Proses Penyidikan Di Kepolisian Terhadap Notaris Sebagai Saksi Atau Tersangka Dalam Tindak Pidana

(1)

TESIS

Oleh

SERIMIN PINEM

097011148/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SERIMIN PINEM

097011148/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2.Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nim : 097011148

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PROSES PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :SERIMIN PINEM


(6)

batasan untuk memidanakan notaris. Pemanggilan notaris sebagai saksi atau tersangka dapat saja berbenturan dengan asas kerahasiaan yang merupakan kewajiban notaris. Ada beberapa masalah yang perlu diteliti dari hal tersebut, yakni: bagaimana ketentuan hukum dan pelaksanaan proses penyidikan terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana, bagaimana penerapan asas kerahasiaan yang diterapkan notaris atas akta yang dibuatnya dalam kaitannya dengan proses penyidikan, dan kendala-kendala apakah yang dihadapi penyidik dan notaris dalam menjalankan tugasnya masing-masing terkait proses penyidikan notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian.

Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatur dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. Apabila notaris membuka rahasia yang disimpannya berdasarkan suatu ketentuan peraturan umum, dan peraturan umum tersebut merupakan ketentuan eksepsional dari pasal UUJN, maka pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan. Dalam melaksanakan tugasnya penyidik menghadapi beberapa kendala dalam hal proses pemanggilan notaris sebagai saksi maupun tersangka. Begitu juga dengan notaris yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka. Berdasarkan dari kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Selain tata cara pemanggilan notaris sebagai saksi atau tersangka, diharapkan diatur juga prosedur pada saat pemeriksaan. Dalam hal kepentingan dan perlindungan semua pihak asas kerahasiaan yang merupakan kewajiban notaris haruslah dipahami dan dihormati. Dalam mengatasi kendala-kendala dalam pemeriksaan notaris sebagai saksi atau tersangka sebaiknya tidak dituangkan dalam kesepakatan bersama saja, sudah seharusnya dibuat pengaturan dalam bentuk undang-undang.


(7)

employed as the basis or reason to criminalize a notary. Calling a notary as a witness or suspect can be in conflict with the principle of confidentiality which is an obligation of a notary. Several problems needed to be studied from this issue are how the provisions of law and the implementation of investigation process are done to a notary as witness or suspect in a criminal act, how the principle of confidentiality is applied by a notary on the deed he/she made in its relation to the investigation process, and the constraints faced by the investigator and notary in implementing their own jobs in relation to the investigation process for a notary as a witness or suspect in a criminal act.

To find out the answers to the problems, this descriptive analytical study described all the symptoms and facts happened in the field and then analyzed them.

Regulation about investigation is found in Article 1 (1) of the Indonesian Criminal Codes formulating what an investigator is and Law No.20/2002 on the Police of the Republic of Indonesia. In investigating a notary reported to have done a crime is regulated in Article 66 of UUJN (Law of Public official). But, the call is more detailed regulated in the Regulation of Minister of Law and Human Rights No.M.03.HT.03.10/2007 on the Taking of Act Minute and Call for Notary. For the sake of judicial process, notary is called as a witness, suspect or defendant by filing a written application to the Area Supervisor Council. If the notary tells the secret he/she is holding based on a general provision and the general provision is the exceptional provision of Article of Law on Public Official therefore the Article 322 of the Indonesian Criminal Codes cannot be applied. In implementing his job, the investigator faces several constraints in the process of calling a notary as witness or suspect and so does the notary called as witness or suspect.

Based on the result of this study, it is suggested that procedures of calling a notary as witness or suspect and the procedures of investigation should be officially regulated. In terms of the interest and protection for all parties, the principles of confidentiality as the obligation of notary should be understood and respected. The procedures in overcoming the constraints in investigating a notary as witness or suspect should not be included in the joint agreement only, but they should be regulated in the form of law.


(8)

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga, tesis yang berjudul “PROSES PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA”ini telah selesai sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan, arahan dan bantuan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, yang telah membimbing demi selesainya tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Komisi Penguji Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn atas saran dan masukkannya yang sangat membangun terhadap penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan, dan dorongan secara khusus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami


(9)

Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

5. Seluruh pihak yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Kota Medan.

6. Suami saya tercinta Darwin Sitepu, SH dan anak saya tersayang dr. Enda Esty Latheresia Sitepu, Indah Permata Sitepu, Iman Christian Sitepu dan Checilia Winri Sitepu, yang telah memberikan dukungan moril dan doanya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.


(10)

8. Institusi Kepolisian Daerah Sumatera Utara khususnya Polresta Medan yang telah memberikan izin dan rekomendasi untuk mengikuti Program pendidikan Magister Kenotariatan.

9. Seluruh teman-teman Kelas Khusus angkatan 2009 atas bantuan dan perhatiaannya.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.

Medan, Mei 2012 Penulis,


(11)

1. Nama : Serimin Pinem, SH 2. Tempat/Tanggal Lahir : Dairi/18 Juli 1965

3. Alamat : Kav. Doritis 197 Perumahan Royal Sumatera, Medan

4. Jenis Kelamin : Wanita

5. Umur : 46 Tahun

6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Agama : Kristen

8. Nama Suami : Darwin Sitepu, SH

9. Anak Kandung : a. dr. Enda Esty Latheresia Sitepu b. Indah Permata Sitepu

c. Iman Christian Sitepu d. Checilia Winri Sitepu

Latar Belakang Pendidikan

1. SD Negeri Kutabuluh Kab. Dairi : (1971-1977) 2. SMP Negeri Kutabuluh Kab. Dairi : (1977-1980)

3. SMA Negeri Kabanjahe : (1981-1984)

4. S1 Universitas Medan Area : (2005-2009)


(12)

ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latarbelakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 20

G. Metodelogi Penelitian ... 22

1. Spesifikasi Penelitian ... 23

2. Metode Pendekatan ... 24

3. Lokasi Penelitian ... 25

4. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

5. Teknik Pengumpulan Data ... 26

6. Analisa Data ... 28

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA ... 30

A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana ... 30


(13)

