di dalam kondisi vakum selama 30 menit dan didinginkan pada suhu kamar sebelum diukur dengan inframerah dan sampel lainnya diukur pada 200˚C.
3.3. Siklisasi Katalitik dari Sitronelal
Campuran rasemat sitronelal sigma digunakan sebagai prekursor yang mengandung 87 ±-sitronelal dengan 13 isopulegol. Campuran reaksi
mengandung 2,0 gram sitronelal 13 mmol, 15 ml toluena dan 1 ml nitrobenzena internal standar ditempatkan dalam labu dasar bulat dengan sekat, kondensor
refluks dan penutup. Dalam campuran ini, 100 mg katalis kering 150˚C, didiamkan semalam dimasukkan. Reaksi siklisasi dilakukan pada suhu 110˚C
pada kondisi udara bebas dengan pengadukan. Sampel diambil berdasarkan perbedaan waktu reaksi dan produk dianalisis dengan kromatografi gas HP-
Inowax PEG kolom kapiler 0,25 mm, 30 m. konversi dari sitronelal dikoreksi oleh isopulegol yang terkandung sebelumnya. Perbedaan isomer diidentifikasi
dengan GC-MS Shimadu dan
1
H-NMR menggunakan spektrofotometer Bruker AMX500 500MHz. Sebagai pembanding, R-+-sitronelal Aldrich disiklisasi
dengan menggunakan katalis zirkonia. Dengan menggunakan NMR kiral pergeseran pelarut, eouropium tris {3-hepta-floropropilhidroksimetilena-+-
kamporat}, membuktikan adanya stereokimia pada karbon pada posisi 3 yang tidak dipengaruhi oleh reaksi.
3.4. Hasil dan Pembahasan
Zirkonium hidroksida yang dikeringkan pada 300˚C memiliki luas permukaan 186 sampai 285 m
2
g Tabel 3.1. Luas permukaan dan porositas dari hidroksida yang didigestasi lebih tinggi dibandingkan yang tidak didigestasi.
Kenaikan porositas ditandai oleh pembentukan jaringan pori akibat oksolasi antara gugus hidroksil zirkonium hidroksida Chuah et al., 2000. Dehidrasi gugus
hidroksida pada 500˚C menghasilkan pembentukan zirkonia. Luas permukaan ZrO
2
-0-500 sangat rendah yaitu 44,1 m
2
g jika dibandingkan terhadap luas permukaan zirkonia yang didigestasi selama 4 dan 16 hari sebesar 198 dan 265
m
2
g. Tingginya luas permukaan zirkonia yang didigestasi dapat diakibatkan 2 pengaruh. Selama digestasi hidroksida pada pH 9, beberapa silika dari alat gelas
larut dan masuk ke dalam sampel. Zirkonia yang dibentuk setelah 4 hari digestasi mengandung 0,4 silika sedangkan sampel 16 hari memiliki 3,5 silika
dianalisis degan XRF. Pengendapan silika dengan cara ini mempengaruhi kestabilan luas permukaan zirkonia yang diperoleh. Digestasi hidroksida juga
bertujuan untuk menghilangkan situs permukaan yang rusak, yang bertanggung jawab terhadap proses penggumpalan selama kalsinasi. Hal ini akan menghasilkan
luas permukaan zirkonia yang lebih baik. Tabel 3.1 Sifat-sifat bentuk permukaan katalis
Katalis Luas Permukaan
Volume Pori Bentuk Kristal
m
2
g mlg tetragonal
ZrO
2
-0-300 186 0,15 Amorf ZrO
2
-4-300 285 0,76 Amorf ZrO
2
-16-300 273 0,72 Amorf
ZrO
2
-0-500 44,1 0,13 Amorf ZrO
2
-4-500 198 0,49 22,3 ZrO
2
-16-500 263 0,71 100
ZrO
2
-0-500-PO
4
31,0 0,08
Amorf ZrO
2
-4-500-PO
4
240 0,46
22,9 ZrO
2
-16-500-PO
4
220 0,54
Amorf ZrO
2
-0-500-SO
4
90,0 0,10
Amorf H-Beta zeolit
226 0,25
100 Montmorillonite 209
0,32 SiAl 13,1
Clayzic 149 0,21 Silika gel 60
328 0,73
Semua bentuk zirkonium hidroksida hasil analisa sinar-x adalah amorf, untuk semua yang dipanaskan sampai 300˚C. Tetapi setelah dipanaskan sampai
500˚C, mayoritas zirkonia yang diperoleh membentuk kristal. Zirkonia yang dibentuk dari pengendapan langsung hidroksida, ZrO
2
-0-500, menghasilkan campuran bentuk monoklinik dan tetragonal 77:23. Rata-rata ukuran kristal
adalah 110Å. Zirkonia yang dibentuk dari hasil digestasi hidroksida selama 4 dan 16 hari berturut-turut menghasilkan 100 tetragonal dan amorf. Ukuran kristal
pada ZrO
2
-4-500 adalah 48Å, lebih kecil dibanding zirkonia yang tidak didigestasi.
Dari hasil adsorpsi isotermis nitrogen, distribusi ukuran pori diperhitungkan dengan metode Barret, Joyner dan Halenda. Pada ZrO
2
-0-300, ukuran pori menjadi lebih besar dari mikropori menjadi 50Å Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Distribusi ukuran pori ZrO
2
-0-300 ○, ZrO
2
-0-500 ●
Gambar 3.3 Distribusi ukuran pori ZrO
2
-16-300 ○, ZrO
2
-16-500 ●
Setelah dikalsinasi untuk membentuk zirkonia, pori yang lebih kecil hilang meninggalkan yang berukuran 40-150Å dengan rata-rata ukuran pori sekitar 90Å.
Volume pori berkurang dari 0,15 menjadi 0,13 mlg setelah membentuk zirkonia. Hiroksida yang didigestasi, ZrO
2
-4-300 dan ZrO
2
-16-300, lebih baik karena mampu mempertahankan struktur porinya, walaupun setelah kalsinasi sampai
500˚C mikropori masih ada dalam sampel ini Gambar 3.3. Luas permukaan hidroksida pada zirkonium hidroksida terfosfatisasi
sebelum kalsinasi sangat tinggi. Kedua zirkonia fofat 4 dan 16 hari, ZrO
2
-4-500- PO
4
dan ZrO
2
-16 -500-PO
4
, masing-masing memiliki luas permukaan lebih dari 200 m
2
g dan volume pori 0,46 dan 0,54 mlg. Sebaliknya ZrO
2
-0-PO
4
-500, yang difosfatisasi setelah dikalsinasi menjadi, memiliki luas permukaan dan volume
yang sama dengan bahan pendukung murninya. Distribusi ukuran pori ZrO
2
-0-500 juga tidak berubah, dari hasil tersebut adanya gugus fosfat tidak menyebabkan
oklusi pori Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Distribusi ukuran pori ZrO
2
-0-500-SO
4
□, ZrO
2
-0-500-PO
4
■
Zirkonia tersulfatisasi dapat dibentuk dari zirkonium hidroksida yang tidak didigestasi yang dilanjutkan kalsinasi yaitu ZrO
2
-0-SO
4
-500. Keberadaan setelah dikalsinasi sulfat menghasilkan luas permukaan yang tinggi sebesar 90 m
2
g, dibandingkan terhadap luas permukaan oksida yang tidak tersulfatisasi sebesar
44,1 m
2
g. Volume porinya 0,10 mlg sama dengan ZrO
2
-0-500. Tetapi, distribusi ukuran pori menunjukan bahwa pori kecil sangat dominan dalam sampel setelah
dikalsinasi dibandingkan dengan ukuran pori pada ZrO
2
-0-500. Pori pada zirkonia tersulfatisasi memiliki diameter pori rata-rata 45 Å.
Keasaman sampel dibandingkan dengan menggunakan Temperature- Programed desorbtion
amonia TPD. Pengukuran TPD tidak dilakukan pada sampel ini karena desorpsi amonia hanya akan tercapai sempurna jika mencapai
suhu 500˚C, suhu ini lebih tinggi dibanding dengan suhu yang digunakan untuk membentuk zirkonium hidroksida. Keasaman sampel ini dideteksi oleh
spektroskopi inframerah piridin Gambar 3.5. Zirkonium hidroksida yang tidak didigestasi, ZrO
2
-0-300, menunjukan adanya asam lewis. Bilangan gelombang antara 1434-1456, 1480-1498 dan 1560-1632 cm
-1
menunjukkan adanya ikatan hidrogen dan ikatan koordinasi dengan piridin Parry, 1963. Setelah digestasi,
terlihat adanya kenaikan keasaman, ditandai sedikit pergeseran bilangan gelombang ke arah bilangan gelombang lebih tinggi dan kenaikan absorbansi pada
1490 cm
-1
, selain itu serapan lemah di 1540 cm
-1
, menandakan adanya keasaman Brønsted, pada sampel yang didigestasi. Sifat sisi keasaman tidak dipengaruhi
oleh kalsinasi zirkonia. Kenaikan keasaman dari sampel yang didigestasi juga terlihat dari TPD amonia Gambar 3.6. Zirkonia yang tidak didigestasi
memperlihatkan penyerapan yang melebar pada 50-500˚C. penyerapan zirkonia yang didigestasi hampir sama, tapi suhunya bergeser 20-30˚C lebih tinggi.
Kenaikan keasaman dari sampel yang didigestasi mungkin dapat dijelaskan oleh adanya silika. Menurut Tanabe et al. 1974 keasaman dihasilkan dari oksida biner
dan juga ketidakseimbangan muatan ketika komponen oksida kecil mengadopsi matriks oksida mayor. Berdasarkan model ini, pemasukan silika ke dalam
zirkonia meningkatkan situs asam Lewis. Adanya keasaman Brønsted pada sampel yang didigestasi mungkin disebabkan oleh keasaman gugus –OH yang
berdampingan dengan ujung ion zirkonium yang tidak berikatan Chuah et al., 1999.
Gambar 3.5 Spektra IR piridin setelah pengkondisian pada suhu 100˚C aZrO
2
-0-300, b ZrO
2
-16-300, c ZrO
2
-0-500, d ZrO
2
-16- 500, e ZrO
2
-0-500-PO
4
dan f ZrO
2
-16-500-PO
4
3.5. Rentang Suhu