Perbedaan Psychological Well-Being Antara Wanita Menopause Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja

(1)

PERBEDAAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

ANTARA

WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK

BEKERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NANA ZAHARA SIREGAR

071301066

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

SKRIPSI

PERBEDAAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

ANTARA

WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK

BEKERJA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

NANA ZAHARA SIREGAR 071301066

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 7 Mei 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Debby Aggraini Daulay, M.Psi, Psikolog Penguji I

NIP. 198101222008122002 Merangkap pembimbing 2. Meidriani Ayu Siregar, S.Psi, M.Kes, Psikolog Penguji II

NIP. 196605111995022002

3. Ferry Novliadi, M.Si Penguji III


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan yang tidak bekerja

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2013

NANA ZAHARA SIREGAR NIM 071301066


(4)

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja

Nana Zahara Siregar dan Debby Anggraini ABSTRAK

Menopause merupakan akhir siklus menstruasi yang pastinya dialami setiap wanita yang biasanya disertai dengan perubahan fisik dan psikologis. Masa menopause bagi beberapa wanita membuat wanita jadi lebih mudah tersinggung, sulit tidur, tertekan, gugup dan gelisah, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas bahkan depresi. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ini akan mempengaruhi psychological well-beingnya.

Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Psychological well-being dipengaruhi oleh peran yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini banyak wanita yang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi juga menjadi wanita bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being

antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik incidental sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang yang berusia 45-60 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala psychological well-being dari Ryff (1995) yang sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia yang terdiri dari 37 aitem dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.930.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

menunjukkan nilai t=6.575 dan p=0.000 (p<0.005), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Wanita menopause yang bekerja memiliki

psychological well being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita menopause yang tidak bekerja. Keenam dimensi dari psychological well-being juga menunjukkan adanya perbedaan antara wanita menopause yang berkerja dan tidak bekerja.


(5)

The difference of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed

Nana Zahara Siregar and Debby Anggraini ABSTRACT

Menopause is the end of the menstrual cycle that certainly experienced by every woman usually accompanied by change in physical and psychological. Menopause for some women to make women become more irritable, have trouble sleeping, stress, nervous, restless, lonely, tense, anxious and even depressed. Women who are not able to adjust to these conditions will affect her psychological well-being. Psychological well-being is realization and attainment of psychology potention individual. Psychological well-being is also influenced by the role in life. Recently, many women are being employed woman. This study aimed to determine differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed.

The sample was chosen using incidental sampling technique, and subjects were 100 in aged 45-60 years. Measurement tool used in this reaserch was the form of psychological well-being scale of Ryff (1995) that has been adapted to the conditions in Indonesia, which consists of 37 aitem Cronbach Alpha value of reliability of 0.930.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that the value of t = 6.575 and p = 0.000 (p <0.005), that concluded there was differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed. Menopausal employed women have the psychological well being better than menopausal unemployed women. The Sixth dimensions of psychological well-being also showed a difference between menopausal employed women and unemployed.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang Strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul ―Perbedaan

psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan yang tidak bekerja‖.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua yang tidak lelah mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Peneliti juga ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Debby Anggraini, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti, atas bimbingan, nasehat, saran, dan waktu yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, penulis ucapkan banyak terimakasih.


(7)

3. Ibu Meidriani Ayu Siregar, S.Psi, M.Kes, Psikolog, selaku dosen penguji II dan Bapak Ferry Novliadi, M.Si, sekalu dosen penguji III yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

4. Ibu Liza Marini, M.Psi., Psikolog, Selaku dosen Pembimbing akademik yang telah Membimbing peneliti dan memberikan masukan dalam bidang akademik pada setiap semester perjalanan kuliah peneliti sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik.

5. Bapak Zulkarnain, Ph.D., Psikolog. Terima kasih atas segala kebaikan bapak. 6. Kedua orang tua saya yaitu Ayah Arwan Effendi Siregar dan Ibu Sutilah, yang

telah membesarkan, mengajari dan mendidik saya. Saya sangat berterima kasih atas doa, ketulusan, kasih sayang, dan kesabaran yang telah diberikan selama ini.

7. Kakak-kakak saya yaitu Yus Erlina, Dwi Kartina, Nur Erlina, dan Ade Irma (Kagome). Beserta ke empat keponakan peneliti yang tercinta, Zahran, Zikri, Zaki, dan Zahirah. Terima kasih atas setiap dukungan dan bantuannya yang memberikan semangat peneliti untuk terus berusaha dan tidak putus asa. 8. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu

wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

9. Teman-teman dekat yang terus mendukung, memberi semangat dan ikut membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk Ridya Tyastiti, Massita Ozar, Nur Shadrina, Fitri Susanti, Zulfadilah Nasution, Kiki Fatmala Sari,


(8)

Vety Dazeva, Khairiah Mulia Rahma, dan Nuzulia Rahmati atas semangat dan dukungannya peneliti mengucapkan banyak terma kasih.

10.Temen-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu atas kebersamaan yang menyenangkan. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

11.Noni dan keluarganya, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

12.Adik-adik angkatan 2011 dan 2012 terutama Fitri 2010 dan teman-temannya. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

13.Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun untuk mencapai yang lebih baik lagi. Peneliti berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Mei 2013

Peneliti Nana Zahara Siregar


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 11

C. TUJUAN PENELITIAN ... 12

D. MANFAAT PENELITIAN... 12

E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ... 14

1. Definisi Psychological Well-Being ... 14

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being .... 20

B. WANITA BEKERJA ... 24


(10)

2. Peran Wanita Bekerja... 26

C. WANITA TIDAK BEKERJA ... 28

1. Definisi Wanita Tidak Bekerja ... 28

2. Peran Wanita Tidak Bekerja ... 29

D. DEWASA MADYA ... 30

1. Definisi Dewasa Madya ... 30

2. Karakteristik Dewasa Madya ... 31

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 33

E. MENOPAUSE ... 34

1. Definisi Menopause ... 34

2. Gejala Fisik dan Psikologis ... 35

3. Tahap-tahap Menopause ... 39

4. Usia Memasuki Menopause ... 39

F. PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA ... 40

G. HIPOTESA ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 46

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN... 47

1. psychological Well-Being ... 47

2. Wanita Bekerja dan Tidak Bekerja ... 47


(11)

b. Wanita Tidak Bekerja ... 48

C. SUBJEK PENELITIAN ... 48

1. Populasi dan Sampel ... 48

2. Metode Pengambilan Sampel ... 49

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 50

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR ... 51

1. Validitas Alat Ukur ... 51

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 53

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur... 53

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ... 55

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 56

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 56

3. Tahap Pengolahan Data ... 56

G. METODE ANALISA DATA ... 56

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 58

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN ... 58

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 58

B. HASIL PENELITIAN ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

a. Uji Normalitas ... 59

b. Uji Homogenitas ... 61

2. Hasil Utama Penelitian ... 62


(12)

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 64

3. Hasil Tambahan ... 66

a. Perbedaan Psychological Well-Being Berdasarkan Dimensi-dimensinya ... 66

C. PEMBAHASAN ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. KESIMPULAN ... 76

B. SARAN ... 78

1. Saran Metodologis ... 78

2. Saran Praktis……….. 79


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Bobot Nilai Pernyataan Skala Psychological Well-being ... 51

Tabel 2 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being. ... 51

Tabel 3 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being Setelah Uji Coba. ... 54

Tabel 4 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being Saat Penelitian 54 Tabel 5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 58

Tabel 6 Hasil Uji Normalitas Skala Psychological Well-being ... 60

Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas Skala Psychological Well-being ... 62

Tabel 8 Gambaran Skor Psychological Well-being ... 63

Tabel 9 Hasil Perhitungan Uji t Skala Psychological Well-being ... 63

Tabel 10 Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Psychological Well-being ... 64

Tabel 11 Kategorisasi Skor Psychological Well-being Wanita Menopause . 65 Tabel 12 Hasil Analisa Psychological Well-being Tiap Dimensi ... 67


(14)

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 1 Normalitas Psychological well-being Wanita Menopause ... 61


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Skala Adaptasi ... 84

Lampiran 2 Data dan Analisa Reliabilitas Uji Coba ... 92

Lampiran 3 Data Subjek Penelitian ... 104

Lampiran 4 Data Hasil Penelitian Skala Psychological Well-being... 108

Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Hipotesis ... 115

Lampiran 6 Skala Psychological Well-being Sebelum Uji Coba ... 122


(16)

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja

Nana Zahara Siregar dan Debby Anggraini ABSTRAK

Menopause merupakan akhir siklus menstruasi yang pastinya dialami setiap wanita yang biasanya disertai dengan perubahan fisik dan psikologis. Masa menopause bagi beberapa wanita membuat wanita jadi lebih mudah tersinggung, sulit tidur, tertekan, gugup dan gelisah, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas bahkan depresi. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ini akan mempengaruhi psychological well-beingnya.

Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Psychological well-being dipengaruhi oleh peran yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini banyak wanita yang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi juga menjadi wanita bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being

antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik incidental sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang yang berusia 45-60 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala psychological well-being dari Ryff (1995) yang sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia yang terdiri dari 37 aitem dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.930.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

menunjukkan nilai t=6.575 dan p=0.000 (p<0.005), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Wanita menopause yang bekerja memiliki

psychological well being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita menopause yang tidak bekerja. Keenam dimensi dari psychological well-being juga menunjukkan adanya perbedaan antara wanita menopause yang berkerja dan tidak bekerja.


(17)

The difference of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed

Nana Zahara Siregar and Debby Anggraini ABSTRACT

Menopause is the end of the menstrual cycle that certainly experienced by every woman usually accompanied by change in physical and psychological. Menopause for some women to make women become more irritable, have trouble sleeping, stress, nervous, restless, lonely, tense, anxious and even depressed. Women who are not able to adjust to these conditions will affect her psychological well-being. Psychological well-being is realization and attainment of psychology potention individual. Psychological well-being is also influenced by the role in life. Recently, many women are being employed woman. This study aimed to determine differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed.

The sample was chosen using incidental sampling technique, and subjects were 100 in aged 45-60 years. Measurement tool used in this reaserch was the form of psychological well-being scale of Ryff (1995) that has been adapted to the conditions in Indonesia, which consists of 37 aitem Cronbach Alpha value of reliability of 0.930.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that the value of t = 6.575 and p = 0.000 (p <0.005), that concluded there was differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed. Menopausal employed women have the psychological well being better than menopausal unemployed women. The Sixth dimensions of psychological well-being also showed a difference between menopausal employed women and unemployed.


(18)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dewasa madya merupakan masa transisi dari dewasa awal menuju masa lanjut usia. Dewasa madya atau yang sering diistilahkan usia paruh baya dialami oleh individu yang berusia antara 40 sampai 60 tahun. Secara spesifik masa ini terbagi ke dalam dua subbagian, yaitu: usia madya dini yang membentang antara usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya lanjut yang membentang antara usia 50 hingga 60 tahun (Hurlock, 1999).

Havinghurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa individu dewasa madya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sepanjang rentang kehidupan. Salah satu tugas perkembangan tersebut adalah penyesuaian terhadap perubahan fisik yang tentunya akan terjadi seiring dengan meningkatnya usia yaitu menopause yang terjadi pada wanita dan andropause pada pria (Papalia, Olds dan Feldman, 2007). Dibandingkan dengan menopause, andropause pada pria umumnya terjadi perlahan dan sangat lambat sehingga seringkali gejala fisik dan psikologis yang muncul tidak terlalu kelihatan ataupun terkadang bagi beberapa pria tidak menimbulkan gejala. Selain itu, Kebanyakan wanita relatif lebih sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan pola hidup yang datang bersamaan dengan masa menopause dibandingkan pria (Hurlock, 1999).

Menopause merupakan peristiwa alamiah yang pasti akan dialami setiap wanita dan tidak dapat dihindari. Namun bagi sebagian wanita, menopause


(19)

dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Kekhawatiran ini mungkin berawal dari pemikiran bahwa dirinya akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, dan tidak cantik lagi. Munculnya kekhawatiran yang berlebihan itu menyebabkan wanita sulit menjalani masa ini. Pada masa ini, wanita memasuki masa transisi yaitu peralihan dari periode reproduktif menuju non-reproduktif dan wanita dapat dikatakan mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah berhenti selama satu tahun (Kasdu, 2002). Usia wanita memasuki masa menopause cukup bervariasi antara usia 45 tahun sampai 55 tahun dengan rata-rata usia 51 tahun dan datangnya menopause juga merupakan pertanda terjadinya masa transisi yang biasanya diiringi dengan perubahan fisik dan psikologisnya (Jones, 2007).

Perubahan yang terjadi selama masa transisi inilah yang membutuhkan penyesuaian dan tidak semua wanita dapat menyesuaikan diri dengan baik selama menopause. Menurut Ibrahim (2005) sebagian orang memandang menopause sebagai masa kritis karena pada masa ini wanita mengalami penurunan jumlah hormon estrogen yang nantinya akan menyebabkan perubahan-perubahan fisik yang bersifat eksternal. Perubahan-perubahan fisik yang bersifat eksternal dapat dilihat dari perubahan penampilan kewanitaan yang menurun seperti payudara tidak kencang, bibir dan kulit menjadi kering dan kurang halus, rambut beruban, menipis dan mudah rontok, selaput bening mata menjadi lebih kering, lekuk tubuh menjadi rata, dan tubuh relatif menjadi lebih gemuk (Maspaitella, 2006).

Selain mengalami perubahan fisik, menurut Gulli (dalam Longe, 2002) beberapa wanita juga merasakan gejala-gejala fisik yang menyertai menopause seperti rasa panas (hot flush) yang biasanya terjadi pada leher, wajah serta bagian


(20)

atas dada, keluarnya keringat yang terlalu berlebih, sulit tidur, iritasi pada kulit, kekeringan vagina, mudah lelah, sakit kepala, dan jantung berdebar kencang.

Perubahan dan gejala fisik yang terjadi ketika menopause seringkali juga disertai dengan beberapa gejala psikologis. Papalia (2007) mengungkapkan bahwa gejala-gejala psikologis yang muncul dapat meliputi stres, frustasi, dan adanya penolakan terhadap menopause. Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa pada masa menopause wanita menjadi lebih mudah tersinggung, tertekan, gelisah, gugup, kesepian, tidak sabar, gangguan konsentrasi, tegang, cemas, bahkan depresi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maartens (dalam Novi & Ross 2007) yang menyatakan bahwa dari hasil self report yang berkaitan dengan

depressed mood pada wanita menopause ditemukan bahwa 36% wanita premenopause, 47% wanita perimenopause, dan 46% postmenopause mengalami

depressed mood.

Penelitian yang dilakukan oleh Robertson (dalam Christiani, 2000) di

Menopause Clinic Australia juga menemukan bahwa dari 300 pasien usia menopause terdapat 31,3 % pasien mengalami kecemasan dan depresi. Kecemasan dan depresi yang dialami wanita menopause umumnya berkaitan dengan kesulitan-kesulitan emosi yang mereka alami pada saat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan hormon dan psikologis yang terjadi selama menopause (Becker, Orr, Weizman, 2007). Simptom depresi yang terjadi selama menopause berkaitan juga dengan sikap yang negatif terhadap menopause yang berujung pada rendahnya harga diri pada wanita. Wanita yang memiliki sikap negatif terhadap menopause seperti merasa tua, kurang menarik, dan tidak


(21)

nyaman dengan gejala menopause yang muncul seringkali dikaitkan dengan munculnya banyak keluhan selama menopause dibandingkan dengan wanita dengan sikap positif. Begitu juga wanita dengan harga diri yang rendah menunjukkan penyesuaian diri yang lebih sulit terhadap menopause dibandingkan dengan wanita dengan harga diri yang tinggi. Mereka lebih sering mengalami kecemasan terkait dengan gejala-gejala menopause. Selain itu, mereka juga kurang percaya diri dan lebih sering mengeluhkan berbagai perubahan yang terjadi pada dirinya (Lee, Kim, Park, Yang, Ko, dan Joe 2010).