BAB III PENERAPAN ASAS KERAHASIAAN YANG DITERAPKAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA DALAM KAITANNYA

PROSES PENYIDIKAN ... 77

A. Pengaturan Perundang-Undangan Hak Ingkar dalam Hubungannya Asas Kerahasiaan Notaris ... 77

B. Pelaksanaan Asas Kerahasiaan Yang Diterapkan Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya ... 90

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENYIDIK DALAM MENJALANKAN TUGASNYA TERKAIT .. PROSES PENYIDIKAN NOTARIS YANG DIPANGGIL SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA ... 104

A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Penyidik Dalam Menjalankan Tugasnya Terkait Proses Penyidikan Notaris Yang Dipanggil Sebagai Saksi atau Tersangka 104 B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Notaris Dalam Menjalankan Tugasnya Terkait Proses Penyidikan ... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117


(14)

batasan untuk memidanakan notaris. Pemanggilan notaris sebagai saksi atau tersangka dapat saja berbenturan dengan asas kerahasiaan yang merupakan kewajiban notaris. Ada beberapa masalah yang perlu diteliti dari hal tersebut, yakni: bagaimana ketentuan hukum dan pelaksanaan proses penyidikan terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana, bagaimana penerapan asas kerahasiaan yang diterapkan notaris atas akta yang dibuatnya dalam kaitannya dengan proses penyidikan, dan kendala-kendala apakah yang dihadapi penyidik dan notaris dalam menjalankan tugasnya masing-masing terkait proses penyidikan notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan bersifat deskriftif analistis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian.

Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatur dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. Apabila notaris membuka rahasia yang disimpannya berdasarkan suatu ketentuan peraturan umum, dan peraturan umum tersebut merupakan ketentuan eksepsional dari pasal UUJN, maka pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan. Dalam melaksanakan tugasnya penyidik menghadapi beberapa kendala dalam hal proses pemanggilan notaris sebagai saksi maupun tersangka. Begitu juga dengan notaris yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka. Berdasarkan dari kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Selain tata cara pemanggilan notaris sebagai saksi atau tersangka, diharapkan diatur juga prosedur pada saat pemeriksaan. Dalam hal kepentingan dan perlindungan semua pihak asas kerahasiaan yang merupakan kewajiban notaris haruslah dipahami dan dihormati. Dalam mengatasi kendala-kendala dalam pemeriksaan notaris sebagai saksi atau tersangka sebaiknya tidak dituangkan dalam kesepakatan bersama saja, sudah seharusnya dibuat pengaturan dalam bentuk undang-undang.


(15)

employed as the basis or reason to criminalize a notary. Calling a notary as a witness or suspect can be in conflict with the principle of confidentiality which is an obligation of a notary. Several problems needed to be studied from this issue are how the provisions of law and the implementation of investigation process are done to a notary as witness or suspect in a criminal act, how the principle of confidentiality is applied by a notary on the deed he/she made in its relation to the investigation process, and the constraints faced by the investigator and notary in implementing their own jobs in relation to the investigation process for a notary as a witness or suspect in a criminal act.

To find out the answers to the problems, this descriptive analytical study described all the symptoms and facts happened in the field and then analyzed them.

Regulation about investigation is found in Article 1 (1) of the Indonesian Criminal Codes formulating what an investigator is and Law No.20/2002 on the Police of the Republic of Indonesia. In investigating a notary reported to have done a crime is regulated in Article 66 of UUJN (Law of Public official). But, the call is more detailed regulated in the Regulation of Minister of Law and Human Rights No.M.03.HT.03.10/2007 on the Taking of Act Minute and Call for Notary. For the sake of judicial process, notary is called as a witness, suspect or defendant by filing a written application to the Area Supervisor Council. If the notary tells the secret he/she is holding based on a general provision and the general provision is the exceptional provision of Article of Law on Public Official therefore the Article 322 of the Indonesian Criminal Codes cannot be applied. In implementing his job, the investigator faces several constraints in the process of calling a notary as witness or suspect and so does the notary called as witness or suspect.

Based on the result of this study, it is suggested that procedures of calling a notary as witness or suspect and the procedures of investigation should be officially regulated. In terms of the interest and protection for all parties, the principles of confidentiality as the obligation of notary should be understood and respected. The procedures in overcoming the constraints in investigating a notary as witness or suspect should not be included in the joint agreement only, but they should be regulated in the form of law.


(16)

BAB I Pendahuluan

A. Latarbelakang

Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis ini dibuat dihadapan seorang notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya lembaga notariat ini.1

Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Apabila akta dibuat dihadapan notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau akta otentik, atau akta notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat

1 R. Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat Di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 1993), h. 1-4.


(17)

dibawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.2

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.3Fungsi akta otentik dalam hal pembuktian tentunya diharapkan dapat menjelaskan secara lengkap dalam proses pembuktian di persidangan, karena pada proses peradilan berdasarkan hukum acara pidana, didalamnya terdapat proses pembuktian, yang menekankan pada alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.4

Akta otentik sebagai produk notaris yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual, dan final, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang

2 A. Kohar,Notaris Dalam Praktek Hukum¸ (Bandung: Alumni, 1983), h. 64. 3 Op Cit, h. 29.

4 R. Sunarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah


(18)

dituangkan dalam akta notaris yang dibuat dihadapan atau oleh notaris dan bukan kehendak notaris.5

Dalam Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia terungkap, masih banyak notaris yang melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris (selanjutnya akan disebut UUJN) dalam membuat akta. Misalnya pembuatan perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Ada notaris yang tetap menelurkan akta meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah. Konsekuensi pembuatan akta oleh notaris dapat menyebabkan seseorang kehilangan hak. Inilah yang kerap terjadi dan berujung laporan ke polisi. Untuk memeriksa akta yang bermasalah, biasanya polisi memanggil notaris guna menerangkan proses pembuatan akta. “Kecenderungannya si notaris menyuruh asistennya untuk mewakilinya jika statusnya saksi,” ujar Direktur I Keamanan Transnasional Bareskrim Polri Badrodin Haiti. Menanggapi hal itu, Notaris Soegong Santoso menyatakan tidak semua polisi mengerti tugas dan jabatan notaris. Ia menyatakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi notaris, notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kebenaran isi akta. Legalisasi itu artinya notaris hanya menjamin bahwa surat itu betul ditandatangani oleh pihak yang menghadap.

