“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL ( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

(1)

( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

DIAJUKANOLEH :

NAMA : NENY KARTINI

NIM : 20130610443

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(2)

( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

DIAJUKANOLEH :

NAMA : NENY KARTINI

NIM : 20130610443

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(3)

Nama : Neny Kartini

NIM : 20130610443

JudulSkripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL

(Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari diri saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Selain itu, tidak ada bagian dari skripsi ini yang telah saya gunakan sebelumnya untuk memperoleh gelar atau sertifikat akademik. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Demikaian pernyataan ini saya buat dengan sebenar - benarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 10 Maret 2017


(4)

yang beriman diantara kamu dan orang - orang yang diberi ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui. (Q.S Al - MujadillahAyat 11) “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu, Sebagai penolongmu,

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al - Baqarah: 153)

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan berharaplah kepada Tuhanmu. (Q.S Al Insyirah : 6 - 8)

”Jika seseorang bepergian dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah akan menjadikan

perjalanannya seperti perjalanan menuju surga” (Nabi Muhammad SAW)

“Tuntutlah ilmu di tanah rantau dengan sebaik - baiknya, jadilah kebanggan keluarga, jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa, jangan pernah tinggalkan solatmu. Usaha yang kamu


(5)

senantiasa memberikan pertolongan, kesabaran, kekuatan, dan keteguhan hati untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini aku persembahkan kepada :

Ayahanda Abadi

Ibunda Sri Joariani

Adinda Muhammad Fatoni

Keluarga Besar Di Bengkulu

Keluarga Besar Di Yogyakarta

Sahabat – Sahabat

Terima kasih atas doa, semangat, dan motivasi yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan lancar dan tepat waktu.


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah - Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL (Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl)” disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, masih terdapat banyak kekurangan, walaupun tidak terlepas dari segla doa dan usaha dengan kemampuan yang ada

disamping itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan pengarahan dan petunjuk kepada penulis, dengan penuh kesabaran dan ketelatenannya.

3. Bapak Wiratmanto, SH., M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

memberikan bimbingan pengarahan dan petunjuk kepada penulis, dengan penuh kesabaran dan ketelatenannya.

4. Staf Pengadilan Agama Bantul dan segenap jajarannya yang dengan penuh keramahan

dan kesabaran membantu penulis dalam proses penelitian.

5. Ibu Latifah Setyawati, SH., M.Hum selaku Hakim Pembimbing yang telah meluangkan

waktunya untuk bersdeia menjadi narasumber dan membagikan ilmunya yang sangat bermanfaat bagi penulis.

6. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang


(7)

8. Keluargaku di Bengkulu, Pakde Suprianto, Bude Mursiti, Om Santo, Bulek Yanti, Mas

Ikhsan, Adik – adikku Nesti, Rayi, Rehan, Raka dan Dika yang selalu memberiku

semangat dan mengutakanku.

9. Keluargaku di Yogyakarta, Mbah Kakung, Mbah Putri, Bude Sri, Bude Tatik, Pakde

Susilo, Bulek Jatu, Mbak Idik, Mbak Tyas, yang telah membantuku, menolongku dan menjagaku ketika aku berada di Yogya.

10.Kakak ku Ardianto Prabowo yang sekaligus menjadi teman dan sahabat terdekatku, yang

setiap hari bersamaku, memberiku semangat, selalu membantuku, serta selalu berbagi keceriaan dan melewati setiap suka dan duka selama kuliah.

11.Sahabatku selama aku berada Yogya, Aak Ardi, Om Dimas, yang selalu menjadi tempat

aku mencurahkan isi hati ku, dan selalu membantuku.

12.Kakak – kakak ku dan Adik - adik ku tercinta Mbak Iwik, Nihla, Tami, Rafa, Lisa, Eka,

Lia dan Elsa yang selalu menjadi teman bercerita,teman curhat, penolongku dan perawatku disaat aku sakit serta butuh bantuan saat berada dikost

13.Sahabatku di bangku SMA dan SMP yuk Nung, Cipi, Agam, Sita dan Mas Danu, yang

mendoakan serta mendukungku.

14.Teman – teman hits ku Galuh, Pipit, Rizki Mus, Endah, Ferisa, Hilmi, Nurita, Lulu, Rouf,

Rifqi, Retno Dwi, Nurul Puspita, Khalis, Sukma, Arif Rianto, Dinda, Erika, Avizena, Aisyah, Aditya, Abdul, Dara, Evani, Nita, Ganis, Yudanti yang selalu asik untuk diajak bercerita, tertawa bersama, dan menyempatkan waktu untuk hadir di hari saat aku di sidang.

15.Teman – teman KKN 044 Kemukus, Ganis, Lia, Dila, Hably, Akbar, Uqi, Mas Umar,

Fadli, Annisa, Mas Jalu, Richa, Oliv, Rofiq dan Alima. Dan terima kasih juga untuk Pak Dukuh Pedukuhan Kemukus, banyak pengalaman selama 1 bulan yang aku rasakan ketika bersama kalian, bukan sekedar pengalaman tapi juga rasa kekeluargaan.

16.Keluarga besar PERMAHI “Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia” yang selalu memberikan aku ilmu baru, pengalaman baru, serta membimbing ku untuk dapat menjadi seseorang yang berwawasan luas.


(8)

ilmu dan menggali potensi yang aku miliki.

Dalam hal penulisan dan penyusunan skripsi ini tentunya Penulis masih banyak terdapat kekuranga, untuk itu mohon dimaafkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi Pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb


(9)

HALAMAN PERSETUJUAN ... II HALAMAN PENGESAHAN ... III HALAMAN PERNYATAAN ... IV HALAMAN MOTTO ... V HALAMAN PERSEMBAHAN ... VI KATA PENGANTAR ... VII ABSTRAK ... X DAFTAR ISI ... XI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Tinjauan Mengenai Perkawinan ... 6

1. Pengertian Perkawinan ... 6

2. Tujuan Perkawinan ... 7

3. Asas – Asas Perkawinan ... 8

4. Syarat – Syarat Perkawinan ... 11

5. Sahnya Perkawinan ... 16

6. Akibat Hukum Dari Perkawinan ... 18

B. Tinjauan Mengenai Putusnya Perkawinan ... 19

1. Pengertian Perceraian ... 19


(10)

1. Tinjauan Mengenai Anak Sah ... 27

2. Tinjauan Mengenai Batasan Anak Dibawah Umur ... 29

D. Tinjauan Mengenai Hak Asuh (Hadhanah) Dan Dasar Hukum ... 31

1. Pengertian Hak Asuh Atau Hadhanah ... 32

2. Syarat – Syarat Hadhanah. ... 41

3. Pihak – Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Metode Pendekatan ... 48

C. Bahan Penelitian ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 51

E. Lokasi Pengambilan Bahan ... 51

F. Narasumber ... 51

G. Teknik Pengolahan Data ... 52

H. Teknik Analisis Hasil Penelitian ... 52

BAB IV PEMBAHASAN ... 54

A. Kasus Posisi ... 54

1. Identitas Para pihak ... 54

2. Anak dari Penggugat dan tergugat ... 55


(11)

B. Analisis dan Pembahasan Rumusan Masalah ... 66

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(12)

(13)

(14)

(15)

anak yang berada dibawah umur, yang dalam hal ini belum berusia 12 tahun dan oleh

majelis hakim ditetapkan jatuh kepada ayahnya. Dalam hal hak asuh atau hadhanah anak

yang belum berusia 12 tahun seyogyanya dijatuhkan kepada seorang ibu sesuai apa yang diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh atau hadhanah anak yang belum berusia 12 tahun merupakan hak dari seorang ibu.

