PAPER EMBRIOGENESIS Kelas A Khilyatun Ul

(1)

UK 3

PAPER EMBRIOGENESIS

Disusun oleh:

Nama

: Khilyatun Ulin Nur

NIM

: K4313041

Kelas

: A

PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015


(2)

A. EMBRIOGENESIS

Embriogenesis adalah proes perkembangan embrio menjadi tumbuhan baru. Embrio tidak selalu berasal dari perkembangan zigot hasil peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) tetapi embrio dapat berasal dari perkembangan sel-sel somatic.

Embryogenesis dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1) Embryogenesis zigotik yaitu perkembangan embrio yang berasal dari peleburan gamet jantan dan gamet betina.

2) Embryogenesis somatic yaitu perkembangan embrio tanpa melalui peleburan gametn jantan (sperma) dan gamet betina (ovum), tetapi embrio berasal dari perkembangan sel-sel somatic.

Embryogenesis somatic melalui teknik in vitro adalah salah satu upaya manusia dalam memperbanyak tumbuhan untuk keperluan tertentu yang ditumbuhan dalam media khusus dengan nutrisi dari media karena tidak dihasilkan endosperm. Tidak dihasilkannya endosperm karena tidak ada fertilisasi. Embryogenesis somatic merupakan cara yang paling efektif untuk perbanyakan tumbuhan karena strukturnya yang bipolar sehingga selalu siap untuk dikecambahkan.

Pernyataan ini dapat terjadi pada spesies Arachis hypogaea karena semakin meningkatnya kebutuhan akan Arachis hypogaea, maka manusia melakukan embryogenesis somatic pada tanaman ini.

Hal tersebut telah dibuktikan oleh Rina Srilestari, 2005 dalam jurnal “Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sukrosa”. Embrio kacang tanah ini bukan hasil peleburan gamet jantan dan gamet betina, tetapi berasal dari kotiledon yang diambil dari benih/ polong kacang tanah dengan teknik tertentu agar tetap steril untuk ditumbuhakan dalam suatu media. Media yang paling cocok berdasarkan penelitian Rina adalah media difco agar yang mengandung sukrosa 40g/l. Hidrolisis sukrosa menghasilkan glukosa dan fruktosa sebagai sumber karbohidrat yang dapat merangsang pertumbuhan beberapa jaringan membentuk embrio somatic. Selain itu, pada media juga ditambahkan vitamin untuk mempercepat dan memperbanyak embrio yang berkembang. Vitamin yang paling cocok adalah vitamin B5.

Spesies Phalaenopsis amabilis atau anggrek bulan juga dapat mengalami embryogenesis somatic.

Hal tersebut telah dibuktikan oleh Edy Setiti Wida Utami, dkk, 2007 dalam jurnalnya yang berjudul “Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis (L.) BI: Struktur dan Pola Perkembangan”. Dalam penelitiannya menggunakan eksplan dari


(3)

bagian pangkal daun nomor 2 dari pucuk plantlet umur 12 bulan dengan teknik in vitro yaitu ditumbuhakan dalam medium induksi embrio somatic (MIES) yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan embrio untuk tumbuh. Dalam pengamatan perkembangan embrio somatic dibuat preparat histologi dari kalus. Hasil perkembangan embrio somatiknya sebagai berikut :

Perkembangan embrio diawali dari sel-sel embriogenik aktif membelah dan berukuran kecil yang ditunjukkan pada gambar A. Sel embriogenik tersebut akan mengalami pembelahan secar transversal membentuk proembrio 2 sel yang tidak sama besar. Sel apical yang ada diatas berukur lebih kecil, sedangkan sel basal dibagian bawah berukuran leih besar. Sel basal mengandung butir-butir tepung seperti yang ditunjukkan pada gambar B. Setelah itu proembrio pada apical akan membelah menjadi 2 sel sehingga terbentuk proembrio 3 sel seperti pada gambar C. Selanjutnya, sel apical dan basal akan membelah masing-masing sehingga terbentuk proembrio 5 sel seperti pada gambar D. Pada gambar E merupakan fase globular yang terdiri dari sel-sel yang relative sama yang merupakan hasil pembelahan terus menerus dari proembri 5 sel. Kemudian terjadi diferensiasi, pada bagian apical sel-selnya kecil dan dibagian basal sel-selnya besar


(4)

seperti pada gambar F. Setelah itu embrio globular akan memanjang dengan struktur seperti suspensor pada bagian basal yang ada pada gambar G. Pada gambar H bagian apical embrio globular terbentuk tonjolon 1, yang selanjutnya akan terbentuk tonjolan lagi (tonjolan 2) dan terbentuk takik antara dua tonjolan tersebut seperti yang ditunjukkan gambar I. Sebelum berkecambah muncul tunas pucuk pada bagian takik (gambar J). Selanjutnya terbentuk primordia daun pad akutub plumula (gambar K), tetapi belum ditemukan primordial akar karena anggrek bulan yang lebih aktif adalah kutub plumulanya.

Perkembangan embryogenesis somatic mirip dengan perkembangan embryogenesis zigotik setelah terjadi penyerbukan. Hal ini didukung oleh pernyataan Merkle et al, 1990 dalam jurnal Edy Setiti Wida Utami, dkk yaitu “Embriogenesis somatik adalah suatu proses di mana sel-sel soma mengalami urutan perkembangan yang mirip dengan perkembangan embrio zigotik. Proses ini penting dalam teknik kultur in vitro”.

