HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

(1)

HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(2)

i

HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN FAKTOR DEMOGRAFI

DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun oleh:

DIMAS RACHMAT BUDI PRASETYO 20120310228

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 27 Juni 2016 Dosen pembimbing Dosen Penguji

dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, Sp.Kj dr. Ida Rochmawati, M.Sc, Sp.KJ NIK : 1970041720001073042 NIK : 196912122006042011

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes NIK: 197110281997173027


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Dimas Rachmat Budi Prasetyo NIM : 20120310228

Program Studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 27 Juni 2016 Yang membuat pernyataan,


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur dan terimakasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada Allah Subahanahuwata’ala atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk merasakan kenikmatan yang tak terhingga sampai saat ini. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis lantunkan kepada nabi besar umat islam, Nabi Muhammad Shallallaahu’alaihi wa sallam atas perjuangan beliau membawa umat islam dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Terimakasih kepada segenap keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, dan dorongan kepada penulis agar menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan baik.

Kepada teman-teman tercinta, terimakasih atas dukungan dan bantuan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu sehingga penulis bisa menyelesaikan amanah dan kewajiban ini. Sangat bersyukur penulis bisa dipertemukan dengan teman. Dukungan dan kata semangat yang dengan tidak bosannya teman-teman latunkan menjadi sebuah penyemangat bagi penulis.

Penulis menyadari masih banyak pihak yang belum penulis sebutkan, yang membentu penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga Allah Subahanahuwata’ala membalas dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamin.

Akhirul kalam,

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 13 April 2015


(6)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitan ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II ... 12

A. Tinjauan Pustaka ... 12

I. Skizofrenia ... 12

II. Kualitas Hidup ... 36

III. Faktor Demografi ... 41

B. Kerangka Konsep ... 47

C. Hipotesis ... 48

BAB III ... 49

A. Desain Penelitian ... 49

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 49

1. Populasi Penelitian ... 49

2. Sampel Penelitian ... 50

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52


(7)

vi

1. Variabel Tergantung... 53

2. Variabel Bebas ... 53

E. Definisi Operasional ... 53

1. Faktor Demografi ... 53

2. Kualitas Hidup ... 54

F. Instrumen Penelitian ... 55

1. Kuesioner data pribadi ... 55

2. Kuesioner kualitas hidup Lehman ... 55

G. Jalannya Penelitian ... 56

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 57

I. Analisis Data ... 58

BAB IV ... 60

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 60

B. Hasil Penelitian ... 60

1. Gambaran Umum Karakteristik Responden ... 70

2. Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia... 62

C. Pembahasan ... 62

BAB V ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68

Daftar Pustaka ... 69

LAMPIRAN ... 75


(8)

vii INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah gangguan mental berat (psikotik) yang mengganggu fungsi hidup seseorang dan menurunkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup adalah istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor, salah satunya adalah faktor demografi. Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan dan tingkat pendidikan. Studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara faktor demografi dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sejumlah 101 pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diwawancarai dengan kuesioner data pribadi dan diukur kualitas hidupnya menggunakan Kuesioner Kualitas Hidup Lehman. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Non-Parametrik Spearman Hasil : Berdasarkan analisa penelitian ini, terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup (p=0,045), terdapat korelasi yang signifikan antara Status Pekerjaan dengan kualitas hidup (p=0,000) danterdapat korelasi yang signifikan antara status pernikahan dengan kualitas hidup (p=0,024). Namun, tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,754) juga tidak terdapat korelasi antara umur dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,727)

Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa tingkat pendidikan subjek, Status Pekerjaan subjek dan status perkawinan subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa jenis kelamin subjek dan umur subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia


(9)

viii ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a severe mental disorders (psychotic) which interfere with the function of a person's life and reduce quality of life. Quality of life is a term that refers to the emotional, social and physical well-being of a person, as well as their ability to function in daily life. Research shows that the level of quality of life is affected by many factors, one of which is the sociodemographic factors. Sociodemographic factors that affect the quality of life of patients, among others: age, gender, occupation, marital status and education level. These studies are necessary to evaluate the relationship between demographic factors and quality of life of patients with schizophrenia.

Methods: This study is observational analytic with cross-sectional design. Some 101 patients with schizophrenia who meet the inclusion and exclusion criteria were interviewed with a questionnaire of personal data and the quality of life was measured using the Lehman Quality of Life Questionnaire. Data were analyzed using correlation test Non-parametric Spearman

Results: Based on the analysis of this study, there is a significant correlation between level of education and quality of life (p = 0.045), there is a significant correlation between Job status and quality of life (p = 0.000) danterdapat significant correlation between marital status and quality of life (p = 0.024). However, there is no correlation between gender and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.754) nor is there a correlation between age and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.727)

Conclusion: There is a significant correlation between demographic factors such as education level of the subject, the subject Job status and marital status subject to the quality of life of patients with schizophrenia, but there is no significant correlation between demographic factors such as gender and age of the subject with the subject of quality of life of patients with schizophrenia


(10)

(11)

INTISARI

Latar belakang: Skizofrenia adalah gangguan mental berat (psikotik) yang mengganggu fungsi hidup seseorang dan menurunkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup adalah istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor, salah satunya adalah faktor demografi. Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan dan tingkat pendidikan. Studi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya hubungan antara faktor demografi dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sejumlah 101 pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diwawancarai dengan kuesioner data pribadi dan diukur kualitas hidupnya menggunakan Kuesioner Kualitas Hidup Lehman. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Non-Parametrik Spearman Hasil : Berdasarkan analisa penelitian ini, terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kualitas hidup (p=0,045), terdapat korelasi yang signifikan antara Status Pekerjaan dengan kualitas hidup (p=0,000) danterdapat korelasi yang signifikan antara status pernikahan dengan kualitas hidup (p=0,024). Namun, tidak terdapat korelasi antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,754) juga tidak terdapat korelasi antara umur dengan kualitas hidup pasien skizofrenia(p=0,727)

Kesimpulan: Terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa tingkat pendidikan subjek, Status Pekerjaan subjek dan status perkawinan subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor demografi berupa jenis kelamin subjek dan umur subjek dengan kualitas hidup pasien skizofrenia


(12)

ABSTRACT

Background: Schizophrenia is a severe mental disorders (psychotic) which interfere with the function of a person's life and reduce quality of life. Quality of life is a term that refers to the emotional, social and physical well-being of a person, as well as their ability to function in daily life. Research shows that the level of quality of life is affected by many factors, one of which is the sociodemographic factors. Sociodemographic factors that affect the quality of life of patients, among others: age, gender, occupation, marital status and education level. These studies are necessary to evaluate the relationship between demographic factors and quality of life of patients with schizophrenia.

Methods: This study is observational analytic with cross-sectional design. Some 101 patients with schizophrenia who meet the inclusion and exclusion criteria were interviewed with a questionnaire of personal data and the quality of life was measured using the Lehman Quality of Life Questionnaire. Data were analyzed using correlation test Non-parametric Spearman

Results: Based on the analysis of this study, there is a significant correlation between level of education and quality of life (p = 0.045), there is a significant correlation between Job status and quality of life (p = 0.000) danterdapat significant correlation between marital status and quality of life (p = 0.024). However, there is no correlation between gender and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.754) nor is there a correlation between age and the quality of life of patients with schizophrenia (p = 0.727)

Conclusion: There is a significant correlation between demographic factors such as education level of the subject, the subject Job status and marital status subject to the quality of life of patients with schizophrenia, but there is no significant correlation between demographic factors such as gender and age of the subject with the subject of quality of life of patients with schizophrenia


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehat adalah suatu kondisi dimana segala sesuatu berjalan normal dan bekerja sesuai fungsinya. World Health Organization (WHO) mengartikan sehat sebagai suatu kondisi dimana keaadan fisik, mental, dan sosial yang baik tanpa adanya suatu penyakit atau kelemahan (Organization, 2003). WHO juga mengemukakan bahwa ada empat komponen utama yang merupakan kesatuan dalam pengertian sehat, yaitu : sehat secara jasmani, sehat secara mental, sehat secara sosial, dan sehat secara spiritual. Kesehatan mental adalah salah satu dasar dari pengertian sehat yang harus dipenuhi. Orang dengan kondisi mental yang terganggu akan mengalami gangguan jiwa. Salah satu manifestasi dari kondisi kesehatan mental yang terganggu adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental berat berbentuk psikotik yang mengganggu fungsi hidup seseorang dengan sangat berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang tinggi (Ingram, 1995). Psikotik sendiri diartikan sebagai gangguan jiwa berat dan kronik (menahun) dicirikan dengan individu kehilangan daya nilai realitas, mempunyai gejala waham dan halusinasi, tidak bisa mengotrol diri karena nalarnya runtuh dan tidak bisa mengarahkan

kemaunnya secara sadar (Neil A Rector, 2005).


(14)

Skizofrenia disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis, genetik, fisik atau kimiawi. Gejalanya meliputi gejala primer gangguan proses berfikir, gangguan emosi, gangguan minat, autisme, dan gejala sekunder berupa waham dan halusinasi (Maramis, 2009). Skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh faktor genetika/satu gen tunggal saja, melainkan oleh interaksi kompleks dari banyak faktor, dengan manifestasi perilaku yang bervariasi. Fenotip yang dihasilkan dari individu merupakan cerminan dari interaksi gen, pembangunan kepribadian, dan lingkungan. Oleh karena itu skizofrenia adalah hasil dari suatu proses yang dinamis dan kompleks yang sulit untuk diprediksi pola etiologinya (Moogeh Bahornoori., 2010)

Gangguan skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dan dapat mengenai siapa saja. Biarpun gejala utama atau gejala yang menonjol terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utama gangguan jiwa mungkin berada di tubuh (somatogenik), di lingkungan social (sosiogenik), di psikis (psikogenik), atau pun di kultural (tekanan budaya) dan spiritual (tekanan keagamaan) (Maramis, 2009). Perkiraan resiko skizofrenia secara umum pada suatu waktu tertentu mencapai 0,5-1% per populasi. Sekitar 45% populasi rumah sakit jiwa adalah pasien skizofrenia, dan sebagian besar pasien skizofrenia akan tinggal di rumah sakit untuk waktu yang lama (Ingram, 1995). Hasil Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang di diseminasi oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), mengungkapkan fakta bahwa pravelensi gangguan jiwa berat penduduk Indonesia adalah sebanyak 1,7 individu per-mil. Provinsi dengan


(15)

gangguan jiwa berat terbanyak adalah di D.I.Yogyakarta. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat, atau dipravelensikan sebanyak 2,7 individu per-mil. (Kementrian Kesehatan, 2013)

Pada beberapa tahun yang lalu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju kemunduran mental, dan bila seseorang dengan skizofrenia kemudian sembuh, maka diagnosisnya harus diragukan (Maramis, 2009). Maramis juga menyatakan, dengan pengobatan modern seperti sekarang bila penderita datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira 1/3 dari mereka akan sembuh total (full remission atau recovery), 1/3 yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka harus diperiksa serta diobati selanjutnya (social recovery), dan 1/3 yang sisanya memiliki prognosis jelek karena tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kemunduran mental permanen. Biasanya 1/3 bagian ini mengisi rumah sakit jiwa sebagai penghuni tetap.

Demografi adalah ilmu yang mempelajar persebaran, territorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu yang biasanya timbul dari natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (penuaan). Faktor demografi dan skizofrenia saling mempengaruhi satu sama lain. Atribut-atribut demografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dsb) mempengaruhi status kesehatan


(16)

dan perilaku kesehatan masyarakat dan bagaimana, pada gilirannya, status kesehatan akan mempengaruhi atribut-atribut demografi (Thomas., 2013).

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai tingkat kesejahteraan individu dan masyarakat yang memiliki berbagai konteks, dan berperan penting dalam pembangunan nasional, tingkat kesehatan, bidang politik dan pembangunan internasional. Kualitas hidup mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Faktor-faktor seperti keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan, dan lain-lain saling terkait satu sama lain dalam menentukan tingkat kualitas hidup seseorang (Marta Makara-Studznlnska., 2011). Penyakit psikologis juga secara signifikan mempengaruhi semua aspek kehidupan dari seseorang. Meskipun pada beberapa pasien, kondisinya stabil dan ditandai dengan dapat dikendalikannya gejala-gejala psikotik, hal ini tidak menjamin kestabilan tingkat kualitas hidup pasien. Mengukur kualitas hidup pasien memberikan banyak informasi tentang pasien sebelum terserang penyakit. Hal ini sangat penting untuk merencanakan strategi terapi, serta mengurangi kemungkinan kekambuhan pasien di kemudian hari (Sima Farid Kian., 2014).

Kualitas hidup telah diakui oleh dunia psikologi bersama dengan pendekatan tradisional dalam mengobati penyakit jiwa. Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup telah menjadi faktor independen dalam hasil akhir dari penyakit-penyakit kronis (Boyer, 2013).

Tujuan dari terapi skizofrenia dahulu adalah berfokus pada mengurangi gejala-gejala psikotik, sehingga meninggalkan para pasien sendiri dengan


(17)

masalah hidup sehari-hari termasuk : fungsi sosial, pengangguran, dan kurangnya kemampuan untuk menghadapi tekanan sehari-hari. Sangat kontras dengan sekarang, tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah meningkatkan kualias hidup pasien. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kondisi kesehatan mental yang menurun, cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah dibandingkan dengan populasi yang sehat secara umum. (Marta Makara-Studznlnska., 2011)

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa menghadapi berbagai macam masalah dan gangguan penyakit. Telah ditemukan banyak firman-firman Allah yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Adanya masalah dan penyakit hendaknya dianggap sebagai ujian yang diberikan Allah, bukan hanya sebagai masalah yang mengganggu dan memberatkan. Orang beriman hendaknya senantiasa bersabar, bertawakal, dan berusaha untuk mengobati

penyakitnya, serta senantiasa berdo‟a agar diberi kesembuhan seperti yang

tertulis pada beberapa firman Allah berikut :

“Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkanku”(Q.S. Asy-Syu’ara, 26:80)

“Mereka yang mengingat (berdizikir) kepada Allah sewaktu berdiri, duduk, berbaring, dan mereka pikirkan hal kejadian di langit dan bumi. Ya Tuhan kami, tidaklah engkau jadikan semua ini sia-sia. Maha suci engkau, maka peliharalah sekiranya kami dari azab neraka”(Q.S. Ali imran, 3:191)


(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Faktor sosiodemgorafi apa sajakah yang berhubungan dengan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor demografi apa sajakah yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mengetahui tingkat kualitas hidup penderita skizofrenia di populasi

2. Mengetahui faktor-faktor demografi tertentu apa saja yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

D. Manfaat Penelitan

Ada dua manfaat yang penulis harapkan dari karya tulis ini, yaitu : 1. Teoritis

a. Untuk mengembangkan teori yang berkaitan dengan faktor demografi yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien skizofrenia

b. Untuk memberikan masukan atau pertimbangan dalam penelitian mengenai skizofrenia selanjutnya.

2. Praktis

a. Manfaat bagi institusi dan peneliti

Penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu pengetahuan mengenai skizofrenia dan dijadikan sebagai bahan masukan untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien skizofrenia


(19)

b. Manfaat bagi pasien

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran persebaran tingkat kualitas hidup pada pasien skizofrenia yang dipengaruhi oleh faktor demografi .

c. Bagi keluarga

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada keluarga mengenai faktor-faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia sehingga keluarga dapat berperan aktif dalam manajemen pasien.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah :

No. Peneliti

Judul Subjek Perbedaan Instrumen Hasil

Tahun Ajeng Wijayant i (2011) Hubungan Onset Usia dengan Kualitas Hidup Penderita Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul, Yogyakarta Penderita skizofrenia yang tinggal bersama keluarganya , kooperatif, dan bersedia menjadi responden di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul Yogyakarta. Variabel dependent dari penelitian ini adalah onset usia The Lehmann Quality of Life Interview Tidak ada hubungan signifikan


(20)

Safitri (2010) Perbedaan Kualitas Hidup antara Pasien Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala Negatif Menonjol 30 pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta selama bulan Mei-Juli 2010 Variabel dependent dari penelitian ini adalah gejala positif dan gejala negatif - PANS S - WHO-Qol bref Signifika n Dian Budi Amalina, DKK (2014) Social and Personal functioning in Schizophrenia : Relationship to Sociodemographi c and Clinical Factors Subjek penelitian ini adalah 1020 pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Pemropsu yang diambil secara acak Variabel dependent berupa faktor sosio demografi k yang meliputi onset penyakit, riwayat rawat inap dan durasi penyakit

- PSP Terlampir di bawah

1. Penelitian dengan judul “Hubungan Onset Usia dengan Kualitas Hidup Penderita Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul,

Yogyakarta” (Ajeng Wijayanti., 2011). Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Persamaan dari penelitian ini adalah kualitas hidup pasien skizofrenia. Perbedaan dari penelitian ini adalah tentang onset usia. populasi penelitian sebanyak 25 orang yang merupakan penderita skizofrenia yang tinggal bersama keluarganya, kooperatif, dan bersedia menjadi


(21)

responden di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul Yogyakarta. Uji statistik menggunakan Spearman Test dan menunjukkan sig = 0,943(P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara onset usia dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di wilayah kerja Puskesmas Kasihan II Bantul, Yogyakarta.

2. Penelitian dengan judul “Perbedaan Kualitas Hidup antara Pasien

Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala Negatif Menonjol” (Safitri., 2010). Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik. Persamaan dari penelitian ini adalah kualitas hidup. Perbedaan dari penelitian ini adalah skizofrenia gejala positif dan gejala negatif. Subjek penelitian adalah 30 pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta selama bulan Mei-Juli 2010 dan teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-probability sampling dengan menggunakan purposive sampling, dimana sampel ditetapkan menurut ciri dan karakteristik tertentu.Sampel dibedakan menjadi gejala positif menonjon dan negatif menonjol dengan PANSS dan dinilai kualitas hidupnya dengan kuesioner WHO-Qol bref. Lalu diperoleh data dan dianalisis menggunakan uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov, Mann-Whittney Test, dan uji Chi Kuadrat melalui SPSS. Hasil penelitian didapatkan perbedaan kualitas hidup yang sangat bermakna antara pasien skizofrenia gejala positif menonjol dan gejala negatif menonjol serta proporsi pasien yang mempunyai kualitas hidup baik secara sangat bermakna lebih banyak


(22)

didapatkan pada kelompok pasien skizofrenia yang mempunyai gelar positif menonjol daripada gejalan negatif menonjol

3. Penelitian dengan judul “Social and Personal functioning in Schizophrenia : Relationship to Sociodemographic and Clinical Factors” (Dian Budianti Amalina, 2014). Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik. Peramaan dari penelitian ini adalah variabel yang menggunakan kriteria demografis antara lain : umur, jenis kelamin, status pernikahan, status pekerjaan dan riwayat pendidikan; serta kriteria sosial antara lain : onset penyakit, frekuensi rawat inap, durasi sakit. Perbedaan dari penelitian ini adalah variabel independent berupa faktor klinis. Subjek penelitian ini adalah 1020 pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Pemropsu yang diambil secara acak . kriteria inklusi dari subjek penelitian ini adalah pasien dengan usia 15-55 tahun, terdiagnosis skizofrenia sesuai kriteria diagnosis skizofrenia ICD X, ditemani care giver/family, serta dalam fase pengobatan yang stabil. Alat ukur yang digunakan adalah Personal and Social Performance Scale(PSP). Untuk menguji hipotesis ini, setiap variabel demografik dibagi menjadi beberapa kriteria tertentu. Umur dibagi menjadi dibawah 40 tahun dan diatas 40 tahun, jenis kelamin dibagi menjadi pria dan wanita, status pernikahan dibagi menjadi menikan dan belum menikah, status pekerjaan dibagi menjadi bekerja dan tidak bekerja, serta riwayat pendidikan dibagi menjadi dibawah sekolah menengah pertama dan diatas sekolah menengah atas.


(23)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara faktor klinis dengan beberapa faktor sosiodemografi berikut : durasi sakit, umur, jenis kelamin, status pekerjaan dan status pernikahan, sedangkan hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdaatnya hubungan antara faktor klinis dengan faktor sosiodemografi adalah pada variabel sosiodemografi berikut : status pernikahan, onset penyakit dan lamanya rawat inap.


(24)

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Skizofrenia

a. Definisi

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) skizofrenia merupakan sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, tak selalu bersifat kronis, dan tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Eugen Bleuler (1857-1939) adalah orang yang pertama kali mencetuskan istilah scizofrenia, yang menggantikan menggantikan demensia prekoks dalam literatur. Skisme sendiri diartikan sebagai perpecahan antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini. Bleuler menyatakan beberapa gejala fundamental yang terkait dengan skizofrenia. Gejala tersebut meliputi gangguan asosiasi, gagguan afektif, autisme, dan ambivalensi yang dirangkum menjadi empat A: asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi (Sadock, et al., 2015).

Menurut Ming. T, Tsuang pada bukunya (Tsuang, et al., 2011)

kata “scizofrenia” dan “scizofrenic” biasanya disalah artikan dalam

percakapan sehari-hari dan di media berita. Sebagian besar dari mereka


(25)

mengartikan skziforenia sebagai orang-orang yang berbeda dari orang normal karena memilki gangguan tingkah laku, karakter, dan sakit secara mental. Sebagai contoh, orang yang tidak bisa mengambil keputusan atau tidak bisa membedakan antara perasaan benci dan cinta

untuk alasan tertentu bisa saja di „lebel‟ sebagai scizofrenic. Di beberapa negara, terutama di masa lalu, scizofrenia di artikan sebagai

„pengaruh‟ roh jahat atau, ironisnya, sebagai indikator dari tingkat

superioritas suatu agama. Orang dengan skizofrenia biasanya dihukum atau dipuja tergantung dari kepercayaan dan kultur suatu tempat.

Miskonsepsi yang paling sering mengenai skizofrenia sekarang adalah orang-orang yang kepribadiannya lebih dari satu/multipel. Tentu saja ini tidak benar, namun ironisnya sampai beberapa dekade yang lalu miskonsepsi ini masih sering digunakan di dunia kedokteran, psikologi, dan sosiologi. Penggunaan kata yang sebetulnya tepat untuk skizofrenia adalah untuk mendiagnosis suatu kndisi mental yang kompleks dan specifik, serta mencakup kriteria-kriteria tertentu. Miskonsepsi ini juga sangat mempengaruhi tindakan-tindakan medis yang akan dijalankan untuk mengobati pasien. Penggunaan kata

“scizofrenia” yang tepat memiliki fungsi yang sangat penting dan

krusial untuk menentukan penyebab penyakit, perjalanan gangguan mental dan pengobatan klinis pasien (Tsuang, et al., 2011).


(26)

b. Epidemiologi 1) Secara Umum

Skizofrenia adalah masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi populasi dunia secara global. Data epidemiologis sejak dua dekade yang lalu menyebutkan perkiraan kejadian skizofrenia adalah 1-2 permil populasi, namun penelitian WHO sekarang menampilkan bahwa angka ini sudah meningkat menjadi 1-3% populasi umum (Tsuang, et al., 2011). Efek kepadatan penduduk sejalan dengan pengamatan pravelensi skizofrenia. Kota dengan lebih dari 1 juta orang penduduk memiliki tingkat kejadian skizofrenia yang lebih tinggi daripada kota dengan penduduk 100.000-500.000. Pengamatan ni meyatakan bahwa stressor sosial di suasana perkotaan mempengaruhi timbulnya skizofrenia pada orang yang berisiko (Sadock, et al., 2015).

2) Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan genetik.

Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik. Angka kejadian pada pria setara dengan wanita, tetapi kedua jenis kelamin tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakitnya. Awitan terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita yaitu sekitar umur 8 sampai 25 tahun pada pria dan umur 25 sampai 35 tahun pada wanita (Sadock, et al., 2015). Faktor genetik juga berperan dalam pravelensi skizofrenia. Beberapa penelitian


(27)

tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia telah banyak dilakukan. Pravelensi angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung adalah 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia adalah 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60%; bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) adalah 61-86% (Maramis, 2009)

3) Infeksi dan musim saat lahir

Penelitian menemukan hipotesis kuat bahwa orang-orang yang mengalami skizofrenia kemungkinan besar dilahirkan pada akhir musim semi dan musim panas. Pada belahan bumi utara, termasuk di Amerika Serikan, orang dengan skizofrenia lebih sering dilahirkan pada bulan Januari sampaiApril. Pada belahan bumi selatan, orang dengan skizofrenia lebih serig dilahirkan pada bulan Juli sampai September. Faktor resiko musim, seperti virus atau menu makanan tiap musim, mungkin berlau dalam hal ini (Sadock, et al., 2015).

Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara tingginya insiden skizofrenia setelah paparan influenza pra-lahir. Beberapa studi menunjukkan bahwa frekuensi skizofrenia meningkat setelah terpapar influenza (Sadock, et al., 2015).


(28)

4) Faktor sosioekonomik dan kultural

Skizofrenia digambarkan terdapat pada semua kebudayaan dan status kelompok sosioekonomi. Di negara maju, jumlah pasien skizofrenik yang tidak semibang berada pada kelompok sosio ekonomik lemah.

a) Ekonomi

Skizofrenia muncul di fase awal kehiduan dan masa produktif seseorang, maka penyakit ini mengakibatkan gangguan yang signifikan dan berkepanjangan (Sadock, et al., 2015). Pasien skizofrenia membutuhkan biaya yang tinggi untuk proses pengobatan di rumah sakit, rehabilitasi, dan layanan dukungan. Estimasi total biaya pasien skizofrenia jika dikombinasikan bahkan mencapai angka setinggi pengobatan penyakit cancer. Beberapa penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan bahawa 15-45% penderita skizofrenia adalah gelandangan.

b) Kultur

Penduduk Indonesia masih banyak yang tidak tahu bahwa skizofrenia adalah gangguan medis. Banyak orang yang mengira bahwa gejala pada skizofrenia terjada karena hal-hal gaib. Yang umum ditemui, penderita skizofrenia atau keluarga penderita mengira mendapatkan guna-guna dari luar sehingga penderita biasanya dibawa ke orang pintar atau penyembuh


(29)

alternatif. Mereka menganggap gejala-gejala seperti halusinasi, ilusi, waham, dan proses pikir yang terganggu bukanlah gangguan medis.. Banyak dari masyarakat, terutama di pedesaan masih belum mengerti bahwa penyebab dari gejala-gejala psikotik tersebut muncul akibat ketidakseimbangan neurotransmiter berupa dopamin di otak.

c) Rawat Inap

Perkembangan obat anti psikotik yang efektif dan perubahan pendekatan dalam teknik pengobatan serta pengklasifikasian orang dengan gangguan mental yang lebih baik selama beberapa dekade telah merubah pola rawat inap pasien skizofrenia (Sadock, et al., 2015). Walaupun perkembangan pengobatan antipsikotik telah sangat signifikan, tetapi angka kemungkinan kekambuhan pasien skizofrenia setelah 2 tahun rawat inap pertama selesai masih sangat tinggi, angka ini mencapai 40-60% . Kekambuhan meningkatkan beban pengasuh dan menambah beban ekonomi yang signifikan pada keluarga dan lingkungan sosial pasien skizofrenia (Boyer, 2013).


(30)

c. Etiologi

Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun katagori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang serupa (Sadock, et al., 2015)

Menurut Kaplan & Sadock (2015) faktor-faktor yang menyebabkan skizofrenia, antara lain :

1) Faktor Genetik

Dapat dipastikan bahwa terdapat kontribusi genetik pada beberapa, atau seluruh bentuk skizofrenia. Sebagai contoh, pada individu yang memiliki saudara dengan kelainan skizofrenia akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terpapar skizofrenia juga daripada individu yang tidak memiliki saudara dengan skizofrenia. Kemungkinan tersebut berhubungan dengan tingkat kedekatan individu dan saudaranya yang menderita skizofrenia. Pada kasus kembar monozigotik yang memiliki gen identik, terdapat kemungkinan 50% untuk menderita skizofrenia jika saudaranya menderita skizofrenia.. Tingkat ini 4 sampai 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan yang ditemukan di saudara tingkat pertama lainnya (saudara, orang tua, atau keturunan

“tiri”). Peran faktor genetik ini lebih jauh merefleksikan penurunan

angka kejadian skizofrenia pada saudara tingkat kedua dan tingkat ketiga. Pada studi terhadap kembar monzigotik yang diadopsi,


(31)

kembar yang dibesarkan orangtua asuh tampak mengalami skizofrenia dalam jumlah yang sama dengan kembarnya yang dibesarkan oleh orangtua biologisnya. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh genetik berpengaruh besar dalam kemungkinan terjadinya skizofrenia, namun faktor lingkungan juga harus terlibat dalam menentukan terjadinya skizofrenia.

Beberapa penemuan juga menunjukkan usia ayah memiliki hubungan dalam kemungkinan terjadinya skizofrenia. Pada penelitian pasien skizofrenia tanpa riwayat sakit baik dalam garis keturunan ayah ataupun ibu, ditemukan fakta bahwa mereka yang lahir dari ayah dengan usia lebih tua dari 60 tahun memiliki kemungkinan menderita skizofrenia juga. Mungkin, spermatogenesis yang buruk ditemukan pada pria yang lebih tua daripada pria yang lebih muda.

2) Faktor Biokimia a) Hipotesis Dopamin

Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2

(D

2

).

Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang


(32)

terkenal adalah afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat keparahan gejala yang timbul pada pasien. Penurunan asam homovalinat berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien (Sadock, et al., 2015).

b) Norepinefrin.

Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat anitpsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik beberap aobat antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik alfa-2. Meski hubungan antara aktivitas dopaminergik dan doradrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data yang


(33)

menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sitem dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering (Sadock, et al., 2015).

c) Glutamat.

Gluamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine, antagonis glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa dengan skizofrenia. Hipotesis tentang glutamat termasuk hoperkatifitas, hipoaktifitas, dan glutamate0induced neurotoxicity (Sadock, et al., 2015).

d) Asetilkolin dan Nikotin.

Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal, hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor ini berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan dalam kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami gangguan pada pasien skizofrenia (Sadock, et al., 2015).

d. Neuropathology

Pada abad ke-19, ahli neuropatologi tidak mampu menemukan dasar neuropatalogi skizofrenia sehingga mereka mengklasifikasikan skizofrenia sebagai gangguan fungsional. Namun, pada akhir abad


(34)

ke-20 , para peneliti membuat suatu langkah signifikan dalam mengungkap dasar neuropatologi potensial skizofrenia, terutama di sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk abnormaitas neuropatologi atau neurokimiawi di korteks serebri, talamus, dan batang otak. Berkurangnya volume otak yang dilaporkan secara luas terda;at pada otak skizofrenik tampaknya, merupakan akibat berkurangnya kepadantan akson, dendrit, dan sinaps yang memfasilitasi fungsi asosiatif otak. Densitas sinaptik paling tinggi pada usia 1 tahun, kemudian menurun hingga mencapai nilai dewasa pada awal masa remaja. Suatu teori, yang sebagian didasarkan pada pengamatan bahwa pasien sering menunjukkan gejala skizofreniak selama masa remaja, menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat pemangkasan sinaps yang berlebihan selama fase perkembangan ini (Sadock, et al., 2015).

1) Ventrikel Cerebri

Computed tomography (CT scan) dari pasien skizofrenia telah menunjukkan adanya pembesaran yang konsisten pada baigan lateral dan beberapa pengurangan volume kortikal. Penurunan volume zona abu-abu (cortical gray matter) terdapat pada fase awal skizofrenia. Beberapa investigasi telah dilakukan untuk menentukan apakah abnormalitas yang di deteksi CT scan tersebut bersifat progresif atau statis.beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa lesi yang ditemukan pada CT scan muncul pada fase awal penyakit dan tidak berkembang menjadi lebih


(35)

buruk. Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa lesi tersebut berlanjut menjadi lebih buruk selama pasien menderita skizofrenia. Dengan demikian, apakah proses patologis yang aktif terus berkembang pada pasien skizofrenia masih belum pasti (Sadock, et al., 2015).

2) Sistem Limbik

Berkat perannya dalam pengendalian emosi, sistem limbik dihipotesiskan terlibat dalam dasar neuropatologi skizofrenia. Bahkan, area otak ini terbukti menjadi subyek studi neruropatologi paling subur untuk skizofrenia. Banyak studi sampel otak skizofrenik postmoterm yang terkontrol baik menunjukkan adanya pengurangan ukuran regio yang meliputi amigdala, hipokampus, dan giru parahipokampus. Temuan neuro patologi ini sejalan dengan pengamatan yang diambil dari studi pencitraan resonansi magnetic (MRI) pasie skizofrenia. Dilaporkan pula adanya disorganisasi neuron di dalam hipokampus pasien skizofrenia (Sadock, et al., 2015).

3) Cortex Prefrontal

Terdapat penelitian postmoterm yang mendukung ke tidak normalan di cortex prefrontal pada pasien skizofrenia. Telah ditemukan juga defisit fungsional pada wilayah prefrontal dari pencitraan otak dengan menggunakan MRI.Telah ditemukan juga


(36)

bahwa beberapa gejala skizofrenia memang sama dengan pasien dengan lobotomies atau sindrom frontal lobe.

4) Ganglia basalis

Ganglia basalis telah menjadi pusat perhatia teoritis skizofrenia setidaknya untuk dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenia menunjukkan gerakan aneh, bahkan saat tidak ada gangguan pergerakan terinduksi obat (contohnya, diskinesia tarda). Gerakan aneh tersebut dapat mencakup cara berjalan yang ganjil, seringai wajah, dan stereotipi. Karena ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan, penyakit pada ganglia basalis disangkutpautkan dalam patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis yang mungkin memiliki psikosis sebagai gejala terkait, gangguan pergerakan yang melibatkan ganglia basalis (sebagai contoh, penyakit huntington) adalah salah satu yang paling sering dikaitkan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Studi neuropatologi tentang ganglia basalis menghasilkan laporan yang beragam dan inkonklusif mengenai hilangnya sel atau reduksi volume globuls palidus dan substansia nigra. Sebaliknya, banyak studi yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 2 di nukleus kaudatus, putamen, dan nukleus akumbens. Namun, pertanyaan yang tetap belum terjawab adalah apakah peningkatan tersebut terjadi sekunder setelah pasien menerima pengobatan antipsikotik. Sejumlah peneliti telah mulai


(37)

mempelajari sistem serotonergik di ganglia basalis; suatu peran serotonin dalam gangguan psikotik diusulkan berdasarkan kegunaan klinis obat antipsikotik dengan aktivitas serotonergic (contohnya, klocapin dan risperidon).

e. Metabolisme Otak

Beberapa penelitian menggunakan magnetic resonance spectroscopy, teknik untuk mengukur konsentrasi dari molekul-molekuk spesifik pada otak, menemukan bahwa pasien dengan skizofrenia memiliki kadar phosphomonoester yang rendah dan inorganic phosphate, namun ditemukan pula tingginya kadar phosphodiester daripada orang normal. Selain itu, pada pasien skizofrenia juga ditemukan konsentrasi N-asetil aspartate (merupakan penanda neuron) yang juga lebih rendah pada hippocampus dan frontal lobus

f. Gejala-Gejala Skizofrenia

Bleuler membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok : 1) Gejala-gejala primer:

a) Gangguan proses pikir b) Gangguan emosi c) Gangguan kemauan d) Autisme

2) Gejala-gejala Sekunder: a) Waham


(38)

b) Halusinasi

c) Gejala Katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.

Tsuang membagi dua gejala skizofrenia secara garis besar : gejala positif dan gelaja negative (Tsuang, et al., 2011).

Gejala negatif muncul dan mendominasi pada fase

„prodromal‟ dan „residual‟ dari skizofrenia. (Tsuang, et al., 2011). Gejala positif diartikan secara umum sebagai tingkah laku yang tidak ditemui di orang normal, sedangkan gejala negatif adalah gejala-gejala yang berhubungan dengan tingkah laku pasif pasien namun cenderung tidak terlihat dan diabaikan oleh orang-orang sekitar. Gejala positif muncul dan mendominasi tingkah laku paseien pada fase “aktif” skizofrenia. Fase aktif dari pasien biasanya berujung kepada rawat inap di rumah sakit atau dirujuk ke ahli karena mengganggu orang-orang di sekitar mereka. Sebagai contoh, pada pasien yang mengalami gejala delusi, dia berkata pada orang-orang di sekitarnya bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh makhluk aneh dan meminta mereka menghentikan makhuk aneh tersebut dan menolongnya.

d) Gejala Negatif

Gejala Negatif Skizofrenia mencakup afek mendatar atau menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan


(39)

penarikan diri secara sosial (Neil A Rector, 2005). Gejala negatif dari pasien skizofrenia cenderung berkaitan dengan gangguan ekspresi emosi dan kurangnya kapasitas pasien untuk merespon lingkungan di sekitar pasien yang sebagian besar bersifat dinamis. (Moogeh Bahoroori., 2010)

e) Gejala Positif

Gejala-gejala ini meliputi delusi/waham, halusinasi, dan ilusi. Berdasarkan dari letak gangguan, gejala-gejala positf ini bisa diklasifikasikan sebagai :

(1) Gangguan persepsi : Mengganggu persepsi, atau kemampuan untuk menyadari stimulus yang datang melalui indera.

(2) Gangguan kognitif : Mempengaruhi pemrosesan informasi (3) Gangguan emosi atau motorik : Karena gejala-gejala ini

sangat mudah untuk dikenali, bahkan oleh orang awam, gejala-gejala positif ini memiliki peran penting dalam membangun gambaran umum pasien skizofrenia.

Halusinasi auditorik adalah kelainan persepsi yang paling umum terjadi pada kasus skizofrenia (Tsuang, et al., 2011). Sering sekali, halusinasi auditori ini datang dalam bentuk suara-suara yang terkadang memberikan komentar dan menyisipkan persepsi tersendiri pada pasien skizofrenia. Bahkan terkadang muncul dalam bentuk


(40)

percakapan sehingga membuat pasien skizofrenia berkomunikasi secara konstan dengan halusinasi tersebut. Beberapa bentuk halusinasi lain diantaranya : Halusinasi visual, halusinasi penciuman (misanya mencium wewangian), ataupun halusinasi somatik yang merupakan persepsi pasien terhada organ tubuhnya.

Membedakan antara halusinasi dan ilusi adalah hal yang sangat mendasar dalam memeriksa gejala-gejala skizofrenia. Halusinasi merupakan persepsi atau pengalaman yang timbul tanpa adanya suatu stimulus nyata, sedangkan ilusi diartikan sebagai persepsi yang muncul sebagai respon dari stimulus-stimulus tertentu(sebagai contoh, pasien skizofrenia menganggap takut dengan tali karena menganggap talisebagai ular).

Delusi/waham merupakan kepercayaan yang salah atau keyakinan palsu yang dianut pasien secara sadar tanpa adanya stimulus dari luar. (Maramis, 2009) Mayer-gross membagi waham dalam 2 kelompok, yaitu

(4) Waham Primer : merupakan waham yang timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar. Sebagai contoh : seorang istri sedang berbuat serong akibat melihat cicak berjalann dan berhenti dua kali, atau


(41)

kiamat” akibat melihat sekore anjing mengangkat kaki

terhadap sebatang pohon untuk kencing

(5) Waham Sekunder : biasanya logis, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain.

Waham dinamakan menurut isinya : waham kebesaran atau expansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham dosa, dan sebagainya

g. Pedoman Diagnostik Skizofrenia

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Skizofrenia

1) Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).

2) Disfungsi sosial/okupasional: Selama suatu porsi waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawtan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional yang diaharapkan). 3) Durasi: Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6

bulan. Periode 6 bullan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi


(42)

Kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang tedaftar dalam Kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (contoh,: keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak lazim).

4) Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif : gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik kareina (1) tidak adanya episode depresif, manik atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif; maupun (2) jika episode mooed terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding periode aktif dan residual.

5) Eksklusi kondisi medis/zat umum : gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth., obat yang disalahgunakan, obat medis) atau kondesi medis umum

6) Hubungan antara gangguan perkembangan pervasif: jika terdapat riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan(atau kurang bila telah diobati)


(43)

h. Jenis-jenis Skizofrenia

Maramis membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya (Maramis, 2009)

1) Skizofrenia Simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis skizofrenia ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi

pengemis, pelacur, atau “penjahat” (Maramis, 2009) 2) Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid adalah tipe skizofrenia dimana pasien skizofrenia merasa dikejar-kejar orang dan akan dibunuh. Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata ada juga gangguan proses berfikir, gangguan afek, emosi, dan kemauan. Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin subakut, tetapi


(44)

mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid.

3) Skizofrenia Hebefrenik

Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah : gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik.

4) Skizofrenia Katatonik

Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Gejala yang penting dari skizofrenia tipe ini berupa gejala-gejala psikomotor seperti mutisme, muka tanpa mimik seperti topeng, Stupor(suatu kondisi dimana penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan), makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan meleleh keluar, ari seni dan feses ditahan

5) Skizofrenia Residual

Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang ke arah gejala-gejala negatif yang lebih menonjol.


(45)

Gejala negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpulan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan dalam pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya rawat diri.

i. Manajemen Skizofrenia

Maramis (2009) menyatakan bahwa pengobatan pada pasien skizofrenia haris dilakukan secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

1) Farmakoterapi

Pengobatan antipsikotik, yang diperkenalkan awal 1950-an, telah merevolusi penanganan skizofrenia. Kurang lebih dua sampai empat kali lipat pasien mengalami relaps bila diobati dengan plasebo dibandingkan mereka yang diobati dengan obat antipsikotik. Namun obat-obat ini hanya menyembuhkan gejala, bukan menyembuhkan skizofrenia (Sadock, et al., 2015). Obat-obat tersebut, antara lain :

a) Antagonis Reseptor Dopamin.

Obat ini terutama digunakan untuk gejala-gejala positif skizofrenia. Obat ini memiliki persentase kecil untuk mengembalikan fungsi mental pasien skizofrenia.obat ini juga memiliki efek samping mengganggu dan serius. Efek samping


(46)

yang paling sering mengganggu adalah akatisia dan gejala lir-parkinsonian berupa rigiditas dan tremor.

b) Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA).

Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA) menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang minimal atau tidak ada, berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda dibanding antipsikoti standar, dan mempengaruhi baik reseptor glutamat maupun serotonin. Obat ini juga disebut obat antipsikotik atipikal yang tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan halpoperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif skizofrenia.

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk 2 tujuan yaitu: mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respons pasien pada pengobatan sebelumnya. Beberapa kondisi khusus dalam pemberian farmakoterapi, misal pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol karena obat ini mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping ekstrapiramidal lebih baik diberi


(47)

antipsikotikatipik, demikian pula pada pasien yang menunjukkan gejala kongnitif atau gejala negatif yang menonjol. Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping.yang merugikan pada pasien.

2) Psikoterapi dan Rehabilitasi

Studi mengenai efek psikoterapi individual dalam penangan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi ini bermanfaat dan bersifat tambahan terhadap efek terapi farmakologis (Sadock, et al., 2015). Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang diharapkan bahkan ada yang berpendapat tidak boleh dilakukan pada penderita skizofrenia karena justru menambah isolasi dan autisme. Yang dapat membantu penderita adalah psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke masyarakat (Maramis, 2009).

Teknik terapi perilaku kongitif belakangan dicoba pada penderita skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan. Terapi kerja sangat baik untuk mendorong penderita bergaul dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter dengan tujuan agar pasien tidak lagi mengasingkan diri. Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila mungkin, diatur sedemikian rupa sehingga ia tidak


(48)

mengalami stres terlalu banyak. Lingkungan sekitar yang tidak stabil serta hostilitas dan ikut campur emosional yang dialami pasien dari orang-orang yang dekat dengannya akan membawa resiko tinggi untuk kambuh. Untuk itu terapi keluarga dapat bermanfaat

2. Kualitas Hidup a. Definisi

Kualitas hidup merupakan konsep yang kompleks dan multidimensional. Mendefinisikan kualitas hidup cukup sulit karena bersifat subjektif untuk setiap individu. Kualitas hidup mendeskripsikan istilah yang merujuk pada emosional, sosial, dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari hari (Bagheri, 2005). Tidak ada konsep tunggal dan universal mengenai definisi dari kualitas hidup. Walaupun demikian, definisi kualitas hidup menurut WHO berfokus pada evaluasi subjektif seseorang yang berbeda antara tiap individu. Kualitas hidup merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial dan hubungan mereka kepada karakterstik lingkungan mereka. (Cardoso, et al., 2005)

Kualitas hidup telah menjadi salah satu faktor independen yang berasosiasi dalam hasil terapi pada penyakit-penyakit mental. (Boyer, 2013). Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seperti


(49)

keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan, dan lain-lain. Kecukupan secara finansial tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup sesorang, salah satunya adalah tingkat kesehatan mental seseorang. Penyakit psikologis secara signifikan mempengaruhi semua aspek kehidupan dari seseorang, dan juga berarti mempengaruhi kualitas hidup sesorang. (Sima Farid Kian., 2014)

b. Cara pengukuran kualitas hidup

Instrumen-instrumen penilaian telah diciptakan untuk menilai kualitas hidup dan masing-masing memiliki domain-domain yang dinilai dan diantaranya ada yang digunakan untuk menilai kualitas hidup orang pada umumnya, sampai khusus untuk pasien tertentu beberapa contohnya adalah the 36-item Short Form Health Survey(SF-36), The World Health Organization Quality of Life (WHO-QOL), Sickness Impact Profile, Quality of Well-Being Scale, Health Utilites Index Mark 3 dan Euro Qoality of Life(EQ-5D), sedangkan untuk pasien tertentu semisal KDQOL untuk pasien dengan gangguan ginjal dan SQLS (Schizophrenia Quality of Life Scale) untuk pasien skizofrenia. (Fayers & Hays, 2005)


(50)

Tabel 1. Contoh Instrumen Penilaian Kualitas Hidup.

No Alat Ukur Domain yang dinilai Items

1 The World Health Organization Quality of Life (WHO-QOL),

Kesehatan fisik, kondisi psikologis, level ketidakbergantungan,

hubungan sosial, karakteristik lingkungan dan penekanan spiritual

100

2 THe World Health Organization Quality of Life-BREF (WHO-QOL BREF)

Kesehatan fisik, kondisi psikologis, hubungan sosial, lingkungan

26

3 Short Form Health Survey (SF-36)

Fungsi Fisik, Keterbatasan Peran akibat masalah kesehatan,

keterbatasan peran akibat masalah emosional, fungsi sosial,

kesejahteraan emosional, energi atau kelelahan, nyeri, dan persepsi kesehatan secara umum

35

4 Euro Quality of Life(EQOL-5D-30)

Fungsi Fisik, Fungsi Peran, Fungsi Kognitif, Fungsi Emosional, Fungsi Sosial, Gejala, dan Dampak

Finansial

30

5 Lehman Quality of Life Interview (QoLI)

Situasi hidup, hubungan keluarga, hubungan sosial, kegiatan rekreasi, keuangan, keamanan dan hukum, pekerjaan dan sekolah, kesehatan, agama, dan lingkungan

153

6 Lehman Quality of Life Interview (QoLI) – Brief Version

Situasi hidup, hubungan keluarga, hubungan sosial, kegiatan rekreasi, keuangan, keamanan dan hukum, pekerjaan dan sekolah, kesehatan, agama, dan lingkungan

74

(Ferrell & Coyle, 2010; Fayers & Hays, 2005; Cobb, et al., 2012; Sajatovic & Ramirez, 2012)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Cardoso menjelaskan beberapa faktor atau variabel yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia (Cardoso, 2005), yaitu :


(51)

1) Variabel Sosio-Demografi, antara lain jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat penghasilan. 2) Variabel Klinis, antara lain penggunaan poli farmasi psikoaktif, efek samping obat yang dikonsumsi, terlambatnya mendapat pengobatan, dan agitasi selama wawancara.

Penelitian (Souza & Coutinho, 2006) juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita skizofrenia, yaitu : 1) Faktor Demografi

Faktor demografi yang mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia yaitu: jenis kelamin, onset usia, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan, dan tingkat pendidikan

2) Faktor Klinis

Faktor klinis yang mempengaruhi kualitas hidup adalah jenis dan dosis obat yang digunakan. Penderita Skizofrenia yang tinggal disuatu komunitas, dilihat dari gangguan fungsi sosial, biasanya memiliki kualitas hidup yang buruk, dibandingkan dengan orang yang sehat.

d. Kualitas hidup pasien skizofrenia

Penelitian tentang kualitas hidup seseorang dengan gangguan skizofrenia mulai mendapat perhatiaan, saat kepedulian tentang pengaruh penyakit mental kronis dalam masyarakat mulai meningkat. Kualitas hidup telah diakui di dunia psikologi bersama dengan pendekatan tradisional dalam mengobati penyakit mental kronis.


(52)

Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa tingkat kualitas hidup telah menjadi faktor independen dalam hasil akhir dari penyakit-penyakit kronis (Boyer, 2013). Pendekatan dengan mengukur kualitas hidup pasien dapat menjadi faktor penentu dalam menentukan strategi treatment pasien.

Jenis-jenis terapi baru, farmakologis maupun non-farmakologi terapi mulai berfokus pada lapangan baru yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan skizofrenia. Hal ini mulai diakui di seluruh dunia (Moogeh Bahoroori., 2010).

Maramis (2009) menyebutkan, dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat maka ini berarti sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju ke arah kemunduran mental (detoriasi mental). Dan apabila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya harus diragukan. Sekarang dengan pengobatan modern ternyata, bahwa bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama setlah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery) (Maramis, 2009)


(53)

3. Faktor Demografi

Demografi berasal dari kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan graphein yang berarti menggambar atau menulis. Oleh karena itu, demografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk, terutama tentang kelahiran, perkawinan, kematian, dan migrasi.

George w. Brclay (1970) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang memberikan gambaran secara statistik tentang penduduk. Demografi mempelajari perilaku penduduk secara menyeluruh bukan perorangan. Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi tinggi rendahnya statistik data penduduk , yaitu : fertilitas, mortalitas, dan migrasi; yang pada gilirannya menyebabkan perubahan pada jumlah, struktur, dan persebaran penduduk. (Barclay, 1958)

Beberapa faktor demografi yang berpengaruh pada pasien skizofrenia antara lain :

a. Jenis Kelamin

Pravelensi skizofrenia pada pria dan wanita sama. . Namun, kedua jenis kelamin tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakitnya. Awitan terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita yaitu sekitar umur 8 sampai 25 tahun pada pria dan umur 25 sampai 35 tahun pada wanita (Sadock, et al., 2015). Faktor genetik juga berperan


(54)

dalam pravelensi skizofrenia. Beberapa penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia telah banyak dilakukan. Pravelensi angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung adalah 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia adalah 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60%; bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) adalah 61-86% (Maramis, 2009)

b. Usia

Sebagian besar pasien skizofrenia memiliki awitan di usia produktif, sekitar umur 15-55 tahun (Sadock, et al., 2015). Hal ini tentu akan membebankan keluarga dan lingkungan sosial dari pasien skizofrenia menginat tidak hanya biaya pengobatan skizofrenia saja yang tinggi, namun juga pasien tidak bisa bekerja di usia produktifnya akibat skizofrenia. Skizofrenia menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga (Kementrian Kesehatan, 2013). Menurut sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya kesehatan yang besar. Ganggaun skizofrenia yang muncul pada usia produktif dicirikan sebagai skizofrenia awitan-awal (Ingram, 1995). Hampir 90 persen pasien yang mejalani pengobatan skizofrenia berusia antara 15-55 persen (Sadock, et al., 2015). Sampai saat ini, sebagian besar


(55)

penelitian skizofrenia difokuskan terutama pada pasien yang lebih muda. Akan tetapi, pergeseran demografi, yang menciptakan populasi yang jauh lebih besar pada usia senior, telah membantu untuk menumbuhkan minat penelitian pada orang yang lebih dewasa dengan skizofrenia. Diperkirakan bahwa sampai dengan 0,5% dari orang tua berusia lebih dari 65 tahun memiliki skizofrenia. (Wetherel & Jeste, 2011) Jumlah kelahiran yang konstan di beberapa negara-negara berkembang juga memastikan bahwa jumlah penduduk senior akan terus bertambah besar di masa mendatang, statistik ini diperkirakan akan meningkat secara substansial selama 30 tahun ke depan. Berdasarkan penelitian, kedua jenis onset usia dari skizofrenia memiliki faktor resiko yang sama untuk terkena skizofrenia.

c. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses dimana seseorang belajar melalui masyarakat, melalui sekolah, perguruan tinggi, universitas dan lembaga lainnya yang dengan sengaja menyalurkan warisan budaya dan akumulasi pengetahuan serta nilai-nilai dan keterampilan untuk generasi selanjutnya (Union, 2013). Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas seseorang, juga suatu bangsa. Selain sebagai suatu sarana sosial, pendidikan juga merupakan salah satu dasar dari penentu kualitas hidup seseorang. Individu dengan kemampuan yang terbatas/edukasi yang rendah serta kompetensi yang kurang akan tersisih dari kompetisi pekerjaan dan memiliki prospek


(56)

ekonomi yang buruk. Berdasarkan penelitian, individu yang keluar dari sekolah sejak dini akan menghadapi resiko normatif dari masarakat disekitarnya seperti dikucilkan karena kemampuannya yang berkurang, juga menghadapi resiko kemiskinan yang lebih tinggi (Union, 2013). Individu dengan pendidikan yang rendah juga akan berkurang partisipasinya dalam kehidupan sipil dan politik di masyarakat. Sebagian besar pasien skizofrenia mengalami kegagalan dalam mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan atau pernikahan (Judy M. Versola-Russo, 2006). Pencapaian pendidikan yang lebih rendah sangat berhubungan dengan pasien skizofrenia. Hal ini diakibatkan berkurangnya kemampuan memperhatikan materi edukasi pada pasien, juga kesulitan dalam mempelajari hal-hal yang baru, kondisi kelainan neurologis yang mayor, atau onset penyakit yang kurang dari 18 tahun (Tsuang, 2001)

d. Status Pekerjaan

Kondisi pengangguran merusak kesehatan populasi secara umum (Bartley, 1994), dan merupakan suatu kondisi yang wajar dialami oleh penderita gangguan jiwa, terlebih di negara berkembang. Sebagai contoh, di Inggris Raya sekitar 92% dari penderita skizofrenia adalah pengangguran (Birttain, 2015) Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, namun yang paling utama adalah kondisi psikotik pasien skizofrenia yang cenderung susah untuk di kontrol. Pasien-pasien dengan skizofrenia lebih sulit untuk beradaptasi dengan kondisi yang


(57)

penuh tekanan dalam dunia kerja. Kondisi waham ditambah dengan ilusi serta halusinasi yang muncul ketika gejala psikis datang cenderung mengakibatkan impuls spontan yang mengganggu berbagai jenis area pekerjaan (Steven Marwaha, 2004). Penelitian menunjukkan bahwa 70%/mayoritas pasien skizofrenia tidak memiliki pekerjaan (Thornicroft G, 2004), padahal jika kita selidiki lebih lanjut berdasarkan uji epidemiologi WHO 2004 sesungguhnya Indonesia menduduki peringkat pertama dengan DALY rate sekitar 321.870 untuk pravelensi skizofrenia (Organization, 2011). Penelitian Mallett et al tahun 2002 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan timbulnya skizofrenia (Mallet R, 2002). Menurutnya orang yang tidak bekerja mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan orang yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih mudah menjadi stress, hal ini berhubungan dengan tingginya kadar hormon stress (kadar cathecholamine) dan mengakibatkan ketidakberdayaan. Orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang besar dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Kessler RC, 2006)

e. Status Pernikahan

Pernikahan telah menjadi faktor penting yang berkaitan dengan kualitas hidup, onset dari timbulnya depresi, dan keparahan gejala depresi (Grove, et al., 1983). Skizofrenia memiliki kaitan yang erat


(58)

dengan memburuknya fungsi-fungsi sosial individu. Sudah banyak penelitian-penelitian yang mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : „Apakah pasien skizofrenia (terutama pria) yang terkontrol akan menikah secara normal sekali dalam hidupnya ?‟ atau

„Apakah status lajang meningkatkan resiko timbulnya skizofrenia ?‟

dan „Apakah status lajang memberikan faktor resiko memburuknya outcomepada pasien skizofrenia?‟

Status lajang pada pasien skizofrenia banyak dihubungkan dengan gejala-gejala klinis seperti rawat inap (Sanguinetti, et al., 1996), bunuh diri (Harkavy Friedman, et al., 1999), rendahnya kualitas hidup (Cardoso, et al., 2005), depresi dan profil simtom yang tidak stabil (Thara & Srinivasan, 1997), serta kegagalan fungsi sosial (Ganev, 2000).


(59)

B. Kerangka Konsep

Faktor demografi 1. Usia

2. Tempat tinggal 3. Jenis kelamin 4. Status pernikahan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

SKIZOFRENIA

KUALITAS HIDUP PASIEN SKIZOFRENIA

- FAKTOR GENETIKA

- FAKTOR BIOKIMIA

HORMON: 1. DOPAMIN 2. NOREPINEFRIN 3. GLUTAMAT

- FAKTOR

NEUROPATHOLOGY

PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA

1. TERAPI FARMAKOLOGI 2. TERAPI PSIKOSOSIAL


(1)

2 2. Untuk penelitian

selanjutnya pertimbangkan faktor-faktor demografis lain yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien skizofrenia 3. Untuk penelitian

selanjutnya pertimbangkan onset penyakit skizofrenia sebagai salah satu faktor demografi 4. Untuk penelitian

selanjutnya dapat menggunakan instrumen penelitian skizofrenia lainnya

Daftar Pustaka

Ahmad, 2013. © Hidayatullah.com. [Online] Available at:

http://www.hidayatullah.com/berita/n asional/read/2013/08/01/5752/sejuta-

penduduk-indonesia-berisiko-gangguan-jiwa-berat.html [Accessed 6 April 2015].

Ajeng Wijayanti., W.A.P., 2011. Hubungan Antara Onset Usia dengan Kuaitas Hidup Penderita Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul, Yogyakarta. pp.1-14. Aloba, Fatoye, Mapayi & Akinsulore, 2013. A review of Quality of Life studies in Nigerian patients with psychiatric disorders. African Journal of Psychiatry, 16(5), pp.333-37.

Bagheri, H..M.R..&.A.F., 2005. Evaluation of The Effect of Group Counslling on Post Myocardial Infarction Patient : Determined by an Analysis of Quality of Life.

Bartley, M., 1994. Unemployment and ill health : understanding the relationship. Journal of Epidemiology and Community Health, (48), pp.333-3338.

Benjamin J. Sadock., V.A.S., 2004. Skizofrenia. In Benjamin J. Sadock., V.A.S. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Lippincott Willliams & Wilkins Inc. p.147.

Benjamin James Sadock, M.D..V.A.S.M.D..P.R.M.D., 2015.


(2)

3 Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic Disorders. In Benjamin

James Sadock,

M.D..V.A.S.M.D..P.R.M.D. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry Eleventh Edition. New York: Wolters Kluwer. pp.673-776. Birttain, R., 2015. [Online] Available at:

https://richardbrittain.wordpress.com /2015/09/21/the-wandering-writer/

[Accessed 11 June 2016].

Budiarto, D.E., 2002. Pengambilan Sampel. In Biostatistika. 1st ed. Jakarta: EGC. pp.17-18.

Cardoso CS., C.W..B.M., 2005. Factors associated with low quality of life in schizophrenia. Cad Suade Publica, pp.1338-40.

Cardoso, C.S..C.W.T..B.M.&.S.A.L., 2005. Factors Associated with Low Quality of Life in Schizophrenia. Cad. Saude Publica, pp.1338-48. Cardoso, C.S., Caiaffa, W.T., Bandeira, M. & Siqueira, A.L., 2005. Factors associated with low quality of life in schizophrenia. Cad. Saúde Pública, 21(5), pp.1338-48.

Chino, B., Nemoto, T., Fujii, C. & Mizuno, M., 2009. Subjective assessments of the quality of life, well-being and. Psychiatry and Clinical Neurosciences , pp.521–28. Clareci SIlvia Cardoso., W.T.C..M.B..A.L.S..M.N.S.A..J.O.P.

F., 2005. Factor Associated with Low Quality of Life in Schizophrenia. Artigo Article, pp.1-11.

Dye, C., 2008. Health and Urban Living. Science 319, pp.766-69. Eniarti, Perbedaan Skor Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia yang Mendapat Terapi Kerja Berorienasi Token Ekonomi dengan Terapi Aktivitas Kelompok di RSJ DR. Soerojo Magelang. 2008. Yogyakarta L Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM (tesis): Tidak diterbitkan. Fayers, P. & Hays, R., 2005. Assessing Quality of Life in Clinical Trials: Methods and Practice. 2nd ed. New York: Oxford University Press, Inc.

Florian Lederbogen., P.K..L.H., 2011. City Living and Urban Urban Upbringing affect Neural Social Stress Processing in Humans. Macmillan Publishers.

Grove WR., H.M..S.C., 1983. Does marriage have positive effects on the psychological well-being of the Individual ? Health Soc Behaviour, pp.122-31.

Harkavy-Friedman JM., R.K..M.D., 1999. Suicidal behavior in schizophrenia : Characteristic of individuals who had and had not attempted suicide. Am J Psychiatry, pp.1276-78.


(3)

4 Ingram, I.M., 1995. Skizofrenia. In I.M Ingram., G.C.T..R.M.M. Catatan Kuliah Psikiatri. Londol: Churcill Livingstone. p.51.

Judy M. Versola-Russo, P.D., 2006. Cultural and Demographic Factors of Schizophrenia. TheInternational Journal of Psychosocial, 2(10), pp.89-103.

Julie Loebach Wetherel, P.a.D.V.J.M., 2011. Older Adults with Schizophrenia. pp.1-4.

K, G., 2000. Long-term trends of symptoms and disability in schizophrenia : a five-year prospective follow-up study. Soc Psychiatry Epidemiology, pp.389-95. KEMENKES, 2013. RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kessler RC, B.P.D.O.J.R.M.K.W.E., 2006. Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of DSM-IV disorders in the National Comobidity Survey Repication. pp.593-602. King, C.R. & Hinds, P.S., 2011. Quality of Life: From Nursing and Patient Perspectives : Theory, Research, Practice. 3rd ed. Washington, D.C.: Jones & Bartlett Learning, LLC.

Laurent Boyer., e.a., 2013. Quality of Life is Predictive of Relapse in Schizophrenia. p.1.

Lehman, A., 1983. The well-being of chronic mental patients. Arch Gen, IV(40), pp.369-73.

Makara-Studzińska, M., Wołyniak, M. & Partyka, I., 2011. The quality of life in patients with schizophrenia in community mental health service – selected factors. Journal of Pre-Clinical and Pre-Clinical Research, 5, pp.31-34.

Mallet R, L.J.B.D.P.D.Z.J., 2002. Social environment, ethnicity and schizophrenia. A case-control study. Social Psychiatry Epidemiology, pp.329-35.

Maramis, 2009. Skizofrenia. In WIlly F. Maramis., A.A.M. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Pusat Penerbit dan Percetakan Arlangga University Press. pp.259-82.

Maren Nyer,

M..J.K.M.P..I.F.M..E.C.L.P..S.G.P.. E.S.M..S.Z.M., 2010. The relationship of marital status and cinical characteristic in middle-aged and older patients with schizophrenia and depressive symptoms. Annals of Clinical Psychiatry, 3(22), pp.172-79.

Marta Makara-Studznlnska., M.W..e.a., 2011. The Quality of Life in Patient with Schizophrenia in Community Mentah Health Service. Journal of Pre=Clinical and Clinical Research, pp.31-34.


(4)

5 Ming. T. Tsuang., S.V..f..I.J.G., 2011. Schizophrenia. Oxford: Oxford University Press.

Moogeh Bahornoori., e.a., 2010. The 2nd Schizophrenia Inernational Research Society Confrence, 10-14 April 2010, Summaries of Oral Session. In The 2nd Schizophrenia International Research Society Confrence. Florence, Italy, 2010. Moogeh Bahoroori., e.a., 2010. The 2nd Schizophrenia International Research Society Confrence, 10-14 April 2010, Summaries of Oral Session. In The 2nd Schizophrenia International Research Society Confrence. Florence, Italy, 2010. Mubarak, A.R., 2005. Social functioning and quality of life of people with schizophrenia in the northern region of Malaysia. Australian e-Journal for the Advancement of Mental Health , IV(3), pp.200-09.

Neil A Rector, P..A.T.B.M..N.S.M.-P., 2005. The Negative Symptoms of Schizophrenia : A Cognitive Perspective. pp.2-11.

Notoatmodjo, P.D.S., 2012. Metode Penelitian Survei. In Notoatmodjo, P.D.S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. pp.37-41.

Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam, 2003. Konsep dan Penetapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba Medika. Organization, W.H., 2011. Schizophrenia.

Patel, V. et al., 2010. Mental and Neurological : A Global Perspective. 1st ed. Amsterdam: Elsevier, Inc. Rosita, H., 2011. Keefektifan Konseling Eklektik untuk Meningkatkan Kapasitas Fungsi Sosial dan Kualitas Hidup pada Pasien Skizofrenia. JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, 2(1). Ruslan, K., 2014. Kompasiana. [Online] Available at:

http://kesehatan.kompasiana.com/kej iwaan/2014/01/16/fakta-menarik- tentang-prevalensi-gangguan-jiwa- di-indonesia-di-yogyakarta-paling-tinggi-624891.html [Accessed 6 April 2015].

Safitri., M., 2010. Perbedaan Kualitas Hidup antara Pasie Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala Negatif. pp.1-53.

Sajatovic. M & Ramirez, L.F., 2012. Rating Scales in Mental Health 3rd Edition. Maryland : The Johns Hopkins University Press.

Sajatovic, M. & Ramirez, L.F., 2012. Rating Scales in Mental Health. 3rd ed. Maryland: The Johns Hopkins University Press.


(5)

6 Sanguineti VR., S.S..S.S., 1996. Retrospective study of 2.200 involuntary psychiatric admissions and readmissions. AM J Psychiatry, pp.392-96.

Sastroasmoro, S..I.S., 2006. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sima Farid Kian., M.M.B..e.a., 2014. An Approach at Observing effective Demographic Factors in the Quality of Life for Schizophrenia Patient. Tehran, Iran.

Souza, L.A.d. & Coutinho, E.S.F., 2006. The quality of life of people with schizophrenia living in community in Rio de Janiero, Brazil. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, pp.347-56.

Spiridonow, K., Kasperek, B. & Meder, J., 1998. Comparison of subjective quality of life of chronically ill patients with schizophrenia and healthy subjects. Psychiatr Pol , pp.297-306.

Steven Marwaha, S.J., 2004. Schizophrenia and Employment. Soc Psychiatry Psychiatric Epidemiology, (39), pp.337-49.

Thara R., S.T., 1997. Outcome of marriage in schizophrenia. Soc Psychiatry Epidemiology, pp.416-20. Thomas., L.G.P..R.K., 2013. Health Demography : An Envolving Discipline. In Thomas., L.G.P..R.K. The Demography of Health and Healthcare. London: Springer. pp.1-4.

Thornicroft G,

T.M.B.T.K.M.L.M.S.A.V.-B.J., 2004. The Personal Impact of Schizophreina in Europe, 2(69), pp.125-32.

Tomotake, M., 2011. Quality of life and its predictors in people with schizophrenia. The Journal of Medical Investigation, 58(3,4), pp.167-174.

Tsuang, M.T..S.W.S..F., 2001. British Journal of Psychiatry, p.178. Union, E., 2013. Eurostat Statistic. [Online] Available at:

http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/Quality_of_life _indicators_-_education [Accessed 07 May 2015].


(6)