik Indonesia di masa depan, si Rizky wahid calon motivator pengganti Mario teguh, si Wardimansyah calon Bupati Lombok timur di masa depan, si Ecky Calon Gubernur Jawa Barat Masa Depan, si Azi calon Walikota mataram masa depan, si Alif calon Walikota makasar masa depan dan Pasukan GESFIDERS lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dan juga Si calon bu dokter Silva Netta Oktari yang selalu curhat dari masalah terkecil sampai masalah terbesar dan selalu sabar kalau ditelpon tengah malam, walaupun tidurnya pasti terganggu. Semoga di tahun 2017 bisa mendapatkan gelar Sarjana Kedokterannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada semua teman teman yang telah berjibaku membantu penulis dalam menyelesaikan
(9)
viii
berjibaku dalam membantu penulis.
7. Semua teman-teman ilmu ekonomi angkatan 2013
8. Teman teman KKN 118, si Galih, Ilham, David, Ivan, Fuad, Ganda dan ibu-ibu kece, Vini, Sarah, Yesi, Nurul, Rinda, Anggun dan Ari.
Yogyakarta, 04 April 2017 Penulis
(10)
ix
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……... . ii
HALAMAN PENGESAHAN……….………… iii
HALAMAN PERNYATAAN………... iv
HALAMAN MOTTO HIDUP………..……….. v
HALAMAN PERSEMBAHAN……….……… vi
INSTISARI……….………. vii
ABSTRACT……….……… viii
KATA PENGANTAR……… ix
DAFTAR ISI ………... xii
DAFTAR TABEL ……….………. xv
DAFTAR GAMBAR………... xvi
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Batasan Masalah………..……….………. 10
C. Rumusan Masalah……….………. 13
D. Tujuan Penelitian………..………. 14
E. Manfaat Penelitian……….……… 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 16
A. Landasan Teori……….……… 16
(11)
x
2) Definisi Ketahanan Perbankan ……….……… 24
3) Krisis dalam Persfektif Ekonomi Islam…………... 25
4) Penentuan Indikator dalam Monitoring Krisis Perbankan Syariah ……….. 29
5) Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS)…… 32
C. Penelitian Terdahulu……… 35
D. Kerangka Penelitian……..……… 39
E. Hipotesis……… 43
BAB III METODE PENELITIAN……….. 44
A. Obyek Penelitian……… 44
B. Jenis dan Sumber Data………. 44
C. Teknik Pengumpulan Data……… 45
D. Definisi Operasional Variabel-Variabel dan Sumber Data Penelitian ……… 45
1. Variabel Dependen……… 46
2. Variabel Independen………. 47
E. Metode Analisis Data Penelitian……… 50
1. Model Non Parametik dengan Pendekatan Sinyal (Signal Approach)……… 50
(12)
xi
2. Penentuan Leading Indicators…….……… 60
3. Signaling Leading Indicators……….………. 64
4. Analisis Pendekatan Logit……… 68
B. Pembahasan ……… 72
1. Analisis Pendekatan Sinyal ……….. 72
2. Analisis Regresi Logit………… ………... 74
3. Bauran Kebijakan Makroprudensial dan Moneter dalam Mitigasi Potensi Risiko pada Perbankan Syariah di Indonesia……… 79
BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN……… 85
A. Simpulan……… 85
B. Saran Kebijakan……… 87
C. Batasan Penelitian……… 89
DAFTAR PUSTAKA………. 90
(13)
xii
4.2 Matrik Hasil Indikator……… 60
4.3 Hasil Estimasi Logit dengan Eviews………. 68
(14)
xiii
1.2. Pangsa Aset Lembaga Keuangan Syariah Secara Nasional… 5
1.3. Interaksi Shock dan Vulnerability………..………. 6
1.4. Terbentuknya Risiko Sistemik……….... 11
2.1. Kerangka Pemikiran………..……….. 42
4.1. Syariah Banking Robustness Index (SBRI)……… 58
4.2. Kinerja Leading Indicators Suku Bunga Kredit Bank Umum Konvensional………... 65
4.3. Kinerja Leading IndicatorsInflasi………... 66
(15)
(16)
i
berbentuk time series bulanan dari bulan Januari 2004 sampai bulan Desember 2016. Indikator dependen dalam penelitian ini adalah indeks ketahanan perbankan syariah (Syariah banking robustness index), indikator dependen ini dibentuk melalui dua komponen yaitu dana pihak ketiga (DPK) dan pembiayaan perbankan Syariah. Sedangkan indikator independen yaitu non performing financing (NPF),
financing deposit to ratio (FDR), inflasi, produk domestik bruto (PDB) dan suku bunga.
Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking rosbustness index), terdapat ketahanan yang buruk pada perbankan Syariah di tahun 2004 dan 2005. Ketahanan yang buruk ini lebih disebabkan oleh faktor internal perbankan. Selain itu, berdasarkan 5 indikator yang digunakan, hanya 3 indikator yang dapat menjadi leading indicators yaitu suku bunga, inflasi dan financing to deposit ratio (FDR). Tiga leading indicators
didapatkan berdasarkan penilaian berbagai kriteria, salah satunya adalah noise to signal ratio (NSR). Langkah selanjutnya adalah mengolah 3 leading indicators
dengan logit.Hasil dengan logit menunjukkan dari 3 leading indicators, nilai ods ratio masing-masing leading indicators adalah FDR sebesar 48.23%, suku bunga sebesar 79.29% dan inflasi sebesar 53.93%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah indikator suku bunga menjadi indikator yang sangat berpengaruh terhadap kinerja perbankan Syariah. Saran dari penelitian ini adalah pemerintah perlu mengembangkan berbagi bauran instrumen makroprudensial dan instrumen moneter guna menjaga stabilitas dan ketahanan pada perbankan Syariah.
Kata Kunci: Early warning system, Indeks ketahanan perbankan Syariah,
(17)
ii
from January 2004 to December 2016. The dependent indicator in the research was Syariah Banking Robustness Index. This dependent indicator was established from two components, i.e. third party fund and financing of Islamic Banking. Meanwhile, the independent indicator was non-performing financing (NPF), financing deposit to ratio (FDR), inflation, gross domestic product (GDP) and interest rate.
The research result showed that based on Syariah banking robustness index, there was a bad robustness in Islamic Banking in 2004 and 2005. The bad robustness was caused more by internal factor of banking. Besides, based on the 5 indicators used, there were only 3 indicators that can be leading indicators, i.e. interest rate, inflation, financing to deposit ratio (FDR). Three leading indicators were obtained based on the appraisal of various criteria. One of them was noise to signal ratio (NSR). The next step was processing 3 leading indicators using logit. The result using logit showed that from 3 leading indicators, the ods ratio value of each leading indicators were FDR of 48.23%, interest rate of 79.29% and inflation of 53.93%. The conclusion of the research was that the interest rate indicator was a very influential indicator towards the performance of Islamic Banking. The suggestion of the research was that it was necessary for the government to develop various mixtures of macro-prudential instrument and monetary instrument to maintain the stability and the robustness of Islamic Banking.
Keywords: Early warning system, Syariah banking robustness index, Leading indicators, Logit, Noise to signal ratio
(18)
1 A. Latar Belakang
Isu stabilitas sistem keuangan beberapa dekade terakhir menjadi agenda khusus bagi otoritas moneter di seluruh dunia. Kajian tentang isu stabilitas sistem keuangan diperlukan guna mengantisipasi krisis keuangan yang sering terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang (Sumandi dkk, 2016).
Di Indonesia, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menjadi otoritas keuangan yang memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Alasan otoritas keuangan menjaga stabilitas sistem keuangan adalah untuk menjaga perekonomian supaya terhindar dari berbagai potensi risiko sistemik. Disamping itu, alasan otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah terkait dengan pengalaman krisis keuangan pada tahun 1997/1998 dan krisis keuangan global pada tahun 2008.
Dari kedua krisis keuangan yang disebutkan sebelumnya, krisis keuangan 1997/1998 menjadi krisis yang paling parah. Dalam krisis ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya untuk penyelamatan dan merehabilitasi sektor perbankan lebih dari Rp500 triliun, termasuk didalamnya bantuan likuiditas Bank Indonesia dan rekapitalisasi perbankan (Hadad dkk,2003). Krisis keuangan 1997/1998 menimbulkan risiko sistemik terhadap stabilitas perekonomian Indonesia pada saat itu, mulai dari neraca perdagangan yang timpang, GDP menurun secara signifikan, pengangguran meningkat, kemiskinan melonjak, dan
(19)
lain-lain. Sedangkan krisis global yang terjadi pada tahun 2008, tidak terlalu signifikan mempengaruhi ekonomi Indonesia. Kedua krisis keuangan ini, pada dasarnya merupakan dampak dari risiko sistemik dan dampak penularan dari krisis keuangan yang terjadi di negara Thailand dan Amerika Serikat.
Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik merupakan suatu kondisi dimana adanya potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular pada sebagian ataupun seluruh sistem keuangan karena adanya interaksi pada faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Sedangkan menurut Blancher et al (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya risiko sistemik dapat melalui 3 fase, yaitu : a) fase build up, merupakan fase dimana gejala risiko sistemik muncul dalam sistem keuangan. Munculnya gejala risiko sistemik ini, merupakan kombinasi antara
shock dan vulnerability. Kombinasi keduanya menyebabkan munculnya gejala sumber gangguan dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, tindakan yang diambil ketika potensi risiko sistemik muncul adalah fokus pada penilaian kemungkinan terjadinya risiko sistemik dan melakukan pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicators).
