PENURUNAN BI RATE DAN SUKU BUNGA PERBANK

PENURUNAN BI RATE DAN SUKU
BUNGA PERBANKAN
by Trinandari PN · 4 May 2016
Sumber:https://dosen.perbanas.id/penurunan-bi-rate-dan-suku-bunga-perbankan/
Sudah 3 (tiga) kali Bank Indonesia terus memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sepanjang
satu kuartal pertama Tahun 2016. Keputusan Bank Indonesia untuk memangkas atao
menurunkan acuan suku bunga (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen, pada
Maret 2016. Dengan harapan seluruhya bunga acuan ini diikuti dengan pengurangan suku
bunga kredit perbankan serta likuiditas menyebar ke sektor riil guna mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan dana pihak ketiga akan mengalami
kenaikan dan laju peningkatan ekspansi kredit perbankan yang sempat melemah pada tahun
lalu akan kembali membaik ke posisi 15%-17% pada kwartal 1/2016.
1. Suku Bunga Acuan (BI Rate)
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate
diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan
dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui
pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran
operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar

Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan
akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga
kredit perbankan. Dengan menurunkan BI Rate maka Bank Indonesia telah menerapkan
kebijakan moneter yang agak longgar. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga
kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut terjadi
melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil.
Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, setidaknya melalui 4 jalur,
yaitu jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.
Gambar. Mekanisme perubahan BI Rate

Sumber : http://www.bi.go.id
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku
bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia
dapat menggunakan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga untuk mendorong
aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit akan
direspon oleh dunia usaha dan rumah tangga melalui meningkatnya permintaan kredit

perbankan. Dengan peningkatan tersebut maka investasi oleh dunia usaha dan konsumsi oleh
rumah tangga akan meningkat, ceteris paribus. Penurunan suku bunga kredit juga akan
menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan
meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin
bergairah.
Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering
disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan menjadikan suku bunga di
Indonesia lebih tinggi dibandingkan suku bunga di luar negeri. Kondisi ini akan mendorong
investor asing untuk menanamkan modal dengan membeli surat-surat berharga ke dalam
instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi, ceteris paribus. Aliran modal masuk asing ini pada
gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Meningkatnya kurs rupiah akan
menjadikan harga produk impor lebih murah dan produk ekspor lebih mahal, sehingga akan
mendorong impor dan mengurangi ekspor. Gilirannya nilai impor akan lebih tinggi dari nilai
ekspor. Menurunnya selisih bersih ekspor dan impor (net-ekspor) tersebut akan berdampak
pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga
aset. Jika BI Rate turun dan menjadikan suku bunga perbankan menurun maka penurunan

tersebut akan menaikkan harga asset, misalnya saham dan surat-surat berharga lainnya.

Kondisi tersebut akan mendorong kemampuan pemilik asset untuk melakukan kegiatan
investasi dan konsumsi. Selanjutnya kegiatan tersebut akan mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi jalur ekspektasi
masyarakat akan inflasi. Perubahan BI Rate yang berdampak perubahan suku bunga
perbankan akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian. Penurunan
suku bunga akan mendorong investasi dan konsumsi. Meningkatnya kegiatan ekonomi
tersebut cenderung mendorong terjadinya inflasi. Masyarakat, dalam hal ini pekerja, akan
mengantisipasi meningkatnya inflasi tersebut dengan meminta kenaikan upah, ceteris paribus.
Kenaikan upah tersebut oleh pengusaha dapat dibebankan kepada konsumen melalui
kenaikan harga jual produk.
Upaya Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate dengan harapan agar suku bunga kredit
turun dan pada gilirannya akan menggairahkan investasi merupakan hal yang diperlukan
(necessary condition). Hal tersebut tidak cukup, harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan
lain yang dapat mendorong peningkatan investasi (sufficient condition). Kebijakan termaksud
antara lain iklim investasi yang sehat dan kompetitif, birokrasi yang pro investasi, serta
dukungan infrastruktur ekonomi baik dari aspek kuantitas dan kualitas. Dengan demikian
kebijakan moneter melalui instrumen BI Rate harus dibarengi secara simultan dengan
kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi yang lain oleh pemerintah agar dapat mencapai
sasaran yang optimal

Gambar. Pergerakan BI Rate 2010 – 2016

2. Tingkat Inflasi
Inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan
dari inflasi disebut deflasi. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi
adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008,
paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup
(SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS
akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan
di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di
setiap kota.
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian
inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural sehingga mampu
menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia pada umumnya akan
menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah
ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia,
berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank
Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan
Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi
tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012 sasaran inflasi yang ditetapkan oleh
Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masingmasing dengan deviasi ±1%.

