Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro

(1)

EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU

(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO

A Z W I N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro adalah

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Azwin


(3)

ABSTRAK

AZWIN. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis

Lamk.) Hasil Kultur In Vitro. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan

SUPRIYANTO.

Gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah salah satu tanaman hutan tropis

penghasil resin yang bernilai ekonomi tinggi. Meningkatnya permintaan gaharu dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya penebangan liar dari hutan alam tidak terkontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan pengembangan tanaman gaharu. Teknik kultur jaringan adalah suatu metode alternatif yang dapat menghasilkan bibit secara genetik lebih baik dimasa yang akan datang. Keuntungan kultur jaringan dapat menghasilkan planlet dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Disamping itu, dengan teknik ini juga dapat menghasilkan tanaman yang homogen dan bebas penyakit. Meskipun demikian, teknik kultur jaringan juga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui perbedaan stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro baik

eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun eksplan dari tunas adventif, dan (2) untuk mendapatkan konsentrasi optimum zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ untuk menginduksi tunas gaharu dalam kultur in vitro. Media dasar yang

digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog, 1962). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari tunas aksilar atau tunas adventif. Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah

digunakan untuk mengetahui variasi genetik dari pohon induk dan bibit (sebelum kultur) dan variasi somaklonal tunas aksilar dan tunas adventif (hasil kultur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua jenis eksplan yang ditanam secara in vitro pada media MS yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm

menghasilkan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbaik. Hasil evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro menggunakan

penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik (he) sebelum kultur

(0,0729), hasil kultur (planlets) (0,0833), sub kultur I (0,0903) dan sub kultur II (0,0382), sedangkan keragaman genetik pohon induk sebesar 0,2454.


(4)

AZWIN. Evaluation of Genetic Stability of Agarwood (Aquilaria malaccensis

Lamk.) in In Vitro Culture. Supervised by ISKANDAR Z. SIREGAR and

SUPRIYANTO.

Agarwood (A. malaccensis Lamk.) is one of the important tropical forest

trees, which produces a high economically valuable fragrant resinous wood. The increase of agarwood demand from year to year leads to uncontrolled illegal harvest of this plant from its natural habitat. To encounter this problem, there is an urgent need to develop agarwood plantation. Tissue culture is an alternative method to provide genetically good seedlings for plantation in the future due to its short period and mass quantity of planlet production. In addition, through this method, its might also provide homogenous plant, and free from diseases. However, genetic variation of in vitro plant may also be resulted from tissue

culture technique. The objectives of the study were (1) to study the difference of genetic stability of agarwood between axillaries and adventitious shoot explants during in vitro culture; and (2) to find out the optimal concentration of BAP or

TDZ for inducing shoot multiplication of agarwood in in vitro conditions. MS

(Murashige And Skoog, 1962), was used as basal media. The experimental design of the research was completely randomized design (CRD) with treatment of BAP concentration ( control; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) or TDZ concentration (control; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), in 3 replicates. Each replicate consist of 4 bottles, every bottle containing one explants coming from axillaries and adventitious shoot explants. Technique of Random Amplified Polymorphic DNA ( RAPD) have been used to study genetic variation of mother trees and seedling (before culture) and somaclonal variation of axillaries and adventitious shoots (resulted from tissue culture). Results indicated that two types of agarwood explants grown in vitro in MS basal media containing BAP 0,50 ppm or TDZ 0,25

ppm produced the highest number of shoots and leaves of agarwood plantlets, as well as its plantlet shoot length. Somaclonal variation analysis using RAPD found the variation of plantlet before culture (0,0729), after plantlet culture (0,0833), 1st subculture (0,0903) and 2nd subculture (0,0382), while the genetic variation of mother trees was 0,2454.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(6)

(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO

A Z W I N

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Judul Tesis : Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro

Nama : Azwin

NIM : E051040091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan November 2006 ialah Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

Hasil Kultur In Vitro.

Gaharu merupakan sejenis tumbuhan yang hidup di hutan alam Indonesia yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bentuk gubal atau resin yang dihasilkannya. Namun sangat disayangkan tumbuhan ini sudah hampir terancam punah keberadaaanya di hutan alam, hal ini disebabkan oleh penebangan liar yang tidak terkendali serta tidak adanya usaha pelestarian. Tumbuhan gaharu dimasa yang akan datang perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai tumbuhan asli Indonesia dan dapat dijadikan sebagai sumber devisa bagi negara. Dalam upaya tersebut, penulis mencoba melakukan penelitian dalam rangka mendapatkan metode perbanyakan tanaman gaharu secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan tanaman, sekaligus melakukan analisis mengenai variasi genetik yang terjadi selama proses pengkulturan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan bibit gaharu yang berkualitas dalam upaya pengembangan tanaman gaharu dimasa yang akan datang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Supriyanto, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, sehingga masukan, saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bantaian, Kabupaten Rokan Hilir Riau, pada tanggal 05 Maret 1977 dari Ayah Muhammad Said M dan Ibu Zainabun. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.

Pendidikan dasar penulis jalani di SD Negeri 028 Desa Bantaian lulus pada tahun 1990, melanjutkan ke SMP Negeri 2 Bagansiapiapi lulus pada tahun 1993, kemudian pada tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bagansiapiapi dan pada 1997 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru pada Fakultas Pertanian dengan memilih Jurusan Agronomi, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Jurusan Budidaya Hutan. Dari tahun 1996 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Staf Biro Akademis Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

Selama mengikuti kuliah S2, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Silvikultur Hutan Alam dan Bioteknologi Tanaman Hutan di Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2006/2007.


(10)

Rumbai Pekanbaru - Riau, 28265.

Alamat Surat : Univ. Lancang Kuning Jln. D.I. Pandjaitan Km.8 Rumbai Pekanbaru - Riau, 28265. Telp. (0761) 53108.


(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, namun semua ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, atas izin dan ridho-Nya, penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan ini, semoga ilmu ini bermanfaat bagi diri penulis dan orang lain serta dapat menambah ketaqwaan kepada-Nya. Amin.

2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Supriyanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, nasehat dan dukungannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik, serta kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc sebagai Kepala Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, yang telah memberikan keringanan biaya penelitian analisis RAPD semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan keikhlasan Bapak. 3. Bapak Ir. Ervizal A.M. Zuhud selaku Kepala Laboratorium Kultur Jaringan

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, terima kasih atas izin penggunaan Laboratoriumnya.

4. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc, selaku Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama menjalankan pendidikan di PS IPK IPB.

5. Ibu Dr. Syarifah Iis Aisyah, M.Sc. Agr, selaku dosen penguji luar dalam ujian akhir dari tesis ini, terima kasih atas kesediaannya untuk menguji dan berbagi pengalaman.

6. Bapak Dr. Ir. Irwan Effendi, MSc, Rektor Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan S2 di IPB. 7. Pemda Provinsi Riau, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan. 8. Yang saya muliakan dan hormati, kedua orang tua saya, Bapak M Said M, dan

Ibu Zainabun, yang selalu berdo’a siang dan malam tanpa pamrih, baik dalam suka maupun duka demi keberhasilan dan kesuksesan anaknya, semoga Allah SWT memberikan kesehatan, kekuatan dan umur panjang kepada mereka. Amin.

9. Keluarga Besar di Kampung: kakak, abang, adek, abang ipar, abang A. Kholid, SH. M.Hum, ponaan dan cucu, terima kasih atas do’a dan dukungannya.

10. Buat teman-teman: Nesa Rosalia, Nur Adnan, Duryat, Pak Khalik, Rum & Erni, Mariyana U, Tedi Y, Pak Julius, Pak La Ode, Pak Sedek, Pak Ajun J, Pak Aah, Pak Melawanto, dan semua teman-teman IPK angkatan 2004 dan 2005 yang telah banyak membantu, baik moril maupun materil. Semoga kebaikan teman-teman mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bogor, Mei 2007


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Hipotesis... 6

Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) ... 8

Penyebaran dan Tempat Tumbuh ... 9

Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu... 10

Kultur Jaringan... 11

Zat Pengatur Tumbuh... 13

Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal... 15

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)... 18

BAHAN DAN METODE Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ... 22

Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat... 22

Metode Penelitian ... 23

Sumber Eksplan ... 23

Bahan Sterilisasi Eksplan... 24

Rancangan Percobaan ... 24

Pelaksanaan Penelitian... 25

Persiapan Media Perlakuan... 25

Penanaman Eksplan dalam Media Kultur... 26

Sub Kultur ... 26

Pengamatan dan Pengumpulan Data... 27

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik... 27

Tempat dan Waktu ... 27

Bahan dan Alat Analisis RAPD ... 27

Ekstraksi DNA ... 29

Uji Kualitas DNA... 30

Seleksi Primer ... 30


(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ... 33

Umum... 33

Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh ... 34

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ... 37

1. Jumlah Tunas ... 38

2. Panjang Tunas ... 42

3. Jumlah Daun ... 45

Visualisasi Perkembangan Eksplan ... 48

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik... 51

Umum... 51

DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi ... 53

DNA Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II... 53

Primer Hasil Seleksi... 54

DNA Pohon Induk Hasil RAPD ... 57

DNA Hasil RAPD sebelum hingga Sub Kultur II ... 60

Jarak Genetik Pohon Induk, sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II... 68

SIMPULAN DAN SARAN ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(14)

Halaman 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan

Basanya ... 30 2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR... 31 3. Tahapan dalam Proses PCR ... 32 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif ... 34 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ

terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ... 37 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST... 51 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu ... 55 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk 60

9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) per Tahapan ... 63


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Dunia... 9

2. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Indonesia... 10

3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman Melalui Kultur Jaringan... 12

4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ... 13

5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ... 15

6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda ... 20

7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR ... 21

8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan... 22

9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD... 23

10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu ... 28

11. Alat-Alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD... 29

12. Pola Terjemahan Pita DNA... 32

13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar... 38

1. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. ... 39

15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar... 43

16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. ... 43

17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar... 46

18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. ... 46

19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS... 48

20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP Dan TDZ ... 49

21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur ... 49


(16)

24. Profil DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel

sebelum Kultur hingga Sub Kultur II... 55 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD ... 58 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk .. 59 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok Bogor . 60 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06 ... 62 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 ... 62 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan. ... 64 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum

hingga Sub Kultur II ... 66 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum

hingga Sub Kultur II ... 67 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum

hingga Sub Kultur II ... 67 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum

hingga Sub Kultur II. ... 67 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk

hingga Sub Kultur II ... 68


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman 1. Komposisi Media MS ... 80 2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Gaharu... 81 3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD 84 4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2,

sebelum hingga Sub Kultur II. ... 86 5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer

OPY-06 dan OPY-08 ... 87 6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22

Sampel Tanaman Gaharu ... 88


(18)

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Hasil hutan berupa kayu merupakan komoditas utama yang dihasilkan dari hutan, akibatnya penebangan hutan secara liar terjadi dimana-mana dengan tidak memperhatikan kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, terutama merosotnya kualitas lingkungan. Selain kayu, hutan juga menghasilkan komoditas hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Salah satunya adalah tanaman penghasil gaharu yang banyak dihasilkan dari genus Aquilaria.

Tumbuhan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu

jenis tanaman hutan tropis penghasil resin atau produk damar yang bernilai ekonomi tinggi. Permintaan dunia akan produk gaharu setiap tahunnya mengalami peningkatan (Sumarna, 2002), namun dibatasi oleh kuota. Kuota untuk Indonesia pada tahun 2000 untuk jenis A. filaria sebanyak 200 ton dan untuk A. malaccensis

sebanyak 225 ton, tetapi pada tahun 2005 kuota Indonesia anjlok masing-masing menjadi 125 ton dan 50 ton (Wiguna, 2006).

Memperhatikan permintaan pasar atas komoditas gaharu yang terus meningkat, maka budidaya gaharu menjadi penting di masa yang akan datang karena telah masuk Appendix II dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna) dan dalam rangka

mempersiapkan era perdagangan bebas. Gubal gaharu dengan kualitas super dapat mencapai harga 10 - 15 juta/kg, kayu gaharu diperdagangkan sebagai komoditas mewah untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/kemenyan, pengawet berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna, 2002) serta acara ritual keagamaan, karena aroma harum yang dihasilkannya (Barden et al. 2000).

Meningkatnya kebutuhan gaharu dari tahun ke tahun dan tingginya harga jual, menyebabkan intensitas pemungutan liar yang berasal dari hutan alam semakin tinggi dan tidak terkendali, khususnya terhadap jenis gaharu berkualitas tinggi. Menurut Sumarna (2002), tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang


(19)

2 akibat perburuan liar yang tidak terkendali dan tidak mengindahkan faktor-faktor kelestariannya. Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan tidak berisi gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon secara spekulatif. Apabila pada akhirnya pohon tersebut tidak mengandung gaharu setelah dikupas dan dicacah, maka pohon tersebut ditinggalkan begitu saja. Cara perburuan tersebut terus berlangsung sehingga populasi tumbuhan A. malacensis

berada di ambang kelangkaan. Sehingga pada tahun 1994 Convention on International Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna (CITES) IX di

Florida, mencantumkan tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) dalam Appendix II karena berstatus sebagai plasma nutfah yang terancam punah (Barden et al.

2000). Menindaklanjuti hal tersebut, Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membatasi penjualan gaharu alam bukan budidaya, di dalam maupun luar negeri.

Agar kesinambungan produksi gaharu berkualitas tinggi ini tetap terbina dan tidak tergantung pada alam, maka perlu upaya pembudidayaan yang optimal pada beberapa daerah endemik, yang sesuai dengan metode perbanyakannya yang dapat dilakukan baik secara konvensional maupun melalui teknik kultur jaringan. Usaha budidaya ini dilakukan karena secara alami biji gaharu sulit tumbuh dan berkecambah jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Teknik kultur jaringan memberikan alternatif terhadap usaha perbanyakan tanaman secara vegetatif pada skala yang lebih besar dalam upaya konservasi dan pengembangan tanaman gaharu di masa yang akan datang. Beberapa kelebihan yang diperoleh dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan diantaranya adalah dapat menghasilkan tanaman yang homogen, berkualitas tinggi, jumlah yang tidak terbatas, bebas hama dan penyakit, menghasilkan klon yang lebih unggul, dapat diperbanyak dalam waktu yang relatif singkat, tidak dibatasi oleh waktu, tetapi membutuhkan keahlian khusus. Selain itu menurut Yusnita (2003), manfaat utama perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi pasokan rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat.

Menurut Santoso (2001), perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat menggunakan bahan tanaman sebagai eksplan seperti: sel tanaman,


(20)

protoplas, jaringan meristem, kalus, dan organ tanaman. Namun eksplan yang paling umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah: daun, batang, akar, biji, tunas, embrio, anther dan kepala sari. Bahan-bahan yang umum digunakan ini biasanya ada yang ditanam langsung untuk mendapatkan produk yang diinginkan tetapi ada juga digunakan hanya sebagai bahan kultur awal untuk mendapatkan organ juvenil (muda), atau kalus yang umumnya relatif bersifat meristematik dan aseptik.

Perbanyakan vegetatif tanaman gaharu melalui kultur jaringan sudah pernah dilakukan oleh Situmorang (2000), Astuti (2005), Wardoyo (2004) dan peneliti lainnya, yang telah berhasil menginduksi tunas gaharu secara in vitro namun hasil

yang diperoleh belum maksimum karena belum didapatkannya media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang optimum. Apabila media dan konsentrasi ZPT yang digunakan belum tepat maka proses induksi berlangsung lama dan jumlah tunas yang dihasilkan sedikit. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metode propagasi tanaman gaharu yang tepat, sehingga memperoleh hasil yang maksimal dalam upaya pengadaan bibit gaharu yang bermutu.

Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal (Wattimena dan Mattjik, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh komposisi zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan, lamanya masa pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami gangguan dan lain sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang terjadi dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin dan Sowcroft, 1981 dalam Wattimena dan Mattjik, 1991). Dengan demikian untuk

mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi, maka perlu dilakukan evaluasi stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik, diantaranya adalah

RandomAmplified Polymorphic DNA (RAPD).

Penggunaan teknik RAPD untuk mendeteksi variasi somaklonal hasil kultur

in vitro telah banyak dilakukan pada beberapa spesies tanaman monokotil dan

dikotil. Pada umumnya tanaman yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan secara genetik lebih unggul dibandingkan tanaman induknya jika mengikuti


(21)

4 kaidah-kaidah pemuliaan. Khusus pada tanaman gaharu evaluasi stabilitas genetik hasil kultur in vitro dengan teknik RAPD belum pernah dilakukan. Penelitian ini

dilakukan untuk melihat seberapa besar variasi somaklonal yang terjadi pada tanaman gaharu hasil kultur in vitro.

Perumusan Masalah

Gaharu adalah pohon yang tumbuh liar di hutan alam. Di Indonesia gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi gaharu hingga saat ini masih diperoleh dari perburuan di hutan alam. Gaharu dikelompokan dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu. Menurut kebijakan pemerintah masa lalu, masyarakat diberi kesempatan seluasnya untuk memproduksi gaharu dengan pengawasan relatif rendah dan nilai jual relatif tinggi. Hal itu mengakibatkan intensitas perburuan gaharu terjadi dimana-mana dan tidak terkendali (Sumarna, 2002). Di lain pihak, upaya untuk melakukan usaha budidaya gaharu secara intensif baik oleh pemerintah maupun pengusaha hingga saat ini masih relatif sedikit, baik dengan pola monokultur maupun tumpang sari.

Untuk mengatasi perburuan gaharu yang tidak terkendali, tentunya perlu dilakukan upaya budidaya dan penyelamatan plasma nutfah, baik secara in situ

maupun ex situ, agar keberadaan gaharu tetap lestari di masa yang akan datang.

Pelestarian secara in vitro adalah suatu cara pelestarian ex situ. Dengan teknik in vitro atau kultur jaringan, gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang hampir di ambang

kepunahan dapat diselamatkan atau diperbanyak hingga tidak terbatas jumlahnya. Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan mempunyai banyak keuntungan. Namun penggunaan teknik kultur jaringan dalam perbanyakan tanaman kehutanan sedikit mengalami kesulitan dibandingkan tanaman pertanian, khususnya dalam penyediaan eksplan. Tim (1991), menyatakan tanaman berkayu seringkali mengeluarkan senyawa fenolik apabila jaringannya diisolasi. Selain itu kesulitan lain yang sering dialami untuk mengkulturkan pucuk dari tanaman berkayu adalah sulitnya mendapatkan eksplan yang steril.

Herawan (2004), menyatakan bahwa penggunaan eksplan bahan tanaman dewasa, relatif lebih sulit dan hasilnya masih belum sebaik bila menggunakan


(22)

tanaman muda. Hal ini disebabkan karena sulitnya mensterilkan permukaan organ tanaman dewasa yang sudah terlalu lama berada di tempat terbuka.

Eksplan yang baik adalah kecambah atau tingkat juvenil, karena jaringan tanaman yang muda, lunak (tidak berkayu) pada umumnya lebih mudah untuk dibiakkan dari jaringan yang tua dan berkayu (Herawan, 2004). Tim (1991) juga menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari tunas juvenil atau kecambah akan tumbuh lebih baik dibanding tanaman dewasa. Pada hampir semua tanaman, di bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya masih aktif membelah dan merupakan bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan. Untuk mendapatkan jaringan yang muda atau juvenil dapat dilakukan pembiakan secara aseptik atau bagian tanaman yang masih muda yang berasal dari bibit, kecambah atau tunas adventif.

Nasir (2002), menyatakan propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan tidak selalu sederhana, karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur sel atau jaringan umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan genetik dapat terjadi selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan genetik dalam kultur dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk mendapatkan variasi somaklonal.

Variasi genetik atau variasi somaklonal terjadi karena adanya mutasi gen. Dalam kultur jaringan variasi somaklonal dapat terjadi disebabkan oleh jenis eksplan yang digunakan, jenis dan konsentrasi ZPT, subkultur berulang, dan komposisi zat kimia yang digunakan dalam media. Supriyanto (komunikasi pribadi, 2006), menyatakan bahwa dalam perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan, kemungkinan terjadinya variasi somaklonal bisa mencapai hingga 40% apabila eksplan yang digunakan adalah meristem pucuk atau tunas aksilar, sedangkan jika menggunakan eksplan yang berasal dari tunas adventif variasi somaklonal dapat mencapai hingga 60%, karena sensitifitas tunas adventif sangat tinggi dan mudah berubah dibanding tunas aksilar.

Kultur in vitro merupakan teknologi potensial untuk meningkatkan

keragaman genetik tanaman gaharu, sehingga dengan adanya keragaman tersebut maka peluang untuk mendapatkan genotipe atau klon baru yang unggul menjadi terbuka. Untuk mengetahui perubahan gen atau variasi somaklonal yang terjadi


(23)

6 selama proses pengkulturan tanaman gaharu dapat dilakukan analisis dengan menggunakan teknik RAPD.

Berdasarkan uraian tersebut di atas ada beberapa permasalahan yang ingin dijawab adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar instabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro

2. Apakah pemberian ZPT Benzyl Amino Purine (BAP) atau Thidiazuron (TDZ) yang optimum akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik pada eksplan meristem tunas aksilar yang ditanam di rumah kaca atau eksplan meristem tunas adventif hasil kultur in vitro.

3. Apakah ada atau tidak perbedaan proses induksi tunas gaharu yang berasal dari meristem tunas aksilar dari rumah kaca dan meristem tunas adventif hasil kultur in vitro.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk

menduga perubahan genetik selama proses pengkulturan serta mendapatkan konsentrasi ZPT BAP atau TDZ yang optimum dalam proses induksi dan multiplikasi tunas gaharu pada dua sumber eksplan yang diteliti.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Komposisi zat kimia dalam media kultur dapat menyebabkan perubahan stabilitas genetik tanaman gaharu selama proses pengkulturan.

2. Zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ dengan konsentrasi yang optimum mampu menginduksi tunas gaharu secara in vitro, dan mempunyai

kemampuan induksi tunas yang berbeda pada dua sumber eksplan yang diteliti.


(24)

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan sebagai bahan informasi bahwa penggunaan BAP dapat menyebabkan variasi somaklonal pada tingkat konsentrasi tertentu.

2. Dapat menjelaskan tentang metode propagasi tanaman gaharu secara in vitro

yang tepat pada dua sumber eksplan yang berbeda yaitu eksplan tunas aksilar yang ditanam di rumah kaca dan eksplan tunas adventif hasil kultur in vitro


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Gaharu (A. malaccencis Lamk.)

Dalam klasifikasi tumbuhan, gaharu (A. malaccencis Lamk.) termasuk

dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo Thymelaeles, famili Thymeliaceae, genus Aquilaria dan spesies A. malaccensis

Lamk (Ponirin, 1997). Menurut Sumarna (2002) di Indonesia ada 8 genus dan 16 spesies tanaman penghasil gaharu antara lain adalah dari genus Aquilaria sp, Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus sp, Wikstroemia sp, Grynops, Dalbergia dan Excoccaria. Genus Aquilaria memiliki 6 spesies A. beccariana, A. cumingiana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono 1997 dalam

Barden et al. 2000). Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama

yang berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng, dan terentak. Dalam perdagangan dunia gaharu ini dikenal dengan nama agarwood, aloewood dan eaglewood (Sumarna, 2002).

Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih-putihan, kadang-kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang, dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap (Sumarna, 2002). Menurut Ponirin (1997), daun yang kering biasanya berwarna abu-abu kehijauan, tepi daun agak bergelombang, melengkung dan kedua permukaannya licin serta mengkilap, tulang daun sekunder 12 – 16 pasang. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm, dan lebar sekitar 3 cm, biji bulat atau bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2002).

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen, melalui pelukaan pada batang, cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,


(26)

bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou, 1960). Patogen yang biasa dijumpai menginfeksi pohon gaharu adalah dari jenis mikroorganisme seperti cendawan. Jenis cendawan yang telah diketahui sebagai pembentuk gaharu ialah

Fusarium sp., Phytium sp., Lasiodiplodia sp., Libertela sp., Trichoderma sp., Scytalidium sp., dan Thielaviopsis sp. (Sumarna, 2002).

Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Serawak dan Filiphina (Gambar 1 dan 2) (Rimbawanto dan Pamungkas, 2004). Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Umumnya gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34º C, kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna, 2002).

Gambar 1. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Dunia


(27)

10

Gambar 2. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Indonesia

(Rimbawanto dan Pamungkas, 2004).

Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu

Hasil analisis kimia, gaharu memiliki 6 komponen utama berupa furanoid sesquiterpene diantaranya ialah a-agarofuran, b-agarofuran, dan agarospirol.

Selain itu gaharu jenis A. malaccensis asal Kalimantan ditemukan komponen

pokok minyak gaharu berupa chromone. Chromone ini menyebabkan bau harum

dari gaharu apabila dibakar. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa sequiterpenoida, eudesmana, dan valencana (Sumarna, 2002).

Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timar Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang. Menurut Chakrabarty et al. (1994) gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian,

penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil setelah melahirkan. Menurut Barden et al. (2000), gubal gaharu juga dimanfaatkan sebagai pelengkap

dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat khususnya di kawasan Asia dan Timut Tengah dalam bentuk dupa, hio, atau kemenyan.

Di Cina, gaharu dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai macam penyakit yang menyerang perut, ginjal, dan dada, kemudian untuk kanker, kolik, diare, cegukan dan tumor (paru-paru). Dalam pengobatan Ayurvedic (India kuno) gaharu juga digunakan sebagai pengobatan penyakit mental dan pengusir roh jahat sedangkan di Mesir digunakan untuk meminyaki jenazah (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).


(28)

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Hartmann et al. (1990), menyatakan bahwa teknik ini dapat digunakan

untuk perbanyakan tanaman, perbaikan tanaman, menghasilkan tanaman bebas virus, produksi metabolit sekunder dan preservasi tanaman. Dasar teknik kultur jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai sifat totipotensi yaitu kemampuan sel untuk tumbuh dan berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium aseptik yang mengandung unsur hara dan ZPT yang sesuai. Dengan sifat totipotensi ini, akan menjadi konsep dasar dalam pelaksanaan kultur jaringan, karena sel, jaringan maupun organ yang digunakan mampu tumbuh dan berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro. Umumnya sifat

totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda, dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristematik (Santoso dan Nursandi, 2001).

Kondisi totipotensi bahan tanaman antara satu tanaman dengan tanaman yang lain sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu tanaman yang sejenis (Santoso dan Nursandi, 2001). Teori totipontensi ini dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden pada tahun 1838 dengan melakukan berbagai penelitian untuk membuktikan teori totipotensi dan mencari kondisi yang sesuai untuk regenerasi sel menjadi organisme utuh, namun baru berhasil dibuktikan pada pertengahan abad 1930-an setelah ditemukannya ZPT auksin yaitu IAA (Indole Asetic Acid) dan NAA (Naftalene Asetic Acid) (Yusnita, 2003).

Hartmann et al. (1997), menyatakan bahwa kultur jaringan merupakan suatu

istilah yang digunakan sebagai prosedur untuk memelihara dan menumbuhkan jaringan tanaman (kalus, sel, protoplas) dan organ-organ (batang, akar, embrio) dalam kultur aseptik (in vitro). Suksesnya mikropropagasi sebagian besar

berhubungan dengan aspek-aspek dari tahapan kultur, antara lain dengan cara memanipulasi dengan memodifikasi media dan kontrol lingkungan. Menurut


(29)

12 Hartmann et al. (1997), secara umum ada empat tahap dalam melakukan

mikropropagasi melalui kultur jaringan seperti terlihat pada Gambar 3.

Establishment/Persiapan

Multiplikasi Pembentukan Akar Aklimatisasi Empat Tahap

Propagasi In Vitro

Gambar 3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman melalui Kultur Jaringan (Hartmann et al. 1997).

Mikropropagasi melalui kultur jaringan telah menjadi bagian yang sangat penting bagi propagasi komersial pada banyak tanaman. Keuntungan dari mikropropagasi sebagai sistem propagasi telah dikemukakan banyak penulis dan dapat diringkas meliputi: propagasi massal pada klon-klon spesifik, produksi tanaman bebas pathogen, propagasi klonal dari parental stock untuk produksi benih hibrida, produksi bibit berkelanjutan, penyelamatan plasma nutfah (Hartmann et al. 1997), dan dapat menghasilkan tanaman baru yang mempunyai

sifat yang sama dengan induknya (Nugroho dan Sugito, 1996).

Menurut George dan Sherrington (1984), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis yaitu (1) genotip, menyangkut semua sifat genetik dari tanaman, (2) substrat yaitu semua yang menyangkut media, komposisi ZPT (3) lingkungan kultur dan (4) eksplan.

Teknik kultur jaringan juga dapat dimanfaatkan untuk mempelajari 4 bidang pokok (Noerhadi, 1979 dalam Herawan, 2004) yaitu (1) perbanyakan klon-klon

terpilih (unggul) yang dapat dihasilkan dalam waktu pendek dan dalam jumlah yang besar, (2) melestarikan keragaman sumber daya genetik alami, (3) produksi bahan alam primer dan sekunder dan (4) perbaikan mutu dan sifat genetik tumbuhan, termasuk tanaman bebas penyakit.

Eksplan yang digunakan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan dapat ditumbuhkan dengan beberapa cara, antara lain dengan pembentukan kalus, langsung embriogenesis atau somatik embriogenesis. Dari


(30)

kalus dapat dibentuk kultur suspensi, somatik embriogenesis dan organogenesis dan seterusnya, seperti terlihat pada Gambar 4.

Eksplan

Kalus

Langsung Organogenesis Somatik Embriogenesis

Kultur Suspensi

Somatik Embriogenesis

Organogenesis

Protoplas

Gambar 4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman. Melalui teknik kultur jaringan dapat pula dilakukan berbagai manipulasi seperti: (1) manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau meregenerasikan jaringan tertentu dalam tanaman seperti endosperma yang mempunyai kromosom 3n, (2) polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang

secara internal abortif, (3) tanaman haploid dan double haploid yang homogenous, (4) hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma baik intraspesifik maupun interspesifik, (5) variasi somaklonal dan (6) transfer DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) atau organel sel untuk memperoleh sifat tertentu (Tim, 1991).

Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah yang disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain organ tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis. Gunawan (1992) menyatakan bahwa ZPT dalam jumlah sedikit (< 1 mM) dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Wudianto (2004), hormon ini hanya efektif pada jumlah tertentu. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak bagian yang


(31)

14 terluka. Bentuk kerusakannya berupa pembelahan sel dan kalus yang berlebihan dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan konsentrasi di bawah optimum menjadi tidak efektif.

Zat pengatur tumbuh pada umumnya digunakan secara kombinasi dalam kultur jaringan, dengan konsentrasi berbeda untuk tiap jenis tanaman. Penentuan konsentrasi ZPT disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan dan tujuan kultur jaringan untuk menginduksi tunas, akar, kalus dan lain-lain (Wattimena,1988).

Dalam kultur jaringan, dua golongan ZPT yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Purwito (2004), menyatakan bahwa auksin berfungsi untuk induksi perakaran dan kalus dalam bentuk endogen adalah IAA sedangkan eksogen adalah IAA, NAA, IBA, 2,4-D, Picloram, 2,4,5,-T dan sitokinin berfungsi sebagai induksi tunas dan kalus dalam bentuk endogen zeatin dan eksogen BAP/BA, Kinetin, 2-iP, dan Thidiazuron. Menurut Gunawan (1992), ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level ZPT endogen sel. Zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring factor untuk proses-proses yang tumbuh secara morfogenesis.

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Menurut Gunawan (1992), faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu. Wattimena dan Mattjik (1991), menyatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke dalam jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang diberikan akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman yang sehat akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan.

Sitokinin dan auksin merupakan ZPT yang ditambahkan dalam medium. Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973).


(32)

Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman. Aktivitas yang utama ialah mendorong pembelahan sel dan aktivitas ini yang menjadi kriteria untuk menggolongkan suatu zat ke dalam sitokinin. Perimbangan ZPT sitokinin dan auksin dalam proses menentukan arah dan perkembangan suatu eksplan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman. Dari kiri ke kanan peningkatan Sitokinin, dari atas ke bawah peningkatan Auksin (Sumber: http://www.ncbe.reading.ac.uk/

NCBE/PROTOCOLS/planttissue.htm).

Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal

Mutasi adalah perubahan genetik, baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian dari pertumbuhan tanaman. Namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel. Bila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya terjadi pada bagian itu dan dapat dilihat pada perkembangan sel dan jaringan ini. Sedangkan bila terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya, dan dapat pula berakibat pada perubahan fisiologis dan biokemis. Mutasi yang disebabkan oleh bahan kimia dapat merubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah urutan susunan genetik pada kromosom (Poespodarsono, 1987).


(33)

16 Menurut Mattjik (2005), timbulnya variasi genetik dapat terjadi karena pengaruh alam atau perbuatan manusia. Manusia dapat menimbulkan variasi genetik suatu komoditi dengan berbagai cara antara lain melalui persilangan, mutasi, rekayasa genetik dan penggunaan mutagen.

Di dalam kultur jaringan terjadinya variasi genetik karena adanya penyimpangan mitosis yang dapat mengakibatkan tanaman baru yang dihasilkan secara genetik tidak sama dengan induknya yang biasa disebut keragaman somaklonal atau variasi somaklonal. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang tumbuh secara in vitro. Keragaman yang berhubungan dengan kultur jaringan

dapat disebabkan oleh perubahan jumlah kromosom melalui penggandaan atau reduksi. Keragaman tersebut dapat berasal dari eksplan yang telah memiliki kromosom polisomik.

Terdapat dua dasar terjadinya mutasi yaitu mutasi gen, dimana gen bermutasi dari bentuk dominan ke bentuk resesif dan sebaliknya dan mutasi kromosom yaitu segmen kromosom atau suatu set kromosom yang berubah. Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu (1) aberasi struktur kromosom meliputi dilesi, duplikasi dan translokasi dan (2) aberasi jumlah kromosom yang terdiri dari euploid, keragaman dari suatu set kromosom, pada keadaan abnormal dapat menjadi satu (monoploid atau haploid), dua set (diploid), tiga set (triploid) dan empat set (tetraploid) (Suzuki et al. 1981 dalam Mattjik, 2005).

Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.

Keragaman genetik dalam kultur jaringan dapat terjadi tergantung pada: (1) eksplan yang digunakan (sel, protoplas, kalus atau bagian jaringan), (2) jenis dan ZPT, (3) lamanya fase pertumbuhan, dan (4) komposisi bahan kimia yang digunakan dalam media (Jacobsen, 1987 dalam Mattjik, 2005).


(34)

Chawla (2002), menyatakan variasi genetik merupakan komponen yang esensial bagi program pemuliaan untuk memperbaiki karakteristik dari tanaman. Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu sumber potensial terjadinya variasi genetik. Variasi yang dihasilkan dengan menggunakan siklus kultur jaringan dinamakan dengan istilah variasi somaklonal oleh Larkin dan Scowcroft (1981). Mereka mendefinisikan siklus kultur jaringan adalah suatu proses mengenai pembentukan (establishment) dan dediferensiasi sel atau organ tanaman pada

kondisi yang telah ditentukan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal diantaranya adalah (Chawla, 2002):

1. Genotipe; genotipe tanaman dapat mempengaruhi terjadinya frekuensi regenerasi dan frekuensi somaklon

2. Sumber eksplan; sumber eksplan yang telah mempunyai kromosom mosaik dan perbanyakan dengan menggunakan batang dapat menghasilkan jumlah kromosom bervariasi.

3. Lamanya pengkulturan; variasi dapat meningkat dengan ditingkatkannya lama pengkulturan.

4. Kondisi kultur; telah diketahui bahwa komposisi ZPT dalam media kultur dapat menyebabkan perubahan frekuensi karyotipik dalam kultur sel. Zat pengatur tumbuh tersebut adalah 2,4-D, NAA, BAP dan lain-lain yang secara umum dapat menyebabkan kromosom bervariasi.

Menurut Chawla (2002), yang menjadi dasar terjadinya variasi somaklonal adalah:

1. Perubahan karyotipe (karyotype changes): perubahan jumlah kromosom pada

berbagai tanaman secara umum berasosiasi dengan menurunnya pembuahan dan merubah rasio genetik pada progeni tanaman dari penyerbukan sendiri. 2. Perubahan pada struktur kromosom; ini terjadi karena delesi kromosom,

duplikasi, inversi dan penyusunan kembali kromosom yang timbal balik dan yang tidak timbal balik yang terjadi antara tanaman yang beregenerasi.

3. Mutasi gen tunggal; mutasi gen tunggal biasanya terjadi pada gen yang resesif. 4. Perubahan genetik sitoplasma, persilangan mitotik dan amplifikasi gen dan


(35)

18

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh

Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat

polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di

dunia, karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Williams et al. (1990),

metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok

digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.

Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui pemanfaatan PCR (Polymerase Chain Reaction) sehingga menunjukkan

polimorfisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya. Polimorfisme yang teramati dengan menggunakan RAPD diyakini karena adanya perubahan basa tunggal yang mencegah perpasangan primer dengan sekuens target, delesi sisi utama, insersi atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa set oligonukleotida yang sama dapat digunakan untuk berbagai spesies atau organisme dan setelah amplifikasi selama 2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati secara langsung dengan agarose normal gel elektroforesis (Nasir, 2002).

Kary Mullis memperkenalkan PCR pada tahun 1983 dan publikasi PCR yang pertama muncul pada tahun 1985. Menurut Muladno (2002), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada

target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara

puluhan sampai ribuan nukleotida. Teknik PCR memerlukan dNTPs yang mencakup dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP. Teknik RAPD ini juga telah digunakan untuk pemetaan genom, penanda gen dan penelitian kekerabatan tanaman. Analisis ini memerlukan sampel yang lebih sedikit dan tidak memerlukan waktu yang lama, serta pengerjaannya relatif mudah.


(36)

Dalam analisis RAPD ada empat tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap ekstraksi DNA, tahap pengujian kuantitas DNA, tahap amplipfikasi DNA (PCR) dan tahap elektroforesis. Ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses pengisolasian DNA bahan amplifikasi dengan cara penggerusan dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA yang terpisah dari kontaminan. Keberhasilan ekstraksi DNA dapat diketahui dengan pengujian kualitas dan kuantitas DNA. Uji kualitas dan kuantitas DNA dilakukan secara elektroforesis dengan me’running’ DNA pada bak elektroforesis yang

berisi cairan elektrolit. Pada tahap ini semua bahan yang ada dalam larutan DNA dapat terpisah sesuai dengan berat molekulnya masing-masing. Apabila pada UV transilluminator tidak tampak pita DNA, maka kemungkinan besar pengekstrak

tidak berhasil.

Menurut Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2-0,3 g cukup untuk menghasilkan DNA sesuai dengan kebutuhan selama analisis. Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun yang digunakan akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA dalam jumlah besar dari pada daun yang sudah tua.

Kemajuan dalam pemanfaatan sistem biologi modern tidak terlepas dari prinsip dasar kimia kehidupan. Materi genetik DNA adalah persenyawaan yang terdiri dari gula, fosfat dan basa yang tersusun secara teratur inilah yang menentukan perkembangan dan pertumbuhan suatu organisme dan diturunkan pada generasi berikutnya. Suatu sekuen tertentu dari rantai gula-fosfat-basa ini disebut gen. Gen mengendalikan suatu sifat secara kimiawi melalui kerja enzim-enzim.

Melalui teknik tersebut kita dapat melakukan hal-hal seperti menentukan gen-gen dengan fungsi spesifik, mengisolasi gen yang spesifik tersebut, memasukkan gen spesifik yang kita inginkan ke dalam DNA organisme lain dan gen berekspresi memerintahkan sel inangnya untuk membuat bahan sesuai dengan kodenya (Tim, 1991).

PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah fragmen


(37)

20 kecil template kompleks. PCR merupakan suatu teknik yang sangat kuat dan sensitif yang dapat diaplikasi dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler, diagnostik, genetika populasi dan analisis forensik.

PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer dengan ujung 5’ dari kedua untaian sekuens target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase. Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali

diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan.

Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya perpasangan sekuens dan akhirnya reaksi polimerisasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk untai komplementer. Proses ini dikenal dengan siklus PCR (Nasir, 2002). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks ganda (double helix) (Gambar 6), basa nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu

rangkaian akan berpasangan dengan basa nitrogen dari setiap rangkaian lainnya melalui ikatan hidrogen (Muladno, 2002).

Gambar 6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda (Anonim, 2006).

Menurut Muladno (2002), ada 5 komponen utama yang dibutuhkan dalam reaksi PCR yaitu 1) DNA target, 2) Primer, 3) Enzim Taq DNA polymerase 4)

dNTP dan 5) Larutan penyangga atau bufer. Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Ketiga tahapan suhu dan fungsinya adalah sebagai berikut :


(38)

1. Denaturasi (terbentuk rantai tunggal) suhu 95oC.

Pada tahap pertama ini utas ganda molekul DNA terpisah sempurna dan menghasilkan pita tunggal yang merupakan cetakan bagi primer. Suhu denaturasi biasanya 940 C selama 30 detik atau 970 C selama 15 detik. Dalam Muladno (2002) dinyatakan bahwa denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR.

2. Annealing(penempelan primer) suhu berkisar 50 oC -60oC

Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5 oC dibawah Tm,

dimana formula untuk menghitung Tm= 4(G + C) + 2(A + T). Semakin panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya.

3. Ekstensi (pemanjangan primer) suhu 72 oC

Selama tahap ini, Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72 oC diperkirakan antara 35 sampai 1000 nukleotida per detik, tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA (Muladno, 2002).

Gambar 7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR (Muladno, 2002).


(39)

BAHAN DAN METODE

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian Kultur Jaringan dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2006.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit gaharu berumur 4 bulan yang ditanam di rumah kaca dan planlet gaharu yang berumur 14

minggu hasil kultur in vitro, seperti yang terlihat pada Gambar 8.

B A

Gambar 8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan.

Keterangan: A: Bibit Gaharu di Rumah Kaca, dan B: Planlet Gaharu dalam Tabung Kultur.

Media dasar yang digunakan adalah Media MS (Murashige & Skoog, 1962) (Lampiran 1), sedangkan ZPT yang digunakan adalah BAP dan TDZ berbentuk bubuk.

Alat-alat yang digunakan dalam kultur jaringan gaharu yaitu pinset, gunting,

scalpel, mikroskop binokuler dengan lampu, petridish, kertas tissue, laminar air


(40)

Metode Penelitian Sumber Eksplan

Sumber eksplan tunas aksilar diperoleh dari bibit gaharu berumur 4 bulan yang ditanam di rumah kaca Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB sedangkan sumber eksplan tunas adventif adalah planlet gaharu yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bagian yang digunakan untuk perbanyakan dari kedua sumber eksplan adalah jaringan meristem dengan 1 primordia daun. Bagan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Pohon Induk

Sumber Eksplan (Tunas Aksilar)

Sterilisasi

Pengambilan Bagian Meristem

Induksi Tunas Pada Media Perlakuan

Planlet

Sumber Eksplan (Planlet)

Eksplan dipotong Ukuran Lebih Kecil

Sub Kultur 1

Analisis RAPD

Sub Kultur 2 Analisis RAPD

(Genetic Background)

Evaluasi Stabilitas Genetik

Gambar 9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik


(41)

24

Bahan Sterilisasi Eksplan

Bahan sterilisasi eksplan yang digunakan meliputi: detergen, HgCl2 0,01%,

NaOCl, Alkohol 70%, dan Betadine.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan ulangan 3 unit, setiap unit terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari tunas aksilar atau tunas adventif. Penelitian ini terdiri dari 4 percobaan secara terpisah yang disusun seperti di bawah ini.

Percobaan I:

Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol

(B1) = 0,50 ppm

(B2) = 0,75 ppm

(B3) = 1,0 ppm

Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar

Percobaan II:

Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol

(B1) = 0,50 ppm (B2) = 0,75 ppm (B3) = 1,0 ppm

Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif

Percobaan III:

Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol

(T1) = 0,25 ppm

(T2) = 0,50 ppm

(T3) = 0,75 ppm

Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar

Percobaan IV:

Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol

(T1) = 0,25 ppm

(T2) = 0,50 ppm

(T3) = 0,75 ppm

Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif

Setiap perlakuan diulang tiga kali, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan.


(42)

Model linier aditif dari rancangan tersebut adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002):

Yij = µ + αi +

ε

ij

i = 1, 2, ....t (ZPT) j = 1, 2...r (ulangan) Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

ε

ij = Pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi BAP atau TDZ terhadap pertumbuhan kultur dilakukan uji sidik ragam. Apabila F hitung > F tabel, maka percobaan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil sidik ragam yang memberikan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut wilayah berganda Duncan untuk mengetahui pengaruh terbaik konsentrasi ZPT terhadap masing-masing jenis meristem dalam proses induksi dan multiplikasi tunas gaharu. Pengolahan data

menggunakan program SPSS 13.0 for Windows.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Media Perlakuan

Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Media MS (Murashige & Skoog, 1962) yang ditambah dengan ZPT BAP atau TDZ yang telah ditetapkan sebagai perlakuan. Media perlakuan ditetapkan pHnya 5,8 dengan menggunakan beberapa tetes NaOH atau HCl. Selanjutnya ke dalam media ditambah bahan pemadat berupa agar sebanyak 7 g/l dan glukosa (gula) 30 g/l, lalu dipanaskan sampai mendidih, setelah mendidih dituang dalam botol kultur sebanyak lebih kurang 15 ml/botol. Kemudian media disterilisasi dengan

menggunakan autoklaf dengan temperatur 1210C dan tekanan 21 psi (1,5 bar)

selama 30 menit. Setelah media disterilisasi kemudian didinginkan selama satu minggu sekaligus untuk menyeleksi media yang terkontaminasi. Media yang tidak terkontaminasi siap ditanam.


(43)

26

Penanaman Eksplan ke Dalam Media Kultur

Penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas aksilar dilakukan dengan cara memotong pucuk atau tunas aksilar bibit gaharu sepanjang 3 cm menggunakan gunting, daun-daun yang menempel dibuang, kemudian dilakukan sterilisasi dengan detergen cair selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir

sampai detergen benar-benar bersih, kemudian direndam dalam HgCl2 0,01 %

selama 7 menit, NaOCl 10%, 7,5% dan 5% masing-masing 15-20 menit kemudian dibilas tiga kali dengan aquades steril, direndam dalam larutan Betadine 2 ml/100 ml selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pengambilan bagian meristem di bawah mikroskop binokuler dengan cara meletakkan pucuk gaharu di dalam cawan petri yang berisi air akuades steril. Bagian meristem yang diambil terdiri dari satu primordia daun kemudian dimasukan ke dalam media kultur sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.

Untuk penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas adventif tidak dilakukan proses sterilisasi karena sudah dalam kondisi aseptik, tetapi pengambilan bagian meristem dilakukan di dalam cawan petri yang berisi larutan betadine. Proses pengambilan bagian meristem dilakukan sama dengan proses pengambilan bagian meristem tunas aksilar yang berasal dari rumah kaca yaitu terdiri dari satu primordia daun. Bagian meristem yang diambil dimasukan ke dalam media kultur yang sudah ditetapkan sebagai perlakuan. Semua kultur di

inkubasi pada suhu 25 ± 20C dan diletakan pada rak kultur kemudian ditutup

dengan kertas koran, setelah lima hari kertas koran dibuka dan diberi cahaya lampu neon 40 watt pada photoperiode 16 jam terang dan 8 jam gelap.

Sub Kultur

Sub kultur tunas gaharu dilakukan sebanyak 2 kali dengan menggunakan media dasar MS tanpa penambahan ZPT. Sub kultur ini dilakukan untuk mendapatkan sampel daun yang akan digunakan untuk analisis stabilitas genetik tanaman gaharu guna melihat ada tidaknya perubahan struktur genetik yang terjadi selama proses pengkulturan.


(44)

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan sejak hari pertama penanaman eksplan ke dalam media kultur, parameter yang diamati meliputi: Persentase pencokelatan (browning), persentase terkontaminasi dan visualisasi perkembangan eksplan, sedangkan pengamatan paramater jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas per eksplan, dan jumlah daun per eksplan, dimulai pada minggu kedua setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada kedua jenis sumber eksplan tersebut selama 12 minggu.

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik Tempat dan Waktu

Penelitian analisis RAPD dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2006 sampai Januari 2007.

Bahan dan Alat Analisis RAPD

Bahan tanaman yang digunakan untuk evaluasi stabilitas genetik adalah sampel daun yang berjumlah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel yang berasal dari pohon induk, 4 sampel dari sebelum dikultur (2 sampel dari bibit dan 2 sampel dari planlet), 4 sampel hasil kultur, 4 sampel subkultur I dan 4 sampel subkultur II. Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang diteliti yang diberi perlakukan BAP 0,5 ppm dan 1,0 ppm. Semua bahan tanaman tersebut berasal dari kebun induk yang ada di Desa Cangkorawok Bogor. Diagram alir pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 10. Bahan kimia yang digunakan

adalah Buffer TE, PVP (polyvinylpyrrolidone) 2%, agarose, ethidium bromida

(ETBR), buffer ekstrak CTAB, Cloroform IAA, phenol, propanol, NaCl , etanol 100%, Taq Polymerase dan Primer.

Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi DNA, elektroforesis dan analisis

RAPD antara lain: tube, gelas piala, gelas ukur, sarung tangan, UV

transiluminator, kamera digital dan alat tulis serta alat-alat yang terlihat pada Gambar 11.


(45)

28

Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik

Pohon Induk (n=6)

Bibit (Bulk Seedling)

Tunas Aksilar

Sub Kultur II (n=2) (D) Sub Kultur II (n=2)

Tunas Adventif

Hasil Kultur (n=2) Hasil Kultur (n=2)

Sub Kultur I (n=2) Sub Kultur I (n=2)

Jaringan Meristematik Dikulturkan Bibit 1 Perlakuan

BAP 0,5 ppm (n=1)

Bibit 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm

(n=1)

Planlet 1 Perlakuan BAP 0,5 ppm

(n=1)

Planlet 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm

(n=1)

(C) (A)

(B)

Gambar 10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II, dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu.

Keterangan: Garis Putus-putus Menunjukkan Pemisahan Tahapan, A: Tahap sebelum Kultur, B: Hasil Kultur, C: Sub Kultur I, D: Sub Kultur II dan n: Jumlah Sampel.


(46)

B C

D E F

G H

A

I

Gambar 11. Alat-alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD.

Keterangan: A: Mortar dan Pestel, B: Hotplate Stirer dan Neraca Analitik, C: Vortex dan Peltier Thermal Cycler, D: Alat Elektroforesis, E: Tips dan Mikropipet, F: Mikrowave, G: Freezer, H: Desikator dan Sentrifugasi dan I: Waterbath.

Ekstraksi DNA

Potongan daun gaharu berukuran 2 x 2 cm digerus dalam pestel dengan menambahkan Buffer pengekstrak CTAB sebanyak 500 µl dan 100 µl PVP 2%,

kemudian dimasukan ke dalam tube, divortex lalu diinkubasi dalam waterbath

pada suhu 650C selama 60 menit, selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan

dikocok. Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu ruang selama 15 menit dan dicuci dengan menambahkan 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl. Campuran digoyang perlahan-lahan dan disentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit. Setelah disentrifugasi supernatan (cairan bagian atas) diambil dan dipindahkan ke tube baru dengan menambahkan lagi 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl, dikocok dan disentrifugasi kembali pada 13000 rpm selama 2 menit. Ambil supernatan dan dimasukan ke tube baru, lalu ditambah 500 µl isopropanol dingin


(47)

30

dan NaCl 300 µl, kocok. Simpan dalam freezer selama 60 menit. Selanjutnya

sentrifugasi kembali selama 2 menit dan cairan dibuang sehingga yang tertinggal dalam tube adalah pellet DNA. Ditambah etanol 100% sebanyak 300 µl, sentrifugasi kembali dan cairan dibuang lalu dikeringanginkan dalam desikator selama 15 menit.

Uji Kualitas DNA

Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 20 µl pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 µl DNA ditambahkan 2 µl BJ (Blue Juice) 10 X dan running/elektroforesis pada tegangan 100 volt selama ± 30 menit. Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan etidium bromide (ETBR)

10 µl per 200 ml aquades selama 3 - 5 menit dan selanjutnya dilihat pada UV

transiluminator.

Seleksi Primer

Sebelum dilakukan proses PCR terhadap DNA gaharu, terlebih dahulu diseleksi primer yang cocok untuk proses amplifikasi, karena belum ada penelitian sebelumnya yang telah mendapatkan primer yang dapat mengamplifikasi DNA

gaharu. Dalam penelitian ini ada 10 primer yang dipilih secara random, yaitu

primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology.

Sepuluh primer yang digunakan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan Basanya.

No. Primer Urutan Basa No. Primer Urutan Basa

1. OPO-06 5’CCACGGGAAG’3 1. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3

2. OPO-09 5’TCCCACGCAA’3 2. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3 3. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’3 4. OPO-14 5’AGCATGGCTC’3 4. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3 5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 5. OPY-11 5’AGACGATGGG’3

DNA hasil ekstraksi diambil masing-masing 2 µl dicampur menjadi satu kemudian diencerkan dengan 49 µl aquabides. Ambil komponen campuran untuk reaksi PCR ( Master taq 7 µl, Nuclease-free water 2,5 µl, DNA mix


(48)

masing-masing 2 µl, dan Primer masing-masing-masing-masing 1,5 µl) disentrifugasi selama 5-10 detik. Kemudian dimasukan ke mesin PCR, atur suhu dan tahapan reaksi seperti yang disajikan dalam Tabel 3. Total siklus sebanyak 37.

DNA hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan menggunakan agarose 2% (0,30 g agarose, 15 ml TAE) pada tegangan 90 volt selama 30 menit,

selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Primer yang menghasilkan pita atau

jumlah amplifikasi yang terbanyak selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA dari 16 sampel yang diuji.

Amplifikasi DNA dengan PCR

Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan dengan aquabides. Perbandingan antara DNA dan aquabides tergantung dari resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi (misalnya pengenceran 90x artinya 89 µl aquabides dan 1 µl DNA hasil ekstraksi. Selanjutnya dari hasil seleksi primer, dipilih 2 primer yang digunakan untuk proses amplifikasi DNA.

Empat komponen yang digunakan dalam proses amplifikasi DNA dengan

PCR adalah Green Go Taq (sampel dari bibit dan sampel dari planlet sebelum

hingga sub kultur II) dan HotStar Mix (sampel dari pohon induk) (Tabel 2). Empat

komponen yang telah dicampur disentrifugasi selama 5 menit kemudian dimasukan ke dalam mesin PCR, diatur suhu PCR sesuai dengan tahapan dan siklus reaksi seperti yang terdapat dalam Tabel 3.

Tabel 2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.

No. Nama Bahan 1 Sampel Reaksi X Sampel Reaksi

1. H2O 2 µl X x 2 µl

2. Green Go Taq / HotStar Mix 7,5 µl X x 7,5 µl

3. Primer 1,5 µl X x 1,5 µl


(49)

32

Tabel 3. Tahapan dalam Proses PCR

Tahapan Suhu (0C) Waktu (menit) Jumlah Siklus

Pre-denaturation 95 10 1

Denaturation Annealing Extension 95 37 72 1 3 2 35

Final Extension 72 10 1

DNA hasil PCR di elektroforesis dengan menggunakan konsentrasi agarose

2% (0,66 gram agarose dan 33 ml TAE) , di-running pada tegangan 90 volt

selama 45 menit. Kemudian direndam dalam larutan etidium bromide 10 µl per

200 ml aquades selama 3 - 5 menit. Visualisasi fragmen DNA dilakukan pada UV

transiluminator. Seragam tidaknya DNA diamati dari pita yang dihasilkan. Pita DNA diterjemahkan dalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita, dengan ketentuan nilai 0 (nol) untuk tidak ada pita, dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita pada suatu posisi yang sama dari setiap individu yang dibandingkan. Cara pemberian nilai dapat dilihat pada Gambar 12.

No A B C D E

1 2 3 4 5 6 7

No A B C D E

1 1 0 1 1 0 2 1 0 0 1 1 3 1 1 0 0 0 4 1 0 1 0 0 5 0 1 1 1 0 6 1 0 1 0 1 7 1 1 0 1 0

Diterjemahkan menjadi

Gambar 12. Pola Terjemahan Pita DNA

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Popgene versi

1.31, dan kesamaan antar genotipe ditentukan menurut Nei & Li (1979).

Pengelompokan data matriks dan pembuatan dendogram dilakukan dengan

metode Unweighted Pair Group Method With Arithmetic (UPGMA), fungsi

Similarity Qualitative (SIMQUAL) menggunakan program komputer NTSYSpc versi 2. (Rohlf, 1993).


(50)

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan Umum

Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan

organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi

tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan.

Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di

dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan

planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi

dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh

genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau perlakuan terhadap tanaman induk.


(51)

34

Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh

Dalam penelitian ini, eksplan yang berasal dari tunas aksilar berjumlah 84 eksplan dan yang berasal dari tunas adventif berjumlah 84 eksplan, setiap botol ditanam 1 eksplan, total keseluruhannya sebanyak 168 eksplan atau botol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari rumah kaca yaitu tunas aksilar persentase tumbuhnya lebih rendah yaitu 58,33% dibanding eksplan yang berasal dari tunas adventif yaitu 77,38%. Total eksplan yang tumbuh adalah sebanyak 144 eksplan atau 67.86%. Perbandingan eksplan yang mengalami pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif

Parameter Eksplan Aksilar (n=84) Eksplan Adventif (n=84)

Pencokelatan Terkontaminasi Tidak tumbuh Tumbuh

6 (7,14%) 18 (21.42%) 11 (13.09%) 49 (58.33%)

0 (0%) 11 (13.09%) 8 (9.52%) 65 (77.38%)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pencokelatan hanya terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu sebanyak 7,14%, sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan. Terjadinya pencokelatan pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar disebabkan oleh senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang digunakan jika mengalami pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Untuk meminimalisir terjadinya pencokelatan perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti memberikan antioksidan baik pada media maupun pada eksplan prakultur, dengan harapan eksplan yang ditanaman dapat tumbuh dengan baik.

Selain menggunakan antioksidan, ukuran dan umur eksplan juga sangat mempengaruhi terjadinya pencokelatan. Pada tanaman berkayu umumnya semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam


(52)

hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.

Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik, menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP, merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.

Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan zat phenolik ke dalam media tumbuh.

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29 botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan (mikroorganisme endophytic).

Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari

lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi


(1)

Lanjutan Lampiran 2.

9. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 2,483 3 0,828 12,879** 0,002

Error 0,514 8 0,064

Total 52,488 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.

10. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 2,662 3 0,887 30,752** 0,000

Error 0,231 8 0,029

Total 44,408 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.

11. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 14,941 3 4,980 12,022** 0,002

Error 3,314 8 0,414

Total 397,830 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.

12. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal dari Tunas Adventif selama 12 MST

Sumber

Keragaman Kuadrat Jumlah Derajat Bebas Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 9,296 3 3,099 25,942** 0,000

Error 0,956 8 0,119

Total 349,775 12


(2)

84

Lampiran 3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD.

A. Sampel Daun Gaharu Pohon Induk

pi1 pi 2 pi3 pi4 pi5 pi6 pi 1

pi 2 pi 3 pi 4 pi 5 pi 6

1.0000

0.7503 1.0000

0.8755 0.2513 1.0000

0.5390 0.4925 0.2513 1.0000

0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000 B. Sampel Daun Gaharu Sebelum Kultur

ak1 ak2 ad1 ad2 ak1

ak2 ad1 ad2

1.0000

0.0870 1.0000

0.1823 0.0870 1.0000

0.1178 0.0870 0.0572 1.0000 C. Sampel Daun Gaharu Hasil Kultur

ak3 ak4 ad3 ad4 ak3

ak4 ad3 ad4

1.0000

0.0282 1.0000

0.1823 0.2162 1.0000

0.0870 0.1178 0.0870 1.0000 D. Sampel Daun Gaharu Subkultur I

ak5 ak6 ad5 ad6 ak5

ak6 ad5 ad6

1.0000

0.0870 1.0000

0.1178 0.2162 1.0000

0.1495 0.1178 0.0870 1.0000 E. Sampel Daun Gaharu Subkultur II

ak7 ak8 ad7 ad8 ak7

ak8 ad7 ad8

1.0000

0.0282 1.0000

0.0572 0.0870 1.0000


(3)

Lanjutan Lampiran 3.

F. Pohon Induk, sebelum Kultur (SBK), Hasil Kultur (HK), Sub Kultur I, dan Sub Kultur II.

pi SBK HK SubK1 SubK2 pi

SBK HK SubK1 SubK2

1.0000

0.3497 1.0000

0.3372 0.0750 1.0000

0.3214 0.0749 0.0142 1.0000


(4)

86

Lampiran 4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II.

A. Bibit 1

ak1 ak3 ak5 ak7 ak1

ak3 ak5 ak7

1.0000

0.1178 1.0000

0.1178 0.1178 1.0000

0.1178 0.0572 0.0572 1.0000 B. Bibit 2

ak2 ak4 ak6 ak8 ak2

ak4 ak6 ak8

1.0000

0.1178 1.0000

0.2513 0.1823 1.0000

0.1178 0.1178 0.1178 1.0000 C. Planlet 1

ad1 ad3 ad5 ad7 ad1

ad3 ad5 ad7

1.0000

0.1178 1.0000

0.1178 0.1178 1.0000

0.1178 0.0572 0.0572 1.0000 D. Planlet 2

ad2 ad4 ad6 ad8 ad2

ad4 ad6 ad8

1.0000

0.1178 1.0000

0.2513 0.1823 1.0000


(5)

ak1 ak2 ad1 ad2

Sebelum Kultur OPY-06

OPY-08 1001010100110000001 00001010011000100

1000010100100000001 00011010011000100

1000110100100000101 00011010011000100

1001110100100000101 00011010011000100

ak3 ak4 ad3 ad4

Hasil Kultur OPY-06

OPY-08 1001110100100000101 00011010011000100

1001110100110000101 00011010011000100

1001111000100010101 00000010111000100

1001110100100000101 00000010111000100

ak5 ak6 ad5 ad6

Sub Kultur I OPY-06

OPY-08 1001110100110000101 00000010111000100

1001111000100000101 00000010111000100

1001010100110000101 00011010011000100

1001111000110000101 00011010011000100

ak7 ak8 ad7 ad8

Sub Kultur II OPY-06

OPY-08 1001110100100000101 00000010011000100

1001010100100000101 00000010011000100

1001110100110000101 00001010011000100

1001110100110000101 00001010011000100 Keterangan: - Angka yang diberi tanda merah adalah perubahan genetik -

dengan primer OPY-06 dan tanda biru dengan primer OPY-08 - Dari kiri ke kanan ukuran pasang basa semakin rendah.

- OPY-06 terdiri dari 19 lokus dan OPY-08 terdiri dari 17 lokus


(6)

Lampiran 6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Gaharu Tanaman Gaharu.

No ak1 ak 2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6 ak1

ak2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

1.0000 0.0870 1.0000 0.1178 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 1.0000 0.2162 0.2513 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.1823 0.2162 0.1178 0.1495 1.0000 0.1178 0.0870 0.0000 0.0282 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 1.0000 0.2513 0.2877 0.1823 0.2162 0.1178 0.0282 0.1178 0.1495 0.2513 0.1823 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.1178 0.0282 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0870 0.0870 1.0000 0.0572 0.0870 0.0572 0.0282 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 0.1178 0.0572 0.2513 0.1495 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.0572 0.1495 0.1178 0.1495 0.1823 0.1495 0.0870 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000 0.6931 0.6391 0.8109 0.8755 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.8109 0.8109 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.8109 0.8109 1.0000 0.5390 0.6931 0.6391 0.5878 0.4480 0.4925 0.5390 0.5878 0.7503 0.6391 0.5390 0.4925 0.6391 0.5878 0.5390 0.5390 0.7503 1.0000 0.6391 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.7503 0.6391 0.7503 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6391 0.8755 0.2513 1.0000 0.6391 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.7503 0.7503 0.6931 0.7503 0.6931 0.6391 0.6391 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000 Keterangan : 0,0000 = jarak genetik terendah

0,8755 = jarak genetik tertinggi