Fase selanjutnya adalah fase shock materialization. Fase ini adalah fase awal terjadinya krisis dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, ketidakseimbangan dalam sistem keuangan meningkat dan rapuhnya sistem keuangan membuat
(20)
sistem keuangan rentan terhadap guncangan dari luar atau eksogen (misalnya, guncangan pada PDB atau fiskal, tekanan nilai tukar, tekanan harga perumahan, kegagalan institusi keuangan yang berdampak sistemik). Oleh karena itu, dalam fase ini pengukuran risiko sistemik difokuskan terutama pada penilaian potensi kerugian pada sistem keuangan dan sektor riil. Metode pengukuran risiko sistemik dalam fase ini menggunakan stress testing.
Fase yang ketiga adalah fase amplification and propagation. Dalam fase ini, shock mempengaruhi sistem keuangan secara lebih luas, termasuk lembaga keuangan, pasar keuangan dan sektor lainnya, serta berpotensi terhadap sistem keuangan negara-negara lainnya. Pada fase ini, pengukuran risiko sistemik difokuskan pada interconnectedness antar lembaga keuangan dan mencegah potensi fire sale terhadap aset keuangan.
Ketiga fase diatas menjadi proses terbentuknya risiko sistemik dalam sistem keuangan. Dalam fase terbentuknya risiko sistemik, institusi perbankan di Indonesia menjadi salah satu institusi dalam sistem keuangan yang sangat rentan terhadap risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Hal ini dikarenakan mendominasinya aset perbankan terhadap aset dalam lembaga keuangan secara nasional di Indonesia. Dominasi aset ini terlihat seperti pada Gambar 1.1 dibawah ini:
(21)
Sumber :Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015. GAMBAR 1.1
Pangsa Aset Lembaga Keuangan Secara Nasional
Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat pangsa aset industri perbankan mendominasi aset lembaga keuangan secara nasional. Tercatat bahwa pada Desember 2015 aset lembaga keuangan perbankan mencapai 79%. Selain industri perbankan, industri asuransi juga memiliki porsi yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya, industri asuransi memiliki porsi sebesar 10 %, disusul oleh perusahaan pembiayaan 5 %, NAB reksadana 3 % dan dana pensiun 3%. Dominasi terhadap pangsa aset keuangan secara nasional menjadikan industri perbankan sebagai salah satu industri yang berperan penting dalam pembiayaan eksternal bagi sebuah bisnis dalam suatu negara, termasuk Indonesia (Mishkin,1996). Dominasi indutri perbankan mengartikan bahwa sistem keuangan di Indonesia masih bersifat bank based economy.
79% 3%
5% 10%
3%
Perbankan Dana Pensiun
Perusahaan Pembiayaan Perusahaan Asuransi NAB Reksadana
(22)
Dominasi aset industri perbankan terhadap aset lembaga keuangan secara nasional juga terjadi pada lembaga keuangan berbasis Syariah. Dominasi industri perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan berbasis Syariah dapat diamati berdasarkan Gambar 1.2 di bawah ini.
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Desember 2015 GAMBAR 1.2
Pangsa Aset Lembaga Keuangan Syariah Secara Nasional
Gambar 1.2 diatas menggambarkan tentang mendominasinya industri perbankan Syariah terhadap aset lembaga keuangan Syariah secara nasional. Porsi perbankan Syariah sebesar 82%, asuransi Syariah sebesar 8%, perusahaan pembiayaan Syariah sebesar 6% dan seterusnya. Kedepannya porsi perbankan Syariah akan semakin meningkat terhadap aset lembaga keuangan secara nasional,
82% 8%
6% 1%
3%
Perbankan Syariah
Perusahaan Asuransi Syariah
Perusahaan Pembiayaan Syariah
PT Pegadaian (Persero)
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
(23)
hal ini berdasarkan atas potensi pasar perbankan Syariah di Indonesia yang cukup besar karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.
Dominasi perbankan Syariah dalam pangsa aset lembaga keuangan Syariah secara nasional, menjadikan perbankan Syariah sebagai institusi yang rentan terekspos risiko sistemik dibandingkan dengan institusi lainnya. Dalam kaitannya dengan risiko sistemik, pada awalnya kondisi perbankan Syariah tidak bermasalah, sumber permasalahan muncul dari shock dan vulnerability. Risiko akan termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability dan akan memiliki dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang memadai (Bank Indonesia, 2016).
Terkait dengan interaksi antara shock dan vulnerability, Blancher et.al
(2013) menjelaskan bahwa interaksi antara shock dan vulnerability, menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut :
Vulnerability
Tidak Ada Ada
Sh
ock Tida
k A
d
a Tidak terjadinya
potensi risiko sistemik Peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik A da Peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik Terjadinya potensi risiko sistemik
Sumber : Blancher et.al (2013)
GAMBAR 1.3
(24)
a) Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, maka kondisi perbankan stabil;
b) Jika ada shock namun tidak ada vulnerability, maka terdapat peningkatan probabilitas terjadinya potensi risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008, perbankan Indonesia secara
system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi karena tidak terdapat
vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik;
c) Jika tidak ada shock namun ada vulnerability, maka probabilitas risiko sistemik akan meningkat. Namun seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang mengekspos vulnerability tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi upswing;
d) Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, maka tergantung dari besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya guncangan akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang dominan seperti umumnya perbankan di emerging market, maka akan menggangu ketahanan perbankan.
(25)
Kondisi kolaborasi antara shock dan vulnerability menggambarkan bahwa, ketika perbankan Syariah tidak resilience atau kondisi perbankan Syariah memiliki kerentanan (vulnerability), maka akan memicu guncangan muncul, kemudian memicu imbalances pada berbagai indikator dalam perbankan Syariah. Indikator dalam perbankan Syariah kemudian akan memberikan transmisi risiko pada neraca perbankan Syariah, pada tahap ini biasanya disebut fase build up.
Guna merespon hal tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai memprioritaskan upaya untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar keuangan, serta upaya untuk membatasi build up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Dalam mencegah build up risiko sistemik, diperlukan serangkaian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses
(Bank Indonesia, 2016). Salah satu metode yang bisa digunakan adalah sistem deteksi dini (early warning system).
Sistem deteksi dini ( early warning system/EWS) dapat memonitoring indikator-indikator yang berpotensi memberikan transmisi risiko pada neraca perbankan Syariah. Menurut Duasa et al (2016) metode EWS dapat digunakan sebagai salah satu metode/toolssurveillance dalam menjaga ketahanan perbankan Syariah di Indonesia. Sedangkan menurut Kusuma et al (2012) EWS penting bagi perbankan Syariah, karena dapat memitigasi risiko sistemik yang berpotensi muncul akibat kondisi perekonomian yang tidak stabil. Imansyah dkk (2009) menjelaskan bahwa sistem peringatan dini ini merupakan salah satu cara yang dapat menjaga agar sistem keuangan dapat berjalan sesuai dengan aturannya dan
(26)
bila ada potensi akan terjadinya krisis atau instabiltas maka akan terdeteksi lebih awal.
Kaminsky (1999) menganggap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) diperlukan karena krisis keuangan dapat terjadi lagi di masa yang akan datang, hal ini dikarenakan perekonomian suatu negara telah mengikuti arus globalisasi pasar modal yang semakin kompleks.
Perhatian terhadap sistem deteksi dini atau early warning system (EWS)
pada perbankan belum menjadi prioritas pada sebelumnya, termasuk International Monetary Fund (IMF ). Namun, setelah terjadinya krisis Asia pada pertengahan tahun 1997 yang memiliki dampak sangat parah, maka IMF menganggap perlu adanya sistem deteksi dini atau early warning system (EWS) dengan membentuk unit surveillance (Abimanyu dan Imansyah, 2008). Disisi lainnya, kondisi ini merangsang gelombang penelitian empiris para peneliti terkait dengan sistem pendeteksian dini pada perbankan, dari penelitian yang ada mayoritas melakukan penelitian pada bank konvensional, seperti ; Kaminsky et al (1998): Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000), Hardy dan Pazarbasioglu (1999), Demirgüc-Kunt dan Detragiache (1998). Sedangkan untuk perbankan Syariah relatif masih sedikit peneliti yang mengkajinya, seperti; Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016), Kusuma dan Asif (2012) dan Al-Osaimy dan Bamakhramah (2004).
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bermaksud untuk menentukan indikator-indikator yang dapat berpotensi memberikan shock
terhadap perbankan Syariah di Indonesia dan mengamati apakah perbankan Syariah mampu bertahan ketika terjadi guncangan. Dengan demikian penelitian
(27)
ini mengambil judul tentang “ Analisis Sistem Deteksi Dini pada Ketahanan Perbankan Syariah di Indonesia ”
B. Batasan Masalah
Menurut Bank Indonesia (2016) risiko sistemik terbentuk melalui 3 (tiga) tahapan yaitu: (i) fase pertama terdapat dua kategori sumber gangguan yaitu shock
dan vulnerability, dalam fase ini adalah tahapan munculnya sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock dan kerentanan (vulnerability), tahapan ini sering pula disebut dengan fase build up; (ii) tahapan menyebarnya sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event).
Penjelasan lebih lanjut terkait dengan proses terbentuknya risiko sistemik dapat diamati pada Gambar 1.4 dibawah ini
(28)
Vulnerability (Risk profile)
Dimention Type of risk
Sumber : Bank Indonesia (2016).