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yaitu penelitian

yang mengkaji asas, norma, kaidah dari peraturan perundang – undangan dan putusan

pengadilan. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan kasus yang

mana penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang

berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh pengadilan dan telah

mempunayi kekuatan hukum tetap. Adapun bahan – bahan penelitian yang

digunakannadalah bahan hukum primer, sekunder, tersier, dan bahan non hukum. Hasil dari penelitian ini dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif yakni dimana data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas hukum, ajaran huku, konsep hukum, dan pendapat para ahli dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta

– fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapannya. Kemudian memberikan

penilaian (justifikasi) tentang obyek yang diteliti apakah benar atau salah menurut hukum.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan, bahwa hak asuh atau hadhanah yang dimiliki oleh seorang ibu dapat dialihkan apabila si ibu tersebut tidak mempunyai tabiat yang baik dan kapasitas dalam mendidik. Selain itu Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang hak asuh atau hadhanah anak dibawah umur 12 tahun

merupakan hak ibu tersebut dapat dikesampingkan, jika si ibu tidak memenuhi syarat –

syarat dalam memegang hak asuh atau hadhanah. Hal ini diperkuat dengan adanya Yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 126 K/ Pdt/ 2001 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 906 K/ Sip/ 1973.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu, hukum mengatur masalah perkawinan secara detail termasuk akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut.Pernikahan itu sendiri mempunyai tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal menurut Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974.

Tujuan itu sendiri tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja, tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa. Adapun yang dimaksut dengan keluarga adalah kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia.Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan

keturunan, sehingga terbentuknya keturunan merupakan tujuan

perkawinan pula. Masalah keturunan merupakan hal yang penting dalam

perkawinan.1

1Subekti, 2005, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta,


(17)

Selain itu dari pernikahan tersebut muncul akibat hukum yakni hak dan kewajiban bagi suami dan istri, baik akibat hukum antar suami dan

istri, hubungan antara orang tua dengan anak, dan terhadap harta bersama.2

Akibat hukum yang muncul akibat perkawinan tersebut harus dapat dilakukan dan dikerjakan sesuai dengan peranannya masing - masing oleh suami dan istri, jika hak dan kewajiban tersebut dapat terlaksanakan secara seimbang dan tepat maka permasalahan rumah tangga yang biasa sering terjadi dapat diatasi dan dihindari agar dapat mencapai tujuan

perkawinan itu.3

Namun jika hak dan kewajiban antara suami dan istri tidak dapat terlaksana dengan baik maka permasalahan rumah tangga akan sering terjadi dan tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak akan tercapai.

Dewasa ini banyak pasangan suami istri banyak yang memilih untuk bercerai sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri permasalahan rumah tangga yang mereka alami. Sehingga dari perceraian tersebut akan berakibat putusnya ikatan perkawinan diantara suami dan istri. Putusnya ikatan perkawinan juga akan mengakibatkan timbulnya akibat hukum tertentu, diantaranya akibat hukum perceraian terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dalam Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak - anak mereka sebaik - baiknya.

2

F.X. Suhardana, 2001, Hukum Perdata I, PT. Prenhallindo, Jakarta, hlm : 42 3

Al- Hamdani, 2002, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Pustaka Amani, hlm : 219


(18)

Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara

kedua orang tua putus.4

Jadi dapat disimpulkan kedua orang tua dari anak tersebut memiliki kewajiban untuk mengasuh anak dari pernikahan mereka, walaupun pernikahan tersebut telah putus.

Dalam hukum islam, yang dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedang ibu bersifat membantu. Ibu

hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.5

Jika perkawinan telah putus maka Pengadilan akan menetapkan hak asuh kepada salah satu dari kedua orang tua tersebut, atau bila di Pengadilan Agama dikenal hadhanah (Pengasuhan). Hadhanah menurut penjelasan Muhammad Thalib, merupakan hak bagi anak- anak yang masih kecil, karena mereka membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya, dan orang

yang mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan hadhanah.6

Pandangan ini sesuai pula pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa jika terjadi perceraian orang tua, seorang anak yang

belum berusia 12 tahun menjadi hak ibunya.7

Namun, dalam kenyataannya pengadilan tidak jarang pula

menjatuhkan hadhanah kepada bapak, dengan berbagai pertimbangan

hukum dari hakim di pengadilan. Hal ini semata mata demi kebaikan dan

4

Muhammad Syaifuddin et al., 2013, Hukum Perceraian, Jakarta Timur, Sinar Grafika, hlm : 358

5

Abdul Ghofur Anshori., 2011, Hukum Perkawinan Islam (Presfektif fikih dan Hukum Positif), Yogyakarta, UII Press, hlm : 55

6

Muhammad Syaifuddin et al., Op.Cit., hlm : 361 7


(19)

kepentingan anak itu sendiri. Seperti pada kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor : 779/Pdt.G/2014/PA.Btl, yang mana

dalam putusan tersebut hakim menjatuhkan hadhanah atau hak

pemeliharaan anak yang masih dibawah umur kepada pihak bapak bukan jatuh kepada pihak ibu, seperti yang diatur pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis bermaksud untuk meneliti mengenai bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan penetapan hak asuh atau hadhanah kepada bapak terhadap

di bawah umur di Pengadilan Agama Bantul dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Kepada Ayah di Pengadilan Agama Bantul ( Studi

Putusan : Nomor 779/ Pdt.G/ 2014/ PA.Btl )”

Dari latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh kepada ayah terhadap anak dibawah umur akibat adanya perceraian di Pengadilan Agama Bantul.

Selain berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan, yakni :

a) Tujuan Objektif : Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam

menetapkan hak asuh kepada bapak terhadap anaka dibawah umur akibat adanya perceraian di Pengadilan Agama Bantul.


(20)

b) Tujuan Subjektif : Untuk memenuhi syarat menempuh gelar sarajana hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Menurut Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 dan

Pasal 2, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa, yang harus dilaksanakan sesuai agamanya masing- masing, dan harus juga dicatatkan menurut

peraturan perundang- undangan yang berlaku.8

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah.9

Disamping pengertian tersebut diatas, terdapat pula pengertian

perkawinan memurut beberapa sarjana, yaitu10 :

a. Menurut Prof. Subekti, S.H., perkawinan adalah tali yang sah

8

Lihat Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 9

Lihat Inpres Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam 10 P.N.H Simanjuntak., 2015, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Prenada media Grup., hlm : 34


(22)

antar seorang laki- laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

b. Menurut Prof. Ali Afandi, S.H., perkawinan adalah suatu

persetujuan kekeluargaan

c. Menurut Prof. Mr. Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan

hukum antara pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dan kekal, yang diakui oleh Negara.

d. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perkawinan

yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat- syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.

e. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., perkawinan

adalah hubungan antara seorang wanita dan pria yang bersifat abadi.

f. Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri.