Berger (1999) mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak orang yang menganggap menopause sebagai suatu masalah terkait dengan munculnya berbagai gejala fisik dan psikologisnya. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik selama menopause, kondisi ini akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraannya. Kesejahteraan sering diistilahkan dengan well-being. Pimenta (2011) melalui hasil penelitiannya tentang menopause

dan well-being pada 1003 wanita menopause menemukan bahwa depressive mood

yang merupakan simptom menopause secara signifikan berkaitan dengan penurunan well-being seseorang. Selain itu stress dan pengalaman hidup yang negatif terkait krisis usia paruh baya juga memberi pengaruh yang besar terhadap

well-being seseorang.

Well-being sendiri diartikan sebagai fungsi optimal yang dimiliki individu (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryff (1989), well-being itu sendiri terkait dengan fungsi psikologi positif yang selanjutnya disebut sebagai psychological well-being. Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari


(22)

potensi individu dimana individu dapat menerima masa lalunya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menunjukkan sikap mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta mampu mengembangkan pribadinya. Menurut Keyes, Shmotkin & Ryff (2002), psychological well-being juga tidak hanya sebatas adanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan negatif, namun juga berkaitan dengan pengalaman-pengalaman hidupnya. Psychological well-being pada seseorang dapat dilihat dari keenam dimensinya yaitu memiliki penerimaan terhadap diri sendiri, mandiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta mampu mengembangkan potensi dalam dirinya (Ryff dalam Papalia, 2007)

Kenyataannya, tidak semua wanita yang mengalami menopause merasakan dampak negatif dari berbagai gejala fisik dan psikologis seperti yang disebutkan sebelumnya. Beberapa wanita menganggap menopause sebagai hal yang normal dalam hidupnya. Mereka justru menemukan kesenangan selama menopause, salah satunya dengan memperkuat benteng agama. Wanita menunjukkan perhatian yang lebih pada masalah agama dan persiapan menghadapi kematian (Ibrahim, 2002). Hal yang sama juga diungkapkan Lock (dalam Papalia, 2007) melalui penelitiannya terhadap wanita menopause yang menyatakan bahwa wanita-wanita jepang tidak menunjukkan penolakan terhadap menopause. Mereka memandang menopause sebagai masa perpaduan antara integritas, keseimbangan, kebebasan, dan kepercayaan diri.


(23)

Hal di atas menunjukkan bahwa beberapa wanita memiliki sikap yang positif terhadap menopause sehingga dapat menerima datangnya menopause dengan baik. Hal ini menunjukkan mereka memiliki psychological well-being

yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ryff (1995) yang mengungkapkan bahwa salah satu kriteria seseorang dapat dikatakan memiliki psychological well-being yang baik jika seseorang dapat menerima keadaan dirinya, dimana seseorang itu mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif maupun negatif, memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, dan memandang positif kehidupan yang dijalani sekarang dan juga masa lalunya.

Tingkat well-being pada tiap orang berbeda. Menurut Keyes, Ryff dan Shmotkin (2002) well-being setiap orang itu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan ciri kepribadian. Selain faktor yang telah disebutkan diatas, kepercayaan terhadap peran yang mereka jalankan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap psychological well-being

seseorang. Sollie dan Leslie (dalam Strong dan Devault, 1989) menjelaskan bahwa Peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan

psychological well-being seseorang. Sebagain besar wanita yang menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga lebih menunjukkan gejala-gejala distress dan ketidakpuasan hidup dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Hal ini dikarenakan peran sebagai ibu rumah tangga sering dikarakteristikkan sebagai pekerjaan yang rutin dan monoton. Kondisi ini terkadang membuat mereka bosan dan mengurangi kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda (Berger, 1999).


(24)

Hal yang berbeda dirasakan wanita yang bekerja, bagi mereka yang memiliki pekerjaan yang memungkinkan baginya untuk mengembangkan diri dan karirnya merasakan kebahagiaan dan meningkatnya harga diri (Azar dan Vasudeva, 2006). Bekerja juga memungkin bagi wanita untuk menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda dalam dunia kerja. Seperti yang diungkapkan Berger (1999) yang menyatakan bahwa wanita menopause yang bekerja bisa berbagi solusi terhadap berbagai masalah seputar menopause dengan teman-teman kantornya hal ini memberikan kesempatan bagi wanita untuk memperluas komunikasi yang dapat membantu mereka mampu menangani berbagai masalah sehingga mengurangi resiko stres dan penyakit serta meningkatkan kepuasan diri dan pekerjaan. Selain itu bekerja juga membuat wanita dapat menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada suami.

Sejumlah peneliti yang mempelajari wanita pada paruh kehidupan juga telah menemukan bahwa pekerjaan memainkan peranan penting dalam kesehatan psikologis wanita (Baruch dan Barnett dalam Santrock, 2002). Kesehatan wanita selama masa menopause seringkali dipengaruhi oleh kepercayaan mereka akan peran-peran yang mereka yakini. Wanita menopause yang merasakan kepuasan dalam pekerjaanya dikaitkan secara positif dengan tidak adanya gejala-gejala somatic dan psikologis selama menopause. wanita bekerja juga menunjukkan sedikitnya gejala-gejala menopause yang dialaminya dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja (Dennerstein, Dudley, Guthrie, dan Barret, 2000; Lee, Kim, Park, Yang, Ko, dan Joe 2010).


(25)

Griffiths, MacLennan, & Wong, (2010) juga menyatakan bahwa wanita menopause yang bekerja lebih positif memandang datangnya menopause dan mampu menerima kondisinya dengan segala perubahan fisik dan psikologis. Mereka merasakan kepercayaan diri yang meningkat karena merasa masa ini merupakan pertanda mereka semakin matang dan dewasa serta dihormati oleh rekan kerja. Mereka juga menganggap menopause sebagai keadaan yang justru membuat mereka merasa bebas karena tidak direpotkan lagi dengan menstruasi setiap bulannya. Beberapa dari mereka juga merasa bahwa berhenti menopause bukanlah akhir dari segalanya tetapi merupakan tahapan yang menyenangkan karena mereka umumnya mereka memiliki karir yang bagus pada masa ini (Jones, 2007).

Menurut Griffiths, MacLennan, & wong (2010) wanita bekerja umumnya mampu mandang positif aktivitas sehari-harinya dan keterlibatan mereka dengan rekan kerja lainnya. Hal ini juga mendorong mereka untuk merasa lebih yakin terhadap dirinya dan mampu menghadapi menopause dengan lebih baik. Selain itu, Carr (1996) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa kesuksesan dalam pekerjaan memberi pengaruh yang positif bagi psychological well-being

khususnya tujuan hidup dan kondisi psikologisnya. Wanita yang memiliki kepuasan dengan pekerjaannya diusia paruh bayanya umumnya lebih mampu menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan. Namun tidak demikian halnya bagi wanita yang tidak bekerja, mereka umumnya memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Rendahnya kualitas hidup pada wanita menopause yang tidak bekerja bisa dikarenakan adanya perasaan


(26)

terjadinya perubahan sosial dalam hidupnya yang dikaitkan dengan penuaan dan perubahan pada tubuh yang dialaminya (Jacob, Hyland dan Ley, 2000).

Kenyataannya tidak semua wanita yang bekerja merasakan hal positif, Beberapa wanita yang bekerja juga merasakan hal yang negatif terhadap menopause. Mereka beranggapan bahwa menopause dan simptom-simptomnya menyebabkan mereka malu, cemas, dan kehilangan kontrol dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Misalnya, munculnya rasa panas di tubuh saat bekerja ataupun saat berada disekitar rekan kerja membuat mereka merasa tidak nyaman dan kurang dapat fokus pada pekerjaan yang nantinya dapat berdampak pada kompetensi dan profesionalisme mereka dalam bekerja. Selain itu beberapa wanita yang bekerja juga mengalami simptom menopause lainnya seperti gangguan mood, mudah lelah, konsentrasi menurun, dan kemampuan mengingat yang berkurang sehingga membuat mereka kurang percaya diri dalam menunjukkan performanya saat bekerja (Griffiths, MacLennan, & Wong, 2010). Namun demikian, kondisi lingkungan kerja yang kondusif seperti rekan kerja, atasan, ruang kerja yang mendukung dapat membuat wanita bekerja menjadi lebih nyaman dan mampu menjalami masa ini dengan baik (Paul, 2003).

