Keragaman Genetik Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria malaccensis berdasarkan Penanda Mikrosatelit

KERAGAMAN GENETIK TANAMAN PENGHASIL GAHARU
Aquilaria malaccensis BERDASARKAN PENANDA
MIKROSATELIT

FITRI INDRIANI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaman Genetik
Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria malaccensis berdasarkan Penanda
Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Fitri Indriani
NIM E44090007

ABSTRAK
FITRI INDRIANI. Keragaman Genetik Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria
malaccensis berdasarkan Penanda Mikrosatelit. Dibimbing oleh ULFAH
JUNIARTI SIREGAR.
Aquilaria malaccensis merupakan tanaman penghasil gaharu yang berkualitas
baik namun populasi di alam menjadi langka dan hampir punah karena eksploitasi
yang berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genotipe dan mengukur
keragaman genetik A. malaccensis dengan penanda mikrosatelit pada tanaman yang
telah diinokulasidan mengetahui hubungan genotipe tanaman dengan senyawa
penyusun gaharu yang dihasilkan, berdasarkan hasil analisa GCMS. DNA
diekstraksi menggunakan Dneasy plant mini kit dari QIAGEN, kemudian
diamplifikasi menggunakan empat pasang primer mikrosatelit yaitu 6pa18, 10pa17,
14pa17 dan 16pa17. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya dua pasang primer
yang dapat mengamplifikasi silang yaitu primer 6pa18 dan 16pa17. Hasil

amplifikasi didapatkan fragmen polimorfik dengan ukuran yang berbeda dan lokus
mikrosatelit 16pa17 dapat mendeteksi adanya satu alel spesifik yang menjadi
pembeda antara tanaman yang berpotensi menghasilkan gaharu yang tinggi. Nilai
keragaman genetik seluruh populasi yang diteliti tergolong tinggi (He = 0.31).
Variasi genetik tersebut tersebar sebanyak 63% di dalam populasi dan 37% antar
populasi.
Kata kunci: A. malaccensis, keragaman genetik, mikrosatelit, struktrur genetik

ABSTRACT
FITRI INDRIANI. Genetic Variation of Agarwood Producing Tree Aquilaria
malaccensis Based On Microsatellite Marker. Supervised by ULFAH JUNIARTI
SIREGAR
Aquilaria malaccensis is a high quality agarwood producing tree of which
population in nature has become rare and almost extinct due to over-exploitation.
This research aim to estimate the genetic variation of innoculated A.malaccensis
seedling and tree populations using microsatellite marker and to determine the
correlation between the plant genotypes and the agarwood components based on
analysis using GCMS. DNA was extracted using Dneasy plant mini kit from
QIAGEN, and then amplified using 4 microsatellite primer pairs, i.e. 6pa18, 10pa17,
14pa17, and 16pa17. However, only two primer pairs, i.e. 6pa18 and 16pa17 were

able to cross-amplify and produced polymorphic fragments with different sizes. In
microsatellite locus of 16pa17 the presence of one specific allele was detected
which could differentiate the plant that potentially able to produce the large amount
of agarwood. The estimated value of genetic variation of the populations studied
was categorized as high (He = 0.31). This variation was spread as much as 63%
within populations and 37% among populations.
Keywords: A.malaccensis, genetic structure, genetic variation, microsatellite

KERAGAMAN GENETIK TANAMAN PENGHASIL GAHARU
Aquilaria malaccensis BERDASARKAN PENANDA
MIKROSATELIT

FITRI INDRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Keragaman Genetik Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria
malaccensis berdasarkan Penanda Mikrosatelit
Nama
: Fitri Indriani
NIM
: E44090007

Disetujui oleh

Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh


Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Keragaman Genetik Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria
malaccensis berdasarkan Penanda Mikrosatelit
Nama
: Fitri Indriani
NIM
: E44090007

Disetujui oleh

Dr Ir Ulfuh Juniarti Sircgar, MAgr
Pembimbing

Tanggal Lulus:

rf 6

iBセ

G@

2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Oktober 2013
ini ialah Genetika, dengan judul Keragaman Genetik Tanaman Penghasil Gaharu
Aquilaria malaccensis berdasarkan Penanda Mikrosatelit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar MAgr
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan pada SEAMEO BIOTROP khususnya bagian Common
Laboratory Mbak Anidah dan kepada bapak Dr Erdy Santoso MS dari Litbang
Kehutanan Bogor yang telah membantu dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan
penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih juga penulis
sampaikan pada Fiona Citra A, Agustina Pertisia Ginting, Tri Wahyuni, Lilla

Mutia, Peniwidiyanti, Nizza Nadya R, Ade Ayu Dewayani, Memet S Purnama, Rai
Rizki dan seluruh teman-teman Silvikultur 46, teman-teman Firas serta semua
pihak yang telah menyemangati dan selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Fitri Indriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

METODE

2


Waktu dan Tempat

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur Penelitian

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Ekstraksi DNA

7


PCR Dengan Primer Mikrosatelit

8

Variasi Genetika A. malaccensis dengan Penanda Mikrosatelit

10

Struktur Genetik A. malaccensis

13

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23


Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Bahan larutan buffer TAE (tris-acetic-EDTA)
Pasangan primer mikrosatelit yang digunakan*
Sususan bahan mix PCR mikrosatelit dalam 1 kali reaksi
Susunan mix PCR core system
Tahapan dan kondisi reaksi PCR
Jumlah lokus dan perkiraan panjang fragmen
Variasi genetik A. malaccensis pada 21 populasi yang diteliti
Analysis of molecular variance (AMOVA) dari 21 populasi A.malaccensis

4
5
5
5
6
9
10
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Tahapan penelitian
Cara skoring DNA mikrosatelit
Pita DNA hasil ekstraksi
Profil pita DNA dengan primer 6pa18 dan 16pa17
Dendogram hubungan antara 21 populasi A. malaccensis berdasarkan jarak
genetik Nei (1972)
Frekuensi alel pada populasi bibit yang diinokulasi F. solani asal Jambi
Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Jambi pada 1 MSI, 2 MSI, 3 MSI
dan 4 MSI
Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Jambi pada 6 MSI, 8 MSI, 10 MSI
dan 12 MSI
Frekuensi alel pada populasi bibit yang diinokulasi F. solani asal Gorontalo
Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Gorontalo pada 1 MSI, 2 MSI, 3
MSI dan 4 MSI
Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Gorontalo pada 6 MSI dan 8 MSI,
10 MSI dan 12 MSI
Frekuensi alel pada populasi pohon yang diinokulasi
Kromatogram pohon A. malaccensis
Kromatogram pohon A. malaccensis yang memiliki genotipe yang sama

DAFTAR LAMPIRAN
1 Alat yang digunakan dalam penelitian
2 Kandungan senyawa hasil analisis GCMS

25
26

3
7
8
9
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuhan penghasil gaharu merupakan salah satu potensi pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomis tinggi. Gaharu
merupakan gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam
dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan
penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat
terinfeksi oleh jamur (Ditjen PHKA 2005).
Di Indonesia hingga saat ini terdapat sekitar 25 jenis tumbuhan penghasil
gaharu yang dikelompokkan ke dalam suku Thymeleaceae (genus Aquilaria,
Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus, Wikstromeia dan Gyrinops), suku Fabaceae
(genus Dalbergia) dan Eurphorbiaceae (genus Excoccaria). Aquilaria
malaccensis merupakan jenis penghasil gaharu yang memiliki kualitas paling baik
dan sangat diminati dalam dunia perdagangan (Sumarna 2002). Permintaan dan
harga jual gaharu yang semakin tinggi telah menarik minat masyarakat untuk
melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran, sehingga populasi Aquilaria
spp. di hutan alam menjadi langka dan hampir punah. Hal ini diperkuat dengan
dimasukkannya Aquilaria spp. ke dalam Appendix II Konvensi CITES
(Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and
Flora) tahun 2004 untuk melindungi Aquilaria spp. dari kepunahan. Keberadaan
jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang semakin langka menyebabkan perlu
dilakukan upaya konservasi, pemuliaan dan budidaya tanaman penghasil gaharu.
Upaya budidaya ini disertai dengan teknologi inokulasi agar produksi gaharu
dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu.
Informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk mendukung program
konservasi, pemuliaan dan budidaya tanaman penghasil gaharu agar dapat
berlangsung secara tepat dan efisien. Keragaman genetik tanaman dapat dianalisis
dengan teknik penanda genetik untuk mengidentifikasi genotipe suatu individu.
Salah satu penanda genetik yang banyak digunakan adalah mikrosatelit.
Mikrosatelit merupakan penanda genetik yang dapat diaplikasikan untuk
menganalisis keragaman genetik suatu populasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genotipe dan mengukur tingkat
keragaman genetik bibit dan pohon A. malaccensis yang diinokulasi Fusarium
serta betujuan untuk mengetahui hubungan genotipe tanaman dengan senyawa
pembentuk gaharu berdasarkan hasil analisa GCMS (Gas chromatography–mass
spectrometry).

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat mengetahui
informasi tentang tingkat keragaman genetik jenis A. malaccensis yang dapat

2
menghasilkan gaharu untuk kegiatan konservasi sumberdaya genetik dan
pemuliaan A. malaccensis, serta mengetahui genotipe tanaman penghasil gaharu
yang baik sebelum ditanam untuk mengasilkan gaharu yang berkualitas baik.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Common Laboratory SEAMEO BIOTROP
Bogor. Waktu penelitian ini yaitu pada bulan Juli hingga Oktober 2013.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun yang berasal
dari bibit dan pohon A. malaccensis. Bibit berasal dari Kalimantan dan diinokulasi
dengan cendawan F. solani asal Gorotalo dan Jambi. Bibit dibagi menjadi 16
populasi yaitu populasi Jambi dan Gorontalo pada 1 MSI (minggu setelah
inokulasi), 2 MSI, 3 MSI, 4 MSI, 6 MSI, 8 MSI, 10 MSI dan 12 MSI. Daun yang
berasal dari pohon diambil sebanyak 25 sampel. Sampel daun ini berasal dari
kebun budidaya gaharu di Bontang, Kalimantan Timur. Sampel yang diambil
berasal dari 4 populasi pohon yang telah diinokulasi dengan F. oxysporum 1 BSI
(bulan setelah induksi), 3 BSI, 6 BSI, 9 BSI dan 1 populasi pohon yang tidak
diinokulasi sebagai kontrol.
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA pada penelitian ini ialah
nitogen cair dan DNeasy plant mini kit dari QIAGEN. Pada proses PCR bahanbahan yang digunakan ialah DNA template, nuclease free water, primer reverse
and forward spesifik A. malaccensis, Green Go Taq Master Mix dan PCR core
system. Bahan-bahan yang digunakan dalam visualisasi DNA adalah agarose 1%
(b/v), buffer TAE (tris-acetic-EDTA), Super Fine Resolutian (SFR) agarose,
loading dye dan SYBR safe DNA gel stain. Alat yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari peralatan untuk ekstraksi atau isolasi DNA, PCR system 9700,
Kodak Gel Logic dan alat untuk elektroforesis. Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 1.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode mikrosatelit. Prosedur penelitian secara
umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Contoh Daun
Daun gaharu yang diambil untuk diuji berasal dari bibit dan pohon. Contoh
daun yang dipilih berupa pucuk daun yang masih muda kemudian dimasukkan
kedalam plasik berisi silica gel untuk menjaga kualitas daun. Daun kemudian
disimpan di dalam freezer dan segera dilakukan ekstraksi apabila dikeluarkan dari
freezer.

3

Pengambilan contoh daun

Ekstraksi DNA

Tidak

Elektroforesis agarose 1% (b/v)

PCR primer spesifik A. malaccensis

Tidak

Elektroforesis agarose 1% (b/v)

Elektroforesis SFR (Super Fine
Resolution) agarose

Foto

Tidak

Interpretasi dan analisis data

Deskriptif

Popgen32

NTsys 2.0

Minitab 15

GenAlex

Gambar 1 Tahapan penelitian
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA atau isolasi DNA dari daun A. malaccensis dilakukan
dengan menggunakan DNeasy plant mini kit dari QIAGEN. Sebanyak 100 mg
serbuk halus sampel yang telah digerus menggunakan nitrogen cair dimasukkan
ke dalam tube 2 mL kemudian ditambahkan 400 µL buffer AP1 dan 4 µL RNase
A. Campuran ini kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 1
menit dan diinkubasi di dalam water bath selama 10 menit pada suhu 65 oC
selama proses inkubasi ini campuran dibolak-balik sebanyak 2–3 kali. Sampel
yang telah diinkubasi didinginkan selama 1 menit, kemudian ditambahkan 130 µL
buffer P3 dan tube disimpan di dalam batu es yang telah dihancurkan selama 5
menit. Proses selanjutnya dilakukan pemisahan supernatan dengan sentrifuge
selama 5 menit, kecepatan 11 000 rpm dan suhu 4 oC. Supernatan yang diperoleh

4
kemudian dipindahkan kedalam tube QIA Shredder spin column dan kembali
disentrifuge selama 2 menit, kecepatan 11 000 rpm dan suhu 4 oC. Supernatan
yang telah bersih kemudian dipindahkan pada tube 2 mL, ditambahkan buffer
AW1 sebanyak 1.5 kali volume supernatan lalu dihomogenkan. Larutan yang
telah homogen dipindahkan kedalam DNeasy Mini spin column dan disentrifuge
pada suhu 4 oC selama 1 menit dengan kecepatan 8 000 rpm. Cairan yang berada
di bawah column dibuang dan pada column ditambahkan buffer AW2 sebanyak
500 µL lalu disentrifuge selama 1 menit, kecepatan 8 000 rpm dan suhu 4 oC.
Cairan hasil sentrifuge selanjutnya dibuang. Tahap akhir yaitu elusi dengan
menambahkan 100 µL buffer AE kedalam column kemudian didiamkan selama 5
menit pada suhu ruang, lalu disentrifuge selama 1 menit pada suhu 4 oC dengan
kecepatan 8 000 rpm. Untuk mendapatkan hasil yang baik elusi dilakukan
sebanyak 2 kali. DNA yang diperoleh dari tahap elusi ini siap diuji kulitas.
Uji Kualitas DNA
Uji kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose 1%
(b/v), yaitu agarose sebanyak 0.3 g dilarutkan dalam 30 mL buffer TAE 1 kali.
Buffer TAE 1 kali dibuat dari 20 mL buffer TAE 50 kali (Tabel 1) yang dilarutkan
dalam aquadest sebanyak 980 mL. Larutan agarose kemudian dipanaskan dalam
microwave selama 2 menit. Setelah larutan tercampur kemudian ditambahkan 1
µL gel red sebelum dituangkan ke dalam cetakan. Agar kemudian dituangkan
kedalam cetakan jika suhu sudah tidak terlalu panas. DNA hasil isolasi sebanyak 5
µL dan 1 µL loading dye dicampurkan dan dimasukkan ke dalam sumur di dalam
agar dengan menggunakan pipet mikro. Bak elektroforesis ditutup dan dialiri
listrik degan tegangan 75 V selama 35 menit. Hasil running kemudian
divisulisasikan dibawah sinar UV dan difoto menggunakan Kodak Gel Logic 200.
Tabel 1 Bahan larutan buffer TAE (tris-acetic-EDTA)
Bahan larutan buffer TAE
Tris (hydroxymethyl)-aminomethan
Acetic acid glacial
EDTA 0.5 M pH 8.0
H2O

Volume/g untuk 100 mL
24.20 g
5.70 mL
10.00 mL
s.d 100 .00 mL

Polymerase Chain Reaction (PCR) Mikrosatelit
Sebelum dilakukan proses amplifikasi atau PCR, DNA hasil isolasi harus
diencerkan terlebih dahulu dengan menggunakan aquabidest steril. Besarnya
perbandingan antara DNA dan aquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya DNA
genomic hasil isolasi. Semakin tebal pita DNA yang dihasilkan maka semakin
besar pengenceran yang dilakukan untuk mengurangi konsentrasi pengotor yang
berasal dari bahan-bahan kimia pada tahap ekstraksi sebelumnya.
Primer spesifik mikrosatelit yang digunakan terdiri dari empat primer yaitu
primer 6pa18, 10pa17, 16pa17 dan 14pa17. Tabel 2 menampilkan informasi
mengenai keempat primer yang digunakan.

5
Tabel 2 Pasangan primer mikrosatelit yang digunakan*

6pa18

F: TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT
R: CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA

(CA)8

Ukuran
produk
(bp)
180-210

10pa17

F: CACACACTGTTATGGTCTACAGCTT
R: TTCGCCATCTCATAATATTCTAATGTA

(CA)12

152-156

50

16pa17

F: AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG
R: GCTGAACACAACAAGATATCACC

(CA)19

143-155

59

14pa17

F: CGCATATAGAAGCAATCAAAGAGC
R: ATTTGGAATTTTACACCCATTGGA

(CA)7

134

52

Lokus

*

Sekuen primer (5ˈ – 3ˈ)

Motif
berulang

Ta
(oC)
50

Sumber: Eurlings (2006); Eurlings (2009)

Prinsip dari kegiatan PCR adalah pencampuran empat komponen utama
kedalam tube 0.2 mL. Proses PCR dalam penelitian ini menggunakan dua metode
yaitu dengan Master mix dan PCR Core System. Komponen yang diperlukan
untuk analisis DNA dengan Master mix disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sususan bahan mix PCR mikrosatelit dalam 1 kali reaksi
No
1
2
3
4

Pereaksi
Cetakan DNA
Master mix 2x
(Buffer, Mg, dNTP, Taq)
Primer Forward 1 µM
Primer Reverse 1 µM
Volume akhir

1 kali reaksi
2.50 µL
12.50 µL
5.00 µL
5.00 µL
25.00 µL

Komposisi bahan yang digunakan untuk analisis DNA dengan PCR Core
System terdiri atas nuclease free water, 5X green go taq flexi buffer, MgCl2,
dNTP (PCR Nucleotide Mix), primer forward dan reverse, Go Taq DNA
Polymerase serta DNA isolasi. Kedua reaksi PCR tersebut dilakukan dengan
menggunakan mesin GeneAmp PCR System 9700. Tabel 4 menyajikan komposisi
bahan untuk reaksi PCR mikrosatelit.
Tabel 4 Susunan mix PCR core system
No
1
2
3
4
5
6
7

Pereaksi
Nuclease free water
DNA isolasi
5X Green Go Taq Flexi Buffer
MgCl2
dNTP (PCR Nucleotide mix)
Primer forward dan reverse @
Go Taq DNA Polymerase
Volume akhir

1 kali reaksi
6.51 µL
5.00 µL
2.50 µL
0.25 µL
0.50 µL
5.00 µL
0.24 µL
25.00 µL

6
Reaksi amplifikisi tersebut dibuat dalam volume 25 µL/reaksi di dalam
microtube 0.2 mL. Campuran yang telah jadi dihomogenkan menggunakna vortex
selama 2 – 5 detik kemudian dispin agar tercampur merata selanjutnya dilakukan
proses PCR. Tahapan dan kondisi reaksi PCR disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tahapan dan kondisi reaksi PCR
Tahapan
Pre denaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Post extension

Suhu (oC)
95
95
52 – 59
72
72

Waktu (menit)
2
0.5
0.5
0.5
2

Jumlah siklus
1
35
1

Elektroforesis Gel Super Fine Resolution (SFR) agarose
Produk PCR sebelum dielektroforesis pada SFR agarose dianalisis terlebih
dahulu menggunakan gel agarose 1% (b/v) sebanyak 5 µL selama 25 menit pada
tegangan 75 V untuk mengetahui kualitasnya. Produk PCR yang kualitasnya baik
kemudian dilakukan proses elektroforesis pada SFR agarose 3%.
Gel SFR agarose 3% dibuat dengan mencampurkan 2.1 g SFR agarose
dengan 70 mL buffer TAE 1 kali, setelah itu dilakukan penandaan pada
erlenmeyer untuk mengetahui volume awal. Larutan ini kemudian dipanaskan
dalam microwave selama 2 menit pada temperatur tinggi dan menyebabkan
larutan berkurang karena terjadi penguapan, kemudian ditambahkan aquabidest
steril agar volume awal sama dengan volume akhir. Setelah larutan tercampur
kemudian ditambahkan 3 µL gel red (SYBR safe DNA gel stain) sebelum
dituangkan ke dalam cetakan.
DNA hasil PCR sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam sumur di dalam agar
dengan menggunakan pipet mikro. Bak elektroforesis ditutup dan dialiri listrik
dengan tegangan 3 – 4 V/cm selama 1 jam. Selanjutnya pita DNA yang muncul
pada agar difoto menggunakan alat Kodak Gel Logic 200.
Analisis Data
Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto kemudian dianalisis dengan
melakukan skoring pola pita yang muncul. Cara skoring DNA mikrosatelit
ditampilkan pada Gambar 2. Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan
menggunakan software POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh dan Yang 1999) digunakan
untuk menghitung distribusi keragaman genetik dan jarak genetik berdasarkan
asumsi Hardy-Weinberg (HW), NTSys Ver 2.0 (Rohlf 2008), Minitab versi 15
untuk menduga besarnya panjang fragmen (bp) DNA hasil amplifikasi dan
GenAlex 6.3 (Peakall dan Smouse 2006) untuk menduga beberapa variabel
keragaman genetika meliputi persentase lokus polimorfik (PLP), jumlah alel yang
teramati (na), jumlah alel efektif (ne), heterozigositas harapan (He) dan Analysis
of Molecular Variance (AMOVA) untuk menghitung signifikansi dan distribusi
keragaman antar populasi dan dalam populasi yang membentuk struktur populasi.

7

Gambar 2 Cara skoring DNA mikrosatelit
Gambar 2 menunjukkan profil pita DNA hasil analisis mikrosatelit. Hasil ini
diskoring dengan ada atau tidaknya hasil amplifikasi. Jika terdapat dua pita maka
genotipe tersebut dinilai 12 dan jika tidak terdapat satu pita maka dinilai 11 atau
22. Angka 1 diberikan pada pita yang dihasilkan dekat dengan sumur gel
sedangkan nilai 2 diberikan pada pita yang ada dibawahnya.
Gaharu yang dihasilkan A. malaccensis yang diinokulasi dilakukan analisis
GCMS untuk menguji senyawa-senyawa kimia yang ada dalam gaharu. Hasil
analisis ini kemudian digabungkan dengan hasil analisis genetik untuk melihat
hubungan antara fenotipe dan genotipe dari tanaman penghasil gaharu.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi DNA
Kegiatan ekstraksi DNA dan kualitas DNA yang dihasilkan menentukan
kegiatan selanjutnya untuk tahapan PCR. Pengujian kualitas DNA hasil ekstraksi
dilakukan dengan elektroforesis untuk mengetahui kemurnian DNA yang
dihasilkan, kemudian dilakukan secara visual untuk menentukan ketebalan pita
DNA. Hasil pengujian ini akan menentukan pengenceran DNA untuk tahap PCR.
Kegiatan ekstraksi yang dilakukan pada daun Aqularia malaccensis pada
penelitian ini secara umum memperlihatkan pola pita DNA yang jelas dan tebal
dan tidak smear (Gambar 3). Hal tersebut menandakan bahwa DNA hasil
ekstraksi memiliki kualitas yang baik karena tidak terlihat pola DNA yang
terdegradasi. Herison et al. (2003) menyatakan bahwa kualitas DNA yang baik
dan tidak terdegradasi pada hasil elektroforesis tidak menampakan pola pita yang
smear (terkontaminasi).
DNA yang bebas dari kontaminasi diperlukan untuk melakukan analisis
PCR. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan DNA yang cukup bebas
dari kontaminasi adalah dengan melakukan pengenceran. Pengenceran DNA
dilakukan menggunakan aquabidest steril dengan perbandingan tertentu yang
mengacu pada ketebalan pita DNA yang diperoleh, yaitu pita yang tebal pada
beberapa sampel memerlukan pengenceran yang besar mencapai 40 kali (2.5 µL
DNA ; 97.5 µL aquabidest steril). Setiap sampel DNA yang berbeda mendapatkan
perlakuan pengenceran yang berbeda pula sesuai dengan ketebalan pita DNA

8
masing-masing. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat
menempel pada template DNA sehingga DNA dapat diamplifikasi.

Gambar 3 Pita DNA hasil ekstraksi
PCR Dengan Primer Mikrosatelit
Penelitian ini menggunakan empat macam primer yang digunakan pada
jenis A. crassna. Hasil pengujian amplifikasi DNA menunjukkan hanya dua
primer yang dapat mengamplifikasi silang pada gaharu jenis A. malaccensis yaitu
primer 6pa18 dan 16pa17. Dua pasang primer lainnya yakni 10pa17 dan 14pa17
tidak menghasilkan produk amplifikasi. Kesesuaian primer dan suhu hibridisasi
primer menetukan hasil proses PCR, primer yang tidak spesifik dan suhu
hibridisasi yang tidak tepat dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain
dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau tidak ada daerah genom DNA
yang teramplifikasi. Hartati et al. (2007) menyatakan bahwa syarat utama
terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer
tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari
kedua untai cetak DNA pada posisi berlawanan.
Hasil elektroforesis dengan menggunakan Super Fine Resolution (SFR)
agarose 3 % mampu memisahkan DNA lebih sempurna karena memiliki ukuran
pori yang lebih kecil dibandingkan dengan agarose 1 %. Penentuan ukuran dan
jumlah alel yang muncul pada gel didasarkan pada asumsi bahwa semua pita
DNA yang memiliki laju migrasi yang sama disebut homolog (Leung et al. 1993
dalam Muniarti 2005). Hasil elektroforesis menunjukkan jumlah alel yang
ditemukan adalah minimum 1 alel dan maksimum 2 alel (Gambar 4)
Resolusi setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat jelas. Jelas
tidaknya hasil resolusi ditentukan oleh jumlah fragmen DNA yang diamplifikasi
pada genom tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang diamplifikasi, maka
resolusi pita DNA yang dihasilkan akan makin jelas. Weising et al. (1995)
menyatakan pada genom tanaman kurang lebih 90% dari DNA genom merupakan
urutan yang berulang. Selain itu adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom menyebabkan suatu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah

9
yang banyak dan fragmen lainnya dalam jumlah yang sedikit. Konsentrasi DNA
yang terlalu kecil juga sering menghasilkan pita yang kabur dan tidak jelas.

(a)

(b)

(c)

(d)

Keterangan : (a) primer 6pa18 pada bibit, (b) primer 16pa17 pada bibit, (c) primer 6pa18 pada
pohon dan (d) primer 16pa17 pada pohon

Gambar 4 Profil pita DNA dengan primer 6pa18 dan 16pa17
Kedua primer yang dapat mengamplifikasi DNA menghasilkan lokus yang
polimorfik. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika frekuensi dari alel yang
paling sering ditemukan adalah kurang dari 95% (Finkeldey 2005). Gen juga
dapat dikatakan polimorfik dikarenakan fragmen DNA yang dihasilkan memiliki
ukuran base pairs (bp) yang berbeda-beda pada masing-masing primer.
Hasil elektroforesis pada SFR agarose kemudian dianalisis untuk menduga
panjang fragmen (bp) pita hasil amplifikasi. Hasil perhitungan struktur alel yang
diperoleh menunjukkan jumlah alel keseluruhan populasi yaitu 3 alel. Tabel 6
menunjukkan dugaan panjang fragmen DNA yang dihasilkan.
Tabel 6 Jumlah lokus dan perkiraan panjang fragmen
No
1

Lokus
6pa18

2

16pa17

Alel
1
2
3
1
2
3

Dugaan panjang fragmen (bp)
172
164
147
181
147
124

10
Tabel 6 menunjukkan kedua primer yang digunakan memiliki jumlah alel
yang sama dengan panjang fragmen yang berbeda. Susilowati (2013) menjelaskan
bahwa perbedaan panjang fragmen dapat disebabkan karena terjadinya proses
seleksi maupun mutasi serta perbedaan lokasi pengambilan sampel.
Variasi Genetika A. malaccensis dengan Penanda Mikrosatelit
Variasi Genetika dalam Populasi
Variasi genetik dalam populasi dihitung berdasarkan frekuensi alel dan
dapat ditunjukkan dengan peubah presentase lokus polimorfik (PLP), jumlah alel
yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne) dan heterozigositas harapan (He).
Nilai parameter keragaman pada penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Variasi genetik A. malaccensis pada 21 populasi yang diteliti
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Populasi
Jambi 1 MSI
Gorontalo 1 MSI
Jambi 2 MSI
Gorotalo 2 MSI
Jambi 3 MSI
Gorontalo 3 MSI
Jambi 4 MSI
Gorontalo 4 MSI
Jambi 6 MSI
Gorontalo 6 MSI
Jambi 8 MSI
Gorontalo 8 MSI
Jambi 10 MSI
Gorontalo 10 MSI
Jambi 12 MSI
Gorontalo 12 MSI
1 BSI
3 BSI
6 BSI
9 BSI
Kontrol
Rata-rata

N
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
7
4
5
6
3

PLP (%)
100.00
100.00
100.00
100.00
50.00
100.00
100.00
50.00
100.00
100.00
50.00
100.00
100.00
100.00
50.00
100.00
50.00
50.00
50.00
50.00
50.00
78.57

na
2.50
2.00
2.00
2.50
1.50
2.00
2.50
1.50
2.00
2.00
1.50
2.00
2.00
2.00
2.00
2.00
1.50
1.50
1.50
2.00
1.50
1.90

Ne
2.33
1.74
1.60
2.13
1.50
1.44
1.71
1.30
1.80
1.44
1.30
1.60
1.58
1.44
1.83
1.58
1.16
1.40
1.24
1.21
1.40
1.56

He
0.56
0.42
0.38
0.50
0.25
0.30
0.38
0.19
0.44
0.30
0.19
0.38
0.34
0.30
0.31
0.34
0.12
0.22
0.16
0.15
0.22
0.31

N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; na = Jumah alel yang diamati; ne
= Jumah alel efektif (Kimura and Crow (1964); He = Diferensiasi genetik Nei (1973) /
heterozigositas harapan

Tabel 7 menunjukkan nilai rata-rata PLP = 78.57 %, na = 1.90, ne = 1.56
dan He = 0.31. Secara umum nilai keragaman genetik A. malacenssis
menunjukkan nilai yang tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Azwin

11
(2007) yang menyatakan keragaman genetik A. malaccensis sebesar 0.2454 masih
tergolong tinggi. Selain itu Siburian (2009) menyatakan keragaman genetik
Gyrinops verstegii sebesar 0.2944 tergolong tinggi. Keragaman genetik yang
tinggi pada penelitia ini diduga disebabkan oleh sistem perkawinan tanaman
gaharu. Menurut Azwin (2007) tanaman gaharu adalah jenis tanaman biseksual
atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada tanaman yang
sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk bertemu dan
bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga sering disebut
menyerbuk sendiri (selfing), antara bunga dalam satu individu (geitonogami) atau
penyerbukan dari tanaman yang berbeda (xenogami) (Finkeldey 2005).
Hasil tingat heterozigositas pada bibit A. malccensis dalam penelitian ini
lebih kecil apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Irmayanti 2011)
dimana nilai He sebesar 0.5424. Perbedaan nilai heterozigositas A. malccensis
yang masing-masing dianalisis dengan menggunakan penanda mikrosatelit yang
sama diduga dipengaruhi oleh asal usul sampel yaitu strain dan populasi yang
berbeda, jumlah sampel dan jumlah penada yang digunakan dalam penelitian.
Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel dalam penelitian
ini berasal dari hutan alam sedangkan pada penelitian sebelumnya berasal dari
hutan tanaman. Rendahnya keragaman genetik di hutan alam ini dapat disebabkan
oleh kelangkaan di alam atau jarang ditemukan di alam. Kelangkaan yang terjadi
di alam disebabkan karena jenis A. malaccensis dapat menghasilkan gaharu
dengan kualitas terbaik dan sangat diminati dalam dunia perdagangan sehingga
terjadi eksploitasi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Widyatmoko et al. (2009) menyatakan bahwa rendahnya nilai keragaman genetik
pada gaharu populasi Mantang (Lombok) disebabkan karena adanya kegiatan
eksploitasi yang terjadi pada populasi tersebut.
Nilai variasi genetik dapat digunakan sebagai landasan untuk kegiatan
pemuliaan pohon dan kegiatan konservasi. Keragaman genetik juga dapat menjadi
landasan bagi pemulia untuk memulai kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya
keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan
genetik dalam program pemuliaan. Keragaman genetik yang luas merupakan
syarat berlangsungnya proses seleksi yang efektif karena memberikan keleluasaan
dalam proses pemilihan suatu genotipe. Selain itu populasi dengan keragaman
genetik yang lebih luas akan memberikan peluang yang lebih besar diperolehnya
karakter-karakter yang diinginkan (Mulyadiana 2010).
Variasi Genetika antar Populasi
Peubah variasi genetik antar populasi dapat diidentifikasi dengan
menggunakan jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik
antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Pebedaan genetik dari dua atau
lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemenelemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing
populasi (Finkeldey 2005). Data mengenai jarak genetika pada penelitian ini
disajikan pada Lampiran 4. Nilai jarak genetik yang rendah mengindikasikan
kekerabatan antara populasi semakin dekat, sebaliknya jarak genetik yang tinggi
menunjukkan kekerabatan antara populasi semakin jauh.
Peubah lain yang dapat mengidentifikasi keragaman genetik antar populasi
adalah analisis gerombol atau kelompok atau dendrogram jarak genetik antar

12
populasi. Hasil jarak genetik yang diperoleh antar populasi A. malccensis menurut
Nei (1972) kemudian diolah menggunakan metode pemasangan aritmatika tidak
berbobot (UPGMA) dengan software Numerical Taxonomy and Mulivariate
Analysis System (NTsys) versi 2.01. Dendogram jarak genetik antar populasi
disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Dendogram hubungan antara 21 populasi A. malaccensis berdasarkan
jarak genetik Nei (1972)
Gambar diatas memperlihatkan bahwa kedelapan populasi A. malaccensis
yang diteliti membentuk dua klaster besar. Kelompok pertama terdiri dari populasi
bibit A. malaccensis sedangkan populasi pohon A. malaccensis membentuk
klaster kedua. Pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memilki
struktur genetik yang hampir sama (homogen) sehingga antara klaster satu dengan
yang lainnya memilki struktur genetik yang berbeda.
Dari dendogram tersebut terlihat bahwa populasi mengelompok berdasarkan
tingkat pertumbuhan. Pengelompokan disebabkan populasi bibit dan pohon
diambil dari lokasi yang berbeda sehingga populasi mengelompok berdasarkan
tempat tumbuh. Pengelompokan juga dapat terjadi karena adanya proses evolusi
dan adaptasi suatu populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan habitatnya
akan menyebabkan setiap populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik
secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainnya, oleh karena
itu, pengelompokan tidak selalu berdasarkan kedekatan jarak geografis akan tetapi
populasi yang berdekatan mempunyai kecenderungan untuk membentuk satu sub
kelompok (Hartati et al. 2007). Berdasarkan penyataan tersebut maka populasi
yang membentuk sub kelompok dimungkinkan berasal dari lokasi yang
berdekatan.
Struktur Genetika Populasi
Untuk menelaah lebih dalam mengenai penyebab terjadinya keragaman
genetika dari masing-masing populasi dilakukan uji lanjutan yang lebih spesifik
dengan menggunakan metode mikrosatelit. Skoring yang dilakukan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan software GenAlex untuk memperoleh informasi

13
sumber keragaman pada populasi yang diteliti. Hasil perhitungan software ini
berbentuk tabel AMOVA seperti disajikan dalam pada Tabel 8.
Tabel 8
Analysis of molecular variance (AMOVA) dari 21 populasi
A.malaccensis
Derajat Jumlah Kuadrat Presentase
Sumber variasi
Indeks Fiksasi
bebas
kuadrat Tengah
variasi
Antar populasi
20
40.456
2.023
37
Fst = 0.369
Di dalam populasi
157
53.398
0.340
63
Fis = 0.573
Total
177
93.854
100
Hasil perhitungan AMOVA menunjukkan bahwa sebesar 37% variasi
genetik tersebar antar populasi dan 63% variasi genetik tersebar di dalam populasi.
Indeks fiksasi antar populasi (Fst) merupakan ukuran diferensiasi genetik suatu
populasi dengan nilai berkisar dari nol hingga satu. Nilai nol menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan secara genetik dari populasi-populasi yang diamati,
sedangkan nilai satu menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jelas. Nilai Fst
sebesar 0.369 menunjukkan bahwa kedua puluh satu populasi A. malaccensis
yang diteliti memiliki perbedaan genetik yang sedikit. Perbedaan yang kecil
menandakan kedua puluh satu populasi ini memiliki kekerabatan populasi yang
dekat karena sebanyak 63% variasi genetik terdapat di dalam populasi. Dengan
demikian populasi yang diteliti secara genetik masih tergolong sama atau
memiliki kemiripan genetik yang tinggi satu dengan yang lainnya.
Nilai indeks fiksasi dalam populasi (Fis) menggambarkan besarnya
inbreeding yang telah terjadi. Angka minus menujukkan bahwa presentasi
heterozigot lebih besar dari pada homozigot sedangkan nilai plus menunjukkan
semakin besar homozigositas yang berarti kemungkinan terjadi inbreeding
semakin besar (Munawar 2002). Boer (2007) menyatakan nilai Fis yang positif
disebabkan terjadinya silang dalam atau anggota populasi yang berkawin tidak
beragam dari sisi genotipenya. Hal ini disebabkan karena populasi bibit dan
populasi pohon terpisah sehingga perkawinan hanya terjadi didalam populasi
tersebut.
Struktur Genetik A. malaccensis
Struktur Genetik Bibit A. malaccensis Isolat Jambi
Frekuensi alel pada masing-masing lokus dari populasi bibit yang
diinokulasi dengan F. solani asal Jambi disajikan pada Gambar 6. Enam alel
mikrosatelit terdeteksi pada populasi A. malaccensis dengan jumlah dan frekuensi
yang bervariasi dari kedua lokus 6pa18 dan lokus 16pa17.
Lokus mikrosatelit mendeteksi adanya satu alel jarang yaitu alel 124 pada
populasi bibit 6 MSI (Gambar 6). Sebagian besar alel-alel jarang juga merupakan
alel spesifik, yaitu alel yang dimiliki oleh sebuah genotipe tertentu (Santoso
2006). Alel-alel spesifik ini dapat menjadi penciri suatu tanaman (fingerprinting)
apabila berkaitan dengan gen-gen penting yang bermanfaat.

14
0.001
0.001
Alel 172

0.001

Alel 164
0.001

Alel 147a
Alel 181

0.000

Alel 147b
Alel 124

0.000
0.000
1 MSI

2 MSI

3 MSI

4 MSI

6 MSI

8 MSI 10 MSI 12 MSI

Gambar 6 Frekuensi alel pada populasi bibit yang diinokulasi F. solani asal
Jambi
Populasi yang memiliki alel spesifik memiliki penciri atau pembeda dengan
populasi lainnya. Penciri tersebut berhubungan dengan senyawa kimia atau
kandungan gaharu yang dihasilkan pada bibit gaharu yang diinokulasi.
Kandungan gaharu yang dihasilkan dapat dilihat dari hasil analisis GCMS yang
disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Hasil analisis GCMS digolongkan kedalam senyawa pembentuk gaharu,
senyawa aromatis berkarakter odorant dan senyawa odorant lainnya. Senyawa
pembentuk gaharu diantaranya Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6Dimethoxyphenol, Benzaldehyde (CAS) Phenylmethanal dan 4-METHYL-2,5DIMETHOXYBENZALDEHYDE. Senyawa aromatis berkarakter odorant
diantaranya 2-propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol, Phenol (CAS) Izal dan 3Methoxy-pyrocatechol. Senyawa odorant lainnya diantaranya yaitu 2(5H)FURANONE, Cyclopropyl carbinol dan 2-Furanmethanol (CAS) Furfuryl
alcohol.
Populasi yang memiliki alel spesifik yaitu populasi 6 MSI memperlihatkan
adanya perbedaan kandungan senyawa gaharu yang dihasilkan. Senyawa
pembentuk gaharu yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
bibit lainnya. Kandungan senyawa pembentuk gaharu yang dihasilkan yaitu
sebesar 20.83%, sedangkan senyawa aromatis berkarakter odorant dan senyawa
odorant lain yang dihasilkan masing-masing sebesar 21.47% dan 8.01%.

15

1 MSI
172/164 ; 181/147
172/164 ; 147/147
164/147 ; 181/147

2 MSI
164/164 ; 181/181
164/164 ; 147/147
147/147 ; 147/147

3 MSI
172/172 ; 147/147
172/172 ; 147/147
164/164 ; 147/147

4 MSI
172/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147

Kontrol

Gambar 7 Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Jambi pada 1 MSI, 2 MSI, 3
MSI dan 4 MSI (Purnama 2014)

16

6 MSI
172/172 ; 124/124
164/164 ; 147/124
172/172 ; 124/124

8 MSI
172/172 ; 147/147
172/172 ; 181/147
172/172 ; 181/147

10 MSI
172/164 ; 147/147
172/172 ; 147/147
164/164 ; 147/147

12 MSI
164/164 ; 147/147
172/164 ; 147/147
147/147 ; 147/147

Kontrol

Gambar 8 Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Jambi pada 6 MSI, 8 MSI, 10
MSI dan 12 MSI (Purnama 2014)

17
Struktur Genetik Bibit A. malaccensis Isolat Gorontalo
Frekuensi alel pada masing-masing lokus dari populasi bibit yang
diinokulasi dengan F. solani asal Gorontalo disajikan pada Gambar 9. Enam alel
mikrosatelit terdeteksi pada populasi A. malaccensis dengan jumlah dan frekuensi
yang bervariasi dari kedua lokus 6pa18 dan lokus 16pa17.
0.001
0.001
Alel 172

0.001

Alel 164
Alel 147a

0.001

Alel 181
Alel 147b

0.000

Alel 124
0.000
0.000
1 MSI

2 MSI

3 MSI

4 MSI

6 MSI

8 MSI

10 MSI 12 MSI

Gambar 9 Frekuensi alel pada populasi bibit yang diinokulasi F. solani asal
Gorontalo
Gambar diatas menunjukkan adanya satu alel spesifik yang terdeteksi yaitu
alel 124 pada populasi bibit 3 MSI. Adanya alel spesifik ini dapat menjadi penciri
antara bibit gaharu yang telah diinokulasi oleh Fusarium. Perbedaan yang
disebabkan oleh adanya alel spesifik ini terlihat pada hasil kromatogram bibit
gaharu pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Pembeda populasi yang memiliki alel spesifik terdapat pada kandungan
senyawa pembentuk gaharu dan senyawa odorant lain yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi lainnya. Kandungan senyawa tersebut yaitu sebesar
21.76% untuk senyawa odorant lain dan 16.48% untuk senyawa pembentuk
gaharu yang dihasilkan.

18

1 MSI
172/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147

2 MSI
164/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147
147/147 ; 181/181

3 MSI
172/172 ; 124/124
172/172 ; 124/124
172/164 ; 147/147

4 MSI
164/164 ; 147/147
172/172 ; 147/147
172/172 ; 147/147

Kontrol

Gambar 10

Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Gorontalo pada 1 MSI, 2
MSI, 3 MSI dan 4 MSI (Purnama 2014)

19

6 MSI
172/172 ; 147/147
164/164 ; 147/147
172/172 ; 147/147

8 MSI
164/164 ; 181/147
172/172 ; 181/147
164/164 ; 147/147

10 MSI
164/164 ; 147/147
172/164 ; 147/147
164/164 ; 147/147

12 MSI
164/147 ; 147/147
164/164 ; 147/147
147/147 ; 147/147

Kontrol

Gambar 11 Kromatogram bibit gaharu dengan isolat Gorontalo pada 6 MSI dan 8
MSI, 10 MSI dan 12 MSI (Purnama 2014)

20
Struktur Genetik Pohon A. malaccensis
Frekuensi alel pada masing-masing lokus dari populasi pohon yang
diinokulasi dengan F. oxysporum disajikan pada Gambar 12. Empat alel
mikrosatelit terdeteksi pada populasi A. malaccensis yaitu alel 172, alel 181, alel
147b dan alel 124. Alel 172 memiliki frekuensi yang sama pada semua populasi
yang diuji, sedangkan alel lainnya memiliki frekuensi yang bervariasi.
1,200

1,000

0,800
Alel 172
Alel 181

0,600

Alel 147b
Alel 124

0,400

0,200

0,000
1 BSI

3 BSI

6 BSI

9 BSI

Kontrol

Gambar 12 Frekuensi alel pada populasi pohon yang diinokulasi
Gambar 12 menunjukkan terdapat satu alel spesifik yang ditemukan pada
populasi pohon 6 BSI dan 9 BSI. Berdasarkan hasil analisis GCMS pada populasi
6 BSI dan 9 BSI kandungan senyawa pembentuk gaharu, senyawa aromatis
bersifat odorant dan senyawa odorant lainnya relatif tinggi dibandingkan dengan
populasi lainnya. Hasil analisis GCMS pada populasi pohon disajikan pada
Gambar 13.
Gambar 14 menampilkan hasil kromatografi pohon (fenotipe) dengan
genotipe yang sama pada setiap populasi yang diuji. Gambar 14 ini menunjukkan
pada tanaman yang memiliki genotipe yang sama, jumlah dan kandungan senyawa
yang dihasilkan berbeda. Hal tersebut dapat dipengaruhi karena perbedaan lama
waktu inokulasi. Pohon yang diinokulasi lebih lama cenderung menghasilkan
senyawa yang lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang diinokulasi dengan
waktu yang lebih pendek. Selain itu, dapat dilihat juga adanya pemberian atau
inokulasi pada tanaman A. malaccensis menyebabkan pertambahan senyawa
kimia yang dihasilkan.

21

1 BSI
172/172 ; 181/181

3 BSI
172/172 ; 181/181

6 BSI
172/172 ; 124/124

9 BSI
172/172 ; 172/124

Kontrol
172/172 ; 172/172

Gambar 13 Kromatogram pohon A. malaccensis (Purnama 2014)

22
1 BSI
172/172 ; 172/172

3 BSI
172/172 ; 172/172

6 BSI
172/172 ; 172/172

9 BSI
172/172 ; 172/172

Kontrol
172/172 ; 172/172

Gambar 14 Kromatogram pohon A. malaccensis yang memiliki genotipe yang
sama (Purnama 2014)

23

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil keragaman genetik bibit dan pohon A. malaccensis yang diinokulasi
dengan Fusarium tergolong tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya nilai
heritabilitas (He = 0.31). Pembentukan senyawa gaharu dipengaruhi oleh faktor
genetik yaitu ditemukannya alel spesifik yang membentuk suatu karakter tertentu
pada tanaman

Saran
Perlu dilakuan penelitian keragaman genetik lebih lanjut dengan jumlah
sampel dan populasi yang lebih banyak agar dapat mewakili keragaman genetik
secara menyeluruh. Penelitian ini masih merupakan informasi awal mengenai
keragaman genetik tanaman penghasil gaharu, masih diperlukan adanya penelitian
mendalam mengenai peranan gen dalam menentukan karakter penghasil gaharu,
sehingga program pemuliaan dapat efektif diterapkan untuk peningkatan
produktivitas gaharu.

DAFTAR PUSTAKA
Azwin. 2007. Evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis
Lamk.) hasil kultur in vitro [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Boer D. 2007. Keragaman dan struktur genetik populasi Jati Sulawesi Tenggara
berdasarkan marka mikrosatelit [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
[Ditjen PHKA] Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2010. Di dalam: Isnaini Y, Rachmawati D, Toruan NM, Situmorang J, Sari YP,
editor. Peran Management Authority dalam Ekspor Gaharu Indonesia.
Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia; 2005 Des 1-2;
Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 1-12.
Eurlings M, Gravendeel B. 2006. Search For DNA Markers to Discriminate
Cultivate from Wild Gaharu (Agarwood). Sixteenth meeting of the Plants
Committee [Internet]; 2006 Jul 3-8; Lima, Peru. Peru (PE). hlm 1-5; [diunduh
2013 Okt 9]. Tersedia pada: http://www.cites.org/common/com/pc/16/X-PC1601-Inf.pdf.
Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2009. Polymorphic microsatellites
for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). Forensic Science
International 197(2010):30-34.
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ,
Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Bogor (ID): IPB Pr. Terjemahan
dari: An Introduction to Tropical Forest Genetic.
Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007.
Pendugaan keragaman genetik di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia

24
scholaris (L.) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. Pemuliaan Tanaman
Hutan 2:89-98
Herison C, Rustikawati, Eliyati. 2003. Penentuan protocol yang tepat untuk
menyiapkan DNA genom Cabai (Capsium sp). Akta Agrosia 6 (2):38-43.
Irmayanti L. 2011. Keragaman genetik gaharu budidaya dan alami berdasarkan
penanda mikrosatelit [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea laevis ridl. di Kalimantan
berdasarkan penanda mikrosatelit [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Munarti. 2005. Analisis keragaman genetik jati asal Sulawesi Selatan berdasarkan
marker simple sequence repeat (ssr) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Munawar AA. 2002. Studi keragaman genetika tusam (P. merkusii) di hutan alam
tapanuli dan kerinci dengan analisis isozim serta implementasinya dalam
konservasi [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
Nei M. 1972. Genetic distance between population. Am. Naturalis: 106:283-296
Nurtjahjaningsih ILG, Saito Y, Lian CL, Tsuda Y, Ide Y. 2008. Penyebaran
serbuk sari dan keragaman genetik biji yang dihasilkan kebun benih Pinus
merkusii di Jember. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(3):1-13.
Peakall R, Smouse PE. 2006. GenAlex 6: genetic analysis in Excel. Population
genetic software for teaching and research. Molecular Ecology Notes 6(1):288295.doi: 10.1111/j.1471-8286.2005.01155.x.
Purnama MS. 2014. Perbedaan kandungan senyawa resin gaharu (Aquilaria
malaccensis) hasil inokulasi pada tingkat semai dan pohon [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor, siap terbit.
Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0.
New York (USA): Department of Ecology and Evolution Sate University of
New York.
Santoso TJ, Dwinita W, Utami, Endang MS. 2006. Analisis sidik jari DNA
plasma nutfah kedelai menggunakan marka SSR. Agrobien 2(1): 1-7.
Siburian RHS. 2009. Keragaman genetik Gyrinops verstegii asal Papua
berdasarkan RAPD dan mikrosatelit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
. 2013. Karakterisasi interaksi antara tanaman Aquilaria microcarpa
Baill dengan Fusarium solani dalam pembentukan gaharu [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sumarna Y. 2002. Budidaya Gaharu. Depok (ID): Penebar Swadaya
Susilowati A. 2013. Karakterisasi genetika dan anatomi kayu Pinus merkusii
kandidat bocor getah serta strategi perbanyakannya [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Weising K, Nybom H, Wolff K, Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in plant
and fungi. Florida (US): CRC Pr.
Widyamoko AYPBC, Afritanti RD, Taryono, Rimbawanto A. 2009. Keragaman
genetik lima populasi Gyrinops verstegii di Lombok menggunakan penanda
RAPD. Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):1-10
Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for
International Forestry Research. Kanada (US): Universitas of Alberta

25
Lampiran 1 Alat yang digunakan dalam penelitian

Alat untuk ekstraksi

Frezzer

Microfuge 200 R Hettich

Micropipet

Water Bath W 350

Spin

Microwave

GeneAmp PCR System 9700

Stirring Hot Plate

Neraca Analitik AND HR-60

Maxi Mix II Vortex Mixer

BIO-RAD

KODAK Gel Logic 200

26
Lampiran 2 Kandungan senyawa hasil analisis GCMS

Populasi

1 BSI
3 BSI
6 BSI
9 BSI
Kontrol

1 MSI
2 MSI
3 MSI
4 MSI
6 MSI
8 MSI
10 MSI
12 MSI

Jenis senyawa yang dihasilkan
Aromatis bersifat
Konstituen gaharu (%)
Odorant lainnya (%)
odorant (%)
Pohon
16.23
10.75
21.17
15.91
11.79
18.33
11.96
8.18
20.15
8.50
11.44
12.43
11.81
11.39
22.57
Bibit
Gorontalo
Jambi
Gorontalo
Jambi
Gorontalo
Jambi
11.63
14.80
1.82
9.69
10.68
15.61
14.23
15.86
3.74
9.52
17.83
23.24
16.48
20.84
4.58
12.47
21.76
24.99
10.35
16.01
6.43
13.51
21.44
17.34
16.43
20.83
6.43
8.01
19.16
21.47
13.79
12.29
7.25
5.86
20.34
20.94
12.79
14.66
11.77
7.74
19.00
11.90
15.34
15.71
5.63
8.73
19.32
21.18

27

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 12 Mei 1991 dari ayah Amud
Sahrudin dan ibu Yayat Rohayati. Penulis adalah putri pertama dari dua
bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cibadak dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
undangan seleksi masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen
Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Genetika
Hutan pada tahun ajaran 2013/2014, asisten praktikum Silvikultur pada tahun ajaran
2013/2014 dan asisten praktikum Pengaruh Hutan tahun ajaran 2013/2014. Penulis
juga pernah aktif sebagai staff Departemen Kemahasiswaan BEM Fakultas
Kehutanan dan staff Divisi Scientific Improvement Himpunan Profesi Tree Grower
Community. Selama di bangku kuliah, penulis menjadi salah satu mahasiswa
berprestasi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB tahun 2011
Penulis selama menjadi mahasiswa kehutanan IPB pernah mengikuti praktik
pengenalan ekosistem hutan (PPEH) yang dilaksanakan di Cikiong-Tangkuban
Perahu pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melaksanak