Tabel. Inflation Report (Consumer Price Index)
Th 2014-2016
Tingkat Monthly Tingkat Monthly
Tingkat
Inflasi Growth
Inflasi Growth
Inflasi 2016
2014
2014
2015
2015
Januari 8.22 %

1.07% 6.96 %
-0.24% 4.14 %
Februari 7.75 %
0.26% 6.29 %
-0.36% 4.42 %
Maret
7.32 %
0.08% 6.38 %
0.17% 4.45 %
April
7.25 %
-0.02% 6.79 %
0.36%
Mei
7.32 %
0.16% 7.15 %
0.50%
Juni
6.70 %
0.43% 7.26 %

0.54%
Juli
4.53 %
0.93% 7.26 %
0.93%
Augustus 3.99 %
0.47% 7.18 %
0.39%
Bulan

September 4.53 %
Oktober 4.83 %
November 6.23 %
Desember 8.36 %
Total

0.27% 6.83 %
0.47% 6.25 %
1.50% 4.89 %
2.46% 3.35 %

8.36%

-0.05%
-0.08%
0.21%
0.96%
3.35%

Sumber : https://www.bps.go.id atau

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulanan pada Desember 2015
sebesar 0,96 persen, yang merupakan inflasi tertinggi sepanjang tahun lalu. Angka inflasi
pada Desember lalu tersebut, bahkan lebih tinggi dari inflasi pada Juli 2015 yang sebesar 0,93
persen akibat efek kenaikan harga barang-barang selama bulan puasa dan lebaran.
Penyebab tingginya inflasi dari komponen harga yang bergejolak pada Desember 2015 adalah
harga cabai merah dan bawang merah yang melonjak masing-masing 43 persen dan 36
persen. Momen Natal dan Tahun Baru yang memicu peningkatan permintaan, turut mengerek
harga daging dan telur ayam ras masing-masing 6,2 persen dan 9,17 persen. Begitu pula
dengan tarif angkutan udara yang naik 10,3 persen lantaran meningkatnya arus penumpang
selama musim liburan akhir tahun. Dari sisi komponen harga yang diatur pemerintah, inflasi

Desember 2015 dipengaruhi oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 1,8 persen.
Meski kenaikannya kecil, bobotnya mencapai 3,44 persen. Harga beras yang naik 0,6 persen
juga memiliki bobot 4 persen, sehingga memberi andil 0,03 persen terhadap inflasi Desember
2015.
Dengan penurunan inflasi, yang berdampak pada penurunan BI Rate semestinya akan
mendorong bunga kredit turun lebih cepat yang prosesnya berjalan sesuai pasar. Bila dari sisi
makro stabil, bunga perbankan akan menyesuaikan dengan sendirinya.

3. Suku Bunga Perbankan
Suku bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank, yang
berdasarkan prinsip konvesional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
Penurunan suku bunga acuan (BI Rate) secara bertahap akan segera diikuti turunnya suku
bunga kredit perbankan. Hal tersebut dilakukan karena terjadi pelambatan ekonomi yang
dikhawatirkan akan berimbas pada pelemahan nilai mata uang rupiah (fuktuasi nilai rupiah).
Sehingga diharapkan sektor riil dalam perekonomian Indonesia akan kembali bergerak lebih
cepat untuk meningkatkan investasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Penurunan BI Rate secara terukur diharapkan pula dapat memperkuat pelonggaran kebijakan
makro prudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah dilakukan
sebelumnya (16 Maret 2016) sebesar 7,50% menjadi 6,50% untuk mendukung upaya
memacu penyaluran kredit. Sebagaimana diketahui, Giro Wajib Minimum (GWM)

merupakan instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di
masyarakat. GWM merupakan likuiditas minimum yang wajib dijaga dan dipelihara oleh
setiap bank. penurunan GWM akan menambah likuiditas perbankan. Tujuannya agar bank

dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu.
Dengan begitu, penurunan BI rate bisa efektif mendorong penyaluran kredit perbankan.
Bank juga menurunkan suku bunga adalah langkah yang dapat menyelamatkan kegiatan
perbankan dan perekonomian secara menyeluruh. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini,
kebijakan suku bunga tinggi justru memperburuk perbankan dan perekonomian. Dalam
kondisi krisis yang seperti ini, suku bunga yang tinggi justru membahayakan kegiatan
perbankan karena perkreditan bermasalah juga membesar. Keputusan tersebut sejalan dengan
ruang pelonggaran kebijakan moneter yang semakin terbuka dengan kian terjaganya stabilitas
makroekonomi, yaitu menurunnya tekanan inflasi dan meredanya ketidakpastian di pasar
keuangan global pada awal tahun ini. Penurunan BI rate dan GWM Primer dalam rupiah
diharapkan memperkuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

4. Ketidakpastian Pasar Keuangan
Dari luar negeri, ruang pelonggaran moneter terbuka karena meredanya ketidakpastian
ekonomi global pasca kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat yaitu Fed Fund
Rate (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,50 persen dan perbaikan ekonomi

domestik. Berdasarkan pengamatan BI, respons pasar sejauh ini terhadap kebijakan tersebut
masih positif. Hal ini ditandai pelaku pasar telah antisipasi, sehingga tidak menimbulkan
gejolak di pasar keuangan global tidak terlalu besar. Namun, pemulihan ekonomi global
diperkirakan masih terbatas sehingga harga komoditas terus melorot, termasuk harga minyak
dunia. Khusus perekonomian Cina, diperkirakan masih melambat meskipun ada berbagai
upaya stimulus, baik melalui kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran.
Hal ini menimbulkan tekanan di pasar saham Cina. Selanjutnya BI masih akan mencermati
risiko perlambatan ekonomi Cina dan terus menurunnya harga komoditas global.
Perkembangan ekonomi Indonesia pada triwulan IV/2015, masih menunjukan perlambatan
karena kondisi pasar keuangan masih rapuh dengan semakin banyaknya laporan kerugian
lembaga keuangan, meskipun telah dilakukan stimulus fiskal dan relaksasi kebijakan
makroprudensial. Pertumbuhan ekspor masih tertahan akibat permintaan global yang masih
lemah dan terus menurunnya harga komoditas. Perbaikan ekonomi domestik tercatat pada
konsumsi pemerintah dan investasi bangunan, didorong oleh realisasi belanja pemerintah dan
meningkatnya implementasi proyek infrastruktur pemerintah. Konsumsi swasta masih relatif
stabil, di tengah indikasi adanya penurunan tabungan dan pendapatan yang dapat
dibelanjakan. Investasi swasta juga masih lemah dengan menurunnya kinerja perusahaan,
khususnya yang berbasis komoditas, dan masih besarnya ekses kapasitas produksi karena
perlambatan ekonomi domestik. Hal ini karena bank tidak menurunkan suku bunga karena
masih terbilang terlalu hati-hati dalam pengambilan resiko.
Perbankan semestinya menindaklanjutkan untuk menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini
akan mendorong sector riil bisa berperan aktif apabila suku bunganya menjadi turun. Dengan
demikian kegiatan ekspor semakin meningkat. Suku bunga pinjaman merupakan salah satu
faktor untuk menjaga sektor riil. Perbankan seharusnya berfikir dengan menurunkan suku
bunga kredit, dunia usaha akan bergerak dengan pesat. Ini sebuah sinyal pada dunia bahwa
ekonomi Indonesia tidak mengalami tekanan likuiditas. Dengan demikian, investor asing
akan semakin yakin atau tidak ragu-ragu lagi untuk menanamkan investasinya di Indonesia.
Semakin banyak investasi masuk Indonesia, maka aliran dana akan semakin banyak

membanjiri pasar uang di Indonesia, termasuk simpanan perbankan. (telah dimuat pada
Harian Lampung POST terbit 11 April 2016, hal 15 )