4 Campuran kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 45°C selama 48 jam.
Hydrocolloid matrix
kering kemudian dicetak dengan diameter 1 cm dan disimpan dalam aluminium foil yang diletakkan pada wadah plastik dengan penambahan
silica gel
pada suhu ruang.
Uji Sterilitas
Uji sterilitas dilakukan dengan meletakkan sediaan berdiameter 1 cm ke media Nutrien Agar pada cawan petri. Tiap petri kemudian dibungkus
plastic wrap
dan diinkubasi terbalik selama 24 jam.
Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati dan meneliti warna, kejernihan dan kehalusan dari
hydrocolloid matrix
piroksikam yang telah dibuat Shirsand
et al.
2012. Uji Keseragaman Bobot
Uji keseragaman bobot dilakukan dengan menimbang 10
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dari masing-masing formula satu persatu
British Pharmacopoeia
, 1993. Uji Ketebalan
Uji ketebalan
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dihitung pada 5 titik berbeda keempat sudut dan bagian tengah dengan jangka sorong El-Gendy
et al
. 2009.
Uji pH Larutan Sediaan
Uji pH larutan sediaan dilakukan dengan merendam setiap formula
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dalam 20 mL akuades pada suhu 36,5
o
C- 37,5
o
C selama 24 jam
British Pharmacopoeia
, 1993.
Uji Persentase
Moisture Content
Uji persentase
moisture content
dilakukan dengan mengondisikan setiap
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dalam sebuah desikator berisi silika selama 24 jam, kemudian ditimbang Toshkhani
et al.
2013. Uji Persentase
Moisture Absorption
Uji persentase
moisture absorption
dilakukan dengan meletakkan sediaan dari uji persentase
moisture content
dalam dalam
Climatic Chamber
dengan suhu 28
o
C, RH 85 selama 24 jam. Sediaan kemudian diambil dan ditimbang kembali Toshkhani
et al.
2013. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Uji Ketahanan Pelipatan
Folding Endurance
Uji ketahanan pelipatan dilakukan dengan melipat sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm secara berulang pada posisi yang sama hingga rusak Shirsand
et al.
2012.
Uji Keseragaman Kandungan Obat dalam
Matrix
Matrix
berdiameter 1 cm dilarutkan dalam 15 mL metanol dan di-ad dengan PBS pH 6,4 dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 354 nm
menggunakan spektrofotometer UV Garg
et al.
2014. Kadar ditentukan menggunakan persamaan kurva baku piroksikam. Evaluasi kadar piroksikam dalam
matrix
dihitung sebagai persen kadar piroksikam terukur terhadap kadar piroksikam teoritis dalam formula
U.S. Pharmacopeial Convention, 2006.
Uji Pelepasan Obat secara
In Vitro
Uji pelepasan piroksikam dari sediaan dilakukan menggunakan Franz
Diffusion Cell
pada suhu 37 ± 1
o
C. Sebanyak 15 mL campuran metanol dan PBS pH 6,4 3:7 dimasukkan pada sel difusi sebagai kompartemen aseptor. Membran
Millipore
sebelumnya direndam dalam larutan aseptor selama 1 jam, kemudian
hydrocolloid
berdiameter 1 cm dipasang pada sel difusi. Pada tiap waktu tertentu kompartemen aseptor disampling dan diukur absorbansi
sampel dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 354 nm. Kadar obat ditentukan dengan plot kurva baku piroksikam. Nilai
dissolution efficiency
dihitung sampai waktu ke- 360 menit DE
360
Pudyastuti dkk. 2014. Uji Stabilitas
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Setiap formula
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm disimpan dalam
paparan suhu 37°C dan 45°C selama 4 minggu. Analisis fisik dan analisis kandungan obat pada
hydrocolloid matrix
dilakukan setiap akhir minggu Amjad
et al.
2011.
Uji Iritasi Kulit
Uji iritasi kulit dilakukan dengan menggunakan kelinci albino dengan bobot 1,8 –2,2
kilogram. Punggung tiga ekor kelinci dicukur 24 jam sebelum pengujian. Dalam satu punggung diaplikasikan 1 kontrol positif etil asetat, 1 kontrol negatif dan 3 basis
hydrocolloid matrix
yang ditutup dengan hypafix selama 4 jam. Pengamatan dilakukan pada jam ke-4, 24, 48 dan 72 jam terhadap eritema dan udema yang terjadi pada kulit yang
terpapar BPOM, 2014. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Dasar Pemilihan Formula Optimal
Formula optimal dipilih berdasarkan hasil evaluasi yang menunjukkan steril, organoleptis baik, nilai
moisture content, moisture absorption,
keseragaman kandungan dan DE
360
yang tinggi, dan stabilitas yang baik.
Uji Aktivitas
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Enam tikus dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 3 tikus perlakuan diabetes yang memiliki kadar gula darah di atas 250 mgdL dan 3 tikus kontrol tidak diabetes. Setiap tikus
dicukur bulunya dan diberi olesan krim depilatori pada bagian punggungnya dan didiamkan selama 5 menit, lalu dibilas dengan kapas yang dibasahi air bersih hingga tampak kulit
punggung tikus. Tikus dibiarkan selama 48 jam sebelum diberi luka eksisi. Tikus dianestesi dengan menambahkan ketamin dosis 40-50 mgkgBB secara
intramuscular
pada bagian paha. Tiga puluh menit setelah disuntikkan ketamin, kulit punggungnya dibasahi dengan
etanol 70. Pada tiap tikus diberi 5 luka eksisi menggunakan
biopsy punch
dengan diameter 5 mm pada punggung tikus yang sudah dicukur hari ke-0. Perlakuan berbeda diberikan
pada masing-masing luka eksisi pada tikus, yaitu 1 kontrol, 2 basis dan 2 formula. Pemberian sediaan dilakukan tiap 24 jam sampai luka menutup. Luka eksisi kemudian dimonitor dan
area luka dihitung. Setelah luka sembuh, tikus dieutanasia dengan injeksi ketamin dengan dosis 100 mgkgBB. Kulit punggung diambil dengan ukuran 2x2 cm dan disimpan dalam
pot berisi formalin 10 untuk dilanjutkan dengan uji histopatologi.
Uji Histopatologi Pengecatan Hematoxylin-Eosin HE
Sampel yang digunakan adalah sampel kulit dari uji aktivitas yang memiliki
wound closure
sebesar 100. Sampel diuji dengan pengecatan hematoxylin-eosin, dan dilihat di bawah mikroskop cahaya Olympus tipe BH-2 yang terhubung dengan kamera OptiLab v.2.1
Micronos, Indonesia untuk melihat ada tidaknya perubahan struktur kulitnya. Uji hematoxylin-eosin dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi Universitas Gadjah
Mada.
Tata Cara Analisis Hasil Analisis Kuantitatif
a. Persentase
moisture content
:
Moisture content
=
� �� � − � �� ℎ�� � �� ℎ��
� Toshkhani
et al.
2013. b. Persentase
moisture absorption
:
Moisture absorption
=
� �� ℎ��− � �� � � �� �
� Toshkhani
et al.
2013. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7 c.
Nilai
dissolution efficiency
DE pada uji pelepasan obat:
�
=
��
�
� Fudholi, 2013.
d. Kecepatan penyembuhan luka pada tikus:
Wound closure =
ar a u a pa a ar −0−ar a u a pa a ar −n ar a u a pa a ar −0
x
Thu
et al.
2012. e.
Data hasil tiap uji pengukuran diuji statistik menggunakan
software
R
for statistic
ver. 3.2.3.
Analisis Kualitatif Pengamatan histopatologi akan memberikan perbandingan hasil secara
mikroskopis antara struktur kulit penyembuhan luka eksisi dan struktur kulit normal tikus.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Formula sediaan
hydrocolloid matrix
merupakan modifikasi dari formula sediaan transdermal pada penelitian yang dilakukan oleh Pudyastuti dkk. 2014, di mana pada
penelitian terdahulu digunakan zat aktif pentagamavunon, sedangkan pada penelitian ini digunakan zat aktif piroksikam. Sediaan
hydrocolloid matrix
divariasi pada salah satu polimernya yaitu PVP K-30, yang memiliki variasi 1,5, 2 dan 2,5.
Uji Sterilitas Sediaan
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Uji sterilitas dilakukan untuk melihat kesterilan sediaan yang diproduksi. Sediaan yang digunakan untuk pengobatan ulkus kaki diabetik harus steril untuk meminimalisir
terjadinya infeksi pada area luka. Hasil uji sterilitas pada Gambar 1 menunjukkan bahwa
sediaan
hydrocolloid matrix
dari setiap formula steril, karena tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Bintik-bintik yang terlihat pada gambar merupakan bintik-bintik uap
air yang mengembun pada kaca cawan petri.
Uji Sifat Fisik
Uji sifat fisik yang dilakukan adalah uji organoleptis, uji keseragaman bobot, uji ketebalan, uji larutan pH sediaan, uji persentase
moisture content,
uji persentase
moisture absorption
, dan uji ketahanan pelipatan. Formula PVP 1 dan PVP 2 memiliki karakteristik organoleptis yaitu warna kuning merata, dengan zat aktif piroksikam yang terdispersi
homogen, dan halus. Formula PVP 3 memiliki karakteristik tekstur tidak rata, dan agak lengket yang mungkin disebabkan karena masih terdapatnya sisa-sisa air atau pelarut yang
tidak menguap.
8
Gambar 1. Hasil uji sterilitas: a Kontrol negatif; b Basis; c PVP 1; d PVP 2; e
PVP 3; O = tempat meletakkan sediaan Pembuatan formula
hydrocolloid matrix
dilakukan dengan metode penguapan pelarut atau
solvent casting
Pudaystuti dkk. 2014, sehingga dibutuhkan pengeringan yang baik, untuk dapat menghilangkan pelarut yang digunakan. Formula PVP 3 dengan
konsentrasi PVP K-30 paling besar, memiliki sifat lengket pada sediaannya dibandingkan dengan formula lain. Hal ini juga dapat disebabkan karena sifat PVP K-30 yang higroskopis
yang mudah menyerap kelembaban udara di sekitarnya sehingga permukaan matriks menjadi basah, lebih mudah lembab dan menjadi lengket Pudyastuti dkk. 2014. Hal ini
dapat diminimalisir dengan membalik sediaan setelah pengeringan 2 hari sehingga sediaan dapat kering merata, namun, harus dipastikan pula sterilitasnya dengan melakukan
pembalikan sediaan di LAF.
Hydrocolloid matrix
yang dibuat memiliki bobot dan ketebalan yang seragam, walaupun terdapat matriks yang lebih tipis dalam satu cawan petri yang sama. Hasil uji sifat
fisik keseragaman bobot sediaan ditunjukkan pada Tabel II. Formula PVP 1 dan PVP 2
masing-masing menunjukkan bahwa sediaan memiliki bobot yang seragam, ditunjukkan dari kecilnya nilai
standard deviation
dan memiliki CV yang kurang dari 10
British
1
3 2
3 2
1
3 2
1
3 2
1
9
Pharmacopoeia
, 1993 yaitu 3,50 dan 3,25 kecuali pada formula PVP 3 yang memiliki CV sebesar 13,84, yang menunjukkan adanya variasi bobot Shirsand
et al.
2012, dikarenakan sifat lengket yang dimiliki formula tersebut, di mana masih terdapat sisa-sisa
air yang menyebabkan bobot sediaan bertembah. Ketebalan sediaan yang ditemukan dalam penelitian ini berada di antara 0,16 mm sampai 0,29 mm, di mana tidak lebih dari 0,69 mm
Thu
et al.
2012. Sediaan memiliki nilai pH masing-masing formula adalah 6,9, 6,8 dan 6,9 yang sesuai dengan
range
pH kulit, yaitu 4-7
British Pharmacopoeia
, 1993. Uji
moisture content
dilakukan dengan tujuan melihat berapa kandungan air yang terdapat dalam sediaan, sedangkan
moisture absorption
untuk melihat seberapa besar daya serap sediaan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sediaan dalam menyerap cairan,
terutama eksudat pada ulkus kaki diabetik. Pada basis, nilai
moisture content
diurutkan dari yang terendah adalah Basis 1 Basis 2 Basis 3, hal ini sudah sesuai dengan teori, di mana
basis dengan proporsi PVP K-30 paling tinggi, banyak mengandung air, karena sifat PVP K- 30 yang higroskopis, sehingga mampu menarik lembab, namun, dapat disebabkan karena
sediaan kurang kering sehingga masih terdapat air yang belum menguap yang mempengaruhi
moisture content
sediaan. Formula diurutkan dari yang terendah adalah PVP 3 PVP 1 PVP 2, hal tersebut tidak sesuai teori, di mana seharusnya PVP 3 memiliki
moisture content
paling tinggi, karena kurangnya pengendalian pengacau seperti suhu dan RH pada desikator, sehingga sulit dikontrol penyerapan airnya.
Hasil uji
moisture absorption
basis diurutkan dari yang terendah yaitu Basis 3 Basis 2 Basis 1, sedangkan pada formula diurutkan dari yang terendah adalah PVP 1 PVP 3
PVP 2, baik basis dan formula belum sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa proporsi PVP tertinggi menghasilkan
moisture absorption
tertinggi. Hal ini dapat terjadi karena penyerapan sediaan bergantung dari
moisture content,
di mana sediaan yang memiliki
moisture content
tinggi akan cenderung menarik air lebih sedikit. Dari data uji
moisture absorption
, didapatkan data kecepatan
moisture absorption
dari setiap basis dan formula, basis 1 dan formula 2 memiliki kecepatan yang paling besar dalam menyerap kelembaban
di lingkungan sekitar. Uji ketahanan pelipatan dilakukan untuk mengevaluasi fleksibilitas dari setiap
formula. Nilai ketahanan pelipatan yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki range 25- 77. Menurut penelitian transdermal
film
yang dilakukan oleh Pudyastuti dkk. 2014, sediaan transdermal
film
memiliki nilai ketahanan pelipatan lebih dari 300, dinyatakan elastis. Maka dapat disimpulkan, sediaan
hydrocolloid matrix
yang dibuat, kurang fleksibel dan elastis. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Uji Keseragaman Kandungan Obat
Uji keseragaman kandungan obat dilakukan pada setiap formula, dan didapatkan kandungan obat masing-masing 0,612±0,064 mg,
0,642±0,125 mg, dan 0,559±0,073 mg. Hasil tersebut didapatkan dengan mengonversikan nilai absorbansi yang didapat ke
persamaan kurva baku y = 0,0482 x + 0,0009 dengan nilai R 0,9998. Hasil dari uji
keseragaman kandungan dapat dilihat pada Tabel II. Masing-masing formula memiliki CV
10,458, 19,485 dan 13,074. Dari nilai SD dan CV tersebut menunjukkan bahwa kandungan obat tidak homogen, karena nilai SD dan CV relatif besar.
Evaluasi kandungan obat dilihat pula dari kandungan obat terukur dibagi dengan kandungan obat teoritis, dan didapatkan hasil masing-masing 89,726, 95,174 dan
83,219 untuk formula PVP 1, PVP 2 dan PVP 3, di mana formula PVP 2 memiliki persen kandungan obat paling tinggi, dan formula PVP 3 memiliki persen kandungan obat paling
rendah. Hal ini tidak sesuai teori di mana konsentrasi polimer paling banyak PVP 3 dapat mengikat lebih banyak zat aktif dibandingkan konsentrasi polimer paling sedikit PVP, ini
dapat disebabkan karena ketidakhomogenan sediaan, di mana adanya variasi bobot pada setiap potongan sediaan.
Range
penerimaan keseragaman kandungan obat menurut U.S Pharmacopeial Convention 2006 adalah 85 - 115.
Uji Pelepasan Obat secara
In Vitro
Hasil pengujian pelepasan obat piroksikam dari matriks
hydrocolloid
dilakukan selama 6 jam DE
360
menggunakan alat
Franz Diffusion Cell.
Hasil DE
360
uji pelepasan obat
piroksikam dapat dilihat pada Tabel II. Uji pelepasan obat memiliki hasil data DE
360
masing-masing sebesar 33,69±13,39, 53,87±17,10, dan 63,83±16,21.
Gambar 2. Grafik waktu vs
release hydrocolloid matrix
piroksikam
10 20
30 40
50 60
70 80
90
50 100
150 200
250 300
350 400
Rel e
a s
e
Waktu Menit
Grafik Waktu vs Release Obat Piroksikam
Formula 1 Formula 2
Formula 3
11
Tabel II. Rata-rata hasil evaluasi sifat fisika kimia sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam
Keterangan: a=disimpan dalam suhu 37
o
C; b=disimpan dalam suhu 45
o
C; =p-value 0.05 berbeda signifikan, tidak stabil For-
mula M
ing g
u Organoleptis
Bobot ± SD
gram Kete-
balan mm
pH Moisture
Content ±
SD Moisture
Absorption ± SD
Kecepatan Moisture
Absorption gjam
Ketahanan Pelipatan
Kandungan Obat ± SD
mg DE
360
Warna Kejernihan
Kehalusan Lain
Basis 1
Tak berwarna
Jernih Halus
Tidak Lengket
0,024± 0,003
0,25 6,9
3,042± 1,811
6,290± 3,881
4,583x10
-5
24 -
-
Basis 2
Tak berwarna
Jernih Halus
Tidak Lengket
0,033± 0,003
0,32 6,9
4,805± 2,652
6,009± 3,765
1,833x10
-5
45 -
-
Basis 3
Tak berwarna
Jernih Halus
Lengket 0,014±
0,001 0,18
6,9 4,972±
3,066 5,614±
4,414 2,250x10
-5
44 -
-
PVP 1
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,012±
0,0004 0,16
6,9 4,085±
2,081 6,712±
3,251 4,083x10
-5
77 0,612±0.064
33,69± 13,39
4
a
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,010±
0,002 0,20
7,1 1,211±
0,870 8,836±
3,937 3,750x10
-5
25 0,571±0.056
4
b
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,011±
0,003 0,15
7,2 1,010±
1,084 3,572±
1,934 1,667x10
-5
25 0,477±0.085
PVP 2
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,016±
0,0005 0,28
6,8 5,166±
2,968 8,980±
3,608 7,250x10
-5
50 0,642±0.125
53,87± 17,10
4
a
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,015±
0,003 0,20
7,0 3,326±
2,082 1,955±
0,859 2,750x10
-5
25 0,655±0.088
4
b
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,013±
0,002 0,15
7,2 0,983±
1,013 4,850±
3,037
2,500x10
-5
40 0,651±0.045
PVP 3
Kuning Terdispersi
Halus Lengket
0,026± 0,0036
0,29 6,9
2,607± 1,386
7,621± 3,635
7,000x10
-5
25 0,612±0.073
63,83± 16,21
4
a
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,010±
0,004 0,10
7,0 8,695±
9,055 1,400±
1,774 3,334x10
-6
25 0,533±0.034
4
b
Kuning Terdispersi
Halus Tidak
Lengket 0,013±
0,004 0,20
7,0 0,746±
0,787 3,806±
2,614 2,000x10
-5
15 0,531±0.034
12 Proses uji pelepasan obat dilakukan dengan penambahan metanol sebesar 30 pada
medium disolusi yaitu PBS dengan pH 6,4, hal tersebut dilakukan karena zat aktif piroksikam yang sulit larut dalam air Dhawan
et al.
2016, sehingga dibutuhkan ko-solven seperti metanol.
Namun, adanya polimer PVP K-30 dapat pula meningkatkan kelarutan obat
karena adanya mekanisme pembentukkan pori dan mencegah kristalisasi obat dalam matriks Kadajji
and
Betageri, 2011, karena PVP K-30 merupakan polimer hidrofilik yang mudah larut dalam cairan.
Mekanisme PVP K-30 dapat meningkatkan kelarutan piroksikam dan mencegah kristalisasinya adalah dengan membentuk ikatan hidrogen antara gugus O-H dan satu gugus
N-H pada piroksikam dengan gugus karbonil pada PVP K-30 Wu
et al.
2008. Polimer HPMC sendiri berfungsi sebagai pengontrol pelepasan obat sehingga dapat meningkatkan
disolusi obat dengan kelarutan yang buruk Rowe
et al.
2009. Grafik pelepasan obat piroksikam dari sediaan
hydrocolloid matrix
ditunjukkan pada Gambar 2.
Pada uji pelepasan obat dapat diurutkan dari DE
360
yang terendah yaitu PVP 1 PVP 2 PVP 3, hal tersebut dikarenakan penggunaan polimer hidrofilik seperti PVP K-30 dan
HPMC menyebabkan permeabilitas matriks meningkat, sehingga semakin tinggi proporsi polimer hidrofilik, difusi obat melalui matriks juga lebih cepat Kandavilli
et al.
2002. Formula PVP 3 memiliki proporsi polimer hidrofilik paling banyak, sehingga pelepasan
matriks lebih cepat pada formula PVP 3. Formula PVP 1 memiliki DE
360
yang relatif kecil disebabkan karena proporsi polimer yang paling sedikit, hal ini menyebabkan pori yang
terbentuk lebih sedikit, sehingga pelepasan matriks lebih lambat. Selain itu,
matrix
yang terlihat seperti suspensi padat, diduga adalah kristal piroksikam yang tidak larut dan ketika
uji pelepasan, pelarut akan lebih mudah melarutkan polimer dalam
matrix
, dan tidak dapat melarutkan kristal zat aktif.
Uji Stabilitas
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Uji stabilitas dilakukan dengan menempatkan sediaan pada 2 suhu berbeda yaitu 37
o
C dan 45
o
C dan didiamkan selama 4 minggu. Uji ini juga dilakukan untuk melihat apakah sediaan stabil secara fisik dilihat dari nilai keseragaman bobot,
moisture content,
dan
moisture absorption
maupun secara kimia dilihat dari kandungan obat selama waktu penyimpanan, dan pada suhu berapa sediaan sebaiknya disimpan. Hasil yang didapat dari
penelitian ini menunjukkan bahwa formula PVP 1 stabil secara kimia pada suhu 37
o
C, namun tidak stabil secara fisik. Pada suhu 45
o
C, formula PVP 1 stabil secara fisik yang ditunjukkan dengan nilai
p-value
uji keseragaman bobot dan
moisture absorption
0.05. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13 Formula PVP 2 stabil secara fisik dan kimia pada suhu 37
o
C, dan stabil secara kimia pada suhu 45
o
C, namun tidak stabil secara fisik pada suhu tersebut. Formula PVP 3 stabil secara fisik
moisture content
dan
moisture absorption
dan kimia pada suhu 37
o
C dan 45
o
C, namun
tidak stabil secara keseragaman bobot. Hasil uji stabilitas dapat dilihat pada Tabel II.
Parameter kritis yang digunakan pada penelitian ini adalah keseragaman kandungan obat, sehingga dapat disimpulkan bahwa formula PVP 1 stabil pada suhu 37
o
C, formula PVP 2 stabil pada suhu 37
o
C dan 45
o
C, dan formula PVP 3 stabil pada suhu 37
o
C dan 45
o
C.
Uji Iritasi Sediaan
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Uji iritasi sediaan dilakukan dengan menggunakan basis tanpa obat untuk melihat apakah sediaan yang dibuat akan mengiritasi penggunanya saat digunakan. Hasil
menunjukkan tidak terdapat iritasi berupa eritema maupun udema pada bagian penempelan basis, dengan nilai indeks iritasi primer sebesar 0.0, sehingga dapat disimpulkan bahwa
sediaan dapat digunakan tanpa mengiritasi penggunanya sangat ringan ISO 109939-10, 2002. Uji iritasi hanya menggunakan basis tanpa zat aktif karena piroksikam dinilai
memiliki sifat anti-inflamasi Dhawan
et al.
2016, sehingga kecil kemungkinan adanya
iritasi saat digunakan. Data ditunjukkan pada Tabel III.
Tabel III. Hasil uji iritasi basis
hydrocolloid matrix
piroksikam
Jam Kelinci
Eritema Udema
Basis 1 Basis 2
Basis 3 Basis 1
Basis 2 Basis 3
24
1 2
3
48
1 2
3
72
1 2
3
Indeks Iritasi Primer
1 0,0
2 0,0
3 0,0
Kesimpulan Sangat ringan
14
Dasar Pemilihan Formula Optimal
Kriteria formula optimal yang digunakan untuk uji aktivitas dilihat dari analisis fisik dan kimia, serta uji stabilitasnya. Analisis statistik digunakan untuk melihat apakah ada
perbedaan yang signifikan antar formula.Analisis statistik menggunakan software R, dan didapatkan nilai
p-value
. Pada uji sifat fisik, seperti
moiusture content
, dan
moisture absorption,
memiliki nilai
p-value
0,05, yang berati tidak terdapat perbedaan signifikan antara ketiga formula, begitu juga dengan uji sifat kimia yaitu kandungan obat dan pelepasan
obat yang memiliki
p-value
0,05, sehingga ketiga formula memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai formula optimal. Formula PVP 2 dipilih dengan pertimbangan
memiliki rata-rata
moisture content, moisture absorption
dan kecepatan absorpsi yang paling tinggi, sehingga diharapkan dapat menyerap eksudat pada ulkus dengan baik. Selain itu,
formula PVP 2 memiliki rata-rata kandungan obat paling tinggi, dan memiliki DE
360
yang
berada pada angka 53,87±17,10. Uji Aktivitas
Hydrocolloid Matrix
Piroksikam
Uji aktivitas ini dilakukan dengan menggunakan hewan uji tikus. Tikus yang digunakan memiliki kriteria sebagai berikut: tikus spesies
Rattus novergicus
dengan galur Wistar, berusia 2 bulan, memiliki bobot berkisar antara 160-200 gram.
Tabel IV. Hasil uji aktivitas dan uji histopatologi
Perla- kuan
Hari Penyembuhan Rata-rata±SD hari
Keterangan Tikus
Non Diabetes
Tikus Diabetes
Tikus Non Diabetes Tikus Diabetes
Kontrol 15±0.577
17±0.577
a Kontrol Non Diabetes
Belum terdapat serat kolagen, jaringan ikat sudah terbentuk; Terdapat jaringan granulasi
dan pembuluh darah yang menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai tahap
proliferasi
b Kontrol Diabetes
Belum terdapat serat kolagen. Terdapat jaringan granulasi, dan terdapat jaringan ikat
yang menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai tahap proliferasi
15
Tabel IV. Lanjutan Hasil uji aktivitas dan uji histopatologi
Basis 15±0.000
16±0.577
c Basis Non Diabetes
Belum terdapat serat kolagen, lapisan epidermis menutup sempurna; Terdapat
jaringan granulasi dan pembuluh darah menunjukkan proses penyembuhan luka
mencapai tahap proliferasi
d Basis Diabetes
Serat kolagen belum terlalu rapat dan teratur, masih terdapat jaringan granulasi, dan
jaringan ikat belum terbentuk sempurna menunjukkan proses penyembuhan luka
mencapai tahap remodelling
Formula 15±0.000
16±0.577
e Formula Non Diabetes
Belum terdapat serat kolagen, terdapat jaringan granulasi; Jaringan ikat belum
sempurna dan lapisan epidermis terbentuk sempurna
yang menunjukkan
proses penyembuhan
luka mencapai
tahap proliferasi
f Formula Diabetes
Serat kolagen masih belum rapat dan masih terdapat
jaringan granulasi;
Lapisan epidermis dan jaringan ikat sudah terbentuk
sempurna yang
menunjukkan proses
penyembuhan luka mencapai tahap awal remodelling
Tanpa Perla-
kuan
- -
g Kulit Sehat
Bagian-bagian struktur kulit tikus lengkap tanpa jaringan granulasi, di mana terdapat bagian epidermis, dan jaringan ikat, susunan kolagen sangat teratur, karena tidak mengalami
proses luka.
16
Tabel IV. Lanjutan Hasil uji aktivitas dan uji histopatologi
Keterangan: 1 = epidermis
2 = jaringan granulasi 3 = pembuluh darah
4 = folikel rambut 5 = jaringan ikat
6 = kolagen
Tikus yang digunakan berjumlah 6 ekor, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tikus diabetes dan tikus non diabetes. Pemberian
hydrocolloid matrix
dilakukan setiap 24 jam hingga luka sembuh. Luka dipantau setiap hari, dan dihitung
wound closure
hingga didapat
wound closure
100. Rata-rata luka mencapai
wound closure
hingga 100 pada kelompok tikus non diabetes adalah 15 hari, sedangkan pada kelompok tikus diabetes,
penutupan luka hingga 100 mencapai 16-17 hari. Data hari
wound closure
mencapai 100 yang ditunjukkan pada Tabel IV.
Analisis statistik dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara
wound closure
kelompok tikus diabetes dengan kelompok tikus non diabetes. Hasil statistik antara kontrol dengan formula PVP 2 pada tikus diabetes menunjukkan bahwa
penyembuhan luka kontrol lebih lama dibandingkan dengan formula PVP 2, namun formula PVP 2 tidak secara signifikan dapat mempercepat proses penyembuhan luka sehingga dapat
disimpulkan bahwa sediaan belum dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada penderita diabetes.
Uji Histopatologi
Uji histopatologi dilakukan setelah penutupan luka mencapai 100. Uji ini dilakukan untuk melihat struktur kulit secara mikroskopis dan membandingkan struktur kulit
dari kelompok tikus diabetes dengan struktur kulit dari kelompok tikus non diabetes.
Interpretasi hasil uji histopatologi dapat dilihat pada Tabel IV. Dari hasil uji histopatologi,
kontrol, basis dan formula pada tikus non diabetes masih dalam proses proliferasi, hal ini berarti bahwa luka sudah menutup, tetapi proses penyembuhan luka belum sempurna.
Kontrol pada tikus diabetes juga masih dalam proses proliferasi, sedangkan basis dan formula pada tikus diabetes masuk dalam proses
remodelling
dan proses awal
remodelling
.
KESIMPULAN
Kombinasi polimer PVP K-30 dan polimer HPMC E6 sebesar 2 dan 4.5 merupakan formula optimal dalam pembuatan matriks
hydrocolloid
piroksikam. Kombinasi ini dapat menghasilkan matriks yang homogen, warna merata, dengan nilai
moisture content
sebesar 5,166,
moisture absorption
sebesar 8,980 dan DE
360
sebesar 53,87. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Hydrocolloid matrix
tidak mengiritasi, namun efektivitas matriks sebagai sediaan penyembuhan luka tidak berbeda signifikan dengan kontrol. Saran untuk penelitian
selanjutnya adalah dilakukan pengujian
moisture content
dan
moisture absoprtion
lebih dari 24 jam dan keduanya dilakukan dengan
climatic chamber
sehingga didapatkan bobot konstan yang lebih presisi. Saran lain dapat dilakukan optimasi konsentrasi obat piroksikam
agar sediaan yang terbentuk lebih jernih bukan terbentuk suspensi padat dan dapat meningkatkan pelepasan obat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih ditujukan kepada PT. Dexa Medica yang telah memberi bantuan berupa zat aktif piroksikam dan PT. Erela yang telah memberi bantuan berupa eksipien dalam
penelitian ini. Penelitian ini sebagian didanai dari
grant
penelitian DP2M DIKTI.
DAFTAR PUSTAKA
Amjad, M., Ehtheshamuddin, M., Chand, S., Hanifa, Sabreesh, M., Asia, R., and Kumar, G.S., 2011. Formulation and Evaluation of Transdermal Patches of Atenolol.
ARPB
, 12, 109-119.
BPOM, 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.
Iritasi Akut Dermal
. Jakarta, BPOM RI, 69-76.
British Pharmacopoeia, 1993.
British Pharmacopoeia Addendum
. Dhawan, B., Aggarwal, G., and Harikumar, SL., 2016. Enhanced Transdermal Permeability
of Piroxicam through Novel Nanoemulgel Formulation.
International Journal of Pharm. Investigation
, 42, 65-76. Dinh, T., Tecilazich, F., Kafanas, A., Doupis, J., Gnardellis, C., Leal, E., Tellechea, A.,
Pradhan, L., Lynos, T., Giurini, J., and Veves, A., 2012. Mechanisms Involved in the Development and Healing of Diabetic Foot Ulceration.
Diabetes
, 61, 2937-2947. El-Gendy, N. A., Abdelbary, G. A., El-Komy, M. H., and Saafan, A. E., 2009. Design and
Evaluation of a Bioadhesive Patch for Topical Delivery of Gentamicin Sulphate.
Current Drug Delivery
, 61, 50-57. Francesko, A., Fernandes, M., Rocasalbas, G., Gautier, S., and Tzanov, T., 2015. Advanced
Polymers in Medicine.
Polymers in Wound Repair
, Spain, Springer Publishing, 401- 431.
Fudholi, A., 2013. Disolusi dan Pelepasan Obat. Garg, V., Singh, H., Singh, S. K., 2014. Development and Validation of A Sensitive UV
Method for Piroxicam: Application for Skin Permeation Studies.
International Journal of Recent Scientific Research
, 55, 980-983. Hilton, J. R., Williams, D. T., Beuker, B., Miller, D. R., and Harding, K. G., 2004. Wound
Dressing in Diabetic Foot Disease.
Clinical Infectious Disease
, 39, 100-103. International Standard ISO 10993-10, 2002.
Biological Evaluation of Medical Devices, Part 10
–
Tests for Irritation and delayed-type hypersensitivity
. International Diabetes Federation, 2015. Indonesia, http:www.idf.orgmembership
wpindonesia, diakses tanggal 24 Maret 2016. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18 Kadajji, V., G., and Betageri, V., 2011. Water Soluble Polymers for Pharmaceutical
Applications.
Polymers
, 3, 1972-2009. Kandavilli, S., Nair, V., and Panchagnula, R., 2002. Polymers in Transdermal Drug Delivery
Systems.
Pharmaceutical Technology
, 2002, 62-80. Liu, Y., Min, D., Bolton, T., Nube, V., Twigg, S. M., Yue, D. K., and McLennan, S. V.,
2009. Increased Matrix Metalloproteinase-9 Predicts Poor Wound Healing in Diabetic Foor Ulcers.
Diabetic Care
, 321, 117-119. Mazumder, M. K., Battacharya, P., and Borah, A., 2014. Inhibition of Matrix
Metalloproteinase-2 and 9 by Piroxicam Confer Neuroprotection in Cerebral Ischemia: An in silico Evaluation of The Hypothesis.
Medical Hypothesis
, 83, 697- 701.
McLennan, S. V., and Yue, D. K., 2008. Matrix Metalloproteinases and Their Roles in Poor Wound Healing in Diabetes.
Wound Practice and Research
, 163, 116-121. Park, C., Ma, K., Jang, S., Son, M., and Kang, M., 2014, Comparison of Piroxicam
Pharmacokinetics and Anti-Inflammatory Effect in Rats after Intra-Articular and Intramuscular Administration.
Biomol Ther
., 223, 260-266. Pudyastuti, B., Nugroho, A. K., dan Martono, S., 2014. Formulasi Matriks Transdermal
Pentagamavunon-0 dengan Kombinasi Polimer PVP K30 dan Hidroksipropil Metilselulosa.
Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas
, 112, 44-49. Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.., 2009.
Handbook of Pharmaceutical Excipients
. Shirsand, S.B., Ladhane, G.M., Prathap, S., and Prakash, P.V., 2012. Design and Evaluation
of Matrix Transdermal Patches of Meloxicam.
RGUHS J Pharm Sci
., 24, 58-65. Singh, N., Armstrong, D. G., and Lipsky, B. A., 2005. Preventing Foot Ulcers in Patients
with Diabetes.
Jama
, 293, 217-28. Tapan, E., 2005. Penyakit Degeneratif.
Thu H., Zulfakar, M. H., Ng, S., 2012. Alginate based bilayer hydrocolloid films as potential slow-release modern wound dressing.
International Journal of Pharmaceutics
, 4342012, 375-383.
Toshkhani, S., Shilakari, G., and Asthana, A., 2013. Advancements in Wound Healing Biodegradable Dermal Patch Formulation Designing.
Inventi Rapid: Pharm Tech.
, 20133, 1-11.
U.S. Pharmacopeial Convention, 2006. General Chapter:905Uniformity of Dosage Unit in U.S. Pharmacopeial Convention, USP 29
–NF 24. Wu, K., Li, J., Wang, W., and Winstead, D. A., 2008. Formation and Characterization of
Solid Dispersions of Piroxicam and Polyvinylpyrrolidone Using Spray Drying and Precipitation with Compressed Antisolvent.
Journal of Pharmaceutical Sciences
, 987, 2422-2431.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1. Proposal Penelitian
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Mellitus DM merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang, disebabkan adanya peningkatan kadar gula glukosa
darah secara terus menerus kronis akibat kekurangan insulin baik kuantitatif maupun kualitatif Tapan, 2005. Prevalensi penderita DM di Indonesia
menurut International Diabetes Federation 2015 sebesar 6,2, dengan rentang umur antara 20-79 tahun di maprauna merupakan umur produktif
orang Indonesia. Wild,
et al.
2004 memprediksikan adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia, dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030. Peningkatan populasi penderita DM akan berdampak pada
peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana sebanyak 15-25 penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik
di dalam hidup penderita Singh, Armstrong
and
Lipsky, 2005. Risiko infeksi dan amputasi masih cukup tinggi, yaitu 40-80 karena ulkus kaki
diabetik memiliki faktor risiko utama yaitu neuropati perifer yang memicu terjadinya kerusakan kulit dan jaringan subkutan, serta infeksi bakteri
sehingga terjadi pembusukan luka dan proteolisis Bernard, 2007; Jeffcoat
and
Harding, 2003; Leung 2007. Ulkus kaki, secara normal dapat sembuh melalui suatu proses
penyembuhan luka yang terjadi dalam beberapa tahap, namun menurut Tellechea
et al.
2010, terdapat gangguan proses penyembuhan luka pada penderita diabetes. Penderita diabetes mengalami gangguan ekspresi dan
aktivasi MMP terutama MMP-9, karena tingginya kadar glukosa dalam darah. MMP-9 merupakan enzim yang bertanggung jawab pada degradasi
matriks ekstraseluler kolagen, protease ini mengalami peningkatan sehingga penyembuhan luka berjalan lebih lambat McLennan
and
Yue, 2008; Dinh
et al.,
2012. Piroksikam merupakan golongan
nonsteroidal anti-inflammatory drugs
NSAID dan tergolong dalam BCS kelas II di mana memiliki kelarutan yang kecil, yang bekerja sebagai inhibitor sintesis prostaglandin yaitu
mediator nyeri untuk pengobatan
rheumatoid arthritis
dan
osteoarthritis
Aronson, 2009; Dhawan, Aggarwal
and
Harikumar, 2016. Mazumder, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20 Battacharya
and
Borah 2014 menambahkan dalam studinya bahwa
piroksikam juga memiliki sifat neuroprotektif dengan menghambat dan
downregulation
MMP-2 dan MMP-9. Berdasarkan sifat dan mekanisme tersebut, piroksikam berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat untuk
mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik.
Wound dressing
merupakan suatu bagian dalam manajemen penanganan ulkus kaki diabetik. Secara ideal,
wound dressing
untuk ulkus kaki diabetik dapat membuat pasien merasa nyaman, tidak membuat luka
menjadi lebih buruk, dapat menjaga kebersihan dan kelembaban luka, juga dapat mengobati infeksi yang terjadi Hilton
et al.
, 2004; Hariani, dan Perdanakusuma, 2008. Penggunaan balutan yang efektif dan tepat, dapat
membantu penanganan ulkus kaki diabetik, di mana ulkus banyak mengeluarkan eksudat, sehingga pemilihan sediaan menjadi sangat penting
Hilton
et al.,
2004.
Hydrocolloid
yang merupakan salah satu jenis
wound dressing patch,
di mana material
hydrocolloid
didesain agar menciptakan sifat oklusif, mampu menjerat eksudat di dalam balutan dan mampu menghidrasi luka
Hilton
et al.
, 2004.
Hydrocolloid
yang diaplikasi langsung pada area terinfeksi, di mana bagian
stratum corneum
dari kulit sudah rusak, seperti ulkus kaki diabetik, memiliki efek terapi lebih baik dan berfungsi sebagai
wound healing
Toshkhani, Shilakari
and
Asthana, 2013. Keefektifan suatu
wound healing
seperti
hydrocolloid patch
untuk menyembuhkan luka, bergantung dari polimer
patch
tersebut, di mana polimer merupakan bagian dari
hydrocolloid patch
yang berfungsi sebagai
matrix former
. Komponen polimer hidrofilik seperti polivinil pirolidon PVP dapat meningkatkan laju pelepasan obat pada suatu sediaan, sehingga yang
menghasilkan laju disolusi yang tinggi dengan pembentukan pori dan mencegah kristalisasi obat dalam matriks Kandavilli, Nair
and
Panchagnula, 2002; Pudyastuti, Nugroho dan Martono, 2014. Penggunaan PVP diketahui
untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat yang kelarutannya kecil, dan dapat digunakan untuk meningkatkan laju disolusi obat NSAIDs yang
sukar larut Saeed
et al.
, 2006; Lyn,
et al.,
2011. Konsentrasi PVP sebagai pembawa obat ditetapkan dengan
range
10-25 Rowe
et al.,
2009. PVP merupakan polimer hidrofilik yaitu komponen pembentuk hidrogel yang
dapat digunakan sebagai matriks pembawa dalam sediaan yang kering, dan akan mengembang selama terjadinya pelepasan obat Hincal
and
Kas, 1998.
Hydrocolloid
merupakan sediaan yang disarankan sebagai salah satu pilihan dalam
wound management,
salah satu contohnya adalah Tegaderm Hydrocolloid yang mengandung polimer poliuretan, juga Comfeel yang
mengandung polimer CMC dan Na alginat.
Hydrocolloid
yang banyak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21 ditemukan, sebagian besar menggunakan polimer alami, maka, pada
penelitian ini digunakan PVP sebagai polimer sintetik. Polimer sintetik dapat menunjukkan kekuatan mekanis yang lebih
superior
dibandingkan polimer alami karena mereka memiliki ikatan
cross-link
yang meningkatkan sifat mekanis dari sediaan Francesko
et al.,
2015. Maka, perlu dilakukan pengembangan
hydrocolloid matrix
piroksikam untuk ulkus kaki diabetik, yang mampu menjerat eksudat dan menjaga kelembaban luka, serta
menghambat MMP-9 yang pemakaiannya juga dapat bertahan lama, sehingga memudahkan dan membuat pasien nyaman.
Pemakaian
hydrocolloid
yang dapat bertahan lama bergantung dari pelepasan serta penghantaran obatnya, yaitu dengan waktu aksi yang panjang
dan pelepasan obat yang terkontrol sehingga mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik. Keefektifan polimer dalam menghantarkan obat dari
sediaan untuk mencapai kadar efektif terapi perlu dioptimasi sehingga diketahui konsentrasi optimalnya. Maka, dalam penelitian ini dilakukan
optimasi konsentrasi polimer polivinil pirolidon untuk memperoleh formula yang paling optimal.
1.2 Rumusan Masalah
a. Berapa konsentrasi PVP optimal pada
hydrocolloid matrix diabetic
wound healing
dengan zat aktif piroksikam? b. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi PVP terhadap sifat dan
stabilitas fisika kimia
hydrocolloid matrix diabetic wound healing
piroksikam?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui konsentrasi PVP optimal pada sediaan
hydrocolloid matrix diabetic wound healing
dengan zat aktif piroksikam. b. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi PVP terhadap sifat dan
stabilitas fisika kimia
hydrocolloid matrix diabetic wound healing
piroksikam.
1.4 Urgensi Penelitian
Penelitian ini berguna dalam pengembangan sediaan berbentuk
wound dressing patch
piroksikam sebagai
diabetic wound healing
yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada penderita diabetes,
mempermudah penderita dalam menggunakan penyembuh luka
wound dressing patch
piroksikam sehingga dapat mengurangi angka kejadian amputasi akibat ulkus diabetik.
1.5 Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu kefarmasian di Indonesia yang berkaitan dengan sediaan
22
wound dressing patch
piroksikam sebagai penyembuh luka, yang secara khusus ditujukan kepada penderita diabetes dengan ulkus.
1.6 Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah konsentrasi polimer PVP yang optimal dalam sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam sebagai
diabetic wound healing
yang mampu mempercepat proses penyembuhan luka bagi penderita diabetes, serta pengaruh polimer PVP terhadap sifat dan
stabilitas fisis dan kimia
hydrocolloid matrix
piroksikam.
1.7 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya berkaitan dengan aktivitas piroksikam dalam
sediaan
hydrocolloid matrix
sebagai
diabetic wound healing
untuk mempercepat penyembuhan luka pada penderita diabetes, dan dapat pula
dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara ilmiah mengenai sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam sebagai
diabetic wound healing
dalam mempercepat proses penyembuhan luka pada penderita diabetes.
23
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Luka
Luka merupakan suatu kerusakan atau gangguan terhadap struktur dan fungsi anatomi atau jaringan normal. Penyembuhan luka pada kondisi normal
memiliki beberapa fase, yaitu fase akut hemostatis, inflamasi, fase proliferatif granulasi, epitalisasi dan fase remodeling. Proses ini merupakan
respon fisiologi seluler normal yang menghasilkan suatu integritas anatomi dan fungsional jaringan yang kembali normal Lobmann, Schultz
and
Lehnert, 2005; Gabriel,
et al.
, 2015; Velnar, Bailey
and
Smrkolj, 2009. Fase hemostatis, ditandai dengan terjadinya konstriksi vaskuler dan
pembentukan
fibrin clot
fibrin beku. Bekuan dan jaringan ini akan melepaskan sitokin pro-inflamasi dan
growth factors.
Sel-sel inflamasi akan bermigrasi menuju daerah luka kemotaksis dan memicu fase inflamasi Guo
and
DiPietro, 2010. Fase inflamasi ditandai dengan terjadinya infiltrasi dari neutrofil,
makrofag, dan limfosit. Neutrofil bertugas untuk membersihkan mikroba dan debris seluler dalam luka. Makrofag bertugas dalam melepaskan sitokin yang
memicu terjadinya respon inflamasi, juga bertugas membersihkan sel-sel apoptosis yang melakukan perbaikan, mendorong terjadinya regenerasi
jaringan, dan mendorong ke arah fase proliferasi. Limfosit yang berperan aktif adalah limfosit T, yang akan mengalami puncak dalam fase proliferasi lanjut
atau remodeling awal Guo
and
DiPietro, 2010. Fase proliferasi ditandai dengan proliferasi epitel dan reepitelialisasi.
Proses ini mencakup munculnya fibroblas dan sel-sel endotel dan terjadinya pertumbuhan kapiler, pembentukkan kolagen, dan jaringan granulasi, yang
terjadi di dalam dermis, sedangkan pada dasar luka, fibroblas akan memproduksi kolagen, glikoaminoglikan dan proteoglikan, yaitu komponen
dari matriks ekstraseluler Guo
and
DiPietro, 2010. Fase remodeling yang ditandai dengan kembali normalnya luka karena
terjadi regresi kapiler. Fase ini tergolong fase yang paling kritis karena terdapat proses remodeling matriks ekstraseluler untuk mencapai suatu
jaringan normal kembali Guo
and
DiPietro, 2010.
2.2. Luka pada Penderita Diabetes
Ulkus kaki diabetikum adalah keadaan di mana ditemukannya suatu infeksi, tukak atau destruksi ke jaringan kulit paling dalam pada kaki
penderita Diabetes Mellitus DM. Infeksi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya abnormalitas saraf dan adanya gangguan pembuluh darah arteri
24 perifer Roza, Afriant dan Edward, 2015. Keadaan hiperglikemia secara terus
menerus menyebabkan terjadinya hiperglisolia, yang merupakan keadaan sel yang banyak mengandung glukosa. Hiperglisolia kronik yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan homeostatis biokimiawi sel yang berpotensi terjadinya komplikasi kronik DM Roza, Afriant dan Edward,
2015.
Ulkus kaki diabetikum terjadi karena adanya aksi simultan dari beberapa faktor penyebab. Faktor utama penyebab terjadinya ulkus adalah
neuropati perifer dan iskemik dari gangguan vaskular perifer. Neuropati pada pasien diabetes dimanifestasikan pada saraf motorik, otonomik, dan sensorik
Pendsey, 2010. Neuropati motorik akan mempengaruhi otot-otot yang terdapat pada kaki. Neuropati sensorik dialami dengan hilangnya sensasi nyeri
dan tekanan, juga propriosepsi atau sensasi dalam merasakan posisi kaki, sedangkan neuropati otonom ditandai dengan keringnya kulit, tidak
berkeringat, meningkatnya pengisian kapiler sekunder yang dteruskan dengan timbulnya fisura, kerak kulit dan rentannya kaki terhadap trauma yang
minimal Singh, Armstrong
and
Lipsky, 2005. Secara iskemik, kaki penderita diabetes akan terasa lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit yang
tipis, halus dan tanpa rambut, dan tidak ada
rest pain
akibat neuropati Edmonds, 2006.
Wagner-Meggit 1986 mengklasifikasikan kelas-kelas luka diabetik berdasarkan kedalaman luka yang dialami, yang dibagi dalam 6 kelas
grade. Grade 0
merupakan tingkatan luka di mana kulit penderita masih terlihat utuh.
Grade 1
adalah luka yang tergolong masih dangkal, sedangkan
grade 2
merupakan luka yang dalam hingga tendon, tulang maupun persendian.
Grade 3
merupakan luka yang juga dalam dengan abses atau osteomielitis.
Grade 4
ditandai dengan munculnya gangren sebagian, dan
grade 5
ditandai dengan munculnya gangren pada keseluruhan bagian.
Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik tersebut, menurut Tellechea
et al.
2010 disebabkan karena empat faktor yaitu hiperglikemia yang berlangsung terus menerus, lingkungan pro-inflamasi, penyakit arteri
perifer, serta neuropati perifer. Bagan pada Gambar 1. menjelaskan bahwa pada penderita DM, timbul gejala-gejala seperti disebutkan di atas. Gejala-
gejala tersebut menyebabkan perubahan fungsi sel imun, respon inflamasi yang kurang baik, disfungsi sel endotelial, dan gangguan neovaskularisasi.
Dalam hal ini, inflamasi dan neovaskularisasi merupakan hal penting dalam penyembuhan luka, namun, pada penderita DM, proses respon inflamasi akut
dan angiogenesis terganggu, yang menyebabkan terjadinya penyembuhan luka abnormal. Penyembuhan luka yang terhambat dikarakterisasi dengan
adanya peningkatan dari matriks metalloproteinase MMP, penurunan dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
tissue inhibitors of metalloproteinase
TIMP, dan penurunan dari beberapa faktor pertumbuhan Liu,
et al.,
2009. Lobmann, Schultz
and
Lehnert 2005 menjelaskan hubungan gangguan fungsi sel, ketidak seimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan
faktor pertumbuhan. Pada ulkus kaki diabetik terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi
memanjang, serta adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar dalam luka. Neutrofil granulosit dan sel inflamantori mensekresi sitokin proinflamasi
terutama TNF-
α dan interleukin-1 β IL-1β, di mana ketika dalam keadaan berlebih, kedua sitokin ini menstimulasi produksi yang tinggi dan abnormal
dari matrix metaloproteinase MMP dan radikal bebas, yang merupakan bahan bakar utama dalam proses terjadinya inflamasi Lobmann, Schultz
and
Lehnert, 2005; Gibson,
et al.,
2009. Radikal bebas, berfungsi sebagai pembunuh bakteri dan bertugas untuk membersihkan luka, namun, jika
berlebihan, dapat menyebabkan kerusakan jaringan Gibson,
et al.,
2009.
Gambar 1. Gangguan penyembuhan luka pada penderita diabetes Tellechea,
et al.,
2010. Studi telah mengemukakan bahwa hiperglikemia sendiri memiliki efek
yang merusak pada tahap penyembuhan luka dengan adanya formasi dari
advance glycation end-products
AGEs yang menginduksi produksi molekul inflamantori TNF-
α, IL-1β dan gangguan pada sintesis kolagen Tsourdi,
et al.,
2013.
Advance glycation end-products
AGEs merupakan modifikasi dari protein atau lipid yang secara non-enzimatik terglikosilasi dan teroksidasi
26 setelah adanya kontak dengan gula aldosa. AGE merupakan molekul
berfloresen, memproduksi ROS, berikatan spesifik dengan reseptor sel yang spesifik, dan membentuk
cross-links
Goldin,
et al.
, 2006. Matriks metalloproteinase MMP merupakan famili dari enzim
pendegradasi matriks ekstraseluler. MMP-9 merupakan biomarker pro- inflamasi, yang merupakan famili dari endoproteinase yang mengandung
zinc
, yang berimplikasi pada remodeling sel kronis, migrasi, adhesi dan apoptosis. MMP-9 diproduksi karena aktivasi dari sel inflamantori seperti
neutrofil polimorfonuklear dan makrofag serta sel luka, seperti sel epitel, fibroblas, dan sel endotelial vaskuler Sachwani,
et al.,
2016; Gibson,
et al.,
2009. MMP merupakan protease utama yang terlibat dalam regulasi
remodeling matriks ekstraseluler. MMP secara normal memiliki peran dalam penyembuhan luka seperti membersihkan matriks ekstraseluler yang rusak
dan membersihkan bakteri pada tahap inflamasi, mendegradasi membran yang mengelilingi kapiler sehingga sel endotelial vaskuler dapat bermigrasi
menuju luka dan menciptakan pembuluh darah baru pada luka angiogenesis, serta mensintesis kontraksi parut matriks ekstraseluler, dan membentuk
matriks ekstraseluler yang baru Gibson,
et al.,
2009. Namun, walaupun MMP memiliki peranan penting dalam penyembuhan luka, ketika MMP
terutama MMP-9 ditemukan dalam kadar yang tinggi, dalam waktu yang lama dan pada tempat yang tidak tepat, protease ini akan mulai mendegradasi
protein lain yang bukan substratnya. Penyimpangan sintesis dari MMP dan perubahan keseimbangan dari enziminhibitor menunjukkan adanya
kekacauan dari matriks ekstraseluler. Penyimpangan ini menyebabkan kerusakan dari protein-protein seperti faktor pertumbuhan, dan protein
matriks ekstraseluler yang berperan penting dalam penyembuhan luka dan akhirnya menghasilkan luka yang tidak sembuh Muller,
et al.
, 2008; Gibson,
et al.,
2009. Luka kronis mungkin disebabkan karena terjadinya fase inflamasi yang
berlebihan, ini didukung dengan adanya studi yang menyatakan bahwa MMP banyak ditemukan pada eksudat dari luka kronis dibandingkan luka akut Liu,
et al.
, 2009. Mekanisme peningkatan sekresi MMP-9 belum diketahui secara tepat, namun, dikaitkan dengan peningkatan inflamasi, hal itu terjadi karena
MMP-9 diekspresikan kemungkinan besar oleh neutrofil dan makrofag, di mana kedua tipe sel ini penting dalam respon inflamasi. Peningkatan level
MMP-9 meperlihatkan variasi luka kronis yang sulit disembuhkan, termasuk ulkus kaki diabetes Dinh,
et al.,
2012; Liu,
et al.,
2009. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
2.3. Piroksikam
Gambar 2. Struktur Molekul Piroksikam Redasani, Shinde
and
Surana, 2014. Piroksikam
4- hydroxy-2- methyl-N-2- pyridinyl- 2H- 1,2- benzothiazine-3 carboxamide 1,1-dioxide
; PX merupakan salah satu obat NSAID dan berasal dari kelas oksikam. Piroksikam memiliki rumus molekul
C
15
H
13
N
3
O
4
S, dan berbentuk kristalin solid berwarna putih International CHEMTREC, 2015. Piroksikam dikenal sebagai analgesik dan obat anti-
inflamasi dan secara luas diketahui sebagai treatment untuk penyakit
rheumatic
. Penelitian terbaru mengatakan bahwa Piroksikam juga dikenal sebagai kemoterapetik kanker Park,
et al.,
2014; Dkhil, 2011; Mealey, 2013. Piroksikam bekerja secara tidak selektif pada enzim
cyclooxygenase
-1 COX-1 dan COX-2. Siklooksigenase COX merupakan suatu enzim kunci
proinflamasi yang mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Interaksi antara piroksikam dengan enzim siklooksigenase, ditunjukkan
dengan adanya ikatan hidrogen antara gugus karboksamida dari piroksikam dan residu Serin530 dan dan residu Tirosin355 dari enzim COX-1, sedangkan
pada enzim COX-2 ditunjukkan dengan adanya ikatan hidrogen antara gugus benzotiazine dari piroksikam dengan residu Arginin120 dan Tirosin355 dari
enzim. Dari analisis ini, interaksi-interaksi yang terbentuk memiliki
binding energy
yang sama, di mana menyatakan bahwa piroksikam merupakan obat yang tidak selektif terhadap enzim COX-1 maupun COX-2 Campione,
et al.
, 2015. Prostaglandin PGE
2
berkontribusi terhadap rasa sakit dan berbagai penyakit inflamasi Chiong
et al
., 2013. Selain itu, PGE
2
juga dapat meningkatkan regulasi dari MMP-9 dengan menginduksi ekspresi dan sekresi
dari MMP-9 Yen, Khayrullina,
and
Winstead, 2008. Piroksikam memiliki 2 nilai pKa yaitu 1,8 dan 5,2 tergantung dari gugus piridil dan enol, dan
bergantung dari pH-nya, maka obat dapat berbentuk kationik, netral maupun anionik. Transport pasif dari piroksikam melewati kulit mamalia relatif
rendah Wahtoni, Pamudji dan Darijanto, 2012.
Piroksikam merupakan obat yang tergolong dalam BCS kelas II di mana memiliki kelarutan yang kecil, selain itu memiliki karakteristik polimorfisme.
28 Strukturnya mengandung satu gugus O-H dan satu gugus N-H yang dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan gugus karbonil pada polimer PVP Dhawan, Aggarwal
and
Harikumar, 2016; Wu,
et al.
, 2008. Piroksikam memiliki massa molekul 331,35 gmol, dan titik lebur sebesar 199
o
C. Piroksikam merupakan molekul yang sukar larut dalam air dingin, dan
kelarutannya dalam etanol hangat sebesar 5 mgml. Piroksikam memiliki logP sebesar 1,8 Santa Cruz Biotechnology, 2016; International CHEMTREC,
2015.
Dalam studi terbaru, potensi inhibisi MMP-2 dan MMP-9 dari Piroksikam telah diselidiki, dari ikatan inhibitor pada daerah endopeptidase
yang aktif. Piroksikam membentuk ikatan hidrogen dengan residu Prolin421, Tirosin432, Leusin188, dan alanin189 pada sisi aktif MMP-9, di mana
memiliki energi ikatan yang tinggi, namun dari semua interaksi tersebut, ikatan dengan residu Prolin421 merupakan interaksi yang paling kritis karena
dapat membentuk dua ikatan hidrogen sekaligus. Piroksikam menunjukkan dapat memberikan efek neuroproteksi dengan menghambat MMP-2 dan
MMP-9, sehingga menghambat remodeling matriks ekstraseluler dan mengurangi gangguan barier sawar darah otak Mazumder, Battacharya
and
Borah, 2014.
2.4. Sediaan Penyembuh Luka
Sediaan penyembuh luka merupakan bagian penting dalam suatu pelayanan farmasi. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga luka tetap kering
dengan membuat eksudat luka menguap dan mencegah masuknya bakteri jahat masuk ke dalam luka. Pengobatan luka modern ini, secara dasar,
dilakukan dengan menciptakan sebuah keadaan lingkungan lembab untuk luka, sirkulasi oksigen yang baik agar sel dan jaringan dapat beregenerasi, dan
mencegah masuknya bakteri, sehingga sel dapat tetap bergerak, demi tercapainya perawatan luka yang baik Boateng
et al.
, 2007. Sebuah sediaan penyembuh luka yang ideal harus memiliki sifat
lembab. Dengan menjaga luka tetap lembab dengan penggunaan sediaan penyembuh luka, dapat dikaitkan dengan peningkatan laju penyembuhan,
mengurangi nyeri, mengurangi infeksi, namun dapat tetap terjangkau oleh masyarakat. Sediaan juga harus mampu menyembuhkan dengan menyerap
eksudat. Hal tersebut dibutuhkan karena dalam beberapa kasus, luka akan memproduksi banyak eksudat, sehingga dibutuhkan sediaan yang dapat
menyerap eksudat tersebut. Sediaan yang dibutuhkan adalah yang memiliki kapasitas besar untuk dapat mengambil eksudat tersebut, dan diharapkan
semakin kecil frekuensi untuk mengganti sediaan dengan yang aplikasi yang baru. Sediaan penyembuh luka juga harus mampu menjaga hidrasi. Hal
29 tersebut dibutuhkan karena pada fase penyembuhan, dibutuhkan sediaan yang
dapat menjaga kelembaban luka dalam pembentukkan kembali jaringan baru, karena ketika eksudat meningkat, maka absorbent akan cenderung
mendehidrasi lukajaringan yang luka Ovington, 2007.
Hilton
et al.
2004 mengatakan bahwa sebuah sediaan penyembuh luka atau
wound dressing
yang ideal untuk penderita ulkus kaki diabetik adalah sediaan yang sederhana sehingga tidak memakan banyak ruang,
terutama jika penderita mengenakan alas kaki. Sediaan juga harus dapat bekerja secara optimal terutama di tempat tertutup, dan banyak mengalami
gesekan, sediaan juga tidak menambah infeksi, dan dapat menyerap eksudat luka, atau bahkan dapat mengeringkan luka. Berkaitan dengan kenyamanan
pasien, sediaan sebaiknya dapat diganti secara periodik tertentu dan mudah diaplikasi.
Bentuk penyembuh luka atau balutan memiliki karakteristik tersendiri yang penggunaannya disesuaikan dengan luka. Bentuk
nonadherent
atau
low- adherence dressings
merupakan perawatan standar untuk ulkus kaki diabetik. Balutan ini didesain untuk luka atraumatik dan untuk menyediakan suasana
lembab untuk luka. Jenis balutan luka ini tidak didesain secara spesifik untuk luka infeksi tetapi dapat digunakan secara aman sebagai rangkaian perawatan
menggunakan antibiotik.
Bentuk
hydrocolloids
merupakan balutan semipermeabel, bersifat oklusif untuk eksudat luka, dan absorben. Balutan tipe ini merupakan sebuah
lapisan absorben pada sebuah film atau
foam
. Material
hydrocolloid
didesain agar menciptakan sifat oklusif, mampu menjerat eksudat di dalam balutan dan
mampu menghidrasi luka dan menciptakan lingkungan yang lembab. Penggunaan balutan ini pada luka yang banyak mengeluarkan eksudat dapat
menyebabkan kulit di sekitarnya menjadi basah. Balutan ini cocok digunakan untuk luka infeksi. Namun, balutan ini mungkin lebih tepat digunakan sebagai
sediaan preventif daripada untuk pengobatan terutama untuk luka infeksi.
Bentuk lain yaitu
hydrogels.
Balutan jenis ini mirip dengan
hydrocolloid
, di mana digunakan untuk memfasilitasi autolisis pada jaringan yang nekrosis, tetapi memiliki perbedaan, di mana, jenis ini mampu
memberikan lembab, maksudnya, lembab berasal dari balutan, untuk luka yang kering, sehingga dapat membuat luka menjadi basah. Penggunaannya
pada pasien ulkus kaki diabetik dapat menjadi tambahan dalam pengobatan pada kondisi nekrosis atau jaringan yang mati. Bentuk
foam
merupakan salah satu perawatan yang memiliki area yang luas untuk absorbsi, mampu
membuat suatu isolasi suhu, dan mudah untuk dibentuk dalam aplikasinya. Jenis ini dapat menjadi pilihan dalam pengobatan karena sifat absorben dan
kenyamanannya dalam aplikasi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30 Bentuk
alginates
adalah absorben yang baik, di mana penggunaannya dengan meletakkan
alginate
pada luka, yaitu pada luka yang berlubang. Balutan ini akan menciptakan kondisi hemostatis, dan atraumatik dalam
perubahannya. Dalam penggunaannya, jika diperlukan penggantian atau pengobatan telah selesai, maka sangat penting untuk memastikan bahwa
semua
alginate
telah dimabil dari lubang luka, karena jika tidak, dapat menyebabkan timbulnya luka atau infeksi baru. Balutan ini mungkin dapat
bersifat bakteriostatik, dan secara aman dapat digunakan pada ulkus kaki yang terinfeksi.
Bentuk lain adalah
iodine preparations
yang biasanya digunakan sebagai antiseptik dan diaplikasikan pada luka infeksi lokal, yang dikombinasi
dengan antibiotik sistemik. Balutan ini tersedia dalam 2 preparasi yaitu
cadexomer-iodine
dan
povidone-iodine
, di mana
iodine
bersifat barkerisidal. Balutan
iodine
merupakan absorben yang baik, dan berfungsi dalam mencegah baretan pada kulit yang lukanya mengeluarkan eksudat. Bentuk
silver-impregnated dressings
digunakan untuk penggunaan topikal, yang bersifat antimikroba, yang sistem penghantarannya dengan
silver nitrate
atau
silver sulfadiazine
.
Silver nitrate
memiliki efek sitotoksik pada sel host, balutan sering digunakan untuk perawatan jaringan yang mengalami
hipergranulasi, namun aplikasinya dapat membuat tidak nyaman.
Silver sulfadiazine
juga memiliki aksi antimikroba, banyak digunakan pada luka bakar kronis Hilton
et al.,
2004.
2.5. Sediaan
Hydrocolloid Wound Dressing
Sediaan yang dapat digunakan untuk luka sangat banyak ditemui, namun, setiap luka memiliki karakteristiknya tersendiri, sehingga dibutuhkan
sediaan yang sesuai untuk menyembuhkan luka.
Patch
merupakan sebuah sistem penghantaran yang memiliki
backing adhesive,
elastomer, dan
gelling agents
yang biasanya diaplikasikan pada bagian luar tubuh. Komposisi
patch
, secara pasif berdifusi atau secara aktif melakukan transport dari bagian
patch
ke bagian tubuh tempat aplikasi sediaan tersebut.
Patch
sering disebut juga
extended release filmsystem
dan dapat digunakan sebagai
wound dressing
Food and Drug Administration, 2009.
Hydrocolloid patch
merupakan sediaan dengan formula yang mengandung elastomer,
adhesive
, dan
gelling agents
. Sediaan atau balutan
hydrocolloid patch
bersifat tahan air, dan mampu membuat nyaman pemakainya, dan fleksibel.
Hydrocolloid patch
bertujuan agar cairan luka eksudat dapat dijerat dan diserap, dan nantinya
hydrocolloid matrix
akan membentuk massa viskos, gel koloidal pada lapisan luka, di mana akan
meningkatkan kelembaban pada daerah luka, mekanisme tersebut yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31 menyebabkan
hydrocolloid matrix
secara cepat menjadi lebih lembut dan bermassa
spongy
pada daerah luka. Gel yang terbentuk bersifat kohesif, sehingga sediaan akan tetap utuh. Pada tahap awal, balutan akan menahan uap
air untuk keluar dari luka, tetapi lama kelamaan
hydrocolloid matrix
akan lebih permeabel dan luka akan secara bertahap menjadi lebih kering Bryant
and
Nix, 2016; Woodford, 2008.
Hydrocolloid patch
banyak digunakan sebagai manajemen pengobatan
pressure ulcer
yang sudah mencapai kategori atau
stage
II dan III, di mana pada pada
stage
II kulit terluar dari luka melepuh sebagian, dan pada
stage
III, di mana kulit pada luka sudah melepuh semua bagian, dan terlihat bagian lemaknya Fletcher
et al.,
2011. Pelepasan obat dari suatu formulasi yang mengandung polimer, dapat
melalui satu atau beberapa proses, yaitu a hidrasi polimer oleh cairan eksudat, dengan adanya kontak antara sediaan yang kering dengan eksudat
yang berpenetrasi ke dalam polimer dan b pengembangan dan pembentukkan gel, di mana gel akan bertindak sebagai
barrier
pada saat obat berdifusi, c difusi obat melalui gel yang mengembang tersebut, dilakukan
oleh aktivitas hidrolitik dari enzim yang terdapat di eksudat luka dan d erosi akhir dari polimer gel Boateng
et al.
, 2008.
Hydrocolloid patch
bekerja dengan menciptakan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka.
Hydrocolloid patch
menciptakan lingkungan luka yang lembab, dan
dapat mendorong terjadiya angiogenesis, dan meningkatkan fibroblas, menstimulasi produksi jaringan granulasi dan
sintesis kolagen. Selain itu,
hydrocolloid patch
juga membantu rehidrasi jaringan yang nekrosis.
Hydrocolloid patch
yang tahan terhadap air dan bersifat
adhesive
dapat menjadi
barrier
bagi virus dan bakteri, sehingga balutan tetap utuh dan tidak cacat, dan melindungi dari kerusakan yang lebih
parah Fletcher
et al.
, 2011. Ukuran yang tepat untuk balutan
hydrocolloid patch
harus dapat membentang utuh sampai menutupi
periwound
atau bagian sekitar luka yang masih dalam keadaan baik Bryant
and
Nix, 2016.
Hydrocolloid patch
dapat diaplikasikan pada daerah luka hingga 7 hari Nazzarko, 2002.
2.6. Polimer Polivinil Pirolidon PVP
Administrasi dari sebuah pengobatan topikal untuk luka, merupakan hal yang penting dalam sejarah pengobatan. Penggunaan polimer merupakan
suatu hal yang menarik, di samping zat aktifnya, karena berfungsi untuk melindungi area yang terinfeksi atau area yang mengalami luka, seperti luka
trauma, diabetik, maupun luka statis vena. Selain itu, berfungsi untuk mengaktivasi proliferasi sel, dan menstimulasi proses penyembuhan Valenta
and
Auner, 2004. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32 Polimer yang digunakan harus biokompatibel dan kompatibel secara
kimia dengan obat dan komponen lainnya. Polimer dapat digunakan sebagai matriks dalam sebuah
patch
dan
wound dressing
dan digunakan sebagai
skin adhesives
pada sistem penghantaran transdermal Valenta
and
Auner, 2004. Polimer dapat digunakan dalam sistem penghantaran transdermal dan
dermal, di mana pada penelitian ini bagian yang dibuat adalah
matrix
, di mana pemilihan polimer perlu diperhatikan terutama untuk membuat sediaan
bekerja efektif. Tantangan yang ada adalah desain dari matriks polimer, dengan optimasi dari penambahan obat, tidak hanya dilihat dari pelepasan
obatnya tetapi juga sifat adhesi dan kohesinya, sifat fisika kimia, dan kompatibilitas dan stabilitas dari komponen lainnya dengam kulit.
Monolithic solid-state
sering digunakan dalam sistem pasif transdermal. Contoh polimernya adalah PVP-EC, HPMC, organogels, matriks asam akrilat
Kandavilli, Nair
and
Panchagnula, 2002. Polivinil pirolidon PVP merupakan polimer larut air yang memiliki
berat molekul dengan
range
40.000 sampai dengan 360.000. PVP disintesis dengan polimerisasi vinilpirolidon dalam air atau isopropanol Kadajji
and
Betageri, 2011. Berikut adalah struktur PVP:
Gambar 3. Struktur Molekul PVP Kadajji
and
Betageri, 2011. PVP memiliki struktur molekul C6H9On, yang berbentuk padatan
serbuk berwarna putih pucat International CHEMTREC, 2015. PVP memiliki gugus karbonil pada setiap monomernya, dan berulang pada
keseluruhan polimernya. Gugus karbonil ini nantinya akan berikatan secara ikatan hidrogen dengan gugus O-H dan N-H pada piroksikam sehingga dapat
meningkatkan kelarutannya Wu
et al.,
2008. Kebanyakan dari zat aktif adalah senyawa dengan kelarutan yang kecil, termasuk piroksikam, di mana
menyebabkan bioavailabilitasnya rendah. Cara yang mudah untuk meningkatkan disolusinya adalah dengan menambahkan agen solubilitas
seperti PVP Kadajji
and
Betageri, 2011. PVP merupakan polimer hidrofilik, atau polimer
water souble,
yang merupakan komponen pembentuk hidrogel, di mana hidrogel ini dapat
menyerap air lebih dari 30 bobotnya. Hidrogel yang terbentuk, dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33 digunakan sebagai matriks pembawa dalam sediaan yang kering, dan akan
mengembang selama terjadinya pelepasan obat, sehingga PVP dapat digunakan sebagai polimer pembentuk matriks untuk obat hidrofobik. Suatu
sistem matriks dengan pelepasan obat yang terkontrol, obat akan tersuspensi, dan terperangkap dalam suatu membran polimer. Obat dan polimer
membentuk suatu
microcapsule
atau
hollow fibre
, sehingga obat yang lepas dikontrol oleh sifat masing-masing
microcapsule
atau
hollow fibre
. Pelepasan obat juga tergantung dari laju pengembangan polimer matriks, seperti pada
Gambar 4 dan 5 Hincal
and
Kas, 1998. PVP memiliki massa molekul 111,14 gmol, titik didih 90
o
C, dan titik leleh 13,9
o
C. PVP mudah larut dalam air, etanol dan kloroform International CHEMTREC, 2015. PVP adalah salah satu dari sekian banyak bahan
tambahan dalam bidang kefarmasian yang dapat digunakan secara luas Buhler, 2005. Menurut Rowe
et al.
2009 fungsi PVP sebagai pembawa obat berada pada
range
konsentrasi 10-25 dari seluruh bobot sediaan. Semua kelas dari PVP dapat digunakan sebagai polimer hidrofilik
untuk menstabilkan suspensi yang terbentuk. Fungsi yang paling penting dan utama polimer dalam suspensi adalah sebagai pelindung koloid, di mana akan
menghidrofil partikel solid yang tunggal dan memisahkannya secara sterik. Selain itu, PVP mencegah kristalisasi zat aktif sehingga dapat meningkatkan
kelarutannya Kadajji
and
Betageri, 2011. PVP K-30 digunakan karena memiliki fungsi secara khusus sebagai
film-forming agent
dibanding PVP K- 15, PVP K-60, maupun PVP K-90 GreenCo Group, 2011.
2.7. Polimer Hidroksipropil Metilselulosa HPMC
Gambar 4. Struktur Molekul HPMC Rowe
et al.
2009.
HPMC banyak digunakan sebagai polimer dalam formulasi sediaan topikal karena sifatnya yang tidak beracun, tidak mengiritasi, dan kompatibel
dengan berbagai macam bahan obat ataupun eksipien. Fungsi HPMC antara lain sebagai
bioadhesive material
, agen pelepasan terkontrol dan agen penstabil, dapat mendukung sistem penghantaran obat dalam
hydrocolloid
. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34 Selain itu, HPMC juga berfungsi sebagai
dissolution enhancer
sehingga dapat meningkatkan disolusi obat-obatan dengan kelarutan dalam air yang buruk,
seperti piroksikam
Rowe
et al.
2009.
2.8. Landasan Teori
Luka adalah keadaan di mana ditemukannya suatu infeksi, tukak atau destruksi ke jaringan kulit paling dalam. Secara normal, tubuh akan
memproses luka melalui suatu proses yang dapat membuat kulit kembali normal dengan 4 fase, namun penyakit diabetes dapat menyebabkan
gangguan terhadap penyembuhan luka, di mana menghambat fase proliferasi dan
remodelling
. Faktor utama penyebab ulkus kaki diabetik adalah neuropati perifer gangguan saraf sensorik, motorik dan otonom dan
iskemik, yang menyebabkan terjadinya gangguan ikatan kolagen atau
collagen cross-linking
, gangguan fungsi matriks metalloproteinase, dan gangguan imunologi dan penderita diabetes memiliki sifat kulit yang mudah
mengelupas dan mengalami infeksi. Pada ulkus kaki diabetik terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan
penurunan proliferasi sel fibroblas, reaksi inflamasi memanjang, dan adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar dalam luka. Neutrofil granulosit
mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF- α dan interleukin-1 β IL-1β,
di mana kedua sitokin ini merangsang sintesis matrix metaloprotease MMP terutama MMP-9, yang menyebabkan degradasi matriks protein dan faktor
pertumbuhan sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi. Selain itu, sekresi mediator inflamasi PGE
2
juga meningkatkan sekresi MMP-9. Mekanisme ini juga menyebabkan sekresi
eksudat yang berlebihan pada ulkus. Piroksikam dapat memberikan efek neuroproteksi dengan menghambat
MMP-2 dan MMP-9, sehingga menghambat remodeling matriks ekstraseluler. Penghambatan MMP-9 oleh piroksikam diharapkan dapat
mempercepat proses penyembuhan ulkus kaki diabetik pada pasien DM. Selain itu, penghambatan enzim COX oleh piroksikam mengakibatkan
terhambatnya sistesis prostaglandin PGE
2
, serta dapat mengurangi skresi MMP-9.
Hydrocolloid patch
merupakan salah satu jenis
wound dressing
yang aplikasinya langsung pada kulit dan langsung mengenai luka dan cocok
digunakan untuk ulkus kaki diabetik, di mana memiliki
stratum corneum
yang sudah rusak, dapat menghasilkan efek terapi yang baik dan dapat membuat luka menjadi sembuh.
Hydrocolloid patch
mendorong terjadiya angiogenesis, dan meningkatkan fibroblas, menstimulasi produksi jaringan
granulasi dan sintesis kolagen. Selain itu,
hydrocolloid patch
juga membantu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35 rehidrasi jaringan yang nekrosis, sehingga penyembuhan luka akan berjalan
lebih cepat.
Hydrocolloid patch
memiliki bagian bernama
matrix
yang dapat menjerat eksudat yang dikeluarkan oleh luka dan memberi kelembaban
untuk ulkus kaki diabetik serta dapat memberikan proteksi pada luka selama penggunaan. Selain itu,
hydrocolloid matrix
akan menahan uap air yang keluar dari luka, sehingga tetap menjaga kelembaban luka.
Hydrocolloid matrix
juga dapat menghantarkan obat selama periode waktu yang diinginkan, jika digunakan polimer yang sesuai, di mana dapat
menghantarkan obat secara terkontrol dan juga berfungsi sebagai pelindung yang mencegah hilangnya obat, dan lapisan dalam bertugas sebagai
adhesive
yaitu pengontrol laju. HPMC sebagai sistem matriks
wound dressing
mampu menghasilkan penghantaran obat yang larut maupun sukar larut air secara terkontrol. PVP
merupakan sebuah polimer hidrofilik yang beraksi sebagai
carrier drugs
yang memainkan peranan penting dalam meningkatkan kelarutan obat dalam matriks. Kelarutan obat menjadi tinggi yang dapat dilihat dari penetrasi obat
dalam medium disolusi, sehingga dapat memperpanjang waktu aksi obat dan mengontrol pelepasannya. Konsentrasi PVP yang optimal sebagai polimer
hydrocolloid matrix
akan meningkatkan penghantaran piroksikam pada luka. Dengan adanya sediaan ini, diharapkan pasien lebih mudah menggunakan
sediaan dan meningkatkan kepatuhan pasien sehingga dapat mengurangi prevalensi amputasi ulkus kaki diabetik.
2.9. Hipotesis a. Konsentrasi polimer PVP tertentu menghasilkan
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound healing
yang optimal. b. Peningkatan konsentrasi polimer PVP memberikan pengaruh terhadap
sifat dan stabilitas fisika kimia
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound healing
. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Optimasi Konsentrasi Polivinil Pirolidon PVP sebagai Polimer
Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing
dengan Zat Aktif Piroksikam
” ini termasuk penelitian eksperimental murni. 3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas: variasi konsentrasi polivinil pirolidon PVP dalam sediaan
hydrocolloid matrix diabetic wound healing
.
b. Variabel tergantung: Sifat dan stabilitas fisika kimia sediaan
hydrocolloid matrix diabetic wound healing.
c. Variabel pengacau:
1 Variabel pengacau terkendali: produsen obat dan bahan kimia untuk formula, prosedur pembuatan dan pengujian,
kondisi penyimpanan,
serta wadah
penyimpanan
hydrocolloid matrix
. 2 Variabel pengacau tak terkendali: kondisi ruangan selama
pembuatan dan pengujian sediaan.
3.2.2. Definisi Operasional
a.
Hydrocolloid matrix
piroksikam: sediaan yang mengandung PVP, HPMC, etanol, propilen glikol, acetone, dan akuades sebagai basis
yang kemudian ditambahkan zat aktif piroksikam lalu dibentuk
hydrocolloid film
. b. PVP: polimer yang ditambahkan ke dalam
hydrocolloid matrix
piroksikam dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu sebesar 1,5; 2; dan 2,5.
c. Sifat fisika kimia
hydrocolloid matrix
: parameter kualitas fisik
matrix
yang meliputi organoleptis, keseragaman bobot
matrix
, ketebalan
matrix
, pH, persentase
moisture absorption
, ketahanan pelipatan
folding endurance
, keseragaman kandungan obat dalam
matrix
, pelepasan obat dari
matrix
, dan iritabilitas
matrix
. d. Stabilitas fisika kimia
hydrocolloid matrix
: parameter kestabilan
hydrocolloid matrix
meliputi, perubahan fisik dan kandungan obat setelah diberi perlakuan suhu yang berbeda selama penyimpanan.
e. Sterilitas
hydrocolloid matrix
piroksikam: uji mikrobiologi yang menunjukkan bahwa
hydrocolloid matrix
yang dibuat steril. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37 f. Organoleptis: uji penampakan fisik
hydrocolloid matrix
piroksikam, yang memiliki warna seragam, keruh, dan halus. g. Keseragaman bobot sediaan: uji terkait variasi bobot
hydrocolloid matrix
piroksikam yang menunjukkan hasil homogen dengan nilai CV 10.
h. Ketebalan sediaan: uji terkait variasi ketebalan
hydrocolloid matrix
piroksikam yang menunjukkan hasil homogen dengan target ketebalan 0,5 mm.
i. pH larutan sediaan: uji terkait pH larutan
hydrocolloid matrix
piroksikam yang berada pada range pH 4-7. j. Persentase
moisture content
sediaan: uji terkait kelembaban yang terkandung dalam
hydrocolloid matrix
piroksikam, ditunjukkan dengan nilai persentasi
moisture content
terendah dipertimbangkan sebagai formula optimal.
k. Persentase
moisture absorption
sediaan: uji terkait penyerapan kelembaban oleh
hydrocolloid matrix
piroksikam sampai mencapai titik jenuh yang ditunjukkan dengan nilai persentase
moisture absorption
. Formula dengan nilai persentase
moisture absorption
tertinggi dipertimbangkan sebagai formula optimal. l.
Folding endurance
sediaan: uji untuk mengetahui fleksibilitas
hydrocolloid matrix
piroksikam ditunjukkan oleh formula dengan nilai ketahanan pelipatan sampai 300 kali.
m. Keseragaman kandungan obat dalam
hydrocolloid matrix
: uji untuk mengetahui keseragaman dan dispersi obat dalam sediaan,
ditunjukkan dengan nilai CV 2. n. Pelepasan obat dari
hydrocolloid matrix
piroksikam: uji untuk mengetahui pelepasan obat dari sediaan, ditunjukkan oleh formula
optimal dengan nilai pelepasan obat paling mendekati 100 dalam waktu uji tertentu.
o. Iritabilitas sediaan: uji untuk mengetahui iritabilitas
hydrocolloid matrix
piroksikam yang menunjukkan bahwa sediaan tidak mengiritasi kulit yaitu dengan tidak terdapatnya eritema atau edema
pada kulit. p. Formula
hydrocolloid matrix
optimum: merupakan
hydrocolloid matrix
yang memenuhi kriteria semua sifat dan stabilitas fisika kimia.
q. Tikus putih galur Wistar jantan terinduksi aloksan: merupakan tikus putih galur Wistar jantan yang menderita diabetes dengan
kadar glukosa darah 250 mgdL akibat diinduksi aloksan sebanyak 125 mgkgBB.
38 r. Uji aktivitas
hydrocolloid matrix
piroksikam: uji yang menunjukkan bahwa sediaan memiliki aktivitas
diabetic wound healing
, dilihat dari kecepatan penyembuhan luka dengan nilai
wound closure
100 dan dihitung lamanya waktu penyembuhan pada luka eksisi tikus diabetes setelah diaplikasikan sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam dibandingkan dengan tikus yang
tidak diinduksi aloksan dan diberi perlakuan yang sama dengan tikus diabetes.
s. Uji histopatologi: pengamatan morfologi kulit tikus hasil perlakuan dan kulit tikus kontrol secara mikroskopik menggunakan
mikroskop cahaya dengan bantuan zat pewarna.
3.3. Subjek dan Bahan Penelitian 3.3.1. Subjek Penelitian
a. Populasi: tikus putih galur Wistar jantan yang terinduksi aloksan, dan yang tidak terinduksi aloksan, serta kelinci albino jantan.
b. Sampel: 3 ekor tikus putih galur Wistar jantan yang terinduksi aloksan dan 3 ekor tikus putih galur Wistar jantan tidak terinduksi
aloksan dengan berat badan 150-180 g, serta 3 ekor kelinci albino jantan dengan berat badan 1,8-2,2 kg.
3.3.2. Bahan Penelitian
Piroksikam yang diperoleh dari PT. Sanbe Farma, etanol 96, PVP, propilen glikol, etanol, acetone, akuades, silika gel, PBS pH 6,4,
krim
Veet
®
, kapas
Medisoft
®
Cotton Ball
, membran
Milipore,
aloksan, etanol 70, alkohol 70, ketamin,
Nutrient Agar Oxoid
, larutan formalin, larutan Harris Hematoxylin, larutan acid alkohol, larutan
ammonium, larutan stok Eosin alkohol 1, larutan
working
Eosin, injeksi fenobarbital.
3.4. Alat Penelitian
Gelas beker, spuit injeksi, jarum suntik,
tube
eppendorf, sentrifugator, MicroLab, Spektrofotometer UV-Vis, Universal Testing Machine, pH meter,
timbangan, mortir, stamper, aluminium foil, batang pengaduk, gelas ukur, autoklaf, oven, kabinet LAF,
cawan petri, bunsen, jarum ose,
hotplate magnetic stirrer, stirrer
, jangka sorong, termometer, pinset, gunting,
biopsy punch
, kaca objek dan kaca penutup, pipet tetes,
plastic wrap
, kaca bundar, dan mikroskop cahaya.
39
3.5. Skema Kerja Penelitian
3.6. Tata Cara Penelitian 3.6.1. Sterilisasi Ruang, Alat, dan Bahan
Kabinet LAF dibersihkan dengan menggunakan etanol 70 kemudian lampu UV dinyalakan selama 24 jam. Proses ini dilakukan
sebelum proses pembuatan
hydrocolloid matrix
piroksikam. Cawan petri disterilisasi dengan uap air menggunakan autoklaf dengan suhu
212
o
C selama 15 menit. Proses selanjutnya adalah pembuatan sediaan
hydrocolloid matrix.
Sediaan yang telah dibuat disterilisasi secara terminal dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 115
o
C selama 15
menit. 3.6.2. Pembuatan
patch hydrocolloid
piroksikam
diabetic wound healing
Dasar dari pemilihan formula dalam penelitian ini adalah formula transdermal
oleh Pudyastuti, Nugroho dan Martono, 2014 sebagai berikut:
Tabel 1. Formula Hydrocolloid Film
Formula
Hydrocolloid Film
Pentagamavunon 7,32 mg
PVP 300 mg
HPMC 675 mg
Propylene glicol
1,5 mL Etanol
2,15 mL Akuades
2,15 mL Pudyastuti, Nugroho dan Martono, 2014.
Sterilisasi Ruangan Bahan dan Alat
Pembuatan
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound
Uji Sterilitas sediaan
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound
Uji Sifat dan Stabilitas Fisika Kimia
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound
Uji Aktivitas Formula Optimal
hydrocolloid matrix
piroksikam
diabetic wound
Tata Cara Hasil Analsis
40 Modifikasi formula yang dilakukan pada penelitian kali ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. Formula hydrocolloid matrix
Piroksikam Hasil Modifikasi Formula
PIR 1 PIR 2
PIR 3
Piroksikam 0,09 g
0,09 g 0,09 g
PVP 0,375 g
0,5 g 0,625 g
HPMC 1,125 g
1,125 g 1,125 g
Propylene glycol
2,5 g 2,5 g
2,5 g Acetone
3,51 g 3,51 g
3,51 g Etanol
8,7 g 8,65 g
8,6 g Akuades
8,7 g 8,65 g
8,6 g PVP dan HPMC ditimbang sesuai dengan formula. HPMC
dilarutkan dalam akuades dan etanol dan diaduk dengan
stirrer
hingga terbentuk gel dan kemudian didiamkan. Piroksikam ditimbang
sebanyak 0,09 gram dan dilarutkan dalam 4,5 mL acetone. PVP dilarutkan dengan larutan obat piroksikam dan diaduk dengan
stirrer,
kemudian ditambahkan
propylene glycol
. Larutan
HPMC ditambahkan ke dalam larutan PVP dan diaduk hingga homogen.
Campuran gel tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri sebanyak 12,5 gram. Gel tersebut kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 45°C selama 48 jam.
Hydrocolloid matrix
yang terbentuk kemudian disimpan dalam suhu ruang Pudyastuti, Nugroho dan
Martono, 2014.
3.6.2. Uji Sterilitas
Kabinet LAF dibersihkan dengan menggunakan etanol 70 lalu disinari lampu UV selama 24 jam. Proses ini dilakukan selama 24
jam sebelum proses pembuatan
hydrocolloid matrix
piroksikam
.
Peralatan yang akan digunakan juga disterilkan sebelumnya menggunakan autoklaf pada 121
o
C selama 15 menit.
Nutrient Agar Oxoid
sebanyak 21 gram ditambah 750 mL akuades diaduk homogen dengan batang pengaduk. Media dipanaskan dengan
hotplate magnetic stirrer
sampai tercampur homogen. Media dituangkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 15 mL, kemudian seluruh media dalam
tabung reaksi disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit dengan tekanan 1 kgfcm
2
dan suhu 121
o
C. Media yang telah steril kemudian dituang ke cawan petri dan dibiarkan memadat.
Hydrocolloid matrix
piroksikam disiapkan, kemasannya dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70.
Hydrocolloid matrix
piroksikam diambil dari wadah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41 penyimpanannya secara aseptis dekat nyala bunsen, kemudian
diletakkan di permukaan media agar. Tiap petri diberi label dan dibungkus
plastic wrap
, lalu diinkubasi terbalik dalam LAF selama 24 jam.
3.6.3. Uji Organoleptis
Dilakukan dengan mengamati dan meneliti warna, kejernihan dan kehalusan dari
hydrocolloid matrix
piroksikam yang telah dibuat Shirsand
et al.
2012. 3.6.4. Uji Keseragaman Bobot
Sebanyak 10
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1x1 cm dari masing-masing formula satu persatu ditimbang dan dihitung
rata-rata bobot sediaan
British Pharmacopoeia
, 1993. 3.6.5. Uji Ketebalan
Ketebalan
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dihitung pada 5 titik berbeda keempat sudut dan bagian tengah
dengan jangka sorong, kemudian dihitung rata-ratanya El-Gendy
et al
. 2009.
3.6.6. Uji pH Larutan Sediaan
Setiap formula
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm direndam dalam 20 mL akuades pada suhu 36,5
o
C- 37,5
o
C selama 24 jam, kemudian pH larutan tersebut diukur dengan pH meter
British Pharmacopoeia
, 1993.
3.6.7. Uji Persentase
Moisture Content
Setiap
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dikondisikan dalam sebuah desikator berisi silika selama 24 jam.
Setelah itu masing-masing
hydrocolloid matrix
ditimbang sampai didapatkan bobot yang tetap dan konstan Toshkani
et al.
2013. 3.6.8. Uji Persentase
Moisture Absorption
Setiap
hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm yang sudah diuji
moisture content
-nya diletakkan dalam desikator berisi 100 mL larutan jenuh kalium klorida yang setara dengan 80-90 RH
selama 24 jam. Sediaan kemudian diambil dan ditimbang kembali Toshkani
et al
. 2013.
3.6.9. Uji Ketahanan Pelipatan
Folding Endurance
Hydrocolloid matrix
piroksikam berdiameter 1 cm dilipat
secara berulang pada posisi yang sama hingga rusak. Jumlah pengulangan pelipatan tanpa merusak sediaan merupakan nilai dari
ketahanan pelipatan Shirsand
et al.
2012.
3.6.10. Pembuatan Kurva Baku Piroksikam
42 Sebanyak 20 mg piroksikam ditimbang seksama, dimasukkan
ke dalam labu takar 100 mL dan dilarutkan dalam 15 mL metanol. Kemudian ditambah dengan PBS pH 6,4 untuk memperoleh
konsentrasi 200 µgmL. Dari larutan stok tersebut diambil 10 mL dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL, lalu dilarutkan dengan
pelarut yang sama untuk memperoleh konsentrasi 20 µgmL. Dari larutan intermediet tersebut, diambil 1,0; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; 8,0;
dan 9,0 mL, dipindahkan ke dalam labu takar 10 mL dan dilarutkan dengan pelarut yang sama untuk memperoleh konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10,
12, 14, 16, 18 µgmL. Panjang gelombang maksimal ditentukan dari larutan intermediet konsentrasi 20 µgmL yang dibaca menggunakan
spektrofotometer UV pada rentang 200-400 nm. Kemudian seluruh larutan seri dianalisis pada panjang gelombang maksimal Garg
et al.
2014. 3.6.11. Uji Keseragaman Kandungan Obat dalam