Keragaman Genetik Gaharu Budidaya dan Alami Berdasarkan Penanda Mikrosa telit

(1)

ABSTRACT

Agarwood is one of the valuable Non Timber Forest Products (NTFPs) that contain resin with a specific fragrance, and is often used as raw materials of perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, incense, preservatives as well as religious activities. Overexploitation of agarwoodhas resulted in scarcity of agarwood in the nature leading to the lossesof treesof superior genotypes. This scarcity has led agarwoodto be included into the CITES Appendix II list in which a quota system is imposed for trading activities. However, this quota still does not distinguish clearly between natural or cultivatedagarwood, opening opportunities for illegal trading practices. It is therefore necessary to provide an effective attemptsto control of the origin of. Nowdayas, the use of DNA markers gains significant importance in the forensic activities such as verification of the origin of timber and plant materials. This tool is difficult to be manipulated. Therefore, a study was carried with aims to 1) cross amplify Aquilariacrassna microsatellite primers into other agarwood species (transferability study), and 2) to infer the origin of agarwoodbeing traded in the market. Materials for research were populations of agarwood from natural and planted forests and agarwood pieces of unknown origin. A.crassna microsatellite primers were used, namely 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), and 71pa17 (152-224 bp). Results showed thatagarwood samples from both natural forests and plantations could cross amplify with expected fragment size ranges.Resultshowedthatgenetic diversity (He) in the planted forest was 0.5443 a slighty higher than that of natural forest (He=0.4642). Information on the level of genetic diversities can be used as scientific basis for conservation program. Cluster analysis showed different groupings of agarwood originated from plantations and natural forests. Futher analysis showed that agarwoodtimbers with unclear origins clustered intoagarwoodgroupd from natural forests indicatingcommon existence of traded natural agarwood.

Keywords: agarwood, cross amplification, microsatellite, CITES, genetic diversity.  


(2)

1  

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon gaharu.Adanya kandungan damar yang wangi dalam gaharu ini, gaharu sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet, serta untuk keperluan kegiatan agama.

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan Aquilaria dan Gyrinops.Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) saat ini di Indonesia diketahui terdapat 6 jenis Aquilaria yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A.beccariana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis,A.cumingiana, dan A. microcarpa.

Perdagangan gaharu di Indonesia tercatat telah dimulai sejak abad ke-5.Cina merupakan pembeli terbesar untuk produk-produk gaharu.Perdagangan gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Belanda (dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19) dan berlangsung hingga sekarang (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan mengakibatkan kelangkaan pohon gaharu dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Akibat kelangkaan tersebut menurut Balitbanghut (2006) semua jenis Aquilaria, dan Gyrinops ditempatkan pada CITES Apendiks II (Lampiran I),konsekuensinya yaitupenjualan ekspor dan impor gaharu ditentukan kuota dan harus mendapat izin dari CITES. Akan tetapi, kuota ini tidak membedakan gaharu alam atau budidaya sehingga mendorong praktek penebangan liar.Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengendalian asal-usul kayu gaharu agar tetap terjaga kelestariannya.Hal ini meningkatkanpengendalian perdagangan gaharu komersial di semua negara yang berpartisipasi.

Pengendalian perdagangan internasionaldenganmetode deteksi tradisional seperti cahaya mikroskop, gagal untuk membedakan antara gaharu legal dan gaharu illegal yang diperjualbelikan (Barden et al. 2000).Untuk membedakan


(3)

gaharu dari hutan alam dan hutan tanaman serta kepentingan pengendalian perdagangan gaharu internasional diperlukan metode identifikasi alternatif yang dapat diandalkan dan sulit dimanipulasi, misalnya dengan marka DNA.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya

2. Menduga asal usul kayu gaharu yang saat ini diperdagangkan di pasaran.

1.3Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang kelayakan metode DNA untuk menduga asal-usul kayu dan jenis-jenis gaharu yang diperdagangkan sehingga dapat digunakan untuk pengendalian perdagangan gaharu.


(4)

3  

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Singkat Gaharu

Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan bahwa gaharu merupakan nama perdagangan untuk kayu yang berasal dari pohon margaAquilaria (sebagian besar berasal dari A.malaccensis). Pohon-pohon tersebut seringkali terkena infeksi oleh parasit yang berupa jamur dan mulai menghasilkan resin yang harum dan bewarna gelap di bagian kayu teras. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu. Di pasar internasional, gaharu dikenal dengan namaagarwood, aloeswood atau oudh.

Aswoko (2009) menjelaskan bahwa gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aquilaria sp. (Thymelaeaceae). Kerajaan : Plantae

Ordo : Malvales Famili : Thymelaeaceae Genus : Aquilaria

Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih-putihan, dan kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap (Sumarna2002 dalam Aswin 2007).Adapun morfologi pohon gaharu disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi pohon gaharu (Adinugroho 2010)

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai


(5)

reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang, cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman, bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou 1960 dalam Aswin 2007).

Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Serawak dan Filipina. Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Gaharu yang berkualitas baik umumnya tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34ºC, kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna 2002 dalam Aswin 2007).

Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi gaharu di Indonesia mendekati kepunahan. Hal tersebut memicu upaya melestarikan Aquilaria di alam, antara lain dengan memasukkan A.malaccensiske dalam Apendiks II CITES(CITES 1994 dalam Soehartono dan Maardiastuti 2003).James et al. (1994) menjelaskan penetapan tersebut disebabkan oleh populasi tanaman penghasil gaharu semakin menyusut di alam karena para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen.

2.2 CITES

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam merupakan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi ini bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam(Anonim 2010a).

Jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam pengawasan CITES dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks.Tiga apendiks dalam CITES yaitu (Alamendah 2010):Apendiks I; daftar seluruh spesies


(6)

5  

  tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Apendiks I sedikitnya berisi 800 spesies seperti macan tutul, gajah sumatera, harimau sumatera, dan semua spesies badak termasuk badak jawa dan badak sumatera,Apendiks II; daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Apendiks II berisi sekitar 32.500 spesies.Apendiks III; daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I. Dalam apendiks III berisi sekitar 300 spesies.

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti (Anonim 2010a).

Indonesia tergabung dalam CITES pada tanggal 28 Desember 1978 dan konvensi ini secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 28 maret 1979 melalui Keputusan Presiden No. 43/1978 tanggal 15 Desember 1978. Indonesia merupakan Negara ke-48 yang tergabung dalam CITES. Selama menjadi anggota Konvensi, Indonesia secara aktif telah memberikan masukan terhadap perubahan-perubahan peraturan di dalam Konvensi tersebut (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

2.3 Deoksiribonukleat Acid (DNA)

DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting pada makhluk hidup, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk hidup dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus mempunyai DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Molekul


(7)

DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Menurut studi dari foto sinar-X oleh Rosalind Franklin dikemukakan bahwa molekul DNA mempunyai struktur seperti spiral. Berdasarkan foto yang diambil oleh Franklin tersebut, Watson dan Crick dalam bulan April 1953 mengambil kesimpulan bahwa (Suryo 2008) :

a) Deretan polinukleotida DNA mempunyai bentuk sebagai spiral teratur

b) Spiral itu mempunyai diameter kira-kira 20 Amstrong, dan lebar spiral tersebut tetap

c) Mengingat bahwa molekul DNA sangat padat, maka spiral DNA terdiri dari dua buah spiral yang mengandung dua deretan polinukleotida

Suryo (2008) menjelaskan baha dua buah pita polinukleotida yang berbentuk double helix dalam molekul DNAdihubungkan oleh atom H yang sangat lunak. Jika suatu larutan yang mengandung DNA dipanaskan atau dibubuhi alkali yang kuat, maka ikatanhydrogen itu menjadi lebih labil dan putus. Dua pita spiral dari molekul DNA akan membuka, proses ini dinamakan denaturasi DNA. Jika larutan tersebut kemudian didinginkan kembali atau dinetralisir secara perlahan-lahan, maka terbentuklah pasangan-pasangan basa itu kembali. Peristiwa ini dinamakan renaturasi.

2.4 Keragaman Genetik

Finkeldey (2005)menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan perbedaan gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan selama proses perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan dan adanya mutasi.

Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya.Dalam suatu jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman antar pohon, dan keragaman dalam pohon.Ada dua sebab utama yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik. Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan secara seksual (Aritonanget al. 2007).


(8)

7  

  Penanda genetik merupakan alat yang sangat penting untuk mempelajari sistem genetika pohon hutan. Beberapa manfaat penting dari penanda genetik adalah sebagai alat pembantu dalam identifikasi klon, identifikasi hibrid, pengukuran variasi genetik di dalam dan antar populasi, penelitian sistem reproduksi yang mencakup sistem perkawinan dan aliran gen, pembuktian pengaruh seleksi dan identifikasi QTL (Quantitative Trait Loci). Terdapat banyak jenis penanda genetik yang telah diidentifikasi. Beberapa penanda genetik yang banyak digunakan dalam genetika hutan, yaitu polimorfisme morfologi, sifat-sifatwarna, produksi metabolisme sekunder, isoenzim, dan penanda DNA (Finkeldey 2005).

Penanda (marka) dapat digolongkan atas tiga, yaitu marka morfologis, marka sitologi, dan marka molekuler. Penanda morfologi adalah penanda yang berdasarkan bentukorgan-organ tanaman yang mudah diamati.Penanda morfologi digunakan dalamdeskripsi taksonomi karena lebih mudah, lebih cepat, sederhana, dan lebih murah.Akan tetapi, penanda ini dapat dimodifikasi oleh lingkungan sehingga dianggaptidak stabil (Wulandari 2008).Penanda ini mudah dilihat oleh mata dan telah banyak digunakan sejak awal genetika.Contohnya adalah warna, rambut daun, serta ukuran atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan masih dipakai (biasanya digunakan untuk mengontrol berhasilnya suatu persilangan), penanda morfologi dapat dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Aritonang et al. 2007).

Menurut Asiedu (1989) dalam Aritonanget al. (2007), penanda sitologi adalah penanda yang digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman melalui ukuran kromosom, rasio tangan kromosom dan pola pita teknik-teknik pewarnaan kromosom.Penggunaan penanda sitologi khususnya pola pita kromosom dimungkinkan pada spesies-spesies tanaman yang mempunyai kromosom dengan ukuran yang lebihbesar, misalnya pada tanaman gandum.

Aritonang et al. (2007) menjelaskan bahwa penanda molekuler adalah penanda yang dihasilkan dari DNA atau RNA jadi penanda biokimia, yang sebenarnya juga molekul, tidak termasuk didalamnya. Penanda molekuler bersifat stabil karena DNA bersifat kekal dan tidak terpengaruh lingkungan.


(9)

2 m y T y d p d R m j k j t a n

2.5 PCR (Po

Finke merupakan yang diisola Titik awal d yang dihasil dari basa pr potongan pe dapat dihasil Reaks Reaction ( mengamplif jumlah uruta kali. Setiap jumlahnya. target. Kunc amplifikasi h non-target (F olymerase C eldey (2005) suatu metod asi pada sebu dari reaksi (p

lkan secara b rimer dapat endek DNA

lkan jutaan t si polimera (PCR) me fikasi nukleo an DNA ribu urutan bas Pada setiap ci utama pe hanya pada Fatchiyah 20

Gam

Chain Reacti

) menyataka de untuk m uah tabung r primer) adala buatan (bias

dipilih seca A dari semua tiruan potong ase berantai

erupakan s otida secara uan bahkan j a nukleotid p n siklus P engembanga

urutan DNA 006).

mbar 2 Prinsip

ion)

an bahwa P menggandaka

reaksi kecil d ah oligonukl

anya terdiri ara bebas. P a organisme

gan DNA id i atau dike suatu pros a in vitro. M

jutaan kali d a yang diam PCR akan di

an PCR ada A target dan

p kerja PCR (

PCR (polym an atau men dengan mela leotida, yakn antara 10-2 PCR memun e. Dari satu dentik.

enal sebaga ses sintesi Metoda PCR dari jumlah s

mplifikasi a iperoleh 2n alah menem meminimal (Anonim2010 merase chain ngamplifikas alui replikas ni potongan 5 nukleotida ngkinkan pe tabung reak

ai Polymera is enzimat R dapat men

semula, seki akan menjad kali banyak mukan bagai lkan amplifik 0b) n reaction) sikan DNA si berulang. kecil DNA a) sekuensi enggandaan ksi tunggal ase Chain tik untuk ningkatkan itar 106-107 di dua kali

knya DNA imana cara kasi urutan


(10)

9  

  Surahman (2007) menjelaskan bahwa proses PCR pada prinsipnya melibatkan tiga langkah yang diulangi dalam beberapa siklus, yaitu :

1) Denaturasi termal dengan meningkatkan suhu pada tabung reaksi

2) Primer Anneling, yaitu tahap dimana primer akan berpasangan dengan sekuen DNA cetakan (template) yang sudah dalam bentuk ss-DNA pada suhu 35-60oC 3) Ekstensi Primer, pada tahap ini suhu ditingkatkan kembali sampai 75oC yang

merupakan suhu optimum untuk kerja tag DNA polymerase yangakan memulai reaksi pada ujung 3’-hidroksil dari primer.

Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa sekuensi pendek berulang non-kodon asam amino yang biasanya terdiri atas 3 pasang dapat ditemukan pada DNA dari kebanyakan hewan dan tumbuhan. Sekuensi seperti itu biasanya memiliki polimorfisme yang tinggi, dalam arti bahwa banyak tipe berbeda dapat diamati dalam populasi. Polimorfisme seperti itu dapat dipelajari menggunakan metoda PCR bila dapat ditentukan secara khusus primer-primer yang cocok dengan daerah sasaran.

2.6 Mikrosatelit

Boer (2007) menjelaskan DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampaienam pasang basa yang berulang secara berurutan. DNA mikrosatelit biasadigunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studifilogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan forensik.DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCRdenganbeberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCRdideteksi menggunakanteknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan denganpewarnaan perak.

Mikrosatelit juga dikenal dengan simple sequence repeats (SSRs) yaitu kelas terkecil dari sekuen berulang. Sekuen yang berulang sering sederhana, terdiri dari dua, tiga atau empat nukleotida (di-, tri-, dan tetranukleotida berulang). Salah satu contoh umum mikrosatelit adalah dinukleotida berulang (CA)n, dimana n menunjukkan jumlah total nukleotida berulang/repeats yang berada pada kisaran 10 dan 100(Nasoetion 2004).

Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa mikrosatelit telah diidentifikasi pada DNA plastid (DNAcp dan DNAmt) dan juga pada DNA inti. Mikrosatelit biasanya bersifat kodominan. Mikrosatelit sangat berguna untuk studi aliran gen


(11)

dan sistem perkawinan dari suatu jenis, karena mikrosatelit sering menunjukkan variasi yang luas. Identifikasi dan karakterisasi lokus gen mikrosatelit membutuhkan waktu yang sangat lama. Meskipun demikian, banyak penelitian yang menggunakan lokus mikrosatelit, misalnya Eucalyptus spp, Shorea spp, dan Dipterocarpus lainnya, dan juga pada Swietenia bumilis, serta Meliaceae jenis lainnya.


(12)

11  

  BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitiandilaksanakan di Laboratoriumbagian Silvikultur, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian ini yaitu pada bulan Agustus 2010 – Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun dan potongan kecil kayu gaharu (Gambar 3). Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatanuntukekstraksiatau isolasi DNA, PCR, elektroforesis, mikrosetelit,pewarnaan gel dan pengolahan data.Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini terdiri atasempat primer spesifik untuk nuklear (Eurlings et al. 2009).Primer tersebut digunakan Eurlings untuk mengamplifikasi gaharu dari jenis A.crassna.Keempat primer tersebut adalah 6pa18, 10pa17,16pa17, dan 71pa17.Deskripsi alat dan bahan serta sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1 dan 2.Adapun gambar peralatan yang digunakan disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik

No Tahapan Kegiatan Alat Bahan

1 Ekstraksi dan Isolasi DNA

penggaris, gunting, masker, sarung tangan karet, tube 1.5 ml, oven, spidol permanen, mortar, pestel,termos, sudip, mikropipet, tips, rak tube,

vortex, mesin sentrifugasi,

waterbath, freezer, desikator.

daun dan kayu gaharu, nitrogen cair, bufferekstrak, PVP 2%,

chloroform, fenol, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer

TE, silica gel

2 PCR tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin

sentrifugasi, mesin PCR PTC-100

DNA, aquabidest, sepasang primer mikrosatelit, green go taq,nukleas free water

3 Elektroforesis masker, mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar,

erlenmeyer, sarung tangan,

UVtransilluminator, kamera

agarose, buffer TAE 1x, , blue juice 10x, DNA marker, EtBr,

4 Mikrosatelit sepasang kaca mikrosatelit, masker, sarung tangan karet, mikropipet, tissue, penjepit kaca, timbangan,

poliakrilamid elektroforesis

Akrilamit, bisakrilamit, APS, bindsiland, sigmacote, etanol, DNA yang sudah diPCR, buffet TBE


(13)

No Tahapan Kegiatan Alat Bahan

shaker,masker, sarung tangan, kamera

etanol 95%, aquades, formaldehyde 6 Analisis Data Foto mikrosatelit, notebook,

softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan

Minitab versi 14

Tabel 2 Lokasi pengambilan dan jumlah sampel penelitian

No Lokasi Jenis Gaharu Keterangan

A.malaccensis A.microcarpa A.crassna Girinops sp. A.filaria

1 Muara Fajar, Riau 20** 10** daun

2 Kebun Raya Bogor 4** 1**

3 Biotrop, Bogor 4** 4**

4 Kebun Greg Hambali, Bogor 2** 2** 2** 5 Gunung Walat, Sukabumi 2** 5** 9**

6 Lombok, NTB 20*

7 Siak, Riau 20*

8 Kalimantan Selatan 20*

9 Semplak, Bogor 2? 7? kayu

Jumlah 74 28 15 10 7

Keterangan: * = hutan alam; ** = Hutan tanaman; ? = dari hutan alam atau hutan tanaman

A.malaccensis A.filaria A.crasna A.microcarpa

Gaharu yang diperoleh dari pedagang di Bogor


(14)

13  

  3.3 Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian mengikuti alur seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 BaganAlur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel Daun

Sampel pada penelitian ini yaitu daun dan kayu dari pohon gaharu.Sampel daun gaharu diambil dari hutan alam dan hutan tanaman.Sampel dari hutan alam diambil dari Propinsi Riau, Kabupaten Lombok, dan Propinsi Kalimantan Selatan.Sedangkan sampel kayu diambil dari toko kayu gaharu Semplak, Bogor, Jawa Barat.

3.3.2 Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dari daun dan kayugaharudilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide). Sampel daun 2 x 2 cm digerus dengan menggunakan nitrogen cair di dalam pestel yang bersih, sedangkan pada sampel kayu dibor untuk mendapatkan serbuk kayu. Hasil gerusan daun dan serbuk kayu selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml, lalu ditambahkan 500µl larutan buffer ekstrak (Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, aquades, dll) dan 100 µl PVP 1%. Fungsi buffer ekstrak dan PVP adalah mempercepat proses penghancuran.

Tahapan selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 1 jam pada suhu 65oC-70oC. Selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan

Pemilihan Populasi Hutan Alam dan Tanaman Gaharu untuk Penelitian

Pengambilan Sampel

Amplifikasi Silang

(Ekstraksi atau Isolasi DNA, Elektroforesis, PCR, Mikrosatelit dan Pewarnaan Gel)

Analisis Keragaman Genetik Gaharu Hutan Alam dan Tanaman

Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal – usul tidak Jelas


(15)

dikocok. Jika proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat dan didinginkan kurang lebih 15 menit. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl, selanjutnya campuran tersebut dikocok agar menjadi homogen dan disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan kimia atau fase organik dari fase air berupa supernatan. Langkah selanjutnya yaitu fase air dipisahkan dari fase organik dengan menggunakan mikro pipet kemudian fase air dipindahkan ke dalam tube baru.

Kegiatan selanjutnya adalah penambahan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 45 menit sampai 1 jam. Hasil pengendapan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube dibuang. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 95% sebanyak 300 mikroliter, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube dibuang kembali dan dilakukan secara hati-hati. Proses tersebut dilakukan 2 kali. Pellet DNA yang ada di tube dikeringkan dengan cara disimpan di dalam desikator secara terbalik agar silicagel di dalam desikator dapat menyerap cairan yang ada dalam tube selama ± 15 menit.

3.3.3 Elektroforesis

Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 50 μl pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 μl DNA ditambahkan 2 μl BJ (Blue Juice) 10 X dan running/elektroforesis selama kurang lebih 30 menit. Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) 10 μl per 200 ml aquades selama 15 menit dan selanjutnya difoto pada UV transiluminator.

3.3.4 PCR (Polymerase Chain Reaction) Mikrosatelit

Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan dengan aquabidest. Perbandingan antara DNA dan aquabidest tergantung dari resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi, misalnya pengenceran 100x artinya 99 μl aquabides dan 1 μl DNA hasil ekstraksi. Primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat macam, seperti yang tertera pada tabel 3.


(16)

15  

  Tabel 3 Primer mikrosatelit Eurlings et al. (2009)

Locus Primer sequence (50–30) Repeat Size range

(bp)

Number of alleles

TA (OC) 6pa18 F: TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT

R: CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA

(CA)8 180–210 7 50 10pa17 F: ACACACTGTTATGGTCTACAGCTT

R: CGCCATCTCATAATATTCTAATGTA

(CA)12 152–156 3 50 16pa17 F: AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG

R: GCTGAACACAACAAGATATCACC

(CA)19 143–155 6 59 71pa17 F: AGCAAACAGTGGGATAAGGTC

R: AGAAAGGAGGCGAAACGAAT

(CA)15 152–224 15 54

Komposisi bahan untuk reaksi PCR mikrosatelit terdiri atas Nukleas free water, Green go taq, primer forward dan reverse, DNA isolasi. Reaksi PCR mikrosatelit tersebut dilakukan dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Komposisi bahan untuk reaksi PCR Mikrosatelit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.

No. Nama Bahan 1 Sampel Reaksi X Sampel Reaksi 1. Nucleas free water 2,5 μl X x 2,5 μl

2. Green Go Taq 7,5 μl X x 7,5 μl

3. Primer 1,5 μl X x 1,5 μl

4. Cetakan DNA 2 μl X x 2μl

3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid 3.3.5.1 Persiapan plate kaca pendek

Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µl SigmaCote pada plate menggunakan pipet mikro. Untuk meratakan SigmaCote pada seluruh permukaan plate disapu menggunakan tissue, penyapuandilakukan secara merata untuk memastikan permukaan kaca telah terolesi SigmaCote. Kemudian bilas kelebihan SigmaCote dengan cara mencuci plate menggunakan ethanol 95% dan tissue.Karena sisa-sisa SigmaCotebisa menyebabkan penghambatan ketika pewarnaan

3.3.5.2 Persiapan plate kaca panjang

Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µlBind Silanc pada plate menggunakan pipet mikro. Untuk meratakan Bind Silanc pada seluruh


(17)

permukaan plate digunakan tissue. Menyapu kaca secara merata untuk memastikan permukaan kaca telah terolesi Bind Silanc.

3.3.5.3Perakitan lapisan plate kaca

Plate kaca panjang dan pendek yang telah siap dirakit dengan bagian yang dilapisi oleh SigmaCote dan BindSiland diletakkan di dalam rakitan, seperti yang tertera pada gambar5.

Gambar5Contoh perakitan kaca poliakrilamid

3.3.5.4Pembuatan larutan poliakrilamida

Pembuatan satu kaca gel akrilamit diperlukan bahan sesuai yang tertera pada tabel 5.

Tabel 5Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid

Bahan 6% 8%

Akrilamid 5,7 gram 7,6 gram

Bisakrilamid 0,3 gram 0,4 gram

TBE (1x) 10 ml 10 ml

TEMED 50 µl 50 µl

APS 500 µl 500 µl

Aquades 60 ml 60 ml

Akrilamid, bisakrilamid, TBE (1x), dan aquades dicampur dalam erlenmeyer dan distirrel selama 15 menit, kemudian pada menit ke-10 dimasukkan temed. Pada menit ke 14 dimasukkan APS, dan pada menit ke-15 memasukkan larutan ke dalam pasangan kaca yang sudah dipersiapkan, kemudian menunggu sampai larutan memadat.

3.3.6 Loading Sampel

Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40mA, 80 W selama 75 menit. Buffer untuk running (TBE 1x) mengandung 18mM Triz-HCl, 8.9 mM asam borat dan 2 mM Na2EDTA.


(18)

17  

  Pewarnaan dilakukan setelah kegiatan elektroforesis selesai. Pewarnaan ini terdiri dari empat bak perendaman, secara berurutan bak satu sampai dengan empat tertera pada tabel 6.

Tabel 6 Bahan pewarnaan DNA mikrosatelit

Bak Bahan larutan pewarna Lama perendaman

1

Aquades 450 ml

10-15 menit Acetic acid (0,5%) 25 µl

Etanol 50 ml

2 Aquades 500 ml 5 menit 3

Aquades 500 ml 10-20 menit, setelah bak 3, bilas ke bak 2 selama 10 detik Silbernitrat 0,5 gram

Formaldehyde 0,6 ml 4

Aquades 500 ml

Sampai terlihat pita DNA NaOH 7,5 gram

Formaldehyde 1 ml 3.4 Analisis Data

Hasil dari kegiatan analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 6). Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh, 1999) dan NTSys Ver 2.0 (Rohlf, 2008). Selain itu, digunakan juga Minitab versi 14 untuk memastikan besarnya panjang fragmen (bp) dari DNA hasil amplifikasi.

Gambar 6 Cara skoring DNA mikrosatelit

Hartati (2007) menjelaskan bahwa POPGEN versi 1.32 digunakan untuk menghitung distribusi keragaman genetik dan jarak genetik berdasarkan frekuensi asumsi Hardy-Weinberg (HW). Jarak genetik digunakan untuk analisis gerombol menggunakan metode UPGMA (unweighted pair group with arithmatic avarage) pada Ntsys yang menghasilkan dendogram hubungan kekerabatan.

Hasil analisis dengan software Minitab versi 14 didapatkan persamaan hubungan antara panjang pita DNA hasil amplifikasi pada foto dengan panjang fragmen. Hasil perhitungan dengan persamaan dari Minitab versi 14 disajikan pada Tabel 7,sedangkan grafik hubungan antara panjang foto mikrosatelit dan panjang DNA tertera pada Gambar 7. Berdasarkan analisis tersebut dapat dilihat


(19)

bahwa rentang panjang DNA teramplifikasi pada bp yang hampir sama dengan bp penelitian Eurling et al. (2009). Penggunaan persamaan bp dimaksudkan untuk memastikan pita DNA mikrosatelit yang diskoring berada pada posisi yang benar. Tabel 7 Hasil pendugaan panjang DNA hasil amplifikasi

Jenis Primer

Jarak pada foto [p (cm)]

bp

(Eurlings et al. 2009)

bp

(100,1-37,39p+15,88p2)

6pa18 3,5 180 180

4,2 210 206

10pa17 3,1 152 152

3,4 156 158

16pa17 2,7 143 131

3,4 155 153

71pa17 3,8 152 168

4,2 224 224

Keterangan : bp : panjang fragmen

Gambar 7 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi mikrosatelit 0

100 200 300 400 500 600

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0

Pan

jan

g fr

ag

m

e

n

(b

p)

jarak pada foto (cm)

marker bp mikrosatelit


(20)

19  

  BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Amplifikasi Silang Penanda Mikrosatelit

Penggunaan primer-primer mikrosatelit jenis A.crassna (6pa18, 10pa17,16pa17, dan 71pa17)dapat mengamplifikasi silang pada gaharu jenis lainnya (sampel penelitian :A.malaccensis, A.microcarpa, A.crassna, Gyrinops sp dan A.filaria). Hasil amplifikasi silang mikrosatelit disajikan pada Gambar 8.Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil amplifikasi silang menunjukkan panjang fragmen yang berbeda-beda sesuai Eurlings et al. (2009).

Gambar 8 Hasil amplifikasi silang mikrosatelit

Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari gaharu jenis A.crassna berhasil dilakukan dengan kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Syarat utama terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari kedua untai cetak DNA pada posisi yang berlawanan (Hartati et al.2007).Adapun komposisi lokus polimorfik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. 

Tabel 8 Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer

Primer Panjang fragmen (bp) Keterangan Size range (bp) 6pa18 A158, A164, A180, A186, A196 Polimorfik 180–210

10pa17 A152, A153, A154 Polimorfik 152–156

16pa17 A143, A145, A147 Polimorfik 143–155

71pa17 A158, A186, A206, A210, A216, A224 Polimorfik 152–224 Tabel 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu

Allele (bp)

143 145 147 151 152 153 154 158 164 180 186 194 196 206 210 216 224

A.malaccensis - - Φ - - - - - - A.microcarpa - Φ - - - - - - - A.crassna - - - - - Φ - - - Gyrinops sp. - - - - - - - - - - -

A.filaria - - - Φ - - - - - - -

Keterangan :

- = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), tidak ada dalam penelitian Φ = tidak ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), ada dalam penelitian =ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009) dan penelitian

allel 155-156, 168-178, dan 198-202 memiliki tanda: - Jenis


(21)

Tabel 8memperlihatkan bahwa hasil amplifikasi silang berada pada kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Berdasarkan Tabel 8 tersebut penulisan alel didasarkan pada panjang panjang fragmen, misalnya untuk A. malacensis alelnya dapat ditulis A143, A145, A153, A164, dan A186, begitu juga dengan jenis yang lainnya. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat adanya shared alelle, yaitu alel yang ditemukan pada beberapa jenis gaharu yang diteliti. Fragmen ini dapat ditemui pada base pair 143, 145, 153,158, 164, 180, 186, dan 216.Selanjutnya hasil scoring genotype dari populasi yang diteliti berdasarkan jenis secara lengkap disajikan pada Lampiran 3 sampai 10.

4.2Keragaman Genetik dalam Populasi Gaharu

Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan dua parameter, yaitu dalam populasi dan antar populasi. Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan rata-rata jumlah alel per lokus (A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Hasil analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu disajikan pada Tabel 10.Adapun hasil analisis dari PopGene disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 10 Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman

No Populasi N PLP

(%)

Na Ne He

Rata-rata He

1 A. malaccensis 32 100.00 2.7500 2.1981 0.5424 HT 2 A. microcarpa 8 100.00 2.5000 2.1138 0.5234 0.5443

3 A. crasna 15 100.00 2.7500 2.3492 0.5672

4 Gyrinops sp. 10 100.00 2.0000 1.9950 0.4987

5 A. malaccensis(Riau) 20 100.00 2.2500 2.2326 0.5397 HA 6 A. malaccensis(NTB) 20 100.00 2.0000 1.7762 0.3988 0.4642 7 A. microcarpa 20 100.00 2.0000 1.8036 0.4197 8 Kayu A. malaccensis 2 100.00 2.0000 2.0000 0.5000 kayu 9 Kayu A. filarial 7 100.00 2.0000 2.0000 0.5000 0.5000 Rata-rata 15 100.00 2,2500 2.0520 0.4988

Keterangan :

1-4 hutan tanaman , 5-7 hutan alam, 8-9 kayu

N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; Na = Jumah alel yang diamati; Na = Jumah

alel efektif (Kimura and Crow (1964); He = Diferensiasi genetik Nei (1973)/Heterozigositas harapan

Secara umum nilai keragaman genetik (He) gaharu alam dan tanaman tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam). Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar gaharu tanaman masih berasal dari


(22)

21  

  biji atau cabutan yang diambil dari alam.Akan tetapi, akhir-akhir ini beberapa gaharu hasil budidaya sudah dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan sebagai akibat semakin langkanya gaharu di hutan alam.Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur, sumber eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan (Azwin2007). Hal ini bisa menyebabkan keragaman genetik berubah pada suatu populasi,sehingga dapat memberikan peluang dalam membedakan struktur genetik gaharu hasil budidaya dengan hasil gaharu dari alam.

Tabel 10menampilkankeragaman genetik (He) gaharu di dalam populasi berkisar antara 0,3988 - 0,5672 dan persentase lokus polimorfik yaitu sebesar 100%.Nilai He tersebut tergolong masih tinggi.Hal ini sesuai dengan penelitian Rambey (2011) yang menyatakan bahwa keragaman genetikmindi besar sebesar 0,439 dan mindi kecil sebesar 0,373 masih tergolong tinggi. Keragaman genetik beberapatanaman kehutanan disajikan dalam Tabel 11.Selain itu, Harada et al. (2003) menyatakan He sebesar 0.322 pada Avicennia marina (Forsk.) di Vietnam termasuk tinggi yang digunakan sebagai pusat keragaman genetik.Harada et al. (2006) juga menyatakan bahwa He sebesar 0.244 tergolong pada keragaman genetik yang rendah.Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata keragaman geneti tanaman kehutanan adalah sebesar 0.4123.Nilai tersebut jika dibandingkan dengan kergaman genetik gaharu (sampel penelitian) memiliki nilai yang lebih rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman genetik gaharu masih tergolong tinggi.

Tabel 11 Keragaman genetik (He) beberapa jenis tanaman kehutanan

No Jenis Sumber He(*)

1 Melia azedarach Rambey (2011) 0.3730

2 Melia excelsa Rambey (2011) 0.4390

3 Avicennia marina Harada et al. (2003) 0.3220

4 Kandelia sp. Harada et al. (2006) 0.3220

5 Shorea leavis Yunanto (2010) 0.4443

6 Shorea leprosula Lee et al. (2004) 0.6860

7 Shorea cursitii Ujino et al. (1998) 0.6220

rata-rata 0.4123

8 Gaharu (sampel penelitian) 0.4988


(23)

Populasi yang mempunyai keragaman terendah (Tabel 10) adalah A. malaccensis dari hutan alam, sedangkan yang mempunyai keragaman tertinggi adalah A.crassna dari hutan tanaman. Rendahnya keragaman genetik dari jenisA. malaccensisini mungkin disebabkan oleh kelangkaannya di alam (jarang ditemukan/kerapatan rendah) jika dibandingkan dengan jenis gaharu yang lainnya.Hal ini sesuai dengan Mahfudz (2010) yang menyatakan bahwa keragaman Mebau yang mengalami eksploitasi lebih awal memiliki keragaman genetik yang rendah.Finkeldey (2005) juga menyatakan bahwa jenis dalam populasi yang mempunyai kerapatan rendah mempunyai variasi genetik rata-rata yang lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis dalam populasi dengan kerapatan tinggi.Salah satu hal yang menyebabkan kelangkaan ini misalnya pemanenan berlebihan, karena jenis A. malaccensis merupakan penghasil gaharu berkualitas terbaik dengan nilai jual yang tinggi (Sukandar 2009).

Nilai variasi genetik gaharu dari hutan tanaman dan hutan alam dapat digunakan untuk kepentingan aktivitas pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik serta penelusuran asal-usul tanaman.Hal ini disebabkan karena kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi.

4.3Keragaman Genetik antar Populasi semua Jenis Gaharu

Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak genetik, dan analisis klaster/kelompok.Salah satu peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu.

Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey2005).Adapun jarak genetik antar populasi gaharu disajikan dalam Tabel 12.


(24)

23  

  Tabel 12 Jarak genetik populasi gaharu

Pop 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 ****

2 0.0588 ****

3 0.1663 0.1051 ****

4 0.1191 0.1715 0.3383 ****

5 0.1624 0.1375 0.2473 0.0291 ****

6 0.1641 0.1615 0.3613 0.0712 0.1041 ****

7 0.1457 0.1498 0.3436 0.0559 0.0884 0.0012 ****

8 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 **** 9 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 0.0000 **** Keterangan: 1). A. malaccensis (HT); 2). A. microcarpa (HT); 3). A. crassna (HT); 4). Gyrinops sp (HA); 5). A. malaccensis (HA “LOMBOK”); 6). A. malaccensis (HA “RIAU”); 7). A. microcarpa (HA “KALIMANTAN”); 8). Kayu A. malaccensis; 9). Kayu A. filaria

Hasil analisis jarak genetik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa populasi yang memiliki jarak genetik yang paling besar adalah populasi A. crassna (hutan tanaman) dengan A. malaccensis (hutan alam “Riau”) dengan nilai jarak genetik yaitu 0,3613. Jarak genetik yang besar ini mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh. Sedangkan populasi dengan jarak genetik terdekat adalah antara kayu A. malaccensis dengan kayu A. filaria yaitu 0,0000.

Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau dendogram jarak genetik antar populasi.Berdasarkan analisis nilai jarak genetik dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi yang digunakan untuk melihat kekerabatan antar populasi seperti terlihat pada Gambar9.Adapun tampilan hasil dendrogram Ntsys disajikan pada Lampiran 12.

Gambar 9 Dendogram pengelompokan gaharu hutan alam dan hutan tanaman (Nei’s 1972) hutan

tanaman

hutan alam


(25)

Gambar 9memperlihatkan bahwa populasi nuklear daun gaharu tanaman dengan gaharu alam berpisah membentuk dua klaster yang berbeda.Pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir sama (penghomogenan), sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda. Hal ini memberikan peluang untuk kegiatan diskriminasi kayu gaharu alam dengan kayu gaharu budidaya atau tanaman.

Hartati et al. (2007) menyatakan bahwa proses evolusi dan adaptasi suatu populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan habitatnya akan menyebabkan masing-masing populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainnya.Berdasarkan hasil dendogram, secara garis besar pengelompokan tidak berhubungan dengan posisi geografisnya. Artinya pengelompokan tidak menunjukkan bahwa semakin dekat jarak geografisnya suatu populasi maka jarak genetik antar populasi tersebut semakin dekat, akan tetapi populasi-populasi yang berdekatan mempunyai kecenderungan untuk membentuk satu sub kelompok,

4.4 Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul Tidak Jelas

Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004).

Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008). Pendugaan asal – usul kayu gaharu yang tidak jelas dapat dilihat dari pengelompokan/klaster dendogram (Gambar 10).


(26)

25  

  Gambar 10 Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu(Nei’s 1972)

Dendogram Gambar 10memperlihatkan bahwa potongan kayu gaharu mengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam, sehingga kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan gaharu dari alam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk kedalam daftar CITES Apendiks II.

Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), para pengumpul gaharu kini cenderung mengabaikan pendekatan tradisional untuk mencari gaharu.Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Soehatono dan Mardiastuti, terungkap bahwa pada saat ini hanya 42% dari pengumpul gaharu yang masih menggunakan metode tradisional untuk mencari gaharu.Karena pendapatan dari gaharu menurun, para pengumpul gaharu cenderung untuk mencari gaharu sebesar-besarnya untuk menutupi kerugian.Oleh karena itu, tekanan terhadap populasi gaharu di alam terus berlangsung dan bahkan meningkat sepanjang waktu.

Menanggapi tentang kelestarian perdagangan di masa depan, Soehartono dan Mardiastuti (2003) menjelaskan bahwa 56,6% pengumpul gaharu dari Kalimantan percaya bahwa aktivitas mereka dapat terus berlanjut dan mereka percaya bahwa pengawasan tradisional (adat) dalam mengumpulkan gaharu semestinya dilakukan. Untuk menjawab ide ini, WWF Kayan Mentarang (1994) dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) memprakarsai pengaktifan kembali pengawasan adat di Kalimantan Timur, meski hasilnya kurang menjanjikan.


(27)

Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu gaharudapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002).Selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001).Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Atas dasar hal tersebut banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007).

Penggunaan empat primer dalam penelitian ini mampu memperlihatkan pemisahan/klaster antara hutan alam dan tanaman. Dari keempat primer tersebut penggunaan satu primer yang mampu memperlihatkan pemisahan hutan alam dan tanaman dengan lebih tajam (Gst= 0,965)adalah primer 10pa17 (Gambar 11). Pada Gambar 11 dapat dilihat adanya klasterisasi populasi hutan alam dan tanaman. Namun hasil yang lebih baik akan didapatkan jika menggunakan primer lebih dari satu. Penggunaan satu primer ini bisa dimanfaatkan jika memerlukan waktu yang singkat untuk mengetahui keragaman genetik pada suatu populasi.

Gambar 11 Dendogram klaster/pemisahan hutan alam dan tanaman dengan primer 10pa17. Siregar (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa ukuran. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya.


(28)

27  

  Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008) dan aliran kayu meranti pada IUPHHK-HA di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Yunanto 2010).


(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya dapat dilakukan. Analisis genetikmenunjukkan nilai keragaman genetik (He) dalam populasi gaharu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam).

2. Berdasarkan dendogram, pendugaan asal-usul kayu gaharu dapat dikatakan bahwa sampel potongan kayumengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk ke dalam daftar CITES Appendix II.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian marka DNA lanjutan tentang gaharu, misalnya dengan metode sequensing DNA.


(30)

KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI

BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

LASWI IRMAYANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC. 2010. Mengenal pohon gaharu.http://wahyukdephut.wordpress. com/2010/02/23/mengenal-pohon–gaharu-aquilaria-microcarpa/[19 November 2010]

Alamendah. 2010. Konferensi CITES ke-15 (CoP15 Species) Qatar. http://alamen dah.wordpress.com/2010/03/12/konferensi-cites-ke-15-cop15-species-qatar/[20November 2010]

Anonim.2010a. Cites. http://id.wikipedia.org/wiki/CITES#Latarbelakang[20 November 2010]

. 2010b. Reaksi berantai polymerase.http://id.wikipedia.org/wiki/Reaksi berantai polymerase [19 November 2010]

Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB

Aswin. 2007. Evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) hasil kultur in vitro[Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Aswoko G. 2009. Wahana gaharu.http:// wahanagaharu.blokspot. com/2009/02/ spesifikasi-klasifikasi-gaharu.html [30 Januari 2011]

[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.2006. Budidaya Gaharu dan rekayasa produksinya [Leaflet]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservassi Alam

Barden A, NAwang AnakT, MullikenM, Song. 2000. Heart of the matter: Agarwood use andtrade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report.

Boer D. 2007.Keragaman dan struktur genetik populasi jati Sulawesi Tenggara berdasarkan marka Mikrosatelit [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Deguilloux MF, Pemonge MH, Petit RJ. 2004. DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperage industry. Ann. For. Sci. 61: 97-104

Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2009. Polymorphic microsatellites for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). FSI-197 30:34

Fatchiyah. 2006. Polymerase Chain Reaction:Dasar Teknik Amplifikasi DNA dan Applikasinya. Malang: Universitas Brawijaya


(32)

30  

  Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ,

Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah.Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetic

Finkeldey R, Rachmayanti Y, Nuroniah H, Nguyen NP, Cao C, Gailing O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of dipterocarps. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Godoy JA, Jordano P. 2001. Seed dispersal by animals: exact identification of source trees with endocarp DNA microsatellites. Mol. Ecol. 10: 2275-2283

Harada K, Giang LH, Hong PN, Tuan MS. 2003. Genetic variation of Avicennia marina (Forsk) Vierh.(Avicenniaceae) in Vietnam revealed by microsatellite and AFLP markers.Genes Genet.Syst 78 : 399-407

Harada K, Giang LH, Geada GL, Hong PN, Tuan MS, Lien NTH, Ikeda S. 2006.Genetic variation of two mangrove species in Kandelia (Rhizophoraceae) in Vietnam and surrounding area revealed by microsatellite markers.Int. J. Plant Sci 167(2) : 291-298

Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007. Pendugaan keragaman genetic di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 : 89-98

Heuertz M, Fineschi S, Anzidei M, Pastorelli R, Salvini D, Paule L, Lacoste LN, Hardy OJ, Vekemans X, and Vendramin GG. 2004. Chloroplast DNA variation and postglacial recolonization of common ash (Fraxinus excelsior L.) in Europe. Molecular Eology 13: 3437-3452.

James C, Akiko I. 1994. The Use and Trade of Agarwood in Japan: 1-21.

Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS. 2005. Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera (Dipterocarpaceae) the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 (5): 775-788

Lee SL, Tani N, Ng KKS, Tsumura Y. 2004.Isolation and characterization of microsatellite loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to S.parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: 222-225

Lowe A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber?. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting


(33)

methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Mahfudz, Na’iem, Sumardi, EB Hardiyanto. 2011. Variasi genetik dalam dan antar populasi alam Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di Papua dan Maluku.Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.Edisi Juli 2011, Vol.5 No.1

Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea leavis Ridl.Di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [Skripsi].Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Nasoetion M. 2004. Marka molekuler. http://psb-psma.org/content/blog/2423-marka-molekuler [11 Desember 2010]

Rambey R. 2011. Pengetahuan Lokal Sistem Agroforestri Mindi (Melia azedarach L.) (Studi Kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:Japan International Coorperation Agency (JICA)

Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh.et de Vriese in Indonesia. [dissertation]. Göttingen. Faculty of Forest Sciences and Forest Ecology, Georg-August University of Göttingen.147 p.

Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L. dan Yunanto T. 2008. Pengembangan Penanda Genetika Molekuler untuk Lacak Balak (Studi Kasus pada Jati). Laporan Akhir Hibah Bersaing. Bogor :LPPM Institut Pertanian Bogor Smulders MJM, Van ‘T Westende WPC, Diway B, Esselink GD, Van Der Meer

PJ and Koopman WJM. 2008. Development of microsatellite markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking of wood of this protected species. Molecular Ecology Resources 8: 168 –171

Sukandar. 2009. Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccenis) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Workshoop HHBK. Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung

Surahman M. 2007. Perakitan Varietas Semangka (Citrullus lanatus (Thunberg) Matsum & Nakal) Tanpa Biji Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Pemanfaatan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) [LP]. Bogor : IPB


(34)

32  

  Suryo. 2008. Genetika. Yogyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

Ujino T, Kawahara T, Tsumura Y, Nagamitsu T, Yoshimaru H, Wickneswari R. 1998. Development and Polymorphisme of Simpel Sequence Repeat DNA Marker ForShorea curtisii and Other Dipterocarpaceae Species. Heredity 81 : 422-428

Wulandari Y. 2008. Analisis keragaman genetik kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphik DNA (RAPD) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for International Forestry Research: Universitas of Alberta

Yunanto T. 2010. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.[Tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(35)

LASWI IRMAYANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(36)

iii 

LASWI IRMAYANTI. Keragaman

GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit.Dibimbin

goleh ISKANDAR Z. SIREGAR

RINGKASAN

Gaharu merupakan salahsatuHasilHutanBukanKayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangidengan keharuman yang khas,sehinggabanyakdigunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan ritual keagamaan. Eksploitasi gaharu yang berlebihanmengakibatkan kelangkaan dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam daftar CITES Apendiks II, dengankonsekuensinyayaitupenjualan ekspor dan impor gaharu diaturolehkuota.Akan tetapi, kuotainitidak membedakan gaharu alami atau budidayasehingga masihmendorong terjadinyapraktek penebangan liar.Olehkarenaituperludilakukanupayapengendalian yang

efektfterhadapasal-usulkayugaharu.Akhir-akhirinipenggunaanpenanda DNA menjadipentinguntukmemverifikasiasal-usulkayudanbahantanamankarenasifatnya yang

sulitdimanipulasisehinggaperludiujicobapadakayugaharu.Penelitianinibertujuanuntuk 1) melakukanamplifikasisilang primer mikrosatelitAquilariacrassnakejenisgaharulainnya, dan 2) mendugaasalusulkayugaharuyang diperdagangkan di pasaran.Bahanpenelitianyaitupopulasigaharudarihutanalamdantanamansertakayugaharu

yang tidakdiketahuiasal-usulnya.Primer mikrosatelitA.crassna yang digunakandalamamplifikasi DNA gaharuadaempatmacam, yaitu 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), dan 71pa17 (152-224 bp).Berdasarkanhasilpengamatandidapatkanbahwasemuajenissampelgaharubaikdarihutan alammaupunhutantanamandapatmengamplifikasisilangpadarentangukuranfragmen DNA yang diharapkan.Analisisgenetikmenunjukkannilaikeragamangenetik (He) dalampopulasigaharusebesar He=0.5443 (hutantanaman), dan He=0.4642 (hutanalam). Nilaikeragamangenetiktersebutdapatdigunakansebagaiinformasiilmiahuntukupayapengko

nservasiangaharu.PadadendrogramNtsys (analisisklaster) terlihatadanyapengelompokangaharuasalhutantanamandanhutanalam,

dimanasampelpotongan kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas mengelompokke gaharudari hutanalam. Hal inimengindikasikanbahwakayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam.


(37)

ABSTRACT

Agarwood is one of the valuable Non Timber Forest Products (NTFPs) that contain resin with a specific fragrance, and is often used as raw materials of perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, incense, preservatives as well as religious activities. Overexploitation of agarwoodhas resulted in scarcity of agarwood in the nature leading to the lossesof treesof superior genotypes. This scarcity has led agarwoodto be included into the CITES Appendix II list in which a quota system is imposed for trading activities. However, this quota still does not distinguish clearly between natural or cultivatedagarwood, opening opportunities for illegal trading practices. It is therefore necessary to provide an effective attemptsto control of the origin of. Nowdayas, the use of DNA markers gains significant importance in the forensic activities such as verification of the origin of timber and plant materials. This tool is difficult to be manipulated. Therefore, a study was carried with aims to 1) cross amplify Aquilariacrassna microsatellite primers into other agarwood species (transferability study), and 2) to infer the origin of agarwoodbeing traded in the market. Materials for research were populations of agarwood from natural and planted forests and agarwood pieces of unknown origin. A.crassna microsatellite primers were used, namely 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), and 71pa17 (152-224 bp). Results showed thatagarwood samples from both natural forests and plantations could cross amplify with expected fragment size ranges.Resultshowedthatgenetic diversity (He) in the planted forest was 0.5443 a slighty higher than that of natural forest (He=0.4642). Information on the level of genetic diversities can be used as scientific basis for conservation program. Cluster analysis showed different groupings of agarwood originated from plantations and natural forests. Futher analysis showed that agarwoodtimbers with unclear origins clustered intoagarwoodgroupd from natural forests indicatingcommon existence of traded natural agarwood.

Keywords: agarwood, cross amplification, microsatellite, CITES, genetic diversity.  


(38)

ii 

KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI

BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

Oleh :

LASWI IRMAYANTI E44070003

Skripsi

Sebagaisalahsatusyaratuntukmemperoleh gelar Sarjana Kehutanan padaFakultasKehutanan

InstitutPertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(39)

JudulSkrips i

: Keragaman

GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosa telit

Nama : LaswiIrmayanti

NIM : E44070003

Menyetujui Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar ,M.For.Sc. NIP. 19660320 199002 1 001

Mengetahui,

KetuaDepartemenSilvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir.NurheniWijayanto, MS NIP. 19601024 1984031 009


(40)

vi  TanggalLulus :


(41)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Laswi Irmayanti E44070003


(42)

viii  RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 23 Agustus 1988, putri dari pasangan Jayus dan Rupi’in. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN Sumurcinde I.Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Soko. Padatahun 2007, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tuban, dimana pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Silvikultur dengan sistem Mayor-Minor.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni pada periode tahun 2007/2008 sebagai staf FORCES (Forum for Scientific Studies), aktif di Himpro TGC (Tree Grower Community) divisi Scientific Improvement 2008-2010, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) periode 2009/2010 sebagai bendahara umum. Penulis pernah menjadi asisten program TPB IPB (Tingkat Persiapan Bersama) pada mata kuliah Fisikatahun 2009/2010, untuk program Sarjana pada mata kuliah: Silvikultur (2010), Genetika Hutan (2010-2011), dan Pemuliaan Pohon (2010). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulanJuli 2011.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan)yang dilaksanakan di Pangandaran–Gunung Sawal. PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. PKP (Praktek Kerja Profesi) dilaksanakan di PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, Kalimantan Selatan pada periode Februari – April 2011. Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul Keragaman Genetik GaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelitdibawahbimbinganPro


(43)

Pujisyukurpenulispanjatkanataskehadirat Allah SWT yang telahmemberikanrahmatdanhidayah-Nya,

sehinggapenulisdapatmenyelesaikanpenulisan skripsiini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, suri tauladan yang telah memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia.

Skripsiinimerupakansalahsatusyaratuntukmendapatkan gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas KehutananInstitutPertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanMetodeMikrosatelit”.

Penulisanskripsi ini diharapkandapatmembukawacanakeilmuandalambidangkehutananterutamamenge

naikeragamangenetikgaharu, baikgaharupadahutantanamanmaupunhutanalam, sertadapatbergunabagisemuapihak yang berkepentingan.

Penulismengucapkanterimakasihkepadasemuapihak yang membantudalam menyelesaikanskripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi masukan dan perbaikan untuk penelitian yang akan datang.

Bogor, November 2011


(44)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr. Ir Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. selakudosenpembimbingatas bimbingan dan ilmunya yang telah diberikan.

2. RestiMeilaniS.Hut, M.Si selaku dosen

pengujidanDr.ArumSekarWulandariselakuketuasidang

3. Bapak tercinta Jayus dan Emak tercinta Rupi’indan Adik tersayang Taman Agung yang telah menyemangati dan mendoakan penulis.

4. Tedi Yunanto, S.Hut. M.Si, Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut dan Elviana, S.Hut yang telah membantu penulis selama penelitian

5. Teman-teman di Laboratorium Genetik Silvikultur (Asep Mulyadiana, S.Hut, Azizah, Eka Perdanawati, Mira Novianti, Ridahati Rambey S.Hut, M.Si, Dr. Ir. Yulianti, MS, dan Dra. Dida Syamsuwida MSc)

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Silvikultur 44 (Hendra Prasetya, Lilik Sugirahayu,Nifa Hanifa, Nurunnajah, Anindita Kusumaningrum, Yuniar Safitri, danCyntia Yuni Ardanari), 45 dan 46 terimakasih atas do’a dan dukungannya, sertateman-teman yang tidakbisasayasebutkansatu per satu. 7. Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Kehutanan IPB (Alex Yungan,

Wira Ari Ardana, DindaHidayanti, Sri Handayani, danNiaWidyastuti)

8. Teman-temanwismaAr-Riyadh (Lili Suryani, Ririn Masrina, Sri Lestari, Yunita Fatmah Sujati, Gita, Nurzakiyah, Maya Wulan ArinidanFitriani Rahayu)terimakasihatasbantuandandukungannya

9. Keluarga Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban (IPMRT) 10. Civitas akademik Fakultas Kehutanan atas kekeluargaannya

11. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor

Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

Bogor, November 2011 Penulis


(45)

KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... x DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv BAB I.PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1DeskripsiSingkatGaharu ... 3 2.2Cites ... 4 2.3Deoksiribonukleat Acid (DNA) ... 5 2.4KeragamanGenetik ... 6 2.5PCR (Polymerase Chain Reaction) ... 8 2.6Mikrosatelit ... 9 BAB III. METODE PENELITIAN ... 11 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11 3.2 Alat dan Bahan ... 11 3.3 Prosedur Penelitian ... 13 3.3.1 Pengambilan Sampel Daun ... 13 3.3.2 Ekstraksi DNA ... 13 3.3.3 Elektroforesis ... 14 3.3.4 PCR ... 14 3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid ... 15 3.4 Analisis Data ... 17 BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1AmplifikasiSilangPenandaMikrosatelit ... 19 4.2KeragamanGenetikdalamPopulasiGaharu ... 20


(46)

xii  4.3Keragaman Genetik antarPopulasiJenisGaharu ... 22 4.4Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul tidak Jelas ... 24 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 28 DAFTAR PUSTAKA ... 29 LAMPIRAN ... 33


(47)

1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik ... 11 2 Lokasi pengambilan dan jumlah sampel penelitian ... 12 3 Primer mikrosatelit Eurlings et al. (2009)... 15 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR ... 15 5Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid ... 16 6Bahan pewarnaan DNA mikrosatelit ... 17 7HasilPendugaanpanjangfragmen DNA hasilamplifikasi... 18 8Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer ... 19 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu ... 19 10Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman ... 20 11Keragamangenetik (He) beberapajenistanamankehutanan ... 21 12 Jarak genetik populasi gaharu ... 23


(48)

xiv  DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi pohon gaharu ... 3 2Prinsip kerja PCR ... 9 3 daun dan kayu gaharu ... 12 4 Baganalurpenelitian ... 13 5 Contoh perakitan kaca poliakrilamid ... 16 6 Cara skoring DNA mikrosatelit ... 17 7 Grafik panjang fragmen hasil amplifikasi ... 18 8Hasil amplifikasi silang mikrosatelit ... 19 9 Dendogram gaharu hutan alam dan tanaman ... 23 10Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu ... 25 11Dendogram hutanalamdantanamandengan primer 10pa17 ... 26


(49)

1BeberapajenistumbuhanApendiks I, II, dan III CITES ... 34 2 Instrumen/alat-alatpenelitian ... 35 3SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Tanaman ... 35 4SkoringgenotipeA.microcarpaHutan Tanaman... 36 5SkoringgenotipeA.crassnaHutan Tanaman ... 37 6SkoringgenotipeGirinopssp.Hutan Alam ... 37 7SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Alam, NTB ... 37 8SkoringgenotipeA.malaccensisHutan Alam, Riau ... 38 9SkoringgenotipeA.microcarpaHutan Alam... 39 10SkoringgenotipepotongankayuGaharu ... 39 11TampilanhasilanalisisPopGene ... 40 12Tampilanhasilanalisis data Ntsys ... 44


(50)

1  

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon gaharu.Adanya kandungan damar yang wangi dalam gaharu ini, gaharu sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet, serta untuk keperluan kegiatan agama.

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan Aquilaria dan Gyrinops.Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) saat ini di Indonesia diketahui terdapat 6 jenis Aquilaria yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A.beccariana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis,A.cumingiana, dan A. microcarpa.

Perdagangan gaharu di Indonesia tercatat telah dimulai sejak abad ke-5.Cina merupakan pembeli terbesar untuk produk-produk gaharu.Perdagangan gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Belanda (dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19) dan berlangsung hingga sekarang (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan mengakibatkan kelangkaan pohon gaharu dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Akibat kelangkaan tersebut menurut Balitbanghut (2006) semua jenis Aquilaria, dan Gyrinops ditempatkan pada CITES Apendiks II (Lampiran I),konsekuensinya yaitupenjualan ekspor dan impor gaharu ditentukan kuota dan harus mendapat izin dari CITES. Akan tetapi, kuota ini tidak membedakan gaharu alam atau budidaya sehingga mendorong praktek penebangan liar.Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengendalian asal-usul kayu gaharu agar tetap terjaga kelestariannya.Hal ini meningkatkanpengendalian perdagangan gaharu komersial di semua negara yang berpartisipasi.

Pengendalian perdagangan internasionaldenganmetode deteksi tradisional seperti cahaya mikroskop, gagal untuk membedakan antara gaharu legal dan gaharu illegal yang diperjualbelikan (Barden et al. 2000).Untuk membedakan


(51)

gaharu dari hutan alam dan hutan tanaman serta kepentingan pengendalian perdagangan gaharu internasional diperlukan metode identifikasi alternatif yang dapat diandalkan dan sulit dimanipulasi, misalnya dengan marka DNA.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya

2. Menduga asal usul kayu gaharu yang saat ini diperdagangkan di pasaran.

1.3Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang kelayakan metode DNA untuk menduga asal-usul kayu dan jenis-jenis gaharu yang diperdagangkan sehingga dapat digunakan untuk pengendalian perdagangan gaharu.


(52)

3  

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Singkat Gaharu

Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan bahwa gaharu merupakan nama perdagangan untuk kayu yang berasal dari pohon margaAquilaria (sebagian besar berasal dari A.malaccensis). Pohon-pohon tersebut seringkali terkena infeksi oleh parasit yang berupa jamur dan mulai menghasilkan resin yang harum dan bewarna gelap di bagian kayu teras. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama gaharu. Di pasar internasional, gaharu dikenal dengan namaagarwood, aloeswood atau oudh.

Aswoko (2009) menjelaskan bahwa gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aquilaria sp. (Thymelaeaceae). Kerajaan : Plantae

Ordo : Malvales Famili : Thymelaeaceae Genus : Aquilaria

Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih-putihan, dan kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap (Sumarna2002 dalam Aswin 2007).Adapun morfologi pohon gaharu disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi pohon gaharu (Adinugroho 2010)

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai


(53)

reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang, cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman, bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou 1960 dalam Aswin 2007).

Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Serawak dan Filipina. Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Gaharu yang berkualitas baik umumnya tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34ºC, kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna 2002 dalam Aswin 2007).

Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi gaharu di Indonesia mendekati kepunahan. Hal tersebut memicu upaya melestarikan Aquilaria di alam, antara lain dengan memasukkan A.malaccensiske dalam Apendiks II CITES(CITES 1994 dalam Soehartono dan Maardiastuti 2003).James et al. (1994) menjelaskan penetapan tersebut disebabkan oleh populasi tanaman penghasil gaharu semakin menyusut di alam karena para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen.

2.2 CITES

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam merupakan perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi ini bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam(Anonim 2010a).

Jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam pengawasan CITES dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks.Tiga apendiks dalam CITES yaitu (Alamendah 2010):Apendiks I; daftar seluruh spesies


(54)

5  

  tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Apendiks I sedikitnya berisi 800 spesies seperti macan tutul, gajah sumatera, harimau sumatera, dan semua spesies badak termasuk badak jawa dan badak sumatera,Apendiks II; daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Apendiks II berisi sekitar 32.500 spesies.Apendiks III; daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I. Dalam apendiks III berisi sekitar 300 spesies.

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti (Anonim 2010a).

Indonesia tergabung dalam CITES pada tanggal 28 Desember 1978 dan konvensi ini secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 28 maret 1979 melalui Keputusan Presiden No. 43/1978 tanggal 15 Desember 1978. Indonesia merupakan Negara ke-48 yang tergabung dalam CITES. Selama menjadi anggota Konvensi, Indonesia secara aktif telah memberikan masukan terhadap perubahan-perubahan peraturan di dalam Konvensi tersebut (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

2.3 Deoksiribonukleat Acid (DNA)

DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting pada makhluk hidup, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk hidup dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua makhluk hidup kecuali beberapa virus mempunyai DNA. Di dalam sel, bagian terbesar dari DNA terdapat dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Molekul


(55)

DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Menurut studi dari foto sinar-X oleh Rosalind Franklin dikemukakan bahwa molekul DNA mempunyai struktur seperti spiral. Berdasarkan foto yang diambil oleh Franklin tersebut, Watson dan Crick dalam bulan April 1953 mengambil kesimpulan bahwa (Suryo 2008) :

a) Deretan polinukleotida DNA mempunyai bentuk sebagai spiral teratur

b) Spiral itu mempunyai diameter kira-kira 20 Amstrong, dan lebar spiral tersebut tetap

c) Mengingat bahwa molekul DNA sangat padat, maka spiral DNA terdiri dari dua buah spiral yang mengandung dua deretan polinukleotida

Suryo (2008) menjelaskan baha dua buah pita polinukleotida yang berbentuk double helix dalam molekul DNAdihubungkan oleh atom H yang sangat lunak. Jika suatu larutan yang mengandung DNA dipanaskan atau dibubuhi alkali yang kuat, maka ikatanhydrogen itu menjadi lebih labil dan putus. Dua pita spiral dari molekul DNA akan membuka, proses ini dinamakan denaturasi DNA. Jika larutan tersebut kemudian didinginkan kembali atau dinetralisir secara perlahan-lahan, maka terbentuklah pasangan-pasangan basa itu kembali. Peristiwa ini dinamakan renaturasi.

2.4 Keragaman Genetik

Finkeldey (2005)menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan perbedaan gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan selama proses perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat adanya persilangan-persilangan dan adanya mutasi.

Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya.Dalam suatu jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis (antar provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman antar pohon, dan keragaman dalam pohon.Ada dua sebab utama yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik. Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan secara seksual (Aritonanget al. 2007).


(1)

40

 

Individu

6 Pa 18

(A158, A186)

10 Pa 17

(A152, A153)

16 Pa 17

(A143, A145)

71 Pa 17

(A186, A216)

F7

A158, A186 A152, A153 A143, A145 A186, A216

Lampiran 11 Hasil analisis PopGene

Populasi 1 (A.malaccensis, Hutan Tanaman)

Populasi 2 (A.microcarpa, Hutan Tanaman)

Lampiran 11 (Lanjutan)


(2)

41

 

Populasi4 (Girinops sp., Hutan Tanaman)

Lampiran 11 (Lanjutan)


(3)

42

 

Populasi6 (A.malaccensis, Hutan Alam “Riau”)

Lampiran 11 (Lanjutan)


(4)

43

 

Populasi8 (Potongan kayu gaharu dari jenis A.malaccensis)

Lampiran 11 (Lanjutan)


(5)

44

 


(6)

LASWI IRMAYANTI.

Keragaman

GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit.

Dibimbin

goleh ISKANDAR Z. SIREGAR

RINGKASAN

Gaharu merupakan salahsatuHasilHutanBukanKayu (HHBK) yang memiliki kandungan

damar wangidengan keharuman yang khas,sehinggabanyakdigunakan sebagai bahan baku

industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan ritual

keagamaan. Eksploitasi gaharu yang berlebihanmengakibatkan kelangkaan dan hilangnya

pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam daftar

CITES Apendiks II, dengankonsekuensinyayaitupenjualan ekspor dan impor gaharu

diaturolehkuota.Akan tetapi, kuotainitidak membedakan gaharu alami atau

budidayasehingga masihmendorong terjadinyapraktek penebangan

liar.Olehkarenaituperludilakukanupayapengendalian yang

efektfterhadapasal-usulkayugaharu.Akhir-akhirinipenggunaanpenanda DNA

menjadipentinguntukmemverifikasiasal-usulkayudanbahantanamankarenasifatnya yang

sulitdimanipulasisehinggaperludiujicobapadakayugaharu.Penelitianinibertujuanuntuk 1)

melakukanamplifikasisilang primer mikrosatelit

Aquilariacrassna

kejenisgaharulainnya,

dan 2) mendugaasalusulkayugaharuyang diperdagangkan di

pasaran.Bahanpenelitianyaitupopulasigaharudarihutanalamdantanamansertakayugaharu

yang tidakdiketahuiasal-usulnya.Primer mikrosatelit

A.crassna

yang

digunakandalamamplifikasi DNA gaharuadaempatmacam, yaitu 6pa18 (180-210 bp),

10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), dan 71pa17 (152-224

bp).Berdasarkanhasilpengamatandidapatkanbahwasemuajenissampelgaharubaikdarihutan

alammaupunhutantanamandapatmengamplifikasisilangpadarentangukuranfragmen DNA

yang diharapkan.Analisisgenetikmenunjukkannilaikeragamangenetik (H

e

)

dalampopulasigaharusebesar H

e

=0.5443 (hutantanaman), dan He=0.4642 (hutanalam).

Nilaikeragamangenetiktersebutdapatdigunakansebagaiinformasiilmiahuntukupayapengko

nservasiangaharu.PadadendrogramNtsys (analisisklaster)

terlihatadanyapengelompokangaharuasalhutantanamandanhutanalam,

dimanasampelpotongan kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas mengelompokke

gaharudari hutanalam. Hal inimengindikasikanbahwakayu gaharu yang diperdagangkan

masih berasal dari hutan alam.