36
0.075 0.081
0.083 0.088
0.08 0.15
0.18 0.14
299.167
77.955 116.591
194.621
0.02 0.04
0.06 0.08
0.1 0.12
0.14 0.16
0.18 0.2
18 24
30 36
konsentrasi B
io m
asa g
l Eta
n o
l v
v
50 100
150 200
250 300
350
To ta
l gula g
l
biomasa Etanol
TG sisa
tinggi ditunjukkan pada konsentrasi 24, dengan demikian penelitian selanjutnya dengan menggunakan bioreaktor, akan dilakukan dengan konsentrasi substrat 24.
Gambar 13 Grafik perbandingan hasil akhir fermentasi pada berbagai tingkat konsentrasi pada jam ke-48.
4.4 Penelitian Utama
Etanol merupakan produk fermentasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat. Fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerob dengan
menggunakan khamir tertentu yang dapat mengubah glukosa menjadi etanol melalui tahap glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas Pathway. Dari satu molekul
glukosa akan terbentuk 2 molekul etanol dan 2 molekul CO
2
, sehingga berdasarkan bobotnya, secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilkan 0.51
gram etanol. Hal ini sesuai dengan persamaan berikut Judoamidjojo, 1990
C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
Monosakarida Etanol Karbondioksida
Penggunaan bioreaktor pada penelitian utama ini dimaksudkan untuk mendapatkan lingkungan yang sesuai agar mikroorganisme yang digunakan dapat
menghasilkan produk sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mendapatkan lingkungan yang sesuai, maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pH, suhu,
agitasi serta aerasi. Penelitian utama ini, dilakukan dengan sistem batch nirsinambung serta sistem fed batch semi sinambung. Pada kedua sistem
37
Tombol onoff
Fermentor Pengatur agitasi
Pengukur aerasi Layar penunjuk
parameter
Selang sampling Saringan aerasi
pH meter
fermentasi tersebut, dilakukan rekayasa bioproses pada aerasi dari bioreaktor. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yang aerobik dan anaerobik.
Gambar 14 Fermentor yang digunakan.
4.4.1 Fermentasi dengan Sistem Batch nir sinambung
Fermentasi dengan menggunakan sistem batch ini, dilakukan dengan menggunakan 3 perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama dilakukan dalam
keadaan normal, dimana proses fermentasi dijalankan dengan tidak melakukan rekayasa bioproses. Kondisi fermentasi dibuat sama dari awal hingga akhir
fermentasi dengan melakukan agitasi dan aerasi. Hal ini dilakukan selain sebagai pembanding perlakuan dengan rekayasa bioproses, juga dimaksudkan
untuk mengetahui keadaan fermentasi dengan menggunakan bioreaktor. Perlakuan kedua yang dilakukan yaitu, penghentian proses aerasi namun tetap
melakukan proses agitasi pada saat kondisi biomasa telah mencapai kondisi yang maksimal. Perlakuan ketiga yang dilakukan pada sistem batch ini adalah
dengan melakukan penghentian proses aerasi dan agitasi pada saat kondisi biomasa telah mencapai kondisi yang maksimal. Hasil dari proses fermentasi
yang dilakukan pada sistem batch ini dapat dilihat pada Gambar 15. Data dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 5.
38
A. Batch normal
2 3
4 5
6 7
8
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Waktu Fermentasi jam b
io mas
a g
l pH
50 100
150 200
250
to ta
l g u
la g
l
biomasa pH
TG
B. Batch stop aerasi
2 3
4 5
6 7
8
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Waktu Ferm entasi jam b
io m
asa g
l pH
50 100
150 200
250
to ta
l g u
la g
l
Biomassa pH
TG
C. Batch stop aerasi dan agitasi
2 3
4 5
6 7
8
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Waktu Fermentasi jam bi
om a
s a
g l
pH
50 100
150 200
250
to ta
l gu la
g l
biomasa pH
TG
Gambar 15 Perbandingan hasil fermentasi pada ketiga perlakuan dengan menggunakan sistem batch.
