PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI
MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Oleh:
Alfidah Dwi Pertiwi
201210230311245

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

i

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI
MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah

satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:
Alfidah Dwi Pertiwi
201210230311245

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
i

LEMBAR PENGESAHAN
: Perbedaan Psychological Well Being ditinjau dari Masa
Perceraian pada Perempuan
2. Nama Peneliti
: Alfidah Dwi Pertiwi
3. NIM
: 201210230311245
4. Fakultas
: Psikologi

5. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
6. Waktu Penelitian
: 28 Februari 2016
Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal
1. Judul Skripsi

Dewan Penguji
Ketua Penguji
: Yudi Suharsono, M.Si
Anggota Penguji : 1. Adhyatman Prabowo, M.Psi
2. Ni’matuzaroh, S.Psi, M. Si
3. Diana Safitri S. Psi, M.Psi
Pembimbing I

(
(
(
(


)
)
)
)

Pembimbing II

Yudi Suharsono, MSi

Adhyatman Prabowo, M.Psi

Malang, 29 April 2016

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Dra. Tri Dayakisni, M.Si.

ii


SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Alfidah Dwi Pertiwi

NIM

: 201210230311245

Fakultas/Jurusan

: Psikologi

Perguruan Tinggi

: Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi atau karya ilmiah yang berjudul :
Perbedaan Psychological Well Being ditinjau dari Masa Perceraian pada Perempuan

1. Bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan skripsi atau karya ilmiah dari penelitian yang saya lakukan
merupakan hak bebas royaliti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber
pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila
pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undangundang yang berlaku.

Mengetahui

Malang, 29 April 2016

Ketua Program Studi

Yang Menyatakan

Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si

Alfidah Dwi Pertiwi


iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Perbedaan Psychological Well-Being ditinjau dari Masa Perceraian pada
Perempuan”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di
Unviersitas Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan,
petunjuk, bantuan yang bermanfaat serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Ibu Dra. Tri Dayaksini, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Bapak Yudi Suharsono, M.Psi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I atas
bimbingan, pengarahan, serta saran dukungan yang berarti kepada penulis
selama penyusun skripsi.
3. Bapak Adhyatman Prabowo, M.Psi. selaku Dosen Pembimbing II atas
bimbingan, pengarahan, serta saran dukungan yang berarti kepada penulis
selama penyusun skripsi.

4. Bapak Zainul Anwar, M.Psi selaku Dosen Wali Kelas D 2012 yang telah
mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya
skripsi ini.
5. Ayahanda tercinta yang menjadi motivasi terbesar untuk segera menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih Ayah atas segala limpahan kasih sayang, nasehat,
motivasi serta dukungan Ayah yang begitu luar biasa.
6. Ibunda terhebat yang tidak pernah bosan mendengar segala keluh kesah saya
dalam proses pengerjaan skripsi ini. Wanitaku terhebat dan tak terduakan jasa
ibu abadi selama-lamanya.
7. Kakak terbaikku Hesti Manda Sari, Mbak Lely, dan Mbak Lia yang tidak pernah
bosan meningatkan setiap harinya agar segera menyelesaikan skripsi ini.
8. Sugik Sumbodo sebagai calon suami yang selalu bersedia menghibur disaat
mulai menyerah dan jenuh dengan skripsi.
iv

9. Sahabatku tersayang Adinda, Nabila Izzah, Maulia Dina, Nurwijayanti dan Erin
yang memberi semangat di saat revisi.
10. Teman seperjuagan Tomi, Sodeq, dan Mamat yang menjadi fasilitator untuk
menyegarkan pikiran yang jenuh karena skripsi.
11. Teman rasa saudara yaitu grup yang bernama ‘Psycloth’ terbentuk dari awal

perkulihaan hingga saat ini, untuk grup ‘Oldfriend’ grup SMA yang terdiri dari
sebelas orang, dan juga ‘PowerPuffGirl’ grup yang terbentuk dari pelaksanaan
KKN mereka dengan tulus hati senantiasa menghibur, memberikan motivasi dan
semangat secara berlebihan.
12. Ardhitodarma, Ayulia, Baskoro, Hana, Humada, Qisthi dan juga seluruh temanteman kelas D angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah memberikan doa dan dukungannya.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari
Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat
penulis harapkan. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak khusunya peneliti selanjutnya dan pembaca pada umumnya.
Malang,

April 2016

Penulis

Alfidah Dwi Pertiwi

v


DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................... ii
Surat Pernyataan ....................................................................................................... iii
Kata Pengantar .......................................................................................................... iv
Daftar Isi ................................................................................................................... vi
Daftar Tabel .............................................................................................................. vii
Daftar Lampiran ....................................................................................................... viii
Pendahuluan .............................................................................................................. 2
Landasan Teori
Psychological Well-Being ................................................................................ 5
Dimensi yang Mempengaruhi Psychological Well-Being .............................. 6
Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Bein ................................... 7
Masa Perceraian .............................................................................................. 8
Psychology Well-Being dan Masa Perceraian ................................................ 9
Hipotesa .................................................................................................................... 10
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian ...................................................................................... 10

Subjek Penelitian ............................................................................................. 10
Variabel dan Instrumen Penelitian .................................................................. 11
Prosedur dan Analisa Data .............................................................................. 11
Hasil penelitian ......................................................................................................... 12
Diskusi ...................................................................................................................... 14
Kesimpulan dan Implikasi ........................................................................................ 16
Referensi ................................................................................................................... 17

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................................ 12
Tabel 2. Hasil Analisa Uji t-test ............................................................................... 13
Tabel 3. Skor Tinggi Rendah Psychological Well-Being ......................................... 13
Tabel 4. Skor Psychological Well-Being per Aspek Umum ..................................... 13
Tabel 5. Skor Psychological Well-Being per Aspek Khusu ..................................... 14

vii


DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
Blue Print Skala Try Out, Lay Out Skala Try Out, dan Hasil Try Out .................... 21
LAMPIRAN 2
Blue Print Skala Penelitian, Lay Out Skala Penelitian, dan Hasil Penelitian ........... 25
LAMPIRAN 3
Skala dari Language Center ...................................................................................... 54
LAMPIRAN 4
Surat Ijin Penelitian .................................................................................................. 57

viii

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI
MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN
Alfidah Dwi Pertiwi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
alfidapertiwi@gmail.com
Psychological Well-Being pada perempuan bercerai adalah bagaimana
individu mengevaluasi kehidupan mereka untuk mendapatkan makna dalam
hidup, sehingga dapat merasakan kesejahteraan pasca perceraian. Setiap
individu memiliki perbedaan kurun waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan masa transisi dari berstatus menikah menjadi seorang
janda.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological
well-being jika ditinjau dari masa perceraian pada perempuan di Kabupaten
Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif komparatif
denganmelibatkan subjek 84perempuan bercerai yang sah dimata hukum.
Metode pengumpulan data menggunakan skala psychological well-being
dengan pembanding masa perceraianyang dianalisa melalui independent
sample t-test. Hasil analisis diperoleh bahwa hipotesis diterima (sig.=0.000)
berarti ada perbedaan psychological well-being jika ditinjau dari masa
perceraian. Semakin pendek masa perceraian maka psychological well-being
semakin rendah dan semakin panjang masa perceraian maka psychological
well-being semakin tinggi.
Kata kunci : Psychological Well-being, Masa Perceraian, Janda
Psychological Well-Being at divorced women is how people evaluate their
lives to find meaning in life, so that they can feel the well-being of postdivorce. Each individual has a different period of time needed to perform the
transition from married status became a widow.This research aims to
determine differences in psychological well-being if the review of a divorce
period on women in the district of Malang.This research a quantitative
approach comparative involving 84 female subjects divorced legitimate in
the eyes of the law.Methods of data collection using a scale of psychological
well-being in comparison to divorce period analyzed by independent sample
t-test. Results of the analysis showed that the hypothesis is accepted (sig. =
0.000) means that there are differences in psychological well-being if the
terms of the divorce period. The shorter the time of divorce, the
psychological well-being lower and the longer the period of divorce, the
psychological well-being higher.
Keyword : Psychological Well-being, Divorce Period, Widow

1

Fenomena perceraian di Indonesia bukan menjadi sesuatu yang asing untuk disajikan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang bisa di bilang
cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan data-data yang tercatat di pengadilan Agama dan
Pengadilan negeri yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Jika di tahun 2013
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasioanal) menyatakan tingkat
perceraian di Indonesia sudah menempati urutan tertinggi se-Asia Pasifik, ternyata di
tahun-tahun berikutnya jumlah angka perceraian tetapmengalamipeningkatan. Selain itu
jika di lihat dari data pernikahan dan perceraian di Indonesia yang dirilis oleh
Kementrian Agama RI, tampak pernikahan relatif tetap di angka 2.200.000 setiap tahun,
sementara angka perceraian selalu meningkat hingga tembus di atas 300.000 kejadian
setiap tahunnya.
Angka perceraian yang terjadi di Indonesia59% di antaranya adalah gugat cerai.
Berdasarkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama, pada kasus perceraian tahun 2010 yakni, cerai talak 81,535 (27.58%),
cerai gugat 169,673 (57.40%), perkara lain 44.381 (15%). Jadi keseluruhan kasus
perceraian pada tahun 2010 yakni sebanyak 295.589. Di tahun 2011 kasus perceraian
meningkat menjadi 363.470 dari cerai talak 99.599 (27,40%), cerai gugat 215.365
(59,25%), perkara lain 48.503 (13,34%). Humas Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa
Timur mengatakan bahwa kasus perceraian di Jawa Timur juga telah mencapai 81.672
kasus. Lebih dari 70% kasus cerai gugat tersebut diajukan oleh pihak wanita. Tingginya
kasus perceraian tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam perihal pernikahan. Oleh
karena itu, hampir setiap hari pihak pengadilan selalu menerima laporan kasus
perceraian (Nurani, 2013). Berdasarkan data laporan perkara yang diterima oleh PTA
(Pengadilan Tinggi Agama) Kabupaten Malang tahun 2011 sampai tahun 2015,
sebanyak 22.931 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami cerai gugat. Sedangkan,
sebanyak 12.906 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami kasus cerai talak.
Menurut Nakamura dalam Sudarto& Wirawan (2000) sebagai orang timur,
perceraiandihindari mengingat label yang diberikan kepada seseorang yang telah
berceraicenderung negatif, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu hal yang memalukan
dan menjatuhkan martabat keluarga. Sedangkan Wirawan (2000) mengatakan bahwa
setelah seorang individu bercerai akan mengalami masalah terkait dengan
perubahanstatus dan peran. Dari yang sebelumnya menjadi seorang istri menjadi
seorang janda. Apalagi jika perubahan status dikarenakan perceraian, maka akan jauh
lebih sulit diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan janda karenakematian. Hal
tersebut terjadi karena adanya anggapan masyarakat umum yang menyatakan bahwa
istri beranimengambil keputusan untuk meninggalkan hubungan pernikahan yang sudah
dijalani (apapun alasannya) merupakan perempuanyang gagal dalam memelihara
keutuhan rumah tangganya dan tidak berhasil dalam memenuhi kewajiban dan tanggung
jawabnya, serta membuat aibkeluarga. Maka akibatnya adalah banyaknya perempuan
yang menjadi tertekan dan cenderung akan menyalahkan dirinya atas seluruh kejadian
yang telah terjadi, serta meyakini dirinya sebagai perempuan yanggagal.
Menurut Mitchel (1992) pasca bercerai dan menjadi janda individu tersebut akan
merasakan berbagai macam perasaan seperti trauma, kemarahan, kesedihan, penyesalan,
sakit hati, kehilangan, kekecewaan, dan merasakan perasaan buruk yang lainnya.
Selanjutnya tergantung dari bagaimana seorang janda mengatur strategi untuk
mengatasi perasaann-perasaan tersebut. Dalam penelitian yang telah dilakukan Sudarto
& Wirawan (2002) mengatakan bahwa sebelum terjadi perceraian individu akan
2

memandang hidupnya sebagai masa yang menyenangkan. Namun, ketika konflik mulai
hadir dalam suatu pernikahan dan berdampak pada kehancuran pernikahan yang telah
dibina, kehidupan dipandang sebagai masa yang menyedihkan, penuh penderitaan, dan
kekecewaan.
Panilia dan Feldman (Dewi dan Idrus, 2000) menyatakan bahwa perempuan cenderung
mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas sehari-hari setelah masa perceraian
dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Nurzeha (Dewi dan Idrus, 2000) perubahan
status dari seorang istri menjadi janda tidaklah mudah untuk diterima. Di samping rasa
percaya diri kecerdasan mental, dibutuhkan pula kepribadian yang kuat, dan keberanian
untuk mempertahankan hidup ditengah-tengah masyarakat.
Hurlock (1980) menyebutkan perceraian sebagai solusi dari penyelesaian pernikahan
yang kurang baik dan apabila antara suami dan istri sudah tidak ingin dan tidak
memiliki kemampuan untuk mencari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan
kedua belah pihak yang bersangkutan. Dagun (2002) menambahkan bahwa perceraian
dalam keluarga sering kali diawali dengan adanya suatu konflik.Individu yang
mengalami perceraian akan menghadapi berbagai permasalahan, di antaranya harus
mengatasi kondisi diri sendiri, memberikan pengertian kepada keluarga bahwa
perceraian merupakan keputusan yang harus diambil, sertaharus menghadapi
permasalahan dari masyarakat. Berbagai masalah tersebut akan menjadi beban bagi
individu dan menjadi terpuruk ke dalam keadaan yangmenyedihkan. Namun pada
dasarnya, yang dirasakan perempuan akan menjadi lebihberat dibandingkan dengan
yang dirasakan laki-laki (Craig, 1992).
Pada umumnya menjadi janda akantersisih dan banyak dibicarakan oleh lingkungan.
Perempuan bercerai juga mengalami masalah psikologis(tergantung penyebab
perceraiannya), kemudian harus memikirkan danmenanggung biaya hidup keluarga,
serta pandangan negatif masyarakat tentangstatus dan predikat mereka (janda), yang
tentunya semua itu cukup berat bagimereka.Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan pada 21 November 2015 kepada lima perempuan yang baru menyandang
status janda, didapatkan hasil bahwa perceraian yang sudah terjadi membawa perubahan
situasi seperti merasa cemas, perasaan tidak tenang, tidak nyaman dengan status baru
yang di sandang. Selain itu dari segi sosial juga memunculkan perubahan perlakuan
orang-orang disekitar, seorang janda menjadi bahan gunjingan adalah sesuatu yang
menjadi sebuah kebiasaan. Namun, bagi seorang janda hal tersebut menjadi sebuah
beban dan menjadi penghambat untuk hidup bersosialisasi secara baik seperti sebelum
menjadi seorang janda. Untuk janda yang sudah memiliki anak, perekonomian
merupakan masalah besar baginya, bagaimana keberlangsungan hidup dan masa depan
anak menjadi tanggung jawab mandiri tanpa bantuan seorang kepala keluarga seperti
sebelumnya. Satu dari lima janda yang diwawancara ada satu janda yang memunculkan
jawaban yang berbalik dari janda-janda yang lain, bahwa janda tersebut justru merasa
lega pasca bercerai, karena alasan janda tersebut bercerai adalah mantan suaminya
melakukan perselingkuhan. Sehingga, ketika perceraian sah didapatkan janda tersebut
merasa terlepas dari seseorang yang telah mengkhianatinya.
Begitu pula dengan wawancara kedua yang dilakukan pada 30 Januari 2016 kepada tiga
janda, didapatkan hasil salah satu dari mereka merasa lebih lega dan bebas pasca
bercerai. Hal itu didasarkan alasan perceraian karena sang suami tidak mau bekerja dan
hanya mengandalkan materi dari istri. Namun, dua janda yang lain mengalami
kesedihan dan kekecewaan pasca bercerai karena tidak menyangka bahwa pernikahan
3

mereka harus berakhir pada perceraian. Jika disimpulkan dari kedua wawancara yang
sudah dilakukan, dua dari delapan janda merasa lebih lega pasca bercerai, kemudian
enam janda yang lain menyatakan rasa sedih dan kekecewaan pasca bercerai. Jadi,
perempuan yang mengalami perceraian cepat atau lambat mengalami dampak positif
maupun negatif dari berbagai sisi bagi psikis, sosial, maupun materi.
Menurut Williams & Umberson (2004) perceraian dapat memiliki efek krisis.
Keputusan untuk melakukan perceraian bisa menjadi pengalaman yang sangat
menyedihkan dan menggangguemosional, sehingga nantinya akan mengakibatkan
penurunan kesejahteraan. Penurunan kesejahteraan yang dimaksud adalah psychological
well-being pada individu pasca bercerai. Psychological well-being adalah saat dimana
seseorang hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana
mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang dimiliki. Evaluasi
terhadap pengalaman dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan
yang membuat psychological well-being menjadi rendah, atau berusaha memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat.
Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang
terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui
potensi-potensi positif yang ada pada dirinya (Ryff dan Keyes, 1995).
Individu mungkin akan mengalami masa-masa ketidakpercayaan, kemarahan, dan
keputusaaan, dan suatu masa untuk menimbang-nimbang, dan akhirnya di mana anda
dapat menerima kenyataan. Masa-masa ini mungkin tidak terjadi berurutan, mungkin
juga bersamaan dan anda berpindah dari satu ke yang lainnya. Lamanya waktu dari satu
masa ke masa yang lain akan berlainan tergantung orangnya. Anda mungkin tidak dapat
mencapai masa di mana anda dapat menerima kenyataan sampai dua tahun atau bahkan
lebih (Mitchell, 1991).
Menjanda memberikan efek negatif pada kepuasaan hidup, yang perlahan menghilang
dari waktu ke waktu. Meskipun delapan tahun menjanda masih memiliki kesejahteraan
lebih rendah dibandingkan dengan yang tetap melanjutkan pernikahan. (Clark et al
dalam Gardner & Oswold, 2005) menganalisa konseskuensi dari berbagai peristiwa
kehidupan, termasuk kepuasan hidup setelah perceraian, dan menemukan efek yang
cukup rumit bahwa perempuan tampaknya lebih terpengaruh daripada pria karena
perkawinan dan perceraian. Menurut (Pearlin & Johnson; Gove & Shin, dalam Marks &
Lambert, 1996) di antara orang yang single yang sebelumnya pernah menikah,
kemudian bercerai dan menjadi janda dilaporkan miskin kesejahteraan dan memberikan
bukti lebih distress daripada orang yang tidak pernah menikah.
Beberapa studi berbasis populasi telah dilakukan yang mengarah pada efek kesehatan
mental transisi dari pernikahan ke perceraian. (Menaghan & Lieberman, dalam Marks &
Lambert, 1996) menggunakan sampel probabilitas yang diikuti lebih dari 1000 orang
dewasa dari daerah Chicago selama empat tahun (1972-1976) untuk menguji dampak
dari perceraian mempengaruhi perubahan depresi. Para peneliti ini menemukan bahwa,
pada kenyataannya, perceraian menyebabkan peningkatan depresi yang mempengaruhi :
masalah ekonomi, tidak adanya kepercayaan, dan pengurangan standart hidup, dan
penurunan kesejahteraan.
Menurut (Amato & James, dalam Harkonen, 2013) secara umum, penyesuaian bercerai
menunjukkan variasi yang besar, beberapa individu mengelola relatif cepat untuk
menyesuaikan diri dengan situasi baru, sedangkan untuk orang lain memerlukan jangka
4

panjang, untuk masalah kronis yang mungkin tidak pernah sepenuhnya pulih. Seperti
dalam penelitianSudarto (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu
memandangkehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika
ketegangan hadirdalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan
dipandangsebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta
perjuangan.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu untuk mengkaji apakah ada perbedaan
psychological well-being pada perempuan jika ditinjau dari masa perceraian.Bagaimana
masa perceraian menjadi perbandingan untuk mengetahui kesejahteraan individu pasca
bercerai mengalami peningkatan atau menurun. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah adaperbedaan psychological well-being jika ditinjau dari masa
perceraian pada perempuan. Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis.Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu dalam ranah Psikologi,
khususnya dibidang Psikologi Sosial untuk mengkaji bagaimana perbandingan
psychological well-being pada perempuan yang sudah bercerai ditinjau dari masa
perceraian.Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi
wanita yang telah berceraidalam mendapatkan psychological well-beingpasca
bercerai.Dan bagi pihak lain, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pihak lain
dalam menyajikan informasi untuk melakukan penelitian yang serupa.
Penelitian ini penting dilakukan mengingat angka perceraian setiap tahunnya yang
semakin meningkat. Selain itu hasil dari penelitian ini bisa dijadikan bahan
pertimbangan bagi wanita yang telah bercerai untuk memikirkan ulang ketika
memutuskan untuk menikah atau pun bercerai karena kedua kejadian tersebut memiliki
pengaruh besar dalam kehidupan. Segala sesuatu yang di dunia ini tidak memiliki
kepastian dalam proses perjalanannya, namun perencanaan dan pengambilan keputusan
yang bijak menjadi salah satu bekal utama untuk mendapatkan kehidupan yang positif
dan sejahtera.
Psychological Well-being
Menurut Aristoteles (oleh Ryff, 1996), tujuan akhir dari hidup manusia yaitu
kesejahteraan. Menurut Diener (1996), sejahtera merupakan hak dari setiap orang.
Psychological well-being merujuk pada bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan
mereka (Diener, 1997).
Menurut (Ryff, 1995) penting untuk mendapatkan
psychological well-being karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di
dalamnya yang akan membuat seseorang dapat mengidentifikasikan apa yang hilang
dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki
tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda
pada masing-masing individu.
Menurut Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well-being sebagai pencapaian
penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima
kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan
orang lain yang ada disekitar kehidupannya, memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan dan mandiri, mampu berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki
tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam
kehidupannya. Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah sejahtera (well being)
dan kepuasaan hati, yaitu kepuasan menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan
5

harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley, dalam Hurlock, 1994) menambahkan
bahwa, kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalamnpengalamannya, yang disertai tingkat kebahagiaan.
Dari penjelasan diatas mengenai definisi psychological well-being dapat disimpulkan
bahwa psychological well-being adalah kondisi dimana individu mampu menghadapi
berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui
periode sulit dalam kehidupan yang dijalani dengan mengandalkan kemampuan yang
ada dalam dirinya. Bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka dengan
menjalankan fungsi positif yang ada dalam dirinya untuk mendapatkan makna dalam
hidup, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin
pada kehidupannya.
Dimensi-Dimensi yang Mempengaruhi Psychological Well-being
Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari teori positive
functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff, 1989: Ryff dan Keyes,
1995), yaitu :
1. Kemandirian(Autonomy)
Dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk menentukan
diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu tidak lagi
terpaku pada hukum yang berlaku di dalam masyarakat ataupun kelompoknya.
Individu yang baik pada dimensi ini, mampu menolak tekanan sosial untuk
berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri
sendiri dengan standart personal. Sedangkan indvidu yang rendah untuk dimensi
ini akan memperhatikan evaluasi dari orang-orang disekitarnya, membuat
keputusan berdasarkan penilaian orang lain.
2. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dalam dimensi ini dijelaskan mengenai kemampuan individu untuk memilih dan
menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikologis mereka. Kematangan
dalam dimensi ini terlihat pada kemampuan individu untuk menghadapi kejadian
yang ada diluar dirinya. Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan
lingkungan mampu berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan dan
mengendalikan kesempatan dalam lingkungan secara efektif yang sesuai dengan
konteks dan nilai invidu itu sendiri. Sedangkan untuk seseorang yang memiliki
penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan untuk
mengatur lingkungannya, mengalami kekawatiran secara terus-menerus, tidak
peka dengan kesempatan yang ada, dan tidak memiliki kontrol dalam diri.
3. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dalam dimensi ini dapat menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam diri. Pertumbuhan pribadi yang baik adalah
memandang diri sendiri sebagai individu yang tumbuh dan terus mengalami
peningkatan, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang ada
dalam diri, serta dapat berubah menjadi individu yang melakukan perbaikan
dalam hidup secara efektif. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam
pertumbuhan pribadi akan mengalami stagnasi, merasa tidak memiliki
kemampuan untuk meningkatkan dan mengembangkan diri, serta merasa bosan
dengan kehidupan yang dijalani.

6

4. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Dimensi ini menekankan pada hubungan interpesonal yang hangat saling
menyayangi dan saling percaya. Individu yang memiliki hubungan positif
dengan orang lain ditandai dengan kemampuan untuk membangun hubungan
yang hangat dan penuh kepercayaan. Selain itu juga memiliki rasa empati dan
afeksi yang kuat. Sebaliknya, untuk individu yang rendah dalam dimensi ini sulit
bersikap hangat dan tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, merasa
frustasi untuk menjalin hubungan interpersonal, tidak ingin untuk mempunyai
komitmen denagn orang lain, dan tidak berkompromi ingin untuk
mempertahanka hubungan baik.
5. Tujuan Hidup (Purpose In Life),
Dimensi ini menjelaskan bahwa seseorang dituntut untuk mempunyai tujuan dan
makna dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya. Individu yang memiliki tujuan
hidup memiliki pemikiran dan kepercayaan bahwa kehidupan masa lalu dan saat
ini mempunyai makna, selain itu seseorang harus mempunyai target yang akan
dicapai dalam hidupnya. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi
ini akan kehilangan makna hidup, kurang memiliki tujuan hidup, tidak melihat
makna yang ada dalam masa lalunya, dan kehilangan keyakinan yang
memberikan tujuan hidup.
6. Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Dalam dimensi ini dijelaskan mengenai kemampuan seseorang dalam menerima
diri sendiri dan masa lalunya. Seseorang sebaiknya dapat menerima dirinya
secara apa adanya, karena hal ini mempengaruhi kebahagiaan dan kesehatan
mental seseorang. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif,
menerima semua aspek yang dimiliki dalam diri, dan memiliki pandangan yang
positif terhadap masa lalunya. Sedangkan untuk penerimaan diri yang kurang
baik ditandai dengan ketidakpuasaan terhadap diri, berharap memiliki sesutau
yang berbeda dari dirinya, merasa kecewa dengan diri sendiri dan masa lalunya.
Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being
Penelitian yang dilakukan Ryff (1989) menunjukkan bahwa faktor demografis yang
mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang, yaitu :
a. Usia
Dalam penelitian Ryff terdapat perbedaan tingkat psychological wellbeing pada orang dari berbagai kelompok usia. Faktor penguasaan lingkungan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia
seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh
karena itu, individu semakin mampu untuk mengatur lingkungannya sesuai
dengan kondisi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor wellbeing lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam
usia dewasa madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam
penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki
skor yang lebih rendah dalam otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki
skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi.
b. Jenis Kelamin
Menurut Ryff (1995), dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara
laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain dan
dimensi pertumbuhan pribadi, dengan skor wanita lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Perbedaan pola pikir mempengaruhi strategi coping yang dilakukan,
7