Selain itu peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita bekerja juga dapat memberikan tekanan. Beberapa wanita usia madya masih memiliki anak yang belum dewasa sehingga mereka masih memiliki tanggung jawab sebagai ibu, istri dan wanita bekerja (Lindsay dalam Elgar & Chester, 2007). Berger (1999) mengungkapkan bahwa ketidakpuasan peran dikarenakan peran ganda ataupun ketidakmampuan untuk memenuhi peran utamanya inilah yang dapat menjadi


(27)

konflik dan menimbulkan berbagai tekanan yang akan menyulitkan wanita

menopause saat bekerja. Akan tetapi, keberadaan suami yang bisa memahami berbagai perubahan fisik dan psikologis yang di alami selama masa menopause serta dukungan suami dan orang-orang di sekitar akan membantu wanita bekerja mengatasi berbagai masalah yang dihadapi sehingga mampu melewati masa ini dan menjalani kehidupan rumah tangga dan pekerjaannya dengan lebih baik

Perubahan zaman saat ini telah mendorong terjadinya perubahan dalam bentuk keluarga. Sekarang ini banyak ditemukan bentuk keluarga dimana suami dan istri sama-sama bekerja di luar rumah. Terbukanya kesempatan bagi wanita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik juga telah mendorong meningkatnya jumlah wanita yang terjun dalam dunia kerja.Wanita yang bekerja umumnya termotivasi karena kebutuhan ekonomi. Tuntutan ekonomi yang begitu besar mendorong mereka bekerja agar dapat menambah penghasilan keluarga. Namun selain karena alasan ekonomi, sebagian besar wanita bekerja juga termotivasi karena alasan psikologis seperti harga diri dan kontrol diri. Alasan lainnya adalah dengan bekerja wanita mendapatkan dukungan sosial, pengakuan dan apresiasi dari tempatnya bekerja yang terkadang belum tentu mereka dapatkan di rumah (Hochschild dalam Strong & De Vault, dan Cohen 2011).

Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan bekerja, wanita juga mendapat dukungan sosial dari rekan kerjanya. Menurut Berger (1999) wanita yang bekerja dapat membentuk jaringan sosial yang mendukungnya dan bisa berbagi seputar masalah yang dihadapi salah satunya menopause. Orang-orang dalam lingkungan kerja seringkali juga memberikan berbagai informasi yang dapat membantu


(28)

wanita memandang menopause dengan lebih positif dibandingkan dengan wanita yang jauh dari dunia kerja dan semua waktunya dihabiskan hanya untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga saja. Menariknya, wanita yang bekerja dilaporkan memiliki simptom menopause yang lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang hanya menjadi ibu dan istri saja pada masa dewasa madya. Selain itu adanya

sense of control pada wanita bekerja dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan rumah tangga juga dapat membantu wanita untuk memandang hidupnya lebih positif sehingga mengarah pada kondisi psikologis yang lebih baik (Ahrens & Ryff, 2006).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menopause menimbulkan berbagai gejala fisik dan psikologis yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well being) wanita. Kesejahteraan psikologis wanita menopause juga erat kaitannya dengan peran mereka. Beberapa wanita yang bekerja memilki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun, disisi lain beberapa wanita menopause yang bekerja juga mengeluhkan gejala menopause yang dapat mempengaruhi performa mereka dalam bekerja dan well-being. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui apakah perbedaan psychological well-being pada wanita menopause ditinjau dari status bekerja.


(29)

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan melalui pertanyaan: Apakah ada perbedaan psychological well-being pada wanita menopauseditinjau dari status bekerja?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai apakah ada perbedaan psychological well-being pada wanita menopause ditinjau dari status bekerja.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan mengenai psychological well-being pada wanita menopause ditinjau dari status bekerja dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

Beberapa manfaat praktis yang dapat diberikan dari penelitian ini:

a. Memberi informasi mengenai gambaran psychological well-being

wanita menopause dari sudut pandang wanita yang bekerja dan tidak bekerja.


(30)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan atau referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan psychological well-being.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I :Pendahuluan berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II :Landasan teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti dan hubungan antara variabel dan hipotesa penelitian.

BAB III :Metode penelitian berisi uraian mengenai metodelogi penelitian yang terdiri dari: identifikasi variabel, definisi variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV :Analisis data dan pembahasan yang berisi mengenai gambaran mengenai subjek penelitian, laporan hasil penelitian, hasil uji asumsi meliputi hasil uji asumsi normalitas dan homogenitas, hasil utama penelitian, dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran untuk pengembangan penelitian dan saran praktis yang ditujukan bagi wanita.


(31)

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being

Diener & Johada (dalam Ryff, 1989) mengungkapkan bahwa penelitian tentang psychological well-being mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Ryff (1989) menambahkan bahwa kesehatan mental seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab itu, orang-orang lebih mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya penyakit daripada berada dalam kondisi well-being. Formulasi seperti itu seakan mengabaikan kapasitas dan kebutuhan manusia untuk berkembang serta merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.

Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995), psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri). Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian


(32)

penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya (Ryff, 1989).

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki

psychological well being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Psychological well being

dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. Ryff menyebutkan bahwa psychological well being

terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Dimana individu dapat menerima segala kekurangan, kelebihan dan masa lalunya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.


(33)

2. Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) pondasi untuk diperolehnya

psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:

a. Otonomi

Dimensi otonomi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu tersebut tidak meminta persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya. Individu yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini adalah inidividu yang mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik

b. Penguasaan Lingkungan

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Penguasaan lingkungan yang baik dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada


(34)

di lingkungan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik pada dimensi ini ditandai dengan kemampuan memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungannya. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

c. Pertumbuhan Pribadi

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Memanfaatkan secara maksimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting untuk mencapai

psychological well-being. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan hanya mencapai suatu titik dimana semua masalah terselesaikan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini berarti memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari


(35)

waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang membosankan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku baru

d. Hubungan Positif dengan Orang Lain

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dilihat juga sebagai salah satu komponen kesehatan mental. Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari kedewasaan. Individu yang memiliki tingkatan yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.


(36)

e. Tujuan Hidup

Dimensi ini menjelaskan mengenai adanya keyakinan bahwa hidup ini bermakna dan menuju ke sebuah tujuan tertentu. Individu mampu untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Individu yang memiliki nilai yang baik dalam dimensi ini adalah inividu yang memiliki target dan cita-cita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalunya bermakna. Individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti.

f. Penerimaan Diri

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan dewasa. Penerimaan diri berarti merasa baik tentang diri sendiri, terhadap masa lalu, dan disaat yang bersamaan mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada dalam dirinya, baik itu yang merupakan kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa yang lalu. Demikian pula sebaliknya,


(37)

seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dapat ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Ryff (dalam Wells, 2010) mengungkapkan bahwa variasi well well-being

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini: a. Usia

Usia dan tingkat pendidikan meletakkan individu dalan posisi tertentu dalam struktur sosial. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat adanya peningkatan seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam tahap dewasa madya menunjukkan titik tertinggi dalam hal kemampuan untuk mengambil keputusan dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaan.


(38)

b. Tingkat pendidikan

Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi dikatakan juga memiliki

psychological well-being yang tinggi. Individu yang memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik umumnya memiliki tingkat

psychological well-being yang juga lebih baik dibandingkan individu yang berpendidikan rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang baik akan mempengaruhi keputusan yang mereka pilih, pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka (Ryff, 2002).

c. Status sosial ekonomi

Psychological well-being sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi seseorang. Status sosial ekonomi berkaitan erat dengan beberapa dimensi

psychological well-bein seperti penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Berbagai hal yang mempengaruhi yaitu lingkungan sekitar, lingkungan pekerjaan, dan kesehatan berkaitan dengan

psychological well-being seseorang. Seseorang dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung memiliki psychological well-being yang lebih rendah hal ini terkait dengan berbagai kemampuan mereka dalam mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan hiburan yang layak. Seseorang dengan tingkat ekonomi dan


(39)

sosial yang tinggi dikaitkan otonomi, pengembangan diri dan penguasaan lingkungan yang lebih baik.

d. Peran Jenis Kelamin

Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan psychological well-being

seseorang. Umumnya wanita memiliki nilai yang lebih baik dalam menjalin hubungan positif dengan orang lain. Sedangkan secara keseluruhan pria memiliki self esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan wanita. Namun secara keseluruhan jika dilihat dari dimensi psychological well-being

lainnya, pria memiliki tingkat psychoilogical well-being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita. Pria dan wanita yang menikah memiliki self esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak menikah.

Saat ini, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja semakin meningkat disamping itu mereka masih tetap mempunyai tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak. Di saat seperti inilah wanita dituntut untuk mampu menyesuaikan beban pekerjaan yang meningkat antara pekerjaan dan tugas rumah tangga. Hal inilah yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan wanita. Tanggung jawab dalam keluarga penting peranannya terhadap psychological well-being. Menurut Escriba-Aguir (2004) wanita yang lebih banyak menghabiskan waktunya sebagi ibu rumah tangga memiliki

psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Sedangkan sebagian besar wanita yang bekerja memiliki tingat


(40)

well-being yang tinggi terkait dengan kepuasaan yang mereka rasakan antara keberhasilan dalam keluarga dan pekerjaan. sedan dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Selain itu tingkat well-being juga terkait dengan periode kehidupan, khususnya pada wanita yaitu terjadinya proses menopause. Well-being meningkat dari awal menopause hingga mencapai akhir tahapan menopause.

e. Kepribadian

Kepribadian sering kali dihubungkan dengan dimensi psychological well-being, Scmutte dan Ryff (1997) menemukan bahwa sifat neurotic, ekstrovert

dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi

well-being khususnya, penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Walaupun begitu aspek-aspek psychological well-bieng yang lain juga berkorelasi dengan sifat-sifat yang lainnya. Misalnya sifat keterbukaam terhadap pengalaman baru dan esktrovert adalah prediktor dari dimensi pertumbuhan diri, sedangkan sifat agreeableness adalah prediktor dari dimensi hubungan positif dengan orang lain. Dimensi psychological well-being, otonomi, diprediksi oleh beberapa sifat, namun yang paling menonjol adalah

neurotic

f. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang


(41)

menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Hal ini dikarenakan budaya individualism mendorong seseorang mampu menerima segala kekurangan agar dapat bertindak lebih mandiri dalam berbagai hal hal ini berbeda dengan budaya kolektivisme yang mengutakan rasa kebersamaan yang terkadang membuat seseorang tidak perlu berbuat banyak untuk dirinya dan orang-orang disekilingnya karena mereka masih memiliki orang-orang yang bersedia membantu.

B. WANITA BEKERJA 1. Definisi Wanita Bekerja

Kerja (work) didefinisikan sebagai aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai, baik barang maupun jasa. As’ad (1998) mengatakan bahwa bekerja adalah aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya adalah bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapatkan kepuasan. Konsep kerja juga dinyatakan oleh Thomason (dalam Ndraha, 1999) sebagai aktivitas yang menuntut pengeluaran energi atau usaha untuk menciptakan produk dan jasa yang bernilai bagi manusia dari bahan/material mentah. Brown (dalam Anoraga, 2006) mengatakan bahwa kerja sesungguhnya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia karena memberikan status dalam masyarakat, baik pria maupun wanita sejak dahulu kala memang menyukai pekerjaan.

Wanita dapat dikatakan bekerja apabila mendapatkan penghasilan/gaji, setelah mengerjakan tugas-tugasnya (Matlin, 2004). Anoraga (2006) menyebutkan


(42)

wanita yang bekerja dengan menggantikan istilah wanita karir. Menurut kamus besar bahasa indonesia (1996), wanita karir adalah wanita yang mempunyai pekerjaan atau jabatan, dimana diharapkan berkembang pada periode yang akan datang. Umumnya, wanita yang bekerja memiliki level kepuasan hidup yang lebih tinggi, merasa adekuat dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak bekerja (Hooyer dan Roodin 2003).

Hal utama yang didapatkan wanita yang bekerja dan mendapat upah adalah menjadikannya lebih mandiri secara finansial dan menjadikan wanita lebih tertantang untuk mampu bersaing dengan rekan kerja lainnya baik itu wanita ataupun pria. Bekerja di luar juga menjadikan mereka memiliki kedudukan yang lebih baik, meningkatkan status dan memberikan mereka arti keberadaan mereka dalam dunia kerja, yang menjadi faktor utama emansipasi wanita. Selain itu, bekerja dan mendapatkan upah juga memungkinkan wanita untuk menumbuhkan rasa hormat dan kepercayaan diri dalam diri mereka. Dalam era globalisasi ini, Pekerja wanita sudah menyatu dalam proses globalisasi. Dimana wanita yang mendapatkan gaji dari pekerjaannya tidak hanya menjadi pelengkap tetapi juga menyatu dengan berbagai dimensi perubahan ekonomi global. Kehadiran wanita dapat merubah dinamika dan mempengaruhi trend globalisasi (ILO, 2007)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang melakukan aktivitas pengeluaran energi/usaha dalam menghasilkan produk atau jasa dan bertujuan untuk mempertahankan hidup, mendapatkan kepuasan/kesenangan dan meningkatkan taraf kehidupan.


(43)

2. Peran Wanita Bekerja

Saat ini tersedianya akses bagi wanita untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi memungkin wanita untuk memiliki kesempatan menjadi seorang profesional di berbagai bidang dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan terkadang lebih baik dibandingkan gaji yang di dapatkan suaminya. Oakley (dalam Berger, 1999) mengungkapkan catatan penting mengenai wanita bekerja, wanita yang bekerja biasanya memandang pekerjaan sebagai peran kedua disamping perannya menjadi istri dan ibu. Tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi, bekerja juga dapat membuat wanita mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya karena tidak jarang dengan bekerja wanita dituntut untuk memiliki keahlian dan pendidikan yang lebih baik dan hasilnya adalah mendapatkan gaji yang menambah pemasukan keluarga. Wanita bekerja yang menikah umumnya mencari pekerja yang memungkinnya untuk tetap mengurusui suami, anak dan rumahnya (Chafetz dalam Berger, 1999).

Banyak wanita yang memandang bahwa dengan mempunyai banyak peran akan memberikan pengaruh yang baik bagi mereka. Khususnya, aktivitas bekerja dapat dijadikan sebagai solusi melawan stres akibat berbagai masalah keluarga, dan aktivitas kehidupan keluarga menjadi pengalih dari berbagai masalah pekerjaan. Secara umum, wanita bekerja dilaporkan memiliki perasaan kompeten dan kecakapan yang lebih baik dibandingkan wanita yang tidak bekerja. Banyak wanita yang terdorong oleh tantangan akan tugas-tugas yang sulit dan banyak kesenangan akan pencapaian kesuksesan dalam bekerja (Matlin, 2004). Ketika wanita bekerja biasanya mereka juga dapat lebih independen dan dapat


(44)

berperan serta dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga. Adanya kekuasan dan kemandirian yang lebih dalam mengambil keputusan inilah yang diasumsikan memiliki efek yang menguntungkan bagi wanita menopause. selain itu adanya dukungan dari rekan kerja yang dapat memberikan informasi mengenai menopause juga membuat wanita dapat memiliki sikap yang positif terhadap menopause (Berger, 1999).

Meskipun demikian bekerja di luar rumah juga membutuhkan waktu dan energi yang lebih. Pekerjaan diluar rumah biasanya bersifat cepat, mudah berubah dan membutuhkan usaha keras karena kualitas kerjanya akan dinilai. Selain itu, pekerjaan itu biasanya membutuhkan usaha fisik dan pemikiran yang lebih dan biasanya juga berkaitan dengan konflik keluarga. Konflik biasanya terjadi ketika adanya kesulitan menyesuaikan peran mereka sebagai pekerja juga sebagai ibu dan istri. Keadaan menjadi sulit dan penuh tekanan ketika wanita harus bekerja dan juga diharapkan untuk selalu hadir di sisi suami dan anaknya. Peran ganda inilah yang seringkali juga dapat meningkatkan tekanan karena masalah keluarga dan dan pekerjaaan yang mungkin memberikan efek negative bagi well-being

wanita menopause (Berger, 1999).

Wanita bekerja adalah wanita yang memperoleh/mengalami perkembangan dan kemajuan dalam bidang pekerjaannya (Anoraga, 2006). Umumnya wanita bekerja memiliki jam kerja tertentu sekitar 30 jam atau lebih per minggunya (Mikchuka, 2011).


(45)

C. WANITA TIDAK BEKERJA 1. Definisi wanita tidak bekerja

UU Perkawinan No.1/1974 pasal 31 ayat 3 mendefenisikan seorang istri sebagai ibu rumah tangga. Definisi ini menunjukkan bahwa seorang istri bertanggung jawab akan urusan rumah tangga, yang tidak menghasilkan, sehingga ia tergantung pada hasil kerja suaminya (Adiningsih, 2004). Sedyono (dalam Gardiner, Wagemann, Sulaeman dan Sulastri, 1996) mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga adalah para istri yang pekerjaannya terbatas pada mengatur berbagai macam pekerjaan dalam rumah tangga mereka sendiri. Menurut Word Reference (2006) ibu rumah tangga adalah seorang ibu yang mengatur rumah tangga sementara suami bekerja mendapatkan gaji untuk pendapatan keluarga. Shaadi (2006) mengatakan bahwa ibu rumah tangga adalah wanita yang memiliki pekerjaan utama untuk menjaga atau merawat keluarga dan/ rumah, suatu bentuk untuk menggambarkan wanita yang tidak dibayar sebagai tenaga kerja untuk menjaga keluarganya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bekerja adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar rumah, tidak memiliki penghasilan sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga mereka.


(46)

2. Peran Wanita Tidak Bekerja

Berger (1999) mengukapkan bahwa sampai saat ini masih banyak yang percaya tugas seorang wanita adalah di rumah. Apa yang diharapkan dari peran tradisional dan alami seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga, istri dan ibu bagi anak-anaknya. Beberapa pekerjaan yang termasuk pekerjaan rumah tangga adalah

1. Membersihkan, mengatur dan merawat rumah

2. Memastikan kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga 3. Membentuk dan membina hubungan sosial.

Ibu rumah tangga melakukan berbagai tugas di rumah sepanjang waktu. Rumah adalah tempat utama wanita dan peran sebagai ibu rumah tangga memiliki kelebihan dan kekurangan. Peran sebagai ibu rumah tangga sering dikararakteristikan sebagai pekerjaan yang rutin dan monoton. Sebagai ibu rumah tangga berarti wanita tidak dapat berhenti dari berbagai pekerjaan rumah, pekerjaan rumah biasanya banyak dan berulang, waktu kerja yang panjang dan pekerjaannya biasanya hanya dirumah saja. Selain itu Ibu rumah tangga juga lebih beresiko mengalami tekanan dan lebih sering mengeluhkan adanya gejala fisik dan psikologis yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis mereka selama menopause dibandingkan dengan wanita yang bekerja (Berger, 1999). Hal yang sama diungkapkan Azar &Vasudeva (2006), dan Mickhuka (2011) bahwa wanita bekerja cenderung memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja yang hanya menjadi ibu rumah tangga.


(47)

Selain itu biasanya sering terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pria dan wanita dalam rumah tangga jika wanita tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Pada situasi seperti ini biasanya pria memiliki kekuasaan yang lebi secara fisik dan keuangan untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga. Namun di sisi lain berperan sebagai ibu rumah tangga saja berarti berarti tidak ada atasan yang mengawasi, dapat menentukan sendiri waktu yang tepat untuk melaksanakan berbagai pekerjaan rumah dan dapat terlibat langsung dalam perawatan anak dan mendisain rumah. (Berger, 1999).

D. DEWASA MADYA 1. Definisi Dewasa Madya

Masa dewasa madya atau usia setengah baya adalah masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, yang dibagi ke dalam dua subbagian, yaitu : usia madya dini (40-50 tahun) dan usia madya lanjut (50-60 tahun). Masa dewasa madya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1999).

Monks (2004) mengatakan bahwa pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa yang akan beralih menuju masa dewasa madya antara usia 40-45 tahun. permulaan dewasa madya antara 45-50 tahun yang selanjutnya ketika mencapai 50-55 tahun seringkali dianggap sebagai masa krisis bila seseorang tidak mampu menhadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Setelah itu seseorang memasuki masa puncak pada usia 55-60 tahun yang sekaligus merupakan pertanda akan memasuki masa dewasa akhir.


(48)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usia dewasa madya diawali pada usia 40 tahun dan akan berakhir pada usia 60 tahun yang juga merupakan pertanda memasuki masa dewasa akhir.

2. Karakteristik Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa usia madya diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda. Adapun karakteristik tersebut adalah:

1. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti

Terdapat kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan mental, fisik dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa pentingnya masa muda

2. Usia madya merupakan masa transisi

Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa yaitu perubahan pada ciri jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

3. Usia madya adalah masa stres

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah terutama karena perubahan fisik dimana terjadi perubahan homeostatis fisik dan psikologis. Pada wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria umumnya terjadi pada usia 50-an saat masuk pensiun. disertai berbagai perubahan fisik. Stres somatik, stres budaya, stres ekonomi, dan stres psikologis.


(49)

4. Usia madya adalah usia yang berbahaya

Terjadi kesulitan fisik dikarekan terlalu banyak bekerja, cemas yang berlebihan, dan kurang perhatian terhadap kehidupan. Kondisi ini dapat mengganggu hubungan suami-isteri dan bisa terjadi perceraian, gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

5. Usia madya adalah usia canggung

Serba canggung karena bukan ―muda‖ lagi dan bukan juga ‖tua‖. Kelompok

usia madya seolah berdiri diantara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi senior.

6. Usia madya adalah masa yang berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung untuk menghasilkan) vs stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya.

7. Usia madya merupakan masa evaluasi

Terutama terjadi evaluasi diri. Mengevaluasi hidupnya berdasarkan aspirasi mereka dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

8. Usia madya di evaluasi dengan standar ganda

a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani yaitu rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur

b. Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu tetpa merasa muda dan aktif menjadi tua dengan anggun, lambat, hati-hati hidup dengan nyaman.


(50)

9. Usia madya merupakan masa sepi

Masa sepi atau empty nest terjadi jika anak-anak tidak lagi tinggal dengan orang tua. Lebih terasa traumatik bagi wanita khususnya wanita yang selama ini mengurus pekerjaan rumah tangga dan kurang mengembangkan minat saat itu. Pada pria mengundurkan diri dari pekerjaan.

10. Usia madya merupakan masa jenuh.

Pada pria jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga dengan sedikit hiburan. Pada wanita jenuh dengan urusan rumah tangga dan membesarkan anak.

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) membagi tugas perkembangan dewasa madya menjadi empat kategori utama :

1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik

Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan fisik yang biasa terjadi pada usia madya

2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat warga negara dan sosial, minat orang yang berusia madya seringkali mengasumsikan tanggung jawab warga negara dan sosial, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tempat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasanya dilakukan pada masa dewasa dini.

3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup relatif mapan


(51)

4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

Berkaitan dengan pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

E. MENOPAUSE 1. Definisi Menopause

Spencer & Brown (2007) mengartikan menopause sebagai suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovarium (indung telur). Sedangkan Ali (dalam Kasdu 2002) mengatakan apabila seseorang tidak mengalami haid selama satu tahun penuh, maka dapat disimpulkan bahwa menopause terjadi saat terakhir kali ia tidak mendapat haid.

Menurut Kasdu (2002), menopause adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Men dan peuseis adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid. Menurut kepustakaan abad 17 dan 18 menopouse dianggap sebagai suatu bencana dan malapetaka, sedangkan wanita setelah menopouse dianggap tidak berguna dan tidak menarik lagi. Webster’s

Ninth New Collection mendefinisikan menopause sebagai periode berhentinya haid secara alamiah. Baziad (dalam Kasdu, 2002) menyebutkan menopause sebagai pendarahan rahim terakhir yang masih diatur oleh fungsi hormon indung telur. Istilah menopause digunakan untuk menyatakan suatu perubahan hidup dan pada saat itulah seorang wanita mengalami periode terakhir masa haid.


(52)

Dapat disimpulkan bahwa menopause merupakan suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen dan progesterone.

2. Gejala Fisik dan Psikologis

Datangnya menopause biasanya juga disertai dengan adanya gejala-gejala fisik yang mengganggu dan biasanya membuat mereka tidak nyaman (Berger, 1999). Menurut Kasdu (2002) gejala-gejala fisik selama menopause meliputi: 1. Hot flueshes (rasa panas)

Pada saat memasuki masa menopause wanita akan mengalami rasa panas yang menyebar dari wajah ke seluruh tubuh. Rasa panas ini terutama terjadi pada dada, wajah, dan kepala. Rasa panas ini sering diikuti dengan timbulnya warna kemerahan pada kulit dan berkeringat malam yang menyebabkan tidur tidak nyaman serta timbulnya rasa cemas dan detak jantung yang lebih cepat.

2. Keringat berlebihan

Berkeringat di malam hari merupakan suatu kesatuan dengan gelora panas. Terlebih pada pukul 3 dan 4 pagi merupakan saat yang paling umum dimana wanita pra menopause mandi keringat. Sehingga perlu mengganti pakaian dimalam hari. Berkeringat malam hari tidak saja mengganggu tidur melainkan juga teman atau pasangan tidur. Akibatnya diantara keduanya merasa lelah dan lebih mudah tersinggung, karena tidak dapat tidur nyenyak.


(53)

3. Vagina kering

Gejala pada vagina yang timbul akibat perubahan yang terjadi pada lapisan dinding vagina. Ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen. Selain itu, juga muncul rasa gatal dan sakit saat berhubungan seksual hingga akhirnya wanita menopause rentan terhadap infeksi vagina

4. Penambahan berat badan

Banyak wanita mengalami peningkatan berat badan saat menopause, terutama di area sekita perut. Hal ini berhubungan dengan menurunnya kadar estrogen dan gangguan pertukaran zat dasar metabolisme lemak

5. Sulit tidur

Insomnia (sulit tidur) lazim terjadi pada waktu menopause, tetapi hal ini mungkin ada kaitannya dengan rasa tegang akibat berkeringat amalam hari,

hot flush, dan perubahan lainnya (Nugroho, 1995).

6. Perubahan kulit

Estrogen berperan dama mnjaga elastisitas kulit, ketika menstruasi berhenti maka kulit akan terasa lebih tipis, kurang lelastis terutama pada daerah sekitar wajah, leher, dan lengan. Kulit dibagian wajah menjadi mengembung seperti kantong, lingkaran hitam dibagian ini menjadi permanen dan jelas

7. Menurunnya gairah seks (Hilangnya hasrat seksual)

Wanita mengalami penurunan dalam kadar estrogen mereka selama pra menopause ini dapat mengakibatkan hilangnya hasrat seksual. Tapi bagi sebagian wanita masalah libido terkait dengan kurangnya hormon estrogen atau menipisnya jaringan vagina (Northrup, 2006).


(54)

Selama menopause sebagian besar wanita juga mengalami beberapa gejala-gejala psikologis yang menyertai munculnya gejala-gejala fisik. Menurut Kuntjoro (2002) gejala-gejala psikologis selama menopause meliputi:

1. Perubahan suasana hati (yang paling sering rasa kesal)

Banyak wanita merasakan bahwa perubahan suasana hati mereka lebih parah dibanding sebelumnya menjelang haid mereka datang, meningkatnya suasana hati yang negatif.

2. Cemas

Kecemasan pada wanita menopause umunya bersifat relative, artinya da yang cemas dan dapat tenang kembali, setelah mendapatkan semangat/dukungan daro orang disekitar nya namun ada juga yang terus menerus cemas, meskipun orang-orang disekitarnya telah memberikan dukungan. Akan tetapi banyak juga wanita yang mengalami menopause namun tidak mengalami perubahan yang berarti dalam kehidupannya. Menopause rupanya mirip atau sama saja juga dengan masa pubertas yang dialami seorang remaja sebagai awal berfungsinya alat-alat reproduksi, dimana remaja juga mengalami kecemasan, ada yang khawatir namun ada juga yang bisa-biasa sehingga tidak menimbulkan gejolak

3. Depresi

Beberapa wanita yang mengalami masa menopause tidak sekedar mengalami perubahan mood yang sangat drastis bahkan ada yang mengalami depresi. Wanita ini akan lebih sering merasa sedih karena kehilangan


(55)

reproduksinya,kehilangan kesempatan untuk memiliki anaknya, kehilangan daya tariknya dan tertekan jika kehilangan seluruh perannya sebagai wanita. 4. Ingatan menurun

Ingatan menurun, sebelum menopause seorang wanita dapat mengingat dengan mudah, tetapi setelah mengalami menopause kecepatan dan daya ingatnya menurun.

5. Mudah marah

Gejala ini juga muncul sebagai salah satu gejala psikologis yang muncul akibat adanya perubahan hormonal. Menurut Brown (1999), hormon estrogen dapat berfungsi salah satunya untuk mengatur metabolisme karbohidrat dan tekanan darah. Pada saat menopause, kadar hormon estrogen yang berubah mengakibatkan berubahnya pula tekanan darah wanita sehingga menyebabkan munculnya sumber-sumber stress pada psikologis wanita tersebut. Akibatnya, wanita tersebut akan menjadi mudah marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya.

6. Mudah tersinggung

Perasaan menjadi sangat sensitive terhadap sikap dan perilaku orang-orang disekitarnya, terutama jika sikap dan perilaku tersebut dipersepsikan sebagai menyinggung proses penerimaan yang sedang terjadi dalam dirinya (yatim, 2001)

Selain gejala-gejala yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa gejala lainnya yang terkadang dialami wanita pada saat menopause. gejala-gejala lainnya tersebut misalnya tidak dapat menahan air seni, gangguan mata dan nyeri tulang


(56)

sendi, mudah lelah, semangat berkurang, gelisah, konsentarasi berkurang , dan merasa tidak berguna lagi (Berger, 1999).

3. Tahap-tahap menopause

a. premenopause, adalah masa sebelum menopause yang ditandai dengan timbulnya keluhan-keluhan klimakterium dan periode pendarahan uterus yang bersifat tidak teratur. Dimulai sekitar usia 40 tahun. Pendarahan terjadi karena penurunan kadar estrogen.

a. perimenopause, periode dengan keluhan memuncak, rentang waktu 1 sampai 2 tahun sebelum dan sesudah menopause. Masa wanita mengalami akhir datangnya haid sampai berhenti sama sekali. Keluhan yang sering dijumpai adalah berupa gejolak panas (hot flushes), berkeringat banyak, insomnia, depresi serta perasaan mudah tersinggung.

b. postmenopause, periode setelah menopause sampai senilis. Masa yang berlangsung kurang lebih 3-5 tahun setelah menopause

4. Usia Memasuki Menopause

Menurut Kasdu (2002) menopause alami terjadi antara usia 45-55 tahun, kemudian ditambah dengan masa menopause yang berlangsung selama 5 tahun. Masa ini adalah tahap normal kehidupan dimana setiap wanita akan melaluinya antara umur 40 sampai 60 tahun (Life challenges, 2007). Namun menurut Rahman (dalam Kasdu, 2002) rata-rata seseorang memasuki masa menopause berbeda pada setiap ras. Dan dalam satu ras, tiap orang dapat mengalami menopause pada


(57)

usia yang berbeda juga. Misalnya, wanita ras Asia mengalami menopause pada usia 44 tahun, sementara wanita Eropa mengalami menopause sekitar usia 47 tahun.

Selain itu Morgan (dalam Kasdu, 2002) menyatakan bahwa kecenderungan bawaan, penyakit, stres, dan pengobatan dapat mempengaruhi waktu terjadinya menopause. Di Amerika Utara, usia rata-rata wanita yang mengalami menopause adalah sekitar 51 tahun. Data statistik menunjukkan bahwa wanita perokok cenderung mendapat menopause lebih awal dan wanita yang kelebihan berat badan cenderung mendapat menopause lebih lambat. Sedangkan Spencer & Brown (2007) menyatakan bahwa menopause umumnya dialami wanita pada rentang usia 45-55 tahun dan dengan usia rata-rata wanita memasuki menopause adalah 51 tahun.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa usia seseorang mengalami menopause sangat bervariatif. Jika diambil rata-ratanya, seseorang akan mengalami menopause sekitar usia 45-60 tahun.

F. PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANTARA WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA

Menopause sering dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dalam kehidupan seorang wanita. Kekhawatiran ini mungkin berawal dari pemikiran bahwa dirinya akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, dan tidak cantik lagi. Menopause juga merupakan pertanda terjadinya masa transisi yaitu peralihan dari periode reproduktif menuju non-reproduktif yang biasanya diiringi dengan


(1)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi persyaratan skripsi di Fakultas Psikologi Sumatera Utara, saya membutuhkan sejumlah data yang hanya akan diperoleh dengan adanya kerjasama Anda yang mengisi skala ini.

Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu sejenak untuk mengisi skala ini. Saya sangat mengharapkan Anda memberikan jawaban yang jujur, terbuka, dan apa adanya.

Tidak ada jawaban yang salah dalam pengisian skala. Semua jawaban dan identitas Anda akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Cara menjawab skala ini dijelaskan di dalam petunjuk pengisian skala dan kemudian periksalah kembali jawaban Anda, jangan sampai ada nomor yang terlewatkan.

Atas segala partisipasi dan bantuan Anda, saya sangat menghargai dan mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

Medan, Desember 2012

Hormat saya,


(2)

Rahasia Identitas Diri

1. Nama / inisial :

2. Usia :

Cek list (√) jawaban yang sesuai dengan anda.

3. Status pekerjaan : 1. Tidak Bekerja (Ibu Rumah Tangga) 2. Bekerja

 Pekerjaan : PNS Pegawai Swasta Wiraswasta Perawat

Lain-lain...

4. Pendidikan Terakhir : SD SMP SMA D3 S1 S2


(3)

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ada sejumlah pernyataan. Baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk memilih salah satu pilihan yang tersedia di sebelah kanan pernyataan berdasarkan keadaan diri Anda yang sesungguhnya. Berilah tanda silang (X) pada salah satu pilihan Anda. Alternatif jawaban yang tersedia terdiri dari 5 pilihan, yaitu:

SS : Pernyataan Sangat Sesuai dengan keadaan diri Anda  S : Pernyataan Sesuai dengan keadaan diri Anda

N : Pernyataan Netral dengan keadaan diri Anda  TS : Pernyataan Tidak Sesuai dengan keadaan diri Anda

STS:Pernyataan Sangat Tidak Sesuai dengan keadaan diri Anda

Contoh pengisian:

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

1. Saya adalah orang yang menyenangkan

SS S N TS STS

Jika Anda ingin mengganti jawaban, Anda dapat melakukannya seperti ini:

No. PERNYATAAN SS S N TS STS

1. Saya adalah orang yang menyenangkan

SS S N TS STS

Bila sudah selesai tolong periksa kembali jawaban Anda, jangan sampai ada nomor yang terlewati.

SELAMAT MENGERJAKAN & TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI ANDA


(4)

Kuesioner ini terdiri dari 37 pernyataan

No PERNYATAAN SS S N TS STS

1 Saya cenderung mencemaskan pendapat orang lain tentang diri saya

SS S N TS STS

2 Saya merasa tidak mengalami banyak peningkatan berarti dalam hidup selama beberapa tahun ini

SS S N TS STS

3 Orang lain melihat saya sebagai seorang yang menyenangkan

SS S N TS STS

4 Kegiatan Saya sehari-hari seringkali terlihat sepele dan tidak penting bagi saya

SS S N TS STS

5 Saya merasa percaya diri dan mampu berpikir positif tentang diri sendiri

SS S N TS STS

6 Tuntutan hidup sehari-hari sering membuat Saya tertekan SS S N TS STS

7 Keputusan Saya biasanya tidak dipengaruhi oleh apa yang dilakukan orang lain

SS S N TS STS

8 Saya merasa turut berperan serta di lingkungan sekitar saya SS S N TS STS

9 Terkadang Saya merasa kesepian karena hanya memiliki sedikit sahabat untuk berbagi masalah dengan saya

SS S N TS STS

10 Saya rasa perlu untuk memiliki pengalaman baru yang dapat menantang cara berpikir saya tentang kehidupan ini

SS S N TS STS

11 Saya mendapat manfaat dengan adanya tujuan hidup yang berusaha saya capai dalam hidup ini

SS S N TS STS

12 Saya rasa orang-orang yang saya kenal lebih beruntung dalam banyak hal dibandingkan dengan saya

SS S N TS STS

13 Saya cenderung terpengaruh oleh pendapat orang yang terlihat hebat

SS S N TS STS

14 Saya mampu mengelola keuangan pribadi dan pekerjaan saya dengan baik


(5)

15 Saya mengalami kesulitan mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain dan hal itu membuat saya tertekan

SS S N TS STS

16 Saya merasa telah mengalami banyak perkembangan yang berarti dalam hidup saya selama beberapa tahun ini

SS S N TS STS

17 Biasanya saya menetapkan tujuan untuk diri saya, tetapi saat ini hal itu terlihat hanya membuang-buang waktu saja

SS S N TS STS

18 Saya menyukai banyak hal dalam diri saya SS S N TS STS

19 Saya tidak berani mengungkapkan pendapat saya mengenai masalah yang masih diperdebatkan banyak orang

SS S N TS STS

20 Saya kurang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan sekitar Saya

SS S N TS STS

21 Bagi saya hidup adalah suatu proses yang terus berkelanjutan untuk belajar, berubah, dan berkembang

SS S N TS STS

22 Menurut saya, orang lain memiliki lebih banyak teman dibandingkan saya

SS S N TS STS

23 Saya senang membuat rencana masa depan dan berusaha mewujudkannya

SS S N TS STS

24 Dalam banyak hal, saya merasa kecewa dengan apa yang telah saya dapatkan dalam hidup ini

SS S N TS STS

25 Saya sering mengubah keputusan saya ketika teman atau keluarga saya tidak menyetujuinya

SS S N TS STS

26 Saya sering merasa kewalahan dengan berbagai tanggung jawab saya

SS S N TS STS

27 Sulit bagi saya mengubah kebiasaan lama dengan hal-hal yang baru

SS S N TS STS

28 Saya menikmati obrolan dengan keluarga dan teman-teman saya

SS S N TS STS

29 Sikap saya terhadap diri saya tidak sepositif seperti yang dirasakan orang lain terhadap diri mereka sendiri


(6)

30 Beberapa orang menjalani hidup tanpa tujuan, tetapi saya bukan salah satu dari mereka

SS S N TS STS

31 Saya kesulitan dalam mengatur hidup saya sesuai dengan apa yang saya inginkan

SS S N TS STS

32 Saya menilai diri saya berdasarkan apa yang saya pikirkan bukan didasarkan pendapat orang lain

SS S N TS STS

33 Saya tidak mempunyai banyak teman/keluarga yang bersedia mendengar saat saya ingin menceritakan masalah saya

SS S N TS STS

34 Saya adalah orang yang aktif untuk mewujudkan rencana-rencana yang telah saya buat

SS S N TS STS

35 Saya sudah mendapatkan kehidupan dan gaya hidup sesuai dengan apa yang saya inginkan

SS S N TS STS

36 Saya tidak memiliki banyak pengalaman membina hubungan yang hangat dan saling percaya dengan orang lain

SS S N TS STS

MOHON PERIKSA KEMBALI

IDENTITAS DIRI DAN JAWABAN ANDA,PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG