BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan penandatangan Konvensi Hak Anak KHA dan World Summit for Children WSC. Ratifikasi mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan hak
semua anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah, serta menangani akar masalah yang mengarah pada situasi tersebut.
1
Pada tahun 1979, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang tentunya mengatur permasalahan tentang anak di
Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini Undang-Undang dimaksud belum mempunyai Peraturan Pemerintah, sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku, tetapi dinamika permasalahan sebetulnya menuntut berbagai tanggapan serius. Pada masa lalu, kesejahteraan
anak hanyalah dianggap angin lalu, namun sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga. Sehingga kebijakan pemerintah dengan Keppres No. 44 Tahun 1984 tentang
Hari Anak Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakansuatu momentum. Akan tetapi, pada akhirnya kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah
seremonial belaka, karena ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam menyikapi masalah anak di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur tentang perlindungan khusus
bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi.
2
1
http:m.indosiar.comragamkebijakan-pemerintah-dalam-masalah-anak-anak-di-indonesia_21356.html
2
Endang Sumiarni, 2003, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta hlm., 699 dan 714.
Adanya PembinaanAnak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun 1986 sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait mengikuti
program ini. Adanya Inpres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus, walaupun kurang berjalan sebagaimana mestinya.
Upaya yang dikembangkan oleh Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia FK-PPAI dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia terbentuknya
Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun, panduan Idola Citra Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak Indonesia, yang kemudian
diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga sebetulnya secara serius pemerintah baru menangani masalah anak pada tahun 1993. Untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut,
maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak dan Remaja di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang dikelola bersama-sama Bappenas.
3
Seperti contoh kasus yang terjadi di Badung, Bali, terdapat beberapa anak jalanan usia dini yang dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Sebagian dari anak
jalanan tersebut dijadikan pengemis dan sebagian lainnya dijadikan pengelap kaca mobil di perempatan jalan Sunset Road Kuta, Bali.
4
Adapun Ni Luh Merti, selama lebih dari lima tahun perempuan yang berusia sekitar 7 tahun dengan satu kaki ini menjual gelang setiap hari di kawasan Kuta pada petang hingga
tengah malam. “Setiap hari bisa memberi ibu Rp 50-100 ribu,” kata Merti. Dibantu sebuah kruk kecil, Merti terpaksa bekerja karena penjualan gelang oleh anak-anak lebih
menguntungkan dibanding orang dewasa.
3
Ibid.
4
http:balebengong.netkabar-anyar20120701ratusan-anak-jalanan-perlu-bantuan.html
Ibunya bertugas membuat rangkaian gelang-gelang yang akan dijual di kontrakannya sekitar Denpasar Barat. “Bapak bekerja metajen,” katanya menyebut judi tajen adalah
pekerjaan utama bapaknya.
5
Merti tak sendiri, puluhan anak-anak pedagang gelang dan pengemis lain ada di jalanan Kuta, pusat pariwisata Bali. Mereka berkawan dengan musik disko, bau alkohol, dan
beresiko mengadapi masalah kriminalitas. Sementara pada siang hari, anak jalanan ini terlihat di Simpang Siur, perempatan
Sunset Road, Imam Bonjol-Teuku Umar, dan perempatan besar lainnya. Kadang, anak-anak ini membawa bayi untuk menarik perhatian pemberi uang.
Selain itu, puluhan anak lainnya, terutama laki-laki, mengemis di Pasar Badung, Denpasar. Anak perempuan memilih menjadi buruh tukang su
’un bersama perempuan dewasa lainnya. Malah, beberapa bulan terakhir, buruh anak-anak terlihat lebih banyak
dibanding orang dewasa di Pasar Badung. “Anak-anak lebih gampang cari pelanggan, karena mereka kasihan,” kata Ketut
Putri, salah seorang pedagang pasar. Anak-anak ini terlihat dari pagi sampai dini hari lalu- lalang dengan keranjang bambunya.
Sebagian besar anak-anak putus sekolah atau buta huruf bekerja menjadi pedagang buah keliling. Kelompok ini memiliki majikan yang menyediakan bahan dagangannya.
Kelompok pedagang buah ini tinggal di komplek-komplek kontrakan di Denpasar sampai Badung. Mereka bekerja dari pagi sampai petang hari tiap hari.
Menurut Lembaga Anak Bangsa LAB, sedikitnya terdapat 200 tukang su ’un dan
gepeng anak yang beroperasi di Pasar Badung. Dari hasil survei dengan wawancara mendalam, anak-
anak ini bekerja dalam tiga shift selama 24 jam. “Sebanyak 95 persen dari 31 orang yang berhasil diwawancara tidak pernah sekolah, sisanya pernah sekolah kelas 1-2
5
http:www.thejakartapost.combali-daily2012-06-20street-kids-need-be-kept-away-streets.html
SD saja, ” ujar dr Sri Wahyuni, Ketua LAB Bali yang selama dua tahun ini intens melakukan
pemetaan tentang anak-anak jalanan.
6
Semua anak tinggal bersama saudara atau teman di kos-kosan di Denpasar, namun kondisinya mengenaskan. “Mereka menyewa satu kamar kecil berisi 3-5 orang, dan
bercampur antara anak dan dewasa ,” kata Sri. Di sisi lain, seluruh pekerja anak dan orang
tuanya ini tak bisa mengakses program kesehatan gratis, Jaringan Kesehatan Bali Mandara JKBM karena tak punya KTP dan kartu keluarga.
Anak-anak ini harus menyetorkan sebagian penghasilan pada orang tua atau wali yang menampung di Denpasar. Kekerasan dialami nyaris tiap hari dari teman seprofesi dan orang
dewasa karena rebutan lahan pekerjaan. Solusi penanganan yang ditawarkan Sri Wahyuni, mantan Ketua Komisi Perlindungan
Anak Daerah Bali ini adalah melakukan pendampingan, dukungan pendidikan di luar jam kerja anak-
anak, dan memberikan alternatif keterampilan. “Selama program penanganan di daerah asal seperti Karangasem yang tidak serius dan berkelanjutan, kita tetap akan melihat
mereka di jalanan, ” kata Sri.
Dinas Sosial Denpasar menyebutkan rata-rata ada 40-50 anak gelandangan pengemis gepeng yang ditangkap Satpol PP tiap bulan. Tahun lalu sebanyak 348 orang gepeng,
sebagian besar anak-anak yang ditangkap dan dipulangkan ke daerah asalnya. Karena sebagian ditangkap berulang-ulang, jumlah gepeng yang ditangkap jumlahnya sekitar 150
orang per tahun. “Pasti mereka balik lagi, jadi beberapa orang bisa ditangkap lebih dari sekali dalam
sebulan, ” kata I Nyoman Suryawan, Kepala Seksi Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Tenaga
Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Denpasar.
6
Ibid.
Selama puluhan tahun, program penangkapan dan pemulangan kembali ke daerah asal oleh pemerintah dinilai gagal menanggulangi gepeng dan eksploitasi anak di jalanan. Pemkot
Denpasar mulai tengah tahun ini mulai mengaktifkan rumah singgah anak di Jl Bypass Mantra sebagai lokasi pembinaan dan perlindungan. Selain itu, ada wacana membawa anak-
anak jalanan yang dibiarkan orang tuanya di sejumlah panti asuhan untuk diberikan pendidikan agar tak kembali ke jalanan.
Selain itu pemerintah memasang sejumlah baliho besar imbauan agar warga tak memberi uang pada pengemis di jalanan. Papan-papan ini dipasang di beberapa perempatan,
terutama kawasan yang menjadi tempat pengemis bekerja. Peringatan dari Dinas Sosial Denpasar ini menyatakan pengemis dan anak jalanan
mengganggu ketertiban umum, akan membuat mereka malas jika terus diberikan uang, dan menjadi beban pemerintah terus-menerus.
7
Padahal Pasal 28 B ayat 2 Undang –Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan Pasal 34 yang berbunyi: fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
8
Dan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, terutama Pasal 2 dan Pasal 11. Dalam
Pasal 2 dikemukakan bahwa anak berhak atas jaminan kesejahteraan, pemeliharaan, dan perlindungan. Dalam Pasal 11 dikemukakan bahwa kesejahteraan anak meliputi pembinaan,
pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi menjadi tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat.
9
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Pasal 52 ayat 1 dan 2, Pasal 58 ayat
7
Ibid.
8
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Penerbit Srikandi, Surabaya, hlm.22 dan 27.
9
Endang Sumiarni, Op. Cit, hlm.46-48.
1 dan Pasal 64 juga mengatur Perlindungan Hak Anak dari Tindakan Eksploitasi Ekonomi.
10
Anak jalanan adalah anak yang sebagian waktunya berada di jalan, baik untuk mencari uang maupun untuk bermain. Permasalahan yang dihadapi anak jalanan diantaranya
adalah kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, perlindungan, kasih sayang, kesehatan, makanan, minuman dan pakaian. Anak jalanan seperti anak-anak lain
pada umumnya memiliki beberapa kebutuhan dasar yang menjadi haknya. Salah satu haknya adalah memperoleh pendidikan. Masalah pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk
dibahas terlebih bagi seorang anak. Di dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Dasar 1945, dan Konvensi Hak Anak semua mengatur
tentang hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan, tetapi pada kenyataannya, masih banyak anak jalanan yang drop out dari sekolah ataupun sebagian kecil sekolah tetapi sering
membolos dan tidak membayar uang sekolah, hal ini disebabkan karena faktor kemiskinan orangtua yang merupakan faktor anak berada di jalanan.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, yang wajib dan bertanggung jawab yaitu negara dan pemerintah, orang tua dan keluarga, serta masyarakat. Sedangkan menurut
Konvensi Hak Anak, yang bertanggung jawab melindungi hak-hak anak adalah negara. negara dan pemerintah sebagai instasi yang bertanggung jawab terhadap permasalahan anak
jalanan telah melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan anak tersebut, salah satunya merupakan program baru yaitu dengan membangun Pusat Pembangunan Pelayanan
Sosial Anak atau Sosial Development Centre for Children P3SASDC.
11
10
Ibid., hlm.638 dan 640.
11
Christyani, Amelia, Fransiska, Asmin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan di Bidang Pendidikan Dilihat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak,
Fakultas Hukum Unika Atma Jaya , Jakarta , 2009, hlm., 1.
Eksploitasi berasal dari bahasa Inggris: exploitation yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya
untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan, serta kompensasi kesejahteraan.
12
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat. Memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis,
dan status sosialnya. Kecenderungan eksploitasi terhadap anak boleh jadi berkaitan dengan ranah eksternal makro yang saling mempengaruhi inter play dengan keterdesakan danatau
marginalitas kelompok anak-anak, baik secara sosial, psikologis, dan ketahanan mental dari serangan budaya atau gaya hidup materialistis yang semakin meluas.
13
Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak fundamental
rights and freedoms of children, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
14
Perlindungan hukum bagi anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai dokumen bahwa perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat meliputi berbagai
aspek, yaitu: a perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; b perlindungan anak dalam proses peradilan; c perlindungan kesejahteraan anak dalam lingkungan
keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial; d perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; e perlindungan anak dari segala bentuk
eksploitasi perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, penyalahgunaan obat-
12
Diambil dari salah satu web beralamat httpwww.wikipedia2012.com, diakses pada tanggal 20 Oktober 2015, pukul 21.05 WIB.
13
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta : Kencana, 2010, hlm., 132
14
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm.,155.
obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya; f perlindungan terhadap anak-anak jalanan; g perlindungan anak dari akibat-akibat peperangankonflik
bersenjata; dan h perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.
15
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat hak dan martabat manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi penerus cita-cita dan masa
depan bangsa. Di dalam masyarakat, banyak anak yang belum tercukupi kebutuhan hidupnya. Hambatan-hambatan tersebut antara lain, belum terpenuhinya kesejahteraan jasmani, sosial,
dan ekonomi. Orang tua yang seharusnya melindungi, mencukupi, dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak justru memanfaatkan anaknya. Orang tua berdalih sibuk mencari
nafkah, kemiskinan, dan faktor-faktor struktural mereka memanfaatkan anaknya. Anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan.
Resesi ekonomi yang berkepanjangan merupakan salah satu fak tor penggerak “arus
anak turun ke jalan”. Secara garis besar keberadaan anak di jalan dapat dikelompokkan menjadi dua, salah satu diantaranya adalah anak jalanan yang masih memiliki orang
tua.
16
Anak-anak miskin seringkali haknya terabaikan. Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan seringkali terperangkap dalam situasi penuh penderitaan, kesengsaraan, dan masa
depan yang suram. Kurangnya pemenuhan hal kelangsungan pendidikan anak menjadi salah satu faktor
penyebab mereka menjadi anak jalanan. Anak-anak yang hidup dari keluarga menengah ke bawah hanya mengenyam pendidikan dasar. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan krisis
kepercayaan pada anak dalam lingkungan sosialnya, dan keadaan ini yang mengakibatkan keberadaan anakjalanan tiap tahunnya mengalami peningkatan.
Peningkatan anak jalan setiap tahunnya mengalami lonjakan pada tahun 1999, tercatat ada 50.000 anak jalanan, tahun 2002 tercatat ada 170.000 anak jalanan, dan pada 2009
15
Ibid, hlm., 156.
16
Endang Sumiarni, Diskusi Panel “Perlindungan Anak Jalanan Ditinjau dari Aspek HAM, Hukum, Psikologi, dan Prakteknya,
” di FH-UAJY.Sabtu, 1 Desember 2001.
tercatat 230.000 anak jalanan. Hal ini membuktikan pertumbuhan anak jalanan selalu mengalami peningkatan signifikan dan sangat rentan mengalami eksploitasi.
17
Eksploitasi anak merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memanfaatkan atau memeras tenaga kerja orang lain demi
kepentingan bersama maupun pribadi.
18
Bagi keluarga miskin, anak pada umumnya memiliki fungsi ekonomis, menjadi salah satu sumber pendapatan atau penghasilan keluarga, sehingga
anak sudah terbiasa sejak usia dini dilatih, dipersiapkan untuk menghasilkan uang di jalanan. Eksploitasi anak jalanan sangat beragam, mulai dari anak-anak yang dijadikan sebagai
pengemis, pengamen, bahkan berjualan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari Hadi Supeno yang merupakan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang menyatakan bahwa
eksploitasi anak-anak sangat tinggi dan bervariasi, seakan-akan eksploitasi sudah menjadi budaya.
19
Akar permasalahan sosial anak jalanan sebenarnya bukan hanya bentuk perlakuan salahpenyimpangan dari orang tua, Pemerintah juga menjadi salah satu faktor penyebab
permasalahan sosial ini. Orang tua yang tingkat ekonomi menengah ke bawah terkadang terpaksa mengeksploitasi anak-anaknya karena himpitan ekonomi.
Pemerintah yang seharusnya memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan anak-anak jalanan justru tidak dapat mencari solusi pemecahan atas permasalahan tersebut. Dalam dunia
pendidikan contohnya, program wajib belajar 9 tahun dan sekolah gratis melalui program Bantuan Operasional Sekolah atau yang disingkat dengan istilah BOS, seakan tidak ada
artinya karena anak-anak dari ekonomi menengah ke bawah masih dibebani oleh sekolah untuk membeli buku paket yang harganya cukup mahal. Keadaan makin parah ketika buku-
buku paket yang dibeli tidak dapat diwariskan kepada adiknya karena tiap tahun kurikulum
17
http:sosbud.kompasiana.com, Odi Shalahuddin, 230.000 Anak Jalanan di Indonesia, 30 Desember. 2010,.diakses Selasa 22 September 2015 Pukul 00:08 WIB.
18
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta 2002, hlm., 290.
19
http:www.kpai.go.id, Hadi Supeno, Eksploitasi Anak Sudah Jadi Budaya, Jumat 30 Juli 2010, diakses Sabtu 19 September 2015 Pukul 20:29 WIB.
selalu berganti dan buku tersebut tidak dapat digunakan lagi.
20
Dalam situasi yang memberatkan semacam ini membuat orang tua dari tingkat ekonomi menengah ke bawah
lebih memilih menjadikan anak-anak mereka sebagai penopang ekonomi keluarga daripada bersekolah. Anak yang telah mengalami tindakan eksploitasi ekonomi membutuhkan suatu
bentuk penanganan, salah satunya adalah rehabilitasi. Dalam Undang-Undang tentang Rehabilitasi diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58 memiliki pengertian sebagai pemulihan
dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan kemampuan fisik, mental dan emosional korban, sehingga dapat hidup dengan kemampuan penyesuaian diri yang cukup baik dalam
mengembalikan psikologis, kesehatan, dan pendampingan agar dikemudian hari mereka dapat kembali hidup dengan pemenuhan hak-hak yang lebih baik kedepannya.
Banyaknya undang-undang yang mengatur tentang anak, seharusnya mampu memberikan perlindungan yang lebih baik kepada anak jalanan, namun kenyataannya anak
jalanan yang menjadi korban eksploitasi tidak pernah mendapatkan solusi yang baik, bahkan selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Oleh sebab itu dibutuhkan usaha yang lebih
serius lagi dari pemerintah, lembaga sosial, dan lingkungan masyarakat yang harus secara bersama-sama membantu menangani permasalahan sosial ini. Dengan adanya perhatian lebih
dari semua komponen baik pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat, dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak.
Dalam sumber hukum itu di dalamnya ini hukum dapat dikenali. Sumber hukum dalam arti sebagai sumber daya atau timbulnya hukum, yaitu sebagai sumber bagi adanya
20
http:www.metrotvnews.com , Pembelian Buku Paket Memberatkan Orang Tua, Senin 19 Juli 2010, diakses
Sabtu 19 September 2015 Pukul 22:03 WIB.
atau timbulnya hukum. Bahwa dari peristiwa-peristiwa historis dapat dipahami secara empiris kecenderungan atau apa yang diisyaratkan oleh subyek pengatur, yaitu tentang formulasi ini
hukum kebiasaan.
21
1.2. Rumusan Masalah