5 Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, (Bandung : Refika, 2008), h. 15.


(19)

“Aktanya sendiri mengikat orang yang membuat, tidak mengikat notaris.”6Untuk mengatasi perbedaan persepsi antara notaris dengan kepolisian maka dibuatlah nota kesepahaman antara Ikatan Notaris dengan polisi.

Menurut data Satuan Reskrim Polresta Medan tercatat dari tahun 2008 sampai dengan 2011 sebanyak 20 kasus terkait pemanggilan notaris, pemanggilan sebagai saksi sebanyak 12 notaris dan pemanggilan sebagai tersangka sebanyak 8 notaris. Pemanggilan harus dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

Aspek-aspek formal akta notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh notaris yang bersangkutan dan para pihak/penghadap) bahwa akta yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana atau dalam pembuatan akta pihak atau akta relaas dan notaris secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum.7

6 Ketika Notaris Dipanggil Polisi, http://hukum.bunghatta.ac.id/berita-print-news-95.html, diakses pada tanggal 1 April 2011.

7 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan


(20)

Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan dengan batasan jika :

1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris atau oleh notaris, bersama-sama dengan penghadap (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana;

2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan 3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang

(untuk menilai tindakan notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris).8 Pada dasarnya, apabila secara formal apa yang dilakukan notaris telah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP), seharusnya notaris telah sangat kuat kedudukan hukumnya, dalam artian telah memenuhi syarat kebenaran formal yang menjadi tanggungjawabnya. Namun, pada prakteknya, hal ini tidak sesuai dengan das sollennya. Cukup banyak pada kenyataannya notaris tidak melakukan SOP-nya dengan baik, atau terkadang melakukan beberapa kesalahan yang akibatnya cukup merugikan bagi kliennya ataupun notaris tersebut. Pada akhirnya hal itu dapat menyeret notaris dalam suatu masalah hukum karena ketidakhati-hatiannya, baik disengaja maupun tidak disengaja. Potensi untuk melakukan tindak pidana tergantung pada profesionalismenya dalam bekerja dan kualitas diri pribadi notaris itu sendiri.9

Posisi notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Notaris dalam ranah pencegahan terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, apa yang terjadi jika alat bukti yang paling sempurna tersebut krebilitasnya diragukan.10 Krebilitas akan terganggu dan diragukan apabila banyak notaris yang dipanggil kepolisian dan kemudian

8 Ibid, h. 124-125.

9 Fenomena Pidana Dalam Dunia Kenotariatan, http://hukum.kompasiana.com/2011/04/04/fenomena-pidana-dalam-dunia-kenotariatan/..., diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.

10 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 2008), h. 7.


(21)

diberitakan secara tidak seimbang. Hal tersebut akan membentuk opini yang salah pada masyarakat.

Seperti pada pemberitaan waspada pada tanggal 29 Oktober 2007. Kapoldasu Irjen Nurudin Usman mengatakan, kasus tindak pidana yang melibatkan notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Poldasu, sebanyak 153 kasus. Dimana 10 orang sebagai tersangka dan sebanyak 143 orang jadi saksi.11

Banyak notaris yang terkena kasus hukum itu dikarenakan beberapa faktor, antara lain dikarenakan jumlah notaris yang sudah tidak sesuai dengan permintaan pasar, jumlah notaris yang terus bertambah yang berdampak persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan pasar (klien) yang mengakibatkan notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta etika profesi.12

Ditinjau dari aspek teoritik dan praktik pada hakekatnya dalam menjalankan jabatannya tersebut maka yang harus dipunyai oleh seorang notaris adalah aspek kehati-hatian, kecermatan dan kejujuran yang merupakan hal mutlak dalam melaksanakan jabatan notaris tersebut. Apabila aspek ini terabaikan dalam pembuatan suatu akta, maka dapat berakibat langsung maupun tidak langsung

11 http:/www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content_pdf=1&id=6025, diakses pada tanggal 1 April 2011.

12 Muchlis Patahna, “Apa Akar Masalahnya Banyak Notaris Tersandung Kasus”, Majalah Renvoi, Nomor 1. 37. IV, Juni 2006, h. 14.


(22)

kepada suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara administratif sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UUJN dan bisa berupa pelanggaran perdata (Pasal 84 UUJN) bahkan perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana. Hal mana pertanggungjawaban notaris dalam bidang pidana dari aspek praktik peradilan pada hakekatnya meliputi 3 (tiga) pertanggungjawaban yaitu pertanggungjawaban selaku terdakwa, pertanggungjawaban selaku saksi, dan pertanggungjawaban sebagai tenaga ahli dalam hal keterangan ahli yaitu seputar tentang kerahasiaan suatu akta yang tidak mungkin diungkapkan dalam persidangan maka lebih baik notaris minta dibebaskan pemberian keterangan seputar kerahasiaan akta tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHAP.

Sebagai regulator, pemerintah berkewajiban memastikan kepentingan masyarakat terlindungi. Namun disisi lain pemerintah juga berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kenotariatan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus berusaha menyeimbangkan kepentingan tersebut dengan mengeluarkan paket kebijakan di bidang kenotariatan yang tepat.13 Kebijakan yang diharapkan dapat melindungi masyarakat, notaris dan kepolisian dalam menjalankan wewenang, hak dan kewajibannya masing-masing.


(23)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan hukum dan pelaksanaan proses penyidikan terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana?

2. Bagaimanakah penerapan asas kerahasiaan yang diterapkan notaris atas akta yang dibuatnya dalam kaitannya dengan proses penyidikan?

3. Kendala-kendala apakah yang dihadapi penyidik dan notaris dalam menjalankan tugasnya masing-masing terkait proses penyidikan notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui ketentuan hukum dan pelaksanaan proses penyidikan

terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana.

2. Untuk mengetahui penerapan asas kerahasiaan yang diterapkan notaris atas akta yang dibuatnya dalam kaitannya dengan proses penyidikan.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi penyidik dan notaris dalam menjalankan tugasnya masing-masing terkait proses penyidikan notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

2. Secara praktik, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Kepolisian dan Notaris yang terkait dalam proses penyidikan sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, data yang ada dan penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa belum pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “PROSES PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI ATAU TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA OLEH KEPOLISIAN”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis ini ada dua, yakni:


(25)

1. Judul pertama “ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOCOPY MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA” oleh Susanna/067011127 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan mengangkat permasalahan antara lain: a. Bagaimanakah prosedur pengambilan fotocopi minuta akta dan

pemanggilan Notaris di Indonesia?

b. Apakah kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotoopi minuta akta dan pemanggilan notaris?

c. Apakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengambilan fotocopi minuta akta dan pemanggilan notaris?

2. Judul kedua “KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS OLEH PENYIDIKAN POLRI BERKAITAN DENGAN DUGAAN PELANGGARAN HUKUM ATAS AKTA YANG DIBUATNYA” oleh Nuzuarlita Permata Sari Harahap/087011146 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan mengangkat permasalahan antara lain:

a. Bagaimana pengaturan hukum yang berlaku tentang kewenangan, kewajiban dan larangan terhadap notaris sebagai pejabat umum


(26)

berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 dan kode etik?

b. Bagaimana prosedur hukum yang berlaku terhadap pemanggilan notaris oleh penyidik Polri berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum atas akta yang dibuatnya?

c. Bagaimana status hukum notaris dari segi jabatan dan kewenangan, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.14 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.15 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar

14M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I (Bandung : Bandar Maju, 1994), h. 80.

15 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), h. 19.


(27)

penelitian hukum.16 Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17

Penelitian ini menggunakan toeri Roscoe Pound sebagai pisau analisa, Pound mengungkapkan hukum itu keseimbangan kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin menghindari benturan. Pound menyatakan tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu kepentingan umum, sosial, dan kepentingan pribadi. Kepentingan-kepentingan yang tergolong kepentingan umum terdiri atas dua, yakni: kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, kepentingan-kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial.18

Sementara yang tergolong kepentingan pribadi/perorangan adalah:

a. Pribadi (integritas fisik, kebebasan kehendak, kehormatan/nama baik,privacy, kebebasan kepercayaan, dan kebebasan berpendapat). Kepentingan-kepentingan ini biasanya menjadi bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang penganiayaan, fitnah, dan lain sebagainya.

16 Soerjono Soekamto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat,Edisi I Cet ke VII, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 7.

17 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), h. 35.

18 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), h. 156-157.


(28)

b. Kepentingan-kepentingan dalam hubungan rumah tangga/domestik (orang tua, anak, suami istri). Kepentingan-kepentingan ini meliputi soal-soal seperti perlindungan hukum atas perkawinan, hubungan suami-istri, hak orang tua untuk memberi mendidik anak.

c. Kepentingan subtansi meliputi perlindungan hak milik, kebebasan menyelesaikan warisan, kebebasan berusaha dan mengadakan kontrak, hak untuk mendapatkan keuntungan yang sah, pekerjaan, dan hak untuk berhubungan dengan orang lain.19

Notaris dalam membuat akta otentik harus menjaga dan melindungi kepentingan-kepentingan para pihak sebagai pribadi perseorangan, dalam menjaga dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut notaris tidak melanggar hukum publik dan perdata.

Dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, kiranya tidak ada pemisahan antara hukum publik dan hukum perdata, sehingga pada segala hubungan hukum yang berada dimasyarakat selalu dapat dikatakan bahwa hubungan hukum itu masuk golongan bukum publik atau golongan hukum perdata. Banyak hubungan hukum yang mengandung bersama-sama unsur hukum publik dan perdata. Contohnya hukum perburuhan yang mengatur hubungan hukum antara buruh dan majikan dan pada hukum ekonomi pada umumnya.20 Hukum publik terbagi kedalam tiga golongan hukum, pertama hukum tata Negara, kedua hukum tata usaha Negara, dan ketiga hukum pidana.21

19 Ibid.

20 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2011), h. 2.


(29)

Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum pidana terlebih dahulu akan diuraikan tentang notaris. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, memberikan pengertian notaris yakni : “Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Dengan memperhatikan hal tersebut maka Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri yang bidang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang kenotariatan. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi notaris, yaitu:

1. Warga Negara Indonesia;

2. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. Berumur paling sedikit 27 tahun;

4. Sehat Jasmani dan rohani;

5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; 6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai

karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan;

7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.

Selain syarat-syarat tersebut diatas dalam menjalankan tugasnya notaris juga memiliki asas-asas pelaksanaan tugas jabatan notaris yang baik seperti yang dikemukakan oleh Habib Adjie dalam bukunya. Dalam asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB) dikenal asas-asas sebagai berikut:


(30)

a. Asas kebersamaan; b. Asas kepercayaan; c. Asas kepastian hukum; d. Asas kecermatan; e. Asas pemberian alasan;

f. Larangan penyalahgunaan wewenang; g. Larangan bertindak sewenang-wenang.

Untuk kepentingan pelakasanaan tugas jabatan notaris, ditambah dengan Asas Proporsional dan Asas Profesionalitas.22

Notaris dan akta yang dibuatnya dapat dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa alat-alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kualifikasi alat bukti surat seperti dimaksud oleh Pasal 184 KUHAP diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Pasal ini mensyaratkan bahwa surat-surat sebagai alat bukti harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat-surat yang dimaksud adalah:

(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.23

22 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2009), h. 75.

23 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), h. 21-22.


(31)

Surat-surat sebagaimana tersebut pada angka (1) disebut sebagai akta otentik yang dibuat oleh notaris.24 Tan Thong Kie menjelaskan pembagian akta, yakni:

1. Relaas-Akten; dibuat oleh notaris mengenai perbuatannya atau hal-hal yang disaksikan oleh notaris, dapat berupa mengenai perbuatan, pernyataan atau jawaban dari mereka yang menghadap.

2. Partij-Akten; akta yang dibuat mengenai hal-hal yang dilakukan atau diterangkan oleh mereka yang dengan sengaja menghadap dihadapannya, agar notaris membuat akta mengenai apa yang dilakukan atau diterangkan oleh mereka.25

Instansi yang berwenang melakukan penyidikan terhadap notaris dan akta yang dibuatnya adalah polisi negara. KUHAP telah meletakkan fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Pejabat kepolisian harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana serta diselaraskan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP.

