Isi Pembukaan UUD 1945

Isi Pembukaan UUD 1945
Republik Indonesia
Pembukaan UUD 1945
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

LATAR BELAKANG MAHKAMAH KONSTITUSI
o) George Jellinek > Mahkamah Agung Austria memiliki wewenang untuk melakukan
Judicial Review
o) Hans Kelsen > Dibentuk pengadilan tersendiri di luar Mahkamah Agung >
Vervassungsgerichtschoft (Konstitusi Austria 1920)
o) Dasar Pemikiran :
- Supremasi konstitusi
- Check and Balances
- Perlindungan hak warga negara
o) Kronologis terbentuknya mahkamah konstitusi
-Usulan M. Yamin sehingga hadir wewenang Balai Agung untuk melakukan perbandingan
undang-undang.
- Konstitusi RIS memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan
pengujian terhadap undang-undang negara bagian
- Rekomendasi PAH II MPRS 1966-1967 bahwa MAhkamah Agung berwenang menguji
undang-undang

- IKAHI,1970, Mahkamah Agung memiliki wewenang Judicial Review
- TAP MPR No. III/MPR/2000 menyatakan bahwa MPR berwenang menguji undang-undang
terhadap UUDNRI 1945
- Amandemen UUDNRI 1945 > diberikan wewenang judicial review kepada MA untuk
sementara sembari menunggu pembentukan MK > UU Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi > Pelimpahan wewenang dari MA kepada MK
o) Dasar pemikiran mahkamah konstitusi di Indonesia:
- Pentingnya Judicial Review
- Mengimbangi kekuasaan pembentuk undang-undang
- Berubahnya supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi
- Perlindungan HAM dan hak konstitusional warga negara
KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI

- Sebagai lembaga negara
- Pelaku kekuasaan kehakiman
- Sejajar dengan lembaga negara lainnya
- Merdeka (Impartial)
FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI
- Pengawal konstitusi (The Guardian of The Constitution)
- Penafsir final konstitusi (The Final Interpreter of The Constitution)

- Pelindung hak asasi manusia (The Protector of Human Rights)
- Pelindung hak konstitusional warga negara (The Protector of The Citizen’s Constitutional
Rights)
- Pelindung demokrasi (The Protector of Democracy)
WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diberikan oleh UUDNRI 1945
- Memutus perselisihan hasil pemilu
- Memutus pembubaran partai politik
- Memutus atas pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil
presiden
SUMBER HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
- Sumber langsung:
1. UUDNRI 1945
2. UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
3. Peraturan MK
4. Yurisprudensi MK RI
- Sumber tidak langsung:
1. UU Hukum Acara Peradilan lainnya (Perdata, Pidana, dan Tata Usaha Negara)


2. Pendapat sarjana (doktrin)
3. Hukum acara dan yurisprudensi MK negara lain
ASAS-ASAS HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
a. Persidangan terbuka untuk umum
Pasal 40 ayat (1) UU MK
” Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.”
b. Independen dan imparsial
- Kemandirian hakim yang berkaitan erat dengan imparsialitas, yaitu tidak memihak baik
dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan.
- Merupakan cerminan dari pasal 2 UU MK dan pasal 33 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
c. Peradilan sederhana, cepat, dan murah
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
” Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan murah”
- Pengertian sederhana, cepat, dan murah adalah beracara dengan efisiensi yang tinggi tanpa
mengorbankan ketelitian dan keadilan.
- Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan beban
negara
d. Audi et Alteram Tarem
“Hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang”

e. Hakim aktif juga pasif dalam persidangan
- Mekanisme Constitutional Control digerakkan oleh pemohon dan dalam hal demikian maka
hakim dikatakan pasif. Mahkamah konstitusi tidak diperkenankan menggelar perkara tanpa
adanya permohonan.
- Hakim harus aktif untuk menggali data dan keterangan yang diperlukan, bahkan dengan
menyelidiki melalui risalah pembahasan undang-undang tersebut sesuai dengan apa yang
dikemukakan di dalam pasal 11 UU MK
f. Ius Curia Novit
Pasal 16 ayat (1) UU No 4 tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman

” Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
g. Putusan final
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. (Pasal 10 UU MK)
h. Praduga Rechtmatig
- Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap
pada saat putusan dibacakan serta tidak berlaku surut.
- Akibat putusan tersebut adalah Ex Nunc, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya.

(Pencerminan Pasal 58 UU MK)
i. Pembuktian bebas
Hakim konstitusi memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, penilaian pembuktian, serta sah atau tidaknya suatu alat bukti berdasarkan
keyakinannya.
j. Erga omnes
- Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun
(bersifat publik, berlaku kepada siapa saja).
- Putusannya langsung dapat dilaksanakan dan tidak memerlukan keputusan-keputusan
pejabat berwenang, kecuali peraturan perundang-undang mengatur lain.
k. Obyektivitas
Hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri atau mantan istri.
l. Sosialisasi
Pasal 14 UU MK
” Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi”

PROSEDUR BERPEKARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pengajuan permohonan
- Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia


- Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya
- Permohonan dibuat rangkap 12
- Jenis perkara
- Permohonan menjelaskan secara rinci mengenai materi permohonan (sesuai dengan
yurisdiki MK)
- Selain dalam bentuk formal, juga diajukan softcopy-nya yang disimpan dalam media
penyimpanan elektronik (disket, compact disc, dll)
o) Isi Permohonan
- Identitas pemohon > Nama, TTL / umur, agama, pekerjaan, umur, kewarganegaraan, alamat
lengkap, nomor telepon / faksimili / e-mail / telepon seluler (bila ada)
- Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan > Kewenangan MK, legal standing,
alasan permohonan
- Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus
- Permohonan harus disertai dengan alat-alat bukti yang mendukung
o) Tata Cara Pengajuan Permohonan
- Pemohon > Panitera MK > Akta Penerimaan Berkas / Akta Pemberitahuan
Kekuranglengkapan kepada pemohon > Registrasi / Tidak teregistrasi apabila memohon tidak
melengkapi kekuranglengkapan
- Petugas kepaniteraan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kelengkapan, yang

sekurang-sekurangnya adalah:
a.) Bukti diri pemohon sesuai kualifikasi (Pasal 51 ayat 1 UU MK):
- Fotokopi KTP sebagai bukti bahwa pemohon adalah WNI
- Bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal pemohon adalah
masyarakat hukum adat
- Akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal
pemohon adalah badan hukum
- Peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal
pemohon adalah lembaga negara
b.) Bukti surat atau tulisan yang berisikan alasan permohonan

c.) Daftar calon saksi ahli dan / atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang
akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan serta pernyataan bersedia menghadiri
persidangan dalam hal pemohon akan mengajukan sahli dan / atau saksi.
d.) Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim
melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
2. Pendaftaran
o) Permohonan yang sudah lengkap, dicatat dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi) dan diberikan nomor perkara.
o) MK akan memberikan salinan permohonan kepada :

- Presiden, DPR,dan Mahkamah Agung serta memberitahukan kepada Mahkamah Agung
untuk menghentikan segala pengujian peraturan perundang-undangan di bawahnya.
(Terhadap perkara pengujian undang-undang)
- Lembaga negara termohon. (Terhadap perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara)
- Parpol yang bersangkutan. (Terhadap perkara pembubaran partai politik)
- Presiden dan/atau wapres. (Terhadap pendapat DPR mengenai adanya pelanggaran hukum
oleh presiden dan/atau wapres)
o) Penyampaian salinan permohonan disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan
berita acara penyampaian.
o) Dalam hal permohonan telah dicatat di dalam BRPK dan terdapat penarikan permohonan,
maka panitera berkewajiban untuk membuatkan Akta Pembatalan Registrasi yang
disampaikan kepada pemohon beserta pengembalian berkas permohonan.
3. Penjadwalan sidang
o) Ketua MK menerima berkas yang telah diregistrasi dan menetapkan panel hakim.
o) Ketua panel hakim menentukan hari sidang pertama yang disampaikan kepada pemohon
dengan surat pemanggilan yang telah ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara
langsung oleh Juru Panggil melalui berita acara penyampaian.
o) Penetapan hari sidang juga diumumkan kepada masyarakat dengan menempelkan pada
papan pengumuman khusus dan dalam situs MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta
disampaikan melalui media massa.

4. Pemeriksaan pendahuluan
o) Pemeriksaan terhadap:
- Kelengkapan dan kejelasan permohonan

- Dasar legal standing
- Saran-saran hakim untuk perbaikan posita dan petitum
- Pemeriksaan tumpang tindih kewenangan
- Pemeriksaan dapat dilanjutkan atau tidak
o) Dalam hal diharuskan adanya perbaikan, pemohon diberikan waktu 14 hari.
o) Tujuan pemeriksaan pendahuluan:
a. Adanya persiapan persidangan
b. Memudahkan pengujian dan klarifikasi
c. Penentuan jumlah saksi dan/atau saksi ahli
d. Penentuan sidang pleno lebih cepat dan mudah
e. Pemeriksaan persidangan
o) Hal yang harus dipersiapkan di dalam persidangan pendahuluan:
a. Kualifikasi pemohon, kewenangan bertindak, dan surat-surat kuasa
b. Legal standing
c. Statement of Constitutional Issue ( Permasalahan konstitusional yang diajukan)
d. Alat bukti

e. Saksi dan ahli yang pokok pernyataannya mendukung
5. Pemeriksaan persidangan
o) Terbuka untuk umum
o) Memeriksa permohonan dan alat bukti
o) Pemberian keterangan oleh saksi, ahli dan lembaga negara (lembaga negara yang diminta
wajib memberikan keterangan paling lambat 7 hari)
6. Putusan
o) Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
- Perkara pembubaran partai politik : 60 hari kerja sejak teregistrasi
- Perselisihan hasil pemilu :

a. Pilpres – 30 hari kerja sejak teregistrasi
b. Pilkada – 14 hari kerja sejak teregistrasi
c. Pemilu DPR, DPD, dan DPRD – 30 hari kerja sejak teregistrasi
- Perkara pendapat DPR : 90 hari kerja sejak teregistrasi
o) Cara mengambil putusan
- Musyarah mufakat
- Setiap hakim menyampaikan pendapat secara tertulis
- Diambil suara terbanyak apabila tidak mencapai mufakat
o) Jenis putusan :
a. Putusan sela / provisional
b. Putusan akhir
- Menolak
- Mengabulkan
- Tidak dapat diterima ( Niet Ontvantkelijk Verklaard )
c. Putusan tanpa / dengan Dissenting Opinion
d. Putusan beryarat ( Conditionaly Constitutional )
o) Isi putusan:
- Identitas para pihak
- Ringkasan permohonan
- Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap di dalam persidangan
- Amar putusan
- Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta panitera
- Pendapat berbeda hakim ( Dissenting Opinion )

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN
BERKONSTITUSI

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Selama 4 kali berturut-turut bangsa kita telah menyelesaikan agenda perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dengan Perubahan Pertama
pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dengan adanya perubahan-perubahan empat kali itu,
jumlah materi ketentuan yang semula hanya terdiri atas 71 butir ketentuan atau 71 butir
rumusan ayat atau pasal, bertambah menjadi 199 butir ketentuan. Dalam keseluruhan materi
ketentuan yang berjumlah 199 butir itu, hanya 25 butir ketentuan yang tidak mengalami
perubahan atau masih sebagaimana aslinya pada saat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir merupakan materi ketentuan yang sama sekali baru.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hanya dengan empat kali perubahan, meskipun
nama Undang-Undang Dasar ini masih menggunakan nama lama, tetapi isinya telah
mengalami perubahan mendasar dalam jumlah yang berlipat-lipat ganda, yaitu 25 berbanding
174 butir ketentuan. Hal yang juga sangat penting diperhatikan dalam rangka perubahanperubahan itu ialah bahwa sekarang, konstitusi yang diberi nama resmi UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau disingkat UUD 1945 ini, menyediakan mekanisme agar
norma-norma hukum dasar yang terkandung di dalamnya dapat dijalankan diawasi
pelaksanaannya oleh lembaga peradilan yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga yang menetapkan dan/atau mengubah UndangUndang Dasar, tetapi setelah ditetapkan Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk
mengawalnya. Bahkan jikalau sekiranya dalam rumusan ketentuan UUD itu terdapat
kekurangan atau ketidak-jelasan disana-sini, Mahkamah Konstitusi lah yang diberi
kewenangan untuk menentukan tafsir yang tepat mengenai hal itu. Karena itu, Mahkamah
Konstitusi di berbagai negara biasa disebut sebagai pengawal dan penafsir konstitusi atau
“the guardian and the sole and the highest interpreter of the constitution”.
Hanya saja, harus dipahami bahwa pelaksanaan pengawalan dan penafsiran Undang-Undang
Dasar itu oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan bukan dengan cara yang tersendiri, melainkan
melalui media putusan atas perkara-perkara yang diadilinya. Yang dapat diperiksa, diadili,
dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara konstitusi yang berkaitan (i)
pengujian konstitusionalitas undang-undang; (ii) sengketa kewenangan konstitusional antar
lembaga negara; (iii) perselisihan hasil pemilihan umum; (iv) pembubaran partai politik; dan
(v) pendapat DPR dalam rangka penuntutan pertanggungjawaban untuk pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. Putusan-putusan
dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kelima jenis kewenangan Mahkamah
Konstitusi tersebut pada pokoknya merupakan wujud konkrit dari fungsi pengawalan dan
penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap hukum dasar UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena penting dan strategisnya kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
negara yang baru dalam sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan, maka sangat diperlukan
upaya yang bersengaja bagi mahkamah ini untuk memperkenalkan diri ke tengah-tengah
masyarakat. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa
banyak sekali pihak yang berkepentingan untuk mengetahui keberadaan lembaga baru ini.
Pihak-pihak yang secara jelas disebutkan dalam UU No. 24 Tahun 2003, mempunyai hak
untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi adalah:
(1) Perorangan warga negara Indonesia (untuk pengujian UU);

(2) Kesatuan masyarakat hukum adat (untuk pengujian UU);
(3) Badan hukum publik atau privat (untuk pengujian UU);
(4) Lembaga negara (untuk pengujian UU dan sengketa antar lembaga);
(5) Pemerintah (untuk pembubaran partai politik);
(6) Peserta pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (untuk perselisihan hasil pemilu);
Dengan demikian sangatlah luas kelompok sasaran yang perlu diperkenalkan dengan segala
seluk beluk Mahkamah Konstitusi untuk membantu agar hak-hak dan/atau kewenangan
konstitusional masing-masing pihak tersebut di atas dapat dijamin dan diwujudkan dalam
pelaksanaan kehidupan kenegaraan sehari-hari. Tentu tidak semua warga negara Indonesia,
tidak semua kesatuan masyarakat hukum adat, tidak semua badan hukum, lembaga negara,
aparatur pemerintah, ataupun peserta pemilihan umum mengajukan permohonan perkara.
Untuk menjadi pemohon perkara secara resmi ada syarat-syaratnya yang diatur dalam
undang-undang, sehingga berbagai seluk beluk tentang prosedur beracara di Mahkamah
Konstitusi mutlak perlu diperkenalkan kepada khalayak yang luas. Dengan pengenalan
tersebut diharapkan khalayak pada umumnya dan pihak-pihak tersebut di atas pada
khususnya, dapat sungguh-sungguh menyadari dan sekaligus mengerti arti pentingnya
Mahkamah Konstitusi dalam rangka jaminan-jaminan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban
konstitusional mereka sendiri dalam kehidupan bernegara berdasarkan UUD 1945.
Memperkenalkan dan menyadarkan orang akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
konstitusionalnya sebagai warga negara, tentu tidaklah mudah. Upaya penyadaran atau
‘conscientisation’ membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan memerlukan keterlibatan
aktor yang luas dan banyak pula. Oleh karena itu, setiap lembaga resmi maupun lembaga
yang tidak resmi, tokoh politik dan tokoh masyarakat diharapkan dapat bergotong royong
bersama-sama dan sendiri-sendiri mengambil peran dan tanggungjawab kebangsaan guna
membangun dan meningkatkan kesadaran bernegara berdasarkan UUD 1945 secara luas.
Inilah yang kita namakan sebagai pendidikan bernegara berdasarkan UUD atau konstitusi,
yang biasa disebut juga ‘civic education’ atau pendidikan kewarganegaraan.
Tentu di antara lembaga-lembaga negara yang ada, yang peranannya paling menentukan
dalam hal ini adalah Pemerintah. Pemerintah lah yang mempunyai segala segala sumber
(resources), baik berupa informasi, dana, dan sarana, serta tenaga yang diperlukan untuk
menjamin suksesnya upaya pendidikan bernegara berdasarkan konstitusi dan pendidikan
kewarganegaraan itu dalam arti yang seluas-luasnya. Lagi pula tugas eksekutif memang
berada di dalam tanggungjawab Pemerintah. Namun, lembaga-lembaga seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, Mahkamah
Konstitusi, dan lain-lain juga bertanggungjawab untuk memasyarakatkan kesadaran
berkonstitusi itu baik langsung maupun tidak langsung. Lebih-lebih Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang merupakan lembaga yang mengubah dan menetapkan
berlakunya Undang-Undang Dasar, serta Mahkamah Konstitusi yang mengawal pelaksanaan
UUD dan menafsirkannya melalui putusan peradilan konstitusi, sangat berkepentingan
dengan suksesnya upaya pendidikan kesadaran berkonstitusi itu dalam peri kehidupan
bernegara.

Oleh karena itu, UU tentang Susduk Tahun 2003 menentukan bahwa salah satu tugas
Pimpinan MPR adalah masyarakatkan putusan MPR, yang salah satunya adalah perubahanperubahan Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun tugas itu bukanlah tugas konstitusional
institusi MPR, melainkan tugas legal Pimpinan MPR yang oleh Undang-Undang tentang
Susduk ditentukan sebagai jabatan tersendiri, pemasyarakatan hasil kerja MPR sebagai
lembaga negara, baik untuk kepentingan para anggotanya sendiri maupun untuk kepentingan
masyarakat luas, khususnya mengenai perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 memang
merupakan suatu keniscayaan. Namun karena tugas pemasyarakatan konstitusi itu merupakan
tugas mulia yang sangat besar, sudah sepantasnya dan seharusnya lembaga-lembaga lain turut
meringankan beban pimpinan MPR, terutama untuk pemasyarakatan konstitusi bagi
masyarakat luas.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang juga perlu memperkenalkan diri ke tengahtengah masyarakat, juga perlu mengambil tanggungjawab untuk juga mengembangkan upaya
pendidikan dan pemasyarakatan konstitusi, tidak saja berkenaan dengan hal-hal yang
berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, hak dan kewajiban konstitusional warga negara, dan
lain-lain yang berkaitan dengan pengawalan dan penafsiran terhadap UUD 1945, tetapi juga
mengenai kebutuhan untuk pemasyarakatan UUD 1945 dalam arti yang lebih luas. Di
samping itu, yang tentu tidak kalah pentingnya ialah peranan Pemerintah, lembaga-lembaga
pendidikan, dan lembaga-lembaga penyiaran. Kegiatan pendidikan dan pemasyarakatan
pertama-tama, pada pokoknya, termasuk wilayah kerja eksekutif atau pemerintahan. Karena
itu, tanggungjawab utama dan pertama untuk pemasyarakatan dan pendidikan konstitusi itu
ada di tangan Pemerintah. Pemerintah lah yang menguasai lebih banyak informasi, sumbersumber dana, sarana, dan prasarana, tenaga, keahlian, dan jaringan yang dapat diharapkan
mendukung upaya pemasyarakatan dan pendidikan konstitusi itu. Setelah Pemerintah
sungguh-sungguh menjalankan perannya baru lah kita dapat berharap bahwa lembagalembaga pendidikan dan lembaga-lembaga penyiaran dapat digerakkan untuk berperan aktif
dalam upaya pendidikan dan pemasyarakatan mengenai pentingnya kehidupan bernegara
yang berdasarkan konstitusi. Baik lembaga pendidikan maupun lembaga penyiaran samasama penting dan sangat menentukan perannya dalam membentuk persepsi, pandangan, sikap
tindak, dan pendapat umum yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Demikian pula masyarakat sendiri, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh agama,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan semua
institusi yang berperan dalam lingkungan masyarakat madani (civil society), dalam
lingkungan dunia usaha atau business (market), dan dalam lingkungan organ-organ negara,
organ-organ daerah secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama sudah seharusnya secara
sinergi mendukung, membantu, dan memprakarsai berbagai upaya untuk menyukseskan
kegiatan pemasyarakatan dan pendidikan kesadaran berkonstitusi tersebut. Dengan begitu,
kita dapat berharap bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
akan benar-benar menjadi “living consttution”, sehingga tugas konstitusional Mahkamah
Konstitusi sendiri sebagai “the guardian and the sole interpreter of the constitution” menjadi
lebih mudah diwujudkan.
Follow @SenatorDY dan Like Page www.facebook.com/SahabatDY kita bisa diskusi tentang
hukum, pembangunan ekonomi kerakyatan, pembangun daerah, politik, budaya dan sosial,
juga bicara tentang kita.