Kewarganegaraan Ganda: Konsep dan Perkembangan

3 perubahan parsial atau bahkan penggantian terhadap UU Kewarganegaraan. Jika memang kewarganegaraan ganda secara penuh akan diadopsi dalam hukum kewarganegaraan Indonesia, pilihan – pilihan tersebut tentu saja akan mengubah politik hukum kewarganegaraan Indonesia yang selama ini didasarkan pada prinsip kewarganegaraan tunggal, dan hanya mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak dari perkawinan campuran. Sedangkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan mekanisme pemberian kewarganegaraan ganda merupakan persoalan teknis yang dapat diselesaikan setelah persoalan konsep dapat diselesaikan.

B. Kewarganegaraan Ganda: Konsep dan Perkembangan

Kewarganegaraan ganda secara konseptual dapat dimaknai secara sempit dan luas. Dalam ari sempit, kewarganegaraan ganda mengacu konsep “dwi kewarganegaraan” dual citizenship nationality pada status seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda. Dalam arti luas, kewarganegaraan ganda diperluas tidak hanya terbatas pada dwi kewarganegaraan, namun juga lebih dari 2 banyak kewarganegaraan pluralmultiple citizenship nationality. 4 Kemungkinan besar, masalah yang sedang kita diskusikan bukan mengacu pada kewarganegaraan ganda dalam arti luas, namun dalam arti sempit, yaitu Dwi Kewarganegaraan. Namun demikian, oleh karena pengakuan kewarganegaraan ganda pada kebanyakan negara berupa dwi kewarganegaraan 5 , maka istilah kewarganegaraan ganda lebih banyak diasosiasikan dalam bentuk dwi kewarganegaraan. Dwi kewarganegaraan secara umum dapat muncul karena penerapan asas- asas kewarganegaraan dari segi kelahiran secara timbal balik interplay, antara asas 4 Spiro, dalam esainya mengenai dual citizenship dwi kewarganegaraan sebagai hak asasi, mengeneralisasi permasalahan tersebut sebagai masalah plural citizenship pada umumnya. Lihat Peter J. Spiro, “Dual Citizenship As Human Right”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 8 No. 1, 2010, hlm. 111. 5 Lihat P. Weis, Nationality and Statelessness in International Law, Sijthoff Noordhoff, Alphen aan den Rijn the Netherlands, 1979, hlm. 169. 4 ius sanguinis dan ius soli atau naturalisasi seorang warga negara suatu negara ke negara lain. Namun, sepanjang sejarah masyarakat modern, masalah Dwi Kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda pada umumnya, menurut Spiro, dalam makna terbaiknya, lebih dianggap sebagai suatu anomali, dan paling buruk, dianggap sebagai suatu kekejian abomination 6 , atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai the greatest evil. 7 Hal ini tidak terlepas dari filosofi kewarganegaraan yang didasarkan pada doktrin “kesetiaan abadi” perpetual allegiance yang sebenarnya merupakan masa feodalisme. 8 Memiliki dua kewarganegaraan, apalagi kewarganegaraan ganda, dianggap sebuah ketidaksetiaan tidak loyal disloyalty pada suatu negara, walaupun klaim tersebut lebih bersifat mekanisme untuk membuat malu shaming mechanism, dari pada sanksi hukum. 9 Namun dalam perkembangannya, banyak negara menerapkan dan mengakui kewarganegaraan ganda, baik implisit maupun eksplisit. Catatan Aliansi Pelangi Antar Bangsa APAB pada tahun 2006, dari 198 negara, 53 negara memperbolehkan dwi-kewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak adanya larangan khusus, 5 negara memperbolehkan dwi- kewarganegaraan secara umum dengan cukup banyak larangan khusus, 37 negara tidak memperbolehkan dwi-kewarganegaraan tetapi dengan cukup banyak kekecualian khusus, dan 15 negara tidak memperbolehkan dwi-kewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak adanya kekecualian khusus. 10 Faktor utama pengakuan atas dwi kewarganegaraan mulai meluas adalah globalisasi dan transnasionalisasi 11 , terutama gelombang migrasi internasional yang tak terbendung, baik karena alasan-alasan yang bersifat sukarela maupun keterpaksaan. Kewarganegaraan ganda dalam konteks globalisasi, di satu sisi dapat dipandang 6 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 111. 7 Ko Swan Sik, sebagaimana dikutip Gouw Giok Siong menegaskan bahwa bipatride pernah dipandang sebagai kejahatan terbesar daripada kehidupan internasional dewasa ini the greatest evil of present international life ‟. Lihat Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Keng Po, Djakarta, 1960, hlm. 2. 