GAMBAR 1.4 Terbentuknya Risiko Sistemik
Berdasarkan Gambar 1.4 diatas, proses awal terbentuknya risiko sistemik pada perbankan Syariah adalah ketika shock (1) dan vulnerability (2) saling berinteraksi antar satu sama lain. Identifikasi dalam tahapan shock dilakukan
Cross Section :
- Concentration risk
- Contagion risk Time series
- Procyclicality risk
- Market risk
- Credit risk
- Liquidity risk
- Operational risk
Shock
2
1 Sumber Gangguan
Transmisi
Risk of financial system
3 Resilience check liquidity & solvency buffer
Stable financial system Yes Systemic risk No Potential impact Structural Temporary Dampak
(29)
dengan melakukan pengukuran terhadap indikator yang berpotensi memberikan tekanan pada perbankan Syariah dengan menggunakan early warning system (EWS). Sedangkan dari sisi identifikasi dalam vulnerability terdiri dari dimensi
time series dan cross section. Pendekatan yang digunakan dalam vulnerability
seperti pendekatan risiko pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas. Pada tahap selanjutnya, interaksi antara shock dan vulnerability menyebabkan termaterialisasikannya risiko terhadap perbankan Syariah, yang selanjutnya akan berdampak terhadap munculnya risiko dalam sistem keuangan (risk of financial system) (3). Jika risiko sudah termaterialisasi dalam perbankan Syariah (4), maka akan muncul kemungkinan dua potensi dalam perbankan Syariah, yaitu apakah perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul ataukah tidak mampu. Jika mampu menyerap risiko yang muncul, maka tidak akan terjadi guncangan dalam perbankan Syariah atau perbankan Syariah dalam kondisi aman, serta pada akhirnya sistem keuangan akan menjadi stabil (stable financial system ) dan jika risiko yang muncul tidak mampu diserap oleh perbankan Syariah, maka akan menimbulkan risiko sistemik (systemic risk) pada sistem keuangan. Dampak yang ditimbulkan dapat bersifat sementara (temporary) dan struktural (structural).
Berdasarkan proses pembentukan risiko sistemik Gambar 1.4 diatas, pada penelitian ini batasan masalah lebih di fokuskan hanya pada proses terbentuknya risiko sistemik pada fase awal atau fase build up. Alasan penelitian ini berfokus pada fase ini adalah untuk memitigasi dan mencegah terjadinya risiko sistemik dalam sistem keuangan.
(30)
C. Rumusan Masalah
Fase build up merupakan salah satu fase dimana gejala risiko sistemik mulai muncul dalam sistem keuangan. Fase build up merupakan interaksi antara
shock dan vulnerability. Dalam fase ini, metode/tools yang digunakan oleh otoritas keuangan adalah sistem deteksi dini (early warning system), EWS
digunakan sebagai metode/tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses dalam perbankan Syariah.
Dalam membangun sistem deteksi dini (early warning system) terhadap perbankan Syariah, penelitian ini menggunakan model pendekatan sinyal (signal approach model). Dengan model pendekatan sinyal, peneliti mencoba untuk menganalisis indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index). Melalui indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index), penelitian ini mencoba untuk melihat apakah perbankan Syariah resilience
ketika terjadi shock terhadap beberapa indikator-indikator mikrofinancial dan
makrofinancial, guna memitigasi dan mencegah potensi risiko sistemik terhadap sistem keuangan di Indonesia. Ketika perbankan Syariah resilience terhadap
shock, maka dikatakan perbankan Syariah mampu menyerap risiko yang muncul, tetapi jika tidak resilience maka akan menimbulkan potensi risiko terhadap sistem keuangan di Indonesia.
Model selanjutnya yang digunakan adalah model pendekatan logit (logit approach model). Model ini digunakan untuk melihat vulnerability perbankan
(31)
Syariah ketika terjadi shock. Model ini dapat melihat probabilitas (probability)
terjadinya guncangan pada ketahanan perbankan Syariah.
Berdasarkan penjelasan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia?
2. Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan sebagai leading indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia?
3. Indikator-indikator apakah yang berpotensi memberikan kemungkinan (probability) terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui level ketahanan perbankan Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Indikator-indikator apakah yang dapat digunakan sebagai leading indicators dalam pengukuran tingkat ketahanan perbankan Syariah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apakah indikator yang berpotensi memberikan kemungkinan (probability) terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di Indonesia.
(32)
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini hanya difokuskan pada pembuat kebijakan (policy maker). Pembuat kebijakan (policy maker) yang dimaksud seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) ataupun pihak-pihak yang terkait dengan perbankan Syariah, diharapkan dapat menjadikan penelitian ini sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan yang tepat bagi perbankan Syariah, jika kondisi perekonomian di Indonesia sedang bergejolak ataupun kondisi perekonomian berada pada posisi yang stabil.
(33)
1 A. Landasan Teori
1. Minsky Theory
Teori ini dicetuskan oleh seorang ekonom Amerika Serikat yang bernama Hyman Minsky. Teori ini melihat bahwa krisis keuangan yang ada saat ini, memiliki sifat siklikal yang bersandar pada teori siklus bisnis (theory of business cycle) atau saat ini popular disebut dengan Minsky Moment. Teori siklus bisnis menjelaskan bahwa muncul sikap agresif lembaga keuangan dan investor dalam memberikan dan menerima kredit ketika perekonomian sedang ekspansif (boom) dan mengambil tindakan berkebalikan ketika perekonomian sedang kontraksi (bust), sehingga menimbulkan tingginya praktek spekulasi. Fluktuasi atau gerakan naik (boom) dan turun (bust) secara alamiah mengandung unsur ketidakstabilan keuangan (financial instability)( Prasetyantoko, 2008).
Dalam melihat penomena ketidakstabilan keuangan (financial instability),
Minsky mengajukan the financial instability hypothesis. Asumsi dari the financial instability hypothesis adalah dinamika yang ada dalam perekonomian memiliki keterkaitan yang erat dengan struktur hutang dalam level perusahaan. Dalam the financial instability hypothesis, Minsky (1992) mengkategorikan perilaku pelaku ekonomi menjadi tiga bagian yaitu:
(34)
a) Hedge
Pada tahapan ini, pelaku ekonomi dapat memenuhi semua kewajiban pembayaran hutang dari hasil operasional perusahaannya, baik berupa cicilan dan juga hutang pokoknya, sehingga dalam fase ini pelaku ekonomi dapat membayar hutangnya dengan baik. Disamping itu, dalam fase ini para pelaku ekonomi sangat berhati-hati dalam melakukan hutang dan bahkan pelaku ekonomi pada tahap ini cenderung menahan melakukan hutang untuk investasi yang baru.
b) Speculative
Pada fase ini, terjadi ekspansi investasi yang baru oleh pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi melakukan ekspansi bisnis melalui skema hutang. Dalam kaitannya dengan hutang, pelaku ekonomi pada fase ini hanya mampu membayar bunga pinjaman dari kas yang dimilikinya, namun tidak mampu untuk membayar hutang pokoknya. Pada fase ini, pelaku ekonomi cenderung membayar hutang dengan cara menjual asetnya, disamping itu pelaku ekonomi melakukan hutang kembali pada pihak lain untuk bisa membayar hutang pokoknya.
c) Ponzi Finance
Pada fase ini, pelaku ekonomi tidak bisa lagi melakukan pembayaran terhadap bunga pinjaman dan juga hutang pokok yang dimilikinya. Dalam fase ini, kewajiban yang dimiliki pelaku ekonomi melebihi dari nilai-nilai asetnya. Kondisi kewajiban yang lebih besar dari aset ini, menyebabkan pelaku ekonomi kesulitan dalam memenuhi kewajiban, bahkan jika pelaku ekonomi menjual seluruh asetnya, hutang yang dimiliki tidak mampu dibayarkan.
(35)
Dalam the financial instability hypothesis, Minsky (1992) menjelaskan bahwa jika dalam perekonomian, pelaku ekonomi yang mendominasi adalah yang bersifat hedge, maka kondisi perekonomian akan berada pada posisi yang baik dan juga seimbang. Tetapi jika dalam perekonomian di dominasi oleh pelaku ekonomi yang speculative dan ponzi, maka perekonomian suatu negara akan sangat rentan terhadap krisis keuangan, karena kedua sifat ini akan mendorong tingginya kredit macet pada perbankan.
Teori Minsky dapat menjelaskan terkait dengan krisis keuangan di Indonesia 1997/1998 dan krisis keuangan global 2008. Pada tahun 1997/1998 rata-rata neraca perusahaan berada pada posisi yang sangat buruk yang menyebabkan kredit macet, sehingga berdampak terhadap sektor perbankan menjadi kolaps. Disisi lainnya, pelaku ekonomi banyak melakukan pinjaman luar negeri, sehingga ketika terjadi krisis nilai tukar 1997/1998 para pelaku usaha mengalami peningkatan nilai hutang akibat depresiasi rupiah. Saat krisis keuangan 1997/1998, mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia berada pada posisi speculative
dan ponzi, sehingga ketika terjadi gejolak nilai tukar, para pelaku ekonomi dan perbankan kolaps.
Pada krisis global 2008, Miskhin (2010) juga menjelaskan terkait dengan teori Minsky. Pada krisis global 2008, terjadi peningkatan kredit perbankan pada saat awal krisis keuangan dan cenderung stabil sampai dengan Maret 2008 atau berada pada fase boom. Namun, pada pertengahan tahun 2009 terjadi penurunan tren pinjaman pada perbankan, penurunan permintaan untuk pinjaman sebagai akibat dari melemahnya kondisi ekonomi atau berada pada fase bust. Disamping
(36)
itu, Beachy (2012) menjelaskan bahwa terdapat moral hazard dalam krisis global 2008, perbankan melakukan penyaluran kredit perumahan terhadap nasabah yang tidak layak mendapatkan pembiayaan. Kondisi ini menyebabkan tingginya angka nasabah yang gagal bayar dan menyebabkan likuiditas perbankan bermasalah.
2. Teori Generasi Krisis Keuangan
Menurut Ascarya (2009) teori krisis keuangan dalam perspektif ekonomi konvensional pada umumnya memandang krisis dari perspektif makro yang dikembangkan dari model generasi pertama, model generasi kedua, dan model generasi ketiga. Pembagian 3 model generasi ini berdasarkan latar belakang dan karakteristik krisis tersebut. Berikut adalah penjelasan terkait 3 model generasi krisis keuangan.
a) Model Generasi Pertama Krisis Keuangan
First generation model (FGM) atau sering disebut sebagai exogeneous policy model. Model generasi pertama krisis keuangan pertama kali dikembangkan oleh Krugman (1979). Ide Krugman terinspirasi dari model yang dikembangkan sebelumnya oleh Salant dan Henderson (1979). Flood dan Garber (1984) kemudian menyempurnakan ide tersebut dalam bentuk modelnya untuk menganalisis krisis keuangan. Krisis keuangan model generasi pertama timbul karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terutama dalam kebijakan moneter dan fiskal dalam sistem nilai tukar tetap.
Menurut Krugman (1979) pemerintah menggunakan defisit anggaran yang tinggi dengan pembiayaan dari ekspansi kredit. Dampak dari kebijakan ini adalah meningkatnya jumlah uang beredar atau pasar mengalami
(37)
kelebihan likuiditas, sehingga inflasi cenderung tinggi. Kelebihan likuiditas ini akan dikonversikan ke dalam mata uang asing dan permintaan akan uang asing meningkat. Sementara inflasi di negara mitra utama relatif rendah, sehingga mata uang domestik mengalami overvalue. Bila pasar menyadari hal ini, maka para spekulan akan menyerang mata uang domestik. Sementara itu, karena menggunakan kurs tetap, maka cadangan devisa akan terkuras untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar (Imansyah, 2009).
b) Model Generasi Kedua Krisis Keuangan
Krisis model ini disebut second generation model (SGM) atau
endogeneous policy model. Obstfeld dan Rogoff (1986) adalah yang pertama kali mengembangkan terkait dengan konsep model generasi kedua. Model generasi kedua dikembangkan berdasarkan pada kelemahan model generasi pertama dan mengusulkan peran sentral ekspektasi dan kegagalan koordinasi antar kreditur, sehingga krisis dapat terjadi tanpa memandang terhadap kesehatan fundamental ekonomi (Ascarya, 2009). Model generasi kedua melihat bahwa sistem kurs sebagai sebuah kondisi jika pemerintah memutuskan tetap mempertahankan sistem kurs tetap jika dipandang sistem ini masih berguna (misalnya untuk tujuan mempertahankan kebijakan anti inflasi dan kredibilitas) (Imansyah, 2009).
Jika pemerintah ingin mempertahankan untuk menggunakan kurs tetap, maka pemerintah bisa melakukan analisis manfaat dan biaya. Secara umum biaya untuk mempertahankan kurs tetap sangat tinggi, sehingga apabila pemerintah ingin tetap bertahan menggunakan kurs tetap, maka cadangan devisa yang dimiliki akan semakin berkurang. Bahkan para spekulan cenderung akan terus
(38)
berspekulasi sampai akhirnya cadangan devisa menjadi menipis. Akibat serangan spekulan perekonomian bisa mengalami krisis, meskipun fakta yang ada menunjukkan fundamental kurs yang kuat (artinya bank sentral memiliki cadangan yang cukup untuk menyokong kurs tetap) krisis ini dinamakan self-fullfing crises (Kusuma, 2009). Sehingga pemerintah dituntut untuk memutuskan apakah akan menahan atau melepas kurs mata uang tetap dengan memperhatikan kondisi perekonomian.
c) Model Generasi Ketiga Krisis Keuangan
Model generasi pertama dan kedua telah berhasil menjelaskan sebelumnya terkait dengan episode krisis mata uang, namun model generasi pertama dan generasi kedua tidak bisa membantu para peneliti dalam memprediksi krisis keuangan yang terjadi di Asia Timur pada tahun 1997-1998, sehingga muncul model krisis generasi ketiga (Koc, 2009).
Menurut Kusuma (2009) krisis generasi ketiga adalah krisis yang terjadi secara bersamaan antara krisis perbankan dan krisis nilai tukar atau twin krisis, di sisi perbankan yang menjadi akar penyebab krisis di Asia adalah moral hazard problem. Menurut Nasution (2003) moral hazard terjadi karena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyek yang beresiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasil dapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan ditanggung oleh pemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang diberikan.
(39)
Sedangkan menurut Allen (2015) moral hazar menyebabkan meningkatnya ketidakstabilan dalam sektor perbankan, Allen (2015) juga menegaskan bahwa dukungan pemerintah kepada bank harus dibatasi terutama terkait dengan adanya jaminan dalam sektor perbankan. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, maka akan meningkatkan investasi yang berisiko tinggi oleh perbankan, karena perbankan merasa apabila terjadi kegagalan pemerintah akan memberikan jaminan. Akibat moral hazard ini akan menyebabkan terjadinya krisis, sehingga akan mendorong terjadinya penarikan secara besar-besaran (rush)
oleh nasabah dan perbankan akan mengalami kegagalan/kolaps. Contoh kasus dari generasi ketiga ini adalah krisis di Asia Timur pada tahun 1997-1998 dan krisis keuangan global pada tahun 2008.
B. Landasan Konsep
1) Definisi Krisis Perbankan
Menurut Hardy dan Pazarbasioglu (1999) fenomena tentang sektor keuangan dan khususnya tentang krisis sektor perbankan telah banyak menjadi bahan kajian dalam beberapa dekade terakhir. Sektor perbankan menjadi sektor yang menarik banyak kalangan untuk meneliti lebih intens karena industri ini memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Menurut Hadad dkk (2003)
terdapat beberapa alasan terkait perlunya industri perbankan mendapatkan perhatian khusus diantaranya, karena industri perbankan memiliki rasio kas terhadap aset yang rendah, rasio modal terhadap aset yang rendah dan rasio dana jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi. Ketika sektor ini tidak
(40)
dimonitoring dengan baik, maka dapat menyebabkan krisis dan krisis perbankan ini dapat mempengaruhi aktivitas perekonomian.
Menurut Reinhart, Goldstein dan Kaminsky (2000) krisis perbankan adalah suatu situasi dimana terjadi bank run yang menyebabkan penutupan, merger dan pengambilalihan oleh sektor publik, serta adanya intervensi pemerintah untuk penalangan sektor perbankan dalam skala yang besar.
Sedangkan menurut Kunt & Detragiache (1998) menjelaskan bahwa krisis perbankan terjadi ketika salah satu kondisi dibawah ini terpenuhi, seperti :
1) Nilai rasio kredit macet (non performing loan) melebihi dari 10 persen dari total aset yang dimiliki perbankan.
2) Besarnya biaya operasi yang harus di keluarkan untuk penyelamatan sektor perbankan mencapai 2 persen dari GDP suatu negara.
3) Permasalahan dalam sektor perbankan menyebabkan terjadinya nasionalisasi dalam skala besar.
4) Terjadinya bank panic atau terjadi penarikan secara besar-besaran oleh nasabah, akibatnya pemerintah mengambil tindakan darurat untuk menyelamatkan sektor perbankan melalui pembekuan deposito nasabah, atau adanya jaminan deposito umum yang diberlakukan oleh pemerintah dalam menanggapi krisis.
Terkait dengan terjadinya krisis perbankan, Miskhin (1996) menjelaskan krisis perbankan sebagai gangguan dalam sistem perbankan, hal ini disebabkan karena adanya ketimpangan informasi (asymmetric information) dalam
(41)
perbankan, sehingga menyebabkan sektor perbankan tidak dapat secara maksimal menyalurkan dananya pada pihak yang produktif.
Miskhin (1996) mengamati bahwa terdapat 2 konsekuensi akibat dari
asymmetric information, yaitu adverse selection dan moral hazard. Adverse selection merupakan masalah yang terjadi sebelum transaksi, sedangkan moral hazard terjadi setelah transaksi. Terkait dengan adverse selection, terdapat pihak pencari kredit yang tidak berkualitas sangat aktif dalam mendapatkan kredit. Pencari kredit akan menggunakan berbagai langkah agar bisa mendapatkan pinjaman dari kreditor, bahkan dengan cara tidak jujur dan memanipulasi data. Sedangkan untuk moral hazard, pihak yang sudah mendapatkan pinjaman dari kreditor menggunakan pinjaman yang didapatkannya secara tidak terhormat, sehingga menciderai kepercayaan yang diberikan oleh pihak kreditor.
2) Definisi Ketahanan Perbankan
Dewasa ini ketahanan sektor keuangan sangatlah penting. Istilah terkait dengan isu ketahanan sektor keuangan, khususnya sektor perbankan menjadi fokus utama berbagai negara di dunia. Terkait dengan ketahanan dalam sektor perbankan, Crossen et al (2014) menjelaskan bahwa perbankan dikatakan memiliki ketahanan jika memenuhi dua kondisi seperti: (i) perbankan mampu menyerap guncangan tanpa harus bergantung pada dukungan dari pihak pemerintah, (ii) kemampuan sektor perbankan dalam menjalankan fungsi-fungsi ekonomi secara berkelanjutan, khususnya dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi, seperti menyediakan kredit, menghimpun dana dari masyarakat, pembayaran dan transaksi jasa ataupun pencetaan uang. Sedangkan
(42)
Berry et al (2015) mendefinisikan bahwa ketahanan dalam sektor perbankan merupakan suatu kondisi dimana individual bank mampu menahan guncangan dari berbagai sumber, baik dari internal perbankan maupun dari eksternal perbankan. Ketika timbul gejala guncangan, maka perbankan akan mampu menyesuaikan atau menyerap risiko atau merespon dengan cepat setiap guncangan yang muncul, sehingga perbankan mampu mengantisipasi secara dini berbagai potensi guncangan yang dapat mempengaruhi kinerja perbankan.
