DAMPAK PERGERAKAN NILAI TUKAR, TINGKAT SUKU BUNGA BI RATES, DAN KESENJANGAN OUTPUT TERHADAP INFLASI DI INDONESIA (2005:07 – 2013:04)

(1)

DAMPAK PERGERAKAN NILAI TUKAR, TINGKAT SUKU BUNGA BI RATES, DAN KESENJANGAN OUTPUT TERHADAP INFLASI DI

INDONESIA (2005:07-2013:04)

Oleh HADI PURNOMO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE IMPACT OF EXCHANGE RATE MOVEMENT, LEVEL OF BI RATE, AND OUTPUT GAP TOWARD THE INFLATION IN INDONESIA

(2005:07 – 2013:04) By

HADI PURNOMO

The problem of inflation in Indonesia was not only the short term occurrence but also was the long term occurrence. It means that, the inflation in Indonesia not merely caused by the failure of implementation discretion in monetary sector by the government which is often done to stabilize the fluctuation of general value level in short term, but also indicated that there is still structural barriers in Indonesian economy which couldn’t be overcome thoroughly.

The aim of this research was to find out the inpact of exchange rates, the inpact of BI rates, and the impact of output gap toward the behavior of inflation through OLS and ECM method.

The result of this research showed that there was significant effect in the exchange rates and output gap toward the inflation in long term, while for variable BI rates there was only significant effect toward the inflation in short term. In addition it was found that the value of adjusted R square is 83%. It means that 83% of movements in inflation can be predicted from the three variables, whereas 17% was explained by other variables outside the model.


(3)

ABSTRAK

DAMPAK PERGERAKAN NILAI TUKAR, TINGKAT SUKU BUNGA BI RATES, DAN KESENJANGAN OUTPUT TERHADAP INFLASI DI

INDONESIA (2005:07 – 2013:04) Oleh

HADI PURNOMO

Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nilaitukar terhadap perilaku inflasi, mengetahui pengaruh BI Rate terhadap perilaku inflasi, mengetahui pengaruh kesenjangan output terhadap inflasi dengan menggunakan metode OLS dan ECM.

Hasil penelitian menunjukan Nilai tukar dan kesenjangan output mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang, sementara itu untuk variabel BI Rate berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Selain itu diperoleh bahwa nilai adjusted R square adalah 83 %. Ini berarti sebesar 83% pergerakan inflasi dapat diprediksi dari ketiga variabel, sedangkan sebesar 17% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. RumusanMasalah ... 11

C. Tujuan... 12

D. KerangkaPemikiran ... 12

E. Hipotesi ... 16

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. PengertianInflasi. ... 17

B. Keynesian Model ... 19

C. PenentuanHarga . ... 20

D. JenisInflasi ... 21

1. MenurutDerajatnya ... 21

2. MenurutPenyebabnya 22 3. MenurutAsalnya . ... 22

E. NilaiTukar (Kurs) ... ... 24

1. PengertianNilaiTukar 24 2. FungsiNilaiTukar . ... 25

3. SistemNilaiTukar . ... 26

4. PengaruhNilaiTukarterhadapInflasi .... ... 28

F. SukuBunga Bank Indonesia (BI Rate) 30 G. ProdukDomestikBruto (PDB) . 35 H. MetodeHodrick-Prescott Filter (HP) ... 40


(8)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. JenisdanSumber Data 49 B. BatasanVariabel ... 50

C. AlatAnalisis ... 51

D. MetodeAnalisis Data ... 52

1. Uji Stationary ... 52

2. UjiKointegrasi ... 55

3. Uji Error Correction Model ... 56

E. UjiAsumsiKlasik 57 1. UjiNormalitas 57 2. UjiMultikolinearitas 58 3. UjiAutokorelasi 59 4. UjiHeteroskedastisitas . ... 60

F. UjiHipotesis ... 61

1. UjiKeseluruhan (Uji F) 61 2. UjiParsial (Uji t) . ... 62

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

A. HasildanPembahasanUjiStationary(Unit Root)... 63

1. Uji Stationary Data Pada Level ... 63

2. Uji Stationary Data PadaFirst Difference ... 64

B. HasildanPembahasanUjiKointegrasi ... 65

C. HasildanPembahasanUjiAsumsiKlasik ... 66

1. HasilUjiNormalitas ... 67

2. HasilUjiMultikolinearitas ... 67

3. HasilUjiHeteroskedastisitas ... 68

4. HasilUjiOtokorelasi... 69

D. AnalisisStatistikPersamaanKointegrasi ... 69

1. PenaksiranKoefisienDeterminasi(R2) ... 69

2. Uji t (KeberartianParsial) ... 69

E. HasilPembahasan ECM ... 70

F. HasilPengujianAsumsiKlasik ECM ... 72

1. HasilUjiNormalitas ... 72

2. HasilUjiMultikolinearitas ... 73

3. HasilUjiHeteroskedastisitas ... 73

4. HasilUjiOtokorelasi... 74

G. IntepretasiHasil... 75


(9)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81 A. Kesimpulan... 81 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(10)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi.

Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secaratajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika) sejak bulan juli 1997, akibatadanya domino effect dari

terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salahsatunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang yangdiimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang impor ini,menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkatbaik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yangmemiliki kandungan


(11)

barang impor yang tinggi.Jatuhnya Rupiah mengakibatkan memanasnya perekonomian Indonesia.Hal ini dapat dilihat dari naiknya tingkat inflasi.

Perhatian terhadap inflasi begitu besar sejak Indonesia mengadopsi inflation targeting pada tahun 2000. Inflation targeting merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik

mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting lite countries" kemudian undang-undang tersebut telah

diamandemen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 pada pasal 7

menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yakni mencapai dan memelihara kesetabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah terhadap barang dan jasa dapat tercermin pada perkembangan laju inflasi dan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah.

Pada Inflation Targeting Framework, inflasi digunakan sebagai sasaran utama kebijakan moneter. Pada tahap awal, Bank Indonesiaakan menentukan besaran inflasi yang akan dijadikan target kemudian dalam prakteknya Bank Indonesia akan mengarahkan berbagai kebijakan moneternya untuk menjaga inflasi agar sesuai dengan target inflasi tersebut. Salah satu kebijakan moneter yang


(12)

dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga tingkat inflasi adalah pengendalian tingkat suku bunga menggunakan BI Rate.

Perubahan BI Rate akan mempengaruhi beberapa variabel makroekonomi yang kemudian diteruskan kepada inflasi. Perubahan berupa peningkatan level BI Rate bertujuan untuk mengurangi laju aktifitas ekonomi yang mampu memicu inflasi. Pada saat level BI Rate naik maka suku bunga kredit dan deposito pun akan mengalami kenaikan. Ketika suku bunga deposito naik, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya di bank dan jumlah uang yang beredar

berkurang. Pada suku bunga kredit, kenaikan suku bunga akan merangsang para pelaku usaha untuk mengurangi investasinya karena biaya modal semakin tinggi. Hal demikianlah yang meredam aktivitas ekonomi dan pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.

Sebaliknya pada saat level BI Rate turun maka suku bunga kredit dan deposito pun akan mengalami penurunan. Ketika suku bunga deposito turun, keinginan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank akan menurun. Kondisi ini memicu peningkatan jumlah uang beredar yang selanjutnya akan meningkatkan transaksi masyarakat. Pada suku bunga kredit, penurunan suku bunga akan merangsang peningkatan permintaan kredit dari pelaku usaha karena murahnya biaya modal. Pada kondisi ini maka keadaan ekonomi yang lesu akan segera meningkat. Adanya tambahan likuiditas yang ada di masyarakat untuk bertransaksi akan diimbangi oleh peningkatan produksi di sisi pelaku usaha maka pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan ekonomi.


(13)

Kestabilan inflasi merupakan hal terpenting bagi Bank Indonesia. Apabila inflasi tidak dalam basis yang ditentukan maka Bank Indonesia akan

mengintervensi melalui suku bunga kebijakan. Suku bunga nominal dinaikan pada saat inflasi meningkat yang akan mendorong masyarakat untuk

melakukan investasi ke sektor produktif agar dapat memenuhi permintaan yang terjadi di pasar.

Berbagai perubahan mendasar yang terjadi dalam perekonomian Indonesia telah menyebabkan efektivitas kebijakan moneter yang selama ini ditempuh menjadi kurang efektif (Sarwono dan Warjiyo, 1998).Sehubungan dengan hal tersebut, paradigma lama yang menyatakan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhi permintaan aggregat melalui pengendalian uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional perlu dikaji ulang (Boediono, 1994).Dalam kondisi tersebut, peranan suku bunga menjadi semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.

Kebijakan moneter yang mempengaruhi suku bunga nominal jangka pendek akan mengubah ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi atau suku bunga riil jangka panjang (Boediono, 1998). Faktor penyebab tarjadinya inflasi di

Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi inflasi ( backward-looking dan forward-backward-looking), output gap, depresiasi nilai tukar, dan

pertumbuhan uang beredar. Analisis terhadap sampel bulanan mulai dari awal tahun 1980 sampai dengan akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa


(14)

pembentukan ekspektasi inflasi di Indonesia masih didominasi oleh ekspektasi inflasi ke belakang (backward-looking) dengan porsi sekitar 0.7, sementara porsi ekspektasi inflasi ke depan (forward-looking) sekitar 0.2. Dalam analisisnya dia juga menemukan bahwa dampak nilai tukar lebih besar dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar (M1).Analisis tersebut mengasumsikan bahwa dampak kedua variabel tersebut adalah linear, dalam arti dampaknya adalah konstan untuk setiap tingkat depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar (Wimanda, 2010).

