Konflik Agama dalam Film (Analisis Semiotik pada Film "cin(T)a" Karya Sammaria Simanjuntak)

(1)

i

Konflik Agama dalam Film

(Analisis Semiotik pada Film “cin(T)a” Karya Sammaria Simanjuntak)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh :

Dian Muyasaroh

06220045

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama

: Dian Muyasaroh

NIM

: 06220045

Jurusan

: Ilmu Komunikasi

Fakultas

: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi :

Konflik Agama dalam Film (Analisis Semiotik pada Film

“cin(T)a” Karya Sammaria Simanjuntak)

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Sugeng Winarno, MA

Dr. Achmad Habib, MA

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(3)

(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Dian Muyasaroh

Tempat, tanggal lahir

: Balikpapan, 16 Februari 1988

Nomor Induk Mahasiswa

: 06220045

Fakultas

: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan

: Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul:

Konflik Agama dalam Film

(Analisis Semiotik pada Film “cin(T)a” Karya Sammaria Simanjuntak)

Adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun

seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya

dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila

pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Malang, 20 April 2011

Yang Menyatakan,


(5)

v

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama

: Dian Muyasaroh

NIM

: 06220045

Jurusan

: Ilmu Komunikasi

Fakultas

: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi :

Konflik Agama dalam Film (Analisis Semiotik pada Film

“cin(T)a” Karya Sammaria Simanjuntak)

Pembimbing : 1. Sugeng Winarno, MA

2. Dr. Achmad Habib, MA

Kronologi Bimbingan

Tanggal

Paraf

Pembimbing 1

Paraf

Pembimbing 2

Keterangan

30 September 2010

Acc. Judul

12 November 2010

Acc. Proposal

25 November 2010

Seminar Proposal

29 Desember 2010

Acc. BAB I

16 Maret 2011

Acc. BAB II

24 Maret 2011

Acc. BAB III

1 April 2011

Acc. BAB IV

18 April 2011

Acc. Seluruh Naskah

Malang, 20 April 2011

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II


(6)

vi

Aku tidak tahu takdir apa yang terjadi pada ku besok,,

Sebelum aku melaluinya,,

Karena itulah aku tidak ingin menyerah....


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,

hidayah, kekuatan, kasih sayang-Nya serta yang terbaik kepada peneliti sehingga

dapat menyelesaikan skripsi berjudul

Konflik Agama dalam Film (Analisis

Semiotik pada Film cin(T)a Karya Sammaria Simanjuntak)

,

sebagai syarat untuk

meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Membicarakan dan mendiskusikan film terlebih dahulu kita mengetahui

esensi dasar dari film tersebut. Film adalah media pesan dan film merupakan sarana

yang cocok dalam menanamkan fungsi komunikasi massa. Film sebagai kajian

komunikasi memiliki keunggluan yang sempurna dalam melibatkan berbagai pesan

komunikasi. Film dalam kekuatannya dapat di fungsikan sebagai unsur pembentuk

budaya masyarakat.

Dimana unsur pemaknaan dan simbolisasi muncul sebagai proses eksistensi

diri. Begitu pula dengan agama. Agama memiliki sensitivitas yang sangat tinggi

karena menyangkut keyakinan yang amat dalam dan bersifat transendental dalam diri

seseorang sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik karena setiap orang memiliki

egonya masing-masing, seperti yang terdapat dalam film “cin(T)a” dimana konflik

agama terjadi pada dua tokoh utama yang berbeda agama namun dalam film tersebut

konflik agama dicampur dengan unsur cinta antar manusia dan ketaatan terhadap

Tuhan. Dalam hal ini Peneliti memilih menggunakan analisis semiotik untuk

mengetahui bentuk visualisasi konflik agama dalam film tersebut.

Dengan tulus hati, peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada

Bapak Sugeng Winarno, MA dan Bapak Dr. Achmad Habib, MA selaku dosen

pembimbing atas arahan, kesempatan, dukungan, kepercayaan, perhatian, dan

kesabaran selama proses bimbingan sampai skripsi ini dapat diselesaikan.

Terimakasih kepada Bapak M. Himawan Sutanto, M.Si selaku dosen penguji I dan


(8)

viii

Bapak Nurudin, M.Si selaku dosen penguji II atas sumbangan pikiran dalam menguji

skripsi penulis.

Terima Kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada dua harta berharga

yang tidak akan tergantikan dalam hidup saya, Bapak Suwadi dan Ibu Kasihati yang

selalu memberikan semangat, dorongan, motivasi moril maupun materiil juga dengan

segala kesabarannya menghadapi segala keluh kesah, tangisan bahkan kemarahan

saya.

Kepada perempuan-perempuan hebat yang selalu menjadi semangat bagi saya,

Dessy, Ipeh, Nurul dan Muzay terima kasih buat semua waktu yang kalian berikan

buatku.

Kawan-kawan KINE KLUB UMM, terima kasih buat semua

pengalaman-pengalamannya dan berharap persahabatan ini seperti film yang selalu bisa dikenang.

Terima kasih pula buat kawan-kawan seperjuangan di IKOM A ’06, yang selalu

memberikan warna dan keceriaan. Buat Mba Vindy, Septy, Rifai, Santi, Peponk,

Yuni, Kordes, Cipruet, Aldo, Dedi, Agung, Budi, terima kasih buat doa, waktu,

dukungan, dan semua canda tawa kalian. Serta seluruh pihak yang tidak bisa

disebutkan satu persatu. Terimakasih.

Peneliti berharapan tentunya karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Peneliti sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang jauh dari kesempurnaan, dengan rendah

hati mengakui banyak kekurangan di dalam naskah ini sehingga saran dan kritik

sangat diharapkan agar kelemahan yang ada dapat dikurangi.

Malang, 27 April 2011

Penulis


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

i

LEMBAR PERSETUJUAN ...

ii

LEMBAR PENGESAHAN ...

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ...

iv

BERITA ACARA BIMBINGAN ...

v

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

vi

ABSTRAKSI ...

vii

ABSTRACT ...

ix

KATA PENGANTAR ...

xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ...

xv

DAFTAR TABEL ... xvii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ...

1

B.Rumusan Masalah ...

6

C.Tujuan Penelitian ...

6

D.Manfaat Penelitian ...

7

E.Tinjauan Pustaka ...

7

E.1.Penelitian Terdahulu. ...

7

E.2.Film sebagai Media Komunikasi Massa. ...

9

E.3.Konflik...

12

E.3.1.Definisi Konflik...

12

E.3.2.Jenis-jenis Konflik. ...

13

E.3.3.Faktor Penyebab Konflik. ...

18

E.3.4.Teori Konflik. ...

19

E.3.5.Teori-teori Penyebab Konflik. ...

22

E.4.Agama. ...

23

E.4.1.Definisi Agama. ...

23

E.3.2.Fungsi-fungsi Agama. ...

25

E.5.Konflik Agama di Dunia ...

26

E.6.Konflik Agama di Indonesia. ...

27

E.6.1.Dari Masa Kolonial sampai Sekarang. ...

27

E.7.Kompleksitas Etnik Cina dan Jawa ...

33

E.8.Semiotika sebagai teori tentang tanda.. ...

36


(10)

x

F.1 Pendekatan Penelitian. ...

39

F.2 Ruang Lingkup Penelitian ...

40

F.3 Unit Analisis ...

40

F.4 Teknik Pengumpulan Data ...

40

F.5 Tehnik Analisa Data ...

41

BAB II PEMBAHASAN

A.Film “cin(T)a”...

43

A.1.Sekilas tentang Film “cin(T)a” ...

43

A.2.Sinopsis Film “cin(T)a” ...

45

A.3.Data Filmaker dan Pemeran film ”cin(T)a” ...

48

A.4.Profil Muhammad Adi Panuntun...

49

A.5. Sammaria Simanjuntak ...

51

A.5.1.Profil Sammaria Simanjuntak. ...

51

A.5.2.Karya yang dihasilkan Sammaria Simanjuntak. ...

53

A.5.3.Penghargaan yang diraih. ...

53

A.5.4. Sammaria Simanjuntang dan cin(T)a. ...

53

A.6.Respon Masyarakat dan Komunitas Film terhadap Film Ini ...

55

A.7.Karakter Tokoh ...

58

A.7.1.Cina ...

58

A.7.2.Annisa...

58

BAB III ANALISIS DATA

A.Analisis Semiotik dalam Film “cin(T)a” ...

62

A.1.Konflik personal versus diri sendiri.. ...

62

A.2.Konflik personal versus konflik personal ...

98

A.3.Konflik personal versus masyarakat ... 134

B.Analisis Konflik Agama dalam Film ”cin(T)a” ... 162

BAB IV PENUTUP

A.Kesimpulan ... 168

B.Saran ... 170

B.1.Saran Akademis ... 170

B.2.Saran Praktis ... 170

DAFTAR PUSTAKA


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Poster Film cin(T)a ...

43

Gambar 2.2 Muhammad Adi Panuntun ...

49

Gambar 2.3 Sammaria Simanjuntak ...

51

Scene 2 Shot 1 ...

62

Scene 3 Shot 1 ...

68

Scene 3 Shot 2 ...

68

Scene 3 Shot 3 ...

68

Scene 3 Shot 4 ...

68

Scene 3 Shot 5 ...

68

Scene 3 Shot 7 ...

68

Scene 3 Shot 9 ...

69

Scene 16 Shot 21 ...

75

Scene 23 Shot 2 ...

83

Scene 49 Shot 2 ...

89

Scene 51 Shot 8 ...

94

Scene 51 Shot 9 ...

94

Scene 3 Shot 7 ...

98

Scene 3 Shot 9 ...

98

Scene 42 Shot 19 ... 107

Scene 42 Shot 24 ... 107

Scene 43 Shot 5 ... 116

Scene 45 Shot 3 ... 124

Scene 46 Shot 11 ... 134

Scene 46 Shot 12 ... 134


(12)

xii

Scene 46 Shot 27 ... 147

Scene 46 Shot 28 ... 147

Scene 53 Shot 9 ... 156


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1.Contoh Tabel siginifier-signified ...

60

Tabel 3.2.Contoh Tabel denotative sign ...

60

Tabel 3.3.Contoh Tabel conotative signifier ...

61

Tabel 3.4.Contoh Tabel conotative signified ...

61

Tabel 3.5.Tabel siginifier-signified Scene 2 ...

63

Tabel 3.6.Tabel denotative sign Scene 2 ...

63

Tabel 3.7.Tabel conotative signifier Scene 2 ...

64

Tabel 3.8.Tabel conotative signified Scene 2 ...

65

Tabel 3.9.Tabel siginifier-signified Scene 3 ...

69

Tabel 3.10.Tabel denotative sign Scene 3 ...

70

Tabel 3.11.Tabel conotative signifier Scene 3...

73

Tabel 3.12.Tabel conotative signified Scene 3 ...

71

Tabel 3.13.Tabel siginifier-signified Scene 16 ...

76

Tabel 3.14.Tabel denotative sign Scene 16 ...

77

Tabel 3.15.Tabel conotative signifier Scene 16 ...

78

Tabel 3.16.Tabel conotative signified Scene 16 ...

79

Tabel 3.17.Tabel siginifier-signified Scene 23 ...

84

Tabel 3.18.Tabel denotative sign Scene 23 ...

85

Tabel 3.19.Tabel conotative signifier Scene 23 ...

86

Tabel 3.20.Tabel conotative signified Scene 23 ...

86

Tabel 3.21.Tabel siginifier-signified Scene 49 ...

89

Tabel 3.22.Tabel denotative sign Scene 49 ...

90

Tabel 3.23.Tabel conotative signifier Scene 49 ...

91

Tabel 3.24.Tabel conotative signified Scene 49 ...

92

Tabel 3.25.Tabel siginifier-signified Scene 51 ...

95

Tabel 3.26.Tabel denotative sign Scene 51 ...

95


(14)

xiv

Tabel 3.28.Tabel conotative signified Scene 51 ...

96

Tabel 3.29.Tabel siginifier-signified Scene 30 ...

99

Tabel 3.30.Tabel denotative sign Scene 30 ... 100

Tabel 3.31.Tabel conotative signifier Scene 30 ... 102

Tabel 3.32.Tabel conotative signified Scene 30 ... 102

Tabel 3.33.Tabel siginifier-signified Scene 42 ... 108

Tabel 3.34.Tabel denotative sign Scene 42 ... 109

Tabel 3.35.Tabel conotative signifier Scene 42 ... 112

Tabel 3.36.Tabel conotative signified Scene 42 ... 112

Tabel 3.37.Tabel siginifier-signified Scene 43 ... 117

Tabel 3.38.Tabel denotative sign Scene 43 ... 118

Tabel 3.39.Tabel conotative signifier Scene 43 ... 119

Tabel 3.40.Tabel conotative signified Scene 43 ... 120

Tabel 3.41.Tabel siginifier-signified Scene 45 ... 125

Tabel 3.42.Tabel denotative sign Scene 45 ... 126

Tabel 3.43.Tabel conotative signifier Scene 45 ... 128

Tabel 3.44.Tabel conotative signified Scene 45 ... 128

Tabel 3.45.Tabel siginifier-signified Scene 46 ... 134

Tabel 3.46.Tabel denotative sign Scene 46 ... 136

Tabel 3.47.Tabel conotative signifier Scene 46 ... 138

Tabel 3.48.Tabel conotative signified Scene 46 ... 139

Tabel 3.49.Tabel siginifier-signified Scene 47 ... 143

Tabel 3.50.Tabel denotative sign Scene 47 ... 143

Tabel 3.51.Tabel conotative signifier Scene 47 ... 144

Tabel 3.52.Tabel conotative signified Scene 47 ... 144

Tabel 3.53.Tabel siginifier-signified Scene 52 ... 147

Tabel 3.54.Tabel denotative sign Scene 52 ... 149

Tabel 3.55.Tabel conotative signifier Scene 52 ... 151


(15)

xv

Tabel 3.57.Tabel siginifier-signified Scene 53 ... 157

Tabel 3.58.Tabel denotative sign Scene 53 ... 158

Tabel 3.59.Tabel conotative signifier Scene 53 ... 159


(16)

xvi

TENTANG PENELITI

Dian Muyasaroh, lahir di Balikpapan, 16 Februari 1988.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar di SDN 002 Balikpapan

tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 1

Balikpapan tahun 2003, Sekolah Menengah Umum di SMAN 2

Balikpapan tahun 2006, kemudian melanjutkan pendidikannya

di Universitas Muhammadiyah

Malang Jurusan Ilmu

Komunikasi konsentrasi Audio Visual. Ketertarikannya akan dunia sinematografi

bermula sejak tahun 2006 yaitu ketika mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Kine

Klub UMM (UKM Sinematografi). Kegiatan produksi film yang pernah diikutinya

antara lain : Ass. Sutradara Film “I Love My Self” tahun 2006, Tim Riset

“Ngadas”

tahun 2007,

Unit Manager

Film “Mozaik” tahun 2007, Produser Pelaksana Film

“Setengah Langit” dan film ini membawanya pada penghargaan Film Dokumeter

Terbaik dalam Festival Film Pendek IKOM UMM kelas Sinematografi,

Manager

Lokasi Film “Untuk Pagimu” tahun 2009 dan

Pimpinan Produksi

Film Dokumenter

“MAMPUS” tahun 2009. Kemudian karya selanjutnya adalah Art. Director Iklan

Komunikasi “Pantomim” tahun 2008, Ass. Sutradara “Iklan UMM” tahun 2007, dan

Tim Properti

Iklan “Ayam Kampus” tahun 2008,

Unit Manager dalam film

“SALAH” workshop Arya Kusuma Dewa 2010 dan beberapa karya lainnya.

Pengalaman organisasinya menjabat sebagai Bendahara Kine Klub UMM periode

2007-2008 serta Anggota Divisi Apresiasi Kine Klub UMM periode 2007-2008.


(17)

xvii

Kegiatan lain yang diikuti yang berhubungan dengan dunia audio visual adalah ikut

berperan serta dalam acara seperti: menjadi Sekretaris dan Tim Penanggung Jawab

Film pada MAFVIE Fest 2008, sebuah festival film bertaraf Nasional. Ketua

Pelaksana Roadshow SMA di SMAN 4 Malang tahun 2007. Panitia InDocs

(Indonesian Documentaries) di Kampus II Universitas Muhammadiyah Malang tahun

2007. Minatnya terhadap ilmu komunikasi terutama yang berhubungan dengan audio

visual, membuatnya berkeinginan untuk terus belajar dan selalu berusaha menjadi

lebih baik seiring berjalannya waktu.


(18)

xviii

Daftar Pustaka

Awani Irewati, Erlangga Masdiana, et.al. 2005.

Kerusuhan Sosial di Indonesia Studi

Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: PT. Grasindo.

Cangara, Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Habib, Achmad. 2004.

Konflik Antaretnik di Pedesaan : Pasang Surut Hubungan

Cina-Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Ishomuddin. 1996. Sosiologi Agama : Pluralisme Agama dan Interpretasi Sosiologis.

Malang: UMM Press.

Jamil, Mukhsin, Sholihan, et.al. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai : Teori,

Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang: WMC (Walisongo

Mediation Centre).

Liliweri, Alo. 2005.

Prasangka & Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2007.

Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

Poloma, Margaret. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George, Goodman, Douglas, terjemahan Alimandan. 2007.

Teori Sosiologi

Modern Edisi ke-6. Jakarta: Kencana.


(19)

xix

Sobur, Alex. 2006a. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

__________. 2006b. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soetrisno, Loekman. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu

Press.

Sudarto, H. 1999.

Konflik Islam-Kristen Menguak Akar Masalah Hubungan antar

Umat Beragama di Indonesia. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Syahputra, Iswandi. 2007.

Komunikasi Profetik Konsep dan Pendekatan. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media.

Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

Widagdo, Bayu, M, Gora, Winastwan, S. 2007.

Bikin Film Indie Itu Mudah.

Yogyakarta: Andi Offset.

Non buku :

Fanani, Ahwan. 15 Februari 2008.

http://wmc-iainws.com/detail_artikel.php.htm

.

Diakses tanggal 29 Oktober 2010 pukul 19:32 WIB. Konflik Islam –

Kristen di Era Reformasi.

Hermawan, Anang.

23 Mei 2008.

http://www.averroes.or.id/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes.html

. Diakses tanggal 2

Januari 2011 pukul 19:05 WIB. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal

Semiotika Roland Barthes.

Moerdiono.

30 Maret 1992.

http://www.theceli.com/dokumen/produk/1992/uu8-1992.htm

. Diakses tanggal 25 September 2010 pukul 19:45 WIB.

UU 8 Tahun 1992-PERFILMAN.

No Name.

13 Juni 2009.

http://cinemadnesss.blogspot.com/default.xhtml

.

Diakses tanggal 9 Maret 2011

pukul 19:15 WIB.

cin( T )a the

movie.


(20)

xx

__________. 26

Mei

2009.

http://www.entertainment.kompas.com/read/xml/2009/05/26/e09515

831/film.independen.cinta.diluncurkan.di.inggris.htm

.

Diakses

tanggal 23 September 2010 pukul 13:17 WIB.

Film Independen

Cin(T)a diluncurkan di Inggris.

__________.

http://www.facebook .com/pages/ cinTa-the- movie/7052035320 5

.

Diakses tanggal 9 Maret 2011 pukul 19:15 WIB.

__________.

1 Mei 2010.

http://www.foldermagazine.com/article-1/5/2010.php

. 6

Desember 2010.

http://majalah.tempointeraktif.com/mbm.20101206.

Diakses tanggal 11 Nopember 2010 pukul 15:19 WIB.

Mempertahankan Sebuah Pesta Sinema.

__________.

http://www.godisadirector.com/home.html. Diakses tanggal 11

Nopember 2010 pukul 15:19 WIB. News.

__________.

18

November

2009.

http://www.harian-global.com/index.php

.

Diakses 6 Januari 2011 pukul 19:21 WIB.

Film Cin(T)a Hadir di

Medan.

__________.

6 Maret 2011.

http://www.jakartabeat.net/idea/kanal-idea/film/523-ayo-bikin-dan-nonton-film-cara-kita-sendiri.html

. Diakses tanggal 8

Maret 2011 pukul 19:30 WIB. Ayo Bikin dan NontonFilm Cara Kita

Sendiri.

__________.

20

Agustus

2009.

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php.htm

.

Diakses tanggal 11 Nopember 2010 pukul 15:19

WIB. Mengangkat Budaya Lokal di Pentas Film.

__________.

10

Januari

2010.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/10/Profil/in

dex.html

. Diakses tanggal 23 September 2010 pukul 13:05 WIB.

Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari, Membuat Film

Sembari Belajar.


(21)

xxi

__________.

http://www.lalightsindiefest.com/indiemovie/im_news.php

. Diakses

tanggal 11 Nopember 2010 pukul 15:19 WIB.

Sammaria : Bikin

Film Demi Cinta

__________.

13

September

2010.

http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2010/07/26/brk,

20100913-277928,id.html

. Diakses tanggal 29 Oktober 2010 pukul

19:32 WIB. Penusukan Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah

Bekasi.

Sismanto, S.Pd., M.KPd,

Meretas Batas Etnik Cina dan Pribumi, Karya Tulis

Nasional

“Sinologi

Center”

Universitas

Muhammadiyah

Yogyakarta, 2007.

Skripsi :

Mughni, Syafiq, Prof, DR, MA. 2004. Kerukunan antar umat Beragama dan Konflik

Sosial. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Nurul, Prinisia (06220046). 2010. Makna Cinta dalam Film Fiksi Strangely Beautiful,

Sutradara Angga Dwimas Sasongko (Analisis semiotika Angka dan

Warna). Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.

Sharah, Srimurtati (99230132). 2004. Pengaruh Konflik Agama terhadap

Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Ende). Malang.

Universitas Muhammadiyah Malang.

Tihnike, Donna (02810262). 2007. Konflik Remaja dari Keluarga Berbeda Agama.

Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.


(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik agama mungkin bukan bahasan yang asing lagi bagi telinga kita, karena memang konflik agama menjadi permasalahan yang sampai sekarang masih belum dapat diselesaikan dengan baik. Konflik agama bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja tetapi juga di seluruh dunia. Ini disebabkan karena Indonesia memiliki bermacam-macam etnis dan agama. Banyak kerusuhan-kerusuhan di Indonesia yang berlatar belakang konflik agama. Ini wajar, karena masalah agama memiliki sensitivitas yang sangat tinggi, menyangkut keyakinan yang amat dalam dan bersifat transendental dalam diri seseorang. Misalnya pada kasus kerusuhan Sambas, Kalimantan Barat, juga tidak jauh berbeda, hanya saja pada kasus tersebut yang lebih menonjol tampaknya adalah konflik etnis (Madura dan Dayak), kemudian menyusul konflik agama dan konflik-konflik lain. Sebab di Sambas, warga asal Madura atau pendatang lainnya selalu diidentikkan dengan Islam, sedangkan warga Dayak selalu diidentikkan dengan Kristen (Sudarto, 1999:xii).

Kasus kekerasan etnis juga terjadi pada wanita-wanita Cina seperti. Dalam tulisannya melalui internet, Vivian, seorang wanita keturunan Cina, mengaku dia bersama adik dan tantenya diperkosa ramai-ramai ketika terjadi kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang mengakibatkan kota Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) lumpuh. Dalam tulisannya itu, Vivian juga mengutip teriakan pemerkosa sebelum


(23)

2 melakukan perbuatan kejinya. ”Kamu mesti diperkosa karena kamu Cina dan non

muslim.”. Laporan Vivian itu juga dikutip oleh The New York Time, media di

Amerika Serikat edisi 10 Juni 1998, dengan judul : ”Indonesians Report Widespread Rapes of Chinese in Riots” (Sudarto, 1999:110-111)

Konflik antar agama yang lain juga terjadi pada September 2010 lalu yaitu penusukan jemaat gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi. Ada yang mengatakan bahwa awal permasalahan kerusuhan terjadi dikarenakan pembangunan rumah biasa yang telah dirubah menjadi Gereja liar tanpa izin pemerintah, dibangun di tengah pemukiman Muslim. Jema’ahnya, kebanyakan berasal dari luar kota sehingga mobil-mobil yang mereka bawa membuat kemacetan. Hal ini membuat warga setempat yang mayoritas muslim merasa tidak nyaman dan menginginkan pembangunan gereja HKBP hendaknya dibangun di pertengahan perkampungan kaumnya (Kristen). Tetapi penjelasan dalam TEMPO Interaktif berbeda, dalam berita tersebut dijelaskan bahwa penusukan Asia Lumbantoruan Sihopmbing, pengurus gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah merupakan agenda politik yang dilakukan

kelompok tertentu yang tidak ingin umat beragama hidup rukun

(2010:www.tempointeraktif.com). Kasus ini menjelaskan bahwa konflik agama yang terjadi dalam masyarakat juga dapat terjadi akibat korelasi antara konflik agama dengan konflik politik. Kelompok-kelompok konflik muncul karena mereka merasa terlibat dalam tindakan-tindakan yang dapat memicu perubahan sosial, dan hal tersebut nantinya akan mengakibatkan munculnya tindakan kekerasan seperti yang terjadi pada pengurus gereja Huria Kristen Batak Protestan


(24)

3 (HKBP) tersebut. Apabila kekerasan tersebut terus dilakukan antar umat beragama, yang terjadi adalah semakin meningkatnya perpecahan diantara umat beragama dan dendam diantara mereka akan semakin sulit diatasi.

Kasus-kasus mengenai konflik agama diatas merupakan salah satu contoh kasus yang pernah dipublikasikan oleh media. Konflik agama memang sudah menjadi realita sosial di masyarakat kita yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara baik. Sudah tentu media massa harus menjadi mediator dalam pensosialisasian hal-hal yang berkaitan dengan adanya kerusuhan-kerusuhan yang diakibatkan oleh konflik agama tersebut.

Perkembangan media massa pada saat ini sangat pesat pergerakannya seiring dengan kemajuan teknologi terutama pada media massa elektronik. Dan film sebagai salah satu media elektronik sudah tentu ikut mengalami kemajuan yang pesat dan sudah menjadi konsumsi harian bagi masyarakat. Film merupakan sebuah bentuk representasi dari realitas kehidupan manusia yang tertuang dalam bentuk cerita utuh yang didalamnya terdapat unsur-unsur budaya, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, serta elemen-elemen lain yang dibumbui dengan berbagai cara sehingga dapat mencapai sisi emosional penonton.

Dengan adanya perkembangan didunia film ini, maka generasi dari sineas-sineas yang berbakat juga mulai menjamur, bahkan yang tidak memiliki dasar keahlian dalam film secara akademis sudah berani dan mampu menciptakan karya-karya film yang bagus. Seperti yang dilakukan oleh Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari. Sammaria merupakan mahasiswa lulusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) sedangkan Sally merupakan mahasiswa lulusan


(25)

4 Fisika MIPA di Institut yang sama. Meskipun menjadi pembuat film bukan cita-cita mereka tetapi kedua wanita ini menjadikan film sebagai dunia mereka. Dan mereka berhasil membuktikan kemampuan mereka tersebut. Pada Desember 2009 lalu, mereka terpilih sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2009 dengan membawa film mereka yang berjudul “cin(T)a” (2010:www.korantempo.com).

Cin(T)a, merupakan film perdana Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom

Sari. Film yang mengangkat cerita tentang cinta berbeda agama. Dimana dalam film “cin(T)a” ini, Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari menambahkan unsur cinta antar manusia dan ketaatan tiap tokohnya terhadap Tuhan juga konflik yang terjadi diantara mereka karena perbedaan keyakinan diantara mereka tersebut. Cina yang beragama Kristen dan Annisa beragama Islam.

Meski film “cin(T)a” ini digarap oleh komunitas indie, namun kehadirannya sempat mendapat apresiasi di sejumlah kalangan masyarakat Inggris. Film ini sempat diputar di National Film Theater-British, Film Institute London pada 29 Mei 2009 lalu, dan berkeliling ke beberapa kampus di Inggris. Di Indonesia, “cin(T)a” juga sempat ditayangkan pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2009 dan menjadi film penutup Indonesia Film Festival 2009 di Melbourne, Australia. Film ini juga ditayangkan di Blitz Megaplex yang memang sudah lama memberikan sebuah celah baru bagi para pembuat film indie dan mereka telah memperoleh "gentle agreement" dengan pihak Blitzmegaplex untuk meluncurkan film tersebut (2009:www.entertainment.kompas.com).


(26)

5 Secara garis besar, film “cin(T)a” ini menceritakan tentang Cina, mahasiswa baru, 18 tahun, bercita-cita menguasai dunia dengan Tuhannya, Yesus Kristus di sisinya. Ia percaya dipilih Tuhan untuk menjadi Gubernur Tapanuli di masa mendatang. Cina berjuang dengan iman yang kuat namun naif, karena terus menemui kegagalan. Sementara itu, Annisa, mahasiswa senior, 24 tahun, akademisnya terhambat karena kariernya sebagai artis film. Ia putus asa karena hanya memiliki kecantikan dan tidak terlalu pandai. Ketenaran dan kecantikannya malah membuatnya kesepian, tetapi ia percaya pada cinta dari keluarganya yang Jawa dengan tradisi Islam yang sangat kuat. Walaupun berbeda agama, mereka tetap saling menghormati satu sama lain. Namun, rasa emosi muncul ketika Cina dan Annisa memperdebatkan masalah pengeboman gereja-gereja di Indonesia pada Hari Natal. Cina pun menyalahkan Tuhan atas semua yang ia alami. Cina merasa kehadirannya sebagai orang Kristen tidak akan diterima di Indonesia apalagi bila menjadi seorang pemimpin, karena dia menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia adalah muslim. Selain itu, ia juga tidak dapat memiliki Annisa karena perbedaan agama diantara mereka. Hingga akhirnya Cina sadar Tuhan selalu punya rencana lain untuknya, meskipun ia tidak dapat memiliki Annisa tetapi mereka masih bisa berteman dan Cina pun memutuskan untuk mengambil beasiswanya dan pergi ke Singapura. Cina mencintai Tuhan dan Annisa. Annisa mencintai Tuhan dan Cina. Tuhan mencintai Cina dan Annisa. Tapi, Annisa dan Cina tidak bisa bersatu karena mereka menyebut Tuhan dengan nama berbeda.

Dalam Film ini, sutradara Sammaria Simanjuntak, menyorot kehidupan religi masing-masing karakter. Selain itu, Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom


(27)

6 Sari menvisualisasikan perbedaan agama tersebut melalui dialog-dialog antar tokohnya dan dengan pergulatan pendapat yang dikemas dengan diskusi yang santai dan tanpa ada unsur merendahkan kelompok lain. Dari masalah apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan oleh Islam maupun Kristen. Selain itu di

dalam film ini juga terdapat beberapa scene testimoni dari beberapa pasangan

kekasih ataupun suami istri yang berbeda agama.

Peneliti merasa tertarik untuk menganalisis film “cin(T)a” karena tema yang diangkat melalui film mencerminkan realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia, dimana konflik agama masih menjadi permasalahan yang sulit untuk diatasi. Film ini menarik untuk dianalisis secara semiotik untuk lebih mendeskripsikan isi yang tampak atau isi yang tersembunyi dalam film “cin(T)a”, seperti apa konflik agama tersebut dikomunikasikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana makna tanda konflik agama yang terdapat dalam film “cin(T)a” karya Sammaria Simanjuntak ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menginterpretasikan makna tanda konflik agama yang terdapat dalam film “cin(T)a” karya Sammaria Simanjuntak ?


(28)

7 D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberi beberapa manfaat, antara lain : 1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi

perkembangan disiplin ilmu komunikasi, khususnya pada konsentrasi AudioVisual tentang penggunaan media film sebagai penyampaian pesan karena film selalu bertautan dengan nilai budaya dalam masyarakat.

2. Secara Praktis

Diharapkan dapat memberikan referensi terhadap penelitian serupa di bidang film dan memberikan masukan terhadap sineas film untuk tidak hanya berkreasi saja tetapi mulai meperhatikan unsur lain seperti estetika film dan juga konflik yang berorientasi pada komunikasi sebagai suatu proses produksi dan pertukaran makna melalui film.

E. Tinjauan Pustaka E.1.Penelitian Terdahulu

Ditengah-tengah suasana kehidupan agama yang plural di negara kita, kerukunan merupakan suatu kondisi yang harus diciptakan bersama-sama. Kondisi tersebut dicerminkan dalam suasana damai, tertib, saling memahami dan menghargai. Kebalikan dari kerukunan itu ialah ketegangan atau konflik yang dicerminkan dengan persaingan yang tidak sehat, saling mencekam atau saling mengancam baik secara fisik maupun mental. Hal ini dijelaskan oleh Syafia


(29)

8

(2004) dalam kajiannya yang berjudul Kerukunan antar umat Beragama dan

Konflik Sosial. Ia menjelaskan bahwa keinginan setiap komunitas agama untuk

mempertahankan eksistensinya bahkan melakukan ekspansi pengikut adalah suatu yang alamiah terutama bagi agama dakwah (mission) seperti Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Bahkan sebenarnya secara sosiologis sikap ekspansif tersebut tidak hanya dimiliki oleh agama-agama dakwah itu tetapi oleh kelompok sosial politik dan ekonomi apa pun. Namun demikian, sikap ekspansif itu akan menjadi positif apabila terorientasi pada prinsip keselamatan dan didasarkan pada pengakuan hak-hak orang lain untuk memilih keyakinannya sendiri tanpa pemaksaan (Mughni, 2004).

Kajian lain menganai konflik agama, dijabarkan oleh Srimurtati (2004)

dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh Konflik Agama terhadap Pembangunan

Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Ende). Dimana ia menjelaskan bahwa Ende

merupakan salah satu daerah yang cukup rawan, hal tersebut dikarenakan masyarakatnya cepat sekali terpengaruh oleh isu-isu serta mudah terpancing dengan sesuatu yang mengarah pada sebuah konflik. Isu-isu yang berkembang atau yang beredar tersebut kemudian akan menimbulkan konflik yang mengarah pada konflik agama. Hal ini mudah terjadi karena tingkat primodial serta kepercayaan masing-masing umat yang kuat atau lebih dikatakan fanatik. Dari penelitian tersebut, Srimurtati menemukan bahwa konflik agama yang terjadi di Kabupaten Ende cukup memberikan dampak begitu besar bagi kehidupan masyarakat kabupaten tersebut antara lain hal yang dirasakan atau dampak yang dirasakan adalah dalam masalah pembangunan daerah tersebut. Dimana konflik


(30)

9 yang terjadi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan menjadi rusak dan program-program lainnya menjadi terhambat.

Konflik juga dapat terjadi pada remaja dengan lingkungan keluarga yang

berbeda agama. Hal ini dijelaskan oleh Donna dalam penelitiannya yaitu Konflik

Remaja dari Keluarga Berbeda Agama. Donna menemukan bahwa remaja dari

keluarga berbeda agama mempunyai konflik-konflik dari orang tua, konflik dengan keluarga besar, konflik dengan lingkungan sekitar dan juga konflik berkaitan dengan diri sendiri. Dimana sumber konflik tersebut berasal dari sikap orang tua kepada remaja, sikap intervensi dari keluarga besar, pandangan serta gunjingan dari lingkungan sekitar serta remaja merasa tidak pernah diajarkan tentang nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Akibatnya remaja kerap bimbang tentang keberagamaannya serta menimbulkan suatu tindakan yang sering melanggar norma-norma agama dan masyarakat.

E.2.Film sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi selalu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dengan berkomunikasi manusia dapat mengemukakan keinginan, gagasan, ide bahkan dalam pemenuhan segala aspek kebutuhan hidupnya, manusia menyampaikannya dengan cara berkomunikasi. Informasi disampaikan melalui berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik yang merupakan bentuk dari komunikasi massa. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa dan pengertian massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Adapun salah satu ciri yang dimiliki oleh komunikasi massa adalah pesannya yang bersifat umum, dapat


(31)

10 diartikan bahwa pesan dalam komunikasi massa tidak hanya ditujukan kepada satu orang atau kelompok saja, tetapi disampaikan pada khalayak ramai sehingga pesannya harus bersifat umum (Nurudin, 2004:2-3).

Dalam penjelasan yang lain, menurut Josep A. Devito (Nurudin, 2004:11) ada 2 pengertian komunikasi massa. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku, dan pita.

Salah satu bentuk media komunikasi massa adalah film. Film adalah gambar dan suara yang terdiri dari integrasi jalinan cerita, jalinan cerita terbentuk dari menyatunya peristiwa atau adegan – scene (Widagdo dan Winastwan, 2007:1). Dalam film terdapat urutan adegan yang didalamnya diiringi suara, baik dialog ataupun musik sehingga cerita yang ditampilkan menjadi nyata, dan penonton dapat menangkap pesan yang dibawa.

Menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik


(32)

11 dan/atau lainnya. Sedangkan perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan dan atau penayangan film (Moerdiono, 1992: www.theceli.com).

Film selalu mencoba menyampaikan pesan yang secara langsung dibawanya sebagai media komunikasi. Pesan itu sendiri dalam ilmu komunikasi memiliki arti sesuatu yang disampaikan dengan tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan informasi, nasihat atau propaganda (Cangara, 2008:24).

Penyampaian pesan dalam komunikasi terbagi menjadi dua yaitu : 1. Komunikasi Verbal

Penyampaian pesan secara verbal menggunakan bahasa. Bahasa dapat

didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk

mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas (Mulyana, 2007: 260), sementara dalam penjelasan lain, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2008:99).

2. Komunikasi Non Verbal

Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu ”setting” komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan


(33)

12 lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2007:343).

E.3.Konflik

E.3.1.Definisi Konflik

Konflik tidak berarti kekerasan, perbedaan biasa pun bisa disebut konflik. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat terutama yang berbuntut kerusuhan sosial, umumnya merupakan korelasi (saling berhubungan) antara berbagai konflik, seperti konflik agama berkorelasi dengan konflik etnis, dengan konflik ekonomi, mobilitas migrasi (penduduk pendatang), politik dll (Sudarto, 1999:xii).

Konflik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik (suku, bangsa, ras, agama, golongan), karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai dan kebutuhan. Seringkali konflik itu dimulai dengan hubungan pertentangan antara dua/lebih etnik (individu/kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan (Liliweri, 2005:146).

Secara konseptual, konflik dibedakan dengan kekerasan. Konflik (conflict)

adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan.

Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata dan sikap, struktur

atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan, dan/atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya. Jamil dalam


(34)

13 bukunya menjelaskan bahwa konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat dielakkan, dan seringkali bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika orang mengejar sasaran yang bertentangan. Ketidaksesuaian dan konflik biasanya dapat diatasi tanpa dengan memunculkan kekerasan, dan seringkali mengarah pada kondisi yang semakin baik pada mereka yang terlibat di dalam konflik itu (Jamil, Sholihan, et.al, 2007:6).

Penjelasan lain mengenai konflik dikemukakan oleh Poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2004:126) yaitu konflik sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Konflik merupakan sumber kohesi atau perpecahan kelompok namun bagaimana pun tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana ketegangan ditangani, dan yang terpenting tipe struktur dimana konflik itu berkembang.

E.3.2.Jenis-jenis Konflik

a. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan atas beberapa jenis utama (Jamil, Sholihan, et.al, 2003:168-173), yaitu :

1. Konflik Horisontal

Konflik yang terjadi antar kelompok agama, kelompok pendatang, penduduk asli, kelompok etnis atau suku, agama atau kepercayaan dan organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat. Topologi konflik horizontal mempunyai asumsi bahwa konflik sudah terjadi dan menyebar


(35)

14 ke berbagai aspek sosial. Akses ekonomi, ideology politik dan kekerasan fisik di antara kelompok-kelompok masyarakat. Contoh, di Kalimantan Barat terjadi konflik antara etnis Melayu dan Dayak dan etnis Madura Dayak yang terjadi pada tahun 1997, konflik Melayu dan Madura di Sambas.

2. Konflik Vertikal

Konflik vertikal biasanya terjadi antara negara (aparat negara) dengan warga negara, baik secara individu maupun secara kelompok. Dalam konflik ini negara memiliki kepentingan atas terjadinya konflik di daerah. Misalnya, Di Sulawasi Tengah diklaim telah menjadi salah satu wilayah yang menjadi sasaran kelompok teroris kasus Poso dan beberapa pengeboman yang berlangsung di Palu diduga dilakukan oleh kelompok teroris.

3. Kerawanan Sosial dan Potensi Konflik

Kerawanan sosial merupakan keresahan sosial yang berkepanjangan yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat atau kelompok/golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat atau golongan tersebut. Beberapa potensi konflik dan kerawanan sosial yang dominan adalah sebagai berikut :

a. ketidakadilan sosial ekonomi

b. penggunaan kekerasan dalam mewujudkan tertib sosial c. pelanggaran HAM


(36)

15 d. isu SARA

e. dampak pemekaran dan peluasan wilayah f. ekses PILKADA

g. pemanfaatan terhadap Sumber Daya Ekonomi dan Sumber Daya Alam h. lemahnya nilai tradisional dan identitas Budaya

b. Konflik sederhana dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : 1. Konflik personal versus diri sendiri.

Adalah konflik yang terjadi karena apa yang dipikirkan atau yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

2. Konflik personal versus konflik personal.

Adalah konflik antar personal yang bersumber dari perbedaan karakter masing-masing personal.

3. Konflik personal versus masyarakat.

Adalah konflik yang terjadi antara individu dan masyarakat yang bersumber dari perbedaan keyakinan suatu kelompok atau keyakinan masyarakat atau perbedaan hukum.

4. Konflik personal versus alam.

Adalah konflik yang terjadi antara keberadaan personal dan tekanan alam (Liliweri, 2005:265).


(37)

16 c. Konflik berdasarkan jenis peristiwa dibedakan menjadi 5 macam yaitu :

1. Konflik biasa

Adalah konflik yang terjadi hanya karena kesalahpahaman akibat distorsi informasi, melibatkan hubungan antarpersonal yang sejawat, awalnya didorong oleh faktor emosi.

2. Konflik luar biasa

Adalah konflik yang tidak berstruktur karena sebelumnya kita tidak mempunyai catatan mengenai modus operandi.

3. Konflik zero-sum (game)

Adalah bentuk konflik yang hasilnya adalah satu pihak menang dan pihak yang lain kalah (win-lose).

4. Konflik merusak

Adalah konflik yang dari proses sampai hasilnya merusak sistem relasi sosial.

5. Konflik yang dapat dipecahkan

Konflik substansi karena dapat dipecahkan melalui sebuah keputusan barsama (Liliweri, 2005:266-267).

d. Konflik berdasarkan dari situasi konflik, menurut Coser (1959) seperti dikutip Paloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2004:110) membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis.

1. Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan


(38)

17 keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukkan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

2. Konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.

e. Konflik berdasarkan hubungan antara tujuan dan tingkah laku yaitu :

1. Konflik Tanpa Konflik (No Conflict). Jika ingin bertahan lama, maka

dalam suatu kelompok atau masyarakat harus hidup dan dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikannya secara kreatif.

2. Konflik Laten (Latent Conflict). Konflik laten adalah konflik yang berada

di bawah permukaan, konflik ini perlu dibawa ke permukaan sebelum dapat diselesaikan secara efektif.

3. Konflik Terbuka (Open Conflict). Konflik ini mengakar secara dalam serta

sangat tampak jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar serta efek yang tampak.

4. Konflik Permukaan (Surface Conflict). Konflik ini memiliki akar yang

tidak dalam atau tidak mengakar. Mungkin pula bahwa konflik permukaan ini muncul karena kesalahpahaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan perbaikan komunikasi (Jamil, Sholihan, et.al, 2007:10).

f. Para sosiolog membedakan dua jenis konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam pemunculannya, yaitu :


(39)

18 1. Konflik yang bersifat destruktif. Contoh konflik yang destruktif adalah

konflik yang terjadi antara suku Dayak dan Melayu melawan suku Madura. Konflik ini menjadi destruktif karena konflik ini dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh di dalam tubuh mereka masing-masing yang terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adanya kecemburuan sosial antara dua kelompok atau suku yang terlibat konflik.

2. Konflik yang fungsional. Yakni konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan. Contohnya adalah perbedaan pendapat atau konflik pendapat di kalangan para cendekiawan dalam upaya mencari kebenaran. Perdebatan antara para cendekiawan itu sangat keras, tetapi tidak berkembang menjadi konflik yang destruktif, seperti membakar gedung pertemuan atau kemudian tidak saling menegur satu sama lain (Soetrisno, 2003:14-17).

E.3.3.Faktor Penyebab Konflik

Terjadinya sebuah konflik disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai faktor penyebab konflik itu dibedakan dalam beberapa jenis (Jamil, Sholihan, et.al, 2007:16), yaitu :

1. Triggers (pemicu) yaitu peristiwa yang memicu sebuah konflik namun tidak

diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri. 2. Pivotal factors or root causes (faktor inti atau penyebab dasar) yaitu terletak

pada akar konflik yang perlu ditangani supaya pada akhirnya dapat mengatasi konflik.


(40)

19

3. Mobilizing factors (faktor yang memobilisasi) yaitu masalah-masalah yang

memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan.

4. Aggravating factors (faktor yang memperburuk) yaitu faktor yang

memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotal factors, namun

tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri. E.3.4.Teori Konflik

Teori konflik, paling tidak sebagian darinya, dapat dilihat sebagai perkembangan yang terjadi sebagai reaksi atas fungsionalisme struktural dan sebagai akibat dari begitu banyak kritik. Namun, harus dicatat bahwa teori konflik memiliki beragam akar seperti teori Marxian dan karya Simmel tentang konflik sosial (Ritzer dan Douglas, 2007:153).

Seperti halnya para fungsionalis, para teoritis konflik berorientasi pada pembahasan struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori ini yang berlawanan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Antitesis ini dapat dilihat pada karya Ralf Dahrendorf. Dalam karya Dahrendorf, pendiri teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Bagi para fungsional, masyarakat adalah sesuatu yang statis, atau, paling-paling, dalam kondisi ekulibrium yang terus bergerak, namun bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik, setiap masyarakat tunduk pada proses-proses perubahan. Kalau para fungsionalis menitik beratkan pada keteraturan masyarakat, para teoretisi konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis (atau paling tidak fungsionalis awal) berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan konstibusi pada stabilitas, para perintis teori konflik melihat begitu banyak elemen masyarakat


(41)

20 yang justru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan (Ritzer dan Douglas, 2007:153).

Dalam bukunya Ritzer dan Douglas berjudul Teori Sosiologi Modern

(2007:153-154) dijelaskan bahwa fungsionalis cenderung melihat masyarakat

terikat oleh norma, nilai, dan moralitas bersama yang bersifat informal. Teoritisi konflik melihat apa pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Kalau fungsionalis memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai masyarakat yang dimiliki bersama, para teoretisi konflik menitikberatkan pada peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di tengah masyarakat. Dahrendorf adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itulah teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Teoretisi konsensus harus menguji integrasi nilai di dalam masyarakat sementara teoretisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu.

Selanjutnya, menurut Dahrendorf dalam bukunya George & Douglas membedakan 3 tipe besar kelompok yang pertama adalah kelompok semu, atau ”sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama”. Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan oleh Dahrendorf sebagai ”Mode perilaku yang sama adalah karakteristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi


(42)

21 yang ketat; dan kelompok ini adalah agen riil dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan”. Kelompok konflik atau kelompok yang benar-benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2007:156).

Dahrendorf merasa bahwa konsep kepentingan laten dan manifes, kelompok semu, kelompok kepentingan dan kelompok konflik, adalah dasar bagi penjelasan konflik sosial. Dalam kondisi ideal tidak ada variable lain yang diperlukan. Namun, karena kondisi yang ada tidak pernah ideal, maka berbagai faktor turut mencampuri proses ini. Dahrendorf mencontohkan kondisi teknis seperti personel yang memadai, kondisi politik seperti iklim politik secara keseluruhan dan kondisi sosial seperti eksistensi hubungan komunikasi (Ritzer dan Goodman, 2007:156-157).

Aspek akhir teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui arti penting karya Lewis Coser, yang memusatkan perhatiannya pada fungsi konflik dalam memelihara status quo. Namun, Dahrendorf merasa bahwa fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian dari realitas sosial, dengan kata lain, konflik yang mengalami perubahan dan perkembangan (Ritzer dan Goodman, 2007:157).

Secara ringkas, Dahrendorf menyatakan bahwa sekali kelompok-kelompok konflik muncul, mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang memicu perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktural


(43)

22 secara tiba-tiba. Jadi, apapun sifat dasar konflik yang terjadi, sosiolog harus menyesuaikan diri dengan hubungan konflik dengan perubahan maupun konflik dengan status quo (Ritzer dan Goodman, 2007:157).

E.3.5.Teori-teori Penyebab Konflik

Teori-teori penyebab adanya konflik (Jamil, Sholihan, et.al, 2007:16-18) antara lain :

1. Teori Hubungan Komunitas (Community Relations Theory).

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi, ketidakpercayaan, dan permusuhan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu komunitas.

2. Teori Negosiasi Utama (Pricipled Negosiation Theory).

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak

tepat serta pandangan tentang ’zero-sum’ mengenai konflik yang diadopsi oleh

kelompok yang bertentangan.

3. Teori Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory).

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia fisik, psikologis, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dikecewakan. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi seringkali disebut pula sebagai kebutuhan manusia.

4. Teori Identitas (Identity Theory).

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh perasaan akan adanya identitas yang terancam. Perasaan semacam ini muncul karena perasaan kehilangan dan penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.


(44)

23

5. Teori Miskomunikasi Antar Budaya (Intercultural Miscommunication Theory)

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh pertentangan antar gaya komunikasi antara budaya yang berbeda.

6. Teori Transformasi Konflik (Conflict Transformation Theory).

Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh persoalan nyata berupa ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ditunjukkan oleh kerangka kerja sosial, budaya, dan ekonomi yang saling bersaingan.

E.4.Agama

E.4.1.Definisi Agama

Dalam Eksiklopedi Islam Indonesia, Agama berasal dari kata Sangsekerta,

yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu

Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi dikenal

luas dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut. Ia dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat, sebagaimana kata

dharma (juga dari bahasa Sangsekerta), din (dari bahasa Arab), dan religi (dari bahasa Latin) dipahami. Ada tiga pendapat yang dapat dijumpai berkenaan dengan

arti harfi kata agama itu. Pertama mengartikan tidak kacau, kedua tidak pergi

(maksudnya diwarisi turun temurun), dan ketiga jalan bepergian (maksudnya

jalan hidup). Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya memandang agama itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun temurun oleh masyarakat manusia, agar hidup mereka menjadi tertib, damai, dan tidak kacau. (Ishomuddin, 1996:29).


(45)

24 Menurut Ludwig Feuerbach yang dikutip Syahputra dalam bukunya Komunikasi Profetik Konsep dan Pendekatan (2007:47), menjelaskan bahwa agama adalah :

1. Ekspresi fantasi dari ideal-ideal manusia dalam mencapai eksistensinya melalui cinta, kebebasan dan akal.

2. Dipahami melalui psikogenesis dari sifat manusia itu sendiri, ada hubungan yang terbaik antara sifat-sifat yang dilekatkan pada Tuhan dan manusia, perasaan hampa yang menyedihkan membutuhkan Tuhan yang pengasih.

3. Suatu image yang diproyeksikan oleh watak esensial manusia, agama

mengakibatkan alienasi individu dari diri yang sesungguhnya, yang merupakan impian pikiran manusia, namun tidak menemukan dirinya dalam

kehampaan di surga, tetapi di bumi dalam realitas species-being.

4. Interpretasi dari keyakinan dan peribadatan dengan perayaan kualitas natural melalui term-term materialistik.

Berbeda dengan Feuerbach, Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai : (1)Sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresap dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi itu tampak khas realistis. (Syahputra, 2007:47).

Hal utama yang paling penting dalam kajian agama adalah mendefinisikan agama sebagai sebuah proses mencari tanggapan bagi pertanyaan makna hidup


(46)

25 yang paling utama. Agama selalu dikaitkan dengan hal yang sakral, sesuatu yang terkadang sulit dijelaskan dengan akal, namun diterima keyakinan dan selalu diagungkan. Dalam buku Komunikasi Profetik, Wilferd C. Smith, seorang orientalis, gelisah dengan terminologi agama yang memahami bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Tetapi mengapa orang dengan mudah terpecah dan berperang karena alasan agama? Bagi Smith, agama yang kita kenal saat ini

merupakan hasi dari proses of reifcation (proses graduasi sejarah). Ia merupakan

pengalaman individu atau kelompok yang terinstitusikan dalam sejarah (Syahputra, 2007:48-49)

E.4.2.Fungsi-fungsi Agama

Ada 6 fungsi agama menurut O’Dea yang dikutip Syahputra (2007:47-48), yaitu :

1.Pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.

2.Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat. 3.Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.

4. Pengoreksi fungsi yang sudah ada. 5.Pemberi identitas diri.

6.Pendewasaan agama.

Dalam bukunya, Komunikasi Profetik dan Pendekatan, Syahputra (2007:49) juga menjelaskan bahwa dalam perspektif fungsionalisme struktural, agama dipandang sebagai subsistem yang berperan menyatukan masyarakat. Sementara dalam perspektif konstruktivisme, agama dipandang sebagai aktifitas kultural yang berurusan dengan batas-batas makna yang secara sosial ditetapkan


(47)

26 sebagai sesuatu yang nyata, masuk akal, dan rasional. Namun, lapisan luar dari agama dipandang sebagai mimpi, fantasi, bahkan gila.

E.5.Konflik Agama di Dunia

Bahwa agama menjadi pemicu konflik telah tercatat dalam sejarah dunia. Perang salib merupakan konflik yang jelas dipicu oleh agama yakni perang antara bangsa Eropa Barat yang beragama Katholik melawan bangsa Arab yang beragama Islam. Demikian pula konflik yang terjadi di Irlandia Utara, merupakan konflik yang muncul antara pemeluk agama Katholik dengan pemeluk agama Protestan. Pada kasus Perang Salib dan konflik di Irlandia Utara, peran agama sebagai penyebab konflik dalam peristiwa itu sangat dominan. Perbedaan doktrin keagamaan yang kemudian berkembang menjadi rasa kebencian antarumat masing-masing agama telah menjadi sebab utama dari munculnya konflik itu. Baik dalam Perang Salib maupun dalam konflik di Irlandia Utara, dunia atau masyarakat terbelah dengan jelas dan tegas oleh agama. Pada masa perang Salib, dunia terpecah dalam dua bagian Eropa Barat yang Katholik berhadapan dunia Timur Tengah yang Islam. Demikian pula di Irlandia Utara, dimana masyarakatnya terbelah dalam dua komunitas orang Katholik dan komunitas orang Protestan. Dengan kata lain, agama dalam dua peristiwa itu telah berubah dari suatu paham spiritual manusia menjadi paham spiritual dan sekaligus ciri-ciri khas atau identitas yang eksklusif dari sebuah komunitas yang membedakan dengan kelompok/komunitas lainnya (Soetrisno, 2003:14-17).


(48)

27 E.6.Konflik Agama di Indonesia

E.6.1.Dari Masa Kolonial sampai Sekarang

Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara (Indonesia), hampir sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam. Kedua agama itu sama-sama merupakan agama pendatang bagi bangsa Indonesia. Agama Kristen masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa Barat (penjajah) pada abad ke-16 sampai dengan 17 M, sedangkan Islam datang lebih dahulu (abad 9 – 10 M) melalui para pedagang muslim dari Arab, Persia (Iran), ataupun India (Gujarat) (Sudarto, 1999:68).

Pada masa kolonial, ketegangan dalam hubungan umat Islam dan umat Kristen lebih dipicu oleh kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat bantuan besar dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan secara politik maupun finansial. Namun, karena eratnya perhubungan antara kolonial dan kegiatan misionaris, maka pelaksanaan misi mendapatkan banyak kendala dan hambatan, bahkan kesulitan, seperti diakui Hendrik Kraemer, seorang misonaris yang pada tahun 1921 ditunjuk oleh Perhimpunan Injil Belanda untuk bertugas di Indonesia. Kraemer mengatakan, ”Tidak ada agama lain yang membuat misi memaksakan diri bekerja keras dengan hasil yang sedikit dan membuatnya mencakarkan kukunya samapi berdarah dan tercabik-cabik, selain Islam. Masalahnya, dengan bantuan politik ataupun finansial yang diberikan itu justru menghasilkan citra negatif di kalangan umat Islam. Gerakan misionaris dipandang sebagai antek-antek kolonial yang berusaha mengkristenkan masyarakat muslim, sedangkan Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas.


(49)

28 Tahun1845, keluar dekrit yang menetapkan bahwa administrasi gereja bertugas menjaga doktrin Kristen, sehinggga sejumlah fasilitas diberikan kepada kegiatan misionaris (Sudarto, 1999:71-73).

Berbeda dengan suasana hubungan umat Islam dan umat Kristen pada masa kolonial, maka pada zaman Orde Lama, ketegangan antara dua komunitas umat beragama itu mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada Sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah disahkan saat itu terdapat tujuh kata yang bernuansa Islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya mengarah ke pembentukan negara Islam. Maka, wakil-wakil dari umat Kristen Indonesia bagian Timur menyampaikan keberatannya, dan bahkan mengancam jika ”tujuh kata” itu tidak dicabut, mereka akan mengundurkan diri dari pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia, dan mendirikan negara sendiri. Dan akhirnya Drs. Moh. Hatta segera dengan hati yang lapang melepas ”tujuh kata” itu (Sudarto, 1999:76-77).

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kala itu jumlah pertambahan orang Kristen mencapai berlipat-lipat dibandingkan masa sebelumnya, hanya dalam tempo yang sangat pendek. Setelah Indonesia merdeka, larangan penyebaran agama Kristen di wilayah berpenduduk muslim memang tidak diberlakukan lagi. Semua agama, sesuai dengan UUD 1945, memiliki kedudukan dan hak yang sama di depan hukum. Konsekuensinya, mereka pun memiliki kebebasan yang sama, yang dijamin oleh hukum, termasuk dalam menyebarkan ajaran agama Kristen kepada penduduk Indonesia. Hal itu pun menyebabkan kalangan Islam menjadi keberatan dengan cara-cara misionaris agama Kristen


(50)

29 yang dianggap menginvestasi keimanan umat muslim, karena menggunakan cara-cara yang tidak etis dan tidak fair, yaitu mendatangi orang-orang yang sudah beragama Islam dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan muslim (Sudarto, 1999:78-80).

Peristiwa lain yang membuat hubungan umat Islam dan Kristen kembali tegang adalah saat pemerintah dan DPR RI membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan tahun 1973, RUU tentang Peradilan Agama tahun 1989, RUU Sistem Pendidikan Nasional (1992), dan RUU Pengadilan Anak (1995). Terhadap RUU Perkawinan, kalangan Kristen menolak keras undang-undang yang materinya dianggap hanya melayani segolongan umat (Islam). Kemudian Pasal yang menjadi perdebatan dan kemudian diubah adalah menyangkut kebolehan melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang berlainan agama (Pasal 10 ayat 2). Dalam rancangan semula dirumuskan, ”Perbedaan kebangsaan, suku, negara asal, tempat asal, agama, keyakinan dan leluhur bukan halangan untuk menikah”. Umat Islam sangat berkeberatan dengan rumusan pasal itu, karena dalam hukum Islam (Al Qur’an Surah Al Baqarah : 221) telah diatur dengan tegas, bahwa menikahi lawan jenis yang non muslim merupakan larangan. Walaupun dalam Surah Al Maidah ayat 5 disebutkan, lelaki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab. Tetapi disyaratkan, lelaki muslim itu haruslah sudah kuat imannya. Sebab, jika tidak, dia akan larut mengikuti keimanan istrinya atau meninggalkan agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam menolak keras rumusan RUU Perkawinan tersebut (Sudarto, 1999:83-85).


(51)

30 Pada Era Refornasi, terjadi beberapa kasus konflik antar agama yang menyebabkan semakin renggangnya hubungan umat beragama di Indonesia khususnya umat Islam dan Kristen. Persoalan tempat ibadah menjadi salah satu pemicu konflik agama tersebut. Persengketaan mengenai pendirian tempat ibadah tidak berhenti meskipun ada Surat Keputusan B ersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 1 tahun 1969 tentang pendirian Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat. Kelompok Kristen yang tidak merasa senang dengan SKB tersebut secara de facto tidak secara serius mengakui keberadaan SKB tersebut. Sementara itu, umat Islam selalu menggunakan SKB tersebut sebagai alasan untuk menyikapi pendirian tempat ibadah Nasrani yang dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata dan situasi psikologis masyarakat. Seperti kasus yang terjadi di Kupang pada tanggal 30 November 1998. Amuk massa bermula dari aksi perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang, yaitu bentrok antara warga Muslim dan Kristen dengan disertai perusakan berbagai tempat ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu sendiri diprakarsai oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen, seperti GMKI, PMKRI, Pemuda Katholik NTT, dan mahasiswa di Kupang. Karena isu pembakaran gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid di perkampungan muslim kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya melakukan perusakan masjid di Kupang. Amuk massa tanggal 30 November tersebut mengakibatkan setidaknya 11 masjid, 1 mushola, dan beberapa rumah serta pertokoan milik warga muslim rusak. Amuk massa tersebut tidak hanya


(52)

31 berhenti pada tanggal 30 November itu saja. Dua hari setelahnya, yaitu tanggal 1 dan 2 Desember 1998 kerusuhan masih terjadi dan mengakibatkan beberapa kerusakan. Sasaran amuk massa tersebut mencakup rumah milik ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), masjid dan toko-toko milik orang Bugis (Fanani, 2008:wmc-iainws.com).

Kerusuhan Kupang tersebut berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu antara penganut Kristen yang umumnya warga asli dan warga muslim, yang sebagian besar adalah pendatang. Kecepatan pertumbuhan masjid dan perkembangan ekonomi umat Islam yang baik, karena mereka sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menimbulkan kecemburuan sosial. Amuk massa tanggal 30 November 1998 adalah momentum di mana kecemburuan tersebut mendapatkan ekspresinya lewat idiom agama (Fanani, 2008:wmc-iainws.com).

Kemudian konflik agama juga terjadi di Poso. Konflik Poso umumnya dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama berlangsung pada tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh penyerangan terhadap Ridwan (21 tahun) yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh tiga pemuda Kristen yang sedang mabuk. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo ke sejumlah rumah milik warga muslim. Peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo yang diadili pada awal Januari 1999. Konflik Poso fase kedua terjadi pada 15-21 April 2002. Konflik jilid kedua dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen dan pemuda Islam. Peristiwa tersebut disusul dengan perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen Konflik Poso Fase ketiga terjadi


(53)

32 pada 23 Mei-10 Juni 2001. Kerusuhan tersebut dimulai dengan kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada pertengahan Mei mulai terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo. Puncaknya adalah pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo. Konflik fase ketiga adalah yang paling berdarah dalam rangkaian kasus Poso. Konflik Poso diakhiri dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, di antaranya adalah hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan penangkapan beberapa warga dari pihak Islam (Fanani, 2008:wmc-iainws.com).

Konflik antar agama yang baru-baru ini terjadi yaitu pada September 2010 lalu, kasus penusukan jemaat gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi. Ada yang mengatakan bahwa awal permasalahan kerusuhan terjadi dikarenakan pembangunan rumah biasa yang telah dirubah menjadi Gereja liar tanpa izin pemerintah, dibangun di tengah pemukiman Muslim. Jema’ahnya, kebanyakan berasal dari luar kota sehingga mobil-mobil yang mereka bawa membuat kemacetan. Hal ini membuat warga setempat yang mayoritas muslim merasa tidak nyaman dan menginginkan pembangunan gereja HKBP hendaknya dibangun di pertengahan perkampungan kaumnya (Kristen). Tetapi penjelasan dalam TEMPO Interaktif berbeda, dalam berita tersebut dijelaskan bahwa penusukan Asia Lumbantoruan Sihopmbing, pengurus gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah merupakan agenda politik yang dilakukan kelompok tertentu yang tidak ingin umat beragama hidup rukun. Kasus ini menjelaskan bahwa konflik agama yang terjadi dalam masyarakat juga dapat terjadi akibat korelasi antara konflik agama dengan konflik politik.


(54)

Kelompok-33 kelompok konflik muncul karena mereka merasa terlibat dalam tindakan-tindakan yang dapat memicu perubahan sosial, dan hal tersebut nantinya akan mengakibatkan munculnya tindakan kekerasan seperti yang terjadi pada pengurus gereja Huria Kristen Batak Protestan tersebut (2010:www.tempointeraktif.com). E.7. Kompleksitas Etnik Cina dan Jawa

Masalah konflik antar etnik di Indonesia adalah masalah yang lebih banyak berhubungan dengan kebijakan pemerintah, dan bukannya masalah sentimen antar etnik. Sentimen etnik ini memang mudah dihembuskan oleh pihak yang hendak mengambil keuntungan, karena perbedaan etnik relatif menjadi kriteria perbedaan kekuatan ekonomi, dan sampai tingkat tertentu, juga kekuatan politik. Konflik antar etnik, khususnya di Indonesia, bukan merupakan masalah etnik semata, tetapi lebih menyangkut hubungan kekuatan ekonomi-politik. Orang atau kelompok yang mempunyai kekuatan politik bisa mempertukarkan kekuatan politiknya dengan keuntungan ekonomi. Sebaliknya, pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi dapat mempertukarkan kekuatan ekonominya untuk mendapatkan perlindungan dan kemudahan politik (Sismanto, 2007:5-6).

Namun demikian menurut Witanto yang dikutip oleh Sismanto (2007:6), kekerasan terhadap Etnik Cina di Indonesia, khususnya pada Mei 1998, tidak bisa serta merta timbul karena sentimen etnik. Salah satu faktor yang mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah morfologi fisik pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio ekonomi yang eksklusif telah menumbuhkan citra negatif sebuah kelompok bermodal (baca:Cina). Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi warga kota secara umum. Akibatnya, sentimen etnik terhadap kelompok bermodal


(1)

sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Sedangkan menurut Pierce suatu tindakan, pengaruh, atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda, objek, dan interpretasi (Tinarbuko, 2008:12).

Kemudian muncul Roland Barthes. Roland Barthes merupakan penerus Saussure dimana teorinya menekankan pada cara pembentukan tanda yang menentukan makna dengan menekankan interaksi antara teks dan pengalaman personal atau penggunaaannya. Sehingga dalam proses pemaknaan sebuah tanda memiliki 2 tahap, yakni tahap pertama (makna denotasi) dimana tanda akan di interpretasikan sesuai tanda awal atau dengan melihat realitas fungsi asalnya, kemudian di tahap kedua (makna konotasi) dimana tanda yang muncul tadi akan dihubungkan oleh realitas budaya, gender, agama, ideologi, dll sehingga nanti akan muncul makna yang dipengaruhi oleh prespektif yang memaknainya tadi (Sobur, 2006a:68).

Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level


(2)

terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut (Hermawan, 2008:www.averroes.or.id).

Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks sebagai penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya ‘adibahasa’ (meta-language). Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi. Motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi dan kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terjadi begitu saja atau alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat (Hermawan, 2008:www.averroes.or.id).


(3)

Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran diri yang merembes dari pengertian sesorang akan nilai kegamaan melalui kitab suci (nilai batiniah), sementara kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seorang pembaca atau analis mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi “founding prospective history” (Hermawan, 2008:www.averroes.or.id).

F. Metode Penelitian F.1.Pendekatan Penelitian


(4)

agama yang digambarkan dalam film “cin(T)a”. Oleh karenanya bentuk pendekatan penelitian bukan analisis statistik atau kuantifikasi namun lebih melihat kepada penggambaran bentuk makna terhadap realitas.

F.2.Ruang Lingkup Penelitian

Yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah film “cin(T)a” karya Sammaria Simanjuntak. Penelitian ini diarahkan pada scene/ adegan yang mengandung konflik agama. Film ini berdurasi 1 jam, 17 menit, 50 detik dan terdiri dari 61 scene.

F.3.Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah scene yang ada di dalam film, namun tidak semua scene yang diteliti melainkan hanya scene-scene tertentu yang dianggap menggambarkan bentuk konflik agama dari film “cin(T)a”.

Untuk memudahkan proses analisis dalam penelitian ini, maka peneliti menentukan unit analisis yang terdiri dari audio (dialog, voice over dan monolog) dan visual (karakter pelaku, ekspresi, setting, dan shoot).

F.4.Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data primer : diperoleh dari dokumantasi video Film “cin(T)a”, pengumpulan data dilakukan dengan menyaksikan film tersebut secara keseluruhan, kemudian dilakukan pemilihan scene per scene yang merupakan bentuk dari konflik agama.


(5)

b. Data sekunder : diperoleh melalui kepustakaan yang ada, baik berupa buku, internet maupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada.

F.5.Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotika, yaitu menggunakan teori semiotik Barthes. Teori semiotik Roland Barthes merupakan pengembangan dari teori semiotik Ferdinand de Saurse. Barthes berpendapat bahwa proses pemaknaan sebuah tanda memiliki dua tahap. Tahap pertama ( makna denotasi ) dimana tanda akan di interpretasikan sesuai tanda awal atau dengan melihat realitas fungsi asalnya, kemudian di tahap kedua ( tahap makna konotasi ) dimana tanda yang muncul tadi akan dihubungkan oleh realitas budaya, gender, agama, ideologi, dll sehingga nanti akan muncul makna yang dipengaruhi oleh prespektif yang memaknainya tadi (Sobur, 2006a:68).

Data akan dibaca dan dianalisis dengan memperhatikan elemen yang terkandung dalam film dan kemudian di ketahui maknanya dengan menggunakan interpretasi makna dua tingkat pada tabel Roland Barthes, sehingga nantinya konflik agama yang dimaksudkan dalam film “cin(T)a” akan dapat di deskripsikan oleh peneliti.


(6)

Berikut adalah peta yang diciptakan Barthes tentang proses tanda bekerja : 1. Signifier

(penanda)

2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. Connotative Signifier

(penanda konotatif)

5. Connotative Signified (petanda konotatif) 6. Connotative sign (tanda konotatif) (Sobur : 2006:69)

Dari peta Roland Barthes tersebut dapat terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Saat bersamaan, tanda denotatif adalah penanda konotatif (4). Jadi tanda konotatif tidak hanya memiliki tanda tambahan, namun juga mengandung bagian tanda denotatif yang melandasi kebenarannya.

Setelah kerja analisis dilakukan, maka dapat diketahui penggambaran atas konflik agama yang dimaksudkan dalam film “cin(T)a” sesuai dengan perumusan masalah yang ada untuk mencapai tujuan penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan menyajikan interpertatif secara kualitatif.