Di sisi lainnya, Bank Indonesia (2010) menjelaskan bahwa pentingnya ketahanan sektor perbankan bagi Indonesia dikarenakan sektor ini menjadi salah satu sektor utama yang berperan dalam menjalankan perekonomian Indonesia dan mayoritas pangsa pasar lembaga keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor perbankan.
3) Krisis dalam Persfektif Ekonomi Islam
Menurut Ascharya (2009) terdapat beberapa penyebab krisis dari sudut pandang ekonomi Islam, diantaranya :
a) Kelebihan Persediaan Uang
Ketika pemerintah melakukan pencetakan uang (seigniorage), pembuatan uang bank melalui perbankan cadangan fraksional (fractional reserve banking)
dan penciptaan daya beli artifisial termasuk kartu kredit serta batas pemberian kredit, akan mendorong terciptanya instabilitas dalam sistem keuangan (Ascarya, 2009). Keuntungan percetakan uang melalui seigniorage oleh pemerintah, menciptakan angka inflasi yang tinggi (hyperinflation) bagi perekonomian. Salah satu contohnya adalah negara Jerman. Jerman mencetak uang secara berlebihan
(43)
untuk mendanai perang dunia 1 (world war I). Akibatnya, jumlah peredaran uang Marks Jerman melonjak tajam dan bahkan pada November 1923, nilai Marks terhadap dolar terdepresiasi menjadi sekitar 1.000.000.000.000 (1 USD= 1 Triliun Marks) (Schachter dan Sophister, 2005). Disamping itu, terdapat contoh lain dari krisis keuangan seperti pada masa kekaisaran Utsmani tahun 1839 M. Pada zaman ini, pemerintah mencetak uang kertas Al-Qa‟imah secara besar-besaran, sehingga mendorong harga barang menjadi naik dan mengarah pada krisis. Akibat kondisi ini, pencetakan uang kertas Al-Qa‟imah dihentikan, tepatnya pada tahun 1862 M (Ascharya, 2009).
Nabi Muhammad shalalahu „alaihi wasallam melarang umatnya untuk melakukan ghuluw (berlebih-lebihan) dalam hidupnya, agar umat Islam tidak berbuat seperti yang diperbuat umat-umat terdahulu.
b) Spekulasi
Menurut Choudhury (2010), krisis perbankan 1997/1998 yang melanda kawasan Asia tidak terlepas dari aktivitas spekulasi para spekulan, terutama dalam sektor real estate. Tindakan para spekulan menjadikan harga properti meningkat tajam, kondisi ini menyebabkan gelembung ekonomi (bubble economy). Bahkan, tindakan spekulan dalam spekulasi harga real estate dan industri lainnya, akan terus memberikan kontribusi terhadap krisis keuangan pada masa yang akan datang.
(44)
Ascharya (2009) mengamati bahwa tindakan spekulasi merupakan zero sum game (keuntungan yang didapatkan oleh suatu pihak merupakan kerugian yang sama dari pihak lain), tingginya aktivitas zero sum game dapat berdampak negatif terhadap perekonomian, karena aktivitas ini tidak dapat memberikan nilai tambah yang riil dalam perekonomian. Kondisi ini bertolak belaka dengan investasi pada sektor riil, justru dalam sektor riil dapat memberikan nilai tambah.
Islam melarang umatnya untuk melakukan spekulasi, transaksi penimbunan, pasar gelap dan transakti tidak adil lainnya. Namun, Islam membolehkan umatnya untuk mendapatkan keuntungan komersial (Engineer, 2007). Larangan ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
ْنعىبأةرْيرهلاق: ى نل ْ سره ىَلصه هْيلعمَلس ْنععْيبةاصحْلا ْنع عْيبررغْلا–ها ر
مل س م
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melarang jual-beli
dengan lempar kerikil dan jual-beli gharar (spekulasi)”. [HR. Muslim]. c) Sistem Bunga (Riba)
Menurut Ascharya (2009) riba adalah prinsip sentral dari sistem Islam, yang secara harfiah berarti kelebihan dan ditafsirkan sebagai setiap peningkatan modal yang tidak dibenarkan baik dalam bentuk pinjaman atau penjualan. Lebih tepatnya, semua nilai positif, tetap dan telah ditentukan yang terkait dengan tanggal jatuh tempo dan jumlah pokok (yaitu, dijamin tanpa memperhatikan kinerja investasi) dianggap riba dan dilarang. Dilarangnya riba karena merupakan salah satu sumber krisis keuangan.
(45)
Islam sangat melarang umatnya untuk menggunakan sistem bunga dalam setiap aktivitas perekonomian, karena keuntungan yang didapatkan oleh seseorang menjadi beban bagi pelaku usaha lainnya. Dalam Al-Qur‟an sudah dijelaskan terkait bahayanya riba. Penjelasan terdapat dalam surat al-Baqarah: 278-279, isi surat tersebut adalah sebagai berikut :
ي م م مت ك ب لا م يقب م ا ذ َا ا قتا ا مآ ي لا يأ ي (
٢ )
لظت ا لظت ا مكلا مأ س ء مكلف متبت هل س َا م حب ا ذأف ا لعفت مل ف (
٢ )
Artinya “ (278). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (279). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
d) Sistem Moneter Internasional
Perekonomian dunia saat ini didominasi oleh penggunaan uang hampa (fiat money). Dalam pencetakan uang hampa (fiat money) tidak disokong oleh emas. Beberapa negara mendapatkan keuntungan dalam pencetakan uang hampa (fiat money). Salah satu negara yang paling di untungkan adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, karena dolar AS dan Euro Eropa digunakan sebagai transaksi perdagangan internasional. Kondisi ini menyebabkan AS dan Uni Eropa mampu mengeksploitasi negara-negara dengan perekonomian kecil dan berkembang. Contohnya, jika AS dalam mencetak uang nilai US$ 100 hanya membutuhkan US$ 1, maka AS akan mendapatkan keuntungan yang besar dari
(46)
seigniorage, karena mata uangnya mayoritas digunakan oleh masyarakat dunia (Ascharya,2009).
e) Decoupling Sektor Riil dan Moneter
Menurut Ade (2009) kepincangan antara sektor moneter (keuangan) dan sektor riil yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor moneter (keuangan) mengalami mengalami perkembangan yang pesat dan meninggalkan jauh sektor riil. Kondisi ini menyebabkan instabilitas dalam perekonomian, seperti krisis keuangan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 dan krisis global 2008 tidak terlepas dari adanya dikotomi antara sektor moneter dan sektor riil.
Menurut Agustianto (2008) ekonomi Islam tidak mengenai dikotomi antara sektor riil dan moneter. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan dan melarang riba.
4) Penentuan Indikator dalam Monitoring Krisis Perbankan Syariah
Reserve bank of new Zealand mengusulkan beberapa kriteria indikator yang dapat mengidentifikasi timbulnya kondisi build up dari risiko sistemik, kriteria tersebut adalah sebagai berikut (Wolken, 2013) :
(1) Memiliki keterkaitan (relevance)
Indikator harus mampu menjelaskan terkait dengan kondisi perekonomian dan sistem keuangan.
(47)
(2) Datanya dapat dikumpulkan (collectable)
Data dari suatu indikator harus dapat dikumpulkan dan digunakan secara berlanjut untuk jangka waktu yang panjang.
(3) Komprehensif dan dinamis (comprehensive & dynamic)
Indikator tersebut bersifat menyeluruh dalam sistem keuangan dan dapat berubah seiring berjalannya waktu.
(4) Dapat untuk melihat kedepan kondisi keuangan (forward looking)
Indikator yang ada diharapkan dapat digunakan untuk melakukan prediksi terhadap kondisi perekonomian pada masa yang akan datang, sehingga policy maker dapat melakukan antisipasi terhadap berbagai potensi risiko.
(5) Akurat (accurate)
Suatu indikator memiliki tingkat kesalahan paling kecil dalam memberikan sinyal. Dalam mengukur kecilnya kesalahan ini dapat dilihat melalui nilai noise to signal ratio (NSR) dalam early warning system (EWS).
Menurut Bank Indonesia (2016) pembahasan mengenai indikator dalam monitoring risiko sistemik adalah sebagai berikut :
a) Indikator Monitoring Berdasarkan Arah Indikator monitoring berdasarkan arah terdiri dari : 1) Procyclical indicators
Indikator ini memiliki pergerakan satu arah dengan siklus bisnis (business cycle).
2) Countercyclical indicators
Indikator ini memiliki pergerakan yang tidak satu arah dengan kondisi siklus bisnis (business cycle).
(48)
3) Acyclical indicators
Indikator ini tidak memiliki hubungan jelas dengan kondisi siklus bisnis (business cycle).
b) Indikator Monitoring Berdasarkan Waktu 1) Leading indicators
Indikator ini memiliki sifat yang pergerakannya lebih dulu daripada pergerakan perekonomian agregat. Kondisi ini menyebabkan indikator yang bersifat leading dapat digunakan untuk memprediksi kondisi perekonomian.
2) Coincident indicators
Pergerakan dalam indikator yang bersifat Coincident adalah bersamaan dengan siklus bisnis (business cycle). Dengan indikator ini, kita dapat mengetahui kondisi perekonomian yang sedang terjadi.
3) Lagging indicators
Pergerakan dalam indikator ini terjadi setelah siklus bisnis (business cycle).
c) Indikator Monitoring Berdasarkan Komponen Pembentuk Indikator ini terdiri dari :
1) Single indicators
Indikator ini disusun hanya menggunakan beberapa data dan indikator ini dapat digunakan untuk menangkap satu pergerakan atau kondisi dalam sistem keuangan. Salah satu contoh single indicators dalam perbankan Syariah adalah rasio non performing financing (NPF) sebagai salah satu indikator risiko dalam pembiayaan perbankan Syariah.
(49)
2) Composite indicators
Indikator ini disusun berdasarkan gabungan lebih dari beberapa indikator dalam perekonomian. Salah satu contoh composite indicators adalah indeks stabilitas sistem keuangan (ISSK) yang digunakan BI untuk menilai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam pengawasan makroprudensial.
5) Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS)
a) Pengertian Sistem Deteksi Dini/Early Warning System(EWS) Menurut Kamisky et al (1998) early warning system merupakan sebuah model yang memiliki tujuan untuk memantau berbagai indikator keuangan maupun ekonomi yang dapat dijadikan sinyal akan terjadinya krisis dalam waktu yang dekat. Sedangkan Edison (2000) menyatakan bahwa early warning system
adalah salah satu cara atau mekanisme dalam melakukan prediksi terhadap adanya krisis. Disisi lain, Imansyah dan Kusdarjito (2009) melihat bahwa early warning system dapat digunakan sebagai alat yang dapat memonitoring atas kerapuhan sistem keuangan yang berpotensi menciptakan krisis keuangan. Dengan menggunakan early warning system, maka pembuat kebijakan (policy maker)
memiliki kesempatan untuk membuat kebijakan prefentive dalam mengantisipasi dan memitigasi risiko sistemik.
Dalam penelitiannya terkait dengan krisis mata uang, Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (KLR) (1998) mengamati beberapa hal terkait dengan EWS, seperti :
1. Sistem deteksi dini yang baik setidaknya terdiri dari indikator-indikator yang lebih luas.
(50)
2. Krisis mata uang dapat dideteksi melalui beberapa variabel seperti : defisit fiskal, nilai tukar riil, cadangan devisa, pertumbuhan kredit, pertumbuhan PDB riil dan M2/cadangan devisa.
3. Disamping variabel yang disebutan sebelumnya, beberapa variabel luar negeri, kelembagaan dan keuangan dapat digunakan untuk memonitoring krisis mata uang.
4. Variabel terkait dengan profil hutang dari eksternal.
b) Perkembangan Sistem Deteksi Dini/Early Warning System (EWS) Abimanyu dan Imansyah (2008) melihat bahwa terdapat berbagai pendekatan yang ada dalam sistem deteksi dini, seperti pendekatan parametrik (ekonometrik) baik yang logit dan probit, markov-switching model, nonparametrik (pendekatan model sinyal), pendekatan jaringan saraf tiruan dan berbagai model lainnya. Melihat banyaknya model dalam EWS, merangsang para peneliti untuk melakukan penelitian tentang EWS dengan menggunakan berbagai pendekatan model seperti: Edison (2000) tentang krisis keuangan dengan menggunakan signal aproach model, Bussiere dan Marcel (2002) tentang krisis keuangan dengan menggunakan multinomial logit model, Lestano, Jacobs dan Kuper (2003) melakukan penelitian tentang krisis nilai tukar, krisis perbankan dan krisis hutang dengan menggunakan model logit multivariat, Imansyah dan Kusdarjito (2009) melakukan penelitian tentang krisis keuangan dengan menggunakan model pendekatan jaringan saraf buatan, Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016) melakukan penelitian tentang perbankan dengan menggunakan pendekatan sinyal, Hadad dkk (2003) tentang perbankan dengan menggunakan pendekatan model logit.
(51)
Dari semua pendekatan sistem deteksi dini yang ada, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing tergantung tujuan dan ketersediaan data yang dimiliki oleh peneliti. Hal ini dikarenakan, setiap pendekatan memiliki karakteristik kebutuhan data yang berbeda dan tingkat kerumitan yang berbeda-beda antar pendekatan (Abimanyu dan Imansyah, 2008).
c) Membangun Indeks Ketahanan Perbankan Syariah (Syariah Banking Robustness Index) Melalui EWS Model Sinyal
Otoritas Jasa Keuangan (2014) menjelaskan perbankan Syariah merupakan lembaga intermediasi antara pihak yang kekurangan dana dan pihak yang kelebihan dana. Dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga intermediasi, perbankan Syariah memiliki berbagai sumber potensi risiko dalam menjalankan bisnisnya, baik yang berasal dari lingkungan eksternal dan internal. Potensi risiko yang muncul dari internal dan eksternal ini seperti, risiko pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan prinsip Syariah.
Melihat berbagai potensi risiko dalam perbankan Syariah seperti risiko pasar, risiko kredit dan risiko likuiditas, maka perlu dikembangkan monitoring terhadap berbagai potensi risiko. Guna memonitoring kondisi perbankan Syariah di Indonesia, penelitian ini mencoba untuk menganalis indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index ) melalui EWS dengan pendekatan model sinyal. Syariah banking robustness index (SBRI) merupakan indeks yang dapat digunakan untuk memonitoring indikator-indikator yang dapat
(52)
mendorong imbalance bagi perbankan Syariah. Disamping itu, indeks ini dapat memantau krisis perbankan Syariah dalam waktu tertentu.
Selain SBRI, terdapat berbagai indeks yang digunakan dalam memantau kondisi keuangan suatu negara. Seperti halnya Indonesia melalui Bank Indonesia mengembangkan indeks stabilitas sistem keuangan (ISSK) (financial stability index (FSI). Danareksa research institute (DRI) juga telah mengembangkan suatu indeks dalam menginterpretasikan keadaan sistem keuangan, indeks yang dikembangkan adalah banking pressure index (BPI). selain ISSK dan BPI, Duasa, Kusuma dan Sumandi (2016) mengembangkan Islamic banking resilience index (IBRI) untuk memonitoring perbankan Syariah di Indonesia. Selain di Indonesia, beberapa otoritas moneter juga mengembangkan indeks untuk memantau kondisi stabilitas perekonomiannya, seperti Studi Illing dan Liu (2003) mengelaborasi sistem keuangan di Kanada untuk membangun financial stress index (FSI), Van den End (2006) untuk kasus di Belanda yang disebut sebagai monetary conditions index (MCI), financial conditions index (FCI), dan financial stability condition index (FSCI), di Rumania yang diberi nama aggregate financial stability index (AFSI) (Gunadi, Taruna dan Harun, 2013).
C. Penelitian Terdahulu
Ascarya (2009) melakukan penelitian tentang pelajaran yang bisa dipetik dari krisis keuangan yang berulang : persfektif ekonomi Islam. Penelitian ini mencoba untuk membandingkan pengaruh beberapa variabel yang tediri dari instrumen keuangan Syariah dan konvensional. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab krisis keuangan yang berakar dari riba (lnFM fiat
(53)
money 2,8%, IR tingkat bunga 45,2%, dan lnEXC kurs 18,6%) memberi andil 66,6% terhadap krisis keuangan di Indonesia, sedangkan jika kita mengganti ketiga sistem tersebut sesuai dengan perspektif Islam (lnJM persediaan just money 0,7%, RS laba PLS 2,5%, dan lnGOLD mata uang global tunggal 0,2%) hanya akan memberi andil 3,4% terhadap krisis keuangan di Indonesia, atau pengurangan besar-besaran yakni 63,2%. Dari hasil empiris ini kemudian menunjukkan hasil bahwa jika tiga penyebab krisis keuangan yang terdiri dari fiat money, bunga dan nilai tukar jika diganti dengan alternatif Islam seperti persediaan just money, PLS, dan mata uang global tunggal, maka maka tiga penyebab krisis keuangan yang berakar dari riba akan dapat dihilangkan.
Jarita, Kusuma dan Sumandi (2016) melakukan penelitian tentang ketahanan perbankan Syariah di Indonesia dengan menggunakan pendekatan sinyal. Penelitian ini mencoba untuk membangun Islamic banking resilience index (IBRI) dengan menggunakan data sejak 2004 sampai 2016. Penelitian ini menggunakan beberapa variabel diantaranya, rasio M2 terhadap cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestik, nilai tukar riil dan inflasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja perbankan Syariah pada tahun 2004 cukup buruk, namun secara bertahap stabil, penggunaan beberapa variabel makro seperti rasio m2 dengan cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestic, nilai tukar riil dan inflasi secara empiris menunjukkan tingkat noise to signal ratio (NSR) yang rendah.
Hardy dan Pazarbasioglu (1998) melakukan penelitian untuk krisis perbankan dengan judul leading indicator of banking crises : was Asia different?
(54)
Penelitian ini menggunakan 38 negara dari 1980-1997. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi peran dari makroekonomi, sektor perbankan dan sektor rill menjelang terjadinya gangguan dalam sistem perbankan. Secara empiris penelitian ini menemukan bahwa tekanan yang terjadi dalam sistem perbankan dikaitkan dengan penurunan pada GDP rill, adanya prosiklikalitas ekonomi, inflasi, ekspansi kredit dan aliran modal.
Muliaman D. Hadad dkk (2003) tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat menyebabkan krisis perbankan. Penelitian ini secara umum menggunakan beberapa sektor, seperti kelompok variabel sektor riil meliputi pertumbuhan PDB riil, pertumbuhan konsumsi swasta, dan pertumbuhan investasi. Selanjutnya, untuk kelompok variabel sektor perbankan digunakan data dana pihak ketiga dan kredit kepada sektor riil, sementara untuk kelompok variabel shocks digunakan data inflasi dan nilai tukar riil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor makroekonomi, internal perbankan, dan shocks secara bersama-sama dapat dijadikan indikator awal terjadinya krisis/severe distress pada industri perbankan.
