Modal sosial Petani dalam pengelolaan hutan rakyat Koperasi Wana Lestari Menoreh (Desa Pagerharjo, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta)

Modal Sosial Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Koperasi Wana Lestari Menoreh (Desa Pagerharjo, Kabupaten
Kulon Progo, D.I. Yogyakarta)

RADITYO HANURJOYO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modal Sosial Petani
Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Wana Lestari Menoreh (Desa
Pagerharjo, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Radityo Hanurjoyo
NIM E14060551

4

ABSTRAK
RADITYO HANURJOYO. Modal Sosial Petani Dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat Koperasi Wana Lestari Menoreh (Desa Pagerharjo, Kabupaten Kulon
Progo, D.I. Yogyakarta). Dibimbing oleh SUDARSONO SOEDOMO.
Penelitian ini bertujuan mengetahui informasi mengenai unsur modal sosial
yang dimiliki petani hutan rakyat anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh. Unsur
modal sosial ini terdiri dari kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Sistem pengelolaan hutan rakyat,
(2) Peranan kelembagaan koperasi, dan (3) Modal sosial petani anggota.
Pengelolaan lahan berbasis keluarga adalah bagian penting yang menentukan
manajemen hutan rakyat di Pagerharjo. Kepercayaan responden menunjukkan

tingkat skor rata-rata sebesar 8.37 (kategori tinggi). Dasar dari kepercayaan
responden adalah kemampuan dan niat koperasi sebagai lembaga pengelola dan
pemasar produk kayu anggota. Disamping itu, adanya kerjasama antara KWLM
dan lembaga Credit Union Kharisma Taliasih dapat membantu masyarakat untuk
mendapatkan pinjaman kredit dengan kayu milik sebagai jaminan. Jaringan sosial
responden menunjukkan nilai skor rata-rata sebesar 8.43 (kategori tinggi).
Kemampuan petani responden untuk membangun sejumlah asosiasi serta jaringan
sosial ditunjukkan oleh adanya hubungan sosial, keluasan, dan keterbukaan. Skor
rata-rata norma sosial adalah sebesar 8.10 (kategori tinggi). Tingginya skor norma
sosial ini dikarenakan atas hubungan kepercayaan dan aturan kerja sama antar
masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan lahan hutan.
Kata kunci: hutan rakyat, koperasi hutan, modal sosial

5

ABSTRACT
RADITYO HANURJOYO. Farmer Social Capital in Community Forest
Management, Wana Lestari Menoreh Cooperation (Pagerharjo Village, Kulon
Progo Regency, D.I. Yogyakarta). Supervised by SUDARSONO SOEDOMO.
This study aimed to find the information about social capital elements that

were owned by the private forest farmers of Wana Lestari Menoreh cooperative
members. These elements of social capital comprised of trust, social networking,
and social norms. The data used in this study were (1) The system of community
forest management, (2) The institutional role of the cooperatives, (3) The social
capital from the member of farmers. Family-based land management was an
important aspect that determined the private forest management at Pagerharjo.
The respondents’ trust indicated the level of an average score of 8.37 (high
category). The basis of the respondents’ trust was the ability and intention of
cooperative as an institution in managing and marketing wood product of the
members. In addition, a cooperation between the Wana Lestari Menoreh
cooperative and credit union Kharisma Taliasih could help farmers to get a creditloan with tree ownership as collateral. The social networking of respondents
indicated a score in an average of 8.43 (high category). The ability of the
respondent farmers to build a number of associations and social networks was
shown by the existence of social relations, broadness, and openness. The mean
score of social norms was 8.10 (high category). The high score of social norms
was due to the relationship of trust and cooperation rules among the society to
realize the forest land management.
Keyword: forest cooperative institution, private forest, social capital

6


Modal Sosial Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Koperasi Wana Lestari Menoreh (Desa Pagerharjo, Kabupaten
Kulon Progo, D.I. Yogyakarta)

RADITYO HANURJOYO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

7


9

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya dan
segala kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang
berjudul “Modal Sosial Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi
Wana Lestari Menoreh (Desa Pagerharjo, Kabupaten Kulon Progo, D.I.
Yogyakarta)” dengan baik. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi
untuk syarat memperoleh gelar Program Pendidikan Sarjana Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Dosen pembimbing, Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS MPPA, yang selama ini telah
sabar untukmembimbing dan membentuk karakter mental kepribadian kepada penulis
dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada kedua orang tua, yaitu (Almarhum Ayah, Soenaryo) dan (Ibunda, Emmy
Rochadijanti) atas segala bentuk dorongan motivasi dan ketulusan doanya untuk
penulis. Rasa penghargaan sekaligus penghormatan sebesar-besarnya tak lupa penulis
sampaikan kepada Ketua Departemen Manajemen Hutan, Dr.Ir. Ahmad Budiaman,
M.sc.F beserta staf yang telah memberikan kebaikan dan kesabaran kepada penulis

untuk dapat melaksanakan hingga menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan salam
terima kasih kepadaseluruh keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB dan Asrama
Sylvalestari IPB yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis
selama penyusunan tugas akhir ini pula.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengucapkan permohonan maaf apabila
terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian di dalamnya. Penulis juga menerima saran
dan kritik yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terutama dalam bidang keilmuan
kehutanan di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

Radityo Hanurjoyo

10

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Lokasi dan Waktu Penelitian

3

Subyek Penelitian dan Alat


3

Sumber dan Jenis Data

4

Metode Pengambilan Contoh

4

Analisis Data

4

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

5

Gambaran umum lokasi


5

Topografi dan Geografis

5

Pola Penggunaan Lahan

6

Sosial, Ekonomi dan Budaya

6

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

7

Peran Kelembagaan Koperasi Wana Lestari Menoreh


8

Hasil dan Pembahasan
Modal Sosial

10
10

Kepercayaan

10

Jaringan Sosial

13

Norma Sosial

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

11
LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

27

12

DAFTAR TABEL
1 Variabel modal sosial

5

2 Pola penggunaan lahan

6

3 Skor tingkat kepercayaan responden

11

4 Skor tingkat jaringan sosial responden

13

5 Skor tingkat norma sosial responden

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rekapitulasi skor kepercayaan responden

19

2 Rekapitulasi skor jaringan sosial responden

20

3 Rekapitulasi skor norma sosial responden

21

4 Daftar harga kayu anggota KWLM

22

5 Peta Sebaran Anggota KWLM dan kondisi tutupan lahan anggota

23

6 Jumlah persil dan luas lahan responden

24

13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada dekade belakangan ini pengelolaan hutan berbasis masyarakat
(community-based forestry) telah menjadi strategi yang populer dalam program
peran masyarakat sekitar hutan (local-community) untuk membantu melestarikan
hutan dan meningkatkan mata pencaharian mereka. Hampir seperempat luasan
hutan di negara berkembang saat ini dimiliki dan dikendalikan oleh masyarakat
sekitar hutan yang berpenghasilan rendah (White dan Martin 2002). Pengelolaan
sumber daya hutan ini diberikan kepada masyarakat dan diperkirakan akan terus
berlanjut pada masa depan, sehingga dapat meningkatkan taraf pendapatan dari
hasil kayu maupun non-kayu bagi masyarakat lokal (Molnar 2003).
Kelembagaan lokal menjadi hal penting bagi petani dalam mengatasi
berbagai permasalahan dalam pengelolaan hutan. Hasil penelitian di berbagai
negara berkembang menunjukkan suatu perbedaan terhadap kondisi pengelolaan
hutan berbasis masyarakat. Peneliti ilmu ekonomi kehutanan menemukan kondisi
tantangan seperti terbatasnya akses terhadap pasar (Scherr et al 2003),
ketidakpastian status kepemilikan lahan, hasil produk hutan yang rendah hingga
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, minimnya kapasitas kelembagaan
organisasi, dan keterbatasan akses pengetahuan teknis tata cara pengelolaan hutan
(Molnar et al 2007). Keberadaan kelembagaan lokal yang kuat diharapkan dapat
menjadi modal sosial bagi masyarakat karena secara historis anggota yang ada
didalamnya mempunyai kesamaan sejarah, nasib, dan budaya.
Modal dibutuhkan dalam sebuah pengembangan implementasi program
kegiatan pengelolaan hutan. Modal terdiri atas alat-alat produksi, seperti tanah,
bibit, pupuk, mesin, uang, dan sebagainya. Hal yang lebih penting selain hal yang
telah disebutkan sebelumnya adalah peranan modal manusia, seperti pengetahuan
dan keterampilan manusia. Kandungan lain modal manusia selain pengetahuan
dan keterampilan adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu
sama lain. Modal yang demikian ini disebut dengan modal sosial.
Modal sosial merupakan unsur penting yang menentukan tingkat ketahanan
suatu komunitas. Modal ini tidak hanya penting bagi masyarakat, tetapi juga bagi
pemerintah. Sebagai pelaksana dan perencana pembangunan, pemerintah akan
lebih mudah dan efisien menjalankan berbagai program pembangunan bila
masyarakat ikut serta berkontribusi di dalamnya.
Modal sosial memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
perluasan kerjasama dan kepercayaan yang tumbuh antar pelaku dalam
perusahaan, pasar, negara. Kerjasama dan kepercayaan tersebut memfasilitasi
aliran informasi yang simetris, sehingga biaya transaksi dapat ditiadakan. Selain
itu, jaringan kerjasama dapat menjadi jaminan sosial untuk meningkatkan akses
individu dan kelompok terhadap sumber daya.

Perumusan Masalah
Kegagalan implementasi program pembangunan oleh pemerintah dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah paradigma perencanaan

14
pembangunan yang masih terpusat dan kurang melibatkan masyarakat lokal. Akan
tetapi, keberhasilan program pembangunan memerlukan tingkat partisipasi
masyarakat yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan program pembangunan
kurang mendapat respon masyarakat karena kurang sesuai dengan karakteristik
sosial budaya masyarakat setempat. Penyebab kegagalan program tersebut adalah
adanya ketidaksesuaian harapan, keinginan dan kebutuhan dasar masyarakat serta
tidak tersedianya unsur modal yang memadai. Unsur modal yang dimaksud adalah
dalam bentuk sarana prasarana (infrastruktur) maupun modal sosial sebagai faktor
kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam menerima, melaksanakan dan
mengelola program tersebut secara profesional.
Pemerintah telah menyiapkan infrastruktur penunjang dari segi permodalan,
teknis, dan pendampingan dalam program pembangunan hutan rakyat. Faktor
penunjang tersebut secara umum masuk dalam kategori modal ekonomi dan
modal sumber daya manusia, namun aspek kultural berupa modal sosial,
masyarakat kurang mendapat perhatian. Pengalaman pembangunan di berbagai
negara telah memberikan gambaran yang jelas bahwa dengan modal ekonomi dan
modal sumber daya manusia yang sama ternyata memberikan hasil pembangunan
yang berbeda apabila diterapkan pada negara atau masyarakat yang berbeda, dan
yang membedakannya adalah modal sosial (Hasbullah 2006).
Latar belakang penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan nilai modal
sosial yang dimiliki oleh petani hutan rakyat di Desa Pagerharjo Kecamatan
Samigaluh Kabupaten Kulon Progo D.I. Yogyakarta. Modal sosial dalam
pengelolaan hutan rakyat merupakan akumulasi dari beragam unsur sosial yang
saling terkait yang dapat meningkatkan tindakan kolektif yang saling
menguntungkan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat. Beberapa unsur
modal sosial, baik kognitif (kepercayaan, kerjasama, dan solidaritas), maupun
struktural (aturan, peranan, dan jaringan) yang ada di dalam komunitas dapat
memberikan energi untuk terwujudnya pengelolaan hutan rakyat yang baik.
Semakin kuat modal sosial, maka semakin baik pula tindakan masyarakat petani
dalam partisipasi kegiatan pengelolaan hutan, sehingga mereka dapat
mempertahankan kinerja yang baik dalam suatu kelembagaan yang diiikutinya.
Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah
bagaimana mengidentifikasi peranan kelembagaan koperasi dan tingkat modal
sosial petani anggota koperasi dalam pengelolaan hutan rakyat. Kondisi ini
dikarenakan meningkatnya harapan akan aliran manfaat yang dapat mereka
produksi secara bersama.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui informasi mengenai modal sosial yang
dimiliki petani hutan rakyat anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)
dalam penerapan pengelolaan hutan rakyat. Konsep modal sosial yang dimaksud
adalah kepercayaan (trust), jaringan sosial (social network), dan norma sosial
(social norms).

15
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan hasil yang
berguna secara akademis dalam kajian pola pengelolaan hutan rakyat berbasis
masyarakat dengan landasan modal sosial. Penelitian ini juga diharapkan berguna
sebagai suatu solusi daya tawar petani hutan rakyat untuk: (1) Meningkatkan
partisipasi terhadap pengelolaan sumber daya hutan dalam bentuk kelembagaan
untuk mencapai suatu kegiatan ekonomi secara bersama dan adil, sehingga
menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan terkait implementasi
kebijakan kehutanan di Indonesia, (2) Meningkatkan hubungan dan jaringan
kerjasama antara sektor pemerintah, swasta, lembaga masyarakat, dan individu
petani, (3) Menguatkan perasaan memiliki, identitas dan kebanggaan bersama
sebagai petani hutan rakyat.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten
Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi ini memiliki sebaran dan
potensi hutan rakyat yang terluas di tingkat kecamatan wilayah Kabupaten Kulon
Progo, yaitu sebesar 3980 ha dari total luasan 19547.31 ha (Statistik Dinas
Kehutanan Kabupaten Kulon Progo 2012). Anggota KWLM Desa pagerharjo,
Kecamatan Samigaluh memiliki jumlah anggota sebanyak 75 orang dengan luasan
hutan rakyat sebesar 51.46 ha. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni sampai
dengan Juli 2012.

Subyek Penelitian dan Alat
Subyek penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang tergabung dalam
keanggotaan KWLM. Alatyang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pedoman wawancara berupa catatan pertanyaan tertulis mengenai pokok
masalah penelitian yang digunakan untuk pedoman wawancara kepada
informan kunci.
2. Kuesioner digunakan untuk media pengumpulan data.
3. Dokumen tertulis berupa peraturan perundang-undangan, buku, dan
jurnal ilmiah kehutanan yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti.
4. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan dan alat
perekam untuk merekam saat wawancara.

16
Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini menggunakan metode pengamatan dan pengukuran langsung
di lapangan untuk mengetahui informasi pengelolaan hutan rakyat. Ciri khas
penelitian ini adalah pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan
menggunakan kuesioner kepada responden (Singarimbun dan Effendi 2008). Jenis
data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh melalui pengamatan langsung dari responden, dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Sumber data primer tersebut
meliputi: (1) Petani anggota koperasi, (2) Pengurus KWLM, (3) Pengurus Credit
Union Kharisma Taliasih, (4) Pemerintah DesaPagerharjo, (5) Pemerintah
Kecamatan Samigaluh, (6) Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan
(BP3K) Kecamatan Samigaluh.
Data sekunder yaitu informasi berupa data tertulis yang diperoleh melalui
sebuah instansi/lembaga dan studi pustaka yang mendukung penelitian ini. Data
sekunder yang dikumpulkan berupa: (1) Buku rencana pengelolaan hutan KWLM
2009-2013, (2) Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kulon Progo 2010,
(3) Data BPS Desa Pagerharjo 2012, (4) Data laporan instansi terkait yang
berhubungan dengan aspek yang diteliti.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Sistem pengelolaan
hutan rakyat, (2) Peranan kelembagaan KWLM, (3) Modal sosial petani hutan
rakyat anggota KWLM.

Metode Pengambilan Contoh
Pemilihan responden sebagai sasaran penelitian dilakukan melalui informasi
yang diperoleh dari data petani anggota KWLM. Penentuan responden sebagai
unit contoh dilakukan dengan metode purposive sampling. Salah satu faktor yang
menentukan ukuran sampel adalah derajat homogenitas populasi. Hal ini memiliki
pengertian bahwa semakin homogen suatu populasi, maka semakin kecil jumlah
sampel. Jumlah total responden yang dipilih berjumlah 30 petani hutan rakyat
anggota koperasi.

Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil
pengolahan data kuesioner dan wawancara mendalam. Data yang terkait modal
sosial yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Software Microsoft
Excel Office Professional Plus 2010. Variabel modal sosial diukur dengan
kepercayaan, jaringan sosial, dan norma sosial.
Pengkategorian yang digunakan adalah interval kelas dengan kategori
rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian ini diperoleh dengan menggunakan
teknik scoring dengan menggunakan rumus berikut :
Interval Kelas (IK) =

Skor maksimum – Skor Minimum
-------------------------------------------Jumlah Kelas

17
Kategori :
Rendah : Skor Minimum ≤ x ≤ Skor Minimum + IK
Sedang : Skor Minimum + IK ≤ x ≤ Skor Minimum + 2 IK
Tinggi : Skor Minimum + 2 IK ≤ x ≤ Skor Maksimum
Tabel 1 Variabel Modal Sosial
Variabel

Ukuran

Kepercayaan

1. Kepercayaan responden terhadap KWLM
2. Kepercayaan menjaga kelestarian kondisi hutan
3. Kepercayaan responden terhadap lembaga keuangan

Jaringan Sosial

1. Sifat jaringan
2. Karakteristik jaringan;
a) Bentuk/basis hubungan sosial,
b) Luasan hubungan,
c) Keterbukaan hubungan.
1. Aturan tertulis dalam komunitas
2. Aturan tidak tertulis dalam komunitas
3. Nilai-nilai agama yang diyakini dalam menjalin

Norma Sosial

hubungan sosial.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Lokasi
Desa Pagerharjo terletak di Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo,
dan berada di dalam wilayah administrasi Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Batas wilayah yang mengelilingi Desa Pagerharjo antara lain :
a) Sebelah utara
: Desa Paripurwo, Kabupaten Magelang
b) Sebelah timur
: Desa Kebonharjo, Kecamatan Samigaluh
c) Sebelah selatan
: Desa Sedayu, Kabupaten Purworejo
d) Sebelah barat
: Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh

Topografi dan Geografis
Desa Pagerharjo memiliki kondisi iklim tropis, dengan rata-rata curah
hujannya sebesar 138 mm/bulan. Kondisi iklim terbagi ke dalam 2 wilayah zona
iklim suhu, yaitu zona dengan suhu berkisar antara 22-28oC dan zona dengan suhu
berkisar 17-26oC. Kawasan Desa Pagerharjo merupakan bagian dari dataran tinggi
pegunungan menoreh. Daerah ini memiliki ketinggian antara 500-1000 mdpl dan
memiliki karakteristik topografi yang berbukit.

18
Pola Penggunaan Lahan
Kondisi topografi dan jenis tanah turut menentukan pola penggunaan lahan
oleh masyarakat. Luasan penggunaan lahan yang terbesar adalah pertanian lahan
kering yaitu sebesar 47.71%, sedangkan pemanfaatan untuk hutan rakyat sebesar
10.02% (Tabel 2).
Tabel 2 Pola penggunaan lahan
No
1
2
3
4
5

Tipe lahan
Sawah Tadah Hujan
Tanah kering
Bangunan
Hutan rakyat
Lainnya
Jumlah

Luas (ha)
118.68
550.74
329.26
115.72
39.99
1154.39

Persentase (%)
10.28
47.71
28.52
10.02
3.46
100

Sumber : Data Badan Pusat Statistik Desa Pagerharjo 2012

Masyarakat Pagerharjo menjalankan usaha ekonomiseperti usaha pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan hijauan pakan ternak. Usaha pertanian meliputi hasil
komoditas seperti padi, ketela, dan jagung. Usaha kehutanan meliputi komoditas
seperti Sengon (Albazia falcataria sp), Mahoni (Swietenia sp), Jati (Tectona sp),
Sonokeling. Untuk komoditas perkebunan, masyarakat lebih memilih untuk
menanam tanaman seperti Kelapa (Cocos nucifera), kakao (Thebroma cacao), dan
cengkeh (Syzigium aromaticum). Tanaman cengkeh dan kakao merupakan salah
satu komoditas unggulan dengan produksi cengkeh sebesar ± 15.93 ton per tahun
dan kakao sebesar ± 9.71 ton per tahun.

Sosial, Ekonomi dan Budaya
Desa Pagerharjo terdiri atas 20 dusun dengan jumlah kepala keluarga (KK)
sebanyak 1371, dari jumlah total penduduk sebesar 5604 jiwa. Mata pencaharian
utama masyarakat sebagian besar adalah bertani. Berdasarkan data sekunder
penelitian, masyarakat yang bekerja di sektor pertanian berjumlah sebesar 954
jiwa atau hampir 69.58%. Klasifikasi mata pencaharian berdasarkan latar
belakang sosial budaya masyarakat dan pandangan seseorang terhadap aktivitas
pekerjaan. Salah satu informan menilai bahwa suatu pekerjaan tidak selalu atas
dasar besaran uang atau materi yang didapatkan dan alokasi waktu yang
digunakan. Namun, pekerjaan adalah suatu aktivitas yang bersifat sampingan
dalam mendukung kehidupan lingkungan sosial. Sebagai contoh, seorang
pedagang sayur menganggap dirinya memiliki mata pencaharian tetap sebagai
petani, sedangkan profesi pedagang sayur merupakan pekerjaan sampingan.
Sistem perekonomian kekeluargaan antar tetangga berkembang menjadi
sistem perekonomian yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem ini
merupakan rangkaian upaya keluarga atau rumah tangga dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi dan sekaligus menjalin hubungan kekerabatan dengan rumah
tangga atau keluarga lainnya di masyarakat. Sistem ini berdasar pada idiom
“mangan ra mangan, sing penting kumpul”. Pertumbuhan ekonomi rumah tangga

19
sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan kepercayaan yang ada di
lingkungan masyarakat.
Hubungan sosial masyarakat dipengaruhi oleh adanya kegiatan forum
lembaga kemasyarakatan dan fasilitas sarana publik di tingkat desa. Fasilitas
lembaga desa yang terdapat di Pagerharjo, yaitu Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD), Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
Karang Taruna Desa, Kelompok Serikat Persatuan Tani dan Nelayan (SPTN), dan
Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Disamping itu, sarana fasilitas
umum penunjang masyarakat Desa Pagerharjo, seperti pendidikan, agama,
kesehatan, kesenian (ketoprak dan jathilan), pasar/kios, lembaga keuangan desa
(Lembaga Keuangan Mikro Binangun dan Credit Union Cukata), telah berjalan
dengan baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Hal ini menunjukkan
sebuah nilai tambah yang bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat desa
sehari-hari. Keberhasilan pembangunan fasilitas tersebut tidak terlepas dari peran
pemerintah desa dan masyarakat dalam melakukan program pembangunan secara
bersama dan bergotong-royong.
Masyarakat Pagerharjo memiliki keberagaman dalam kepercayaan
beragama. Mayoritas masyarakat memeluk Islam dengan persentase sebesar
83.90%. Pemeluk agama Katolik memiliki persentase sebesar 12.54%, sedangkan
pemeluk agama kristen sebesar 3.55%.

Sistem Pengelolaan hutan rakyat
Pengelolaan hutan rakyat dimulai pada akhir tahun 1960-an hingga awal
tahun 1970-an. Pada masa itu, masyarakat diperkenalkan program penghijauan
(Karangkitri) dan perkebunan tanaman Vanili oleh pemerintah (Departemen
Kehutanan dan Dinas Kehutanan). Namun, program tersebut tidak memiliki arah
keberlanjutan yang jelas, walaupun cukup mendapat respon positif dari
masyarakat. Program karangkitri dan penghijauan adalah salah satu program yang
dirasakan berhasil oleh masyarakat karena berhasil untuk menghijaukan lahan
masyarakat, sedangkan program perkebunan vanili mengalami kegagalan dari sisi
pemeliharaan dan kontinuitas hasil produksi yang selalu menurun.
Pada masa era reformasi politik nasional, masyarakat lebih membuka diri
dan melakukan hubungan komunikasi lebih intensif dengan pihak eksternal. Pada
tahun 2008, masyarakat mulai membina hubungan dengan beberapa Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Yabima (Yayasan Bina Insan Masyarakat),
The Samdhana Institue, Telapak, dan Arupa. Kerjasama yang terjalin dilakukan
dengan mengadakan kegiatan pelatihan kader community logging kepada
masyarakat petani.
Pengelolaan lahan berbasis keluarga adalah bagian penting yang
menentukan manajemen hutan rakyat di Pagerharjo. Kelembagaan Kelompok
Tani Hutan Rakyat (KTH) Desa Pagerharjo berjumlah 20 KTH yang berasal dari
20 dusun. Kegiatan penghijauan lahan yang dilakukan oleh setiap kelompok tani
pada setiap tahunnya mendapatkan apresiasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan
Propinsi D.I Yogyakarta. Keberadaan lembaga KTH ini sangat menunjang
kesadaran bagi masyarakat petani hutan dalam kegiatan penanaman lahan.

20
Masyarakat Desa Pagerharjo mengenal hutan dengan istilah wono/alas.
Wono/Alas memiliki arti bahwa sumber daya hutan merupakan sumber
penghidupan yang bermanfaat bagi masyarakat untuk penyediaan pangan,
peternakan, dan sumber mata air. Dalam konteks pengelolaan hutan, masyarakat
tidak mengenal istilah penanaman sistem monokultur atau tanaman satu jenis.
Tanaman yang ditanam di lahan merupakan campuran antara tanaman keras
(kayu), tanaman pangan (umbi), dan tanaman buah. Jenis tanaman paling utama
adalah jenis jati (Tectona sp) karena mengingat nilai ekonominya paling tinggi
dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Masyarakat menanam jenis kayu keras
seperti akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia sp), sonokeling (Dalbergia sp),
sengon (Falcataria sp).
Penanaman tanaman kayu keras di lahan milik biasanya mengandalkan
semai (thukulan) yang berada dibawah tegakan pohon induk. Sebagian
masyarakat ada juga yang mengambil bibit di lokasi Kebun Bibit Rakyat milik
KWLM. Penanaman tanaman kayu pada awalnya dilakukan di batas-batas lahan
milik karena mengingat kondisi tanah masih produktif untuk pertanian. Apabila
tanaman pertanian tidak produktif, maka masyarakat menanami lahan dengan
jenis tanaman kayu.
Kegiatan pemeliharaan belum dilakukan secara optimal. Secara umum
pemeliharaan hanya meliputi pemupukan dan pemangkasan cabang. Masyarakat
menggunakan kotoran kambing ternak untuk kegiatan pemupukan. Pemangkasan
cabang tanaman kayu keras dilakukan pada masa umur tanam 1 hingga 2 tahun.
Menurut masyarakat proses pemangkasan cabang bertujuan agar bagian batang
tanaman kayu dapat tumbuh baik, besar dan lurus.
Masyarakat memelihara hewan ternak terutama kambing untuk mendukung
kegiatan pertanian di lahan hutan. Hasil kotoran kambing dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan pupuk organik untuk menyuburkan tanaman pangan
dan kayu. Disamping itu, masyarakat juga menanam tanaman pakan seperti
kaliandra, wilada, kemlandingan, dan rumput gajah di sekitar lahan pekarangan
mereka.
Pola integrasi pengelolaan lahan pertanian, peternakan, dan kehutanan sudah
menjadi tradisi masyarakat Desa Pagerharjo. Petani memperoleh manfaat dari
lahan hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pakan ternak, kayu bakar, serta
umbi-umbian. Selain itu, pada lahan hutan terdapat sumber mata air. Sumber mata
air “tuk” sangat penting karena sebagian besar masyarakat membutuhkan untuk
air minum, memasak, dan kebutuhan rumah tangga lain.
Pengaturan hasil hutan secara umum masih bersifat individual di dalam
tingkat keluarga. Pemanenan hasil hutan masih berdasarkan sistem tebang butuh.
Masyarakat akan menebang kayu miliknya jika ada sebuah kebutuhan yang
mendesak seperti biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan biaya hajatan.
Peranan Kelembagaan Koperasi Wana Lestari Menoreh

Struktur Kelembagaan
Pendirian KWLM dilatarbelakangi oleh program Community Logging yang
dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Telapak. Pelaksanaan program

21
tersebut dilakukan bersama dengan lembaga lokal setempat, yaitu Yayasan Bina
Insan Mandiri (Yabima) dan lembaga Credit Union (CU) Kharisma Taliasih.
Sosialisasi dilaksanakan di 11 desa di Kecamatan Kalibawang dan Samigaluh.
Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan masyarakat dan pemerintah desa setempat.
Karena mendapatkan tanggapan baik dari masyarakat, maka diadakan pelatihan
fasilitator selama seminggu di Desa Boro, Kecamatan Kalibawang.
Pada tanggal 12-19 Juni 2008, pertemuan diskusi diadakan antar para kader
dusun untuk pembentukan sebuah kelembagaan kelestarian hutan bernama “Wana
Lestari Menoreh”. Pada tanggal 3-12 Juli 2008, pertemuan lanjutan diadakan
untuk penyusunan draft Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) koperasi
serta dibentuk pengurus dan perwakilan kader dari 11 desa. Pembentukan
AD/ART dilakukan secara swadaya oleh para kader. Pada 2 Agustus 2008,
KWLM terbentuk dengan badan pendiri terdiri atas 20 orang. Legalitas badan
hukum koperasi diperoleh melalui persetujuan keputusan Bupati Kulon Progo
nomor: 29/BHXV.3/2009 tertanggal 3 April 2009.
Wilayah kelola KWLM tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan
Samigaluh, Kalibawang, dan Girimulyo. Administrasi pengelolaan hutan rakyat
KWLM difokuskan pada unit-unit pengelolaan yang secara administrasi terdapat
pada setiap desa yang berada di ketiga kecamatan tersebut. Unit-unit yang
dimaksud disebut Unit Pengelolaan Hutan Rakyat (UPHR).
Koperasi Wana Lestari Menoreh dan lembaga donor Humanist Institute for
Development Cooperation (Hivos) bermitra untuk meningkatkan kapasitas
pengurus dan anggota serta kesiapan KWLM menuju sertifikasi pengelolaan hutan
lestari. Kegiatan pengembangan kapasitas sumber daya manusia dilakukan bagi
para pengurus dan anggota. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan adalah sebagai
berikut: (1) Pelatihan inventarisasi hutan dengan peserta sebanyak 100 orang, (2)
Pelatihan pemetaan partisipatif di 4 unit manajemen, (3) Pelatihan manajemen
keuangan diikuti oleh 30 orang, (4) Pelatihan pembuatan persemaian bibit dan
diskusi dengan perwakilan pengurus Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, untuk proses persiapan sertifikasi.
Visi KWLM adalah membangun Kabupaten Kulon Progo secara bersama
untuk mewujudkan lingkungan alam yang lestari dan berkelanjutan serta
meningkatkan pendapatan masyarakat secara adil. Misi organisasi adalah
menciptakan lapangan pekerjaan dengan memberdayakan masyarakat untuk
meningkatkan pendapatan dengan memperhatikan tiga fungsi aspek kelestarian;
(1) Fungsi produksi, meliputi pengelolaan sumberdaya alam, hasil hutan rakyat,
dan usaha produktif, (2) Fungsi ekologi, meliputi pelestarian ekosistem, hewan
langka, situs keramat, dan mata air, (3) Fungsi sosial, meliputi jaminan kepastian
hak kepemilikan tanah, kesempatan hak dan kewajiban perkembangan ekonomi
masyarakat, dan kesetaraan gender masyarakat.

Keanggotaan
Mekanisme keanggotaan yang dijalankan oleh KWLM bersifat sukarela
terhadap calon petani anggotanya. Metode sosialisasi kepada calon anggota petani
difasilitasi oleh seorang koordinator Unit Pengelolaan Hutan Rakyat (UPHR)
KWLM. Mekanisme bagi petani untuk bergabung menjadi anggota KWLM
diantaranya adalah; (1) Mengajukan permohonan ke setiap koordinator UPHR

22
KWLM, (2) Menandatangani pernyataan kesanggupan anggota KWLM dalam
kegiatan pengelolaan lahan hutan milik secara lestari, (3) Menyerahkan bukti
kepemilikan lahan berupa : fotokopi sertifikat tanah seperti, Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT), Letter C, bila bukan atas namanya dengan Surat
Keterangan Desa/Dukuh (SKD), (5) Menginventarisasi potensi kayu didampingi
oleh petugas koperasi, (6) Membayar simpanan pokok sebesar Rp 50 000,
simpanan wajib Rp 5000 dan administrasi Rp 5000.
Hak keanggotan yang akan diperoleh petani diantaranya adalah; (1)
Mendapatkan harga kayu dengan pengukuran volume secara terbuka, (2)
Mendapatkan informasi dan pendidikan perkoperasian, (3) Mendapatkan
pelayanan penjaminan kayu untuk meminjam dana di CU Karisma Taliasih bagi
petani yang juga bergabung sebagai anggota, (4) Memiliki usaha KWLM dan
menjadi mitra langsung, (5) Mendapatkan bibit pohon secara gratis, yaitu setiap
penebangan 1 pohon oleh petani anggota, maka mendapatkan bibit 10 pohon dari
KWLM.
Kewajiban petani anggota terhadap KWLM diantaranya adalah; (1)
Mengelola lahan milik secara lestari sesuai kesanggupan anggota, (2) Membayar
simpanan pokok pada saat mendaftar dan simpanan wajib pada setiap bulannya,
(3) Menghadiri pertemuan, Rapat Akhir Tahunan (RAT) dan undangan kegiatan
lainnya, (4) Memberi prioritas kepada koperasi untuk membeli kayu dari potensi
lahan, (5) Memberikan informasi yang benar kepada manajemen dan pihak lain
seijin manajemen.

Hasil dan Pembahasan
Modal Sosial
Kepercayaan
Kepercayaan dapat dilihat dari sifat yang bercirikan adanya kemampuan,
keterbukaan, reliabilitas dan keadilan. Kepercayaan responden menunjukkan
tingkat skor rata-rata sebesar 8.37, sehingga termasuk dalam kategori tinggi
(Tabel 3). Kepercayaan ini berdasarkan unsur kemampuan koperasi sebagai
lembaga organisasi dalam pengelolaan dan pemasaran produk dari lahan anggota.
Pelaksanaan efektivitas kerja dilakukan oleh pengurus koperasi yang
bertanggung jawab terhadap kinerja koperasi. Seorang ketua dan pengurus
koperasi memiliki peran dalam membangun kepercayaan anggotanya. Ketua dan
jajaran pengurus koperasi memiliki tanggung jawab, di antaranya adalah; (1)
Memimpin rapat dan merencanakan pelaksanaan program kerja rencana strategis
koperasi selama 3 tahun masa kepengurusan, (2) Menyusun pola kebijakan dan
program pengesahan dalam Rapat Akhir Tahun (RAT), (3) Memfasilitasi
pelayanan hasil produk kayu dan pertanian petani anggota, (4) Melakukan
hubungan kerja sama, koordinasi, dan komunikasi pada pihak stakeholders
koperasi, (5) Melakukan evaluasi program kerja koperasi setiap semester
berjalan.

23
Tabel 3 Skor tingkat kepercayaan responden
Ukuran
Kepercayaan
1 Kepercayaan
responden terhadap
KWLM (Q1)

No

Sub Total
2 Kepercayaan
responden menjaga
kelestarian kondisi
hutan (Q2)
Sub Total
3 Kepercayaan
responden terhadap
lembaga keuangan
(Q3)
Sub Total

Tingkat
1 (Tidak Percaya)
2 (Kurang Percaya)
3 (Percaya)
1 (Tidak Percaya)
2 (Kurang Percaya)
3 (Percaya)
1 (Tidak Percaya)
2 (Kurang Percaya)
3 (Percaya)

Jumlah
responden
2
4
24
30
0
7

Persentase

Skor

6.67
13.33
80
100
0
23.33

2
8
72
82
0
14

23
30
1
2

76.67
100
3.33
6.67

69
83
1
4

27
30

90
100

81
86
251

Total
Keterangan :
Tingkat Kepercayaan : Rendah = ≤ 5; Sedang = 6 ≤ x ≤ 7; Tinggi = >7
Nilai maksimum = 9, Nilai Minimum = 3, Jumlah Kelas = 3

Kemampuan KWLM untuk bekerja sama dengan calon petani anggota
ditunjukkan oleh adanya kontrak kerja dalam pengelolaan hutan milik. Kontrak
kerjasama antara koperasi dan anggotanya dilakukan secara tertulis. Isi kontrak
kerjasama meliputi kegiatan inventarisasi luasan lahan, jumlah tegakan, volume
kayu, harga, sistem pembayaran, dan sanksi. Adanya kesepakatan secara lisan
yang kemudian diikuti dengan kontrak tertulis tanpa menggunakan bukti tanda
tangan di atas materai, memunculkan kepercayaan dari calon anggota. Hal ini
yang menjadikan salah satu unsur nilai kepercayaan karena niat yang ikhlas dan
tulus untuk mengurangi biaya transaksi dalam proses pertukaran kontrakkerja
sama.
Kemampuan KWLM, Yabima dan Telapak bekerjasama untuk mendirikan
industri pengolahan kayu (sawmill), PT.Poros Nusantara Utama Yogyakarta,
dirasakan baik oleh petani sebagai akses pasar penjualan kayu non-sertifikasi
milik mereka. Keberadaan sawmill memberikan keuntungan untuk mendapatkan
nilai ekonomi tambahan dari aspek harga dan pasar atas penjualan kayu anggota.
Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial bukanlah sebagai alternatif untuk
menyediakan sumberdaya finansial yang lebih besar bagi masyarakat petani,
tetapi meningkatkan kemampuan sumberdaya yang ada sehingga lebih efektif dan
dapat dilakukan secara bersama.
Kepercayaan responden dalam menjaga keberadaan fungsi hutan sangat
mempengaruhi terjaganya kondisi lingkungan lahan dari dampak bahaya bencana
erosi dan tanah longsor. Hal ini ditunjukkan oleh kesadaran petani untuk
melakukan kegiatan penghijauan di lahan milik. Kegiatan ini membuahkan hasil
bagi salah satu Kelompok Tani Hutan Manunggal, Dusun Separang. Kelompok

Rata2

2.73

2.77

2.87
8.37

24
Tani Hutan Manunggal berhasil mendapatkan penghargaan penghijauan lahan
kritis di tingkat Kabupaten Kulon Progo hingga Propinsi D.I Yogyakarta pada
tahun 2012. Hal ini menunjukkan kontribusi kepercayaan responden berasal dari
adanya unsur niat keyakinan dalam menciptakan kedamaian dan mengurangi
kekacauan sosial di lingkungan. Disamping itu, kegiatan ini dapat menciptakan
sebuah kondisi keeratan dalam hubungan kerja sama antar sesama kelompok tani.
Anggota dan pengurus KWLM memiliki kebijakan untuk mengurangi
dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan pemanenan hasil hutan. Kebijakan
yang dilakukan yaitu; (1) Melakukan tebang pilih berdasarkan batasan minimal
diameter pohon layak tebang, yaitu untuk jenis pohon jati, mahoni, dan
sonokeling minimal diameter sebesar 30 cm, sedangkan untuk jenis pohon sengon
minimal diameter 20 cm, (2) Melakukan Jatah Tebang Tahunan (JTT), (3)
Mengurangi dampak tebang butuh dengan jaminan tegakan pohon anggota,
apabila anggota memerlukan biaya untuk keperluan keluarga.
Kelompok Tani Ayem Dusun Sinogo dan KWLM melakukan kerja sama
dalam pembuatan kebun pembibitan. Pendirian kebun pembibitan ini bertujuan
sebagai persediaan kebutuhan bibit pohon bagi masyarakat. Responden menilai
pembangunan kebun ini berhasil karena bantuan dari pemerintah atas program
Kebun Bibit Rakyat (KBR) melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.23/MenhutII/2011.
Semua pihak masyarakat desa ikut berpartisipasi secara sukarela dalam
pembuatan kebun pembibitan. Pihak kelurahan/desa pun ikut mendukung dengan
memberikan izin penggunaan lahan kas desa seluas 3000 m 2 untuk kebun
pembibitan ini. Pihak koperasi memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan
menyediakan bibit tanaman.
Model kredit mikro telah menjadi salah satu strategi dalam pengelolaan
sumberdaya alam di beberapa negara berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh
adanya lembaga koperasi kredit atau Credit Union (CU) di masyarakat pedesaan.
Credit Union merupakan lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan
pinjam yang dimiliki dan dikelola untuk kesejahteraan anggotanya. Koperasi ini
memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk memiliki tabungan dan
memberikan pinjaman modal. Pinjaman modal ini berguna untuk membiayai
usaha pertanian, membangun rumah, dan membiayai uang pendidikan dan
kesehatan keluarga anggota.
Credit Union Karisma Taliasih (Cukata) merupakan lembaga keuangan
mikro yang bekerjasama dengan KWLM dalam melakukan kegiatan simpan
pinjam bagi petani anggota. Kerjasama ini terbentuk karena adanya tekanan
terhadap perubahan fungsi lahan dalam pengelolaan hutan yang dilakukan oleh
petani. Hal ini ditunjukkan oleh adanya sistem tebang butuh. Pada umumnya
petani melakukan penebangan pohon milik ketika terdapat kebutuhan mendesak,
meskipun pohon yang ditebang belum mencapai umur layak tebang. Keberadaan
Cukata dan KWLM tidak hanya memberikan pinjaman kepada petani, tetapi juga
bertujuan mengurangi dampak penebangan kayu milik petani yang belum
mencapai umur layak tebang.
Kepercayaan responden terhadap lembaga keuangan CU adalah berdasarkan
mekanisme pencairan pinjaman yang mudah dengan bunga pinjaman 1.2% per
bulan. Syarat bagi petani untuk mendapatkan pinjaman, yakni petani wajib

25
menabung minimal selama jangka waktu 3 bulan. Jumlah maksimal nominal uang
pinjaman sebesar 3 kali lipat dari nilai saldo tabungan.
Pihak pengurus Cukata memfasilitasi pertemuan dan pelatihan perencanaan
keuangan kepada anggota, sehingga anggota mendapatkan kemudahan informasi
dalam menabung dan meminjam dana. Kerja sama ini bermanfaat untuk
meningkatkan intensitas pertemuan antar sesama anggota maupun pengurus,
sehingga meningkatkan rasa kepercayaan antar petani terhadap Cukata dan
KWLM.

Jaringan Sosial
Jaringan sosial memfokuskan pada aspek ikatan hubungan antara orang dan
kelompok organisasi. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur komunikasi dan
interaksi yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan memperkuat kerja sama.
Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena rasa saling memberitahukan,
menginformasikan, mengingatkan, dan membantu dalam melaksanakan ataupun
mengatasi sesuatu (Lawang 2005).
Tabel 4 Skor Tingkat Jaringan Sosial
Ukuran
No Jaringan Sosial
1 Bentuk
Hubungan (Q1)
Sub Total
2 Keluasan
Jaringan (Q2)

Sub Total
3 Keterbukaan
Jaringan (Q3)
Sub Total
Total

Tingkat
1 (Kekerabatan)
2 (Pertetanggaan)
3 (Keduanya)
1 (Tidak aktif)
2 (Cukup aktif,
berpartisipasi)
3 (Aktif, sering
berpartisipasi)
1 (Tidak terbuka)
2 (Kurang terbuka)
3 (Terbuka)

Jumlah
responden
0
2
28
30
0

Persentase
0
6.67
93.33
100
0

Skor
0
4
84
88
0

15

50

30

15
30
0
0
30
30

50
100
0
0
100
100

45
75
0
0
90
90
253

Keterangan :
Tingkat
Jaringan Sosial : Rendah = ≤ 5; Sedang = 6 ≤ x ≤ 7; Tinggi = >7
\
Nilai maksimum = 9, Nilai Minimum = 3, Jumlah Kelas = 3

Kemampuan petani untuk menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang
sinergis memiliki pengaruh besar dalam menentukan kuat atau tidaknya modal
sosial yang terbentuk (Hasbullah 2006). Kemampuan petani responden untuk
berpartisipasi membangun sejumlah asosiasi serta jaringan ditunjukkan melalui
skor rata-rata jaringan sosial sebesar 8.43 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan tingkat
jaringan sosial dengan kategori tinggi.

Rata2

2.93

2.50

3.00
8.43

26
Bentuk hubungan sosial antara responden dan warga lain sebesar 93.33%
dilandasi oleh hubungan kekerabatan dan pertetanggaan. Adanya hubungan
berupa ikatan darah (keturunan) pada sebagian warga menimbulkan sifat saling
mengenal dengan baik satu sama lain, sehingga menjadi faktor pendukung tingkat
kerja sama yang tinggi di antara warga. Bentuk jaringan sosial ini
mengindikasikan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih dekat
dan bersifat personal, sehingga dapat mengeksplorasi upaya-upaya kolektif bagi
petani untuk mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam pengelolaan hutan
rakyat.
Luas jaringan sosial dicirikan oleh kemampuan petani untuk aktif
berpartisipasi dalam menjalin hubungan dengan lembaga ataupun individu lain di
luar keanggotaan koperasi. Selain bergabung dengan KWLM, responden juga
berpartisipasi di beberapa lembaga desa seperti kelurahan desa, kelompok
pengajian dusun, kelompok tani hutan rakyat, seni budaya, dan karang taruna.
Keinginan untuk mendapatkan pengetahuan baru dan jaringan relasi menjadi
alasan yang mendasari responden untuk aktif berpartisipasi.
Keterbukaan jaringan ditunjukkan oleh kemampuan petani untuk menerima
kehadiran pihak luar. Responden menyatakan terbuka terhadap kehadiran pihak
luar asalkan tidak merusak kondisi keamanan serta kenyamanan lingkungan
masyarakat. Kehadiran pihak luar biasanya berasal dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi, Kuliah Kerja Nyata
(KKN) maupun penelitian oleh mahasiswa dari perguruan tinggi. Kondisi ini tentu
saja dapat menguntungkan bagi petani dalam memperoleh informasi pengetahuan
baru tentang pengelolaan dan pemanfaatan produk hasil hutan dari pihak
stakeholders di luar lingkungannya.

Norma Sosial
Norma sosial adalah sekumpulan aturan yang diharapkan, dipatuhi dan
diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah
2006). Norma sosial dapat berupa aturan-aturan tertulis (formal) maupun aturanaturan yang tidak tertulis (informal). Norma formal bersumber dari lembaga
masyarakat yang resmi dan umumnya tertulis, sedangkan norma informal
biasanya tidak tertulis, umumnya berisi aturan-aturan dalam masyarakat seperti
pantangan, aturan keluarga dan adat-istiadat setempat.
Tabel 5 menunjukkan skor rata-rata norma sosial adalah sebesar 8.10,
sehingga termasuk kategori tinggi. Tingginya skor norma sosial ini ditunjukkan
oleh adanya hubungan kepercayaan dan kerja sama antar masyarakat untuk
mewujudkan pengelolaan lahan hutan yang lestari dan lembaga KWLM sebagai
akses pasar bagi produk kayu petani. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh
(Djohan 2007), bahwa kerja sama merupakan salah satu penopang modal sosial.
Kerja sama akan tercipta jika antar individu petani memiliki tujuan, aspirasi, dan
kepentingan yang sama.
Norma tertulis ditunjukkan dengan adanya kontrak aturan kesepakatan
antara petani anggota dan koperasi. Kesepakatan ini tertuang dalam surat
pernyataan kesanggupan keanggotaan yang dinyatakan oleh calon anggota kepada
pihak pengurus KWLM. Melalui aturan ini, responden menyatakan kesediaannya

27
untuk mematuhi dan mengikuti prinsip dan kriteria pengelolaan potensi hutan
milik secara lestari yang ditentukan oleh KWLM.
Tabel 5 Skor Tingkat Norma Sosial
Ukuran Norma
No
Sosial
1 Norma Tertulis
(Q1)

Sub Total
2 Norma Tidak
Tertulis (Q2)

Sub Total
3 Norma Agama
(Q3)

Sub Total
Total

Tingkat
1 (Tidak ada)
2 (Ada, kurang
diterapkan
3 (Ada, Diterapkan)
1 (Tidak ada)
2 (Ada, kurang
diterapkan)
3 (Ada, diterapkan)
1 (Tidak ada)
2 (Ada, kurang
diterapkan)
3 (Ada, diterapkan)

Jumlah
responden
0
22

Persentase
0
73.33

Skor
0
44

8

26.67

24

30
0
3

100
0
10

68
0
6

27

90

81

30
0
2

100
0
6.67

87
0
4

28

93.33

84

30

100

88
243

Rata2

2.27

2.90

2.93
8.10

Keterangan :
Tingkat Norma Sosial : Rendah = ≤ 5; Sedang = 6 ≤ x ≤ 7; Tinggi = >7
Nilai maksimum = 9, Nilai Minimum = 3, Jumlah Kelas = 3

Kontrak aturan tertulis ditunjukkan melalui buku pedoman keanggotaan
yang dimiliki oleh setiap anggota. Kontrak aturan tertulis ini berisi tentang aturan
kesepakatan pengelolaan lahan hutan antara anggota dan pengurus KWLM.
Responden menilai penerapan aturan pedoman masih belum dapat terlaksana
dengan baik, sehingga berdampak terhadap kurangnya pengetahuan anggota
dalam pengembangan kegiatan pengelolaan lahan mereka (73.33%). Kegiatan
inventarisasi lahan anggota yang dilakukan oleh pengurus melalui koordinator
unit terkadang masih terjadi permasalahan. Masalah yang terjadi adalah
keterlambatan pendataan inventarisasi potensi lahan anggota. Keterlambatan
pendataan ini disebabkan oleh kurangnya tenaga lapang dari pengurus KWLM.
Permasalahan ini menandakan bahwa KWLM masih belum dapat menjalankan
aturan kerja sama dengan anggota dalam penerapan inventarisasi potensi lahan
anggota.
Aturan tidak tertulis (informal) yang ditunjukkan oleh responden memiliki
tingkat skor persentase sebesar 90% (Tabel 5). Persentase yang tinggi ini karena
aturan tersebut merupakan kesepakatan lokal yang sudah ada di dalam keseharian
masyarakat. Kesepakatan aturan ini mendukung kegiatan yang diperlukan untuk
tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi, pengelolaan akses
sumber daya, koordinasi. Aturan tidak tertulis yang berlaku pada komunitas petani
adalah berupa cara (usage), kebiasaan (folkways), dan tata kelakuan (mores) yang

28
merupakan kesepakatan lokal dan sudah terinternalisasi di dalam masyarakat
(Soekanto 1990).
Kesepakatan cara (usage) ditunjukkan oleh adanya kesepakatan petani
dalam menjaga keberadaan sumber mata air sebagai kebutuhan pengairan
pertanian (sawah) dan air bersih. Masyarakat menjaga sumber mata air dengan
cara menanam jenis tanaman kayu khusus seperti pohon gayam (Inocarpus
fagifer). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan lahan yang petani
lakukan adalah sudah menjadi cara hidup atau budaya dalam kehidupan mereka
sebagai petani.
Kategori kebiasaan (folkways) ditunjukkan oleh keterlibatan tetangga/warga
sebagai tenaga kerja dalam pengelolaan lahan. Hal ini dijumpai dalam kegiatan
pengelolaan lahan, seperti kegiatan inventarisasi, pemantauan, dan pemanenan
tegakan kayu milik. Kebiasaan ini dilandasi oleh nilai-nilai berupa
kesetiakawanan, rasa empati, rasa untuk berbagi, serta untuk mempererat
hubungan kekeluargaan dan persaudaraan.
Bentuk kesepakatan tata kelakuan (mores) adalah partisipasi petani anggota
dalam kegiatan pertemuan secara insidental dengan pihak stakeholders koperasi.
Sebagai contoh, petani anggota memberikan informasi lahan kepemilikan dan
keanggotaannya di KWLM secara sukarela dan terbuka kepada pihak stakeholders
koperasi.
Responden menilai bahwa dalam menjalin kehidupan harus berlandaskan
oleh rasa ikhlas dan kasih terhadap lingkungan antar sesama manusia maupun
lingkungan alam. Hal ini berkaitan dengan ajaran agama tentang arti kekhalifahan
yang dimiliki manusia di muka bumi.
Menurut responden yang menganut kepercayaan Islam, salah satu bentuk
penerapan norma agama ditunjukkan oleh adanya kegiatan pengajian dusun.
Kegiatan ini rutin diadakan oleh masyarakat pada hari kamis malam. Kepala
dukuh berperan dalam memimpin acara do’a keselamatan bagi lingkungannya.
Menurut responden, adanya kegiatan pengajian dapat mempererat dan
meningkatkan hubungan komunikasi antar masyarakat dusun setempat.
Salah satu wujud nyata dari ajaran norma agama ditunjukkan oleh KT Subur
Nggabur yang bekerjasama dengan Lembaga Gereja Santa Lucia dan lembaga
keuangan mikro CUKATA. Lembaga tersebut mendirikan komunitas kebun
organik di area lahan Sekolah Dasar (SD) Pangudi Luhur. Tujuan dari pendirian
kebun ini adalah sebagai pemanfaatan lahan agar dapat berdaya guna bagi
kebutuhan pangan sayur bagi masyarakat desa. Komunitas ini juga mengajak
masyarakat untuk mengelola lahan mereka secara organik dan beralih dari
pengelolaan lahan secara kimiawi. Selain itu, adanya kebun organik desa dapat
bermanfaat untuk pengenalan dan media praktek bagi a