Tabel 4.1 Indeks keparahan gejala mosaik sorgum dan tebu hasil inokulasi ulang
hari ke…setelah
inokulasi hsi
Sorgum Tebu
Numbu Kawali
PS 864 VMC 7616
7 54,17 a
25 b 0 c
7,07 d 14
61,11 a 50 a
0 b 9,43 c
21 72,19 a
65,28 a 0 b
11,79 c 28
56,94 a 62,50 a
1,67 b 14,14 b
35 66,67 a
63,89 a 8,34 b
14,14 b 42
66,67 a 58,61 a
26,67 b 18,86 c
Keterangan: angka indeks keparahan yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda berdasarkan nilai standar deviasi setelah data
ditransformasi menggunakan akar kuadrat Lampiran A.
Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa gejala mosaik pada tebu dan sorgum diakibatkan oleh agen infeksius yang memiliki variasi virulensi bergantung
pada varietas dan tanaman. Menurut Andriani et al. 2013 Sifat ketahanan suatu varietas dan jenis tanaman sangat berpengaruh terhadap laju distribusi dan infeksi
virus. Semakin rentan suatu varietas terhadap serangan virus, maka semakin cepat proses translokasi dan infeksi virus.
4.3 Reverse Transcription-Polymeration Chain Reaction RT-PCR
Untuk membuktikan bahwa virus yang menginfeksi tebu dengan karakteristik berupa gejala mosaik adalah virus ScMV, maka dilakukan deteksi virus dengan
teknik RT-PCR sebagaimana yang dilakukan oleh Mohammadi dan Hajighrari 2009.
Hasil RT-PCR menunjukkan bahwa dari empat varietas tebu dari lapang yang menunjukkan gejala mosaik PS864, Cokro, VMC 7616 dan PS881, hanya 2 varietas
tebu yang positif terdeteksi memiliki pita DNA dengan ukuran sekitar 900 basepair bp dari hasil amplifikasi RT-PCR menggunakan pasang primer cp-ScMV Gambar
4.4.
Gambar 4.4 Band DNA dididuga gen cp-ScMV pada tebu yang bergejala mosaik di lapang.
Hasil serupa juga diamati oleh Antwerpen dan Rutherford 2008 yang menggunakan primer yang sama untuk mendeteksi ScMV dari daun tebu asal Afrika
Utara. Ketidakmunculan pita hasil amplifikasi amplikon pada sampel tebu PS864 dan varietas Cokro diduga karena ketidakcocokan primer yang digunakan dengan
asam nukleat virus ScMV pada sampel tebu yang dideteksi meskipun menunjukkan gejala yang sama. Kondisi serupa juga terjadi pada penelitian Antwerpen dan
Rutherford 2008 menggunakan primer cp-ScMV yang sama untuk mendeteksi virus yang menginfeksi 9 varietas tebu di Afrika Utara dengan corak mosaik yang
sama persis. Hasil deteksi RT-PCR menunjukkan hanya varietas ke-7 positif menunjukkan pita DNA kisaran ukuran 900 bp.
Pengujian lanjutan terhadap sampel tanaman propagasi virus Sorgum var. Numbu dan tanaman uji tular inokulasi ulang baik sorgum var. Kawali dan
Numbu dan Tebu VMC7616 dan PS881 menunjukkan hasil yang sama Gambar 4.5 dengan hasil deteksi dari virus ScMV pada sampel tanaman yang diperoleh dari
c
VMC 7616+
PS864+ VMC
7616- PS864-
M
b
Numbu + Kawali+
Sorgum
– M
a
Numbu - Numbu +
M
lapang Gambar 4.4. Meskipun demikian, pada sampel tebu dari lapang yang tidak bergejala kontrol menunjukkan hasil positif ketika dideteksi dengan RT-PCR
Gambar 4.5. Hal ini diduga karena beberapa faktor seperti virulensi dan ketahanan varietas tebu. Meskipun demikian, kemunculan pita DNA tersebut tidak tampak pada
sampel tebu bebas virus hasil pemuliaan dengan teknik kultur jaringan Lampiran B.
Dugaan ini diperkuat oleh Putra et al. 2013 yang menyatakan bahwa varietas tebu VMC 7616 dan PS 881 merupakan varietas tebu yang lebih rentan
dibandingkan dengan varietas lainnya. Selain itu faktor ketahanan varietas tebu juga berpengaruh terhadap munculnya gejala, sebagaimana pernyataan Balarabe et
al. 2014, bahwa beberapa tebu di Nigeria yang terinfeksi ScMV tidak menunjukkan gejala mosaik asymptom meskipun hasil deteksi dengan teknik ELISA
Gambar 4.5 Band DNA diduga gen cp ScMV a pada tanaman sorgum Numbu Hasil Propagasi serta pada tanaman sorgum b dan tebu c hasil inokulasi ulang
uji tular. Tanda negatif - artinya tidak diinokulasi dan tidak bergejala, tanda positif + diinokulasi dan bergejala
menunjukkan hasil positif. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah infeksi laten latent infection.
4.4 Analisis sekuens DNA