Hagen dan Ho (2006) melakukan penelitian dengan judul money market pressure and the determinants of banking crises. Penelitian ini membangun index of money market pressure untuk mengidentifikasi krisis perbankan. penelitian ini menggunakan data dari 47 negara dari tahun 1980 sampai 2001 dan menganalisis menggunakan model logit. Penelitian ini menemukan bahwa krisis perbankan dapat dijelaskan melalui beberapa kondisi seperti resesi yang parah, adanya inflasi yang tinggi, terjadi defisit fiskal yang cukup besar, terjadi overvalue pada nilai
(55)
tukar rill dan skema asuransi deposito. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa krisis mata uang dapat meningkatkan kemungkinan krisis pada sistem perbankan, terutama dampak menular atau contagion effect dari negara maju.
Imansyah dan Kusdarjito (2009) melakukan penelitian dengan judul
“meramalkan potensi risiko krisis atau instabilitas di sektor keuangan: pendekatan jaringan saraf buatan”. Penelitian ini menggunakan sistem deteksi dini dengan model jaringan saraf buatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model krisis keuangan di Indonesia. Dalam penelitian ini dapat menggabungkan semua sektor seperti pasar mata uang asing, pasar saham dan perbankan dalam satu model yang terintegrasi. Hasil dari penelitian ini adalah mampu mengidentifikasi 19 indikator utama yang harus diawasi secara seksama untuk menghindarkan dan mengantisipasi ketidakstabilan di seluruh sektor keuangan di Indonesia. Indikator indikator ini adalah 1) banking-foreign liabilities, 2)
commodity food price index, 3) commodity industrial inputs price index,4)
credit/GDP growth,5) current account/GDP,6) fiscal deficit,7) foreign debt/IR,8)
government consumption/GDP,9) imports growth,10) inflation yoy,11)
international reserves,12) IR/import,13) JSX growth,14) lending/saving interest rate,15) M2 multiplier growth,16) M2/IR growth,17) real exchange rate deviation from trend,18) short-term capital flow/GDP, dan 19) spread real int. rate on deposit-fed fund rate.
Weni Septi Susanti (2016) melakukan penelitian dengan judul analisis tekanan perbankan di Indonesia. Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder runtut waktu bulan dari tahun 2001-2015. Variabel yang
(56)
digunakan untuk menghitung indeks tekanan perbankan adalah hutang luar negeri sektor perbankan, kredit yang disalurkan perbankan dan simpanan di perbankan. Model analisis yang digunakan adalah metode signal approach yang dilanjutkan dengan regresi logistik untuk mengetahui elastisitas variabel terhadap tekanan perbankan yang jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan krisis. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa dalam kurun waktu penelitian 2001-2015, Indonesia mengalami 2 periode krisis yakni pada tahun 2002, dan 2008. Namun dalam waktu dekat indikator ekonomi yang digunakan tidak menunjukkan adanya krisis perbankan. Terdapat 4 variabel yang merupakan indikator terbesar dalam pembentukan sinyal krisis perbankan, yaitu perubahan indeks harga saham gabungan, M2 multiplier, rasio bunga pinjaman dan tabungan, serta rasio konsumsi pemerintah dan PDB.
D. Kerangka Penelitian
Fase terbentuknya risiko sistemik menurut Blancher et al (2013) dibagi menjadi tiga bagian, yaitu terdiri dari fase build up, shock materialization dan
amplification and propagation. Penjelasan masing-masing fase adalah sebagai berikut :
a) Fase build up, merupakan fase dimana gejala risiko sistemik muncul dalam sistem keuangan. Munculnya gejala risiko sistemik ini, merupakan kombinasi antara shock dan vulnerability. Kombinasi keduanya menyebabkan munculnya gejala sumber gangguan dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, tindakan yang diambil ketika potensi risiko sistemik muncul adalah fokus pada
(57)
penilaian kemungkinan terjadinya risiko sistemik dan melakukan pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicators).
b) Fase shock materialization. Fase ini adalah fase awal terjadinya krisis dalam sistem keuangan. Dalam fase ini, ketidakseimbangan dalam sistem keuangan meningkat dan rapuhnya sistem keuangan membuat sistem keuangan rentan terhadap guncangan dari luar atau eksogen (misalnya, guncangan pada PDB atau fiskal, tekanan nilai tukar, tekanan harga perumahan, kegagalan institusi keuangan yang berdampak sistemik). Oleh karena itu, dalam fase ini pengukuran risiko sistemik difokuskan terutama pada penilaian potensi kerugian pada sistem keuangan dan sektor riil. Metode pengukuran risiko sistemik dalam fase ini menggunakan stress testing.
c) Fase amplification and propagation. Dalam fase ini, shock
mempengaruhi sistem keuangan secara lebih luas, termasuk lembaga keuangan, pasar keuangan dan sektor lainnya, serta berpotensi terhadap sistem keuangan negara-negara lainnya. Pada fase ini, pengukurang risiko sistemik difokuskan pada interconnectedness antar lembaga keuangan dan mencegah potensi fire sale
terhadap aset keuangan.
Melihat ketiga fase terbentuknya risiko sistemik diatas, penelitian ini mencoba untuk melakukan fokus kajian pada fase build up. Dalam memonitoring fase ini, alat yang digunakan adalah sistem deteksi dini (early warning system).
Penelitian ini mencoba untuk mengkaji fase build up pada perbankan Syariah dengan menganalisis indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah
(58)
banking robustness index ) sebagai variabel dependen dan variabel internal dan eksternal perbankan Syariah sebagai variabel independennya.
Variabel internal terdiri dari non performing financing (NPF) dan
financing to deposit ratio (FDR), sedangkan indikator eksternal (makroekonomi) terdiri dari, produk domestik bruto (PDB), suku bunga (interest rate) dan inflasi (inflation).
Variabel-variabel internal dan eksternal berpotensi sebagai sumber risiko pada perbankan Syariah, seperti : Indikator non performing financing (NPF), indikator ini berpotensi menimbulkan risiko kredit (credit risk) dan indikator yang terakhir adalah financing to deposit ratio (FDR), indikator FDR berpotensi menimbulkan risiko likuiditas (liquidity of risk), sedangkan indikator eksternal (makroekonomi) terdiri dari, produk domestik bruto (PDB), suku bunga (interest rate) dan inflasi (inflation), indikator makroekonomi berpotensi menimbulkan risiko pasar (market risk).
Pemilihan indikator-indikator internal dan eksternal berdasarkan penelitian terdahulu dan kriteria indikator dari Wolken (2013). Menurut Wolken (2013) terdapat beberapa kriteria indikator yang dapat mengidentifikasi timbulnya kondisi build up dari risiko sistemik, diantaranya a) relevance b). collectable c). comprehensive & dynamic d). forward looking dan e). accurate.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kerangka penelitian dalam penelitian ini melihat fase build up/ fase pertama dalam penyebaran risiko sistemik adalah sebagai berikut :
(59)
GAMBAR 2.1 Kerangka Pemikiran Indikator Internal
(Sektor Perbankan)
Indikator Eksternal (Sektor Makroekonomi)
NPF FDR PDB Suku Bunga Inflasi
Risiko Pasar
INDEKS KETAHANAN PERBANKAN SYARIAH (Syariah Banking Robustness Index(SBRI))
Stabilitas Perbankan Syariah Risiko Sistemik EWS Risiko
Likuiditas Risiko
Kredit
Dana Pihak Ketiga Pembiayaan
Mampu Menyerap Risiko (Robustness)
Tidak Dapat Menyerap Risiko (Not Robustness)
(60)
E. Hipotesis
Berdasarkan penelitian terdahulu dari penelitian ini, berikut adalah hipotesis dalam penelitian ini, diantaranya :
1. Diduga variabel non performing financing (NPF), financing to deposit ratio (FDR), inflasi, produk domestik bruto (PDB) dan suku bunga bank konvensional dapat digunakan sebagai leading indicator dalam memantau ketahanan perbankan Syariah di Indonesia.
2. Diduga variabel non performing financing (NPF), financing to deposit ratio (FDR), inflasi, produk domestik bruto (PDB) dan suku bunga bank konvensional dapat berpengaruh dalam memberikan probabilitas terjadinya guncangan pada perbankan Syariah di Indonesia.
(61)
1 A. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang digunakan adalah potensi tekanan dari indikator-indikator internal dan eksternal terhadap kondisi perbankan Syariah di Indonesia, selama periode Januari 2004 sampai dengan dengan Desember 2016. Penggunaan data dari Januari 2004 karena ketersediaan data dalam perbankan Syariah yang masih terbatas dan untuk melihat kondisi perbankan Syariah saat krisis global 2008.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka dan dapat diolah dengan teknik perhitungan matematika ataupun statistika. Sumber data adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya. Data dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber seperti dari laporan bulanan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah (SPS) Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa sumber data yang dapat mendukung penelitian ini.
(62)
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data dalam penelitian. Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan dokumentasi data-data statistik dari berbagai lembaga resmi di Indonesia.
D. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah indeks ketahanan perbankan Syariah (Syariah banking robustness index) dan variabel independennya terdiri dari variabel internal perbankan, yaitu non performing financing (NPF) , financing to deposit ratio (FDR) dan variabel eksternal terdiri dari produk domestik bruto (PDB), suku bunga (interest rate), inflasi (inflation),
variabel internal untuk melihat kondisi makroekonomi Indonesia, beserta dampaknya terhadap ketahanan perbankan Syariah.
Penggunaan variabel dependen mengacu pada indeks sebelumnya yang dikembangkan oleh Jarita, Kusuma dan Sumandi (2016). Jarita, Kusuma dan Sumandi (2016) mengembangkan Islamic banking resilience index (IBRI). Disisi lain, terdapat berbagai indeks yang digunakan dalam melakukan monitoring terhadap kondisi perekonomian maupun perbankan, misalkan indeks yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Indeks yang dikembangkan oleh Bank Indonesia adalah indeks stabilitas sistem keuangan (ISSK)/ financial stability index (FSI) dan Danareksa Research Institute (DRI) mengembangkan indeks dengan nama banking pressure index (BPI). Sedangkan di Rumania, indeks yang dibentuk diberi nama aggregate financial stability index (AFSI) (Gunadi, Taruna
(1)
Feb-06 16.34 0.58 103.32 3.97 108.75
Mar-06 16.35 0.03 106.96 4.27 110.19
Apr-06 16.29 0.05 109.22 3.99 110.37
May-06 16.25 0.37 109.67 4.19 114.73
Jun-06 16.15 0.45 110.52 4.23 119.12
Jul-06 16.14 0.45 112.23 4.71 122.03
Aug-06 16.05 0.33 111.28 5.08 122.09
Sep-06 15.82 0.38 109.38 5.13 127.53
Oct-06 15.62 0.86 106.53 5.07 113.41
Nov-06 15.35 0.34 105.39 5.24 121.20
Dec-06 15.07 1.21 98.9 4.75 123.69
Jan-07 14.9 1.04 98.56 5.17 119.31
Feb-07 14.71 0.62 97.19 5.54 112.63
Mar-07 14.49 0.24 95.14 5.73 120.44
Apr-07 14.3 -0.16 97.02 6.14 120.57
May-07 14.06 0.1 97.11 6.17 122.29
Jun-07 13.88 0.23 101.12 6.2 125.15
Jul-07 13.71 0.72 101.96 6.58 127.81
Aug-07 13.66 0.75 105.7 6.63 128.14
Sep-07 13.31 0.8 103.68 6.29 130.62
Oct-07 13.16 0.79 102.65 6.23 119.77
Nov-07 13.16 0.18 103.47 5.66 126.73
Dec-07 13 1.1 99.76 4.05 127.77
Jan-08 12.99 1.77 97.87 4.18 126.28
Feb-08 12.96 0.65 97.61 4.16 123.30
Mar-08 12.88 0.95 100.26 4.17 123.41
(2)
Jun-08 12.99 2.46 103.18 4.23 128.10
Jul-08 13.14 1.37 106.97 4.17 131.36
Aug-08 13.42 0.51 113.02 4.04 131.83
Sep-08 13.93 0.97 112.25 4.12 129.55
Oct-08 14.67 0.45 111.66 4.49 127.05
Nov-08 15.13 0.12 111.93 4.97 127.54
Dec-08 15.22 -0.04 103.65 3.95 125.34
Jan-09 15.23 -0.07 100.01 4.39 124.17
Feb-09 15.08 0.21 100.49 4.61 124.38
Mar-09 14.99 0.22 103.33 5.14 125.13
Apr-09 14.82 -0.31 101.35 5.17 126.36
May-09 14.68 0.04 101.06 4.77 127.41
Jun-09 14.52 0.11 100.22 4.39 128.82
Jul-09 14.45 0.45 99.59 5.15 131.05
Aug-09 14.3 0.56 99.71 5.61 132.72
Sep-09 14.17 1.05 98.11 5.72 129.32
Oct-09 14.09 0.19 97.3 5.51 133.03
Nov-09 13.96 -0.03 95.49 5.54 132.39
Dec-09 13.69 0.33 89.7 4.01 131.44
Jan-10 13.75 0.84 88.67 4.36 130.69
Feb-10 13.68 0.3 90.96 4.75 129.38
Mar-10 13.54 -0.14 95.07 4.53 129.52
Apr-10 13.42 0.15 95.57 4.47 131.16
May-10 13.26 0.29 96.65 4.77 132.60
Jun-10 13.17 0.97 96.08 3.89 135.27
(3)
Aug-10 13.19 0.76 98.86 4.1 138.91
Sep-10 13 0.44 95.4 3.95 130.36
Oct-10 13.01 0.06 94.76 3.95 139.51
Nov-10 12.96 0.6 95.45 3.99 138.59
Dec-10 12.83 0.92 89.67 3.02 140.46
Jan-11 12.75 0.89 91.97 3.28 140.42
Feb-11 12.72 0.13 95.16 3.66 132.05
Mar-11 12.32 -0.32 93.22 3.6 139.26
Apr-11 12.3 -0.31 95.17 3.79 136.63
May-11 12.24 0.12 94.88 3.76 139.71
Jun-11 12.24 0.55 94.93 3.55 142.04
Jul-11 12.55 0.67 94.18 3.75 145.86
Aug-11 12.5 0.93 98.39 3.53 141.32
Sep-11 12.39 0.27 94.97 3.5 143.53
Oct-11 12.36 -0.12 95.24 3.11 147.86
Nov-11 12.31 0.34 94.4 2.74 147.23
Dec-11 12.16 0.57 88.94 2.52 148.93
Jan-12 12.14 0.76 87.27 2.68 102.76
Feb-12 12.02 0.05 90.49 2.82 105.63
Mar-12 12.01 0.07 87.13 2.76 102.46
Apr-12 11.86 0.21 95.39 2.85 103.38
May-12 11.78 0.07 97.95 2.93 108.31
Jun-12 11.79 0.62 98.59 2.88 109.79
Jul-12 11.78 0.7 99.91 2.92 111.41
Aug-12 11.73 0.95 101.03 2.78 100.78
Sep-12 11.7 0.01 102.1 2.74 109.61
(4)
Dec-12 11.49 0.54 100 2.22 114.12
Jan-13 11.49 1.03 100.63 2.49 113.91
Feb-13 11.45 0.75 102.17 2.72 112.31
Mar-13 11.44 0.63 102.62 2.75 112.58
Apr-13 11.44 -0.1 103.08 2.85 114.12
May-13 11.46 -0.03 102.08 2.92 115.78
Jun-13 11.41 1.03 104.43 2.64 113.34
Jul-13 11.66 3.29 104.83 2.75 115.28
Aug-13 11.63 1.12 102.53 3.01 113.37
Sep-13 11.8 -0.35 103.27 2.8 116.36
Oct-13 11.93 0.09 103.03 2.96 118.05
Nov-13 12.06 0.12 102.58 3.08 116.20
Dec-13 12.12 0.55 100.32 2.62 117.36
Jan-14 12.23 1.07 100.07 3.01 117.32
Feb-14 12.33 0.26 102.03 3.53 116.60
Mar-14 12.37 0.08 102.22 3.22 116.80
Apr-14 12.38 -0.02 95.5 3.48 117.25
May-14 12.63 0.16 99.43 4.02 120.16
Jun-14 12.63 0.43 100.8 3.9 120.22
Jul-14 12.7 0.93 99.89 4.31 117.05
Aug-14 12.76 0.47 98.99 4.58 120.13
Sep-14 12.78 0.27 99.71 4.67 127.74
Oct-14 12.82 0.47 94.87 4.58 124.37
Nov-14 12.84 1.5 94.62 4.86 121.73
Dec-14 12.79 2.46 91.50 4.33 124.94
(5)
Feb-15 12.74 -0.36 93.94 5.10 119.67
Mar-15 12.82 0.17 94.24 4.81 125.46
Apr-15 12.75 0.36 94.18 4.62 127.11
May-15 12.72 0.5 94.69 4.76 123.03
Jun-15 12.7 0.54 96.52 4.73 126.26
Jul-15 12.65 0.93 94.80 4.89 122.21
Aug-15 12.63 0.39 95.15 4.86 127.01
Sep-15 12.58 -0.05 94.91 4.73 130.31
Oct-15 12.58 -0.08 94.66 4.74 132.07
Nov-15 12.55 0.21 94.78 4.66 129.77
Dec-15 12.46 0.96 92.14 4.34 126.84
Jan-16 12.46 0.51 92.20 4.86 126.50
Feb-16 12.4 -0.09 91.27 4.95 128.50
Mar-16 12.28 0.19 91.76 4.89 128.67
Apr-16 12.14 -0.45 91.67 4.89 127.28
May-16 11.97 0.24 91.40 5.54 131.69
Jun-16 11.82 0.66 92.06 5.05 136.30
Jul-16 11.78 0.69 90.53 4.81 132.93
Aug-16 11.73 -0.02 90.04 4.94 134.73
Sep-16 11.61 0.22 89.18 4.31 130.37
Oct-16 11.59 0.14 89.55 4.40 128.46
Nov-16 11.52 0.47 86.27 3.97 132.15
Dec-16 11.52 0.42 85.99 3.955 132.34
(6)
Dependent Variable: IKPS
Method: ML - Binary Logit (Quadratic hill climbing) Date: 04/04/17 Time: 18:03
Sample: 2004M01 2016M12 Included observations: 156
Convergence achieved after 6 iterations
Covariance matrix computed using second derivatives
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. C -17.08034 6.672099 -2.559964 0.0105 FDR -0.070624 0.049212 -1.435105 0.1513 BUNGA 1.342958 0.334107 4.019548 0.0001 INFLASI 0.157570 0.290217 0.542939 0.5872 McFadden R-squared 0.317896 Mean dependent var 0.102564 S.D. dependent var 0.304366 S.E. of regression 0.266678 Akaike info criterion 0.502399 Sum squared resid 10.80977 Schwarz criterion 0.580601 Log likelihood -35.18713 Hannan-Quinn criter. 0.534161 Deviance 70.37426 Restr. deviance 103.1724 Restr. log likelihood -51.58618 LR statistic 32.79810 Avg. log likelihood -0.225559 Prob(LR statistic) 0.000000
Obs with Dep=0 140 Total obs 156
Obs with Dep=1 16
4. Ods Ratio Model Logit
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. Ods Ratio
C -17.08034 6.672099 -2.559964 0.0105
3.8205E-06 FDR -0.070624 0.049212 -1.435105 0.1513
48.23%
BUNGA 1.342958 0.334107 4.019548 0.0001
79.29%
INFLASI 0.157570 0.290217 0.542939 0.5872
53.93%