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang – Undang nomor 1 tahun

1974 adalah membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari


(23)

segi lahirnya saja, tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya

dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.11

3. Asas – Asas Perkawinan

Asas – Asas atau prinsip – prinsip mengenai perkawinan diatur

dalam penjelasan umum dari Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974,

yaitu meliputi :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing – masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

b. Dalam Undang – Undang dinyatakan, bahwa suatu perkawinan

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap – tiap perkawinan

harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang

berlaku.

c. Undang – Undang ini menganut asas monogami. Asas

11 Subekti, Loc.Cit.


(24)

monogami adalah seorang pria pada saat yang sama hanya diperbolehkan mempunyai seorang wanita sebagai istrinya dan seorang wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang pria

sebagai suaminya. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat 1 Undang –

Undang Nomor 1 tahun 1974. Namun asas monogami tersebut tidak berlaku mutlak, masih dapat disampingkan, sehingga seorang pria dapat beristri lebih dari seorang apabila diperbolehkan oleh hukum dan agama dari yang bersangkutan, serta memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh

pengadilan. Menurut Pasal 4 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1

tahun 1974 alasan yang bersifat alternatif yang dapat diajukan oleh seorang suami yang akan melakukan poligami adalah :

1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Seorang istri yang sudah memenuhi salah satu dari alasan alternatif diatas, sudah dapat dijadikan alasan oleh suami untuk berpoligami. Selain harus memenuhi alasan alternatif, juga harus memenuhi syarat komulatif seperti yang ditentukan dalam Pasal


(25)

1) Adanya persetujuan dari istrinya,

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

– keperluan hidup istri dan anak mereka,

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri dan anak mereka.

Dalam Pasal 5 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974

ditentukan bahwa perkecualian mengenai syarat adanya persetujuan dari istri, yaitu bahwa persetujuan dari istri tidak diperlukan bagi suami apabila istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,

dan apabila tidak ada kabar dari istri selama sekurang –

kurangnya 2 tahun, serta apabila ada sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

d. Undang – Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri

itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

e. Undang – Undang ini mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

melakukan perceraian, harus ada alasan – alsan tertentu serta


(26)

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.12

4. Syarat – Syarat Perkawinan

a. Syarat materiil

Untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang – Undang

Nomor 1 tahun 1974 harus memenuhi syarat – syarat tertentu. Adapun

syarat – syarat yang harus dipenuhi adalah :

1) Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974

menyatakan bahwa “ perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan paksa dalam masyarakat.

2) Adanya ijin kedua orang tua/ wali bagi calon mempelai yang

belum berusia 21 tahun.

3) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan


(27)

mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun.

4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak

dalam hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin. Hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin menurut

Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu :

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah

dan ke atas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

ibu/bapak tiri.

d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,

saudara susuan dan bibi/ paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku dilarang kawin.

5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain


(28)

menyatakan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 Ayat 2 dan Pasal 4.

6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/ istri yang sama

akan dinikahi.

7) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita

yang janda.

Menurut pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 waktu tunggu tersebut yakni :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 hari,

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci

dengan sekurang – kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak

berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang

dalam keadaan hami, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan


(29)

suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.13

b. Syarat Formil

Mengenai tata cara dan syarat untuk melaksanakan perkawinan terdiri dari empat tahapan dan diatur dalam pasal 3, 6, dan 10 PP Nomor 9 tahun 1975, yaitu tentang :

1) Pemberitahuan

Menurut Pasal 3 PP Nomor 9 tahun 1975, setiap orang yang

akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut

ditentukan sekurang – kurangnya 10 hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Jangka waktu pemberitahuan tersebut ada pengecualiannya apabila ada alasan yang penting. Misalnya calon mempelai akan segera ke luar negari untuk melaksanakan tugas negara.

2) Penelitian

Setelah menerima pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan, selanjutnya diadakan penelitian. Menurut Pasal 6 PP Nomor 9 tahun 1975, pegawai pencatat perkawinan

13


(30)

mengadakan penelitian apakah syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut

Undang – Undang.

3) Pengumuman

Apabila penelitian telah dilakukan dan ternyata semua syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan, kemudian pegawai pencatat perkawinan mengadakan pengumuman. Maksud diadakan pengumuman ini adalah untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan, apabila diketahuinya bertentangan dengan hukum agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan.

4) Pelaksanaan

Perkawinan dapat dilangsungkan setalah kesepuluh sejak pengumuman dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan dan tidak ada pihak lain yang mengajukan keberatan. Mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan menurut Pasal 10 Ayat 2 PP

Nomor 9 tahun 1975 dilakukan menurut hukum masing –


(31)

perkawinan.14

5. Sahnya Perkawinan

Mengenai sahnya perkawinan, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut :

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.

b. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang –

undangan yang berlaku.

Dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing - masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai gengan Undang - Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing - masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang - undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang - Undang ini.

Dari bunyi Pasal 2 Ayat 1 beserta penjelasan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing - masing agamanya dan


(32)

kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.15 Pasal

2 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa

tiap – tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang -

undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pencatatan

tiap – tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat – surat keterangan,

suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.16

Dengan adanya pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, maka akan diterbitkan akta perkawinan yang

menunjukkan bahwa peristiwa perkawinan benar – benar terjadi. Akta

perkawinan dapat dipergunakan sewaktu – waktu apabila dibutuhkan

dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna didepan hakim.Dengan demikian pencatatan perkawinan

hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar – benar terjadi,

jika semata - mata bersifat administrative, tidak menentukan sahnya

perkawinan.17

15Subekti, 2005, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta, PT.Intermasa, hal. 34

16Ibid. 17Ibid.


(33)

6. Akibat Hukum Dari Perkawinan

Adanya perkawinan yang sah menimbulkan akibat - akibat hukum terhadap hubungan antar suami dan istri, hubungan antara orang tua dengan anak, dan terhadap masalah harta benda. Menurut Pasal 30 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Dalam membina rumah tangga, wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin. Suami berkewajiban melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuia dengan kemampuannya.Istri

sebagai ibu rumah tangga dengan sebaik baiknya.18Akibat perkawinan

terhadap anak, yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak - anaknya sebaik - baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajina ini berlangsung terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Kekuasaan orang tua meliputi juga untuk mewakili anak dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Meskipun demikain kekuasaan orang tua ada

18 Asep Saepudin Jahar et al., 2013, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, Jakarta, Prenadamedia Group, hlm : 21


(34)

batasnya yaitu tidak boleh memindahkan atau mengggadaikan barang - barang tetap milik anaknya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya, hal ini tercantum pada Pasal 48 Undang - Undang

Nomor 1 tahun 1974.19

B. Tinjauan Mengenai Putusnya Perkawinan

Menurut Pasal 38 sampai dengan 41 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena 3 hal yaitu kematian,

perceraian, dan atas keputusan pengadilan.20Dalam hal penetapan hak

asuh atau hadhanah kepada salah satu pihak dari perkawinan yang

sah, hanya dapat ditetapkan jika dari perkawinan tersebut telah putus akibat perceraian.