Adapun rincian wewenang yang dimiliki penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP adalah sebagai berikut:

24 Ibid,h. 22.

25 Tan Thong Kie,Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hove, 2007), h. 674.


(32)

1. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

3. Memberhentikan seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan sehubungan dengan pemeriksaan

perkara;

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyidik yang melakukan pemeriksaan memiliki wewenang melakukan pemanggilan kepada saksi dan tersangka. Pemanggilan sebagai saksi maka penyidik harus berpedoman pada kriteria yang ditentukan oleh pasal 1 angka 26 KUHAP yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. seseorang yang mendengar sendiri; 2. melihat sendiri;

3. mengalami sendiri;

4. orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber pengetahuan akan apa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri.

Khusus untuk pemanggilan terhadap tersangka maka dapat dilihat pada pasal 1 angka 14 KUHAP bahwa suatu nilai bukti yang sudah cukup untuk menduga seseorang sebagai tersangka, maka proses pemanggilan telah dapat dilakukan. Oleh karena itu agar pemanggilan yang dilakukan penyidik dianggap sah dan sempurna maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


(33)

1. Penyidik menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar diterimanya panggilan dan bila tidak datang maka penyidik dapat memanggil sekali lagi untuk menghadap penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 112 KUHAP.

2. Apabila tersangka dan saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik, maka pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal tersangka atau saksi sebagaimana diatur dalam pasal 119 KUHAP.

3. Pemanggilan dilaksanakan paling lambat 3 hari sebelumnya sebagaimana diatur dalam pasal 227 KUHAP.

Dalam Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum, dinyatakan sebagai berikut:

1. Tindakan pemanggilan terhadap notaris harus dilakukan seara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik.

2. Pemanggilan notaris dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

3. Surat pemanggilan harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status yang dipanggil (sebagai saksi atau tersangka), waktu dan tempat, serta pelaksanaannya tepat waktu.

4. Surat pemanggilan diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelumnnya ataupun tenggang waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan tersebut sebagaimana yang tercatat dalam penerimaan untuk mempersiapkan bagi notaris yang dipanggil guna mengumpulkan data-data/bahan-bahan yang diperlukan.

5. Dengan adanya surat pemanggilan yang sah menurut hukum, maka notaris wajib untuk memenuhi panggilan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP.

6. Apabila notaris yang dipanggil dengan alasan sah menurut hukum tidak dapat memenuhi panggilan penyidik, maka penyidik dapat datang ke kantor/tempat kediaman notaris yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 113 KUHAP.

Baik tersangka, terdakwa, saksi maupun saksi ahli wajib datang memenuhi panggilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1909 KUH Perdata.


(34)

Tetapi khusus untuk pemanggilan terhadap notaris, penyidik wajib memperhatikan beberapa ketentuan mengenai hak ingkar yang dimiliki oleh seseorang pejabat umum sebagaimana diatur dalam pasal 1909 ayat 3 KUH Perdata, yaitu : “Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannnya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”

Hak ingkar notaris diberikan oleh undang-undang tidak hanya merupakan suatu hak akan tetapi suatu kewajiban berdasarkan pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 huruf (e) UUJN. Menurut Van Bemmelen ada 3 (tiga) dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingkar, yakni:

1. Hubungan keluarga yang sangat dekat; 2. Bahaya dikenakan hukuman pidana;

3. Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan.26

Pasal 66 UUJN yang mengatur bahwa pemanggilan terhadap notaris harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Isi dari Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut adalah:

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan 26 G.H.S Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1999), h. 21.


(35)

pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam Penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat berita acara penyerahan.

Notaris merupakan suatu jabatan yang memiliki kekhususan tersendiri, sehingga pemanggilan terhadap notaris baik sebagai saksi atau tersangka memiliki prosedur tersendiri pula.

2. Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.27 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.28Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.29

27 Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989), h. 34. 28 Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian(Jakarta : Raja Grafindo, 1998), h. 3. 29 Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 5.


(36)

Untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pengertian konsep yang dipakai, sebagai berikut:

1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya sendiri. (Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris).

3. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. (Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

4. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. (Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).


(37)

5. Tindak pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah: Badan dan peraturan perundang Negara, seperti lembaran-lembaran Negara, Pejabat Negara, Pegawai Negara, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya; Dan Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.30

6. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

G. Metodelogi Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

30 C.S.T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 257.


(38)

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.31

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam kaitannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Mengungkap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.32 Sehingga penelitian ini dapat mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori

31 Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 43.


(39)

ilmu hukum serta praktek pelaksanaannya mengenai proses penyidikan terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam tindak pidana oleh kepolisian. Dilihat dari peran dan fungsi notaris sebagai pejabat umum di bidang keperdataan dengan peran polisi penyidik dalam penegakan hukum pidana.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini untuk menganalisa notaris sebagai pejabat umum terhadap status saksi atau tersangka dalam suatu tindak pidana. Metode pendekatan pada penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatan notaris, terhadap data sekunder dilapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.33


(40)

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.34

Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku mengenai proses penyidikan terhadap notaris sebagai saksi atau tersangka dalam suatu tindak pidana. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplemantasikan dalam praktek dilapangan.35

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan penelitian.36 Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Utara di Polresta Medan.

34 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 47.

35 Soerjono Soekamto,Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia, 2006), h. 14. 36 Op Cit, Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, h. 170.


(41)

4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Notaris yang wilayah hukumnya di Kota Medan yaitu sebanyak 253 (dua ratus lima puluh tiga) Notaris, sedangkan yang dijadikan populasi sasaran adalah Notaris yang berada di kota Medan. Penarikan sampel dilakukan secara “purposive sampling”sebanyak 4 (empat) Notaris di kota Medan. Penelitian ini didukung dengan data penunjang melalui informan yaitu :

a. Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Kota Besar Medan : 1 orang b. Majelis Pengawas Wilayah Sumatera Utara : 1 orang c. Majelis Pengawas Daerah Kota Medan : 1 orang

5. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum yang dikelompokkan ke dalam:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,37bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.38 Dalam penelitian ini bahan hukum primer tersebut berupa: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang 30 Nomor Tahun 2004 tentang

37 Op cit, Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, h. 50.


(42)

Jabatan Notaris, Kitab Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Acara Pidana, dan peraturan-peraturan lainnya.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, karya ilmiah, pendapat para ahli hukum, buku-buku teks, surat kabar (Koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan berita internet, yang berkaitan dengan penelitian.

3. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.39

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, menelaah pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder.


(43)

2. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada nara sumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.

6. Analisa Data

a. Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan yang memberikan telaah yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasai.40

b. Mensistemasi data. Dimana peneliti mengadakan pemeriksaan terhadap informasi yang didapat dari responden dan nara sumber, terutama kelengkapan jawaban yang diterima dan memperhatikan adanya keterhubungan antara data primer dengan data sekunder, dan diantara


(44)

bahan-bahan hukum yang dikumpulkan satu hal yang perlu diperhatikan adalah data harus diklasifikasikan secara sistematis.41

c. Menganalisa data kualitatif. Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu analisis terhadap data-data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, dan menganalisa bahan-bahan hukum.42 Karena metode kualitatif ini adalah metode yang mengungkapkan fakta-fakta secara mendalam berdasar karakteristik ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami dan mengungkapkan sesuatu.43Kemudian peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan, dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan materi penelitian, sehingga dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data.44

d. Penarikan kesimpulan. Dalam pengolahan data peneliti menarik kesimpulan bahwa peneliti menggunakan cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir yang bertolak dari hal-hal yang khusus yang kemudian dicari generalisasinya yang bersifat umum, sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan objek yang diteliti.45

41 Ibid, h. 181. 42 Ibid,h. 192. 43 Ibid, h. 53. 44 Ibid,h. 192.

45 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), h. 11.


(45)

BAB II

KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM

TINDAK PIDANA

A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana

Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi peristiwa pidana. Penyidikan harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana.46

Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan defenisi yang sama mengenai penyidik. Dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Kemudian pada Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berbeda dengan definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

46 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 1.


(46)

menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut Henny Mono dalam bukunya, penyidikan adalah sebuah proses awal dari serangkaian tindakan aparat hukum dalam upayanya membuktikan bahwa telah terjadi tindakan yang dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian tentu saja bahan-bahan yang akan ditanyakan kepada tersangka selalu mengarah kepada upaya yang bersifat menekan. Mengingat siapapun yang menjadi tersangka akan cenderung mungkir. Oleh karena itu pertanyaan yang diajukan penyidik penuh dengan strategi dan taktik.47

Pengangkatan seorang penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan diatur dalam Pasal 6 KUHAP. Ketentuan Pasal 6 tentang yang berhak diangkat sebagai penyidik adalah:

1. Pejabat Penyidik Polri. Salah satu instansi yang berwenang melakukan penyidikan pejabat polisi negara. KUHAP telah meletakkan fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Pejabat kepolisian harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana serta diselaraskan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP.

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal tersebut sesuai dengan wewenang yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 KUHAP, yang dinyatakan sebagai berikut: “Penyidik adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP

yang memiliki wewenang berdasarkan undang-undang dan dalam

pelaksanaannya tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan Polisi Republik Indonesia.”

Pasal 7 ayat 1 KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki penyidik, yakni:

1. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.

47 Henny Mono, Praktik Berperkara Pidana, (Malang : Banyumedia Publishing, 2007),


(47)

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan surat; 5. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

8. Mengadakan penghentian penyidikan;

9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

(a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

(b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk kepentingan penyidikan;

(c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

(d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal diri;

(e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

(f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

(h) Mengadakan penghentian penyidikan;

(i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

(j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;

(k) Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

(l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.


(48)

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.48

Tahapan proses pemeriksaan dalam KUHAP, yakni:

1. Pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebagai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, yakni: penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan. Alasn untuk melakukan penahanan terhadap tersangka menurut Pasal 21 (1) KUHP adalah tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.

2. Pengeledahan, yakni tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana.

3. Penyitaan, yakni tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungan dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian.


(49)

4. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih dahulu.49

Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatut dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan: (1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan

dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan

pemanggilan notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.

Pemanggilan tersebut tidak serta merta akan langsung diberikan persetujuan pemanggilan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap notaris yang bersangkutan. Apabila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan kesalahan prosedur pembuatan akta, maka MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan kepada kepolisian terhadap notaris tersebut. Dan apabila dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya penyimpangan prosedur pembuatan akta, maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan pemanggilan terhadap notaris tersebut. Persetujuan akan diberikan melalui surat balasan resmi secara tertulis.50

Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

49 Wawancara dengan AKP Amri, Kanit Tindak Pidana Tertentu, Kepolisian Resor Kota

Medan, pada tanggal 21 April 2012.


(50)

Pemanggilan yang dilakukan penyidik dianggap sah dan sempurna maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Penyidik menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar diterimanya panggilan dan bila tidak datang maka penyidik dapat memanggil sekali lagi untuk menghadap penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 112 KUHAP;

2. Apabila tersangka dan saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik, maka pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal tersangka atau saksi sebagaimana diatur dalam pasal 119 KUHAP;

3. Pemanggilan dilaksanakan paling lambat 3 hari sebelumnya sebagaimana diatur dalam pasal 227 KUHAP.

Ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan disebut dengan UU Kepolisian Negara RI) memberikan wewenang kepada Kepolisian Negara

Republik Indonesia selaku penyidik untuk mengadakan tindakan yang

bertanggung jawab menurut hukum. Ketentuan pasal 6 ayat 2 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa dimaksud dengan tindakan bertanggung jawab menurut hukum adalah:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan penyidik 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa

5. Menghormati hak asasi manusia

Tindakan-tindakan tersebut di atas wajib dilaksanakan oleh penyidik dalam setiap proses penyidikan. Dalam proses penyidikan terdapat beberapa pihak yang


(51)

akan dimintai keterangan, antara lain: saksi dan tersangka. Dimaksud dengan saksi perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan notaris telah melakukan tindakan hukum:

1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).

2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP).

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).

4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).

5. Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).51

Pemeriksaan terhadap notaris selaku tersangka atau terdakwa harus didasarkan kepada tata cara pembuatan akta notaris, yaitu:

1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada notaris.

