Efek Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Tikus (Rattus novergicus) Jantan Terisolasi Secara In Vitro
EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrizha Roxb.) TERHADAP KONTRAKSI
OTOT POLOS ILEUM TIKUS (Rattus novergicus) JANTAN
TERISOLASI SECARA IN VITRO
OLEH:
ANNA SHOFIYA
NIM 091524049
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
LEMBAR PENGESAHAN
EFEK EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrizha Roxb.)TERHADAP KONTRAKSI OTOT POLOS ILEUM
TIKUS (Rattus novergicus) JANTAN TERISOLASI SECARA IN VITRO
OLEH: ANNA SHOFIYA
NIM 091524049
Medan, September 2011
Disetujui Oleh: Disahkan Oleh:
Dosen Pembimbing I, Dekan Fakultas Farmasi
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002 NIP 195311281983031002
Dosen Pembimbing II,
Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006
(3)
Pengaruh Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Tkus (Rattua novergicus)
Terisolasi secara In vitro
ABSTRAK
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, diantaranya kekayaan flora yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Saat ini, kesadaran masyarakat untuk menggunakan tumbuhan obat dalam mengatasi masalah kesehatan semakin tinggi. Salah satunya penggunaan temulawak sebagai anti diare kerap dilakukan masyrakat Indonesia dalam mengatasi diare.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kontraksi ileum tikus terisolasi yang sebelumnya dikontraksikan dengan pemberian asetilkolin. Dalam penelitian ini digunakan hewan uji tikus dan dibuat sediaan ileum tikus terisolasi dalam media larutan fisiologis tirode pada suhu 37oC. Alat yang digunakan adalah organ bath yang dikaitkan pada tranduser daya dan dihubungkan dengan recorder untuk mengubah hasil rekaman menjadi data digital.Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian asetilkolin meningkatkan kontraksi ileum tikus. Pemberian atropin sebelum pemberian asetilkolin dapat menghambat kontraksi yang ditimbulkan oleh asetilkolin, dan pemberian ekstrak rimpang temulawak sebelum asetilkolin juga menghambat kontraksi ileum yang disebabkan oleh asetilkolin. Adanya persamaan respon antara ekstrak temulawak dengan atropin menunjukkan bahwa ekstrak temulawak bekerja sebagai antagonis melalui reseptor muskarinik.
(4)
The Effect of Ginger Rhizome Extract (Curcuma xanthorrizha Roxb.) Of Smooth Muscle Contraction on Isolated Rats Ileum (Rattus novergicus)
( An in vitro Study)
ABSTRACT
Indonesia has a very abundant natural wealth, large number of flora which are widely used as herbal medicines. Currently, public awareness for the use of medicinal plants in addressing health issues is increasing. One was the use of ginger as an anti-diarrheal by Indonesian people to overcome diarrhea.The purpose of this study was to determine the effect of ginger rhizome extract on the contraction of isolated rat ileum which previously contracted by acetylcholine administration.Isolated rat ileum was used as the sample. It was prepared in the media tirode physicological solution at 37oC. organ bath was used to measured the contractions of the sample. It was linked to the power transducer which connected to the recorder in order to convert records into digital data.The result was shown that administration of acetylcholine enhance rat ileum contractions. Atropine which given before administration of acetylcholine may inhibit the contraction induced by acetylcholine, and the extract of ginger rhizome given before acetylcholine was also inhibited the ileum contractions induced by acetylcholine. The similarity of responses between ginger extract with atropine was shown that ginger extract works as muscarinic receptor antagonist was.
(5)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Hipotesis... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
1.6 Kerangka pikir……….. .. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 5
2.1 Uraian Tumbuhan……… 5
2.1.1 Morfologi Tumbuhan……… ... 5
2.1.2 Sistematika Tumbuhan………... ... 6
2.1.3 Kandungan Kimia………. ... 6
(6)
2.2 Usus Halus………. 7
2.2.1 Histologi Usus halus ... 7
2.2.2 Pergerakan Usus Halus ... 9
2.2.3 Motilitas Usus Halus ... 10
2.3 Otot polos ... 11
2.4 Pleksus Instrinsik ... 12
2.5 Reseptor Kolinergik ... 12
2.6 Reseptor Muskarinik ... 13
2.7 Antagonis Muskarinik... 13
BAB III METODE PENELITIAN ... 15
3.1 Alat-alat ... 15
3.2 Bahan-bahan ... 15
3.3 Hewan Percobaan………. 15
3.4Pengambilan dan Pengolahan sampel ... 16
3.5 Identikasi Tumbuhan ... 16
3.6Skrining Fitokimia……… 17
3.6.1Pemeriksaan Alkaloida ... 17
3.6.2 Pemeriksaan Glikosida ... 17
3.6.3 Pemeriksaan fFavonoida ... 18
3.6.4 Pemeriksaan Tanin ... 18
3.6.5 Pemeriksaan Saponin ... 18
3.6.6 Pemeriksaan Antrakinon ... 19
3.6.7 Pemeriksaan Seroida/Triterpenoida ... 19
(7)
3.7.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 19
3.7.2 Pemeriksaan Mikroskopik... 20
3.7.3 Penetapan Kadar Air Simplisia………. ... 20
3.7.4 Pemeriksaan Kadar Sari Larut dalam Air……….. 20
3.7.5 Pemeriksaan Kadar Sari Larut dalam Etanol………. 21
3.7.6 Penetapan kadar Abu total ... 21
3.7.6 penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam... 21
3.8 Tahapan Persiapan Percobaan………... 22
3.8.1 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak ... 22
3.8.2 Pembuatan Larutan Tirode……….. ... 23
3.8.3 Penyiapan Larutan Acetilkolin……… 24
3.8.4 Penyiapan Larutan Atropine sulfat………. . 25
3.9 Tahapan Pengujian………. 26
3.9.1 Preparasi Organ……… 26
3.9.2 Pengujian Effective concentration (EC80) Asetilkolin... 28
3.9.3 Pengujian Inhibition Concentration (IC80) Ekstrak Temulawak ... 28
3.9.4 Pengujian Inhibition Concentration(IC80) Atropin sulfat ... 29
3.9.5 Tahap Farmakodinamik………. ... 30
3.10 Pengolahan Hasil……… ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Identifikasi Tumbuhan ... 32
(8)
4.3 Hasil Karakterisasi simplisia ... 33
4.4 Hasil Pengujian Efefective Concentration (EC80) Acetilkolin … 34
4.5 Hasil Pengujian Inhibition Concentration (IC80) Ekstrak Temulawak……….. 36
4.6 Hasil Pengujian Inhibition concentration (IC80) Atropin Sulfat…... 38
4.7 Uji Farmakodinamik terhadap Ileum Tikus Terisolasi…………... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1 Kesimpulan ... 43
5.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath
volume 50 ml ... 28 Tabel 2 Pemberian dosis ekstrak temulawak ke dalam organ bath
dengan konsentrasi berturut ……….. 29 Tabel 3 Pengujian Inhibiton concentration (IC80) atropine sulfat …… 30 Tabel 4 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia………. 32 Tabel 5 Hasil karakterisasi simplisia……….. 33 Table 6 Data respon kontraksi ileum tikus terisolasi pada pengujian
(10)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Struktur saluran pencernaan……… 8 Gambar 2 Preparasi ileum terisolasi dari tikus... 27 Gambar 3 Pengikatan organ ileum terisolasi pada batang penahan
jaringan ………. 27
Gambar 4 Pola kenaikan kontraksi pemberian kumulatif asetilkolin pada
ileum tikus terisolasi.…..………. 35 Gambar 5 Kurva-kumulatif pemberian dosis asetilkolin pada ileum tikus
terisolasi……… 35
Gambar 6 Pola penurunan kontraksi ileum tikus terisolasi pada pemberian ekstrak temulawak ……… 37 Gambar 7 Kurva penurunan kontraksi ileum tikus terisolasi pada
pemberian ekstrak temulawak………... 20 Gambar 8 Pola penurunan kontraksi ileum tikus terisolasi pada
pemberian atropin sulfat ……….. 39 Gambar 9 Kurva penurunan kontraksi ileum tikus terisolasi pada
pemberian atropin sulfat………. 40 Gambar10 Pola penurunan kontraksi ileum tikus terisolasi pada
pengujian farmakodinamik……….. 42
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Identifikasi tumbuhan………... 46
Lampiran 2 Karakteristik tumbuhan……… 47
Lampiran 3 Skema kerja pembuatan ekstrak dan pengukuran kontraksi ileum tikus terisolasi……... 51
Lampiran 4 Data orientasi asetilkolin………. ………. 53
Lampiran 5 Data orientasi ekstrak temulawak ……….. . 54
Lampiran 6 Data orientasi atropine sulfat…………... 55
Lampiran 7 Gambar alat organ bath………... ……… . 56
Lampiran 8 Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak...……… 58
(12)
Pengaruh Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Tkus (Rattua novergicus)
Terisolasi secara In vitro
ABSTRAK
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, diantaranya kekayaan flora yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Saat ini, kesadaran masyarakat untuk menggunakan tumbuhan obat dalam mengatasi masalah kesehatan semakin tinggi. Salah satunya penggunaan temulawak sebagai anti diare kerap dilakukan masyrakat Indonesia dalam mengatasi diare.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rimpang temulawak pada kontraksi ileum tikus terisolasi yang sebelumnya dikontraksikan dengan pemberian asetilkolin. Dalam penelitian ini digunakan hewan uji tikus dan dibuat sediaan ileum tikus terisolasi dalam media larutan fisiologis tirode pada suhu 37oC. Alat yang digunakan adalah organ bath yang dikaitkan pada tranduser daya dan dihubungkan dengan recorder untuk mengubah hasil rekaman menjadi data digital.Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian asetilkolin meningkatkan kontraksi ileum tikus. Pemberian atropin sebelum pemberian asetilkolin dapat menghambat kontraksi yang ditimbulkan oleh asetilkolin, dan pemberian ekstrak rimpang temulawak sebelum asetilkolin juga menghambat kontraksi ileum yang disebabkan oleh asetilkolin. Adanya persamaan respon antara ekstrak temulawak dengan atropin menunjukkan bahwa ekstrak temulawak bekerja sebagai antagonis melalui reseptor muskarinik.