39
Pada Gambar 15 dapat terlihat bahwa pola pertumbuhan dari S. cerevisiae
yang digunakan hampir sama. Fase stasioner dari ketiga perlakuan mulai terjadi pada jam ke-18. Pada saat memasuki fase stasioner ini, nilai dari
biomasa mencapai kondisi yang paling maksimal, oleh karena itu untuk perlakuan kedua dan ketiga, rekayasa bioproses mulai dilakukan pada jam ke-
18. Pada perlakuan kedua dan ketiga, setelah dilakukan penghentian aerasi
serta agitasi, terlihat bahwa grafik biomasa menunjukkan keadaan yang relative konstan. Nilai biomasa yang konstan menunjukkan bahwa sel yang
ada dalam media sudah tidak bertambah. Namun subtrat yang digunakan semakin menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan sel tidak memanfaatkan
substrat untuk melakukan proses pertumbuhan serta peningkatan jumlah sel melainkan digunakan untuk pembentukan produk akhir. Penurunan jumlah
substrat yang digunakan pada media menunjukkan bahwa pada kondisi yang tidak terdapat suplai oksigen, khamir akan melakukan proses fermentasi yang
akan merubah gula menjadi alkohol dan CO
2
. Sedangkan pada kondisi yang terdapat oksigen, maka khamir akan melakukan respirasi dan akan mengubah
gula yang ada menjadi karbondioksida dan air Judoamidjojo et al. 1989. Pada ketiga perlakuan terjadi penurunan pH. Penurunan pH ini
kemungkinan disebabkan oleh akumulasi dari asam-asam yang dihasilkan pada fermentasi alkohol tersebut. Selain itu kemungkinan juga disebabkan
oleh penggunaan sumber N yang berupa NH
4 2
SO
4
. Menurut Wang et al, 1979, penurunan pH cairan fermentasi disebabkan oleh ionisasi H
+
dan penggunaan NH
4 2
SO
4
sebagai sumber nitrogen. Ammonium sulfat dalam larutan akan terdisosiasi menjadi ion NH
4 +
. Khamir mengkonsumsi senyawa ini untuk membentuk massa sel dalam
bentuk R-NH
3 +
dimana R adalah rantai karbon. Peningkatan NH
3 +
akan melepaskan ion H
+
ke lingkungannya sehingga selama fermentasi ion H
+
pada larutan akan semakin banyak dan mengakibatkan penurunan pH. Namun pada
perlakuan ketiga dimana dilakukan penghentian aerasi dan agitasi setelah jam ke-18 terlihat bahwa nilai pH cenderung konstan hingga akhir fermentasi. Hal
ini menunjukkan bahwa pada perlakuan ketiga, setelah jam ke-18, S.
40
cerevisiae sudah tidak melakukan proses metabolisme yang menghasilkan
asam. Selain pengaruh penggunaan NH
4 2
SO
4
sebagai sumber N, penurunan pH juga terjadi sebagai akibat dari terbentuknya senyawa asam-asam organik
selama proses fermentasi berlangsung. Asam-asam organik yang terbentuk diantaranya adalah asam laktat, asam asetat dan asam piruvat Wang et al.
1978. Asam piruvat merupakan salah satu jenis produk intermediet antara yang terbentuk selama proses fermentasi etanol. Asam piruvat dihasilkan dari
pemecahan glukosa pada siklus EMP pada sel S. cerevisiae. Untuk selanjutnya asam piruvat tersebut akan dirubah menjadi etanol pada keadaan anaerobik
oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada perlakuan pertama dan ketiga, pH akhir pada proses fermentasi
menunjukkan angka yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pH akhir pada perlakuan kedua masing-masing 2.5 dan 2.6. Nilai pH akhir pada
perlakuan kedua menunjukkan nilai 3.3. Nilai akhir pH pada proses fermentasi menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan nilai kadar etanol yang
terbentuk. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Narendranath and Power 2005, yang menyatakan bahwa pH medium mempengaruhi hasil
etanol yang diperoleh. Semakin rendah pH maka kadar etanol yang diperoleh juga akan semakin rendah.
Rendahnya nilai pH pada akhir fermentasi menunjukkan bahwa asam yang terbentuk pada akhir fermentasi semakin banyak dan menumpuk.
Penumpukan asam ini disebabkan oleh sel S. cerevisiae tidak dapat mengkonversi asam-asam tersebut terutama asam piruvat menjadi etanol. Hal
inilah yang menyebabkan kadar etanol yang diperoleh pada perlakuan dan pertaman lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan kedua yang nilai
akhir pH mencapai 3.3. Pada perlakuan kedua, nilai pH cenderung lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan pada perlakuan kedua tersebut, asam piruvat dimanfaatkan oleh sel S. cerevisiae untuk
membentuk etanol yang cenderung bersifat basa sehingga dapat meningkatkan nilai pH pada akhir fermentasi.