c.

d.

e.

f.

menyebabkan seseorang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki
psychological well-being yang lebih baik daripada laki-laki. Perempuan
umumnya lebih mampu mengekspresikan emosi dan menjalin relasi sosial
dengan orang lain.
Status Sosial Ekonomi
Ryff dkk., (1995) Faktor ini berkaitan dengan penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Seseorang dengan sosial
ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya terhadap sosial ekonomi
tinggi dari dirinya
Budaya
Ryff (1995) mengemukakan bahwa sistem nilai individualism kolektivisme
memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu
masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam penerimaan diri dan
dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai
kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang
lain.
Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat dirasakan individu dari orang lain atau
sebaliknya.Terdapat 4 jenis dukungan sosial, yaitu:
1. Dukungan Emosional (emotional support)
Melibatkan empati, rasa peduli, dan perhatian. Dukungan ini memberikan
rasa aman, nyaman, dimilikin dan dicintai terutama dalam kondisi stres.
2. Dukungan Penghargaan (esteem support)
Dukuan penghargaan muncul melalui pengungkapkan penghargaan yang
positif, persetujuan ataupun dorongan positif yang dapat membangun seperti
harga diri, kompetensi dan perasaan dihargai.
3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support)
Dukungan instrumental melibatkan tindaakan yang konkrit atau memberikan
pertolongan secara langsung.
4. Dukungan Informasional (informational support)
Pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik terhadap tingkah laku
seseorang.
Evaluasi Pengalaman Hidup
Ryff (1989) mengatakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi
kondisi psychological well-being seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut
meliputi berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode waktu kehidupan.
Evaluasi individu terhadap pengalamn hidupnya memiliki pengaruh yang
penting terhadap psychological well-being(Ryff, 1995). Pernyataan tersebut
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai
pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap
kesehatan mental. Evaluasi pengalaman hidup berpengaruh pada psychological
well-beingindividu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

Masa Perceraian
Masa adalah suatu kurun waktu atau lamanya individu mengalami suatu peristiwa
tertentu.
Undang-undang pernikahan Bab VIII pasal 39 (Soemiyati, 1989) menjelaskan bahwa:
”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
8

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”;
”Perceraian harus dilakukan dengan cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami-istri”; dan ”Tata cara perceraian di depan Sidang
Pengadilan diatur dalam pengaturan perundangan tersendiri”. Dan korban perceraian
menerima cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari
setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989).
Menurut (Mel Krantzler, dalam Sahlan, 2012) perceraian adalah berakhirnya hubungan
antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Perceraian
sebagai cerai hidup antara pasangan suami istri akibat dari kegagalan mereka
menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini, Erna Karim melihat
perceraian sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami
istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi disahkan oleh hukum yang berlaku di
suatu tempat. (Erna Karim, dalam Sahlan, 2012).
Dari penjelasan diatas mengenai definisimasa dan perceraian dapat disimpulkan bahwa
masa perceraianadalahsuatu kurun waktu atau lamanya individu pasca bercerai yang sah
dimata hukum.
Psychological Well-being dan Masa Perceraian
Mengacu pada kajian secara teoritis sebelumnya, dapat dilihat keterkaitan antara kedua
variabel penelitian. Bahwa masa perceraian menjadi perbandingan untuk mengetahui
adanya perbedaan psychological well-beingseseorang mengalami peningkatan atau
menurun pasca perceraian yang dialami. Bagaimana pada masa awal perceraian menjadi
masa-masa yang sulit bagi perempuan bercerai karena masuk dalam masa transisi dari
sebelumnya berstatus seorang istri menjadi janda, untuk itu diperlukan waktu untuk
melakukan evaluasi dan penghayatan atas apa yang telah terjadi.
Menurut Ryff (1995), evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Menurutnya, untuk
dapat memahami kesejahteraan psikologis seseorang, perlu pemahaman terhadap
pengalaman individu tersebut di masa lalu, dan memahami bagaimana individu tersebut
mengevaluasi dan menghayati pengalamannya. Dengan adanya perbedaan dalam
evaluasi dan penghayatan tersebut maka dapat saja terdapat perbedaan gambaran
kesejahteraan psikologis pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama.
Menurut Ryff (1995), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan
psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat
mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Termasuk juga dalam pengalaman
bercerainya seseorang dengan pasangannya yang cepat atau lambat akan memberikan
dampak apda aspek kehidupan selanjutnya.
Wirawan (2007) menyatakan bahwa beban yang ditanggung perempuan bercerai antara
lain adalah beban emosional dan sosial, beban ekonomi serta beban pengasuhan bagi
yang telah memiliki anak dari hasil pernikahannya. Menurut hasil penelitian
Hetherington (Dagun, 2002) peristiwa perceraian dapat memicu rasa cemas,
ketidakstabilan emosi, tertekan, dan kemarahan. Bagi seorang perempuan yang bercerai,
dampak ini cenderung dirasakan lebih berat dan memiliki pengaruh yang lebih lama,
bagaimana peristiwa maupun rasa yang tidak menyenangkan tersebut mempengaruhi
tingkatan psychological well-being seseorang. Setiap individu meskipun dengan
pengalaman yang sama tentunya memiliki perbedaan kurun waktu tersendiri dalam
9

mengatasinya. Lama atau tidaknya waktu yang dibutuhkan seseorang dijadikan acuan
bagaimana psychological well-being perempuan yang mengalami perceraian menjadi
rendah atau tinggi.
Berdasarkan teori tersebut yang perlu digaris bawahi adalah ketika seorang peneliti
ingin mengetahui bagaimana psychological well-being seseorang dibutuhkan
pemahaman terkait dengan pengalaman masa lalunya. Seperti halnya perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah seberapa pendek atau panjangnya masa perceraian
menjadi perbandingan tinggi dan rendahnya psychological well-beingseseorang pasca
bercerai.Bagaimana wanita bercerai tersebut bisa mengevaluasi dan menghayati
pengalaman masa lalunya, untuk mencapai kesejahteraan. Apakah ketentuan masa awal
bercerai sampai saat ini atau lama tidaknya rentang waktu bercerai menjadi
perbandinganpsychological well-beingseorang wanita yang telah bercerai.
Hipotesa
Ada perbedaanpsychological well-beingantara masa perceraian jangka pendek dan msa
perceraian jangka panjang pada wanita yang mengalamiperceraian.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Pendekatan pada penelitian inimenggunakan pendekatan kuantitatif komparatif. Metode
penelitian kuantitatifkomparatif adalah penelitian yang bersifatmembandingkan
keberadaan satu variabelpsychological well-beingpada sampel yang berbeda yaitu masa
perceraian pada perempuan, dalam waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012).Adanya
perbedaan variabel ini penting, karena dengan mengetahui tingkat perbandingan yang
ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.Penelitian
dilakukan secara alami, dengan mengumpulkan data dengan suatu instrument. Hasilnya
dianalisis secara statistik untuk mencari perbedaan variable yang diteliti.
Subjek Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability
sampling, dimana semua populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk menjadi
responden dan pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan peneliti (Simamora,
2004).Metode pengambilan sampel yang digunakan adalahPurposive Sampling.
Purposive Sampling sendiri adalah pengambilan sampel sesuai dengan kriteria tertentu
yang sesuai dengan penelitian. Kriteria subjek dalam penelitian ini, yaitu perempuan
bercerai minimal 1 bulan sampai maksimal 8 tahun.Subjek penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Malang, dengan pertimbangan Kabupaten Malang termasuk dalam wilayah
yang memiliki angka perceraian tertinggi di Jawa Timur dan berada di posisi nomor dua
tertinggi di Indonesia.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 84 perempuan bercerai. Berdasarkan pada teori
yang dikemukakan oleh (Gay dan Diehl dalam Darmawan, 2014) sampel yang
digunakan dalam penelitian kausal perbandingan minimum sebanyak 30 subjek per
grup, untuk perempuan yang memiliki masa perceraian jangka panjang dipenjuru
Kabupaten Malang. Teori tersebut diperkuat dengan teori Frankel dan Wallen (1993)
menyarankan besar sampel minimum 50 subjek.
10

Variabel dan Instrumen Penelitian
Pada penelitian kali ini, terdapat dua variabel yakni variabel bebas (X) dan variabel
terikat (Y). Adapun yang menjadi variabel bebas (X) yaitu masa perceraian dan variabel
terikatnya (Y) adalah psychological well-being.
Psychological well-being adalah kondisi dimana individu mampu untuk mengatasi
berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam hidupannya. Mampu untuk
melalui periode sulit dan mengevaluasi pengalaman dalam hidupnya dengan
memanfaatkan kemampuan yang dimiliki, sekaligus mengandalkan psikologi positif
sehingga individu tersebut mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Untuk
mengukur tingkat psychological well-being pada subjek yang akan diteliti, peneliti
menggunakan skalaRyff’s Psychological Well-Being Scales (PWB)yang telah
diadaptasi.Dimana, skala Psychological Well-Beingini terdiri dari 42 item, masingmasing terdiri atas 23 item favourable dan 19 item unfavourable. Skala Psychological
Well-Beingini disusundengan menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai
(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan tidak sesuai (STS). Setelah dilakukan uji coba
dari 42 item terdapat 21 butir item yang valid dengan indeks validitas 0,279-0,714 dan
reliabilitas sebesar 0,878.
Masa perceraian adalah suatu kurun waktu atau lamanya individu pasca bercerai yang
sah dimata hukum.Menurut (Mastekaasa, dalam Marks &Lambert, 1996) meneliti data
Norwegia nasional untuk 930 orang menikah di 1980 dan 1983, yang diinterview
kembali setidaknya dua kali setelah wawancara awal mereka. Peneliti menemukan
bahwa selama masa berpisah atau bercerai yang mengalami peningkatan yang signifikan
dalam tekanan psikologis, baik jangka pendek (kurang dari empat tahun pasca bercerai)
dan jangka panjang (4-8 tahun pasca bercerai).
Berdasarkan penelitian tersebut masa perceraian nantinya akan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok dengan orang yang memiliki masa perceraian pendek yaitu
(kurang dari empat tahun) dan kelompok masa perceraian panjang yaitu (empat sampai
delapan tahun) pasca bercerai. Sedangkan untuk data perceraian diperoleh dari
Pengadilan Agama Kabupaten Malang yang berupa data dokumentasi.
Prosedur dan Analisa Data Penelitian
Persiapan dimulai dari peniliti melakukan pendalaman terkait dengan variabel terikat
dan variabel bebas, baik dari segi materi maupun penelitian-penelitian yang terkait.
Selanjutnya peneliti mengadaptasi skala yang sesuai dengan tujuan penelitian guna
mendapatkan hasil dari perumusan hipotesa. Dengan mengadaptasi skala yang disusun
oleh Carol D. Ryff (1989) yang kemudian di terjemahkan kepada lembaga yang dapat
dipercaya yaitu LC (Language Center) Universitas Muhammadiyah Malang.
Selanjutnya peneliti melakukan tryout yang dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2016
kepada perempuan bercerai untuk menguji reliabilitas dan validitas yang bertujuan
mengetahui item yang valid dan tidak valid.
Tahap kedua adalah peneliti mengambil data dari 84 perempuan bercerai yang
berdomisili di Kabupaten Malang, berdasarkan kriteria yang ditentukan dan kepentingan
peneliti. Pengambilan data penelitian dengan cara mendatangi subjek satu persatu
secara langsung. Subjek diberikan skala yaitu Skala Psychological Well‐ Beingatas
11

dasar persetujuan dari subjek terlebih dahulu. Subjek mengisi skala tersebut setelah
membaca instruksi bagaimana cara pengerjaan skala.
Setelah pengambilan data, dilanjutkan pada tahap pengolahan data untuk mengetahui
apakah hipotesa diterima atau ditolak. Data-data yang telah diperoleh diinput dan diolah
dengan menggunakan program yang dapat membantu analisis data statistik, yaitu IBM
SPSS statistic 21, menggunakan analisa independent sample t-test, dimana uji t-test
tergolong dalam uji perbandingan (komparatif) yang bertujuan untuk
membandingkanapakah rata-rata kelompok yang diuji berbeda secara signifikan.
(Nanang, 2010). Setelah melakukan pengolahan data, kemudian peneliti melakukan
interpretasi skor skala Psychological Well‐ Beinguntuk mengetahui tingkat
Psychological Well‐ Beingpersubjek masuk dalam kategori rendah atau tinggi
berdasarkan perbandingan masa perceraian yang dimiliki subjek.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan kepada 80 subjek perempuan yang
berdomisili di Kabupaten Malang dan telah resmi bercerai sah secara hukum, maka
diperoleh beberapa hasil penelitian yang akan dipaparkan dengan menggunakan
beberapa tabel-tabel berikut. Adapun untuk tabel yang pertama adalah tabel
karakteristik subjek penelitian.
Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian
Kategori
Masa Perceraian
Jangka Pendek
Jangka Panjang

Frekuensi

Prosentase %

42
42

50.0
50.0

Pekerjaan
PNS
Swasta
Wiraswasta
Tidak Bekerja

8
33
17
26

9.5
39.3
20.2
31.0

Usia
24-31
32-38
39-49
Total

36
32
16
84

42.9
38.1
19.0
100%

Berdasarkan tabel 1 diatas jika dilihat dari pengelompokan masa perceraian maka pada
penelitian ini jumlah masa perceraian jangka pendek dan masa perceraian jangka
panjang seimbang yaitu 42 orang dengan prosentase masing-masing 50%. Selanjutnya,
jika dilihat dari jenis pekerjaan maka jumlah yang paling banyak adalah jenis pekerjaan
swasta yaitu 33 orang dengan prosentase 39.3%, kemudian tidak bekerja yaitu 26 orang
dengan prosentase 31%, jenis pekerjaan wiraswasta yaitu 17 orang dengan prosentase
20.2%, dan jenis pekerjaan yang paling sedikit adalah PNS yaitu 8 orang dengan
prosentase 9.5%. Sedangkan dilihat dari usia maka pada usia 24-31 tahun memiliki
jumlah terbanyak yaitu 346orang dengan prosentase 42.9%, usia 32-38 tahun berjumlah
12

32 orang dengan prosentase 38.1%, dan jumlah yang paling sedikit berada pada umur
39-49 tahun yaitu 16 orang dengan prosentase 19%.
Tabel 2 Hasil Analisa Uji t-test
t
9.798

Sig/p
0.000

Keterangan
Sig < 0.05

Simpulan
Sangat Signifikan

Dari hasil analisis yang dilakukan dengan t-test dapat dilihat bahwa nilai uji beda t=
9.798 dengan nilai signifikasi 0.000 (p