2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab).

3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta.

6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris.52

Prosedur pemeriksaan/penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan

51 Habib Adjie,Op cit, h. 67. 52 Ibid, h. 69.


(52)

Kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif. Adapun prosedur penyidikan meliputi :

a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana);

b. Prosedur khusus berdasarkan Undang-undang yang mengaturnya.”53 Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Pengawas Daerah dengan menyebutkan untuk keperluan apa, apakah untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; ataukah keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Minuta Akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

b. Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa

tersangkanya.

c. Setelah mendapat persetujuan maka Penyidik dapat melakukan tindakan Kepolisian sebagaimana disebutkan angka 1 di atas.

Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

53 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan¸(Bandung :


(53)

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Dari ketentuan yang tercantum ini dapat dimengerti bahwa :

a. Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim hanya diperkenankan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maupun memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan

akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam

penyimpanannya, sepanjang untuk kepentingan proses peradilan dan telah memperoleh persetujuan Majelis Pengawas Daerah;

b. Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim tidak dibenarkan mengambil Minuta Akta dan/atau surat-surat asli yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

c. Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim untuk hadir dalam pemeriksaan suatu perkara, baik perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara yang tidak berkaitan dengan akta yang dibuat atau


(54)

Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris tidak memerlukan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah;

d. Dalam pengertian Notaris yang tercantum dalam Pasal 66 ini termasuk didalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus, baik masih sedang menjalankan tugas jabatannya maupun telah berhenti;

e. Atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat sebagaimana terurai di atas dibuat berita acara penyerahan, hanya saja Undang-undang ini maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang berkewajiban membuat dan menandatangani berita acara tersebut.

Mengingat dalam Pasal 66 UUJN tidak dijelaskan dalam status apa saja notaris dapat dipanggil oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, maka timbul persoalan “apakah persetujuan pemanggilan Notaris yang dimaksud dalam pasal 66 ini hanya sebatas dalam kedudukan sebagai saksi, baik dalam perkara perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara ataukah termasuk juga didalamnya sebagai tersangka dalam perkara pidana maupun sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata?”.54

Dalam hubungannya dengan pertanyaan ini, Majelis Pengawas Pusat

dalam suratnya tanggal 12 Agustus 2005, nomor C-MPPN.03.10-15

berpendapat/menegaskan bahwa: “dalam hal pemanggilan Notaris sebagai

54 Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan,


(55)

tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, Dewan Kehormatan Profesi, dan Penyidik atau Penuntut Umum”, sedangkan dalam hal pengambilan fotokopi Minuta Akta maupun dalam hal pemanggilan sebagai saksi dinyatakan bahwa “sebelum persetujuan pengambilan dan/atau pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan”.

Berkaitan dengan pendapat Majelis Pengawas Pusat sebagaimana yang terurai di atas, dapat dimengerti bahwa :

a. Baik dalam status sebagai saksi maupun tersangka sehubungan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapannya maupun dengan Protokol Notaris dalam penyimpanannya, pemanggilan Notaris memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah;

b. Tujuan pemanggilan Notaris adalah untuk menemukan fakta hukum yang mempunyai pengaruh penting dalam proses peradilan, sehingga proses pemanggilan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar proses peradilan, sebagaimana yang dikemukakan dalam pertimbangan ketiga dari surat Majelis Pengawas Pusat di atas, maka dalam memproses pemberian persetujuan harus dihindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan bahwa

Majelis Pengawas Daerah yang melakukan pemeriksaan menghambat


(56)

Latar belakang pemikiran dari Majelis Pengawas Pusat yang berpendirian bahwa pemberian persetujuan atas pemanggilan Notaris sebagai tersangka tetap diperlukan sesungguhnya mudah dipahami oleh orang-orang atau pihak-pihak yang mengerti secara baik dan benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat :

a. Keberadaan dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris adalah terutama dalam rangka pembuatan alat bukti yang berupa akta autentik atas perbuatan, perjanjian dan ketetapan dalam lapangan hukum perdata yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh para pihak;

b. Dalam pelaksanaan tugas jabatannya untuk membuat akta autentik, pada pokoknya Notaris hanya mengkonstatir atau merelatir kenyataan yang terjadi dihadapannya yang berupa perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan;

c. Apabila Majelis Pemeriksa Notaris menemukan dugaan adanya unsur pidana yang dilakukan oleh terlapor (Notaris), maka Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas, dan selanjutnya Majelis Pengawas melaporkan adanya dugaan tersebut kepada instansi yang berwenang, sebagimana yang diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 maupun dalam Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 28 Desember 2004


(57)

Nomor: M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Bagian Ketiga tentang Tugas Majelis Pengawas.55

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dapat ditafsirkan tidak hanya berlaku dalam peradilan pidana saja. Dalam peradilan perdata pun pasal tersebut dapat dipergunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris tidak hanya dalam lingkup pidana saja, tetapi juga dalam lingkup perdata. Oleh karena itu dalam proses perdata berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN, Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang untuk :

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sehubungan belum adanya peraturan pelaksanaan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris khususnya dalam proses beracara perdata jelas merupakan tantangan bagi Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku pengawas yang salah satu kewajibannya adalah melindungi masyarakat atas pelaksanaan jabatan Notaris. Dalam hal ini Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak bisa menolak untuk memproses permohonan persetujuan tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksananya. Penolakan tersebut jelas akan sangat merugikan masyarakat, karena


(58)

adanya persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana dimaksud Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris sangat dibutuhkan dalam proses peradilan.

Oleh karena itu Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus bijaksana dalam arti dengan mengingat salah satu tugas kewajibannya adalah melindungi masyarakat, maka seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) menerima permohonan tersebut untuk diproses dengan memperhatikan asas-asas yang ada pada kenotariatan.