41
9.07 8.46
7.316 7.204
7.0632 10.27
14.318 22.273
1.524 2
4 6
8 10
12
normal stop aerasi
stop aerasi dan agitasi
Perlakuan Bi
o m
a sa
g l
et an
o l
v v
5 10
15 20
25
Tot a
l gula g
l
biomasa etanol
TG sisa
Lamanya waktu fermentasi yang mencapai 72 jam sesuai dengan acuan yang dikemukakan oleh Paturau 1981 yang menyatakan bahwa fermentasi
alkohol memakan waktu 30 – 72 jam sedangkan Presscoot Dunn 1981 juga menyatakan bahwa waktu fermentasi alkohol yang diperlukan adalah 3 –
7 hari. Semakin lamanya waktu fermentasi yang dilakukan diharapkan agar semakin lama kultur S. cerevisiae kontak dengan cairan fermentasi. Hal ini
diharapkan dapat meningkatkan konversi dari substrat yang digunakan menjadi produk akhir dalam hal ini etanol.
Gambar 16 menunjukkan perbandingan kondisi akhir dari ketiga perlakuan yang dilakukan pada sistem batch. Pada gambar tersebut, terlihat
bahwa nilai biomasa akhir dari ketiga perlakuan menunjukkan nilai tidak terlalu berbeda 7.063
±0.00453, 7.204±0.090, 7.316±0.081. Hal ini menunjukkan bahwa, pada sistem batch substrat yang ada selain digunakan
untuk membentuk produk juga digunakan untuk pembentukan serta penambahan jumlah sel.
Gambar 16 Perbandingan hasil akhir fermentasi sistem batch pada jam ke-72.
Pada perlakuan dengan keadaan normal, terlihat bahwa nilai total gula sisa menunjukkan angka yang paling kecil 1.524
±1.07 bila dibandingkan dengan kedua perlakuan yang lain 22.273
±3.212 dan 14.319±1.339. Hal ini
42
menunjukkan bahwa substrat gula digunakan secara maksimal oleh kultur S. cerevisiae
dalam melakukan proses fermentasi. Jika dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan, maka perlakuan kedua
dimana dilakukan penghentian aerasi setelah jam ke-18 menunjukkan nilai yang paling tinggi 10.27
±0.424 vv bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain 9.07
±0.735 dan 8.46±0.438 vv. Hal ini disebabkan karena pada saat penghentian aerasi, biomasa yang telah berada pada kondisi maksimum,
memanfaatkan substrat yang tersisa tidak untuk pembentukan sel lagi melainkan untuk pembentukan produk dalam hal ini etanol.
Kondisi ini sesuai dengan sifat dari khamir yang anaerobik fakultatif, dimana pada kondisi yang kandungan oksigennya tinggi, maka khamir akan
melakukan respirasi dan akan mengubah gula yang ada menjadi karbondioksida dan air. Sedangkan pada kondisi tidak ada oksigen, maka
khamir akan melakukan proses fermentasi dimana gula yang ada akan dirubah menjadi alkohol dan CO
2.
Nilai kadar etanol yang paling rendah didapatkan pada perlakuan dengan penghentian aerasi dan agitasi setelah jam ke-18 yaitu sebesar
8.46 ±0.438 vv. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena
dihentikannya proses agitasi dan aerasi, kondisi dalam reaktor berubah menjadi anaerobik. Namun dengan dihentikannya agitasi, maka substrat yang
terdapat dalam media tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh mikroorganisme. Dengan dihentikannya agitasi, maka biomasa yang ada
dalam bioreaktor akan mengendap ke dasar bioreaktor, sehingga sisa substrat yang ada tidak termanfaatkan. Menurut Sa`id 1985, fungsi utama dari aerasi
dan agitasi dalam suatu proses fermentasi adalah untuk mensuplai kebutuhan oksigen bagi aktivitas metabolik mikroorganisme, juga untuk mengaduk
mikroorganisme supaya tersuspensi secara homogen dalam larutan.
4.4.2 Fermentasi dengan Sistem Fed Batch semi sinambung
Sistem fed batch ini dilakukan dengan penambahan substrat baru ke dalam media fermentasi pada saat biomassa telah mencapai kondisi yang
maksimum. Yoshida et al. 1973, memperkenalkan istilah fed batch untuk
43
menggambarkan kultur curah dengan penambahan substrat secara kontinyu atau bertahap pada media tanpa pemindahan dari cairan kultur. Sehingga
volume dari kultur bertambah seiring dengan waktu. Sama halnya dengan sistem batch, pada sistem fed batch juga dilakukan
dengan 3 perlakuan. Namun pada sistem fed batch ini, setelah biomasa mencapai kondisi yang maksimal jam ke-18 dilakukan penambahan substrat.