8 P. Weis, op., cit, hlm. 30. 9 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 115. 10 Aliansi Pelangi Antar Bangsa, “Komparasi Hukum Atau Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan Yang Berlaku Di Indonesia Dan Negara- Negara Lain”, disusun untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi Badan Legislasi DPR-Rl, 2006, tanpa halaman. 11 Thomas Faist, “The Fixed and Porous Boundaries of Dual Citizenship”, dalam Thomas Faist ed, Dual Citizenship in Europe From Nationhood to Societal Integration, Ashgate, Hampshire – Burlington, 2007, hlm. 69. 5 contoh “internal globalization” globalisasi internal dimana aturan-aturan negara bangsa merespon ikatan-ikatan berbagai warga negara lintas batas negara 12 , di sisi lain, kewarganeg araan ganda juga dapat dipandang sebagai “an incident of globalization” kecelakaan dari globalisasi 13 , mengingat berbagai persoalan yang berujung pada klaim atas kewarganegaraan ganda akibat migrasi internasional yang begitu masif dan tak terhindarkan. Selain globalisasi dan transnasionalisasi, klaim terhadap Dwi Kewarganegaraan juga didasarkan pada pengakuan HAM yang mengglobal yang telah diakui oleh hampir semua negara. Walaupun hak atas kewarganegaraan ganda secara universal tidak dijamin sebagai hak asasi, karena dibatasi hanya untuk satu kewarganegaraan, 14 namun bukti di berbagai negara, pentingnya dwi kewarganegaraan disituasikan dalam kerangka pikir hak asasi manusia. 15 Klaim kewarganegaraan ganda sebagai hak asasi juga tidak terlepas dari tanggung jawab realisasi HAM yang bertumpu pada rezim negara dalam merealisasikan hak asasi individu. Oleh karena sebagian besar jaminan hak asasi bersifat universal, maka kegagalan atau ketidakoptimalan suatu negara dalam merealisasikan hak asasi warga negaranya, menjadi dasar bagi seorang warga negara untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara lainnya, tanpa kehilangan kewarganegaraan asalnya, agar hak asasinya dapat direalisasikan secara penuh. Konsekuensi dari prinsip bahwa HAM tidak terbagi indivisible, saling berkaitan interrelated dan saling bergantung interdependent 16 , menyiratkan kebebasan untuk memilih kewarganegaraan, termasuk klaim atas Dwi Kewarganegaraan, pasti berkorelasi dengan upaya merealisasikan hak asasi lainnya, misalnya hak atas penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, atau bahkan hak atas rasa aman. Walaupun pengakuan terhadap dwi kewarganegaraan mulai meluas, namun sebagian negara selalu mengkaitkan pengakuan tersebut berdasarkan “ikatan khusus” 12 Ibid., hlm. 3. 13 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 130. 14 Pasal 15 1 UDHR, merumuskan jaminan hak atas kewarganegaraan, dengan norma: “Everyone has the right to a nationality ”, Pasal 24 3 ICCPR, menegaskan jaminan serupa bagi anak dengan frase “Every child has the right to acquire a nationality.” 15 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 111. 16 Lihat Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993. 6 terhadap negaranya. Artinya, pengakuan Dwi kewarganegaraan sangat dimungkinkan untuk diberikan dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut selalu dihubungkan dengan ikatan dengan negara, warga negara atau komunitas politiknya dalam arti luas misalnya ikatan bagi negara-negara persemakmuran Inggris. Sebagai contoh, walaupun Amerika Serikat AS mengakui dwi kewargenegaraan karena asas ius soli dalam hal kelahiran anak di wilayahnya tanpa melihat kewarganegaraan orang tuanya, kecuali tidak berlaku bagi diplomat atau cara lain, namun apabila warga negara AS melakukan naturalisasi atas permohonan sendiri atau wakilnya ke negara lain atau mengucapkan janji setia oath of allegiance ke negara asing, menyebabkan kehilangan status sebagai warga negara AS. 17 Bahkan El Savador yang mengakui kewarganegaraan ganda dalam arti luas banyak kewarganegaraan mulitiple citizenship, namun pengakuan kewarganegaraan ganda tersebut hanya dimungkinkan bagi warga negara yang mendapatkan kewarganegaraan El Savador karena kelahiran by birth, dan tidak berlaku warga negara karena naturalisasi. 18 C. Masalah Yang Kita Hadapi dan Perlukah Pengakuan dan Pengaturan Dwi Kewarganegaraan?