Bambu  sebagai  tanaman  penting  bagi  masyarakat  perdesaan  di  Indonesia memiliki  potensi  tumbuh  yang  cukup  baik  karena  mampu  tumbuh  mulai  dari
wilayah  dataran  rendah  hingga  dataran  tinggi,  dengan  iklim  tropis  basah  dan kering,  daerah  kritis,  rawa-rawa,  serta  pinggiran  sungai  baik  yang  tergenangi
banjir  maupun  kering  Dransfield  dan  Widjaja,  1995.  Berdasarkan  hasil interpretasi kawasan hulu DAS Kali Bekasi menggunakan citra ALOS AVNIR-2
maka  diperoleh  luasan  bambu  sebesar  5.360,83  hektar  atau  sekitar  11,39  dari total  luas  DAS  bagian  hulu.  Tingkat  akurasi  yang  diperoleh  sebesar  91  untuk
akurasi  pembuat  dan  86,24  untuk  akurasi  pengguna.  Dari  keseluruhan  luasan bambu di hulu DAS Kali Bekasi, sebagian besar bambu terdistribusi di hulu DAS
bagian  bawah  yaitu  seluas  2.793,59  ha  atau  sekitar  52  dari  total  luas  bambu. Sedangkan  di  hulu  DAS  bagian  tengah  terdapat  seluas  2.412,56  ha  atau  sekitar
45 dan di hulu DAS bagian atas seluas 154,68 ha atau sekitar 3 Gambar 23.
4.4 Keanekaragaman Jenis Bambu
4.4.1  Identifikasi Jenis Tegakan Bambu
Berdasarkan  hasil  pengamatan  pada  tiga  lokasi  pengamatan  diketahui bahwa  terdapat  enam  spesies  bambu  yang  merupakan  jenis  bambu  dengan
pertumbuhan  menyebar  di  seluruh  pulau  Jawa.  Spesies  yang  ditemukan  adalah bambu andong Gigantochloa pseudoarundiaceae Steudel Widjaja, bambu tali
Gigantochloa  apus  Bl.Ex  Schult.f.Kurz.,  bambu  hitam  Gigantochloa atroviolacea Widjaja, bambu betung Dendrocalamus asper Schult. Backer ex
Heyne,  bambu  ampel  hijau  Bambusa  vulgaris  Schrad.,  dan  bambu  krisik Bambusa tuldoides Munro Tabel 14.
Tabel 14. Keanekaragam Jenis Bambu di Hulu DAS Kali Bekasi
No. Nama Jenis
Jumlah Penyebaran
di P. Jawa Lokal
Botani buluh
4.500 m
2
rumpun 4.500 m
2
Atas
1. Bambu
Andong Gigantochloa
pseudoarundiaceae Steudel  Widjaja
16 3
Tumbuh tersebar
2. Bambu
Tali Gigantochloa apus Bl.Ex
Schult.f.Kurz. 350
19 Tumbuh
tersebar 3.
Bambu Hitam
Gigantochloa atroviolacea Widjaja
265 1
Tumbuh tersebar
Lanjutan Tabel 14
No. Nama Jenis
Jumlah Penyebaran
di P. Jawa Lokal
Botani buluh
4.500 m
2
rumpun 4.500 m
2
4. Bambu
Betung Dendrocalamus asper
Schult. Backer ex Heyne 9
1 Tumbuh
tersebar 5.
Bambu Ampel
Hijau Bambusa vulgaris Schrad.
16 1
Tumbuh tersebar
Sub total 1 656
25
Tengah
1. Bambu
Andong Gigantochloa
pseudoarundiaceae Steudel  Widjaja
111 8
Tumbuh tersebar
2. Bambu
Tali Gigantochloa apus Bl.Ex
Schult.f.Kurz. 153
6 Tumbuh
tersebar 3.
Bambu Krisik
Bambusa tuldoides Munro 68
6 Tumbuh
tersebar Sub total 2
332 20
Bawah
1. Bambu
Ampel Hijau
Bambusa vulgaris Schrad. 33
2 Tumbuh
tersebar 2.
Bambu Betung
Dendrocalamus asper Schult. Backer ex Heyne
79 2
Tumbuh tersebar
3. Bambu
Tali Gigantochloa apus Bl.Ex
Schult.f.Kurz. 567
18 Tumbuh
tersebar Sub total 3
679 22
Total Sub total 1+Sub total 2+Sub total 3 1.667
67
Sumber: Hasil pengamatan lapang dengan pengolahan
Di  hulu  DAS  bagian  atas  ditemukan  lima  jenis  bambu  dari  jenis  bambu andong, bambu tali, bambu hitam, bambu betung, dan bambu ampel hijau dengan
total  rumpun  sebanyak  25  buah  dan  buluh  sebanyak  656  buah.  Pada  hulu  DAS bagian  tengah  ditemukan  tiga  jenis  bambu  dari  jenis  bambu  andong,  bambu  tali,
dan bambu krisik sebanyak 20 rumpun dan 332 buah buluh. Sedangkan pada hulu DAS  bagian  bawah  ditemukan  tiga  jenis  bambu  dari  jenis  bambu  ampel,  bambu
betung,  dan  bambu  tali  sebanyak  22  rumpun  dan  679  buah  buluh.  Karakteristik dari  masing-masing  spesies  Dransfield  dan  Widjaja,  1995  dijelaskan  sebagai
berikut:
4.4.1.1 Bambu Andong Gigantochloa pseudoarundiaceae Steudel Widjaja
Bambu  Andong  atau  memiliki  sinonim  Bambusa  pseudoarundiaceae Steudel  1854,  atau  Gigantochloa  verticillata  Willd  Munro  1868  p.p.,  dan
Gigantochloa  maxima  Kurz  1876.  Sedangkan  oleh  masyarakat  di  Indonesia terdapat beberapa nama lokal antara lain pring surat Jawa, awi andong Sunda,
dan buluh batuang danto Padang. Di lokasi penelitian jenis bambu ini dijumpai di  hulu  DAS  bagian  atas  sebanyak  tiga  rumpun  dan  di  hulu  DAS  bagian  tengah
sebanyak delapan rumpun. Pertumbuhan jenis bambu andong memiliki kecepatan tumbuh 3,4 cm per hari dan dalam waktu tiga sampai empat bulan akan mencapai
tinggi maksimal sekitar tujuh sampai 30 m Dransfield dan Widjaja, 1995.
Gambar 24. Bambu Andong
Lebih  lanjut  dijelaskan  bahwa  setelah  berusia  satu  tahun,  bambu  andong mampu  menghasilkan  delapan  hingga  sembilan  buluh  per  tahunnya.  Diameter
bambu  andong  berkisar  antara  lima  sampai  13  cm  dan  ketebalan  buluh  dua sentimeter. Jarak diantara buku mencapai 40 sampai 45 cm. Jenis bambu andong
mudah  dibedakan  diantara  bambu-bambu  lainnya  dengan  corak  berupa  garis kuning  kehijauan  pada  buluhnya  Gambar  24.  Bambu  andong  menghasilkan
bunga  setelah  mencapai  usia  50  sampai  60  tahun  dan  kemudian  setelah  bunga dihasilkan maka rumpun akan mati.
Sumber: Dok. Pribadi
Dransfield dan Widjaja 1995 menyatakan bahwa habitat dari jenis bambu andong  pada  dataran  rendah  hingga  ketinggian  1200  m  dpl  di  daerah  tropis
rendah.  Curah  hujan  yang  disukai  berkisar  antara  2350  sampai  4200  mmtahun dan  kelembaban  70.  Sedangkan  suhu  optimum  bagi  pertumbuhan  bambu
andong  berkisar  antara  20  sampai  32  °C.  Jenis  tanah  yang  sesuai  untuk pertumbuhan jenis bambu ini adalah jenis tanah aluvial dan berpasir. Asal bambu
andong  tidak  diketahui,  namun  bambu  jenis  ini  dibudidayakan  secara  luas  oleh masyarakat  di  Indonesia  mulai  dari  Jawa,  Bali,  Sumatera,  dan  kepulauan
Mentawai  dan  kemudian  diintroduksi  ke  wilayah  kepulauan  Malaysia  dan  India. Pemanenan  terbaik  dilakukan  setelah  bambu  berusia  tiga  tahun  yang  dipanen
sekitar  musim  kemarau  April  hingga  Oktober.  Kegunaan  bambu  andong  yang dijumpai  di  lokasi  pengamatan  antara  lain  sebagai  bahan  bangunan,  pipa  air,
maupun  untuk  keperluan  pemakaman  sehingga  banyak  dibudidayakan  dekat dengan lokasi pemakaman.
4.4.1.2 Bambu Tali Gigantochloa apus Bl.Ex Schult.f.Kurz.
Bambu  tali  memiliki  sinonim  antara  lain  Bambusa  apus  J.A    J.H. Schultes  1830  dan  Gigantochloa  kurzii  Gamble  1896.  Sedangkan  nama  lokal
yang dikenal masyarakat di Indonesia antara lain pring tali atau pring apus Jawa dan  awi  tali  Sunda.  Di  lokasi  penelitian,  jenis  bambu  tali  dijumpai  di  seluruh
lokasi pengamatan yaitu di hulu DAS bagian tengah sebanyak 19 rumpun, di hulu DAS bagian tengah sebanyak 6 rumpun, dan di hulu DAS bagian bawah sebanyak
18 rumpun. Menurut Darnsfield dan Widjaja 1995 pertumbuhan jenis bambu tali setelah  berusia  satu  tahun  akan  menghasilkan  10  sampai  15  buluh  dewasa  yang
kemudian  dipanen  pada  usia  satu  hingga  tiga  tahun  mendatang.  Lebih  lanjut dijelaskan bahwa diameter bambu tali sekitar antara empat sampai 13 cm dengan
ketebalan  mencapai  1,5  cm  dan  ketinggian  maksimum  mencapai  delapan  hingga 30  m.  Buluh  bambu  tali  berwarna  hijau  dan  hijau  terang  dan  kekuningan  dan
diselimuti lapisan lilin pada saat usianya masih muda Gambar 25.
Dransfield  da bambu tali dimulai se
adalah pada daerah tr 1500  m  dpl.  Jenis  tana
tanaman  bambu  tal diintroduksi  ke  Pula
Sulawesi  Tengah,  dan yaitu  pada  musim  ke
sekitar dua tahun. Ke sebagai  bahan  bang
keranjang. 4.4.1.3
Bambu Hitam Bambu  hitam
verticillata Wild. at dikenal masyarakat di
Sunda.  Pada  lokasi bagian atas sebanyak
Menurut Dransfield da Gambar 25. Bambu Tali
dan  Widjaja  1995  menyatakan  bahwa  pem setelah bambu berusia 50 hingga 60 tahun. Ha
h tropis lembab hingga perbukitan dengan ketingg tanah  yang  disukai  adalah  jenis  tanah  liat  ata
tali  adalah  Myanmar  dan  Thailand  bagia ulau  Jawa  dan  kemudian  menyebar  ke  Sum
dan  Kalimantan  Tengah.  Pemanenan  terbaik  unt kemarau  dengan  usia  minimal  buluh  yang
egunaan jenis bambu tali pada lokasi pengam ngunan  dinding,  lantai,  atap,  langit-langit
m Gigantochloa atroviolacea Widjaja m  black  bambu  memiliki  sinonim  antara  lai
atau Munro sensu Backer p.p.. Sedangkan n di Indonesia antara lain pring wulung Jawa da
okasi  penelitian  jenis  bambu  ini  hanya  dijumpa ak satu rumpun.  Pertumbuhan bambu hitam te
d dan Widjaja 1995, setelah bambu berusia s
Sumber: Dok. Pribadi
pembungaan  pada Habitat bambu tali
tinggian mencapai tau  berpasir.  Asal
gian  selatan  dan umatera  Selatan,
k  untuk  bambu  tali g  dipanen  adalah
ngamatan antara lain t  maupun  bahan
lain  Gigantochloa n nama lokal  yang
dan awi hideung pai  di  hulu  DAS
tergolong lambat. sekitar dua tahun
maka buluh yang dihasilkan 15 buah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bambu hitam akan  mencapai  pertumbuhan  maksimum  setelah  berusia  lima  bulan  dengan
kecepatan  pertumbuhan  sekitar  sembilan  cm  per  hari.  Ukuran  buluh  akan bertambah  seiring  dengan  bertambahan  usia  rumpun.  Diameter  buluh  sekitar  2,2
hingga  7,6  cm  dengan  ketinggian  mencapai  9,3  m  pada  usia  tiga  tahun.  Buluh bambu hitam berwarna hijau ketika muda dan keunguan ketika tua Gambar 26.
Semakin kering suatu area maka warna keunguan pada buluh akan semakin kuat. Dransfield  dan  Widjaja  1995  menyatakan  bahwa,  habitat  bambu  hitam
yaitu  pada  dataran  rendah  daerah  tropis  dengan  lingkungan  kering,  tanah berkapur, Curah hujan yang disukai berkisar antara 1500-3700 mmtahun dengan
kelembaban 70. Di pulau Jawa jenis bambu hitam ditemukan pada jenis tanah latosol merah dan merah kecoklatan. Asal bambu hitam ini tidak diketahui namun
jenis  bambu  hitam  biasa  dijumpai  di  daerah  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Barat  dan kemudian  diintroduksikan  ke  wilayah  lainnya  di  Indonesia  seperti  Sumatera
Selatan.  Pemanenan  dapat  dilakukan  setelah  tanaman  berusia  empat  hingga  lima tahun  dan  waktu  terbaik  dilakukannya  pemanenan  adalah  pada  musim  kemarau.
Kegunaan bambu hitam yang ditemukan di lokasi pengamatan adalah bahan baku anyaman pembuatan bilik sehingga memiliki kombinasi warna yang menarik.
Gambar 26. Bambu Hitam
Sumber: Dok. Pribadi
4.4.1.4 Bambu Betung Dendrocalamus asper Schult. Backer ex Heyne
Bambu  betung  atau  dalam  bahasa  Inggris  dikenal  dengan  nama  giant bamboo  Gambar  27  memiliki  sinonim  antara  lain  Bambusa  aspera  Schultes  f.
1830, atau Dendrocalamus flagellifer Munro 1866, atau Gigantochloa aspera Schultes f. Kurz 1876, dan Dendrocalamus merrilianus Elmer Elmer 1915.
Sedangkan  nama  lokal  yang  dikenal  masyarakat  di  Indonesia  antara  lain  awi bitung  Sunda,  buluh  batung  Batak.  Pada  lokasi  penelitian  jenis  bambu  ini
hanya dijumpai di hulu DAS bagian atas sebanyak satu rumpun dan di hulu DAS bagian bawah sebanyak dua rumpun. Pertumbuhan bambu betung dicapai kurang
dari satu tahun setelah penanaman dan mencapai ukuran maksimal setelah berusia lima  sampai  enam  tahun.  Diameter  buluh  sekitar  delapan  sampai  20  cm  dengan
tinggi antara 20 hingga 30 m. Rumpun bambu betung dewasa memiliki diameter mencapai  tiga  meter  dengan  jumlah  buluh  sebanyak  60  buah  Dransfield  dan
Widjaja, 1995.
Gambar 27. Bambu Betung
Habitat bambu betung menurut Dransfield dan Widjaja 1995 mulai dari dataran  rendah  hingga  ketinggian  1500  m  dpl,  namun  pertumbuhan  terbaik  pada
area  dengan  ketinggian  antara  400  hingga  500  m  dpl.  Lebih  lanjut  dijelaskan
Sumber: Dok. Pribadi
bahwa  curah  hujan  rata-rata  yang  disukai  adalah  sekitar  2.400  mm  per  tahun. Bambu betung dapat tumbuh dengan berbagai kondisi tanah, namun pertumbuhan
terbaik  apabila  tanah  memiliki  drainase  yang  baik.  Asal  tanaman  bambu  betung tidak  diketahui  secara  pasti,  namun  bambu  betung  merupakan  tanaman  asli  Asia
Tenggara  dan  kemudian  ditanam  di  hampir  seluruh  Asia.  Di  Indonesia  bambu betung  banyak  ditemukan  di  wilayah  Sumatera,  Jawa  Timur,  Sulawesi  Selatan,
Pulau  Seram,  dan  Irian  Jaya  bagian  barat  sebagai  bambu  tumbuh  alamiliar. Pemanenan  bambu  betung  menghasilkan  sekitar  10  buluh  pertahun.  Bambu
betung pada lokasi pengamatan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah dan jembatan,  serta  dapat  digunakan  sebagai  wadah  menyimpan  air  nira  karena
diameternya yang cukup besar. Rebungnya juga enak untuk dimakan. 4.4.1.5
Bambu Ampel Hijau Bambusa vulgaris Schrad. Bambu  ampel  hijau  atau  dalam  bahasa  Inggris  disebut  common  bamboo
memiliki  sinonim  antara  lain  Bambusa  thouarsii  Kunth  1822,  Bambusa surinamensis  Ruprecht  1839,  dan  Leleba  vulgaris  Schrader  ex  Wendland
Nakai  1933.  Sedangkan  nama  lokal  yang  dikenal  masyarakat  di  Indonesia bambu  ampel,  dan  haur  Sunda.  Pada  lokasi  penelitian  jenis  bambu  ini  hanya
dijumpai di hulu DAS bagian atas sebanyak satu rumpun dan di hulu DAS bagian bawah sebanyak dua rumpun.
Gambar 28. Bambu Ampel Hijau
Sumber: Dok. Pribadi
Pertumbuhan  bambu  ampel  B.vulgaris  tergolong  sangat  cepat  yaitu dalam dua minggu mencapai ketinggian tiga hingga  empat meter dan dalam tiga
bulan  mencapai  ketinggian  20  m.  Buluh  bambu  ampel  hijau  berwarna  hijau mengkilat Gambar 28. Diameter buluh antara empat hingga sepuluh cm dimana
diameter  maksimal  dapat  dicapai  setelah  buluh  berusia  sembilan  tahun.  Tinggi bambu ampel hijau sekitar sepuluh hingga 20 m. Terdapat sekitar 43 buku dalam
satu buluh dengan jarak antar buku sekitar dua sampai tiga meter Dransfield dan Widjaja, 1995.
Habitat bambu ampel hijau menurut Dransfield dan Widjaja 1995 adalah di  daerah  tropis  dataran  rendah  hingga  ketinggian  sekitar  1200  m  dpl.  Namun,
pertumbuhan  terbaik  dapat  dicapai  pada  elevasi  di  bawah  1000  m  dpl.  Selain dibudidayakan,  bambu  ampel  hijau  juga  tumbuh  di  pinggiran  sungai,  dan
ditanaman  sebagai  tanaman  hias  di  perkotaan.  Asal  tanaman  bambu  ampel  hijau adalah daerah Asia tropis. Pemanenan bambu ampel hijau dapat dilakukan kapan
saja  saat  bambu  dibutuhkan,  namun  pemanenen  sebaiknya  dilakukan  setelah bambu  berusia  tiga  tahun.  Kegunaan  bambu  ampel  hijau  yang  ditemukan  pada
lokasi pengamatan adalah sebagai bahan baku bangunan. Selain itu, bambu ampel hijau  juga  diketahui  dapat  dimanfaatkan  sebagai  bahan  baku  pembuatan  furnitur
maupun bahan baku pulp. 4.4.1.6
Bambu Krisik Bambusa tuldoides Munro Bambu  krisik  atau  dalam  bahasa  Inggris  dikenal  dengan  nama  Buddha’s
belly  bamboo  memiliki  sinonim  antara  lain  Bambusa  pallescens  Doell  Hackel 1908,  Bambusa  ventricosa  McClure  1938,  dan  Bambusa  longiflora  W.T.Lin
1980.  Sedangkan  nama  lokal  yang  dikenal  masyarakat  di  Indonesia  bambu krisik atau bambu blenduk. Pada lokasi penelitian, jenis bambu ini hanya dijumpai
di  hulu  DAS  bagian  tengah  sebanyak  enam  rumpun  sebagai  tanaman  pagar. Menurut  Dransfield  dan  Widjaja  1995,  pertumbuhan  bambu  krisik  untuk
mencapai  ketinggian  maksimum  adalah  kurang  dari  satu  tahun.  Diameter  buluh antara  tiga  hingga  lima  sentimeter  dengan  tinggi  sekitar  enam  sampai  sepuluh
meter. Pertumbuhan buluh dalam rumpun tergolong padat dan rapat. Lebih lanjut dijelaskan  bahwa  habitat  bambu  krisik  secara  alami  tumbuh  pada  daerah  dengan
ketinggian rendah bahkan mampu tumbuh pada suhu minimum -7°C.
Asal  tanaman diintroduksikan ke w
Tanaman  ini  umum bambu  krisik  dengan
Kegunaan bambu kris tanaman pembatas ata
4.4.2 Indeks Keane