(13)
The Effect of Ginger Rhizome Extract (Curcuma xanthorrizha Roxb.) Of Smooth Muscle Contraction on Isolated Rats Ileum (Rattus novergicus)
( An in vitro Study)
ABSTRACT
Indonesia has a very abundant natural wealth, large number of flora which are widely used as herbal medicines. Currently, public awareness for the use of medicinal plants in addressing health issues is increasing. One was the use of ginger as an anti-diarrheal by Indonesian people to overcome diarrhea.The purpose of this study was to determine the effect of ginger rhizome extract on the contraction of isolated rat ileum which previously contracted by acetylcholine administration.Isolated rat ileum was used as the sample. It was prepared in the media tirode physicological solution at 37oC. organ bath was used to measured the contractions of the sample. It was linked to the power transducer which connected to the recorder in order to convert records into digital data.The result was shown that administration of acetylcholine enhance rat ileum contractions. Atropine which given before administration of acetylcholine may inhibit the contraction induced by acetylcholine, and the extract of ginger rhizome given before acetylcholine was also inhibited the ileum contractions induced by acetylcholine. The similarity of responses between ginger extract with atropine was shown that ginger extract works as muscarinic receptor antagonist was.
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, diantaranya adalah hutan tropis yang mempunyai keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Sumber daya flora di wilayah Indonesia diperkirakan sekitar 30-40 ribu spesies, diantaranya dikatagorikan sebagai tumbuhan obat (Wijayakusuma, 2007).
Saat ini, masyarakat semakin luas menggunakan tumbuhan obat dalam mengatasi masalah kesehatannya dari pada menggunakan obat-obatan moderen. Hal ini menandai adanya kesadaran untuk kembali ke alam (back to nature), dengan memanfaatkan produk-produk alami yang diyakini memiliki efek samping yang relatif lebih rendah dibandingkan obat moderen.
Sejak lama masyarakat telah mengenal dan menggunakan obat-obatan alamiah yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral. Mereka meramu dan meraciknya sendiri atas dasar pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun oleh generasi sebelumnya (Dalimartha, 2007).
Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai tanaman obat, diantaranya memiliki efek farmakologis sebagai pelindung terhadap hati (hepatoprotektor), meningkatkan nafsu makan, antiradang, memperlancar pengeluaran empedu (kolagogum), dan mengatasi gangguan pencernaan seperti diare, konstipasi, dan disentri (Wijayakusuma, 2007). Namun mekanisme kerja temulawak dalam mengatasi diare sampai saat ini belum diketahui.
(15)
Telah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai mekanisme kerja infus rimpang kunyit dalam mengobati penyakit diare, yang menunjukkan bahwa infus rimpang kunyit bekerja sebagai spasmolitik dengan cara antagonis nonkompetitif terhadap reseptor kolinergik (Wahyu,1985).
Temulawak dan kunyit merupakan tanaman yang sama-sama tergolong dalam suku zingiberaceae. Kedua tanaman ini memiliki kandungan senyawa kimia yang diketahui mempunyai keaktifan fisologi diantaranya kurkuminoid dan minyak atsiri (Ban,1985).
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pengaruh ekstrak temulawak terhadap kontraksi otot polos ileum tikus yang dilakukan secara in vitro pada tikus jantan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil perumusan masalah antara lain:
1. Apakah ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dapat menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus jantan terisolasi secara in vitro melalui reseptor muskarinik?
2. Apakah ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan 80% kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi dari respon maksimum?
3. Apakah mekanisme kerja ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) sebagai anti kolinergik melalui reseptor muskarinik?
(16)
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dibuat hipotesis analisis sebagai berikut:
1. Diduga ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dapat menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi melalui reseptor muskarinik.
2. Diduga ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan 80% kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi dari respon maksimum.
3. Diduga mekanisme kerja ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) sebagai anti kolinergik melalui reseptor muskarinik.
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dapat menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi secara in vitro melalui reseptor muskarinik yang sebelumnya dikontraksi dengan pemberian asetilkolin klorida.
2. Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) yang dapat menurunkan 80% kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi dari respon maksimum.
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi.
(17)
1.5 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diperoleh bukti ilmiah tentang penurunan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi melalui reseptor muskarinik dengan pemberian ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) secara in vitro.
2. Dapat diketahui konsentrasi ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) yang dapat menurunkan 80% kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi dari respon maksimum.
3. Diperoleh informasi tentang mekanisme kerja ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dalam menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi.
1.6 Kerangka pikir
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Asetilkolin
Karakteristik simplisia
− Makroskopik
− Mikroskopik
− Penetapan Kadar Air
− Penetapan Kadar Sari Larut Air
− Penetapan Kadar Sari larut Etanol
− Penetapan Kadar Abu Total
− Penetapan Kadar Serbuk simplisia
Nilai tegangan kontraksi Kontraksi otot polos
ileum tikus terisolasi Ileum tikus
terisolasi
Ekstrak rimpang temulawak
(18)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Temulawak merupakan tanaman asli Indonesia dan termasuk salah satu jenis temu-temuan yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Temulawak merupakan sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri (seperti kosmetika), maupun dibuat makanan atau minuman segar. Temulawak telah dibudidayakan dan banyak ditanam di pekarangan atau tegalan, juga sering ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan padang alang-alang. Tanaman ini lebih produktif pada tempat terbuka yang terkena sinar matahari dan dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Dalimartha,2007).
2.1.1 Morfologi Tumbuhan
Temulawak merupakan terna tahunan (perennial) yang tumbuh berumpun, berbatang basah yang merupakan batang semu yang terdiri atas gabungan beberapa pangkal daun yang terpadu. Tinggi tumbuhan temulawak sekitar 2 m. daun berbentuk memanjang sampai lanset, panjang daun 50-55 cm dan lebarnya sekitar 15 cm, warna daun hijau tua dengan garis coklat keunguan. Tiap tumbuhan mempunyai 2 helai daun. Tumbuhan temulawak mempunyai ukuran rimpang yang besar dan bercabang-cabang. Rimpang induk berbentuk bulat atau bulat telur dan disampingnya terbentuk 3-4 rimpang cabang yang memanjang. Warna kulit rimpang coklat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna daging rimpang kuning jingga atau jingga kecoklatan. Perbungaan lateral yang keluar dari rimpangnya, dalam rangkaian bentuk bulir dengan tangkai yang ramping. Bunga
(19)
mempunyai daun pelindung yang banyak dan berukuran besar, berbentuk bulat telur sungsang yang warnanya beraneka ragam (Wijayakusuma, 2007).
2.1.2 Sistematika Tumbuhan
Dalam taksonomi tumbuhan Temulawak diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Familia : Zingiberaceae Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorriza Roxb. (Wijayakusuma, 2007).
2.1.3 Kandungan Kimia
Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning ( kurkumin), desmetoksi kurkumin, glukosa, kalium oksalat, protein, serat, pati, minyak atsiri yang terdiri dari d-kamfer, siklo isoren, mirsen, p-toluil metilkarbinol, falandren, borneol, tumerol, xanthorrhizol, sineol, isofuranogermakren, zingiberen, zingeberol, turmeron, artmeron, sabinen, germakron, atlantone (Wijayakusuma,2007).
2.1.4 Khasiat Tumbuhan
Temulawak mempunyai khasiat laktagoga, kolagoga, antiinflamasi, tonikum, dan diuretika. Minyak atsiri temulawak, juga berkhasiat fungistatik pada beberapa jenis jamur dan bakteriostatik pada mikroba Staphylococcus sp. Dan Salmonella sp. (Dalimartha,2007). Temulawak digunakan untuk mengobati hepatitis, radang hati, radang empedu, radang ginjal, batu empedu, kurang nafsu makan, diare, wasir, dan kolesterok tinggi. Ramuan temulawak yang dikonsumsi
(20)
secara teratur bisa menjaga kesehatan organ hati. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan berbagai universitas membuktikan bahwa tumbuhan temulawak juga berkhasiat sebagai antistroke, agen antioksidan, penghambat osteoporosis, efek hipotermik, antiplasmodial, anti plak dan pertahanan gigi ( Sardi,D.Tanpa tahun).
2.2 Usus Halus
Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan. Setelah isi lumen meninggalkan usus halus tidak terjadi pencernaan, walaupun usus besar dapat menyerap sebagian kebil garam dan air. Usus halus adalah suatu saluran dengan panjang sekitar 6,3 m (21 kaki) dengan diameter kecil 2,5 cm (1 inci). Usus ini berada dalam keadaan bergelung di dalam rongga abdomen dan terentang dari lambung sampai usus besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen, yaitu duodenum 20 cm (8 inci) pertama, jejunum 2,5m (8 kaki), dan ileum 3,6 m (12 kaki) (sheerwod,2001).
2.2.1 Histologi usus halus
Secara histologik, usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar, berupa lapisan otot (musculus) dan lapisan lendir (mukosa). Lapisan yang paling dalam (lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat (Desissaguet,2003). Dari yang paling dalam ke yang paling luar lapisan-lapisan itu adalah mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan sereosa (sheerwod, 2001).
Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan panuh dengan villi yang tingginya 0,75-1 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini labih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40-50 m2 (Desissaguet, 2003).
(21)
Lapisan submucosa terdiri atas lapisan jaringan penghubung yang tebal dan mengandung saraf, pembuluh darah, dan kelenjar. Pleksus Meissner terdapat pada bagian ini. Muscularis externa merupakan penyangga kontraksi peristaltik maupun gerakan mencampur usus karena terdiri atas otot polos sirkular dan longitudinal, sedangkan adventitia terdiri atas jaringan penghubung dengan banyak pembuluh darah dan saraf (Nuryandani,2005).
Gambar 1. Struktur saluran pencernaan (Nuryandani,2005).
Fungsi utama usus halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencernaan dan pengeluaran enzim. Sel-sel yang penyusun mukosa penyerap terdiri dari 2 jenis utama yaitu:
1. Sel yang berfungsi sebagai penyerap yaitu enterocyte
Sel-sel tersebut berbentuk silinder, ramping, pilar-pilarnya tersusun seprti lempeng (kekakuannya seperti helai bulu sikat)
2. Sel yang berfungsi sebagai penghasil getah yaitu:
Sel goblet menghasilkan mukus yang melindungi mukosa terhadap getah lambung, terhadap kerja enzim proteolitik. Sel enterochromaffine
(22)
menghasilkan serotonin yang berperan pada motilitas usus (Desissaguet, 2003).
2.2.2 Pergerakan usus halus
Gerakan usus halus ditimbulkan oleh otot yang terdiri dari sejumlah lapisan serabut memanjang (longitudinal) dan melingkar (sirkuler) serta otot sub-mukosa yang sangat kendor hingga memungkinkan terjadinya fenomena peluncuran dan pengkerutan dengan berbagai cara:
1. Gerakan segmentasi
Merupakan serangkaian kontraksi yang tidak disebabkan oleh asam kimus, tetapi karena bercampur dengan getah cerna dan meningkatkan kontak dengan jonjot usus (villi intestinalis) dimana terjadi peningkatan penyerapan dan yang mendorong darah dan getah bening dari pembuluh darah usus menuju hati dan dada (thorax).
2. Gerakan peristaltik
Gerakan peristaltiks terjadi akibat regangan usu karena adanya aksi volume makanan yang meningkat. Gerakan tersebut merupakan gelombang pengkerutan yang tiba-tiba dalam beberapa menit. Kadang-kadang terdapat pula gerakan anti-peristaltik yang terjadi karena sejumlah isi duodenum mengalir kembali kedalam lambung.
3. Gerakan penduler
Gerakan penduler terjadi pada lengkungan usus, menghambur keseluruh dinding usus dan mencampus homogeny semua isi usus.
Keseluruhan gerakan tersebut akan mengatur kecepatan perpindahan. Hal ini akan dipercepat bila terdapat makana dalam usus karena adanya rangsangan
(23)
mekanik peristaltik. Bila perpindahan berlangsung sangat cepat, maka penyerapan kembali zat aktif tertentu yang sukar larut atau yang diserap memalui transport aktif akan sangat berkurang. Bahan akan melewati daerah yang penyerapan nya optimal dan tidak diserap lagi dalam jumlah yang berarti.
Waktu – waktu dalam usus akan agak berbeda tergantung dari jenis makanan dan subjek yang diteliti. Perkiraan kinetik perpindahan (waktu tinggal) usus adalah pada saat di duodenum berlangsung selama 5-15 menit, jejunum selama 2 - 3,5 jam, dan pada saat di ileum berlangsung selama 3 – 6 jam disertai penyumbatan yang cukup lama sebelum memasuki usus besar (Desissaguet,2003).
2.2.3 Motilitas Usus Halus
Motilitas usus halus merupakan perpaduan dari kontraksi, mioelektrik, tonus, dan pengangkutan. Kontraksi dapat berupa tonik maupun fasik ritmik yang mengakibatkan gerakan mencampur dan mendorong. Kedua jenis kontraksi
tersebut memiliki perbedaan dalam fungsi motilitas, neurohumoral, sifat listrik,
dan sensitivitas terhadap Ca2+. Dua jenis tonus pada usus adalah neurogenik dan
miogenik. Tonus neurogenik hasil dari kerja syaraf yang terus-menerus,
sedangkan tonus miogenik ditimbulkan oleh sifat otot sendiri. Motilitas ini
didukung oleh berbagai perangkat kontraksiseperti otot polos penyusun dinding usushalus, pleksus intrinsik, maupun sel Interstitial Cell of Cajal yang memiliki sifatelektrik, sebagai pacemaker dalam gelombangpelan (Nuryandani,2005).
2.3 Otot Polos
Kontraksi usus halus dilaksanakan oleh otot polos visera yang memiliki karakteristik mampu berkontraksi secara spontan tanpa ada rangsangan dari luar (Goenarso, 2003).
(24)
Otot polos memiliki aktin dan myosin dengan perbandingan 16:1 dan tidak membentuk sarkomer. Kontraksi otot polos terjadi saat konsentrasi Ca2+ intrasel naik dan membentuk kompleks Ca2+ -Kalmodulin. Kompleks Ca2+ -kalmodulin mengubah dan mengaktifkan Miosin Light Chain Kinase (MLCK), enzim yang mengkatalis fosforilasi (menambahkan gugus fosfat) pada rantai ringan miosin. Filamen tebal miosin yang teraktivasi lalu menarik filament aktin . Protein miosin dari filamen tebal tersusun vertikal, sehingga sumbu panjangnya tegak lurus dengan sumbu panjang aktin. Dengan struktur ini, kepala myosin dapat membentuk cross bridge sepanjang filamen tipis. Otot polos pada usus halus merupakan unit tunggal dimana sekelompok otot polos saling berhubungan melalui gap junction. Ketika sejumlah kecil otot polos terstimulasi secara elektrik, kontraksi menyebar ke sel-se tetangga melalui gap junction , memungkinkan sel yang berbatasan untuk berkomunikasi dan mengkoordinasi aktivitasnya. Otot polos dapat dirangsang oleh berbagai stimulus antara lain melalui saraf dan hormon (Nuryandani,2005).
2.4 Pleksus Intrinsik
Pleksus intrinsik terdiri atas pleksus Aurbach’s (berada diantara lapisan otot polos sirkular dan longitudinal di muscularis externa) dan Meissner (pada bagian submucosa). Kerja saraf ini dirangsang melalui depolarisasi akibat influx ion Na+. Pleksus ini mempengaruhi otot polos dengan mengeluarkan neurotransmitter melalui varicosity (Nuryandani,2005).
Kontraksi otot usus dan sekresi asam serta enzim berada dibawah kendali otonom. Bagian enterik dari system saraf otonom terdiri dari pleksus berganglion dengan interkoneksi kompleks yang menpersarafi otot polos, mukosa, dan
(25)
pembuluh darah. Ganglion (parasimpatis) menerima serabut eksitasi ekstrinsik dari vagus dan serabut simpatis inhibisi. Transmitor-transmitor lain pada usus termasuk 5-hidroksitriptamin (5HT), adenosine trifosfat (ATP), nitrat oksida, dan neuropeptida Y (Neal,2006).
2.5 Reseptor kolinergik
Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik, reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya (Ganiswara S,2007). Reseptor nikotinik adalah saluran ion bergerbang ligan dan aktivitasnya selalu menyebabkan peningkatan yang cepat (dalam milidetik) dalam permeabilitas selular terhadap Na2+ dan Ca2+, depolarisasi, dan eksitasi. Sebaliknya reseptor muskarinik termasuk golongan reseptor yang dikopelkan dengan protein G. Respon terhadap agonis muskarinik lambat, respon tersebut dapat berupa pengeksitasian atau penghambatan, dan tidak selalu berkaitan dengan perubahan permeabilitas ion (Gilman,2007).
2.6 Reseptor muskarinik
Berdasarkan spesifisitas farmakologis ada lima subtipe reseptor muskarinik (M1 sampai M2). Reseptor M1 ditemukan diganglia dan di beberapa kelenjar sekresi, reseptor M2 banyak terdapat di miokardium dan tampaknya juga ditemukan di otot polos, reseptor M3 dan M4 terletak diotot polos dan kelenjar sekresi.
Fungsi dasar reseptor muskarinik diperantarai oleh interaksi dengan anggota kelompok protein G, sehingga perubahan fungsi molekul efektor terikat-membran yang berbeda diinduksi oleh protein G. Subtipe M1, M3 dan M5 mengaktivasi protein G yang bertanggung jawab untuk stimulasi aktivitas
(26)
fosfolipase C, akibat langsungnya adalah hidrolisis fosfatidilinisitol polifospat (yang merupakan komponen membrane plasma) untuk membentuk inositol ppolifosfat. Beberapa isomer inofosfat (terutama inositol-1,4,5-trisfosfat) menyebabkan pelepasan Ca2+ intraseluler dari penyimpannya di retikulum endoplasma. Dengan demikian reseptor ini memperantarai fenomena tergantung-Ca2+ seperti kontraksi otot polos dan sekresi (Gilman,2007).
2.7 Antagonis muskarinik
Penghambatan reseptor muskarinik atau anti muskarinik dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu (1) Alkaloid antimuskarinik, atropin dan skopolamin, (2) derivat semisintetisnya, (3) derivat sintetis.
Atropin merupakan prototipe antimuskarinik, hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada dosis kecil atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, pada dosis yang lebih besar baru terlihat dilatasi pupil ganguan akomodasi dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat takhikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar dilambung (Ganiswara, 2007).
(27)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental. Prosedur yang dilakukan meliputi pembuatan simplisia, skrining fitokimia simplisia, karakterisasi simplisia, tahapan persiapan bahan pengujian dan tahapan pengujian kontraksi ileum menggunakan alat organ bath.
3.1 Alat-Alat
Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mortir dan stamfer, blender (Philips), alat-alat gelas laboratorium ,micropipet, lemari pengering, oven listrik, rotary evaporator (Haake D), neraca kasar (SUN), neraca analitik (Vibra AJ), timbangan hewan, jarum suntik (Terumo), alat-alat bedah, organ bath volume 50 ml (ADinstrument), alat-alat sistem organ bath (power lab system).
3.2 Bahan-Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah etanol 96%, air suling, toluena. Larutan tirode (larutan fisiologis) yaitu larutan yang mengandung NaCl, KCl, MgSO4.7H2O, NaH2PO4, NaHCO3, Glukosa, CaCl2. Bahan pembanding yang digunakan adalah atropin sulfat dan sebagai bahan penginduksi digunakan asetilkolin klorida.
3.3 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus (Rattus novergicus) jantan, galur wistar, berat badan 150-200 g dengan kondisi sehat. Hewan
(28)
diaklimatisasi selama 1 (satu) minggu dengan tujuan untuk menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba sama sehingga dianggap memenuhi syarat untuk penelitian. Sebelum digunakan pada tahap penelitian, hewan percobaan dipuasakan selama 24 jam agar usus yang digunakan dalam keadaan kosong.
3.4 Pengambilan dan Pengolahan Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman temulawak (Curcuma xathorriza Roxb.). Diperoleh dari Pasar sore Padang bulan, Medan Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain.
Rimpang temulawak dibersihkan dari pengotoran dengan air bersih, kemudian dipotong dengan ukuran 2-4 mm, ditiriskan diatas tampah yang telah dialasi dengan kertas ubi. Selanjutnya ditimbang berat basah, lalu dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam lemari pengering dengan suhu ± 40oC selama 3-4 hari. Sampel dianggap kering bila sudah rapuh (dapat dipatahkan), kemudian disortasi kering dan berat kering simplisia ditimbang, lalu simplisia diblender sampai menjadi serbuk, ditimbang beratnya. Selanjutnya serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik dengan silika gel dan dimasukkan dalam lemari pengering untuk mencegah pengaruh lembab dan pengotoran lain.
3.5 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense Universitas Sumatera Utara, Medan.
(29)
3.6 Skrining Fitokimia 3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk uji alkaloida sebagai berikut :
a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning.
b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman. c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi
Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Depkes RI, 1989).
3.6.2 Pemeriksaan Glikosida
Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang kemudian disari dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat anhidrat dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50 C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: (i). 0,1 ml larutan percobaan diuapkan, ditambahkan 5 ml asam asetat anhidrida dan 10 tetes asam sulfat pekat.
(30)
(ii). 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida.
(iii). Serbuk sampel direbus dalam air, didinginkan, disaring. Pada filtrat ditambahkan fehling A dan fehling B (1:1), dipanaskan. Terbentuknya endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi (Depkes RI, 1989).
3.6.3 Pemeriksaan Flavonoida
Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).
3.6.4 Pemeriksaan Tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil 2 ml dan ditambahkan 1 - 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1 %. Jika terjadi warna biru, atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes RI, 1989).
3.6.5 Pemeriksaan Saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida
(31)
2N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1989).
3.6.6 Pemeriksaan Antrakinon
Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambah 5 ml asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring. Lapisan benzena dikocok dengan 2 ml natrium hidroksida 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzena tidak berwarma menunjukkan adanya antrakinon (Depkes RI, 1989).
3.6.7 Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).
3.7 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar yang sari larut air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Depkes RI,1989).
3.7.1 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati simplisia meliputi bentuk, warna, rasa, ukuran.
(32)
3.7.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat di bawah mikroskop.
3.7.3 Penetapan Kadar Air Simplisia
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluena). Alat meliputi labu alas 500 ml, alat penampung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, pendingin, tabung penyambung, pemanas.
Cara penetapan: ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, didestilasai selama 2 jam, biarkan mendingin selama 30 menit didinginkan dan volume air pada tabung penerima dibaca. Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih kecepatan tetesan diatur 2 tetes tiap detik hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar setelah air dan toluena memisah sempurna volume air yang dibaca sesuai kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).
3.7.4 Pemeriksaan Kadar Sari yang Larut dalam Air
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 ml filtrate diuapkan sampai
(33)
kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1989).
3.7.5 Pemeriksaan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol, 20 ml filtrate diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara dan dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes RI, 1989).
3.7.6 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselen dipijarkan pada suhu 600oC sampai arang habis, kemudian dinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (WHO, 1992).
3.7.7 Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring kemudian dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan pada 600oC sampai diperoleh bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (WHO, 1992).
(34)
3.8 Tahapan Persiapan Percobaan
3.8.1 Pembuatan Ekstrak Rimpang Temulawak
Pembuatan ekstrak dilakukan secara remaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%.
Prosedur pembuatan ekstrak:
Sebanyak 250 g serbuk simplisia rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dimaserasi dengan pelarut etanol 96% sampai seluruh serbuk terendam, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas dimaserasi kembali dengan etanol 96% selama 2 hari menggunakan prosedur yang sama , maserasi dilakukan sebanyak 2 kali (Ditjen POM, 1986).
Kemudian disaring, maserat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar. Lalu dikeringkan dengan alat freeze dryer sampai diperoleh ekstrak kental 26,995 gram. Kemudian 5 gram ekstrak temulawak dilarutkan dalam 10 ml DMSO (Dimethil sulfoxida) sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 50% (larutan stock).
Dari larutan stock dipipet berturut-turut ekstrak etanol rimpang temulawak 10 µ l hingga 100µ l:
a. Dipipet 10 µ l ekstrak temulawak kedalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,01 %
b. Dipipet 20 µ l ekstrak temulawak kedalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,02%
c. Dipipet 30 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,03%
(35)
d. Dipipet 40 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,04%
e. Dipipet 50 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,05%
f. Dipipet 60 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,06%
g. Dipipet 70 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,07%
h. Dipipet 80 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,08%
i. Dipipet 90 µl ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,09%
j. Dipipet 100 µ l ekstrak temulawak ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 0,1%
3.8.2 Pembuatan Larutan Tirode
Larutan buffer fisiologis yang digunakan adalah larutan tirode. Untuk membuat 1 liter larutan tirode ditimbang (Anomin, 2010):
NaCl : 8,00 gram
KCl : 0,2 gram
MgSO4.7H2O : 0,214 gram NaH2PO4. 2H2O : 0,05 gram NaHCO3 : 1,00 gram Glukosa : 2,00 gram CaCl2 : 0,2 gram
(36)
NaHCO3 (1,00 gram) dilarutkan dengan sebagian air suling sampai larut, sehingga didapat larutan natrium bikarbonat. Bahan yang lain (NaCl, KCl, MgSO.7H2O, NaH2PO4 ) dilarutkan terpisah dengan air suling sampai larut, kemudian ditambahkan larutan natrium bikarbonat. CaCl2 dan glukosa ditambahkan terakhir setelah semua bahan tercampur.
Setelah semua bahan tercampur, larutan di earasi dengan karbogen (O295%, CO2 5%) agar tidak terjadi pengendapan garam kalsium yang ditandai dengan kekeruhan. Selanjutnya larutan diatur pada pH 7,4. Larutan tirode dapat bertahan selama 24 jam. Untuk mencegah tumbuhnya mikroba, larutan tirode yang digunakan lebih dari 24 jam disimpan pada suhu 4-10 oC.
3.8.3 Penyiapan Larutan Asetilkolin
Dalam penelitian ini asetilkolin klorida digunakan sebagai agonis kolinergik. Senyawa ini dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada usus halus. Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan asetilkolin ke dalam aqua destilata sehingga didapat konsentrasi 2x10-1 M. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 2x10-6 M dengan faktor pengenceran 5 kali.
a. Pembuatan larutan baku asetilkolin klorida
Timbang seksama asetilkolin klorida (BM 181,60 g/mol) seberat 181,60 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml aquadest. Diperoleh larutan asetilkolin klorida 2x10-1 M.
b. Pembuatan seri konsentrasi asetilkolin klorida 1. Asetilkolin klorida 2 x 10-2 M
Dipipet 300 µL larutan baku asetilkolin 2x10-1 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.
(37)
2. Asetilkolin klorida 2 x 10-3
Dipipet 300 µL larutan baku asetilkolin 2x10-2 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 3. Asetilkolin klorida 2 x 10-4
Dipipet 300 µL larutan baku asetilkolin 2x10-3 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 4. Asetilkolin klorida 2 x 10-5
Dipipet 300 µL larutan baku asetilkolin 2x10-4 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 5. Asetilkolin klorida 2 x 10-6
Dipipet 300 µL larutan baku asetilkolin 2x10-5 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.
3.8.4 Penyiapan Larutan Atropin Sulfat
Dalam penelitian ini atropin sulfat digunakan sebagai antagonis kolinergik. Senyawa ini dapat menghambat kontraksi otot polos pada usus halus. Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan atropin sulfat ke dalam aqua destilata sehingga didapat konsentrasi 2x10-1M. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 2x10-6 M dengan faktor pengenceran 5 kali.
a. Pembuatan larutan baku atropine sulfat
Timbang seksama atropin sulfat (BM 694,84 g/mol) seberat 694,84 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml aquadest. Diperoleh larutan asetilkolin klorida 2x10-1 M.
b. Pembuatan seri konsentrasi atropin sulfat 1. Atropin sulfat 2 x 10-2 M
(38)
Dipipet 300 µL larutan baku Atropin sulfat 2x10-1 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 2. Atropin sulfat 2 x 10-3
Dipipet 300 µL larutan baku Atropin sulfat 2x10-2 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 3. Atropin sulfat 2 x 10-4 M
Dipipet 300 µL larutan baku Atropin sulfat 2x10-3 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 4. Atropin sulfat 2 x 10-5 M
Dipipet 300 µL larutan baku Atropin sulfat 2x10-4 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. 5. Atropin sulfat 2 x 10-6 M
Dipipet 300 µL larutan baku Atropin sulfat 2x10-5 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 2700 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.
3.9 Tahapan Pengujian 3.9.1 Preparasi Organ
Pada penelitian ini digunakan usus halus terpisah tikus yang sebelumnya telah di puasakan selama 24 jam. Tikus dikorbankan dengan cara dislokasi pada tulang leher, untuk menghindari pengaruh dari obat-obatan bila digunakan anastesi umum. Kulit bagian abdomen dipotong dengan menggunakan gunting. Usus dibersihkan dari lapisan mesenteric yang melindunginya. Saat jaringan sudah rileks, dipotong segmen usus bagian bawah yang mendekati caecum sepanjang 2 -3 cm. Dengan menggunakan jarum kedua ujung potongan usus diikat dengan benang pada arah yang berlawanan. Benang bagian bawah usus diikatkan
(39)
pada batang penahan jaringan dan benang bagian atas usus dihubungkan ke transduser daya. Jaringan usus halus dimasukkan kedalam organ bath yang berisi larutan tirode, dengan suhu larutan dipertahankan 37oC sambil di earasi dengan karbogen secara terus menerus. Jaringan yang telah terisolasi diinkubasi selama 30 menit dengan pergantian larutan tirode setiap 10 menit. Dibiarkan beberapa saat sampai kondisi ritmik yang optimal (Gerhard, 2002)
ileum
Gambar 2 : Preparasi ileum terisolasi dari tikus (Yin, 1996).
benang pengikat
Ileum batang penahan jaringan
Gambar 3. Preparasi ileum terisolasi dari tikus dan pengikatan organ ileum terisolasi pada batang penahan jaringan
(40)
3.9.2 Pengujian Effective Concentration (EC80) Asetilkolin
Pengujian terhadap agonis muskarinik dilakukan untuk mengukur batas maksimun yang dapat ditunjukkan terhadap kontraksi ileum tikus, guna untuk mendapatkan harga EC80. Pengukuran dilakukan secara bertingkat dengan pemberian kumulatif asetilkolin sehingga diperoleh konsentrasi didalam organ bath 10-8 sampai 10-2 M. Ileum tikus yang telah diekuilibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan larutan asetilkolin klorida dengan konsentrasi didalam bath 10-8 sampai 10-2 M (otot polos ileum tikus menunjukkan respon kontraksi maksimum).
Tabel 1. Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath volume 50 ml.
Volume yang ditambahkan kedalam organ bath (ml)
Larutan Baku asetilkolin (M)
adar asetilkolin dalam rgan bath
M)
0,25 2x10-6 10-8
0,5 2x10-6 3x10-8
0,2 2x10-5 10-7
0,5 2x10-5 3x10-7
0,2 2x10-4 10-6
0,5 2x10-4 3x10-6
0,2 2x10-3 10-5
0,5 2x10-3 3x10-5
0,2 2x10-2 10-4
0,5 2x10-2 3x10-4
0,2 2x10-1 10-3
0,5 2x10-1 3x10-3
2 2x10-1 10-2
3.9.3 Pengujian Inhibiton Concentration (IC80) Ekstrak Temulawak
Pengujian aktivitas ekstrak etanol rimpang temulawak terhadap penurunan kontraksi ileum tikus dilakukan dengan penambahan ekstrak etanol rimpang temulawak konsentrasi berturut, yaitu dengan pemberian 10 µ l sampai 100 µ l ekstrak etanol rimpang temulawak kedalam organ bath sehingga diperoleh
(41)
konsentrasi ekstrak etanol rimpang temulawak 0,01% sampai 0,1%. Ileum tikus yang telah diekuilibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan ekstrak etanol rimpang temulawak konsentrasi didalam bath 0,01% lalu didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan asetilkolin klorida 7,5x10-4 M (konsentrasi EC80 asetilkolin klorida), respon kontraksi otot polos ileum tikus akan tercatat pada rekorder. Kemudian cuci ileum tikus dengan larutan tirode sebanyak tiga kali pencucian dan dibiarkan sampai kondisi stabil, dilakukan pengujian berikutnya dengan konsentrasi ekstrak etanol rimpang temulawak yang lebih tinggi hingga otot polos ileum tikus tidak menunjukkan respon kontraksi dengan pemberian asetilkolin klorida.
Table 2. Pemberian dosis ekstrak temulawak kedalam organ bath dengan
konsentrasi berturut.
3.9.4 Pengujian Inhibition Concentration (IC80) Atropin sulfat
Pengujian terhadap antagonis muskarinik dilakukan untuk melihat ada/tidaknya efek antikolinergik ekstrak etanol rimpang temulawak pada reseptor kolinergik sekaligus sebagai pembanding dalam melihat pola penurunan kontraksi Volume yang ditambahkan
kedalam organ bath (µl)
Larutan baku ekstrak etanol rimpang temulawak
(%)
Kadar ekstrak temulawak dalam organ bath
(%)
10 50 0,01
20 50 0,02
30 50 0,03
40 50 0,04
50 50 0,05
60 50 0,06
70 50 0,07
80 50 0,08
90 50 0,09
(42)
pada ileum tikus yang dilakukan dengan konsentrasi berturut 10-8 sampai 3x10-5 M.
Ileum tikus yang telah diekuilibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan atropin sulfat konsentrasi didalam bath 10-8 M lalu didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan asetilkolin klorida 7,5x10-4 M (konsentrasi EC80 asetilkolin klorida), respon kontraksi otot polos ileum tikus akan tercatat pada rekorder. Kemudian cuci ileum tikus dengan larutan tirode sebanyak tiga kali pencucian dan dibiarkan sampai kondisi stabil, dilakukan pengujian berikutnya dengan konsentrasi atropin sulfat yang lebih tinggi hingga otot polos ileum tikus tidak menunjukkan respon kontraksi dengan pemberian asetilkolin klorida.
Tabel 3. Pemberian dosis atropin kedalam organ bath
Volume yang ditambahkan kedalam organ bath (ml)
Larutan baku atropin sulfat (M)
Kadar Atropin sulfat dalam organ bath (M)
0,25 2x10-6 10-8
0,75 2x10-6 3x10-8
o,25 2x10-5 10-7
0,75 2x10-5 3x10-7
0,25 2x10-4 10-6
0,75 2x10-4 3x10-6
0,25 2x10-3 10-5
0,75 2x10-3 3x10-5
3.9.5 Tahap Uji Farmakodinamik.
Tahap uji farmakodinamik untuk melihat pengaruh ekstrak temulawak terhadap kontraksi usus halus tikus terisolasi dengan menggunakan induksi asetilkolin klorida.
(43)
Hewan percobaan dibagi menjadi beberapa kelompok:
a. Kelompok I : Tonus normal diberi asetilkolin klorida 0,19 ml (2 x 10-1 M) sebagai agonis kolinergik
b. Kelompok II : Tonus normal diberi atropin sulfat 0,16 ml (2 x 10-3 M) sebagai antagonis kolinergik, 3 menit kemudian dilakukan pemberian asetilkolin 0,19 ml sebagai agonis kolinergik c. Kelompok III : Tonus normal diberi ekstrak temulawak 30 µ l (0,03 %), 3
menit kemudian dilakukan pemberian asetilkolin 0,19 ml sebagai agonis kolinergik (Yin, 1996).
3.10 Pengolahan Hasil
Berdasarkan pola kontraksi tonus usus halus yang diperoleh dari hasil rekaman, kemudian diamati pola perubahannya dan dibandingkan dengan pola obat-obat pembanding, untuk melihat ada tidaknya persamaan respon (Yin, 1996).
(44)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan yang digunakan dilakukan Herbarium Medanense, Universitas Sumatera Utara, Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian adalah temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.), suku Zingiberaceae.
4.2 Hasil Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) menunjukkan adanya senyawa flavonoid, glikosida dan triterpenoid/steroid. Hasil skrining dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia
No Senyawa Hasil Skrining Serbuk Simplisia
1 Alkaloida -
2 Glikosida +
3 Antrakinon -
4 Saponin -
5 Flavonoida +
6 Tanin -
7 Triterpenoid/steroid +
Keterangan: (+) mengandung senyawa yang diperiksa, (-) = tidak mengandung
senyawa yang diperiksa
Pada uji alkaloid serbuk simplisia yang ditambah dengan pereaksi Dragendorff memberikan warna jingga kecoklatan, dengan pereaksi Bouchardat memberikan warna kuning kecoklatan, sedangkan dengan pereaksi Mayer terbentuk warna kuning muda, ini menunjukkan tidak adanya senyawa alkaloid, karena tidak terbentuk endapan. Skrining glikosida ditunjukkan dengan penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat terbentuk cincin ungu,
(45)
sedangkan dengan penambahan Fehling A dan Fehling B sama banyak tidak terbentuk endapan berwarna merah bata. Penambahan serbuk Mg dan serbuk Zn dengan asam klorida pekat dan amil alkohol memberikan warna kuning yang menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Penambahan Liebermann-Burchard memberikan warna ungu menunjukkan adanya triterpenoid/steroid.
4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia
Hasil pemeriksaan makroskopik rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) adalah bentuk bundar atau jorong, berwarna coklat kuning sampai coklat: bidang irisan berwana kuning kemerahan, rasa tajam dn pahit, bentuk tidak rata sering dengan tonjolan melingkar. Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) diperoleh adanya fragmen parenkim korteks, serabut sklerenkim, fragmen berkas pembuluh butir pati, fragmen jaringan gabus, dan rambut penutup. Gambar makroskopik dan mikroskopik dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 49-50.
Hasil karakterisasi serbuk simplisia temulawak Curcuma xanthorrizha Roxb. dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil karakterisasi serbuk simplisia temulawak Curcuma xanthorrizha
Roxb.
No Parameter Hasil Syarat MMI keterangan
1 Kadar air 7,93% ≤ 10 % Memenuhi
2 Kadar sari larut dalam air 27,12 % ≥ 8,9 % Memenuhi 3 Kadar sari larut dalam etanol 20,95 % ≥ 3,5 % Memenuhi
4 Kadar abu total 4,79 % ≥ 4,4 % Tidak
memenuhi 5 Kadar abu yang tidak larut
(46)
Penetapan kadar air dilakukan untuk mengetahui apakah simplisia memenuhi persyaratan, karena air merupakan media yang baik untuk tumbuhnya jamur, ternyata hasilnya memenuhi syarat yaitu 7,93% lebih kecil dari 10%. Penetapan kadar sari larut air untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol, baik polar maupun non polar. Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dalam simplisia, misalnya logam K, Ca, Na, Pb, Hg, silika, sedangkan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang tidak larut dalam asam, misalnya silika, logam-logam berat seperti Pb, Hg. Perhitungan hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 58-61.
4.3 Hasil Pengujian Effective Concentration (EC80) Asetilkolin
Terlebih dahulu dilakukan pengujian EC80 dengan pemberian kumulatif asetilkolin pada otot polos ileum terisolasi dengan konsentrasi bertingkat 10-8 sampai 10-2 M yang akan digunakan pada pengujian farmakodinamik. Pemberian kumulatif asetilkolin menyebabkan kontraksi otot polos ileum yang tampak semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asetilkolin. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
(47)
Gambar 4. Pola kenaikan kontraksi ileum terisolasi dari tikus pemberian
kumulatif Asetilkolin
EC80(1) EC80(2)
(48)
Gambar 5 Kurva - kumulatif pemberian asetilkolin pada ileum terisolasi dari
tikus. _____ asetilkolin pengujian 1, ____ asetilkolin pengujian 2 Hasil orientasi kumulatif asetilkolin dosis bertingkat didapat suatu dosis EC80 asetilkolin pada konsentrasi 7,5x10-4 M, yang memberikan pola kenaikan konsentrasi yang cukup nyata untuk memberikan gambaran tentang pola kerja pada otot polos ileum yang terisolasi.
4.4 Hasil Pengujian Inhibition Concentration (IC80) Ekstrak Temulawak
Pemberian ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) dengan berbagai konsentrasi yaitu 0,01% sampai 0,1 % pada otot polos ileum terisolasi, untuk memperoleh suatu nilai konsentrasi IC80 yang akan digunakan pada pengujian farmakodinamik.
Bentuk sediaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak dengan menggunakan pelarut DMSO (Dimethyl sulfoxida) dengan pertimbangan pelarut yang digunakan bersifat inert, tidak mudah menguap, tidak merusak organ usus halus yang terisolasi, dan dapat melarutkan zat-zat aktif yang terkandung didalam temulawak.
(49)
(b)
Gambar 6. Pola penurunan kontraksi ileum terisolasi dari tikus pada pemberian
ekstrak temulawak. (a) pemberian ekstrak 1, (b) pemberian ekstrak 2
IC80=3x10-2
Gambar 7. Kurva penurunan kontraksi ileum terisolasi dari tikus pada pemberian
ekstrak temulawak ___ pengujian ekstrak 1, __ pengujian ekstrak 2 Log [ Dose]
-3.0 -3.5 -4.0 -4.5 -5.0 R e s p o n s e ( % ) 0 20 40 60 80 100 extrak 1 extrak 2
Log [ Dose]
-3.0 -3.5 -4.0 -4.5 -5.0 R e s p o n s e ( % ) 0 20 40 60 80 100
(50)
Dari hasil menunjukkan bahwa pada konsentrasi 3 x10-2 yang merupakan dosis IC80 sudah memberikan pola penurunan kontaksi ileum tikus yang cukup nyata untuk memberikan gambaran tentang pola kerja ekstrak temulawak pada otot polos usus halus terisolasi. Pengujian ekstrak etanol rimpang temulawak pada konsentrasi 0,01% sampai 0,1% menunjukkan penghambatan pola kontraksi pada otot polos ileum tikus terisolasi, sedangkan pengujian ekstrak etanol rimpang temulawak pada konsentrasi diatas 0,1% sebaliknya menunjukkan peningkatan kontraksi, hal ini menunjukkan adanya perbedaan efek yang ditimbulkan dari tanaman temulawak dengan perbedaan konsentrasi penggunaan, mengingat bahwa tanaman temulawak selain sebagai anti diare masyrakat juga menggunakan temulawak sebagai laksansia dan meningkatkan nafsu makan.
4.5 Hasil Pengujian IC80 Atropin Sulfat
Sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini dipakai bahan obat-obat otonom karena organ usus dipengaruhi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis yaitu asetilkolin klorida dan atropin sulfat.
Pemberian atropin sulfat dengan konsentrasi berturut yaitu 10-8 sampai 3x10-5 M pada ileum tikus terisolasi untuk memperoleh suatu nilai IC80 yang digunakan pada pengujian farmakodinamik.
(51)
(b)
Gambar 8. Pola penurunan kontraksi ileum terisolasi dari tikus pada pemberian
atropin sulfat.(a) pemberian atropin 1,(b) pemberian atropin 2.
IC80(1) IC80(2)
IC80=6,58x10-7
Gambar 9. Kurva penurunan kontraksi ileum terisolasi dari tikus pada pemberian
atropin sulfat. _____ pengujian atropin 1, ____ pengujian atropin2
Log [ Dose]
0 -2 -4 -6 -8 R e s p o n s e ( % ) 0 20 40 60 80
100 ATROPIN 1
ATROPIN 3
Log [ Dose]
0 -2 -4 -6 -8 R e s p o n s e ( % ) 0 20 40 60 80 100
(52)
Dari hasil menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6,58x10-7 yang merupakan dosis IC80 sudah memberikan pola penurunan kontaksi ileum tikus yang cukup nyata untuk memberikan gambaran tentang pola kerja atropin sulfat pada otot polos usus halus terisolasi.
4.6 Uji Farmakodinamik terhadap ileum Tikus Terisolasi
Pada penelitian ini digunakan ileum tikus sebagai organ percobaan, dimana ileum merupakan usus penyerapan, pada bagian ini terjadi penyerapan zat-zat makanan oleh tubuh. Sediaan ileum tikus terisolasi dibuat dalam larutan buffer fisiologis atau larutan tirode. Larutan tirode mempunyai komposisi dan konsentrasi yang hampir sama dengan larutan fisiologis usus, sehingga dapat memperpanjang waktu hidup usus secara in vitro dengan temperatur yang diatur seperti suhu tubuh dan dialiri gas karbogen melalui larutan tersebut (Yin, 1996).
Timbulnya efek obat terjadi dari interaksi antara obat dengan komponen makromolekul fungsional dari organisme. Interaksi ini akan mengubah komponen sel yang berhubungan lalu dimulailah perubahan biokimia dan fisiologis yang merupakan ciri dari respon tersebut. Untuk mengetahui interaksi antara obat dengan reseptor dalam tubuh makhluk hidup sering digunakan organ terisolasi, yang bertujuan untuk membatasi faktor-faktor yang mengganggu, seperti distribusi obat, transportasi.
Dari hasil pengujian farmakodinamik maka diperoleh bahwa pemberian asetilkolin meningkatkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi karena terjadi depolarisasi parsial membrane sel usus akibat peningkatan konduktifitas terhadap Na+ dan Ca2+ ke dalam sel. Saluran kalsium terbuka, ion kalsium intra sel naik dan mengaktifkan protein sehingga menyebabkan kontraksi usus (Yin, 1996).
(53)
Pada pemberian atropin sebelum pemberian asetilkolin dapat menghambat pangaruh asetilkolin terhadap reseptor muskarinik yang ditandai dengan penurunan kontraksi, sedangkan pada pemberian ekstrak temulawak sebelum pemberian asetilkolin juga dapat menghambat pengaruh asetilkolin terhadap reseptor muskarinik. Karena terjadi persamaan respon antara ekstrak temulawak dengan atropin, maka ekstrak temulawak bekerja sebagai antagonis pada reseptor muskarinik.
Tabel 5. Data respon kontraksi ileum tikus terisolasi pada pengujian
farmakodinamik
(a) (b) (a)
(b) Dosis
Asetilkolin Pengulangan
ACETILKON (kontrol)
ATROPIN SULFAT (pembanding)
EKSTRAK TEMULAWAK 0,19 mL
(7,5x10-5 M)
1 1,587 -1,772 -0,725
2 1,732 -1,572 -0,723
(54)
( ( (c)
(c)
Gambar 10. Pola penurunan kontraksi pada pengujian farmakodinamik.
(a)a)P pemberian aSetilkolin (kontrol), (b) pemberian atropin sulfat (pembanding), (c) pemberian ekstrak temulawak.
Penelitian ini merupakan tahap penelitian awal sebatas dilakukan pengamatan terhadap profil penurunan tonus otot polos ileum tikus terisolasi secara kualitatif dengan menggunakan hanya satu macam konsentrasi saja. Oleh kerena itu perlu dilakukan dengan menggunakan berbagai macam konsentrasi, untuk mengetahui pola hubungan antara dosis dengan respon, pada usus halus maupun organ yang lain.
(55)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian pengaruh ektrak temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) terhadap kontraksi otot polos ileum tikus yang isolasi, maka dapat disimpulkan:
1. Ekstrak temulawak menurunkan kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi secara in vitro melalui reseptor muskarinik
2. Ekstrak temulawak dengan konsentrasi 3x10-2 dapat menurunkan 80 % kontraksi ileum tikus terisolasi dari respon maksimum.
3. Mekanisme kerja ekstrak temulawak adalah sebagai anti kolinergik melalui reseptor muskarinik.
5.2 Saran
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian awal, maka untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memetahui bahan aktif yang bekerja menghambat kontraksi ileum usus terisolasi (antagonis kolinergik) 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pembanding
yang lain
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dosis dengan respon pada usus halus terisolasi maupun organ lain mengingat bahwa temulawak selain sebagai anti diare juga berkhasiat sebgai laksansia dan meningkatkan nafsu makan.
(56)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Modul Penuntun Praktikum Farmakologi. Departemen Farmakologi Fakultas Farmasi. Universitas sumatera Utara, Medan. Ban, D., Yvonne A., Tommy W., dan Puspa, S. (1985). Beberapa aspek
isolasi, identifikasi, dan penggunaan komponen-komponen Curcuma xanthorrizha Roxb. Dan curcuma domestica Val. Proseding Simposium nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Hal; 85.
Dalimartha, S. (2007). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hal: 36
Desissaguet, J dan Aiache, J.M. (1993). Biofarmasi. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal.248-249
Ditjen POM. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Halaman 81.
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Halaman 194-197, 516, 518, 522, 536, 540, 549-553. Ditjen POM. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal. 70
Farnsworth, N.R. (1996). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Science. 55(3). Pages 257-259, 263. Ganiswara, S. (2007). Obat Otonom. dalam Farmakologi dan Terapi ed.5.
editor: Sulistia ganiswara. Jakarta: Depatremen farmakologi dn Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hal: 36,56,57.
Gerhard, V.H. (2002). Drug Discovery and Evaluation. ed.II. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. Hal: 878
Gilman, Goodman. (2007). Dasar Farmakologi Terap. Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal:126-127.
Goenarso, D. (2003). Efek Gosipol terhadap Kontraksi Usus Halus Mencit (Mus musculus) Swiss Webster Jantan secara in vitro .Skripsi. Departemen FMIPA - ITB.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal 147.
(57)
Sardi,D. (1985).”Herbal Indonesia Berkhasiat,Bukti Ilmiah & Cara Racik “.dalam Trubus Info kit.vol.8.
Sherwood, L . (2001). Fisiologi Manusia. Jakarta: Penerbit Buku Kdokteran EGC. Hal:570-573
Wahyu, U,. Mengestuti, Wahjo D, dan Basori A. (1985). Skrining Farmakologi Anti Diare dari Infus Rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) dan mekanisme Kerjanya. Proseding Simposium nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Hal; 113. WHO. (1992). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials.
Geneva: World Health Organization. Page 31.
Wijayakusuma, M. Hembing. (2007). Penyembuhan dengan TemulawakI. Jakarta: Sarana Pustaka Prima. Hal:
Yin, T. L. (1996). Pengaruh Infusa Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight. Walp). Terhadap Tonus Usus Halus Marmut terisolasi. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.
(58)
(59)
Lampiran 2. Karakteritik Tumbuhan
Gambar 1. Tanaman temulawak
(60)
(Lanjutan)
Gambar 3. Makroskopik rimpang temulawak
(61)
(Lanjutan)
Gambar 5. Miroskopik serbuk simplisia
Keterangan:
1. Fragmen parenkin korteks 2. Fragmen berkas pembuluh 3. Fragmen jaringan gabus 4. Butir pati
5. Rambut penutup 6. Serabut skerenkin
(62)
11
9
8
7
10 6
5
4
3 2
1
Gambar 6. Mikroskopik rimpang temulawak segar
Keterangan :
1. Rambut penutup 2. Epidermis 3. Hypodermis 4. Periderm
5. Berkas pembuluh koleteral 6. Sklerenkim
7. Parenkim korteks 8. Sel minyak 9. Butir pati 10.Endodermis
(63)
Lampiran 3. Skema Kerja pembuatan ekstrak dan pengukuran kontraksi ileum
tikus terisolasi
disortasi basah dirajang
dikeringkan di lemari pengering disortasi kering
diserbuk
dimasukkan kedalam wadah ditambah kan etanol
96%dibiakan selama 5 hari dengan sesekali di aduk di saring
dipekatkan dengan rotaevaporato
di freeze dryer
Serbuk simplisia rimpang temulawak
maserat Rimpang temulawak
• Karakterisasi simplisia - Pemeriksaan makroskopik - Pemeriksaan mikroskopik - Pk air
- Pk sari larut air
Ekstrak
(64)
Tikus
Dipuasakan selama 24 jam
Dibunuh
Preparasi organ
Ekuilibrasi selama 30 menit (setiap 10 menit diganti larutan tirode)
Tahapan pengujian Tiap hewan dibagi 3 perlakuan
Pengujian EC80 Asetilkolin Dengan pemberian
asetilkolin konsentrasi bertingkat
Pengujian IC80 ekstrak Dengan pemberian ekstrak temulawak konsentrasi berturut
Pengujian IC80 Atropin sulfat
Dengan pemberian atropin sulfat bertingkat
(65)
Lampiran 4. Data orientasi asetilkolin
ORIENTASI
ACETYLKOLIN acetylkolin 2
Best-fit values
BOTTOM 2.288 2.262
TOP 3.051 2.754
LOGEC50 -4 -3.944
EC50 0.0001001 0.0001138
Hill Slope 1 1
Std. Error
BOTTOM 0.02591 0.02655
TOP 0.04269 0.04516
LOGEC50 0.1315 0.212
Hill Slope 0 0
95% Confidence Intervals
BOTTOM 2.23 to 2.346 2.203 to 2.322
TOP 2.956 to 3.146 2.653 to 2.855
LOGEC50 -4.293 to -3.707 -4.416 to -3.471
EC50 5.098e-005 to 0.0001965 3.836e-005 to 0.0003378
Hill Slope 1 to 1 1 to 1
Goodness of Fit
Degrees of Freedom 10 10
R Squared 0.966264 0.916265
Absolute Sum of Squares 0.04214 0.04502
Sy.x 0.06492 0.0671
Data
(66)
Dose Channel 4 Channel 4 1.00E-08 2.249 2.201 3.00E-08 2.256 2.218 1.00E-07 2.248 2.233 3.00E-07 2.265 2.255 1.00E-06 2.306 2.266 3.00E-06 2.322 2.295 1.00E-05 2.462 2.387 3.00E-05 2.522 2.466 1.00E-04 2.686 2.485 3.00E-04 2.72 2.539 1.00E-03 3.011 2.622 3.00E-03 3.031 2.763
(67)
Lampiran 5. Data orientasi ekstrak temulawak
extrak 1 extrak 2
Best-fit values
BOTTOM -1.076 -0.4576
TOP 0.5021 1.205
LOGEC50 -4.735 -4.736
EC50 1.84E-05 1.84E-05
Hill Slope -3.184 -3.067
Std. Error
BOTTOM 0.01208 0.01025
TOP 0.06529 0.05655
LOGEC50 0.0169 0.01406
Hill Slope 0.2745 0.2072
95% Confidence Intervals
BOTTOM -1.105 to -1.046 -0.4827 to -0.4326
TOP 0.3423 to 0.6618 1.066 to 1.343
LOGEC50 -4.777 to -4.694 -4.77 to -4.702
EC50 1.673e-005 to 2.024e-005 1.697e-005 to 1.988e-005
Hill Slope -3.856 to -2.512 -3.574 to -2.56
Goodness of Fit
Degrees of Freedom 6 6
R Squared 0.998529 0.999088
Absolute Sum of Squares 0.002636 0.001774
Sy.x 0.02096 0.0172
Data
(68)
extrak 1 extrak 2 Dose Channel 2 Channel 3 0.00E+00 3.046 4.45
1.00E-05 0.3025 0.9817 2.00E-05 -0.3809 0.268 3.00E-05 -0.8299 -0.1698 4.00E-05 -0.9392 -0.2874 5.00E-05 -1.008 -0.3899 6.00E-05 -1.015 -0.4299 7.00E-05 -1.047 -0.442 8.00E-05 -1.057 -0.4441 9.00E-05 -1.073 -0.4304 1.00E-03 -1.103 -0.4535
(69)
Lampiran 6. Data orientasi atropin sulfat
ATROPIN 1 ATROPIN 3
Best-fit values
BOTTOM 0.2243 0.6168
TOP -3.015 -1.778
LOGEC50 -6.775 -7.262
EC50 1.68E-07 5.46E-08
Hill Slope 1 1
Std. Error
BOTTOM 0.2543 0.1764
TOP 0.1501 0.05386
LOGEC50 0.1518 0.1062
Hill Slope 0 0
95% Confidence Intervals
BOTTOM -0.4293 to 0.878 0.1634 to 1.07
TOP -3.401 to -2.63 -1.916 to -1.639
LOGEC50 -7.165 to -6.384 -7.535 to -6.989
EC50 6.843e-008 to 4.126e-007 2.914e-008 to 1.025e-007
Hill Slope 1 to 1 1 to 1
Goodness of Fit
Degrees of Freedom 5 5
R Squared 0.972384 0.98807
Absolute Sum of Squares 0.3081 0.05154
Sy.x 0.2482 0.1015
Data
(70)
ATROPIN 1
ATROPIN 3
Dose Channel 1 Channel 3
0 -1.013 1.439
1.00E-08 0.3153 0.3172 3.00E-08 -0.6284 -0.3741 1.00E-07 -0.9411 -0.8787 3.00E-07 -1.887 -1.316 1.00E-06 -2.322 -1.688 3.00E-06 -2.785 -1.679 1.00E-05 -2.957 -1.757 3.00E-05 -3.208 -1.876
(71)
Lampiran 7. Gambar Alar organ bath
Gambar 7 Bejana organ
(72)
(Lanjutan)
Gambar 9. Ekuilibrasi ileum dalam organ bath
(73)
Lampiran 8. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak
1. Perhitungan Penetapan Kadar Air
a. Berat sampel = 5,000g Volume air = 0,4 ml
Kadar air =
b. Berat sampel = 5,008 g Volume air = 0,4 ml Kadar air =
c. Berat sampel = 5,012 g Volume air = 0,4 ml Kadar air =
(74)
(Lanjutan)
2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
d. Berat sampel = 5,006 g Berat sari = 0,2784 g
Kadar sari =
e. Berat sampel = 5,001 g Berat sari = 0,2563 ga
Kadar sari =
f. Berat sampel = 5,001 g Berat sari = 0,2796 g Kadar sari =
(75)
(Lanjutan)
3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol
g. Berat sampel = 5,008 g Berat sari = 0,2149 g
Kadar sari =
h. Berat sampel = 5,007 g Berat sari = 0,2130 g
Kadar sari =
i. Berat sampel = 5,005 g Berat sari = 0, 2017 g Kadar sari =
(76)
4. Hasil penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut dalam asam
(77)
Lampiran 9. Gambar preparasi organ
Gambar 11. Pemotongan abdomen tikus
(1)
(Lanjutan)
(2)
Lampiran 8. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak
1. Perhitungan Penetapan Kadar Air
a. Berat sampel = 5,000g Volume air = 0,4 ml
Kadar air =
b. Berat sampel = 5,008 g Volume air = 0,4 ml Kadar air =
c. Berat sampel = 5,012 g Volume air = 0,4 ml Kadar air =
(3)
(Lanjutan)
2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
d. Berat sampel = 5,006 g Berat sari = 0,2784 g
Kadar sari =
e. Berat sampel = 5,001 g Berat sari = 0,2563 ga Kadar sari =
f. Berat sampel = 5,001 g Berat sari = 0,2796 g Kadar sari =
(4)
(Lanjutan)
3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol
g. Berat sampel = 5,008 g Berat sari = 0,2149 g
Kadar sari =
h. Berat sampel = 5,007 g Berat sari = 0,2130 g Kadar sari =
i. Berat sampel = 5,005 g Berat sari = 0, 2017 g Kadar sari =
(5)
4. Hasil penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut dalam asam
(6)
Lampiran 9. Gambar preparasi organ
Gambar 11. Pemotongan abdomen tikus