1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Maksudnya adalah Undang - Undang tidak memperbolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan isteri. Tuntutan perceraian harus dimajukan kepada Hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, yang harus didahului dengan meminta izin kepada

19 Munir Fuady., 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm : 20 20 P.N.H Simanjuntak., Op.cit., hlm : 61


(35)

Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk menggugat. Sebelum izin diberikan, hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Di dalam Undang - Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di kenal 2 (dua) macam perceraian, yaitu cerai talaq, dan cerai gugat.

Cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami yang bermaksud menceraikan isterinya mereka harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi

putus.21

Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Apabila pergaulan kedua suami - isteri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan, maka akan mengakibatkan perpisahan, karena tidak adanya kata kesepakatan antara suami - isteri, maka dengan keadilan Allah SWT, dibukanya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu pintu perceraian. Mudah - mudahan dengan adanya jalan itu

21

Yani Tri Zakiyah, 2005, Latar Belakang Dan Dampak Perceraian (Studi Kasus Di

Pengadilan Agama Wonosobo), (Skripsi sarjana tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang), hlm : 24


(36)

terjadilah ketertiban, dan ketentraman antara kedua belah pihak. Dan masing - masing dapat mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita - citakan.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhmmad SAW, yang artinya sebagai berikut: “ Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya yang halal yang amat

dibenci Allah adalah talaq”. Adapun tujuan Perceraian adalah sebagai

obat, dan jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat diatasi lagi selain dengan perceraian. Meskipun demikian talaq masih tetap di

benci Allah.22

2. Alasan Perceraian

Menurut Pasal 19 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disebutkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut

– turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

22


(37)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu piahak mendapatkan cacat badan dan penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri.

f. Antara suami dan isti terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.23

3. Tata Cara Perceraian

Mengenai tata cara perceraian yang terinci dapat dilihat pada pasal 129 sampai dengan 148 Kompilasai Hukum Islam.

a. Cerai Talak

1) Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan,

maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayah tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, seorang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya serta harus meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak

permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat meminta upaya banding atau kasasi.


(38)

3) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan tersebut, kemudian dalam waktu yang selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

4) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua

belah pihak, dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak, serta yang bersangkutan tidak mungkin akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya, Pengadilan Agama dapat menjatuhkan putusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

5) Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami

mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

6) Apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6

(enam) bulan, terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, tentang izin ikrar talak baginya yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur, dan ikatan perkawinan tetap utuh.

7) Setelah sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama

membuat penetapan tentang terjadinya talak, dalam rangkap 4 (empat) yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan


(39)

isteri, helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami, isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

8) Gugatan cerai talak ini dapat di kabulkan atau ditolak oleh

Pengadilan Agama.24

b. Cerai Gugat

1) Gugatan diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan

Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

2) Gugatan perceraian karena alasan:

a) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak

24


(40)

tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat mengatakan, atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.

b) Antara suami - isteri terus - menerus terjadi perselisihan,

dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Gugatan baru dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab - sebab peselisihan, dan pertengkaran itu, serta telah mendengar pihak keluarga juga terhadap orang-orang yang dekat dengan suami-isteri tersebut.

c) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau

hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung,

maka untuk mendapatkan putusan sebagai bukti

penggugat, cukup menyampaikan salinan putusan

Pengadilan yang memutuskan perkara, disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan

penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin di timbulkannya, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami - isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.


(41)

4) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan tergugat atau penggugat, Pengadilan Agama dapat:

a) Menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami.

b) Menentukan hal - hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami-isteri, atau barang - barang yang menjadi hak suami, atau barang - barang yang menjadi hak isteri. Gugatan perceraian gugur apabila suami, atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama

mengenai gugatan perceraian tersebut. 25

4. Akibat Perceraian

Menurut Pasal 41 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian antara lain:

a. Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak - anaknya, semata - mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak - anak, pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan

dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

25


(42)

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau sesuatu kewajiban bagi bekas istri.26

C. Tinjauan Mengenai Anak

1. Tinjauan Mengenai Anak Sah

Dalam kamus umum bahasa indonesia dikemukakan bahwa anak adalah keturunana kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dalam pandangan hukum islam, ada empat syarat nasab anak itu dianggap sah, yaitu :

a. Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya

normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami istri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah.

b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan

sedikit - dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan.


(43)

Tentang yang terjadi ijma’ para pakar hukum islam sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan.

c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa

sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihankan oleh para pakar hukum islam.

d. Suami tidak mengingkar anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki - laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak

yang dikandung oleh istrinya dengan cara li’an.27

Anak sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap

keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus

menjadi penerus keturunannya.28Didalam hukum islam menentukan

bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah apabila pada

permulaan terjadi kehamilan antara ibu anak dan laki – laki yang

menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan

27

Abdul Manan., 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada media Grup, hlm : 78

28 Ibid.,


(44)

perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam anak sah adalah :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. hasil pembuahan suami istri yang sah diluar ramih dan dilahirkan

oleh istri tersebut.29

2. Tinjauan Mengenai Batasan Anak Dibawah Umur

a. Menurut Undang - Undang Perlindungan Anak

Dalam Undang - Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak Jo. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ketentuan dalam undang - undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun di kategorikan anak sampai dengan

berusia 18 tahun.30

b. Menurut Undang - Undang Perkawinan

29

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan.., Op.cit., hlm : 275.

30 Achmad Asfi Burhanudin, Menulis Referensi dari Internet, 1 April 2015 http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elfaqih/article/download/648/434


(45)

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orangtuanya, Pasal 7 ayat 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaanorang tuanya

selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya.31

c. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan

perkawinan.32

d. Menurut Hukum Adat

31Ibid.


(46)

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan sesorang diukur dari segi: 1) Dapat bekerja sendiri (mandiri); 2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri. Dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku

bagi seseorang yang berusia dibawah 21 tahun.33

D. Tinjauan Mengenai Hak Asuh (Hadhanah) Dan Dasar Hukum Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah SWT. Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan untuk kepentingan orang tua diakhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua

33Ibid.


(47)

harus memlihara, membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik

anak- anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.34

Kasih sayang dan tanggung jawab kepada anak tidak dapat berhenti sekalipun perkawinan kedua orang tuanya telah putus dan anak tersebut dikemudian hari diasuh oleh salah satu dari orang tuanya. Karena, sudah menjadi fitrah dari kedua orang tua anak tersebut untuk bertanggung jawab dan meberi kasih sayang selayaknya orang tua kepada anak.