Apabila ada permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta guna proses peradilan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Majelis Pengawas Daerah, yaitu :

a. Apabila objek persengketaan yang sedang dalam proses peradilan perdata tersebut pada materi atau substansi akta, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum mengijinkan harus meneliti terlebih dahulu, yaitu apakah sudah pernah dikeluarkan salinan akta dari Minuta Akta tersebut. Apabila atas Minuta Akta tersebut sudah pernah dikeluarkan salinannya, maka Majelis

Pengawas Daerah (MPD) tidak perlu untuk menyetujui permintaan

mengambil fotokopi Minuta Akta. Alasannya karena salinan akta pada dasarnya sebagaimana telah diuraikan di atas sama isinya dengan Minuta Akta.

b. Apabila permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta disebabkan adanya keraguan mengenai salinan akta yang ada, maka sudah seharusnya

Majelis Pengawas Daerah (MPD) mengijinkannya. Keraguan yang

dimaksudkan disini adalah keraguan apakah salinan akta isinya sama dengan Minuta Akta, padahal isi salinan akta seharusnya sama persis dengan isi Minuta Akta.56

Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris disamping memberi wewenang untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dengan seijin Majelis


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatur dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan: Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.

2. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) butir 5 UUJN mengatur bahwa seorang notaris yang menjalankan jabatannya berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan kecuali undang-undang


(2)

menentukan lain. Kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Apabila notaris membuka rahasia yang disimpannya berdasarkan suatu ketentuan peraturan umum, dan peraturan umum tersebut merupakan ketentuan eksepsional dari pasal UUJN, maka pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan.

3. Dalam melaksanakan tugasnya penyidik menghadapi beberapa kendala dalam hal proses pemanggilan notaris sebagai saksi maupun tersangka, antara lain: Pemanggilan terhadap notaris harus melalui proses yang lebih lama. Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk pemanggilan notaris tersebut membuat asumsi negatif terhadap institusi kepolisian. Dan pada umumnya pelapor kurang memahami prosedur khusus yang harus dilakukan penyidik untuk menghadirkan notaris sebagai saksi atau tersangka. Setelah mendapat persetujuan MPD, notaris yang dimintakan kehadirannya sebagai saksi atau tersangka terkesan menghindar dengan berbagai alasan. Pada saat memenuhi panggilan menjadi saksi, notaris sering tidak datang dan diwakili oleh pegawainya. Hal tersebut jelas menghambat penyidik dalam memperoleh keterangan, karena jabatan notaris tidaklah sama seperti jabatan pada suatu perusahaan.


(3)

Dalam hal pemanggilan notaris baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka dari hasil wawancara terhadap beberapa notaris terdapat beberapa kendala dalam menjalankan tugasnya, yakni antara lain: Jadwal pemeriksaan yang tertera pada surat pemanggilan sering tidak tepat waktu, kondisi tersebut sangat menghambat notaris dalam melaksanakan tugasnya dan hal tersebut membuat notaris yang akan diperiksa menjadi tidak nyaman dan tertekan. Rentang waktu surat pemanggilan dengan jadwal pemanggilan sangat singkat.

B. SARAN

1. Selain tata cara pemanggilan notaris sebagai saksi atau tersangka, diharapkan diatur juga prosedur pada saat pemeriksaan. Pengaturan saat pemeriksaan baik bagi penyidik maupun bagi notaris yang dipanggil sebagai saksi dan tersangka. Pengaturan yang diharapkan mempermudah penyidik dan notaris dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.

2. Dalam hal kepentingan dan perlindungan semua pihak baik dari pihak penyidik, notaris dan para penghadap yang aktanya terkait dalam proses penyidikan tersebut. Asas kerahasiaan yang merupakan kewajiban notaris haruslah dipahami dan dihormati.

3. Dalam mengatasi kendala-kendala dalam pemeriksaan notaris sebagai saksi atau tersangka sebaiknya tidak dituangkan dalam kesepakatan bersama saja, sudah seharusnya dibuat pengaturan dalam bentuk undang-undang yang kedudukannya lebih kuat dan jelas dalam hirarki perundang-undangan.


(4)

118

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adjie, Habib,Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2009).

………. , Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT), (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2009).

Ali, H. Zainuddin,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).

Ashsofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Cet ke II (Jakarta : Rineka Cipta, 1998). Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan¸(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007).

Fuady, Munir,Teori Hukum Pembuktian, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006). Hadikusuma, Hilman,Hukum Waris Adat(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003). Hamzah, Andi,Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010). Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum

Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010).

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002).

Kie, Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hove, 2007).

Kohar, A., Notaris Dalam Praktek Hukum¸ (Bandung, Alumni, 1983).

Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Penegakan Hukum : Suatu Rekomendasi, (Jakarta : Perpustakaan Nasional RI, 2010).

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I (Bandung : Bandar Maju, 1994).

Lembaga Pendidikan POLRI, Metode Reserse, Seri Pengetahuan Polisi 01, (Jakarta : Trade Publisher, 2010).


(5)

119

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005).

Meleong, Lexy J.,Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993).

Mono, Henny,Praktik Berperkara Pidana,(Malang : Banyumedia Publishing, 2007). Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia, (Jakarta : PT Raja

Grafindo, 1993).

ND, Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010).

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka, 2008).

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, 2011).

Soekamto, Soerjono,Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia, 2006). ………. , Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : Universitas Indonesia Press,

1986).

Soekamto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi I Cet ke VII (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003).

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997).

Soerodibroto, R. Sunarto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad,(PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2003).

Singarimbun, Masri dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989). Suryabrata, Sumadi,Metodologi Penelitian(Jakarta : Raja Grafindo, 1998).

Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010).


(6)

120

Waluyo, Bambang, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996).

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana

C. Internet

Ketika Notaris Dipanggil Polisi, http://hukum.bunghatta.ac.id/berita-print-news-95.html, diakses pada tanggal 1 April 2011.

http:/www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content_pdf=1&id=6025, diakses pada tanggal 1 April 2011.

Fenomena Pidana Dalam Dunia Kenotariatan, http://hukum.kompasiana.com/2011/04/04/fenomena-pidana-dalam-dunia-kenotariatan/..., diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.

D. Majalah, Jurnal

Muchlis Patahna, “Apa Akar Masalahnya Banyak Notaris Tersandung Kasus”, Majalah Renvoi, Nomor 1. 37. IV, Juni 2006.

Djoko Sukisno, Pengambilan Foto Copi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM Volume 20, Nomor I, Februari 2008, (Yogyakarta, 2008).