Gambar 1. Tingkat Inflasi di Indonesia

Sumber: Data Queri Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI, Data diolah

Gambar tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat inflasi yang berfluktuasi.Terlihat dari pergerakan grafik yang berubah-ubah setiap

bulannya. Inflasi tertinggi terjadi di Indonesia, yaitu mencapai sebesar 18,38% pada bulan November 2005. Selain karena kebijakan pengurangan subsidi minyak juga karena peningkatan harga minyak yang sangat tinggi,

melonjaknya laju inflasi di Indonesia diantaranya dipicu pula oleh penyesuaian

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 Ju l-05 De s-05 Me i-06 Ok t-06 Ma r-07 Agu st … Jan -08 Ju n -08 N o p -08 Ap r-09 Se p -09 Fe b -10 Ju l-10 De s-10 Me i-11 Okt -11 Ma r-12 Agu st … Jan -13 inflasi %


(15)

harga administered barang-barang lainnya. Peningkatan inflasi tersebut terjadi hingga bulan September 2006 mencapai 14,55% dan kemudian turun pada Oktober 2006 sebesar 6,29% karena telah terjadi kestabilan harga. Namun juga sempat naik kembali pada bulan September 2008 sebesar 12,14% diakibatkan oleh naiknya harga BBM yang memicu kenaikan harga pangan.

Kestabilan inflasi merupakan hal terpenting bagi Bank Indonesia. Apabila inflasi tidak dalam basis yang ditentukan maka Bank Indonesia akan

mengintervensi melalui suku bunga kebijakan. Suku bunga nominal dinaikan pada saat inflasi meningkat yang akan mendorong masyarakat untuk

melakukan investasi ke sektor produktif agar dapat memenuhi permintaan yang terjadi di pasar.

Seperti telah dikemukakan di atas, penentuan sasaran inflasi yang berakhirnya penentuan suku bunga nominal jangka pendek dilakukan dengan

memperhatikan prospek ekonomi makro, dan karenanya didasarkan pada perkembangan dan proyeksi arah pergerakan ekonomi kedepan.Kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan inflasi dari sisi permintaan dan penawaran, sehingga penentuan BI rate itu berdasarkan perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sasaran BI dalam melaksanakan kebijakan moneter selain inflasi adalah

pertumbuhan ekonomi. Jika inflasi berada pada target yang ditentukan maka BI akan mengalihkan ke sasaran berikutnya yaitu pertumbuhan ekonomi.

Sehingga penentuan BI rate dari sisi permintaan direpresentasikan oleh

variabel pertumbuhan ekonomi, yaitu peningkatan jumlah barang dan jasa yang diproduksi oleh kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu.PDB harga konstan


(16)

(riil) digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun.

Pengalaman buruk dibidang moneter terjadi yaitu saat krisis ekonomi dan moneter menimpa kawasan Asia termasuk Indonesia pada tahun

1997-1998.Pada periode bulan Juli-Agustus 1997 pemerintah menerapkan kebijakan empat kali menaikkan tingkat suku bunga Bank Indonesia. Pergerakkan suku bunga Bank Indonesia menjadi tolak ukur bagi tingkat suku bunga lainnya hingga kenaikan suku bunga Bank Indonesia ini dengan sendirinya mendorong suku bunga dana antar bank dan suku bunga deposito.

Kenaikan suku bunga Bank Indonesia sebagai dampak dari kemungkinan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Suku bunga Bank Indonesia saat ini masih cukup tinggi dibandingkan suku bunga di Amerika Serikat dan negara lain sehingga masih cukup kompetitif untuk menarik investasi. Saat ini, tingkat suku bunga dalam negeri yang berkisar 5,75 % masih lebih tinggi dari Thailand yang berada dikisaran 3.0 %, Korea sekitar 2,75 %, Jepang sekitar minus 1,07 %, Taiwan hanya sekitar minus 0,34 % dan Singapura 0,10 % yang tingkat bunganya menyaingi Indonesia hanyalah RRC yang 6,00 %.


(17)

Gambar 2. Tingkat Suku Bunga Kebijakan Indonesia Sumber: Data Queri Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI, Data diolah

Bulan Juli 2005 Indonesia mematok suku bunganya tetap pada kisaran 8,50%. Hal tersebut masih sejalan dengan tingkat inflasi Indonesia, namun pada bulan-bulan berikutnya Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan tersebut mencapai 125 bps pada bulan November 2005 yaitu 12,75% yang pada bulan Oktober 2005 sebesar 11.00% akibat dari kenaikan inflasi yang tajam,

sedangkan AS mematok suku bunganya sebesar 3.26% pada bulan Juli 2005 berfluktuasi naik pada setiap bulannya hingga mencapai 5.26% pada bulan Juli 2007 dan turun secara perlahan mencapai 0.97% pada bulan Oktober 2008 akibat krisis yang dialaminya hingga sekarang Bank Sentral AS tetap

mempertahankan suku bunga tersebut karena merupakan titik puncak terendah selama periode-periode sebelumnya dan tidak memungkinkan untuk

menurunkan suku bunga kebijakannya yang dapat menyebabkan makin melemahnya perekonomian, khususnya di sektor keuangan.

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 Ju l-05 Jan -06 Ju l-06 Jan -07 Ju l-07 Jan -08 Ju l-08 Jan -09 Ju l-09 Jan -10 Ju l-10 Jan -11 Ju l-11 Jan -12 Ju l-12 Jan -13


(18)

Nilai suku bunga domestik di Indonesia sangat terkait dengan suku bunga internasional.Hal ini disebabkan oleh akses pasar keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional dan kebijakan nilai tukar yang fleksibel.Untuk mengatasi hal tersebut Bank Sentral melakukan intervensi atau campur tangan dengan menaikkan suku bunga dalam negeri agar tidak terjadi pelarian modal keluar negeri (capital flight) karena suku bunga dalam negeri terlalu kecil.

Nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi. Apabila nilai tukar terdepresiasi maka akan meningkatkan jumlah uang beredar, karena masyarakat akan menukarkan uangnya ke dalam dolar.

Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja

perekonomian secara umum.Pengaruh nilai tukar terhadap suku bunga nominal dapat terjadi secara langsung (direct exchange rate pass-through) maupun secara tidak langsung (indirect exchange rate pass-through).

Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara umum cukup stabil.Naik atau turunnya nilai tukar dikarenakan ketidakstabilan faktor eksternal dan internal.Melemahnya nilai tukar biasanya disebabkan oleh

adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-struktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidaksinambungan pasokan dan permintaan valas.Nilai tukar rupiah bergerak dengan kecenderungan menguat, terutama pasca kenaikan BI Rate dan membaiknya indeks risiko.Selain itu, penguatan rupiah juga disumbang oleh peningkatan investasi portofolio oleh


(19)

investor asing. Kestabilan nilai tukar juga didorong oleh efektivitas pengelolaan likuiditas di pasar rupiah yang mengalami kondisi yang cukup ketat.

Gambar 3 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat Sumber: Data Queri Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI, Data diolah

Perkembangan tersebut mampu mengurangi dampak kecenderungan pelemahan mata uang regional terhadap USD sejalan dengan berlanjutnya siklus pengetatan moneter AS. Bank Indonesia melalui suku bunga

kebijakannya perlu dilakukan apabila terjadi penekanan terhadap nilai tukar rupiah agar dapat memasok ketersedian valas yang terjadi di pasar sehingga dapat menstabilkan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi akibat permintaan valas yang terlalu banyak.

Memburuknya perekonomian global juga dapat berpengaruh, terlihat dengan pelemahan ekonomi global dan turunnya harga-harga komoditi telah menekan

-2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 Ju l-05 Jan -06 Ju l-06 Jan -07 Ju l-07 Jan -08 Ju l-08 Jan -09 Ju l-09 Jan -10 Ju l-10 Jan -11 Ju l-11 Jan -12 Ju l-12 Jan -13 Kurs


(20)

ekspor Indonesia yang pada gilirannya berdampak pada menurunnya kinerja neraca pembayaran dan nilai tukar.Neraca pembayaran adalah catatan dari semua transaksi ekonomi internasional yang meliputi perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk dalam negeri dengan penduduk luar negeri selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun atau dikatakan sebagai laporan arus pembayaran (keluar dan masuk) untuk suatu negara.

Jika melihat lonjakan angka inflasi di Indonesiaterhadap perekonomian nasional, maka dirasa perluuntuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan caramencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yangmenjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkahapakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan tujuan kebijakan moneter di Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin pada perkembangan laju inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah dengan kerangka strategis penargetan inflasi (inflation targeting). Bank Sentral akan melakukan intervensi dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga kebijakan agar sejalan denga tujuan awal kebijakan moneter. Dengan adanya krisis dunia yang belum menentu penyelesaiannya di beberapa Negara membuat Bank sentral Indonesia lebih menjaga stabilitas perekonomian melalui suku bunga.


(21)

Pergerakan inflasi di pengaruhi oleh beberapa variabel-variabel makro yaitu pergerakan nilai tukar, kebijakan suku bunga bank Indonesia, dan kesenjangan output Variabel makro tersebut diperkirakan dapat menentukan bagaimana Bank Indonesia dapat mencapai ITF yaitu dengan kestabilan nilai tukar rupiah dantujuan kebijakan suku bunga. Atas uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh nilai tukar terhadap perilaku inflasi? 2. Bagaimana pengaruh BI Rate terhadap perilaku inflasi? 3. Bagaimana pengaruh kesenjangan output terhadap inflasi?

4. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap variabel makro nilai tukar, BI rate, dan kesenjangan output?

C.Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh nilai tukar terhadap perilaku inflasi.

2. Mengetahui pengaruh BI Rate terhadap perilaku inflasi 3. Mengetahui pengaruh kesenjangan output terhadap inflasi.

4. Mengetahui pengaruh inflasi terhadap nilai tukar, BI rate, dan kesenjangan output.

D.Kerangka Pemikiran

Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi.Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2


(22)

macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran.Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI.

Inflasi berarti kenaikan harga barang secara umum.Pengaruh inflasi terhadap suku bunga nominal dalam hal ini BI rate terjadi melalui perubahan dalam tingkat permintaan dan penawaran agregat.Perubahan dalam tingkat

permintaan agregat terjadi karena inflasi dipertimbangkan dalam menentukan besarnya permintaan konsumsi dan investasi di masyarakat atas kebutuhan masyarakat itu sendiri.Sedangkan perubahan dalam tingkat penawaran agregat terjadi karena inflasi mempengaruhi pola pembentukan harga oleh

produsen/perusahaan.Pada saat permintaan barang konsumsi meningkat maka harga barang akan meningkat dikarenakan biaya produksi akan barang tersebut mahal sehingga perlu banyak modal utuk dapat memenuhi permintaan

konsumen. Untuk menjaga kestabilan perekonomian BI akan menaikkan suku bunga kebijakan agar dapat menarik para investor untuk dapat mengalihkan dananya ke sektor produktif.

Berdasarkan beberapa sumber, peneliti memutuskan untuk menggunakan variabel-variabel makro tersebut, yaitu nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS, tungkat suku bunga BI rate, dan kesenjangan output.Fluktuasi kurs dollar terutama pada periode krisis moneter merupakan masalah serius bagi

pemerintah karena menyebabkan tingkat inflasi yang melambung tinggi.Nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi.


(23)

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik yang diadakan setiap bulan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk mencapaisasaran operasional kebijakan moneter.Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi sejumlah indikator atau variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap suku bunga Bank Indonesia.

Secara umum variabel-variabel informasi merupakan sebuah set variabel indikator yang mempunyai kandungan informasi untuk memprediksi BI rate yang akan datang.Perubahan BI rate di sebabkan oleh inflasi begitu pula perubahan tingkat inflasi menyebabkan BI rate berubah.Disamping itu kondisi

Nilai Tukar

BI Rate

Output Gap


(24)

inflasi riil yang belum sesuai dengan target menunjukan adanya kinerja kebijakan moneter yang belum maksimal oleh karenanya perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai hubungan antara BI Rate dan inflasi.

Output gap merupakan faktor penentu inflasi dan siklus moneter, Kesenjangan output didefinisikan sebagai presentase selisih antaraoutput aktual dengan output potensial dimana output potensial adalah tingkat output yang konsistendengan stabilitas inflasi.Output gap mempengaruhi laju inflasi, pergerakan suku bunga dan kegiatan ekonomi karena output gap mengukur tekanan terhadap sumber daya, tenaga kerja dan modal pada suatu periode.Hal ini cenderung mengakibatkan penurunan harga barang dan inflasi gaji karena tenaga kerja bersaing mendapatkan pekerjaan dan perusahaan berusaha memanfaatkan kapasitas ekstra yang dimilikinya dengan menawarkan barang produksinya dengan harga yang lebih kompetitif.

Pengaruh nilai tukar terhadap suku bunga Bank Indonesia dapat terjadi secara langsung (direct exchange rate pass-through) melalui pola pembentukan harga perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat maupun secara tidak langsung (indirect exchange rate pass-through) melalui perubahan permintaan agregat. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan menjaga ketersediaan valas, Bank Indonesia menintervensinya melalui suku bunga kebijakan yang dinaikan agar dapat menarik investor asing sehingga ketersediaan akan valuta asing dapat tercukupi.

Suku bunga domestik di Indonesia cenderung terkait dengan suku bunga luar negeri.Perbedaan tingkat suku bunga dalam negeri dan luar negeri dapat


(25)

memperlambat arus modal masuk maupun keluar.Terdapat selisih antara tingkat suku bunga di Indonesia dengan tingkat suku bunga (Fed Funds Rate) di Amerika.Semakin besar selisihnya, maka semakin menarik pula negara Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Dengan kata lain, apabila

pemerintah AS menaikkan tingkat suku bunga sementara suku bunga Indonesia masih tetap, maka hal tersebut akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi.

E.Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga nilai tukar rupiah terhadap dollar US berpengaruh negatif terhadap inflasi.

2. Diduga tingkat suku bunga Bank Indonesia berpengaruh positif terhadap inflasi.

3. Diduga kesenjangan output berpengaruh positif terhadap inflasi.

4. Diduga inflasi berpengaruh positif terhadap nilai tukar, BI rate, dan kesenjangan output.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Inflasi

Inflasi adalah kenaikan harga dari satu atau dua barang dan dalam waktu yang singkat. Secara umum dan sederhana inflasi dapat disebabkan oleh dua hal yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat yang berlebih dan inflasi yang terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi (Boediono, 1992 : 162). Menurut Atmadja (1999 : 66) dalam penelitiannya menyatakan bahwa inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek namun juga merupakan fenomena jangka panjang. Oleh karena hal ter-sebut inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang memiliki pengaruh luas kepada kondisi makro ekonomi sebuah negara sehingga inflasi harus dikendalikan agar tetap rendah dan stabil.

Teori kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.


(27)

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :

1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.

2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

Teori struktural mengatakan bahwa inflasi bukan semata-mata dikarenakan fenomena moneter, tetapi juga terjadi oleh fenomena struktural. Hal ini terjadi umumnya di negara-negara sedang berkembang yang umumnya masih

bercorak agraris ataupun mengenai hal yang berhubungan dengan luar negeri, misalnya term of trade, utang luar negeri dan kurs valuta asing dapat

menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.

Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala

struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis.

Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.


(28)

yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.

Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas.

Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).

Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di

negaranegara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.

B.Keynesian Model

Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomi, sehingga


(29)

menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang

(permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah

persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat.

Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi

memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif

masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).

C.Penentuan Harga

Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut :


(30)

Price = Cost + Profit Margin

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat dijabarkan menjadi :

Price = Cost + ( a% x Cost )

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.

D.Jenis Inflasi

Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, dan

pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. (Boediono, 1996),

1. Menurut Derajatnya

Inflasi ringan di bawah 10% (single digit) Inflasi sedang 10% - 30%.

Inflasi tinggi 30% - 100%. Hyperinflasion di atas 100%.

Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.


(31)

2. Menurut Penyebabnya a. Demand-Pull Inflation

Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan inflasi murni).

b. Cost-Push Inflation

Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi.

3. Menurut Asalnya

a. domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh

kesalahan pengelolahan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.

b. imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh karena adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri (di Negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan).


(32)

Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara.

Faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, adalah jumlah uang yang beredar. Di Indonesia jumlah uang beredar lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money (M1) karena masih ada anggapan bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Faktor kedua adalah defisit anggaran belanja pemerintah yang banyak sekali

menyangkut tentang struktural ekonomi Indonesia karena mendorong permintaan agregat (Atmaja, 1999). Faktor ketiga adalah penawaran agregat dan luar negeri. Kelambanan faktor penawaran agregat disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang ada di Indonesia. Harga pangan merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Umumnya laju penawaran bahan pangan tidak dapat mengimbangi permintaannya, sehingga menyebabkan excess demand. Sedangkan disisi lain metode dan teknologi yang digunakan masih kurang canggih dan tidak maksimal (Atmaja, 1999).

Laju inflasi merupakan faktor penting dalam menganalisa dan meramalkan suku bunga. Selisih antara suku bunga nominal dan inflasi adalah ukuran yang sangat penting mengenai beban sesungguhnya dari biaya suku bunga yang


(33)

dihadapi individu dan perusahaan. Suku bunga riil juga menjadi ukuran yang sangat penting bagi otorisasi moneter. Peningkatan ekspektasi inflasi akan cenderung meningkatkan suku bunga nominal. Hal ini berarti pada suku bunga nominal akan cenderung terkandung ekspektasi inflasi untuk memberikan tingkat kembalian riil atas penggunaan uang.

E.Nilai Tukar (Kurs)

1. Pengertian Nilai Tukar

Nilai tukar merupakan perbandingan nilai atau harga antara dua mata uang yang berbeda. Diciptakannya sistem nilai tukar ini dimaksudkan untuk mempermudah transaksi barang dan jasa internasional (Nopirin, 2000: 163). Nilai tukar atau kurs adalah perbandingan nilai tukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara asing atau perbandingan nilai tukar valuta asing antar negara (Hasibuan, 2001: 14).

Kurs adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2006: 128).

Hanafi (2003) menjelaskan yang dimaksud dengan apresiasi berarti

meningkatnya nilai mata uang suatu negara relatif terhadap mata uang lainnya. Sedangkan depresiasi berarti sebaliknya, yaitu menurunnya nilai mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya. Menurut Mankiw (2006), Kurs terdiri dari dua macam, yaitu:

a. Kurs Nominal (Nominal Exchange Rate)


(34)

b. Kurs Riil ( Real Exchange Rate)

Merupakan harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara ke negara lain. Kurs riil juga disebut terms of trade.

Hasibuan (2001: 14), kurs Bank Indonesia adalah kurs yang ditetapkan Bank Indonesia pada bursa valas di Jakarta. Sedangkan kurs jual adalah

perbandingan nilai tukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara asing jika bank yang menjualnya atau masyarakat yang akan membelinya.Kurs beli adalah perbandingan nilai tukar mata uang asing jika bank yang akan membelinya atau masyarakat yang akan menjualnya.

2. Fungsi Nilai Tukar

Penentuan sistem nilai tukar merupakan suatu hal yang penting bagi

perekonomian suatu negara yang merupakan alat yang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengisolasi perekonomian suatu negara dari gejolak perekonomian global. Pada dasarnya kebijakan nilai tukar yang ditetapkan suatu negara mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu:

a. Berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran, dengan sasaran akhir menjaga kecukupan cadangan devisa.

b. Berfungsi untuk menjaga kestabilan pasar domestik. Tujuannya adalah agar nilai tukar tidak dijadikan alat untuk spekulasi. Dalam arti bahwa dalam hal nilai tukar suatu negara mengalami overvalued maka masyarakat akan mendorong menjual valuta asing.


(35)

c. Berfungsi sebagai instrumen moneter khususnya bagi negara yang menetapkan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dalam fungsi ini depresiasi dan apresiasi nilai tukar digunakan alat sebagai sterilisasi dan ekspansi jumlah uang beredar. d. Berfungsi sebagai nominal anchor dalam pengendalian inflasi. Nilai tukar

banyak digunakan oleh negara-negara yang mengalami chronic inflation sebagai nominal anchor baik melalui pengendalian depresiasi nilai tukar maupun dengan memp-peg-kan nilai tukar suatu negara dengan satu mata uang asing.

3. Sistem Nilai Tukar

Setidaknya ada empat prinsip yang menjadi acuan dasar dalam memperkirakan perilaku kurs valuta asing yaitu perbedaan laju inflasi domestik dan luar negeri, perbedaan suku bunga domestik dan luar negeri, serta neraca transaksi berjalan. Selain iu perubahan nilai tukar mata uang asing juga dipengaruhi oleh

cadangan devisa dan cadangan emas serta pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa sistem nilai tukar yang dikenal dalam pasar valuta asing, yaitu:

a. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate)

Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai tukar suatu mata uang sudah ditetapkan oleh otoritas moneter melalui mekanisme devaluasi atau revaluasi. Kelebihan sistem ini adalah terbatasnya ruang gerak untuk berspekulasi. Adapun

kelemahan sistem ini yakni kurangnya fleksibilitas mata uang jika terjadi perubahan-perubahan dalam pasar internasional. Selain itu, otoritas moneter harus memiliki cukup dana untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya.


(36)

b. Sistem Nilai Tukar Mengambang (Floating Exchange Rate).

Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem kurs tetap. Dalam sistem ini nilai tukar suatu mata uang diambangkan terhadap mata uang asing. Dengan

demikian, perubahan nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar, tanpa harus melibatkan campur tangan otoritas moneter. Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitasnya yang tinggi dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi pasar. Adapun kelemahan dari sistem ini adalah sangat besarnya peluang untuk berspekulasi, sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar.

c. Sistem Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate) Sistem ini dapat dinyatakan sebagai penggabungan antara sistem nilai kurs tetap dan sistem kurs mengambang. Dalam sistem ini nilai tukar suatu mata uang asing diambangkan dalam suatu batas intervensi (intervensi band). Otoritas moneter akan melakukan tindakan stabilisasi (intervensi) manakala nilai tukar mata uangnya telah melampaui batas yang ditetapkan dalam hal pencapaian suatu target moneter. Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitasnya yang cukup tinggi dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi pasar. Kelemahan sistem ini yaitu perlunya otoritas moneter memiliki cadangan dana yang cukup untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya.

Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan nonfundamental. Faktor fundamental tercermin dari variabel-variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, perkembangan ekspor impor, dan sebagainya. Sementara itu, faktor nofundamental antara lain berupa


(37)

sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi para pelaku pasar dalam “memperhitungkan” informasi, rumors, atau

perkembangan lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari. (Warjiyo, 2004)

4. Kebijakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi

Terdapat empat jalur transmisi utama yang menunjukan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian (Mishkin, 1995), yaitu: jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga asset, dan jalur kredit. Dalam prakteknya transmisi kebijakan moneter masing-masing negara berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang didasarkan pada perbedaan struktur perekonomian,

perkembangan pasar keuangan, dan sistem nilai tukar yang dianut. Mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia sangat dipengaruhi perubahan struktural dan kebijakan keuangan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebelum dan sesudah krisisekonomi tahun 1997. Pada periode sebelum krisis, penggunaan jalur suku bunga bekerja cukup baik dalam mentransmisikan kebijakan moneter pada berubahan suku bunga simpanan dan pinjaman.

Sementara itu, jalur nilai tukar tidak kuat peranannya mengingat pada periode sebelum krisis Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Dalam kondisi ini pergerakan nilai tukar cukup signifikan mempengaruhi perkembangan output riil dan harga. Nilai tukar merupakan salah satu jalur yang dapat menjelaskan perubahan tingkat harga pada suatu periode selain pertumbuhan jumlah uang beredar. Pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi penawaran dan permintaan agregat, yang selanjutnya berdampak pada output


(38)

dan harga. Besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap tingkat harga sangat di tentukan oleh sistem nilai tukar yang dianut suatu negara.

Di negara maju, dampak depresiasi nilai tukar terhadap permintaan dalam negri adalah positif, sesuai dengan konsep dasarnya. Untuk kasus indonesia, hal ini tidak terjadi. Karena struktur industri di Indonesia baik yang berbasis ekspor maupun berbasis pada pasar dalam negeri memiliki import content yang tinggi pada komponen produksinya. Selain itu, struktur kredit di indonesia pada saat sebelum krisis memiliki kontribusi pinjaman luar negri sekitar 20% akan mengakibatkan capital cost industri di Indonesia sangat elastis terhadap perubahan nilai tukar.

Jalur transmisi “dampak langsung” nilai tukar terhadap inflasi adalah melalui barang-barang impor (imported inflation). Barang-barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi melalui impor barang konsumsi tergolong ke dalam first direct pass throught, karena harga impornya dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri. Saat ini komposisi terbesar dari barang-barang impor tersebut adalah bahan baku, yaitu sekitar 75% dari total impor. Sehingga walaupun tidak semua hasil produksi yang menggunakan bahan baku impor tersebut dikonsumsi di dalam negeri, terdapat indikasi yang kuat bahwa tekanan inflasi dari pengaruh perubahan pergerakan nilai tukar sebagian besar di sumbang oleh perubahan harga impor bahan baku tersebut.


(39)

Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Bank Indonesia. BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia melalui rapat dewan gubernur yang diadakan setiap bulan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank. Pergerakan di suku bunga PUAB ini

diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.

Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Mekanisme penetapan BI Rate ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dilakukan oleh Dewan Gubernur setiap bulan melalui mekanisme rapat dewan gubernur (RDG). Kebijakan moneter berupa BI Rate ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan rapat dewan gubernur berikutnya. Penetapan respon kebijakan moneter (BI Rate) ini dilakukan dengan memperhatikan efek tunda


(40)

kebijakan moneter dalam memengaruhi inflasi. Apabila ternyata terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan sebelum RDG bulanan melalui RDG mingguan.

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps)). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap

pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate). Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek yang merupakan sasaran

operasional kebijakan moneter. Sejak 9 Juni 2008, BI menggunakan suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB)1 overnight (o/n) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.

Agar pergerakan suku bunga PUAB o/n tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter (OM).


(41)

Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. OPT dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia, sementara Standing Facilities dilakukan atas inisiatif bank.

PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank Lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter (OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang

dilakukan tidak melalui lantai bursa.

Transaksi PUAB dapat berjangka waktu dari satu hari kerja (overnight) sampai dengan satu tahun, namun pada praktiknya mayoritas transaksi PUAB berjangka waktu kurang dari 3 bulan. Sedangkan respon suku bunga deposito baru muncul setelah 7–8 bulan. Faktor lain yang turut berpengaruh dalam penentuan suku bunga di Indonesia adalah kondisi likuiditas yang berdampak pada suku bunga PUAB dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang akan mendorong arus modal masuk sehingga pengaruhnya terhadap suku bunga deposito dan suku bunga kredit lebih kecil.


(42)

Gambar 5. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter

Ada tiga teori yang menjelaskan hubungan antara suku bunga yang berbeda jangka waktu (Laksmono, 2001). Yang pertama, Segmented Market Theory, mengatakan bahwa masing-masing instrumen dengan jangka waktu berbeda ditentukan oleh pasar yang berbeda dengan permintaan dan pasokan pasar yang berbeda. Teori ini mengasumsikan peminjam dan pemberi pinjaman memiliki preferensi terhadap jangka waktu tertentu. Dalam teori ini diasumsikan bahwa peminjam dan pemberi pinjaman tidak berpindah dari satu pasar ke pasar lain sehingga instrumen dengan jangka waktu berbeda tidak dapat saling berganti. Pendapatan di setiap pasar dianggap tercipta dari permintaan dan pasokan di pasar tersebut.

Expectation Theory menganggap instrumen jangka waktu berbeda dapat saling berganti secara sempurna. Suku bunga merupakan rata-rata ekspektasi suku bunga jangka pendek selama periode instrumen jangka panjang. Teori ini menjelaskan perbedaan term structure of interest rate dari waktu ke waktu dan


(43)

juga menerangkan kecenderungan suku bunga instrumen jangka waktu yang berbeda bergerak searah karena adanya pergantian.

Preferred Habitat Theory mengatakan bahwa suku bunga jangka panjang merupakan rata-rata ekspektasi suku bunga jangka pendek sepanjang periode instrumen jangka panjang ditambah dengan liquidity premium yang besarnya tergantung pada kondisi penawaran dan permintaan saat itu. Teori ini

mengasumsikan adanya substitusi antar instrumen dan adanya preferensi investor atau instrumen tertentu yang disebut juga pergantian tidak sempurna. Dalam preferred habitat theory ini, suku bunga pada periode n sama dengan rata-rata dari ekspektasi suku bunga bulan ke depan selama periode n ditambah dengan premium. Adanya liquidity premium membedakan teori ini dengan lainnya. Umumnya peminjam dana menawarkan liquidity premium yang positif untuk menarik pembeli instrumen jangka panjang sebagai kompensasi atas resiko likuiditas yang lebih besar dibandingkan instrumen jangka pendek.

Salah satu faktor penting dalam menganalisa dan meramalkan tingkat suku bunga adalah inflasi. Pengertian inflasi dalam arti luas didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dalam tingkat harga umum. Inflasi dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito dalam peredaran banyak, dibandingkan dengan jumlah barang-barang serta jasajasa yang ditawarkan atau bila karena

hilangnya kepercayaan terhadap mata uang nasional, terdapat adanya gejala yang meluas untuk menukar dengan barang-barang (Winardi, 1995:235).


(44)

G.Produk Domestik Bruto (PDB)

Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menilai tingkat produksi suatu

Negara. Salah satu nya adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan nilai pasar yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu Negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan PDB ini, termasuk produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah Negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan

penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari PDB dianggap bersifat bruto/kotor.

Nilai PDB dibedakan menurut harga berlaku (current year price) dan harga konstan (base-year price). Menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan pada harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan, yang berarti termasuk kenaikan harga-harga ikut dihitung. Sedangkan menurut harga konstannilai barang dan jasa yang dihasilkan dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar (IHK = 100).

Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana sebuah perekonomian menggunakan sumberdaya yang langka, para ekonom mencoba memilah-milah komposisi PDB menjadi beberapa macam pengeluaran dirumuskan sebagai berikut:


(45)

Keterangan: Y = PDB

AE = Aggregate Expenditure = C + I + G C = Konsumsi

G = Government Expenditure I = Investasi

X-M = Selisih antara ekspor dan impor/ekspor neto

Komponen pertama yaitu konsumsi oleh sektor perorangan. Komponen kedua yaitu pembelian pemerintah atas barang dan jasa, mmisalnya saja pengeluaran untuk pertahanan nasional, pembuatan jalan oleh pemerintah pusat dan

pemerintah daerah, dan gaji pegawai negeri. Komponen ketiga yaitu investasi domestik bruto swasta yang berarti penambahan persedian fisik modal. Investasi mencakup pembangunan konstruksi rumah, pembuatan mesun, konstruksi pabrik, dan penambahan persediaan barang perusahaan. Komponen keempat menunjukkan pengaruh dari pengeluaran domestik atas barang-barang luar negeri dan pengaruh pengeluaran luar negeri atas barang-barang domestik terhadap permintaan agregat dan output domestik.

Total permintaan atas barang yang kita produksi meliputi ekspor, yaitu

permintaan orang asing atas barang-barang kita. Ini tidak termasuk impor, yaitu bagian dari pengeluaran domestik kita yang bukan digunakan untuk barang kita sendiri. Sesuai dengan hal tersebut, perbedaan antara ekspor dan impor, yang disebut ekspor netto merupakan komponen dari seluruh permintaan atas barang-barang kita


(46)

Dalam perhitungan pendapatan diketahui beberapa metode yaitu, : (1) metode pendapatan, (2) metode produksi, dan (3) metode pengeluaran.

1. Metode Pendapatan

Metode ini dapat diukur dengan dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga

konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.

2. Metode Produksi

Metode ini dapat diukur dengan dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi). Dalam metode produksi ini perlu dihindari peritungan ganda, agar jangan sampai memperoleh pendapatan nasional yang terlalu tinggi dari yang sebenarnya.

3. Metode Pengeluaran

Metode ini dapat diukur dengan mengukur konsep-konsep berikut, yaitu

a. Pengeluaran-pengeluaran konsumsi

b. Pengeluaran-pengeluaran investasi Ini merupakan pengeluaran-pengeluaran dari perusahaan-perusahaan untuk pabrik dan perlengkapannya.


(47)

c. Pengeluaran-pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa Ini merupakan pengeluaran pemerintah dalam hal pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Harga berubah dari wktu ke waktu, pendapatan nasional yang dihitung menurut harga-harga yang berlakupada tahun barang dan jasa tersebut diproduksi, dijual ke pasar tidak mencerminkan perubahan jumlah produksi barng dan jasaa yang sebenarnya dalam perekonomian. Untuk

membandingkan pendapatan nasiona dari tahun ke tahun, harus dipastikan agar nilai pendapatan nasional yang diperbandingkan tersebut berdasarkan harga tetap. Nilai produksi barang dan jasa berdasarkan harga yang tengah berlaku biasanya disebut pendapatan nominal. Untuk mengetahui ukuran produksi sesungguhnya setiap tahun, yakni produksi yang nilainya tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga, kita dapat menggunakan konsep pendapatan riil, yakni ukuran produksi seluruh barang dan jasa yang penilaiannya

didasarkan pada harga konstan (tetap).

Output gap adalah selisih pendapatan nasional nominal dengan pendapatan nasional riil, atau selisih pendapatan nominal (atas dasar harga berlaku) dengan pendapatan nasional riil (atas dasar harga konstan).

Ini merupakan pengeluaran-pengeluaran dari para konsumen untuk barang-barang konsumsi dan jasa-jasa. Perhitungan kenaikan PDB/GDP secara matematis adalah sebagai berikut:

R(t-1,t) = GDPt - GDPt-1 x 100%………2.3


(48)

Dimana:

R(t-1,t) = Persentase kenaikan GDP

GDPt = GDP tahun tertentu

GDPt-1 = GDP tahun sebelumnya

Output gap merupakan faktor penentu inflasi dan siklus moneter, serta menjadi faktor penentu pula bagi siklus laba perusahaan (corporate earnings cycle). Output gap merupakan selisih antara output ekonomi aktual dengan output potential. Output potensial adalah output maksimum yang dihasilkan ekonomi tanpa menimbulkan inflasi. Output potensial bergantung pada ketersediaan tenaga kerja dan modal dan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pertumbuhan kedua sumber daya tersebut serta tingkat produktivitas.

Output gap mempengaruhi laju inflasi, pergerakan suku bunga dan kegiatan ekonomi karena output gap mengukur tekanan terhadap sumber daya, tenaga kerja dan modal pada suatu periode. Jadi jika aktivitas ekonomi berada di bawah trend, maka tercipta ada slack dalam pasar tenaga kerja (di mana tingkat pengangguran lebih tinggi dari normal) maka perusahaan akan beroperasi dengan kapasitas ekstra. Hal ini cenderung mengakibatkan penurunan harga barang dan inflasi gaji karena tenaga kerja bersaing mendapatkan pekerjaan dan perusahaan berusaha memanfaatkan kapasitas ekstra yang dimilikinya dengan menawarkan barang produksinya dengan harga yang lebih kompetitif.


(49)

H.Metode Hodrick-Prescott Filter (HP)

Hodrick-Prescott (HP) Filter adalah salah satu metode yang cukup popular dalam mencari trend data ekonomi makro seperti GDP potensial. HP filter dapat digunakan mencari trend data GDP potensial berdasarkan data aktual GDP. Teknik ini meminimalisir kombinasi ukuran disekitar fluktuasi trend GDP potensial dan tingkat perubahan dalam trend GDP untuk keseluruhan sampel. GDP potensial dalam HP filter merupakan nilai seri yang

meminimalisir ekspresi sebagai berikut:

Dimana Y dan Y* adalah GDP actual dan Potensial secara berturut-turut, λ merupakan faktor pembobot penentuan kelenturan trend. Hodrick dan Prescott merekomendasikan λ = 1600 untuk data kuartalan dan λ = 100 untuk data tahunan.

I. Tinjauan Empiris

Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi sejumlah indikator atau variabel yang memiliki kandungan informasi terhadap inflasi di Indonesia. hubungan antara inflasi dengan beberapa variabel makro lainnya, sangatlah sulit untuk mengamati perilaku suku bunga itu sendiri secara spesifik. Apalagi mengingat Indonesia sebagai negara dengan perekonomian kecil dan terbuka sangat peka terhadap goncangan dari luar.


(50)

Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai inflasi, khususnya penelitian-penelitian dari luar negeri. Rizki E. Wimanda (2009) meneliti tentang variabel-variabel informasi yang memiliki kandungan terhadap inflasi di Indonesia dengan model threshold. Temuannya adalah bahwa pemahaman mengenai threshold effect dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar (M1) terhadap inflasi di Indonesia. Dengan menggunakan data bulanan dari 1980:01 sampai 2008:12 model ini memberikan bukti yang kuat bahwa terdapat threshold effect dari pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi, namun tidak ditemukan threshold effect antara depresiasi nilai tukar dan inflasi.

Menurut penelitian Neny dan Richard (2002) Dalam pembentukan suku bunga perbankan, unsur ekspektasi inflasi masih diperhitungkan kecil. Sedangkan faktor lainnya masih lebih besar, seperti: kondisi likuiditas perbankan, pengelolahan perbankan yang kurang efisien, tersegmentasinya perbankan. penelitian tersebut lebih menekankan pada nominal suku bunga jangka pendek tertentu terhadap tingkat inflasi, dan belum mengukur kandungan ekspektasi inflasi di dalam suku bunga tersebut.

Sejalan dengan itu Banu (2012) menyimpulkan bahwa BI Rate merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi agar tetap terjaga sesuai dengan target inflasi. Lebih lanjut ketika inflasi telah berada dalam level yang rendah dan stabil, maka BI Rate dapat dipatok pada level yang rendah agar dapat meningkatkan kegiatan perekonomian di sektor riil.


(51)

Menurut Weera Prasertnukul, Makoto Kakinaka, dan Donghun Kim (2008) menemukan bahwa reformasi kebijakan dengan mengadopsi inflasi penargetan umumnya membantu mengurangi pass-through di Korea dan Thailand,

sementara hasilnya kurang jelas di Indonesia dan Filipina. Namun, Temuan menunjukkan bahwa penargetan inflasi telah menyebabkan penurunan volatilitas nilai tukar dalam semua empat negara. Pelajaran penting dari pengalaman negara-negara Asia adalah bahwa penerapan penargetan inflasi berkontribusi untuk mencapai tujuan akhir inflasi stabilitas melalui

pengurangan nilai tukar pass-through atau variabilitas.

Tabel 1. Tabulasi ringkas hasil beberapa penelitian sebagai rujukan No Peneliti Judul

Penelitian/ Tahun

Variabel/ Alat Analisis

Model Kesimpulan

1. Rizki E.

Wimanda Inflation and monetary policy rules: evidence from Indonesia 2009

CPI, output gap, nilai tukar, dan M1

yt=β’ jxt

+δIztI (tht ≤ λ)

+ δ2ztI (tht >

λ) +µt

Paper ini memberikan kontribusi pada literatur yang ada dimana penentuan threshold dilakukan dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Hansen (1997, 2000). Teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi kemungkinan nilai threshold lainnya. Apabila nilai threshold ditetapkan satu, padahal sebenarnya terdapat lebih dari


(52)

satu, maka nilai koefisiennya dapat under/over estimate. Paper ini memberikan pemahaman mengenai threshold effect dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar (M1) terhadap inflasi di Indonesia. Dengan menggunakan data bulanan dari 1980:01 sampai 2008:12 model ini memberikan bukti yang kuat bahwa terdapat threshold effect dari

pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi, namun tidak ditemukan

threshold effect antara depresiasi nilai tukar dan inflasi.

2. Weera Prasertnukul , Makoto Kakinaka, dan Donghun Kim Exchange Rates, Price Levels, and Inflation Targeting: Evidence from Asian Countries. 2008. Indek harga bulanan,dan dua variabel dammy(nilai tukar mengambang dan inflasi targeting)

it ∆ln Pt = β0 + β1∆ln Et + β2 ∆ln Pt* + β3∆ln Pt 1 + β4

∆ln Et ×FLT+ β5 ∆ln Pt −1 ×FLT

+ β6∆ln Et ×DIT+

β7 ∆ln Pt −1 ×DIT+

β8i xi + Єt

Penargetan inflasi dapat memiliki efek yang penting pada nilai tukar pass-through dan volatilitas nilai tukar, dengan menggunakan data dari empat negara Asia krisis menderita: Indonesia, Korea, Filipina, dan Thailand. Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil


(53)

dari pengalaman negara-negara adalah bahwa penargetan inflasi telah membantu mencapai tujuan utama stabilitas harga melalui penurunan nilai tukar pass-through atau volatilitas nilai tukar, pelengkap mungkin untuk penurunan

diharapkan inflasi. Hasil lain yang penting adalah bahwa tidak ada bukti bahwa mengadopsi 18 penargetan inflasi kenaikan volatilitas nilai tukar nominal, sedangkan

reformasi moneter ke arah rezim mengambang menimbulkan volatilitas nilai tukar. Hasil kami menunjukkan bahwa komitmen bank sentral untuk inflasi yang rendah merupakan faktor penting dalam menentukan nilai tukar pass-through dan volatilitas. Untuk melestarikan kredibilitas rezim penargetan inflasi-, penargetan inflasi bank sentral harus membuat kebijakan moneter mereka lebih akuntabel dan transparan.


(54)

3. Taylor The robustness and efficiency of monetary policy rules as guidelines for interest rate setting by the European central bank. 1999 Suku bunga nominal jangka pendek, output gap, inflasi

yt = -β(it–πt

– r) + ut

πt= πt-1 + αy t-1 + et

it = gππt + gyyt + g0

Penelitian yang dilaporkan di sini menunjukkan efisiensi dan kekokohan aturan kebijakan

sederhana di mana reaksi suku bunga terhadap inflasi berada di atas ambang batas kritis. Hal tersebut terlihat dengan mencakup aturan dengan koefisien yang lebih tinggi dan lebih rendah pada output serta

variabel tertinggal. Bahkan, dalam mengusulkan aturan kebijakan patokan pada tahun 1992 agar aturan ini dapat digunakan dalam hubungannya dengan portofolio aturan kebijakan lainnya.

4. Aaron Mehrotra, Tuomas Peltonen and Alvaro Santos Rivera Modelling inflation in China – a regional perspective 2007 Output agregat, pengeluaran agregat,inflas i,dan uang beredar

pt = αpt 1 + (1−α) pt *

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa

Perkembangan inflasi provinsi di Daratan China Dengan

menggunakan data tahunan untuk 29 provinsi untuk periode reformasi 1978-2004, analisis ini menyoroti pentingnya bervariasi dari output gap dan ekspektasi inflasi untuk pembentukan inflasi di seluruh


(55)

provinsi. Penelitian ini menemukan bahwa

komponen inflasi ke depan secara statistik signifikan di 22 dari 29 provinsi, menyoroti

pentingnya variabel ini untuk proses pembentukan inflasi China. Namun demikian, beragamnya tingkat signifikansi statistik koefisien yang diperkirakan, terutama untuk output gap, menunjukkan bahwa ada juga perbedaan penting dalam proses inflasi di seluruh provinsi. Khususnya, semua provinsi di mana kedua komponen inflasi ke depan dan output gap yang signifikan secara statistik, yang terletak di pantai China.

5. Jonathan McCarthy pass-through of exchange rates and import prices to domestic inflation in some industrialized economis 2006 the inflation rates of country i in period t at each of the three stages— import, producer (PPI), and consumer (CPI)

π m

it= Et-1(

πm

it+ α1iεsit+

α2iεdit+ α3i

εe it+ εnit

Menggunakan model VAR yang

menggabungkan rantai distribusi, saya menemukan bahwa pass-through untuk harga konsumen agregat, yang merupakan perhatian utama untuk kebijakan moneter, tampaknya sederhana di sebagian besar negara-negara ini.


(56)

Namun, faktor-faktor ini tidak memiliki efek disinflasi selama akhir 1990-an di banyak negara-negara, dengan pengecualian terkemuka dari AS. Ini Hasil yang terakhir bagi AS mungkin yang paling mengejutkan, karena Gordon [1998], Stock [1998], dan Koenig [1998] menemukan bahwa semua faktor eksternal

meningkatkan proyeksi inflasi harga konsumen AS pada pertengahan hingga akhir 1990-an. Aku atribut perbedaan ini untuk metodologi yang berbeda. Sebaliknya, perilaku yang tidak biasa (setidaknya menurut model) terjadi pada harga minyak dan perilaku penentuan harga, sehingga harga minyak, PPI, CPI dan guncangan yang ditemukan menjadi kontributor utama. Dengan demikian, latihan ini menampilkan pentingnya memeriksa pass-through hubungan yang lebih luas dalam sistem daripada melalui satu persamaan.

Berdasarkan penemuan-penemuan di atas, maka peneliti mencoba untuk dapat menemukan kesesuaian variabel-variabel yang dapat mempengaruhi inflasi


(57)

dengan mengambil beberapa variabel yang telah ditemukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas adalah peneliti mengganti atau menambahkan tahun dan bulan yang sedang diteliti.


(58)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari data publikasi Bank Indonesia berupa Statistik Ekonomi Moneter, Laporan Kebijakan Moneter, Laporan Perekonomian Indonesia, Badan Pusat Statistik dan sumber lain baik nasional maupun internasional yang

berhubungan dengan bahasan masalah dalam penelitian ini. Untuk pendekatan masalah dalam penelitian ini digunakan data bulanan (time series) selama periode bulan Juli 2005 hingga bulan April 2013 dan diperoleh 94 observasi, data-data pada tahun tersebut dianggap peneliti sangat

berfluktuasi sehingga diharapkan akan mendapat hasil yang signifikan.

Tabel 2. Deskripsi data yang digunakan dalam penelitian Nama Data Satuan pengukuran Selang periode

runtun waktu Sumber Data

Inflasi CPI Persen Bulanan BPS / BI

Output Gap Persen Bulanan BI

Nilai Tukar Rupiah per Dolar AS Bulanan IMF / BI


(59)

B. Batasan Variabel

Batasan atau definisi variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Inflasi (INF)

Inflasi yang digunakan adalah tingkat inflasi Indonesia dari Indeks Harga Konsumen (IHK) berupa data bulanan yang berbentuk dalam satuan persen.

2. Nilai Tukar atau Exchange Rate (ER)

Kurs yang digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia dalam mata uang Rupiah terhadap Dolar AS dalam satuan Rupiah per Dolar AS.

3. Tingkat Suku Bunga (BI Rate)

Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga nominal Bank Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa data bulanan dalam satuan persen.

4. Output Gap

Output Gap adalah selisih antara GDP aktual dengan GDP potensial yang dihitung dengan metode HP (Hodrick Prescott) filter dalam satuan milyaran Rupiah.

Semua data yang digunakan dalam penelitian di-log-kan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan satuan nilai untuk masing-masing variabel tidak sama, maka perumusan model digunakan metode double log. Penggunaan logaritma di sini juga dilakukan untuk mempermudah dalam penyelesaian analisa, dan hasil analisa akan lebih bermakna. (Damor Gujarati; 1991). Nilai koefisien yang diperoleh masing-masing variabel bebas juga sudah mencerminkan besaran


(60)

elastisitas sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan interpretasi hasil perhitungan. Selain dari pada itu, model ini sering digunakan untuk mengatasi problem regresi yang semula diduga linier ternyata tidak terbukti bahwa persamaannya linier, yaitu dengan melakukan transformasi dengan jalan menghitung a maupun b berdasarkan logaritma atas nilai Y.

C. Alat Analisis

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis stokastik yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel atau lebih. Dengan penelitian asosiatif dapat dibangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala/fenomena. Sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ECM (Error Correction Model). ECM merupakan teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang yang dikenalkan oleh Sargan dan dipopulerkan oleh Engle dan Granger. Model ekonomi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

INF = f ( ER, BI, OG)

Model umum dari ECM adalah sebagai berikut :


(61)

Model ECM dalam penelitian ini adalah :

INFt = β0 + β1Δ ERt + β2ΔBIt + β3ΔOGt + β5ECt Dimana,

INFt = Inflasi pada bulan ERt = Nilai Tukar pada bulan

BIt = Suku Bunga Bank Indonesia pada bulan OGt =Output Gap pada bulan

ECt = Variabel eror pada bulan , , dan,

β

3 merupakan parameter.

D. Metode Analisis Data

1. Uji Stationer ( Unit Root Test )

Permasalahan yang sering muncul dalam analisis time series adalah permasalahan mengenai stationary data. Hal ini perlu diperhatikan karena variabel yang tidak stasionary akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antar variabel padahal hal tersebut tidak lain adalah hubungan

contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal. Analisis diawali dengan pengujian stationary masing-masing variabel dengan menggunakan Uji Phillips-Perron (PP) yaitu dengan menggunakan pendekatan nonparametrik untuk mengatasi autokorelasi tanpa menambahkan bentuk lag pada model. Ketidakstasioneran data diketahui dengan melihat peluang nilai uji-τ (tau)


(62)

lebih dari 5%, sehingga anda terima hipotesis nol yaitu δ = 0, ini berarti ρ = 1

(Gujarati, 2003: 814-818).

Pada umumnya data time series sering kali tidak stasionary pada level series. Jika hal ini terjadi, maka kondisi stasionary dapat terjadi dengan melakukan differensiasi satu kali atau lebih. Apabila data telah stasionary pada level series, maka data tersebut adalah integrated of order zero atau I(0). Apabila data stasionary pada first difference level maka data tersebut adalah

integrated of order one I(1). Prosedur pengujian stasionary data adalah sebagai berikut :

1. Langkah pertama dalam uji unit root adalah melakukan uji terhadap level series. Jika hasil uji unit root menolak hipotesis nol bahwa ada unit root. berarti series adalah stationary pada tingkat level atau dengan kata lain series terintegrasi pada I(0).

2. Jika semua variabel adalah stationary, maka estimasi terhadap model yang digunakan adalah dengan regresi OLS.

3. Jika dalam uji terhadap level series hipotesis ada unit root untuk seluruh series diterima, maka pada tingkat level seluruh series adalah nonstationary.

4. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji unit root terhadap first difference dari series.

5. Jika hasinya menolak hipotesis adanya unit root, berarti pada tingkat first difference, series sudah stationary atau dengan kata lain semua series


(63)

terintegrasi pada orde I(1), sehingga estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode kointegrasi.

6. Jika uji unit root pada level series menunjukkan bahwa tidak semua series adalah stationary, maka dilakukan first difference terhadap seluruh series.

7. jika hasil uji unit root pada tingkat first difference menolak hipotesis adanya unit root untuk seluruh series, berarti sekuruh series pada tingkat first difference terintegrasi pada ordo I(0), sehingga estimasi dilakukan dengan metode regresi OLS pada tingkat first difference-nya.

8. Jika hasil uji unit root menerima hipotesis adanya unit root, maka langkah berikutnya adalah melakukan diferensiasi lagi terhadap series sampai series menjadi stationary, atau series terintegrasi pada ordo I(d).

Untuk mengetahui stationary data, digunakan Phillips-Perron unit root test. Jika hasil uji menolak hipotesis adanya unit root untuk semua variabel, berarti semua variabel adalah stationary atau dengan kata lain variabel-variabel terkointegrasi pada I(0), sehingga estimasi akan dilakukan dengan menggunakan regresi linier biasa (OLS).

Jika hasil uji unit root terhadap level dari variabel-variabel menerima hipotesis adanya unit root, maka berarti bahwa semua data adalah tidak stationary atatu semua variabel terintegrasi pada orde I(1). jika estimasi dengan menggunakan teknik OLS dipaksakan, maka dapat terjadi regresi yang palsu (spurious regression). Jika semua variabel adalah tidak


(64)

stationary, estimasi terhadap model dapat dilakukan dengan teknik kointegrasi.

Prosedur langkah-langkah penggunaan model analisis Ordinary Least Square dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:

Gambar 6. Bagan Prosedur analisis metode Ordinary Least Square (OLS) Sumber: Diadaptasi dari Gujarati (2003)

2. Uji Kointegrasi

Keberadaan variabel non-stasionary menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem ECM. Berkaitan dengan hal ini, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi ECM adalah uji

DATA

Uji Unit Root

Tidak Semua Data stationary

Semua Data di-first difference-kan

Metode (OLS) Semua data stationary = I(1)

Uji Unit Root

Semua Data Stasionary (Tidak Ada Unit Root)=I(0) Semua Data Tidak stationary

(Ada unit root)=I(d)

Teknik Kointegrasi

ECM Metode


(65)

kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Konsep kointegrasi adalah hubungan linier antar variabel yang tidak stationary. Salah satu catatan penting mengenai kointegrasi adalah seluruh variabel harus terintegrasi pada orde yang sama.

Jika ada dua variabel yang terintegrasi pada orde yang berbeda, maka kedua variabel ini tidak mungkin berkointegrasi (Enders, 1995: 358-360). Jadi sebelum melakukan uji kointegrasi, seluruh variabel harus terintegrasi pada orde yang sama. Uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan metode Engle dan Granger. Dari hasil estimasi regresi akan diperoleh residual. Kemudian residual tersebut diuji stationary-nya, jika stationary pada orde level maka data dikatakan terkointegrasi.

Setelah melakukan uji regresi kointegrasi dan hasil pada model kointegrasi atau dengan kata lain mempunyai hubungan atau keseimbangan jangka panjang. Bagaimana dengan jangka pendeknya, sangat mungkin terjadi ketidakseimbangan atau keduanya tidak mencapai keseimbangan. Teknik untuk mengoreksi keetidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang disebut dengan Error Correction Model (ECM), yang

dikenalkan oleh Sargan dan dipopulerkan oleh Engle-Granger.

3. Uji Error Correction Model (ECM)

Setelah melakukan uji regresi kointegrasi dan hasil pada model kointegrasi atau dengan kata lain mempunyai hubungan atau keseimbangan jangka panjang. Bagaimana dengan jangka pendeknya, sangat mungkin terjadi ketidakseimbangan atau keduanya tidak mencapai keseimbangan. Teknik


(66)

untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang disebut dengan Error Correction Model (ECM), yang dikenalkan oleh Sargan dan dipopulerkan oleh Engle-Granger. Model ECM mempunyai beberapa kegunaan namun yang paling utama bagi pekerjaan ekonometrika adalah mengatasi masalah data time series yang tidak stationary dan masalah regresi lancing (spurious regression).

E. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas

Uji normal diperlukan untuk mengetahui kenormalan galat (error term) dan variabel-variabel, baik variabel bebas maupun terikat, apakah data sudah menyebar secara normal. Uji normalitas dapat dilihat dengan metode Jarque-Bera (JB). Metode JB didasarkan pada sampel besar yang diasumsikan bersifat Asymptotic. Uji statistik dari JB ini menggunakan perhitungan skewness dan kurtosis. Formula uji statistik J-B yaitu:

JB = n { S

2

/6 + (K

3)

2

/24}

Dimana S adalah koefisien Skewness dan K adalah koefisien Kurtosis.

Dikutip dari Widarjono (2007: 54), jika suatu variabel didistribusikan secara normal maka koefisien S = 0 dan K = 3. Oleh karena itu, jika residual terdistribusi secara normal maka diharapkan nilai statistik JB akan sama dengan nol. Nilai statistik JB ini didasarkan pada distribusi chi squares dengan derajat kebebasan (df = k). jika nilai probabilitas ρ dari statistik JB


(67)

besar atau dengan kata lain jika nilai statistik dari JB ini tidak signifikan maka menerima hipotesis bahwa residual mempunyai distribusi normal karena nilai statistik JB mendekati nol. Sebaliknya jika nilai probabilitas ρ dari statistik Jb kecil atau signifikan maka menolak hipotesis bahwa residual mempunyai ddistribusi normal karena nilai statistik JB tidak sama dengan nol.

Ho : data tersebar normal Ha : data tidak tersebar normal Kriteria pengujiannya adalah :

(1) Ho ditolak dan Ha diterima, jika nilai JB > χ2- table (Chi square) (2) Ho diterima dan Ha ditolak, jika nilai JB < χ2- table (Chi square) Jika Ho ditolak, berarti data tidak tersebar normal. Jika Ho diterima berarti data tersebar normal.

2. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah keadaan jika satu variabel bebas berkorelasi dengan satu atau lebih variabel bebas yang lainnya, dalam hal ini berkorelasi

sempurna atau mendekati sempurna, yaitu koefisien korelasinya satu atau mendekati satu (Gasperzt,1991). Konsekuensi penting untuk model regresi yang mengandung multikolinearitas adalah kesulitan yang muncul dalam memisahkan pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Akibatnya model regresi yang diperoleh tidak tepat untuk menduga nilai variabel tak bebas pada nilai variabel bebas tertentu.


(1)

82

4. Inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel makro nilai tukar, suku bunga BI rate, dan kesenjangan output.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Suku bunga dalam jangka pendek yang mempunyai pergerakan yang searah dan signifikan dibandingkan dengan jangka panjang sehingga dapat di jadikan tolok ukur bagi ekspektasi inflasi, maka melalui karya tulis ini penulis memberikan saran agar hendaknya pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan suku bunga BI rate karena erat hubungannya dengan naiknya tingkat inflasi, terutama dalam jangka pendek. Semakin tinggi suku bunga inflasi juga semakin tinggi

2. Disarankan agar penelitian selanjutnya memasukkan variabel-variabel

makroekonomi lainnya misalnya pertumbuhan uang beredar (M1) atau (M2) dan neraca pembayaran agar diperoleh hasil yang lebih baik dan signifikan terhadap dampak pergerakan nilai tukar, tingkat suku bunga BI Rate, dan kesenjngan output di Indonesia. Disarankan menggunakan metode penelitian Vector Auto Regression (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM) untuk

mengetahui keterkaitan variabel-variabel makro ekonomi yang digunakan dalam penelitian.


(2)

83

3. Nilai Tukar merupakan salah satu intrumen yang dapat menentukan pergerakan inflasi jangka pendek maupun jangka panjang. Saran peneliti supaya peneliti selanjutnya dapat menggunakan nilai tukar nominal agar hasilnya lebih segnifikan. Kepada pemerintah agar dapat mengontrol nilai tukar agar inflasi dapat terkendali.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianus,Fery dan Niko,Amelia. 2006. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 1997;3-2005:2”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Hal. 173-186

Atmaja, Adwin. 1999. “Inflasi di Indonesia: Sumber-Sumber Penyebab dan Pengendaliannya”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol.1, No.1, Mei. Hal. 54 – 67.

Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, berbagai edisi, Jakarta.

Boediono (1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat; Yogyakarta, BPFE.

Boediono. (1996). Ekonomi Moneter. Edisi Ketiga, Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Boediono, (1994). Ekonomi Makro.Penerbit BPFE. Yogyakarta

Boediono. (1992). Ekonomi Moneter. Edisi Kedua, Penerbit BPFE, Yogyakarta. Camargo, Filho, Dullius And Malafaia. 2010. Transfer Function And Intervention

Models For The Study of Brazilian Inflationary Process: African Journal of Business Management Vol.4 (5), pp. 578-582

Enders, Walter.(1995). Applied Econometric Time Series . John Wiley and Sons. Terjemah Erlangga. Jakarta.

Erenawati, Neny And Llewwelyn, Richard. 2002. Analisa Pergerakan Suku Bunga dan Laju Ekspektasi Inflasi Untuk Menentukan Kebijakan Moneter di Indonesia: Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. Universitas Kristen Petra, Surabaya. Vol. 4: 98 – 107

Fry, Maxwell J. 1981. Inflation, Growth And Exchange Rates: Federal Reserve Bank Of San Francisco: Economic Review

Gibbs, Darren. 1995. Potential Output: Concepts and Measurement : Labour Market Bulletin: 1 pages 72 – 115


(4)

Gujarati, D. 2003. Dasar-dasar ekonometrika. Erlangga, Jakarta.

Gul, Ekrem And Ekinci, Aykut. 2006. Modelling Inflation in China – a Regional Perspective: Bilecik School of Economics and Administrative Sciences, Dumlupinar University, Turkey. Hal. 162

Hanafi, M M. 2003. Manajemen Keuangan Internasional. BPFE. Yogyakarta. Hasibuan, H Malayu. 2001. Dasar Dasar Perbankan. Cetakan Pertama PT. Bumi

Aksara. Jakarta.

Laksmono, Didi R. 2001. “Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi

Inflasi”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Maret. hal. 130-137. Mankiw, Gregory N.(2006). Principles of Economics, Pengantar Ekonomi Mikro.

Penerbit Salemba Empat, edisi ketiga. Hal. 128.

Mehrotra, Peltonen, And Rivera. 2007. Modelling Inflation in China – A Regional Perspective: Bofit Discussion Papers

Muelgini, Yoke, Imam Awaludin dan Nusyirwan. (2004). “Efek Transmisi Domestik Dan Internasional Terhadap Inflasi di Indonesia,” Makalah

Seminar Akademik Tahunan Ekonomi II, kerja sama antara FEUI dan BI, Jakarta.

Nezhad, M Z and Zarea R. 2007. Investigating the Causality Granger

Relationship Between the Rates of Interest and Inflation in Iran : Journal of Social Science 3(4): 237-244

Prasertnukul, Kakinaka and Kim. 2008. Exchange Rates, Price Levels, and Inflation Targeting: Evidence from Asian Countries

Sargent, Thomas J. 1974. Interest Rates and Expected Inflation: A Selective Summary of Recent Research: NBER

Sarwono, H.A dan Peri Warjiyo. 1998.Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel:Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia, Bulletin Ekonomi dan Moneter Perbankan.

Sukirno, Sadono. “Makroekonomi Teori Pengantar”. Edisi Ketiga. Rajawali Pers. Jakarta. 2003

Univesitas Lampung. 2009. Format Penulisan Karya Ilmiah. Penerbit Universitas Lampung. Bandar lampung.

Warjiyo, Perry. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Jakarta.


(5)

Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika : Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Penerbit Ekonisia FE – UII. Yogyakarta

Yodiatmaja, Banu. 2012. Hubungan Antara Bi Rate Dan Inflasi Periode Juli 2005 – Desember 2011 : Uji Kausalitas Toda – Yamamoto: Economics

Development Analysis Journal 1 Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia


(6)