Penambahan substrat ini dilakukan dengan menggunakan pompa peristaltik dengan kecepatan laju alir sesuai atau lebih kecil dari nilai
μ maks 0.01 jam
-1
dari kultur S. cerevisiae. Nilai laju alir pada sistem fed batch ini diatur hingga lebih kecil dari 0.01 mlmenit. Konsentrasi dari substrat yang ditambahkan
sama dengan konsentrasi awal dari substrat yang digunakan. Hasil fermentasi yang dilakukan pada sistem fed batch ditunjukkan oleh
Gambar 17. Dari ketiga perlakuan tersebut dapat terlihat bahwa pada awal fermentasi terjadi penurunan konsentrasi gula dari substrat yang ada. Hal ini
seiring dengan terjadinya fase eksponensial dari kultur S. cerevisiae. Penurunan konsentrasi total gula ini disebabkan pada fase eksponensial,
semua sel mempunyai kemampuan untuk berkembang biak Judoamidjojo et al.
1989 sehingga nutrien yang ada banyak digunakan untuk pertumbuhan serta pembentukan sel yang baru.
Setelah fase eksponensial selesai, terjadi fase stasioner dimana laju pertumbuhan akan menurun akibat persediaan substrat berkurang. Untuk
menghindari hal tersebut, maka penambahan substrat baru feed dalam bioreaktor dilakukan pada awal masa stasioner. Dengan demikian diharapkan
nutrien yang baru ditambahkan tersebut dapat digunakan oleh S. cereviceae untuk membentuk sel serta produk yang lebih banyak. Penambahan substrat
pada saat biomasa telah mencapai kondisi yang maksimal, diharapkan bahwa dengan jumlah sel yang telah banyak tersebut, maka dapat memanfaatkan
substrat yang ditambahkan pada media.
44
Gambar 17 Perbandingan hasil fermentasi pada ketiga perlakuan dengan menggunakan sistem fed batch.
A. Fed Batch Normal
2 3
4 5
6 7
8
6 12
18 24
30 36
42 48
54 60
66 72
Waktu Fermentasi jam bi
om a
s a
g l
pH
50 100
150 200
250
to ta
l g u
la g
l
Biomasa pH
TG
B. Fed batch stop aerasi
2 3
4 5
6 7
8
6 12 18
24 30
36 42 48
54 60 66
72
Waktu Fermentasi jam
bi om
a s
a g
l pH
50 100
150 200
250
to ta
l g u
la g
l
biomasa pH
tg
C. Fed batch stop aerasi dan agitasi
2 3
4 5
6 7
8
6 12
18 24 30 36
42 48 54 60
66 72
Waktu Fermentasi jam b
io m
as sa
g l
pH
50 100
150 200
250
to ta
l g u
la g
l
biomassa pH
TG
45
7.796 7.008
17.23 21.385
6.5904 13.275
88.56
11.288 12.803
5 10
15 20
25
normal stop aerasi
stop aerasi dan agitasi
Perlakuan Bi
o m
as a
g l
Eta n
o l
v v
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Tot a
l gula g
l
biomasa etanol
TG sisa
Pada perlakuan pertama dan kedua terlihat bahwa nilai konsentrasi biomassa yang cenderung konstan setelah penambahan substrat. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena konsentrasi dari substrat yang ditambahkan terlalu tinggi sehingga jumlah dari S. cerevisiae tidak bertambah. Menurut
Wang et al. 1979, bila konsentrasi substrat dalam larutan fermentasi terlalu tinggi maka akan mengakibatkan penghambatan pada pertumbuhan dari
mikroorganisme yang digunakan. Hal ini disebut dengan penghambatan oleh substrat substrate inhibition.
Gambar 18 Perbandingan hasil akhir fermentasi pada sistem fed batch pada jam ke-72
Konsentrasi glukosa yang tinggi dapat disebabkan oleh laju alir pemasukan substrat yang terlalu cepat. Terlalu cepatnya laju alir ini dapat
mengakibatkan tidak termanfaatkannya sisa substrat yang ada sehingga proses fermentasi tidak berlangsung dengan efisien. Menurut Wang et al. 1978, laju
dilusi oleh sel bebas harus diatur dibawah nilai laju pertumbuhan maksimum μ maks. Jika fermentasi dilakukan pada laju dilusi mendekati μ maks maka
akan menyebabkan pencucian wash out pada system batch. Lebih jauh
46
dikatakan bahwa semakin tinggi atau cepat laju dilusi maka kadar etanol semakin rendah karena dapat menyebabkan konsentrasi substrat dalam media
semakin tinggi yang dapat menyebabkan substrate inhibition. Namun bila laju dilusi sangat lambat maka kadar etanol dan biomasa juga akan semakin rendah
karena adanya pembatasan substrat. Untuk mencegah terjadinya kondisi substrat yang terlalu tinggi, dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama, menurunkan laju alir pemasukan substrat; kedua, menurunkan konsentrasi dari umpan substrat yang
dimasukkan, sehingga tidak terjadi penumpukan konsetrasi substrat yang tinggi.
Perlakuan ketiga memperlihatkan bahwa terjadi penurunan nilai konsentrasi biomasa setelah dilakukan penambahan substrat serta
penghentian aerasi dan agitasi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada perlakuan ini tidak dilakukan proses agitasi, sehingga biomassa pada cairan
fermentasi mengendap di bagian bawah fermentor. Pada kodisi ini, antara sel dengan substrat tidak terdapat kontak yang homogen sehingga substrat tidak
dimanfaatkan secara sempurna. Pada Gambar 18 selain nilai biomasa yang rendah, nilai total gula sisa
yang terdapat pada akhir fermentasi juga masih sangat tinggi yaitu 88.56
±3.275 gl. Menurut Judoamidjojo 1990, jika konsentrasi substrat terlalu tinggi dalam larutan fermentasi maka akan mengakibatkan waktu
fermentasi menjadi lebih lama dan sebagian gula tidak akan terkonversi. Selain itu jika konsentrasi substrat terlalu tinggi dapat menyebabkan
dehidrasi sel akibat larutan yang terlalu pekat. Selain pengaruh konsentrasi substrat yang terlalu tinggi, berkurangnya
nilai biomassa disebabkan tidak adanya agitasi yang terdapat pada sistem fermentasi. Menurut Stanbury Whitaker 1993, agitasi berfungsi untuk:
Meningkatkan luasan yang memungkinkan untuk transfer oksigen dengan cara menguraikan udara dalam cairan media ke dalam bentuk
gelembung–gelembung kecil; Memperlambat hilangnya gelembung–gelembung udara dalam cairan;
Melindungi penggabungan gelembung udara;
47
Menurunkan ketebalan lapisan cairan pada permukaan gascairan dengan cara melakukan gerakan putaran di dalam cairan media.
Pada sistem fed batch terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai kadar etanol bila dibandingkan dengan sistem batch. Kenaikan kadar etanol tersebut
terjadi pada semua perlakuan. Peningkatan terjadi dari 9.07 ±0.735 vv
menjadi 17.23 ±1.796vv untuk perlakuan pertama, 10.27±0.424 vv
menjadi 21.385 ±0.573 vv pada perlakuan kedua, dan 8.46±0.438 vv
menjadi 13.375 ±0.785 vv pada perlakuan ketiga. Peningkatan ini
menunjukkan bahwa substrat yang ditambahkan selain digunakan untuk membentuk sel juga digunakan untuk memproduksi etanol yang merupakan
produk metabolisme dari S. cereviceae. Hal yang sama juga diperoleh oleh Chandel et al. 2006 dimana
dikatakan bahwa dengan menggunakan sistem fed batch pada proses fermentasi etanol, dapat meningkatkan kadar etanol yang diperoleh. Pada
sistem batch, kadar etanol yang diperoleh sebesar 9.74 ±0.1 gl 1.227 vv
sedangkan dengan menggunakan sistem fed batch, kadar etanol yang diperoleh adalah 28.5
±0.46 gl 3.59 vv. Terjadi peningkatan kadar etanol sebesar 2.92 kali bila dibandingkan dengan sistem batch. Namun hasil yang
diperoleh oleh Chandel et al. 2006 masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini.
Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan dilakukannya rekayasa bioproses dapat meningkatkan konsentrasi etanol yang diperoleh. Rekayasa
proses yang dimaksud adalah pengaturan kondisi aerasi dan agitasi serta sistem fermentasi batch maupun fed batch.
4.5 Perhitungan Kinetika Fermentasi