Hal tersebut juga didukung oleh Zulkarnain, 2009 dalam jurnal Reza Ramdan, dkk, 2014 berjudul “Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.)” yang menyatakan bahwa embrio zigotik yang berkembang dari penyatuan gamet jantan dan gamet betina dengan embrio somatik tumbuh dan berkembang melewati tahapan-tahapan yang sama. Tahapan-tahapan tersebut adalah globular, hati, torpedo, dan kotiledon.

Sedangkan dalam buku Zulkarnain, 2009 berjudul “Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya” yang menggambarkan tahapan pembentukan embrio zigotik selama embriogenesisi setelah penyerbukan sebagai berikut :

Setelah terjadi fertilisasi sperma dan ovum terbentuklah zigot. Zigot akan berkembang menjadi embrio sampai tumbuh menjadi tumbuhan baru. Zigot satu sel yang diploid


(5)

mengalami pembelahan menghasilkan proembrio 2 sel seperti pada embryogenesis somatic, kemudian membelah lagi menjadi 4 sel yang berasal dari pembelahan bagian apical dan basal. Kemudian membelah lagi menjadi 8 sel (fase oktan). Pembelahan tersebut mulai hari pertama sampai hari ke 20. Setelah itu sel-sel tersebut akan mengalami pembelahan lagi dan bertambah massanya sampai berbentuk bulat atau disebut fase globular. Selanjutnya akan terbentuk takik diantara dua penonjolan seperti pada perkembangan embryogenesis somatic. Fase ini disebut fase awal hati, dimana takik yang terbentuk belum terlalu dalam. Dalam perkembangannya takik akan menjadi lebih dalam sehingga berbentuk seperti hati sempurna. Fase ini disebut fase hati. Setelah itu dua penonjolan yang mengapit takik akan memanjang lagi yang termasuk fase torpedo. Pada penonjolan apical itu merupakan bagian plumula yaitu akan tumbuh primordial daun, sedangkan pada bagian basal akan menjadi primordial akar. Selanjutnya akan berkembang terus sampai menjadi tanaman dewasa.

B. TIPE EMBRIO

Embrio adalah perkembangan zigot hasil peleburan gamet jantan dan gamet betina. Dalam perkembangan zigot terbentuk proembrio 2 sel, dimana sel-sel tersebut akan mengalami pembelahan yang berbeda-beda. Perbedaan pembelahan proembrio 2 sel ini digunakan Maheswari (1950) untuk mengklasifikasikan 5 tipe perkembangan embrio pada tumbuhan dikotil yaitu sebagai berikut :

1. Sel apikal dan proembrio 2 sel membelah secara longitudinal.

a) Tipe Cruciferae, Sel basal berperan sedikit atau tidak sama sekali pada perkembangan embrio selanjutnya.

b) Tipe Asteraceae, Sel basal dan sel apikal berperan dalam perkembangan embrio selanjutnya.

2. Sel apikal dan proembrio 2 sel membelah secara transversal

a) Sel basal hanya sedikit berperan atau tidak sama sekali pada perkembangan embrio selanjutnya.

1) Tipe Solanaceae : Sel basal biasanya membentuk suspensor 2) Tipe Caryophylaceae

Sel basal tidak mengadakan pembelahan selanjutnya, bila ada suspensor berasal dari sel apikal.

b) Sel basal dan sel apikal berperan dalam perkembangan embrio selanjutnya (tipe Chenopodiaceae).


(6)

Tipe-tipe embrio tersebut didukung oleh klasifikasi Schnarf (1929) and Johansen (1945) yang termuat dalam Andreas P. Mordhost, et al., 1997 yang termuat pada Critical Reviews in Plant Science berjudul “Plant Embryogenesis” yang menyebutkan ada 5 tipe embrio pada tumbuhan dikotil berdasarkan pembelahan setelah proembrio 2 sel.

Tipe pertama yaitu tipe onagrad atau tipe crucifer misalnya pada spesies Capsella bursa-pastoris. Tipe ini dimulai dari pembentukan zigot hasil peleburan gamet jantan dan betina yang membelah menjadi proembrio 2 sel yaitu pada bagian apical dan bagian basal. Pembelahan kedua pada bagian apical secara longitudinal dan pada basal membelah secara transversal. Pada pembelahan ketiga, pada bagian apical dan basal sama-sama membelah secara transversal. Pada bagian apical ini berperan aktif dalam pembentukan embrio sedangkan pada bagian basal hanya sedikit sel yang berperan atau bahkan tidak berperan sama sekali. Perkembangan selanjutnya digambarkan sebagai berikut sesuai jurnal V. Raghavan and John G. Torrey, 1963 yang berjudul “Growth and Morphogenesis of Globular and Older Embryos of Capsella in Culture”. Pada perkembangan proembrio terjadi pembelahan secara longitudinal. Setelah sampai pada fase oktan, akan membentuk globular dan pada bagian basal memanjang membentuk


(7)

suspensor seperti pada gambar 1. Tetapi setelah fase hati, suspensor akan menghilang (gambar 3). Selanjutnya terus berkembang sampai membentuk embrio type torpedo (gambar 5) melalui tahap intermediate (gambar 4) yang merupakan pemanjangan setelah suspensor menghilang. Kotiledon yang terbentuk pada tipe ini lebih panjang daripada tipe solanad (gambar 5) dan terdapat shoot apical meristem diantara dua kotiledon.

Tipe kedua adalah tipe asterad. Tipe ini dapat terjadi pada Urtica, Penaea. Pada tipe ini zigot mengalami pembelahan satu dan dua sama sepeti pada tipe onagrad yang membedakan adalah pembelahan ketiga. Pada pembelahan ketiga pada bagain apical terjadi pembelahan terakhir secara longitudinal. Pada tipe ini bagian apical dan basal berperan dalam pembentukan embrio.

Tipe ketiga adalah tipe solanad. Tipe solanad ini terjadi pada Daucus carota. Pada pembelahan pertama zigot membentuk proembrio 2 sel. Lalu pada pembelahan kedua terjadi secara transversal pada bagian apical dan basal. Selanjutnya pada pembelahan ketiga terjadi secara transversal dan diikuti pembelahan longitudinal pada semua bagian pembelahan. Bagian apical tipe ini berperan dalam pembentukan embrio selanjutnya yang dalam masing-masing sel hasil pembelahan terdapat dua inti, tetapi pada bagian apical paling bawah hanya terdapat satu inti. Sedangkan pada bagian basal membentuk suspensor yang merupakan hasil samping dari pembelahan sel basal. Dalam perkembangannya suspensor ini akan mengecil. Pada bagian apical membentuk globular dan berkembang terus hingga membentuk fase hati. Lalu terbentuk embrio torpedo. Tipe


(8)

solanad dalam perkembangan embrio torpedonya kotiledon yang terbentuk pendek tidak sepanjang pada tipe onagrad.

Tipe keempat adalah tipe chenopodiat. Tipe ini dapat terjadi pada spesies

Chenopodium bonus-henricus. Pada tipe ini pembelahan zigot pertama menghasilkan proembrio 2 sel. Selanjutnya mengalami pembelahan kedua secara transversal menghasilkan proembrio 4 sel yaitu dua sel pada bagian apical dan dua sel pada bgian basal. Pada pembelahan ketiga, pada bagian apical membelah secara longitudinal menghasilkan empat sel yang masing-masing dalam satu sel terdapat dua inti. Pembelahan longitudinal mencapai satu sel bagian basal sehingga satu sel bagian basal ikut terbelah menjadi dua sel. Sebelum ikut membelah secara longitudinal, bagian basal telah membelah secara transversal pada kedua sel hasil pembelahan kedua. Dua sel bagian basal dekat apikal memiliki dua inti dalam satu selnya, tetapi sel lain hanya memiliki satu inti. Pada tipe ini sel apical dan basal ikut berperan dalam pembentukan embrio selanjutnya.

Tipe kelima adalah tipe caryophyllad. Tipe ini terjadi pada Saginaprocumbens. Pada tipe ini setelah pembelahan pertama zigot yang menghasilkan proembrio 2 sel, mengalami pembelahan lagi secara transversal pada bagian apical saja, sedangkan pada bagian basal tidak membelah sama sekali tetapi terjadi perbesaran massa. Pada pembelahan ketiga, apical membelah beberapa kali secara transversal dan dilanjutkan pembelahan longitudinal tetapi tidak pada semua sel apical. Sedangkan bagian basal tidak mengalami pembelahan. Suspensor dihasilkan oleh sel apical.

C. PEMBENTUKAN ENDOSPERM

Endosperm adalah hasil triple fusion antara sel sperma dengan dua sel inti polar pada embryo sac. Endosperm berperan dalam memberikan nutrisi untuk perkembangan zigot sehingga endosperm berkembang lebih dulu dari pada zigot. Endosperm mengandung protein, lemak, amilum dan butir-butir aleuron.


(9)

Ada tiga macam perkembangan endosperm yaitu endosperm nuclear, endosperm seluler, dan endosperm halobial.

Perkembangan nuclear terjadi jika saat pembelahan inti endosperm primer tidak diikuti pembentukan dinding sel, sehingga inti hasil pembelahan yang berjumlah banyak terdapat dalam embrio sac dalam keadaan bebas yang dapat dikonsumsi oleh embrio.

Perkembangan nuclear pada endosperm misalnya terjadi pada spesies Citrus nobiliss Lour. (jeruk siam simadu).

Hal tersebut dibuktikan dalam jurnal Mia Kosmiatin, dkk, 2014 yang berjudul “Induksi Embriogenesis Somatik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) cv Simadu”. Dalam jurnalnya menyatakan bahwa endosperm jeruk siam bertipe inti bebas (nuclear endosperm) karena tidak terbentuk dinding sel pada pembelahan inti endosperm primer hasil fertilisasi ganda. Endosperm jeruk siam dapat ditumbuhkan melalui embryogenesis somatic yang menghasilkan tanaman triploid. Tanaman triploid akan menghasilkan buah tanpa biji karena ketidakseimbangan perpasangan kromosom saat meiosis seperti yang diungkapkan oleh Hoshino, et al, 2011, dalam jurnal Mia Kosmiatin, dkk, 2014.

Perkembangan endosperm tipe endosperm nuclear juga terjadi pada spesies Platanus racemosa. Hal ini telah dibuktikan oleh Sandra K. Floyd, 1999 dalam jurnalnya yang berjudul “A Developmental and Evolutionary Analysis of Embryology in Platanus

(Platanaceae), a Basal Eudicot”.

Dalam jurnalnya mengamati perkembangan endosperm dan zigot setelah terjadi fertilisasi ganda secara skematis, dimana endospermnya mengalami pembelahan lebih dulu daripada pembelahan zigotnya. Pembelahan endosperm primer tidak diikuti pembentukan dinding sel yang memisahkan dua sel hasil pembelahan (gambar B). kemudian dua sel tersebut akan membelah lagi menghasilkan empat sel yang saling terpisah kedua ujung mikrofil dan chalaza. Lalu membelah lagi menjadi menjadi delapan inti yang berjajar mengelilingi vakuola yang besar (gambar E). Setelah itu, coenocyte mengalami pemanjangan dua kali lipat dari ukuran semula dan terjadi pembelahan beberapa sel endosperm di daerah chalaza (gambar F). Pembentukan dinding endosperm mulai terbentuk setelah fase ini yang diikuti pembelahan zigot (gambar G-J). Pada gambar K, endosperm memiliki lapisan luar dan terbentuk zona kosong di bagain mikrofil sekitar embrio karena untuk perkembangan embrio selanjutnya (gambar K-L).


(10)

Perkembangan endosperm seluler terjadi jika tidak ada inti bebas pada pembelahan inti endosperm primer karena pembelahan inti diikuti pembentukan dinding sel yang memisahkan antar inti.

Perkembangan endosperm seluler misalnya terjadi pada Annona cherimola. Hal ini telah dibuktikan oleh J. Lora, et al, 2009 dalam jurnalnya yang berjudul “The progamic phase of an early-divergent angiosperm, Annona cherimola (Annonaceae)”. Di dalam jurnal dijelaskan bahwa terdapat butiran tepung disekitar sel telur dan inti polar. Seiring berkembangnya endosperm hasil fertilisasi dua sel inti polar dengan satu sel sperma yang menghasilkan tiga inti (tripe fusion), maka butiran tepung (starch grains) akan berkurang. Endosperm seluler pada Annona cherimola ditunjukkan pada gambar G. Endosperm mulai berkembang tiga hari setelah pollinasi. Seiring perkembangan endosperm seluler, butiran tepung akan terakumulasi di daerah kalaza dan perlahan akan menghilang seiring pembesaran pada endosperm seluler (gambar F & G). Endosperm berkembang lebih dulu daripada perkembangan zigot, karena zigot mengalami pembelahannya delapan hari setelah pollinasi dan ketika endosperm sudah memiliki empat sel (gambar H).

Gambar : perkembangan embryo dan endosperm seluler pada Annona cherimola

Perkembangan endosperm helobial terjadi jika endosperm primer bergerak ke ujung chalaza dan mengadakan pembelahan menjadi dua sel dengan diikuti pembentukan dinding yang tidak sama besar. Satu inti dekat chalaza sangat kecil, sedangkan inti yang lain besar. Pada inti yang kecil ini tidak dapat membelah, kalaupun membelah hanya dapat 1-2 kali pembelahan. Sedangkan inti pada ujung mikropil membentuk inti bebas.


(11)

Perkembangan endosperm helobial ini misalnya terjadi pada genus Triteleia family Themidaceae. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Rolf Y. Berg, 2003 dalam jurnalnya yang berjudul “Development of Ovule, Embryo Sac, and, Endosperm in Triteleia

(Themidaceae) Relative to Taxonomy”.

Dalam jurnalnya menyatakan bahwa genus Triteleia memiliki tipe embrio sac polygonum dan perkembangan endospermnya tipe helobial.

Gambar : Perkembangan endosperm type helobial pada Triteleia

Tipe endosperm helobial terlihat jelas pada gambar 6, dimana hasil pembelahan endosperm primer menjadi dua sel yang tidak sama besar. Satu sel inti berada di mikropil berukuran sangat besar, sedangkan satu sel lain berada di chalaza yang berukuran sangat kecil. Zigot belum terlihat aktifitas pembelahannya, karena endosperm dulu yang mengalami pembelahan untuk menyediakan nutrisi bagi perkembangan embrio selanjutya.


(12)

Pada gambar 18 terlihat hasil pembelahan endosperm selanjutnya pada mikropil yang membentuk inti bebas berjajar di tepi dinding sebelah dalam embrio sac. Endosperm daerah mikropil menjadi delapan inti, sedangkan pada endosperm yang ada di chalaza hanya dapat membelah sampai dua kali pembelahan saja menghasilkan empat inti.

Selain itu, endosperm type helobial juga terjadi pada spesies Cambomba caroliniana

ordo Nymphaeales. Hal tesebut termuat dalam jurnal Liliana M. Costa, et al, 2004 yang berjudul “More Than A Yolk : The Short Life And Complex Times Of The Plant Endosperm”.

Cambomba caroliniana memiliki tipe endosperm helobial, dimana pada pembelahan awal endosperm terbentuk dua sel yang tidak sama besar dalam pembentukan dinding senya. Satu sel pada bagian chalaza berukuran sangat kecil, sedangkan satu sel lain pada bagian mikropil sangat besar. Sel endosperm pada chalaza tidak mengalami pembelahan sama sekali, sedangkan sel endosperm pada mikropil mengalami pembelahan dan membentuk inti bebas. Kemudian pada perkembangan Late (akhir) sel endosperm chalaza tetap tidak mengalami pembelahan, hanya ada satu sel endosperm di chalaza, sedangkan endosperm mikropil mengalami pembelahan lanjut sampai terbentuk dinding sel antar sel dan terbentuk endosperm aleuron di bagian tepi endosperm. Endosperm ini berfungsi untuk memberikan nutrisi untuk perkembangan embrio. Endosperm aleuron berfungsi sebagai pelindung.


(13)

D. POLYEMBRIONI

Polyembrioni adalah terdapatnya lebih dari satu embrio dalam satu biji. Tetapi embrio ini tidak selalu menjadi dewasa tau matang, tidak berkembang atay bedegenerasi.

Polyembrioni dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu, :

1. Pembelahan embrio yang sudah ada (cleavage pro-embryo).

2. Embrio berasal dari sel-sel dalam kandung lembaga salain sel telur yang dibuahi.

3. Terbentuknya kandung lembaga yang banyak, dalam satu ovulum. 4. Aktivitas sel-sel sporofilik (sel-sel sama) pada ovum.

Pada polyembrioni dengan menanam biji dalam jumlah sedikit dapat menghasilkan tanaman baru yang lebih banyak.

Proses terjadinya embrio dibedakan menjadi dua, yaitu secara spontan dan secara induksi.

Polyembrio secara spontan terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia. Polyembrio secara spontan ini memiliki 5 tipe yaitu androgenesis, semigamy, polyembrioni normal, eliminasi kromosom, dan gynogenesis.


(14)

Berawal dari pembentukan sel gamet jantan (sperma) dan sel gamet betina (ovum) secara normal. Yang pada saat fertilisasi kesemua jenis diatas mengalami triple fusion atau pembuahan satu inti sel sperma dengan dua inti polar yang menghasilkan tiga inti yang akan membentuk endosperm sebagai penyedia nutrisi bagi perkembangan embrio. Sedangkan sel sperma yang satunya dalam membuahi ovum ada perbedaan.

Pada androgenesis, sel sperma yang masuk ke embrio sac tidak mengalami peleburan dengan ovum, tetapi justru menggantikan sel ovum dalam mengadakan pembelahan embrio. Sehingga, embrio yang terbentuk bersifat haploid jantan.

Pada semigamy, sel sperma yang satunya masuk ke embrio sac dan tidak membuahi ovum tetapi juga tidak menggantikan ovum. Jadi dalam embrio sac daerah mikropil ada dua gamet yang tidak melebur yang nantinya akan mengalami pembelahan sendiri-sendiri untuk menghasilkan embrio. Dalam satu embrio terdapat dua sifat yaitu haploid jantan dan haploid betina.

Pada polyembrioni normal, sel sperma yang satunya masuk ke embrio sac dan membuahi sel ovum sehingga terbentuk zigot yang bersifat nucleus diploid. Zigot ini akan membelah menjadi embrio dengan inti diploid. Selain itu juga ada pembelahan lain yang berasal dari nuselus membentuk embrio bersifat haploid betina.

Pada eliminasi kromosom, sel sperma yang satunya masuk ke embrio sac dan membuahi ovum membentuk inti diploid, tetapi dalam perkembangannya terjadi pengurangan kromosom pada induknya sehingga pembelahan yang terbentuk hanya menghasilkan embrio yang bersifat haploid betina.

Pada gynogenesis, sel sperma yang satunya masuk ke embrio sac tetapi tidak membuahi ovum justru mengalami degenerasi. Sehingga, tidak ada peran sperma dalam pembentukan embrio. Embrio yang terbentuk bersifat haploid betina.

Selanjutnya kelima tipe itu mengalami perkembangan merbntuk biji dan tanaman haploid.

Pada polyembrio secara induksi terjadi karena adanya campur tangan manusia atau yang radiasi sinar. Polyembrio secara induksi dapat dibedakan menjadi : androgenesis in vitro, gynogenesis in vitro, interpecific crossing in vitro, dan irradiated pollen technique.

Pada androgenesis in vitro, yang berperan dalam pembentukan embrio hanya gamet jantan. Jadi, mikrospora hasil pembelahan meiosis dikulturkan dalam media khusus dengan komposisi tertentu sehingga kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio terpenuhi. Atau bisa juga yang dikulturkan anthernya yang didalamnya terdapat


(15)

mikrospora yang belum mengalami pembelahan mitosis. Hasil pegkulturan akan menghasilkan embrio yang bersifat haploid jantan.

Pada gynogenesis in vitro yang berperan dalam pembentukan embrio hanyalah betinanya saja tanpa campur tangan gamet jantan. Di dalam putik yang telah matang diambil sel ovumnya untuk ditumbuhkan dalam media tertentu yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio. Selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan membentuk embrio yang bersifat haploid betina.

Pada interspecific crossing in vitro terjadi pada putik yang telah matang yang diambil ovumnya untuk ditanam pada media tertentu yang mengandung nutrisi yang cukup da nada penambahan pollen dari spesies lain. Tetapi pollen tersebut mengalami eliminasi kromosom, sehingga sifat kejantanannya menghilang dan bersifat haploid betina. Jadi embrio yang terbentuk hasil penyatun ovum dengan pollen yang kehilangan kromosomnya menghasilkan embrio haploid betina.

Pada ketiga tipe in vitro ini, embrio berkembang menjadi torpedo-shaped embryo dan tumbuh menjadi tanaman haploid.

Pada irradiated pollen technique, putik yang telah matang dimasuki oleh pollen yang mengalami radiasi sinar sehingga pollen tersebut kehilangan gen jantannya. Jadi dalam membuahi ovum yang terbentuk adalah embrio haploid betina. Embrio muda ini kemudian ditumbuhkan secara in vitro dalam media khusus yang terpenuhi nutrisinya. Kemudian embrio ini akan berkembang menjadi biji dan tumbuh menjadi tanaman haploid.


(16)

Pada polyembriony secara induksi melalui irradiated pollen technique misalnya terjadi pada spesies Dianthus sp. yang pollennya diradiasi dengan sinar gamma dalam membentuk tanaman haploid.

Hal tersebut telah dibuktikan oleh Kartikaningrum, dkk, 2011 yang termuat dalam jurnalnya yang berjudul “Induksi Tanaman Haploid Dianthus Sp. melalui Pseudofertilisasi menggunakan Polen yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma”.

Dalam jurnalnya setelah mengalami ketidakpuasan dalam penelitiannya dengan metode kultur antera sebar kemudian penulis mencobaa metode lain yaitu melalui pseudofertilisasi dengan serbuk sari (pollen) yang diiradiasi dengan sinar gamma dan embrio baru yang terbentuk ditumbuhkan dalam media khusus. Serbuk sari yang


(17)

diiradiasi dengan sinar gamma menjadi nonaktif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa embrio yang dihasilkan dari serbuk sari yang diradiasi hanya mengandung kromosom sel telur karena radiasi sinar gamma menyebabkan rusaknya DNA kromosom serbuk sari. Lebih jelasnyaa dapat dilihat dari gambar berikut :

Hal yang sama juga dapat terjadi pada induksi ginogenesis in vitro pada spesies cabai besar (Capsicum annuum L.). Hal ini telah dibuktikan oleh Suharsono, dkk, 2009 yang termuat dalam jurnalnya yang berjudul “Pembentukan Tanaman Cabai Haploid Melalui Induksi Ginogenesis dengan Menggunakan Serbuk Sari yang Diradiasi Sinar Gamma”

Dalam penelitiannya melalui induksi ginogenesis dengan serbuk sari yang telah diradiasi dengan sinar gamma kemudian embrio muda yang terbentuk diambil secara in vitro lalu ditumbuhkan dalam media khusus untuk membentuk tanaman cabai besar yang haploid.


(18)

Berdasarkan penelitiannya radiasi sinar gamma menyebabkan kerusakan kromosom sehingga embrio yang dihasilkan hanya engandung kromosom sel telur. Tanaman haploid yang dihasilkan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dan ukuran yang lebih kecil dari tanaman control. Tanaman haploid yang terbentuk hanya mengandung 12 kromosom sedangkan tanaman diploid mengandung 24 kromosom. Hal tersebut menunjukkan bahwa serbuk sari yang diradiasi sinar gamma pada dosis 10 Gy dpat menginduksi perkembangan sel telur untuk menjadi tanaman haploid pada cabai besar.

Pada polyembrioni spontan yang normal terjadi pada spesies jeruk siam (Citrus nobilis Lour.). Hal tersebut telah dibuktikan oleh Widianti, Dyah Iriani, dan Fitmawati, 2014 dalam jurnalnya yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Poliembrioni Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) Asal Kampar”.

Dalam penelitiannya menggunakan biji jeruk siam asal Kampar yang memiliki sifat poliembrioni terdapat dua pembentukan embrio, yaitu satu embrio berasal dari perkembangan zigot hasil peleburan gamet jantan dengan gamet betina, dan satu embrio berasal dari nuselus. Hal ini sesuai dengan claim di atas.


(19)

Dalam satu embrio yang bersifat triembrio dapat menghasilkan tiga semaian. Tanaman haploid yang dihasilkan memiliki resistensi yang tinggi terhadap hama penyakit dan pertumbuhan akar yang baik.

Pada induksi ginogenesis secara in vitro misalnya terjadi pada spesies Dianthus chinensis. Hal tersebut telah dilakukan penelitian oleh Suskandari Kartikanungrum, dkk, 2013 yang termuat dalam jurnalnya berjudul “Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi

Ovule Slice dan Kultur Ovary Slice Dianthus chinensis”.

Dalam penelitiannya dilakukan dengan mengkulturkan ovule slice dan ovary slice untuk dikembangkan menjadi tanaman haploid tanpa peran gamet jantan dalam pembentukan embrionya. Jadi, pada ovul slice yang dikulturkan adalah ovulnya. Ovul yang telah masak diambil dan ditanam pada media khusus sedangkan pada ovary slice yang dikulturkan adalah ovarynya. Ovary yang telah masak diambil dari dalam putik untuk ditumbuhkan pada media khusus dengan nutrisi yang mencukupi. Hasil penelitiannya yang berasal dari kultur ovul slice yang yang mengalami kematian. Sedangkan kultur ovary slice dapat mengurangi tingkat kematian ovul karena saat dikultur ovul masih terbungkus dinding ovarium.

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Rolf Y. 2003. Development of Ovule, Embryo Sac, and, Endosperm in Triteleia

(Themidaceae) Relative to Taxonomy. American Journal of Botany. 90(6): 937–948. Floyd, Sandra K., Veronica T. Lerner, William E. Friedman. 1999. A Developmental and Evolutionary Analysis of Embryology in Platanus (Platanaceae), a Basal Eudicot.

American Journal of Botany. 86(11) : 1523–1537.

Hoshino, Y., T. Miyashita, T.D. Thomas. 2011. In vitro culture of endosperm and its application in plantbreeding: Approaches to polyploidy breeding. Sci. Hort. 130:1-8.

Kartikaningrum, Suskandari, A. Purwito, G. A. Wattimena, B. Marwoto dan D. Sukma. 2011. Induksi Tanaman Haploid Dianthus Sp. melalui Pseudofertilisasi menggunakan Polen yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI :1196-1205.

Kartikaningrum, Suskandari, Agus Purwito, Gustaaf Adolf Wattimena, Budi Marwoto, dan Dewi Sukma. 2013. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovule Slice dan Kultur


(20)

Kosmiatin, Mia, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska. 2014. Induksi Embriogenesis Somatik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam (Citrus nobilis

Lour.) cv Simadu. Jurnal Agronomi Indonesia. 42(1) : 44-51.

Lora, J, J. I. Hormaza, M. Herrero. 2009. The progamic phase of an early-divergent angiosperm, Annona cherimola (Annonaceae). Annals of BotanyJournal : 1-11.

Maheshwari, P. 1950. An Introduction to The Embryology of Angiosperms. New York : McGraw-Hill Book Company, inc.

Mordhost, Andreas P, ET AL. 1997. Plant Embryogenesis. Critical Reviews in Plant Science. 16(6):535-576.

Raghavan, V. and John G. Torrey. 1963. Growth and Morphogenesis of Globular and Older Embryos of Capsella in Culture. American Journal of Botany. 50(1) : 540-551.

Rivai, Reza Ramdan, Ali Husni, Agus Purwito. 2014. Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.). Jurnal Bul. Agrohorti. 2(1) : 49–58.

Srilestari, et al. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sukrosa. Jurnal Ilmu Pertanian. Vol. 12 (1) : 43-50

Utami, Edy Setiti Utami, Isserep Soemardi, Taryono, dan Endang Semiarti. 2007. Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis (L.) BI: Struktur dan Pola Perkembangan. Jurnal Berk Panel Hayati. Vol. 13 : 33-38.

Widianti, Dyah Iriani, dan Fitmawati, 2014. Pertumbuhan Bibit Poliembrioni Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) Asal Kampar. Jurnal online mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. 1(1) : 1-6.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Jakarta (ID): Bumi Aksara.


(1)

mikrospora yang belum mengalami pembelahan mitosis. Hasil pegkulturan akan menghasilkan embrio yang bersifat haploid jantan.

Pada gynogenesis in vitro yang berperan dalam pembentukan embrio hanyalah betinanya saja tanpa campur tangan gamet jantan. Di dalam putik yang telah matang diambil sel ovumnya untuk ditumbuhkan dalam media tertentu yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio. Selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan membentuk embrio yang bersifat haploid betina.

Pada interspecific crossing in vitro terjadi pada putik yang telah matang yang diambil ovumnya untuk ditanam pada media tertentu yang mengandung nutrisi yang cukup da nada penambahan pollen dari spesies lain. Tetapi pollen tersebut mengalami eliminasi kromosom, sehingga sifat kejantanannya menghilang dan bersifat haploid betina. Jadi embrio yang terbentuk hasil penyatun ovum dengan pollen yang kehilangan kromosomnya menghasilkan embrio haploid betina.

Pada ketiga tipe in vitro ini, embrio berkembang menjadi torpedo-shaped embryo dan tumbuh menjadi tanaman haploid.

Pada irradiated pollen technique, putik yang telah matang dimasuki oleh pollen yang mengalami radiasi sinar sehingga pollen tersebut kehilangan gen jantannya. Jadi dalam membuahi ovum yang terbentuk adalah embrio haploid betina. Embrio muda ini kemudian ditumbuhkan secara in vitro dalam media khusus yang terpenuhi nutrisinya. Kemudian embrio ini akan berkembang menjadi biji dan tumbuh menjadi tanaman haploid.


(2)

Pada polyembriony secara induksi melalui irradiated pollen technique misalnya terjadi pada spesies Dianthus sp. yang pollennya diradiasi dengan sinar gamma dalam membentuk tanaman haploid.

Hal tersebut telah dibuktikan oleh Kartikaningrum, dkk, 2011 yang termuat dalam jurnalnya yang berjudul “Induksi Tanaman Haploid Dianthus Sp. melalui Pseudofertilisasi menggunakan Polen yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma”.

Dalam jurnalnya setelah mengalami ketidakpuasan dalam penelitiannya dengan metode kultur antera sebar kemudian penulis mencobaa metode lain yaitu melalui


(3)

diiradiasi dengan sinar gamma menjadi nonaktif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa embrio yang dihasilkan dari serbuk sari yang diradiasi hanya mengandung kromosom sel telur karena radiasi sinar gamma menyebabkan rusaknya DNA kromosom serbuk sari. Lebih jelasnyaa dapat dilihat dari gambar berikut :

Hal yang sama juga dapat terjadi pada induksi ginogenesis in vitro pada spesies cabai besar (Capsicum annuum L.). Hal ini telah dibuktikan oleh Suharsono, dkk, 2009 yang termuat dalam jurnalnya yang berjudul “Pembentukan Tanaman Cabai Haploid Melalui Induksi Ginogenesis dengan Menggunakan Serbuk Sari yang Diradiasi Sinar Gamma”

Dalam penelitiannya melalui induksi ginogenesis dengan serbuk sari yang telah diradiasi dengan sinar gamma kemudian embrio muda yang terbentuk diambil secara in vitro lalu ditumbuhkan dalam media khusus untuk membentuk tanaman cabai besar yang haploid.


(4)

Berdasarkan penelitiannya radiasi sinar gamma menyebabkan kerusakan kromosom sehingga embrio yang dihasilkan hanya engandung kromosom sel telur. Tanaman haploid yang dihasilkan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dan ukuran yang lebih kecil dari tanaman control. Tanaman haploid yang terbentuk hanya mengandung 12 kromosom sedangkan tanaman diploid mengandung 24 kromosom. Hal tersebut menunjukkan bahwa serbuk sari yang diradiasi sinar gamma pada dosis 10 Gy dpat menginduksi perkembangan sel telur untuk menjadi tanaman haploid pada cabai besar.

Pada polyembrioni spontan yang normal terjadi pada spesies jeruk siam (Citrus nobilis Lour.). Hal tersebut telah dibuktikan oleh Widianti, Dyah Iriani, dan Fitmawati, 2014 dalam jurnalnya yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Poliembrioni Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) Asal Kampar”.

Dalam penelitiannya menggunakan biji jeruk siam asal Kampar yang memiliki sifat poliembrioni terdapat dua pembentukan embrio, yaitu satu embrio berasal dari perkembangan zigot hasil peleburan gamet jantan dengan gamet betina, dan satu embrio berasal dari nuselus. Hal ini sesuai dengan claim di atas.


(5)

Dalam satu embrio yang bersifat triembrio dapat menghasilkan tiga semaian. Tanaman haploid yang dihasilkan memiliki resistensi yang tinggi terhadap hama penyakit dan pertumbuhan akar yang baik.

Pada induksi ginogenesis secara in vitro misalnya terjadi pada spesies Dianthus chinensis. Hal tersebut telah dilakukan penelitian oleh Suskandari Kartikanungrum, dkk, 2013 yang termuat dalam jurnalnya berjudul “Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovule Slice dan Kultur Ovary Slice Dianthus chinensis”.

Dalam penelitiannya dilakukan dengan mengkulturkan ovule slice dan ovary slice untuk dikembangkan menjadi tanaman haploid tanpa peran gamet jantan dalam pembentukan embrionya. Jadi, pada ovul slice yang dikulturkan adalah ovulnya. Ovul yang telah masak diambil dan ditanam pada media khusus sedangkan pada ovary slice yang dikulturkan adalah ovarynya. Ovary yang telah masak diambil dari dalam putik untuk ditumbuhkan pada media khusus dengan nutrisi yang mencukupi. Hasil penelitiannya yang berasal dari kultur ovul slice yang yang mengalami kematian. Sedangkan kultur ovary slice dapat mengurangi tingkat kematian ovul karena saat dikultur ovul masih terbungkus dinding ovarium.

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Rolf Y. 2003. Development of Ovule, Embryo Sac, and, Endosperm in Triteleia (Themidaceae) Relative to Taxonomy. American Journal of Botany. 90(6): 937–948.

Floyd, Sandra K., Veronica T. Lerner, William E. Friedman. 1999. A Developmental and Evolutionary Analysis of Embryology in Platanus (Platanaceae), a Basal Eudicot. American Journal of Botany. 86(11) : 1523–1537.

Hoshino, Y., T. Miyashita, T.D. Thomas. 2011. In vitro culture of endosperm and its application in plant breeding: Approaches to polyploidy breeding. Sci. Hort. 130:1-8.

Kartikaningrum, Suskandari, A. Purwito, G. A. Wattimena, B. Marwoto dan D. Sukma. 2011. Induksi Tanaman Haploid Dianthus Sp. melalui Pseudofertilisasi menggunakan Polen yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI :1196-1205.

Kartikaningrum, Suskandari, Agus Purwito, Gustaaf Adolf Wattimena, Budi Marwoto, dan Dewi Sukma. 2013. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovule Slice dan Kultur Ovary Slice Dianthus chinensis. Jurnal Agronomi Indonesia. 41(1) : 62-69.


(6)

Kosmiatin, Mia, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska. 2014. Induksi Embriogenesis Somatik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) cv Simadu. Jurnal Agronomi Indonesia. 42(1) : 44-51.

Lora, J, J. I. Hormaza, M. Herrero. 2009. The progamic phase of an early-divergent angiosperm, Annona cherimola (Annonaceae). Annals of Botany Journal : 1-11.

Maheshwari, P. 1950. An Introduction to The Embryology of Angiosperms. New York : McGraw-Hill Book Company, inc.

Mordhost, Andreas P, ET AL. 1997. Plant Embryogenesis. Critical Reviews in Plant Science. 16(6):535-576.

Raghavan, V. and John G. Torrey. 1963. Growth and Morphogenesis of Globular and Older Embryos of Capsella in Culture. American Journal of Botany. 50(1) : 540-551.

Rivai, Reza Ramdan, Ali Husni, Agus Purwito. 2014. Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.). Jurnal Bul. Agrohorti. 2(1) : 49–58.

Srilestari, et al. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sukrosa. Jurnal Ilmu Pertanian. Vol. 12 (1) : 43-50

Utami, Edy Setiti Utami, Isserep Soemardi, Taryono, dan Endang Semiarti. 2007. Embriogenesis Somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis (L.) BI: Struktur dan Pola Perkembangan. Jurnal Berk Panel Hayati. Vol. 13 : 33-38.

Widianti, Dyah Iriani, dan Fitmawati, 2014. Pertumbuhan Bibit Poliembrioni Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) Asal Kampar. Jurnal online mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. 1(1) : 1-6.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Jakarta (ID): Bumi Aksara.