1) Pengertian Hak Asuh Atau Hadhanah

a. Menurut Fikih

Dalam perfektif islam pemeliharaan anak disebut

dengan hadhanah. Secara etimologis, hadhanah ini berarti

“disamping” atau berada “dibawah ketiak”. Sedangkan secara

terminologisnya, hadhanah artinya merawat dan mendidik

seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi

keperluannya sendiri.35Hadhanah (pengasuhan), menurut

penjelasan Muhammad Thalib, merupakan hak bagi anak- anak

34 Yunahar Ilyas., 2012, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam (LPPI), hlm : 172

35 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta, Prenadamedia Group, hlm : 293


(48)

yang masih kecil, karena mereka membutuhkan pengawasan,

penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang

mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan hadhanah

ini, karena Rasulullah SAW bersabda : “engkau (ibu) lebih berhak kepadanya (anak)”.

Hal ini dimaksudkan jangan sampai hak anak atas

pemeliharaan dan pendidikannya tersia - sia.36 Ulama mazhab

Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadhanah

itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama hadanah itu menjadi hak bersama antara orag tua dan anak. Bahwa menurut Wahbah al -Zuhaily, hak hadahanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan

adalah hak dan kepentingan anak.37Yang dimaksut hadhanah

secara sederhana adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik- baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan

segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.38

Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan

36 Muhammad Syaifuddin et al., Loc.cit., hlm : 361

37Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan.., Loc.cit. hlm : 293 38Ibid.,


(49)

mendidik anak - anaknya semata - mata demi kepentingan si anak. Jika terjadi perselisihan anatara suami dan istri mengenai pengasuhan anak - anak maka dapat diselesaikan melalui jalur

musyawarah kekeluargaan ataupun dengan putusan

pengadilan.39Jika terjadi perpisahan antara ibu dan bapak

kandung sedangkan mereka ini punya anak, maka ibu atau pihak istrilah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya atau pihak suami, selama tidak ada suatu alasan yang

menggugurkan hak ibu melakukan pekerjaan hadhanah

tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah ikut

ibu atau bapak.40

Alasan mengapa anak yang belum mumayyiz yang lebih berhak memeliharanya adalah ibu atau pihak istri, diungkapkan dalam pernyataan Abu Bakar di atas Masdar.F Mas’udi menyimpulkan bahwa sebagai berikut :

Pertama, sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki

39Ibid., hlm : 295

40Mohd. Idris ramulyo., 2004. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, PT. Bumi Aksara, hlm: 93.


(50)

oleh ibu akan menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat.41

Senada dengan penjelasan Masdar, menurut

Muhammad Baqir al - Habsyi, sebab - sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang masih sangat muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Disamping itu ibu memiliki waktu yang lebih lapang untuk melaksanakan tugasnya tersebut dibanding seorang ayah

yang memiliki banyak kesibukan.42

b. Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Sebenarnya dalam Undang - Undang Perkawinan belum mengatur secara khusus tentang pengasuhan anak bahkan didalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab - kitab fikih. Barulah setelah diberlakukannya Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1999

41 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., Op.cit, hlm : 297 42Ibid., hlm : 298


(51)

tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan

agama diberi wewenang untuk memeriksa dan

menyelesaikannya.43

Namun dalam Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 telah memberikan aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan dalam Pasal 41 yang pada intinya menyatakan bahwa ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata - mata berdasarkan kepentingan anak, dan jika terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak pengadilan memberian keputusannya. Dan menyangkut kewajiban orang tua terhadap

anak dimuat didalam Bab X mulai dari pasal 45 - 49.44

c. Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam didalam pasal-pasalnya menggunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat didalam

Bab XIV Pasal 98 - 106.45 Pengertian hadhanah dalam

43 Abdul Manan dan M. Fauzan., 2001, Pokok- pokok Hukum Perdata : Wewenang Peradilan Agama, Jakarta, Rajawali Pers, hlm : 69

44 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., Op.cit., hlm : 299 45Ibid., hlm : 301.


(52)

Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 1 huruf g yaitu

pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh,

memelihara dan mendidik anak hingga dewasa maupun berdiri sendiri.

Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban anak dan harta jika terjadi perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan 106, yang pada intinya menyatakan jika terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibunya, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah. Serta orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan

kecuali karena keperluan mendesak dan kepentingan anak.46

Disini tampak bahwa sengketa pemeliharaan anak tidak dapat disamakan dengan sengketa harta bersama. Pada sengketa harta bersama yang dominan adalah tuntutan hak milik, bahwa pada harta bersama adalah hak suami dan ada hak istri yang harus dipecah. Ketika harta bersama telah dipecah,

46Ibid., hlm : 302.


(53)

maka putuslah hubungan hukum suami dengan harta bersama

yang jatuh menjadi bagian istri, begitu pula sebaliknya.47

Akan tetapi, pada sengketa hadhanah anak, hubungan

hukum antara anak dengan orang tua yang tidak mendapat hak asuh tidaklah putus, melainkan tetap mempunyai hubungan hukum sebagai orang tua dan anak. Akibat logisnya adalah meskipun hak asuh anak, misalnya, ditetapkan kepada ibu,

maka pihak ibu sekali – kali tidak dibenarkan menghalang –

halangi hubungan ayah dengan anaknya. Kesempatan harus diberikan kepada sang ayah untuk bertemu, mencurahkan kasih

sayang kepada anaknya.48

Pasal - Pasal Kompilasi Hukum Islam tentang hadhanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, Kompilasi Hukum Islam malah memberi tugas yang harus diemban kedua orang tua kendati mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.49.

47 M. Anshary., 2010, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm : 109.

48 Ibid.


(54)

d. Menurut Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak Jo. Undang – Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada dasarnya dalam Undang – Undang ini bukan

hanya mengatur tentang hak dan perlindungan terhadap anak saja, namun juga mengatur pula tentang kewajiban serta tanggung jawab keluarga dan orang tua terhadap anak. Hal ini diatur dalam Pasal 26 Ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi

Anak;

2. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan

kemampuan, bakat, dan minatnya;

3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

4. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai

budi pekerti pada Anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui

keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat


(55)

kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.”

Dalam Pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jika anak dibawah umur merupakan suatu tanggung jawab dari orang tua dalam mengasuh, memelihara, mendidik dan melindunginya. Sekalipun, jika kedua orang tua dari anak tersebut telah bercerai, kedua orang tua dari anak tersebut tetap bertanggung jawab dalam pemeliharaan anak tersebut. Lain halnya jika kedua orang tua anak tersebut telah meninggal, kewajiban dan tanggung jawab dalam memelihara anak tersebut dapat dialihkan. Jadi, dengan kata lain anak dibawah umur dapat diasuh atau dipelihara oleh orang tuanya atau keluarga terdekat, jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka pengadilanlah yang menentukan dengan menjatuhkan suatu putusan, demi kebaikan dan keperluan anak tersebut. Selain itu, yang bertanggung jawab melindungi serta memenuhi hak anak memerlukan peran dari masyarakat dan


(56)

juga pemerintah, bukan hanya dari orang tua dan keluarga terdekat saja.50

2. Syarat - Syarat Hadhanah.

Terkait dengan karakter dan sifat pengasuhan, para ulama menetapkan sifat - sifat atau kondisi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki sipengasuh. Syarat syarat tersebut adalah si pengasuh (suami atau istri) tidak melakukan riddah (seorang muslim), tidak fasik (melakukan ibadah atau menjalankan ajaran agama dengan baik), (istri atau ibu si anak) tidak menikah lagi dengan suami baru kecuali suami barunya tersebut mempunyai sifat penyanyang dan

baik, dan tidak meninggalkan tempat kediaman.51

Sementara menurut syafi’iyah menjelaskan bahwa terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengasuh, yaitu berakal, merdeka, muslim, penyayang, dapat dipercaya, berada ditempat

50

Lihat Undang – Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(57)

kediaman asal, dan tidak menikah lagi dengan suami baru, kecuali si

suami pertama rela.52

Muhammad Thalib menjelaskan bahwa seorang ibu asuh yang menangani dan mengurusi kepentingan anak kecil yang diasuhnya harus memiliki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan ini memerlukan syarat - syarat tertentu, yakni :

a. Berakal sehat : bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya

tidak boleh menangani hadhanah. Mereka tidak dapat mengurusi

dirinya sendiri, sehingga tidak boleh diserahi mengurusi orang

lain. Orang yang tidak punya apa – apa tentulah tidak dapat

memberi apa – apa kepada orang lain.

b. Dewasa : anak kecil, sekalipun telah mummayyiz, ia tetap

membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Karena itu, anak kecil tidak boleh menangani urusan orang lain.

c. Mampu mendidik : tidak boleh menjadi pengasuh, orang yang

buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya, berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya, sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yag tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang


(58)

yang suka marah kepada anak – anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri.

d. Islam : anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang

bukan muslim. Sebab, hadhanah merupakan masalaha

perwalian. Sedangkan Allah SWT tidak memperbolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Disamping itu, ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akandibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya. Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan pengaruhnya, hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut

e. si ibu belum kawin : jika si ibu telah kawin lagi dengan laki –

laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Akan tetapi, jika kawin

dengan laki – laki yang masih dekat kekerabatanya dengan si

anak kecil tersebut, misalnya paman dari anaknya maka hak hadhanah tidak hilang, sebab si paman masih berhak dalam

masalah hadhanah. Selain itu, karena hubungan kekerabatannya

dengan anak kecil tersebut, sehingga akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya. Akibatnya, akan terjadilah kerja sama yang sempurna di dalam menjaga si anak


(59)

kecil itu, antara si ibu dengan suami yang baru (paman si anak) ini.53

Sedangkan dalam Kitab Kifayatul Ahyar Jilid II, syarat – syarat

seseorang yang dapat diberikan hadhanah atau hak asuh anak, yakni :

a. Berakal sehat,

b. Merdeka,

c. Beragama islam,

d. Memelihara kehormatannya,

e. Dapat dipercaya,

f. Tinggal menetap,

g. Dan tidak bersuami baru.54

3. Pihak – Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah

Dalam proses perceraian antara suami dan istri, orang yang

paling mempunyai hak asuh atau hadhanah terhadap anak yang masih

dibawah umur adalah ibunya. Namun, ada pula pihak – pihak lain

yang juga mempunyai hak asuh atau hadhanah terhadap anak tersebut,

tetaoi lebih diutamakan dari pihak ibu. Adapun urutan orang – orang

53 Muhammad Syaifuddin et al., Op.cit., hlm : 379 54


(60)

yang berhak menerima hak asuh atau hadhanah anak tersebut menurut para ahli fiqih, adalah :

a. Ibu,

b. Nenek dari pihak ibu dan terus keatas,

c. Nenek dari pihak ayah,

d. Saudara kandung anak tersebut,

e. Saudara perempuan seibu,

f. Saudara perempuan seayah,

g. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung,

h. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah,

i. Saudara perempuan ibu yang sekandung,

j. Saudara perempuan yang seibu dengannya (bibi),

k. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi),

l. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah,

m. Anak perempuan dari saudara laki – laki sekarang,

n. Anak perempuan dari saudara laki – laki seibu,

o. Anak perempuan dari laki – laki seayah,

p. Bibi yang sekandung dengan ayah,

q. Bibi yang seibu dengan ayah,

r. Bibi yang seayah dengan ayah,

s. Bibi dari pihak ibu,


(61)

u. Bibi ibu dari pihak ayahnya,

v. Bibi ayah dari pihak ayah.55

Apabila anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram atas, atau ada tetapi tidak bisa mengasuhnya, maka pengasuhan

akan beralih kepada kerabat laki – laki yang masih mahramnya atau

masih ada hubungan darah (nasab) yang sesuai dengan urutan masing –

masing dalam persoalan waris, sebagai berikut :

a. Ayah kandung anak,

b. Kakek dari pihak ayah dan terus keatas,

c. Saudara laki – laki sekandung,

d. Saudara laki – laki seayah,

e. Anak laki – laki dari saudara laki – laki sekandung,

f. Anak laki – laki dari saudara laki – laki seayah,

g. Paman yang sekandung dengan ayah,

h. Paman yang seayah dengan ayah,

i. Pamannya ayah yang sekarang,

j. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.56

55 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., Op.cit., hlm :309 56


(62)

Jika tidak ada seorang kerabat dari mahram laki- laki atau tidak bisa

mengasuh abak, maka hak pengasuh anak itu beralih mahram –

mahramnya yang laki – laki selain kerabat dekat, yaitu :

a. Ayah ibu (kakek),

b. Saudara laki – laki seibu,

c. Anak laki – laki dari saudara laki- laki seibu,

d. Paman yang seibu dengan ayah,

e. Paman yang sekandung dengan ibu,

f. Paman yang seayah dengan ayah,57

57Ibid., hlm : 310


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah tipe penelitian normatif yakni tipe penelitian yang mengkaji tentang asas, norma, kaidah dari peraturan perundang - undangan dan

putusan pengadilan khususnya putusan pengadilan No:

779/Pdt.G/2014/PA.Btl tentang penetapan hak asuh anak dibawah mu kepada bapak sebagai akibat dari perceraian, yang mana seharusnya menurut peraturan perundang- undangan hak asuh terhadap anak

dibawah umur harus dijatuhkan kepada ibu. 58

B. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan Kasus, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang berkaitan dengan materi

penelitian yang telah diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.pendekatan ini mengkaji pertimbangan dari hakim

58 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm : 153


(64)

dalam memutus suatu perkara. Bertujuan untuk mempelajari norma –

norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.59

C. Bahan Penelitian

1. Bahan hukum primer, adalah data yang diperoleh dari peraturan

perundang - undangan, yurisprudensi, dokumen kontrak, perjanjian internasional atau keputusan pengadilan. adapun beberapa bahan

primer dalam penelitian ini,60 yaitu :

a. Sumber Hukum Islam

Al – Quran dan Hadist

b. Peraturan Perundang - undangan :

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang – Undang Nomer 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama

Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

59Ibid, hlm : 187


(65)

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang – Undang Nomor.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Insturksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 906 K/ Sip/ 1973

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 126 K/ Pdt/ 2001

2. Bahan hukum sekunder, adalah data yang diperoleh dari hasil

penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian, adapun beberapa bahan sekunder dalam penelitian ini,61

yaitu :

a. Buku - buku,

b. Jurnal - jurnal ilmiah,

c. Majalah,

61Ibid, hlm : 156


(66)

d. Internet,

e. Surat Kabar,

f. Hasil Wawancara, dll.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedia.

4. Bahan Non Hukum, yaitu bahan yang digunakan sebagai pelengkap

bahan hukum.

D. Teknik Pengumpulan Data

Studi pustaka terhadap bahan - bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier datau bahan non hukum. Penelusuran bahan - bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, mendengar, maupun menggunakan media internet. Cara ini dilakukan dengan tujuan untuk memperdalam teori yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang dihadapi penulis dalam penelitiannya.62

E. Lokasi Pengambilan Bahan

Berisi mengenai tempat/lokasi pengambilan yang dipergunakan

melakukan penelitian.63 Pengambilan bahan akan di Penelitian ini akan

62Ibid, hlm :160


(67)

dilakukan di Pengadilan Agama Bantul, media internet (e-library), dan/atau forum diskusi.

F. Narasumber

Narasumber dalam hal ini memberikan pendapat atas objek yang

diteliti.64 Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah :

Hakim yang memutus perkara Nomor 779/Pdt.G/2014/PA.Btl atau Hakim yang pernah menangani perkara serupa.

G. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, pengolahan bahan penelitian merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadapt bahan penelitian dengan cara melakukan seleksi bahan penelitian, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan penelitian dan menyusun hasil

dari penelitian tersebut secara sistematis dan logis.65

H. Teknik Analisis Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, bahan hukum maupun non hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara preskriptif dengan

64Ibid, hlm : 175


(68)

menggunakan metode deduktif, yaitu data data umum tentang konsepsi

hukum baik berupa asas – asas hukum, ajaran – ajaran dan pendapat para

ahli yang dirangkai secara sistematika sebagai susunan fakta – fakta

hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapannya. Kemudian memberikan penilaian (justifikasi) tentang obyek yang diteliti apakah

benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum.66

66Ibid, hlm : 184


(69)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Berdasarkan penelitian di Pengadilan Agama Bantul dimana hakim

dalam memutuskan perkara hak pengasuhan anak (hadhanah) karena

perceraian diberikan kepada ayah, yang mana dalam hal ini terjadi ketidak sesuaian antara putusan hakim tersebut dengan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi Pengasuhan anak apabila perkawinan putus karena perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah menjadi hak ibunya. Adapun menganai duduk perkara dari perkara perceraian dengan Nomor 0779 /Pdt.G / 2014/ PA.

1. Identitas Para pihak

Dalam perkara perdata perceraian dengan Nomor register

0779/Pdt.G/2014/PA.Btl, identitas para yang berperkara ialah :

a. Penggugat/ Tergugat Rekonvensi

Nama : PENGGUGAT

Umur : 40 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMA


(70)

Tempat Kediaman : Kabupaten Bantul

Dalam analisis putusan penulis mennُunakan inisial “X” untuk saudara penggugat.

b. Tergugat/ Penggugat Rekonvensi

Nama : TERGUGAT

Umur : 45 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjan : Buruh

Tempat Kediaman : Kabupaten Bantul

Dalam analisis putusan penulis mennُunakan inisial “Y” untuk saudara penggugat.

Dalam hal ini nama dan tempat kediaman dari para pihak dirahasiakan dalam putusan dikarenakan perkara ini merupakan perkara perceraian.

2. Anak dari Penggugat dan tergugat

Bahwa selama dalam perkawinan sampai penggugat dan tergugat bercerai telah memiliki 1 orang anak, yaitu :

bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT yang lahir pada 21 Nopember 2007.


(71)

Dalam analisis putusan penulis mennُunakan inisial “Z” untuk saudara penggugat

3. Duduk Perkara

a. Dalam Konvensi

Pada tanggal 07 Maret 2002Penggugat dan Tergugat telah melakukan perkawinan, di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan --, Kabupaten Bantul,dan tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: --, setelah menikah Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah orang tua Tergugat dengan alamat -- selama kurang lebih 11 tahun. Kemudian pada bulan Juli 2014 antara Penggugat dengan Tergugat pisah rumah, Penggugat pulang kerumah orang tua Penggugat sendiri hingga sekarang, dalam perkawinan itu penggugat dan tergugat telah dikaruniai 1 orang anak bernama Z yang lahir pada 21 Nopember 2007. Lalu sejak bulan Maret tahun 2013 ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, setelah antara Penggugat dengan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya antara lain :

1) Tergugat tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga kurang


(72)

2) Tergugat membiarkan dan tidak mempedulikan Penggugat sehingga Penggugat merasa sakit hati;

3) Tergugat sering marah-marah kepada Penggugat dengan alasan

yang sepele dan membesar-besarkannya;

4) Tergugat memulangkan Penggugat kepada orang tua

Penggugat;

Kemudian puncak keretakan rumah tangga terjadi sekitar bulan Juli tahun 2014 antara Penggugat dengan Tergugat, yang akibatnya

antara Penggugatdengan Tergugat pisah rumah, Tergugat

memulangkan Penggugat kerumahorang tua Tergugat sendiri dengan alamat Tergugat sebagaimana tersebutdiatas yang hingga sekarang telah berlangsung selama 1 bulan. Selama itusudah tidak ada lagi hubungan baik antara Penggugat dengan Tergugat;

Maka Berdasarkan alasan / dalil-dalil di atas,

Penggugatmengajukan petitum kepada majelis hakim Pengadilan Agama Bantul sebagai berikut :

PRIMAIR :

1) Mengabulkan gugatan Penggugat;

2) Menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat (TERGUGAT)


(73)

3) Membebankan biaya perkara menurut hukum;

SUBSIDAIR :

Mohon putusan yang seadil-adilnya;

b. Dalam Eksepsi

Terhadap gugatan penggugat, tergugat menolak dan

membantah untuk seluh dalil - dalil penggugat dalam penggugat a quo, kecuali yang tergugat anggap benar. Penolakan tersebut dinyatakan oleh Tergugat dalam bentuk memberikan jawab secara tertulis tertanggal 09 September 2014, Adapun jawaban dari pihak tergugat yakni :

1) Bahwa kurang dalam memberi nafkah wajib keluarga adalah soal

biasa, dan itutergantung bagaimana seorang isteri dalam mengatur keuangan, dan itu jugabagaimana kita mensyukuri rezeki;

2) Bahwa selama isteri tergugat berada di rumah tergugat tetap

peduli, tergugat selalumencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga. Bahkan dalam bekerja tergugat sering lembur dan jika tergugat hendak lembur selalu memberitahu isteri tergugat;


(74)

3) Bahwa tergugat selalu berusaha tidak marah, selalu sabar. Beda prinsip dalam keluarga itu hal biasa, tergugat hanya mengingatkan jika isteri tergugat berbuat salah. Bahkan tergugat sering mengalah, biar masalah tidak berkepanjangan;

4) Bahwa, tergugat pulangkan isteri ke rumah orangtuanya, karena

memang permintaan isteri tergugat sendiri. Dan tergugat serahkan kepada orangtuanya agar didik lebih baik, Isteri tergugat minta dipulangkan karena ada penyebabnya, yaitu isteri mengakui kepada tergugat bahwa isteri tergugat telah selingkuh; Sejak isteri tergugatdipulangkan, hingga sekarang hubungan baik masih tetap berlangsung, yaitu isteri tergugat tetap menengok anak, dan tergugat tetapmemperbolehkan, telepon dan sms juga masih berlangsung;

5) Bahwa, pada hari Senin 7 Juli 2014, tergugat mengajak isteri

tergugat untuk bicara baik-baik danjujur serta tidak emosi. Saat itu isteri tergugat mengakui telah selingkuh denganSaudara PIL

(Pria Idaman Lain) yang bertempat tinggal di --,

danperselingkuhan berlangsung sejak 1 Januari 2014 hingga saat tergugat pulangkan,minggu 20 Juli 2014;selama kurang lebih 6 (Enam) bulan isteri saya selingkuh, telahmelakukan zina berulangkali, disaat tergugat bekerja mencari nafkah, isteri tergugat menemui PIL baik di rumah tergugat maupun di rumah


(75)

orangtua PIL tanpasepengetahuan tergugat, dan anak perempuan tergugat juga sering diajak oleh isteritergugat dan dilarang tidak boleh bilang kepada tergugat;

6) Bahwa, isteri tergugat mengakui lebih mencintai PIL dan tidak

dapat dipisahkandengannya, dan mereka telah sepakat untuk menikah setelah isteri tergugat menjadi janda. Karena itu mereka selingkuh dengan maksud agar tergugat menceraikan isteri tergugat, dan isteri tergugat bisa menikah dengan PIL;

7) Bahwa, jika terjadi perceraian, maka tergugat mengajukan

tuntutan:

a) Hak asuh anak ada pada tergugat dengan alasan, bahwa

tergugat sebagai kepalarumah tangga berhak melindungi anak tergugat, bahwa anak menentukan pilihan ikut bersama tergugat (ayahnya), bahwa isteri tergugat telah selingkuh dananak tahu, ini berarti isteri tergugat tidak bisa suri tauladan, baik bagi anak dan tidak mendidik bagi anak, hak kewalian (wali nasab) adalah tergugat (bapaknya), serta tergugat tidak percaya kepada isteri tergugat, karena tergugat khawatir anak tergugat jadi terganggu pikiran, moral dan mentalnya;

b) Isteri tergugat tidak punya hak apapun di rumah tergugat


(1)

78

dibawah umur 12 tahun pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang yang terdekat dan akrab dengan si anak, hal ini juga dapat dijadikan acuhan hakim dalam memutuskan hadhanah anak dibawah umur kepada ayahnya.

Maka jika dikaitkan dengan perkara perceraian dengan Nomor 0779/ Pdt.G/ 2014/ PA.Btl ini dengan melihat dari fakta – fakta dalam persidangan maka menjadi suatu kewajaran dan kepatutan jika majelis hakim menetapkan hak asuh atau hadhanah tersebut jatuh kepada tergugat atau ayahnya. Mengingat ibu dari anak tersebut bertabiat tidak baik, selain itu hal ini semata – mata juga untuk mengutamakan kepentingan anak.


(2)

79

B. Saran

Setelah melakukan kajian terhadap masalah permasalahan hadhanah atau hak asuh dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul, maka adabeberapa saran yang hendak penulis sampaikan, yakni :

1) Sebenarnya perceraian antara suami dan istri adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan dalam hukum dan agama, namun perbuatan tersebut adalah salah satu perbuatan yang dibenci Allah SWT. Maka, bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan perceraian, harus memikirkan terlebih dulu matang – matang keputusan yang diambil dari sudut pandang agama, karena dalam agama islam hal tersebut adalah hal yang dibenci Allah.

2) Bagi para suami dan istri yang hendak melakukan perceraian terhadap pernikahannya, jika dari pernikahan sebelumnya suami istri tersebut telah memiliki anak, maka dari perceraian tersebut akan berakibat terguncangnya psikis si anak tersebut. Bahkan bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Anak yang masih dibawah umur, sebenarnya masih dalam masa tumbuh dan berkembang, serta membutuhkan suatu keluarga yang utuh dan harmonis untuk merawat dan mendidiknya sesuai bakat dan kemampuannya. Maka, terlebih dahulu harus memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perceraian


(3)

80

tersebut, terutama dampak bagi anak mereka baik dari aspek kejiwaan dan aspek kemanfaatan.

3) Menurut penulis sebaiknya dalam permasalahan hak asuh anak akibat perceraian, majelis hakim harus memutus selain melihat dari tabiatnya, majelis hakim juga harus melihat pihak yang memiliki waktu luang yang lebih dan mempunyai pendapatan yang cukup. Supaya dapat secara lebih mengutamakan kepentingan anak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER HUKUM ISLAM : Al- Quran dan As- Sunnah

BUKU :

Abdul Ghofur Anshori., 2011, Hukum Perkawinan Islam (Presfektif fikih dan Hukum Positif), Yogyakarta, UII Press.

Abdul Manan., 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada media Grup.

Abdul Manandan M. Fauzan., 2001, Pokok - Pokok Hukum Perdata : Wewenang Peradilan Agama, Jakarta, Rajawali Pers.

Al- Hamdani, 2002, Risalah Nikah :Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Pustaka Amani.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta, Prenada media Group.

Anshary. M., 2010, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Asep Saepudin Jahar et al., 2013, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, Jakarta, Prenada media Group.

F.X. Suhardana, 2001, HukumPerdata I, Jakarta ,PTallindo.

Mohd.Idrisramulyo., 2004. HukumPerkawinan Islam : Suatu Analisis Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, PT. Bumi Aksara.


(5)

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Munir Fuady., 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

P.N.H Simanjuntak., 2015, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Prenada media Grup.

Subekti, 2005, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta, PT.Intermasa,

YunaharIlyas., 2012, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam (LPPI).

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN :

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang –Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

Insturksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 906 K/ Sip/ 1973


(6)

INTERNET :

Achmad Asfi Burhanudin, Kewajiban Orang Tua Atas Hak – Hak Anak Pasca Perceraian, 31 Oktober 2016,

http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elfaqih/article/download/648/434 diunduh pada 1 April 2015

SKRIPSI :

Yani Tri Zakiyah, 2005, Latar Belakang Dan Dampak Perceraian (Studi Kasus DiPengadilan Agama Wonosobo), (Skripsi sarjana tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang).