Kesimpulan Analisis perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone : hubungan aspek biologi dan faktor lingkungan

Usaha pemanfaatan sumberdaya cakalang di kawasan perairan Teluk Bone umumnya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok ikan tersebut. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan oleh kapal dengan kapasitas 30 GT dan daerah penangkapannya hanya berjarak 2 – 4 mil dari fishing base, akan berdampak terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan yang ada disekitar wilayah pesisir. Kebijakan berupa alokasi upaya penangkapan dan penutupan area yang diterapkan pada sumberdaya cakalang tersebut tentunya perlu dilihat dari perspektiif jenis ikan pelagis lain terutama ikan-ikan pelagis kecil. Pengaruh implementasi kebijakan tersebut terhadap sektor ekonomi usaha penangkapan ikan di kawasan Teluk Bone perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini disebabkan oleh tidak berbedanya area-area bagi ikan-ikan pelagis tersebut dan aktivitas penangkapan kita yang bersifat multispesies. Pengelolaan pada sumberdaya multispesies tidak semudah pada perikanan monospesies. Hal ini karena eksploitasi pada stok multi spesies sangat dipengaruhi oleh aspek biologi dan teknologi. Adanya interaksi antar spesies yang komposisinya di alam dipengaruhi oleh persaingan terhadap makanan, adanya predator dan ikan yang menjadi makanannya yang apabila komposisinya berubah akan mempengaruhi dan mengubah pula komposisi yang ada. Secara teknologi mengubah ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan dari semua spesies ikan yang tertangkap jaring tersebut yang tentunya perubahan jumlah komposisi ikan tangkapannya tidaklah selalu proporsional dengan komposisi stok ikan di habitatnya. Bisa terjadi suatu keadaan di mana salah satu jenis mengalami overexploited sementara jenis lainnya underexploited Murdiyanto, 2004.

7.6 Kesimpulan

1 Alokasi hasil tangkapan yang layak tangkap untuk pengelolaan cakalang di kawasan Teluk Bone berdasarkan prinsip keberlanjutan dan kehati-hatian pada masing-masing zona adalah di Zona Utara 573 tontahun, Zona Tengah 5.820 tontahun dan Zona Selatan 2.210 tontahun. Secara keseluruhan, jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan JTB untuk seluruh teluk Bone adalah 8.600 ton per tahun. 2 Alokasi upaya trip penangkapan optimum pada Zona Utara alat tangkap pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 115 unit ; Zona Tengah alat tangkap pole and line sebear 5.293 unit, jairng insang hanyut sebesar 1.048 unit dan pancing tonda 1.486 unit; dan Zona Selatan alat tangkap pole and line sebesar 1.768 unit, purse seine sebesar 1.019 unit, jaring insang hanyut sebesar 377 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit. Secara keseluruhan, total maksimum upaya penangkapan cakalang di teluk Bone adalah setara 5.376 trip operasi pole and line. 3 Pola musim penangkapan cakalang dilakukan sepanjang tahun namun musim penangkapan untuk cakalang layak tangkap di Zona Utara dari bulan April hingga Desember; di Zona Selatan dari bulan Februari hingga Desember dan di Zona Selatan dari bulan Maret sampai Desember. Puncak penangkapan cakalang di Teluk Bone berlangsung dari bulan Oktober sampai Desember setelah diduga ikan melakukan reproduksi. 4 Berdasarkan hasil penelitian tentang struktur ukuran ikan kecil yang tertangkap oleh alat pole and line diketahui bahwa ukuran ikan berukuran kecil dan belum layak tangkap banyak dijumpai pada bulan Januari sampai Maret untuk Zona Utara, bulan Januari di Zona Tengah dan bulan Januari sampai Februari di Zona Selatan. 5 Pemijahan ikan cakalang berlangsung sekitar bulan Oktober sehingga perlu penutupan area penangkapan ikan secara sementara terutama pada daerah spawning ground dan nursery ground ikan. 8 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan letaknya yang pada bagian selatan berbatasan dengan laut Flores, karakteristik perairan Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh laut ini. Arus permukaan di Teluk Bone sangat dipengaruhi oleh pola arus permukaan laut Flores. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Hidrologi dan Oceanografi Angkatan laut 1990 diacu dalam Farhum 2006 di laut Flores dan Tteluk Bone diperoleh sirkulasi arus permukaan yang sama setiap bulan. Pola arus permukaan di laut Flores mengalami perubahan total 2 kali setahun sesuai dengan perkembangan musim. Pada musim Barat Desember – Pebruari arus permukaan berasal dari arah Barat Laut Jawa mengalir ke arah Timur Laut Banda melewati Laut Flores. Memasuki musim peralihan pertama Maret - Mei, arah arus tidak menentu. Pada bulan Maret arus permukaan pada bagia Selatan Laut Flores masih mengalir dari laut jawa menuju laut Banda, sedangkan pada bulan April - Mei arah arus sudah tidak menentu Wyrtki 1961. Pada musim Timur Juni - Agustus, arus permukaan di laut Flores dan Teluk Bone kembali memperlihatkan pola yang tetap. Pada bulan Mei arus permukaan berasal dari arah timur Laut Banda mengalir ke arah Barat Laut Jawa melalui laut Flores sebelah Utara Teluk Bone. Pada awal musim peralihan kedua, arah arus permukaan pada sebelah utara laut Flores masih seperti pada musim Timur, namun pada bulan Oktober - Nopember arah arus permukaan disebelah utara laut Flores menunjukkan pola yang tidak menentu. Kisaran nilai tinggi gelombang perairan Teluk Bone adalah 0,3-1,5 m, dengan peluang kejadian 0,2-79 , sedangkan panjang gelombangnya berkisar antara 21,3-60,4 m. Dari kisaran nilai tinggi gelombang tersebut, peluang terbesar 79 dapat terjadi pada nilai kisaran tinggi gelombang 0,5-1,0 m Farhum 2006 Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang kondisinya lebih terbuka dari arah Tenggara, sedangkan pada arah Barat dan sebagian Timur terhalang oleh daratan P. Sulawesi. Dengan demikian gelombang yang terbentuk umumnya terjadi pada saat angin bertiup dari arah Tenggara angin pasat Tenggara dan angin Timur yang terjadi pada musim timur dan peralihan II. Pada waktu tersebut, gelombang yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan 2 musim lainnya. Berdasarkan kondisi teluk tersebut, maka dalam rangka pengelolaan kawasan perairan Teluk Bone selayaknya dibagi dalam 3 zona, yaitu Utara, Tengah dan Selatan. Zona Utara perairannya lebih hangat dibandingkan Zona Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 C, Zona Tengah yang pengaruh massa air laut Flores moderat memiliki rata-rata SPL 29,94 C dan Zona Selatan yang pengaruh massa air laut Flores besar hanya memiiki SPL rata-rata 29,33 C. Hal ini terlihat bahwa peran massa air laut Flores yang suhunya lebih dingin terhadap sebaran suhu di Teluk Bone cukup besar. Suhu air yang tinggi di Zona Utara juga dapat disebabkan oleh pemanasan sinar matahari yang mencapai kondisi maksimal sebagai akibat dari dangkalnya perairan di Zona Utara, Pada Zona Utara massa air dingin yang masuk dari laut Flores mulut teluk relatif kecil. Sebagaimana diketahui bahwa massa air di Zona Selatan lebih dingin hal ini dipengaruhi oleh angin munson. Secara bergatian antara angin musim Timur dan angin Barat menyebabkan arah aliran massa air berbeda yang berdampak terhadap perubahan SPL. Nilai SPL di seluruh zona dalam kawasan Teluk Bone mengalami titik terendah pada musim Timur Juni-Agustus, Hal ini berkaitan dengan suhu dingin yang berasal dari Laut Banda, di mana pada musim Timur tersebut suhu permukaan air laut Banda mencapai titik terendah yaitu 26,5 C dan massa air yang dingin ini bergerak dari arah Timur Laut Banda mengalir ke arah Barat Laut Jawa melalui laut Flores sebelah Utara Teluk Bone. Selain itu pada musim Timur juga terjadi proses up welling di laut Banda Susanto et al. 2006 diacu dalam Tubalawony et al. 2008. Penaikan massa air menyebabkan massa air yang dingin pada lapisan bawah akan terangkat naik, menyebabkan SPL pada bagian permukaan lebih dingin atau lebih rendah dibandingkan pada musim-musim lain. Massa air yang dingin tersebut melewati laut Flores dan masuk ke kawasan Teluk Bone sehingga SPL di seluruh zona rendah terutama di Zona Selatan. Suhu perairan akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a di setiap zona. Rata-rata konsentrasi klorofil-a selama penelitian di Zona Utara dalam kurun waktu 2 tahun 2006 dan 2007 diperoleh 0,37 mgm 3 , Zona Tengah memiliki rata-rata klorofil-a 0,27 mgm 3 dan Zona Selatan memiiki SPL rata-rata 0,23 mgm 3 . Hal ini menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih subur dibandingkan dengan Zona Tengah dan Zona Selatan. Rendahnya kandungan klorofil-a di Zona Tengah dan Selatan berhubungan dengan kandungan nitrat dan fosfat di masing-masing zona. Nitrat dan fosfat di Zona Selatan dipengaruhi oleh arus dalam yang kuat menyebabkan nitrat dan fosfat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian Selatan mulut teluk yang bergerak ke arah Utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Nilai nitrat yang diperoleh di Teluk Bone bervariasi yaitu berkisar antara 0,12 ppm - 0,796 ppm, sedangkan nilai kandungan fosfat berkisar antara 1,152 - 0,5 ppm Wagey et al. 2004. Kedua nutrien tersebut merupakan unsur yang sangat dibutuhkan oleh klorofil-a dalam proses fotosintesis. Laju penyerapan fitoplankton terhadap nitrogen NO3 - dan urea tergantung pada pencahayaan. Perbedaan penyerapan nutrien di daerah front dengan perairan terstratifikasi disebabkan karena perbedaan cahaya Cohlan et al. 1991. Hasil citra tentang bathymetri Teluk Bone menunjukkan bahwa di Zona Utara perairannya lebih dangkal di bandingkan Zona Tengah dan Selatan sehingga menyebabkan suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a lebih tinggi akibat penetrasi sinar matahari hampir menembus kolom air sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Menurut Syafruddin dan Zainuddin 2008 menyatakan bahwa kondisi bathymetri memberikan informasi mengenai tingkat kedalaman suatu perairan dan topografi lautnya. Kondisi ini mempunyai hubungan dengan keadaan sirkulasi air misalnya peristiwa pusaran arus eddy, daerah front pertemuan dua massa air laut yang berbeda tipe dan area upwelling naiknya massa laut ke permukaan yang diikuti oleh naiknya zat makanan yang penting untuk ikan yang sangat penting untuk menemukan daerah yang potensial untuk menangkap ikan. Kandungan klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan food chain, kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama zooplankton maupun oleh konsumen tingkat kedua ikan-ikan pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis pelagic fish species. Konsentrasi klorofil-a sangat menentukan laju produktivitas primer suatu perairan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan VGPM diperoleh bahwa kandungan rata-rata produktivitas primer yang diperoleh di Zona Utara dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 547,31 mgCm 2 thn dan 585,34 mgCm 2 thn , di Zona Tengah dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 445,97 mgCm 2 thn dan 433,53 mgCm 2 thn sedangkan di Zona Selatan dalam tahun 2006 dan 2007 adalah 449,38 mgCm 2 thn dan 365,68 mgCm 2 thn . Hal ini berarti bahwa kandungan produktivitas di Zona Utara lebih tinggi di bandingkan Zona Tengah dan Selatan. Hasil penelitian yang diperoleh hampir sama dengan yang didapatkan oleh Masrikat 2009 sebesar 341,55 – 702,61 mgCm 2 thn yang melakukan penelitian di LCS Indonesia, sedangkan hasil penelitian Kasma et al. 2008 sedikit lebih rendah dengan kisaran 73,22 – 658,57 mgCm 2 day yang melakukan penelitian di Samudera Hindia. Produktivittas primer 400 mgC m -2 thn -1 dikategorikan tinggi Platt et al 1995 diacu dalam Masrikat 2009. Dengan demikian bahwa produktivitas primer yang diperoleh selama penelitian termasuk dalam kategori yang tinggi kecuali di Zona Selatan tahun 2007. Penelitian ini menunjukkan nilai produktitivitas primer tertinggi antara bulan Juni –Setember munson Tenggara pada keseluruhan zona. Pada Zona Utara, Tengah dan Selatan tahun 2006 dan 2007 diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 471,04 - 721,06 mgCm 2 thn , 491,80 - 530,85 mgCm 2 thn , 462,90 - 588,87 mgCm 2 thn dan 537,15 - 850,19 mgCm 2 thn , 476,95 - 570,21 mgCm 2 thn , 392,52 - 504,22 mgCm 2 thn . Hal yang sama diperoleh pula oleh Kasma et a.l 2008, dari hasil penelitiannya menemukan bahwa nilai produktivitas primer lebih tinggi pada munson Tenggara dibandingkan munson Barat Laut. Hal ini disebabkan karena pada munson Tenggara suhu udara lebih dingin dibandingkan munson Barat Laut. Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju pengendapan sel- sel fitoplankton itu sendiri Gabric and Parslow 1989. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman di mana konsentrrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Sejalan dengan hal itu, Matsumura et al. 1997 berdasarkan hasil penelitiannya di bagian Timur Lautan Hindia menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit, dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada lagi klorofil-a di bawah lapisan termoklin. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin munson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal di mana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh konsentrasi klorofil-a tertinggi pada Munson Tenggara, di mana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Munson Barat Laut. Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua munson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti, diantaranya Monk et al 1997 diacu dalam Masrikat 2009 menyatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg m -3 , sedangkan selama musim Barat sebesar 0,16 mg m - 3 dan selama musim timur 0,21 mg m -3 . Tingginya kandungan klorofil-a dan produktiviitas primer meningkatkan pula biomas cakalang pada seluruh lokasi penelitian lampiran 27, 28 dan 29. Hal ini disebabkan karena ketersediaan makanan yang cukup untuk memproduksi ikan pada level yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Nybakken 1982 bahwa persediaan makanan yang melimpah berpengaruh nyata terhadap produksi yang dikenal dengan efisiensi ekologi. Pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar dari 10 – 20 pada lima tingkatan tropik Schaefer 1965 diacu dalam Parson et al. 1984. Diantara setiap tingkatan tropik ada mata rantai yang digolongkan sebagai mata rantai pemindahan atau mata rantai modulasi perpindahan. Nutrien ditransfer untuk produksi dan laju reproduksi alga diatur oleh konsentrasi nutrien pada tingkatan yang rendah. Perairan teluk digolongkan kedalam perairan coastal, sehingga nilai efisiensi ekologinya 15 dan tingkatan tropik level maksimum 3 Tabel 35. Cakalang yang hidup di dalam kawasan Teluk Bone tingkatan tropik levelnya adalah 3, sedangkan pada perairan oceanic bisa lebih besar dari 3. Menurut Kitchell et al 1999 diacu dalam NRC 2006 menyatakan bahwa cakalang yang hidup di Samudera Pacifik Bagian Tengah dalam sistem jaring makanan food web berada pada tingkatan tropik level 4 di bawah ikan dari jenis Blueshark, Swordfish dan Bluemarlin. Tabel 36 Estimasi produksi ikan di tiga lingkungan laut Ryther 1969 diacu dalam Lalli dan Parson et al. 1997 Lingkungan Laut Rata-rata produktivitas primer gCm 2 thn Tingkatan tropik Efisiensi ekologi Produksi ikan mgCm 2 thn Lautan 50 5 10 0,5 Coastal 100 3 15 340 Upwelling 300 1,5 20 36.000 Tingginya nilai produktivitas primer tidak berhubungan dengan produksi hasil tangkapan cakalang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi cakalang di Zona Utara tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 3.744,8 ton dan 3.585,3 ton, di Zona Tengah tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 10.221,9 ton dan 9.380 ton serta di Zona Selatan pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 4.537,2 ton dan 7.449 ton. Hal yang sama diperoleh Kasma et al. 2008 yang menyatakan bahwa jumlah ikan hasil tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan, dengan koefisien korelasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil r = 0.008. Demikian juga yang diperoleh Silvia 2009, yang melakukan penelitian di perairan Mentawai menyatakan bahwa peningkatan klorofil-a tidak berpengaruh terhadap produksi ikan cakalang dari hasil tangkapan. Hal ini didukung oleh uji statistik yang tidak signifikan. Jika dibandingkan produksi hasil tangkapan dengan biomas berdasarkan perhitungan dengan VGPM, maka nilai biomas bedasarkan VGPM jauh lebih kecil, hal ini menunjukkan bahwa cakalang dikawasan Teluk Bone banyak menerima pasokan dari Laut Flores terutama pada Zona Tengah dan Selatan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Prasetyo dan Suwarso 2010 yang memperoleh produksi ikan Layang di Selat Makassar yang dihitung berdasarkan VGPM jauh lebih tinggi dibandingkan kelimpahan hasil tangkapan kelimpahan aktual. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan fishing ground. Pada umumnya, selama ini sebagian nelayan masih menggunakan pengalamannya dan pengamatan terhadap tanda- tanda alam secara konvensional dengan mengandalkan kemampuan panca inderanya. Ketidaksediaan informasi stok sumberdaya ikan laut mengakibatkan upaya effort yang besar dan minimnya pemahaman terhadap pola migrasi ikan juga mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang berlebih over fishing di suatu daerah. Apabila hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka kelestarian sumberdaya ikan akan terganggu, sehingga diperlukan teknologi yang memadai sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat efisien dan efektif. Metode dalam mengestimasi potensi dengan menggunakan data citra satelit mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Metode penginderaan jauh dengan pendugaan berdasarkan klorofil-a dan Pp eu terbatas hingga batas kedalaman penetrasi cahaya zona eufotik dimana fotosintesis dapat berlangsung. Walaupun dapat menduga ikan dan kelompok ikan hingga kedalaman tertentu, namun terbatas pada jenis ikan apa yang terdeteksi. Jika dibandingkan dengan metode percobaan penangkapan experimental fishing dengan penyapuan area menggunakan trawl, dapat secara langsung mengetahui sumberdaya ikan di perairan tersebut, namun terbatas pada ikan demersal dan pada area yang sempit. Sehingga keterpaduan dalam menduga potensi ikan sangatah akurat jika menggabungkan beberapa metode sekaligus dalam suatu penelitian. Pada struktur ukuran cakalang yang tertangkap dengan alat tangkap pole and line menunjukkan di Zona Utara ukuran kecil belum layak tangkap berlangsung dari bulan Januari hingga bulan Maret, di zona Tengah hanya bulan Januari dan di Zona Selatan bulan Januari hingga Februari. Perubahan ukuran menjadi lebih besar selama kurang lebih 2 bulan di zona Utara memberikan inidikasi terjadinya migrasi atau perpindahan cakalang yang umumnya berukuran lebih besar ke Zona Utara yang dimulai setelah bulan April terutama yang berasal dari zona Tengah Gambar 39. Migrasi cakalang ini kemungkinan berhubungan dengan adanya peningkatan klorofil-a yang dimulai dari bulan April sebesar 0,34 mgm 3 manjadi 0,36 mgm 3 pada bulan Juni dan 0,38 mgm 3 pada bulan Juli sehingga ketersedian makanan di Zona Utara yang lebih banyak dibanding Zona Tengah, hal ini terlihat dari konsentrasi rata-rata klorofil-a di Zona Utara yang mencapai 0,3-0,7 mgm 3 dan di Zona Tengah hanya mencapai 0,2- 0,3 mgm 3 . Klorofil-a merupakan faktor yang dapat memberikan indikasi langsung keberadaan makanan ikan maupun jalur wilayah migrasi ikan tuna Polovina et al. 2001. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofi-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Selatan berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produksi adalah ikan cenderung tersebar pada kondisi SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produksi namun dari seluruh tipologi terlihat bahwa keberadaan ikan berada pada SPL yang rendah pada klorofil-a tinggi. Tipologi pada kategori musim di Zona Tengah menunjukkan keberadaan ikan cenderung berada pada klorofil-a dan SPL yang rendah maupun tinggi. Kecenderungan keberadaan cakalang dari parameter statistik pada kategori musim menunjukkan SPL rendah sampai tinggi dengan konsentrasi klorofil-a rendah maupun tinggi. Hasil yang diperoleh bahwa tidak ada perbedaan pola penyebaran ikan pada katergori musim dan kalender hubungannya dengan produksi ikan. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan dalam kurun waktu 2 tahun cenderung ditentukan oleh klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL yang tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah pada kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi pada klorofil-a rendah sampai tinggi pula. Penyebaran ikan di Zona Utara berdasarkan kategori kalender hubungannya dengan produtivitas menunjukkan keberadaan ikan pada kategori kalender di Zona Selatan cenderung pada klorofil-a rendah pada SPL rendah sampai tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Utara berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produtivitas cenderung ikan berada pada klorofil-a tinggi dan SPL tinggi. Penyebaran cakalang di Zona Tengah berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas menunjukkan kecenderungan keberadaan ikan pada SPL rendah sampai tinggi dan klorofil-a rendah sampai tinggi dan penyebaran ikan di Zona Selatan berdasarkan kategori musim hubungannya dengan produktivitas adalah pada klorofil-a rendah sampai tinggi pada SPL rendah Penyebaran cakalang di Teluk Bone merupakan pengaruh dari beberapa faktor fisik biologi lingkungan seperti yang telah dijelaskan. Faktor lingkungan lain yang mempengaruhi pola sebaran cakalang adalah salinitas. Nilai salinitas hampir sama pada masing-masing zona Utara, Tengah dan Selatan. Namun berbeda antara musim Timur dan Barat. Gambar 22. Perbedaan variabilitas salinitas antara perairan pantai inshore dengan lepas pantai offshore terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai runoff yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan Simbolon 2011. Penyebaran ikan cakalang berdasarkan ukuran ikan layak tangkap menunjukkan bahwa pada kuartal ke IV rata-rata ikan telah layak tangkap pada seluruh zona Utara, Tengah dan Selatan dan melimpah. Ikan layak tangkap lainnya berada pada kuartal ke II dan ke III hanya saja saja kelimpahannya sedang kecuali di Zona Selatan, ikannya melimpah. Ikan tidak layak tangkap umumnya berada pada kuartal I pada seluruh zona meskipun keberadaannya tidak melimpah dan tidak kurang. Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu kuartalan dapat dilihat pada Gambar 84. Gambar 84 Penyebaran ikan cakalang layak tangkap berdasarkan zona dan waktu kuartalan di kawasan Teluk Bone Tahun 2007 Fluktuasi kelimpahan ikan di laut adalah suatu gejala umum, karena ikan cenderung berada atau terkonsentrasi pada kondisi lingkungan sesuai aktivitas, di mana faktor lingkungan ikan berkaitan dengan faktor biologi dan fisik Laevastu dan Hayes 1981; Nybakken 1982. Namun dalam teori penangkapan menunjukkan bahwa populasi ikan akan berubah dengan meningkatnya upaya Utara Tengah Selatan Kuartal I II III IV Keterangan : : Ikan layak tangkap dan melimpah : Ikan layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang : Ikan layak tangkap dan tidak melimpah : Ikan tidak layak tangkap tidak melimpah dan tidak kurang Zona penangkapan. Sehingga fluktuasi populasi ikan merupakan fungsi dan besaran populasi dan kapasitas lingkungan. Kapasitas lingkungan berkaitan dengan rekruitmen dan mortalitas alami, di mana keseimbangan populasi akan berubah dengan meningkatnya intensitas penangkapan Rounsefell 1975 diacu dalam Nelwan 2010. Metode dalam penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menjelaskan pengelolaan perikanan tangkap cakalang dalam kawasan teluk pada zona penangkapan yang memiliki karakteristik berbeda yang berkaitan dengan perubahan kondisi oseanografis. Penelitian ini juga penting dalam menjelaskan fenomena perubahan kondisi oceanografi menggunakan parameter statistk dengan pendekatan skala waktu yang berbeda. Ketersediaan data produksi hasil tangkapan dalam periode bulanan akan lebih baik untuk menjelaskan hubungan kondisi occenografi dengan produksi, sehingga perubahan keberadaan dan distribusi cakalang dapat terpantau dengan baik. Dalam rangka pengelolaan perikanan tangkap cakalang di kawasan Teluk Bone, Zona Utara diduga merupakan daerah nursery area. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa panjang ikan yang tertangkap dengan ukuran terkecil adalah 29,0 cm dimana pada ukuran tersebut masih dikategorikan sebagai juvenil dari cakalang. Sebagaimana pendapat Mori 1971 diacu dalam Matsumoto et al. 1984 bahwa ukuran juvenil cakalang berkisar antara 1,4-30 cm dan pada daerah di mana juvenil cakalang diperoleh akan ditemukan pula larvanya. Hanya saja penyebaran juvenil jauh lebih luas dari penyebaran larvanya. Hal ini dapat disebabkan karena juvenil cakalang meninggalkan spawning area seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan mobilitas. Dalam upaya pengelolaan maka perlu dilakukan pembatasan upaya penangkapan terutama pada saat setelah pemijahan berlangsung dan penutupan sementara wilayah nursery ground yang berada di Zona Utara dalam bentuk kebijakan sehingga tidak berdampak negatif terhadap sumberdaya tersebut. Saat ini pemerintah Indonesia sedang meningkatkan peranan sumberdaya pesisir dan lautan sebagai sumber pertumbuhan devisa negara, sehingga eksploitasi sumberdaya pesisir dan kelautan ini, diusahakan agar dapat meningkatkan perekonomian seluruh rakyat, terutama nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir. Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang memiliki peran dalam ruang lingkup kebijakan pembangunan secara umum, khususnya disektor perikanan dan kelautan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiattan perikanan tangkap oleh masyarakat perikanan, dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik disemua lapisan. Mengingat wilayah perairan laut yang sangat luas dengan potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Tentunya akan sangat bermanfaat jika dikelola dengan baik. Salah satu bentuk pengelolaan yang kini diterapkan oleh pemerintah melalui pembagian wilayah pengelolaan perikanan WPP. Teluk Bone, Selat Makassar dan Laut Flores merupakan salah satu wilayah pengelolaan tersebut. Dengan data dan informasi mengenai kondisi wilayah laut dan status potensi sumberdaya ikan di wilayah ini, diharapkan dapat membantu nelayan, pelaku industri perikanan dan kelautan dalam merencanakan usaha perikanan. Khususnya kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan, diharapkan dapat menetapkan aturan dan kebijakan sehingga potensi sumberdaya ikan yang ada dapat terjaga dan lestari. Di samping itu pula kebijakan mengenai penangkapan sumberdaya ikan pelagis perlu mendapat perhatian, mengingat sumberdaya ini sekarang berada pada status kelebihan tangkap. 9 KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan