Kajian Virus Avian Influenza Pada Anak Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

KAJIAN VIRUS AVIAN INFLUENZA PADA
ANAK BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

NUR ISTI KHOMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Virus Avian
Influenza pada Anak Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Nur Isti Khomah
NIM B251130254

RINGKASAN
NUR ISTI KHOMAH. Kajian Virus Avian Influenza pada Anak Burung Puyuh
(Coturnix coturnix japonica). Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan
RETNO D. SOEJOEDONO
Avian Influenza (AI) merupakan masalah penyakit yang paling utama, tidak
hanya untuk unggas tapi juga untuk spesies burung lain, mamalia dan manusia.
Pemerintah Indonesia bertanggungjawab melakukan pencegahan terhadap
penyebaran penyakit AI dengan melakukan pengawasan lalulintas unggas dan
hewan pembawa AI lainnya dari satu daerah ke daerah lain. Burung puyuh Jepang
(Japanese quail/Coturnix coturnix Japonica) berpotensi menjadi inang perantara
dan reservoir dari virus AI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi
kasus AI pada anak burung puyuh umur sehari dan anak burung puyuh yang
ditransportasikan melalui bandar udara Adi Soetjipto.
Tiga puluh sampel usap trakea dari anak burung puyuh umur sehari dan
anak burung puyuh berasal dari Klaten, Solo, Boyolali dan Yogyakarta yang
dikoleksi dari Laboratorium Karantina Hewan di Yogyakarta. Jumlah besaran

sampel tersebut dihitung berdasarkan rumus mendeteksi penyakit. Sampel-sampel
tersebut dikumpulkan menjadi enam sesuai dengan asal daerah sampel. Metode
pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah real time reverse
transcriptase polymerase chain reaction (rRT-PCR). Primer yang digunakan
adalah Primer H5-Duplex Primer Probe Mix yang terdiri dari primer forward H5
IVA-D148H5, primer reverse H5 IVA-D149H5, probe H5-IVA-H5a dan primer
forward H5-IVA-D204f, primer forward H5-IVA-D205r dan probe
H5-IVA-D215P.
Hasil dari pengujian rRT-PCR sampel usap trakea menunjukkan bahwa
anak burung puyuh umur sehari dan anak burung puyuh tidak terdeteksi virus AI.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengujian rRT-PCR dapat disarankan untuk
mendeteksi agen virus AI pada burung puyuh yang akan dilalulintaskan antar
area.
Kata kunci : Avian Influenza, Anak burung puyuh, rRT-PCR.

SUMMARY
NUR ISTI KHOMAH. Study of Avian Influenza Virus in Quail (Coturnix
coturnix japonica). Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and RETNO D.
SOEJOEDONO
Avian Influenza is a major disease problem, not only for poultry but also

for other avian species, mammals and human beings. Indonesian Government has
been taking reasonable precautions against the spread of the disease by monitoring
the traffic of poultry and other avian influenza (AI) hosts from one region to
another. Japanese quail (Coturnix cortunix japonica) is a potential intermediate
host and reservoir of avian influenza virus. The aim of this study was to detect
cases of AI in one day old quails (DOQ) and quails transported via Adi Soetjipto
Airport.
Thirty tracheal swabs of DOQ and quail originating from Klaten, Solo,
Boyolali, and Yogyakarta were taken from animal quarantine laboratory in
Yogyakarta shortly before the birds being sent to other areas. The sample size was
calculated based on formula of disease detection. Samples were pooled into six
based on the region of origin. The examination of samples was conduted using
real time reverse transcriptase polymerase chain reaction (rRT-PCR). This test
uses Primer H5-Duplex Primer Probe Mix consisting of primer forward
H5 IVA-D148H5, primer reverse H5 IVA-D149H5, probe H5-IVA-H5a and
primer forward H5-IVA-D204f, primer forward H5-IVA-D205r and probe
H5-IVA-D215P.
The results of rRT-PCR test from tracheal swab samples showed that
DOQs and quails were not detected towards avian influenza virus. It was
concluded that rRT-PCR test should be conducted to determine whether there is

an agent of avian influenza virus on existing traffic between quails.
Keyword: Avian Influenza, Quail, rRT-PCR.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN VIRUS AVIAN INFLUENZA PADA
ANAK BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

NUR ISTI KHOMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, MS.

Judul Tesis : Kajian Virus Avian Influenza Pada Anak Burung Puyuh (Coturnix
coturnix japonica)
Nama
: Nur Isti Khomah
NIM
: B251130254

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi
Ketua

Prof Dr Drh Retno D Soejoedono, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:
(6 Februari 2015)


Tanggal Lulus:
(

)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah
avian influenza, dengan judul Kajian Virus Avian Influenza pada Anak Burung
Puyuh (Coturnix coturnix japonica).
Penghargaan tertinggi dan ungkapan terima kasih penulis disampaikan
kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi dan Prof Dr Drh Retno D
Soejoedono, MS selaku pembimbing yang banyak meluangkan waktu untuk
membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian
hingga selesainya tesis ini serta Bapak Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi
selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak
memberi saran dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini juga
Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS selaku dosen penguji.

Ucapan terima kasih kepada Badan Karantina Pertanian, Kementerian
Pertanian selaku pemberi dana beasiswa, Balai Karantina Pertanian Kelas II
Yogyakarta atas dukungannya kepada penuli beserta Balai Besar Veteriner Wates
Yogyakarta yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga
saya persembahkan kepada Ibunda Choryatun atas dukungan moral dan material
dalam pelaksanaan penelitian ini dan teman – teman kelas KMV 13 (Anin,
Imelda, Winda, Saimah, Novi, Yasmin, Intarti, Ambar, Doni, Adit, Kamil,
Syahdu, Leo, Susanto, Rifki, Sumitro, Heru, Hanif, Zulfikhar) atas dukungan dan
kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Nur Isti Khomah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

vi
vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Burung Puyuh

4

Virus Avian Influenza


4

Karakteristik Virus Avian Influenza

4

Penularan dan Transmisi Virus Avian Influenza

5

Patogenesitas Virus Avian Influenza

6

Diagnosa Laboratorium Virus Avian Influenza

7

Kejadian Avian Influenza pada Puyuh


7

Penanggulangan Avian Influenza

8

3 METODE
Waktu dan Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pengambilan Sampel
Metode rRT-PCR (Real Time Reverse TranscriptionPolymerase Chain Reaction)
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

9
9
9
9
10
13
14

Pengujian rRT-PCR

14

Pemeriksaan Fisik Burung Puyuh

16

5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

22
23
26

DAFTAR TABEL
1 Data sampel anak burung puyuh yang diambil di Laboratorium
Karantina Hewan BKP Kelas II Yogyakarta
2 Preparasi untuk membuat viral lysis/binding solution
3 Preparasi wash solution mix
4 Preparasi untuk membuat bead resuspension mix
5 Komponen-komponen reaksi rRT-PCR
6 Hasil rRT-PCR

10
11
11
11
12
14

DAFTAR GAMBAR
1 Anatomi virus Influenza A
2 Grafik hasil pengujian rRT-PCR
3 DOQ (day old quail) yang sehat
4
emasan untuk pengiriman anak burung puyuh melalui BKP Kelas
II Yogyakarta

5
14
17
K
18

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Avian influenza (AI) adalah penyakit viral pada unggas peliharaan,
termasuk ayam dan unggas liar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A.
Penyakit ini dikenal dengan nama flu burung, fowl pest, fowl plaque atau avian flu
(“flu avian”) (Fouchier et al. 2005) dan dapat menimbulkan penyakit dengan
derajat keparahan bervariasi, mulai dari infeksi yang bersifat asimtomatik sampai
yang fatal dan bersifat multisistemik (Swayne 2005). Hospes alami dan reservoir
virus AI adalah unggas air liar. Jenis unggas tersebut biasanya menunjukkan
infeksi pencernaan asimptomatik, tetapi dapat membebaskan virus AI dalam
jumlah yang besar melalui feses. Virus AI yang ganas tidak ditemukan dalam
unggas liar, tetapi sumber infeksi virus tersebut dapat ditemukan pada burung
peliharaan (Tabbu et al. 2006).
Kejadian AI telah menjadi perhatian utama dunia, terutama sejak
merebaknya kasus AI H5N1 yang telah menewaskan enam orang penduduk
Hongkong dari 18 yang terinfeksi pada tahun 1997 (Harimoto & Kawaoka 2001).
Kejadian tersebut bersifat epizootik dan meluas hingga ke seluruh Asia Tenggara
dan telah terjadi penularan antarspesies hingga mencapai status traversed
interclass barriers, yaitu kemampuan transmisi penularan virus AI H5N1
(manusia, babi dan kucing) (Perkins & Swayne 2002).
Kejadian AI H5N1 (lebih dikenal dengan sebutan flu burung), di Indonesia
telah banyak menimbulkan kerugian yang meluas baik dari sektor ekonomi,
kesehatan masyarakat, dan ketahanan pangan (Widiasih et al. 2012). Wabah AI di
Indonesia pertama kali terjadi pada bulan Agustus 2003 di Kabupaten Pekalongan
dan Tanggerang. Wabah ini menyerang ayam ras petelur dan pedaging, burung
puyuh, ayam kampung dan itik. Angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas) kasus ini sangat tinggi yaitu mencapai 90%. Penyebaran terjadi
dengan sangat cepat terutama melalui perdagangan dan lalulintas unggas
(Dharmayanti 2006). Kejadian tersebut meluas ke seluruh pulau Jawa, Bali, dan
beberapa daerah di Sumatera serta Kalimantan. Pada tahun 2004 jumlah kematian
unggas terus meningkat dan menyebar ke-16 provinsi yang mencakup 100
kabupaten/kota. Mulai bulan Agustus 2003 hingga November 2005 kematian
unggas cenderung mengalami penurunan meski wilayah yang terjangkit
cenderung meluas. Menteri Pertanian secara resmi pada bulan Januari 2004
mengumumkan bahwa virus AI subtipe H5N1 telah masuk di Indonesia, dan
sampai saat ini virus tersebut dinyatakan endemik di 31 dari Provinsi di Indonesia
(Setyawati 2010).
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk pecegahan,
pengendalian dan pemberantasan penyakit AI, seperti tertuang dalam Keputusan
Menteri Pertanian no. 4971/Kpts/OT.140/12/2013 tentang penetapan zoonosis
prioritas yang menetapkan bahwa AI merupakan salah satu jenis zoonosis yang
memerlukan prioritas untuk dikendalikan dan ditanggulangi. Peraturan pemerintah
yang mengatur pengendalian penyakit AI juga dituangkan dalam Peraturan Dirjen
Peternakan nomor: 46/PD.640/F/08.05. Peraturan tersebut menyatakan bahwa lalu
lintas anak ayam umur satu hari atau day old chiken (DOC), anak itik umur satu

2
hari atau day old duck (DOD), telur dan pakan ternak dari daerah tertular ke
daerah bebas dapat diizinkan dengan persyaratan tertentu. Peraturan ini digunakan
sebagai tolok ukur untuk lalu lintas anak burung puyuh umur sehari atau day old
quail (DOQ) maupun anak burung puyuh umur lebih dari satu hari (Deptan 2005).
Menurut Darminto (2006) peraturan tersebut dibuat dengan pertimbangan
untuk memenuhi kebutuhan konsumen di daerah yang masih bebas AI tetapi tidak
memiliki peternakan komersial karena sentra industri peternakan unggas sebagian
besar terletak di Pulau Jawa yang merupakan daerah tertular. Sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti penyebab wabah penyakit AI cepat sekali menyebar
ke seluruh wilayah Indonesia walaupun pemerintah Indonesia telah
mengupayakan pencegahan dan pengendaliannya. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena timbul berbagai dugaan tentang penyebaran virus AI yang
mengakibatkan masyarakat takut berdekatan dengan unggas dan mengonsumi
produk unggas. Para ahli biodiversiti menyimpulkan bahwa perdagangan global
burung sebagai hewan kesayangan berperan dalam perpindahan virus secara
besar-besaran. Jalur penularan AI antara lain melalui migrasi burung liar,
perdagangan unggas peliharaan dan unggas liar (Mujiatun 2009).
Wibawan (2012) menyatakan bahwa infeksi virus AI saat ini berbentuk
subklinis, yaitu hewan terlihat sehat tetapi sebenarnya sakit. Adanya kasus
penyakit yang tidak terdeteksi dengan tepat akan menyebabkan meluasnya kasus
AI dilapangan. Tinginya tingkat infeksi virus AI juga memungkinkan virus ini
bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi
dan/atau genetic reassortment. Genetic diversity (keanekaragaman genetik) virus
AI pada reservoir hewan liar kemungkinan juga berperan penting dalam proses
keberlangsungan hidup virus AI di alam.
Puyuh merupakan reservoir virus influenza yang potensial dapat
melakukan mutasi yang transmissible menular ke mamalia (Sun et al. 2011).
Burung puyuh mampu bertindak sebagai sumber penularan bagi unggas lain
karena didalam tubuh burung puyuh semua subtipe virus AI asal unggas air dapat
bereplikasi dan berperan dalam penyebaran unggas lain (Wijanarko 2011)
sehingga lalu lintas puyuh harus diawasi. Penelitian mengenai puyuh sangatlah
sedikit. Peraturan mengenai petunjuk teknis lalu lintas terhadap DOQ maupun
puyuh juga belum ada, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian ini.
Perkembangan jaman terakhir, pemeliharaan ternak burung puyuh ini sudah
menyebar keseluruh wilayah Indonesia yang semula terpusat di Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyebaran populasi burung puyuh ini melalui
bandara mengharuskan adanya tindakan karantina untuk mencegah penyebaran
virus.

Perumusan Masalah
Tingginya kebutuhan konsumsi terhadap daging dan telur puyuh pada
suatu daerah yang populasi burung puyuhnya sangat rendah atau bahkan tidak ada
mengakibatkan terjadinya lalu lintas komoditas burung puyuh ini baik yang
berupa DOQ maupun produk burung puyuh yang berupa daging maupun telur
konsumsinya. Sebagai daerah yang mempunyai populasi burung puyuh yang
tinggi maka Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi

3
penyetor komoditas ini ke daerah-daerah yang membutuhkan seperti Pulau
Sulawesi dan Pulau Sumatera.
Anak burung puyuh sebagai salah satu hewan pembawa AI untuk itu perlu
pengawasan yang ketat sebelum dilalulintaskan. Pengambilan sampel dilakukan
sebelum komoditas dilalulintaskan. Penentuan jumlah sampel disesuaikan dengan
jumlah yang akan dilalulintaskan dan diambil sampel usap trakea maupun kloaka
dari anak burung puyuh tersebut.
Pengujian sampel usap trakea (oropharingeal) maupun sampel usap kloaka
yang berada dalam viral transport media dengan metode pengujian reverse
transcriptase polymerase chain reaction (rRT-PCR)

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan agen virus AI pada
anak burung puyuh dan DOQ yang dilalulintaskan melalui BKP Kelas II
Yogyakarta menggunakan metode rRT-PCR.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
persyaratan uji rRT-PCR pada usap kloaka maupun trakea
puyuh dapat digunakan sebagai pemeriksaan standar untuk
terhadap anak burung puyuh yang akan dilalulintaskan
Yogyakarta.

informasi apakah
pada anak burung
tindakan karantina
melalui BKP II

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Burung Puyuh
Puyuh (Coturnix coturnix japonica.) merupakan salah satu sumber
diversifikasi produk daging dan telur. Dengan ukuran tubuh yang kecil, puyuh
memiliki keunikan, yaitu pertumbuhan yang cepat, dewasa kelamin lebih awal,
produksi telur yang relatif tinggi, interval generasi dalam waktu singkat, dan
periode inkubasi relatif cepat (Siregar 2008). Susilorini (2007) menyampaikan,
beberapa tahun terakhir puyuh juga dimanfaatkan sebagai hewan coba dalam
berbagai penelitian karena tahan terhadap stress, tahan pada berbagai penyakit,
dan memiliki daya kesembuhan relatif tinggi.
Anak burung puyuh yang berumur satu hari disebut DOQ. Besarnya
seukuran jari dengan berat 8-10 gram dan berbulu jarum halus. Anak burung
puyuh yang sehat berbulu kuning mengembang, gerakannya lincah, besarnya
seragam dan aktif mencari makan atau minum (Sugiharto 2005).

Virus Avian influenza
Virus avian influenza (AI) adalah virus RNA yang termasuk ke dalam
anggota dari famili Orthomixoviridae dan masuk dalam genus influenza virus tipe
A. Virus ini memiliki tiga genus yaitu virus Influenza A, B dan C. Perbedaan
tersebut berdasarkan perbedaan karakter nukleoprotein (NP) dan matriks antigenik
protein (M) (Harder & Werner 2006).
Berdasarkan analisis filogenetik, virus influenza tipe A dan tipe B
mempunyai hubungan lebih dekat dibandingkan dengan virus tipe C (Suzuki &
Nei 2002). Influenza tipe B dan tipe C dapat menyerang manusia, tetapi bersifat
kurang patogen dan tidak menyebabkan wabah pandemik (Horimoto & Kawaoka
2001). Virus Influenza A memiliki 16 antigen hemaglutinin (H1-H16) dan
sembilan antigen neuraminidase (N1-N9) pada pembungkus luar virus (amplop)
dan jika dikombinasikan akan membentuk 144 subtipe. Virus Influenza
merupakan virus RNA untai tunggal segmen negatif (Fourchier et al. 2005; OIE
2005; WHO 2002).
Karakteristik Virus Avian Influenza
Orthomyxovirus virions berukuran 80-120 nm, bersifat pleomorphic,
sering berbentuk spherical tetapi predominan filamentous pada isolat segar.Virion
terdiri dari envelope dengan peplomer besar mengelilinginya berjumlah delapan
(genus Influenza A dan B), tujuh (genus Influenza C) dan enam (genus
Thogavirus) dengan segmen nucleocapsid berbentuk helically symmetrical yang
berbeda ukuran (Murphy et al. 1999). Gambar anatomi virus influenza A disajikan
pada Gambar 1.

5

Gambar 1 Anatomi Virus Influenza A (Subbarao & Joseph 2007)
Membran glikoprotein HA berfungsi sebagai binding receptor pada
sialyloligosaccharide dan fusi membran glikoprotein pada pintu masuk sel,
sedangkan membran glikoprotein NA berfungsi sebagai enzim penghancur
reseptor pada pelepasan virus. Antibodi melawan HA sangat penting dalam proses
netralisasi virus dan perlindungan terhadap infeksi virus, aktivitas enzim
neuraminidase bertanggung jawab pada pelepasan virus baru dari sel melalui
aktivitasnya pada reseptor asam neuraminik. Antibodi terhadap NA juga sangat
penting dalam perlindungan, terutama dengan mencegah penyebaran virus dari sel
yang terinfeksi (Mujiatun 2009).
Genom dari virus ini berbentuk untai tunggal, bersegmen, masing-masing
segmennya ada dalam nucleocapsid yang terpisah. Segmen virus ada delapan
buah segmen berupa negative-sense single-stranded RNA, yang memungkinkan
untuk terjadinya genetic reassortment pada suatu sel yang mengalami infeksi
campuran oleh lebih dari satu virus dan akan menghasilkan sejumlah strain baru
yang berbeda dari strain asalnya. Amplop glikoprotein dari virus influenza A, HA
dan NA tersebar di permukaan virion membentuk struktur khas “spike-shaped”.
Variasi antigenik pada glikoprotein tersebut dipakai untuk menentukan subtipe
virus influenza A (Setyawati 2010).
Penularan dan Transmisi Virus Avian Influenza
Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa unggas yang sakit oleh H5N1
dapat mengeluarkan jumlah virus dalam fesesnya. Virus H5N1 dapat bertahan
hidup di air sampai empat hari pada suhu 22 oC dan lebih dari 30 hari pada
suhu 0 oC. Virus dapat bertahan lebih lama di dalam feses dan tubuh unggas yang
sakit, tetapi mati pada pemanasan 60 oC selama 30 menit. Virus di dalam feses

6
unggas suhu 4 oC virus dapat bertahan sampai 35 hari, namun pada suhu kamar
(26 oC) hanya selama enam hari ( James 2000; Yuwono 2008).
Penularan virus AI terjadi secara horizontal. Penyebaran virus melalui
feses dilakukan oleh unggas air dan unggas liar yang bermigrasi. Penularan dapat
terjadi melalui unggas yang tertular serta peralatan yang tercemar. Adanya
reservoir unggas liar menyebabkan kemungkinan penyebaran virus menjadi
sangat efektif. Infeksi penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung dan tidak
langsung. Kotak langsung dapat terjadi antara unggas yang terinfeksi dan unggas
sehat yang peka. Penularan melalui materi organik berupa feses dan sekresi
saluran pernafasan (leleran hidung) serta air liur dari unggas yang terinfeksi.
Kontak tidak langsung dapat terjadi karena penularan vektor mekanik dan
biologis, seperti melalui droplet (aerosol) udara yang tercemar oleh material/debu,
makanan/minuman, alat/perlengkapan peternakan. Kandang, pakaian, kendaraan,
peti telur, egg tray, burung, mamalia dan insekta yang mengandung atau tercemar
virus AI (Tabbu 2000; Harder et al. 2006).
Beberapa faktor yang berperan dalam transmisi virus AI antara lain
buruknya biosekuriti pada sistem peternakan, keluar masuknya unggas dan
produknya, perdagangan hewan hidup di pasar. Air di kolam atau genangan air
memungkinkan virus bertahan di luar induk semang, sehingga dapat menjadi
sumber penyebaran virus. Migrasi unggas liar pembawa virus low-pathogenic
Avian Influenza (LPAI) maupun highly pathogenic Avian Influenza (HPAI)
berperan dalam penyebaran virus ini (Goutard et al. 2007).
Virus AI berpotensi untuk menular ke manusia, walaupun secara alami
virus AI tidak dapat menular secara langsung dari unggas ke manusia oleh karena
reseptor virus AI pada unggas berbeda dengan reseptor virus influenza pada
manusia. Reseptor virus AI pada unggas adalah asam sialat (SA) α 2,3 galaktosa,
sedangkan reseptor virus influenza pada manusia adalah SA α 2,6 galaktosa
(Tabbu 2006).
Patogenesitas Virus Avian Influenza
Patogenitas virus AI pada unggas sangat bervariasi dan tidak bisa
diramalkan berdasarkan hospesnya atau serotipe antigenik dari virus tertentu
(Alexander & Brown 2009). Virus AI sebagai patogen intraseluler memiliki
mekanisme untuk menghindari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan
hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk
menghindari sistem imun hospes secara langsung berkorelasi dengan peningkatan
patogenisitas virus. Virus AI ini mempunyai berbagai mekanisme untuk
menghindar dari respon imun bawaan dan respon imun dapatan hospes (Coleman
2007). Kebanyakan AI tidak virulen atau patogenitas rendah mempunyai daerah
pemotongan satu asam amino basa, namun strain patogenitas tinggi mempunyai
daerah pemotongan lebih dari satu asam amino (Munch et al. 2001).
Pada semua spesies unggas, netralisasi antibodi terdeteksi pada tiga
sampai tujuh hari setelah kejadian penyakit, mencapai puncaknya pada minggu
kedua dan persisten di atas 18 bulan (Murphy et al. 1999). Infeksi HPAI H5N1
strain Thailand pada ayam (Gallus gallus ), puyuh (Coturnix coturnix japonica)
dan itik (Anas spp.) menunjukkan adanya konsentrasi virus pada organ paru-paru,
trakea, jantung, hati, limpa, pankreas, rektum, ginjal, otak, otot skeletal,
duodenum dan indung telur dengan metode indirect immunofluorescence assay.

7
Pada ayam dan puyuh, antigen nukleoprotein virus dideteksi dalam jumlah paling
besar pada organ jantung 88% (ayam) dan 89% (puyuh), saluran nafas,
pencernaan dan saluran urinasi. Pada itik virus hanya ditemukan pada organ
respirasi sehingga memberikan dukungan terhadap hipotesis bahwa jalur transmisi
virus HPAI dari spesies ini melalui aerosol dan oral (Mujiatun 2009).
Menurut OIE (2005) VAI dibagi menjadi dua bentuk yaitu highly
pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI).
Virus AI yang sangat virulen disebut HPAI, infeksinya bersifat sistemik, dengan
mortalitas pada flok pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100% (Capua
& Maragon 2007). Terminologi highly pathogenic avian influenza dan fowl
plague merupakan infeksi dari strain virulen influenza A yang diisolasi dari
unggas domestik. Isolat highly pathogenic Avian Influenza diklasifikasikan ke
dalam notifiable Avian Influenza (NAI).
Isolat strain virulen pada saat ini berasal dari subtipe H5 atau H7, namun
sebagian besar H5 dan H7 memiliki virulensi rendah. Penyebab perubahan
virulensi pada H5 dan H7 dapat terjadi akibat mutasi pada induk semang unggas,
sehingga semua subtipe H5 dan H7 diklasifikasikan sebagai NAI virus (OIE
2005). Subtipe H5 dan H7 memiliki kemampuan menginfeksi unggas, namun
tidak semua tipe H5 dan H7 ini menyebabkan kasus HPAI. Subtipe H5 dan H7
yang memiliki intra vena pathogenecity index (IVPI) ≥ 1.2 adalah kelompok virus
HPAI, sedangkan subtipe H5 dan H7 serta subtipe yang lainnya yang memiliki
IVPI < 1.2 adalah kelompok virus LPAI (Wijanarko 2011)
Diagnosa Laboratorium Virus Avian Influenza
Diagnosa laboratorium terhadap virus AI yang paling utama adalah
identifikasi agen penyebab. Sampel berasal dari hewan hidup maupun mati.
Sampel asal unggas mati dapat berupa organ pencernaan, trakea, paru-paru dan
jantung. Sampel dari hewan hidup dapat berupa satu gram feses, usapan trakea
dan usapan kloaka. Sampel dimasukkan ke dalam media transport pH 7.0-7.4,
ditambahkan antibiotik. Sampel tersebut dapat diisolasi virusnya dengan
menyuntikkan pada telur ayam berembrio spesifik pathogen free (TAB-SPF) atau
spesifik antibody negative (SAN) umur 9-11 hari selama 4-7 hari (OIE 2005).
Diagnosis awal pengujian (presumptive diagnosis) AI adalah melalui
pengamatan gejala klinis dan perubahan patologi, rapid test kit (antigen capture
test) dan uji serologis AI, sedangkan sebagai diagnosis akhir (definitive diagnosis)
adalah dengan isolasi AI dan molekuler diagnosis subtipe/patotipe (real time
reverse transcription-polymerase chain reaction) (Widiasih et al. 2012).
Metode RT-PCR dapat digunakan sebagai metode diagnosis cepat untuk
mendeteksi dan menentukan sensitifitas virus AI secara spesifik (Payungporn et
al. 2004; Haryanto et al. 2012).

Kejadian Avian Influnza pada Puyuh
Tingkat kerentanan burung puyuh terhadap virus AI lebih tinggi
dibandingkan dengan ayam. Penelitian oleh Perez et al.(2003) menggunakan virus
H9N2 isolat A/Duck/HK/149/77 dan A/Duck/HK/702/79 yang dipadu dengan
virus A/Quail/HK/A28945/88 atau A/Guinea Fowl/HK/WF10/99 sebagai sumber

8
pengganti HA dan / atau NA ternyata mampu bereplikasi dan menyebar secara
efisien pada burung puyuh hanya melalui perubahan gen HA saja, sedangkan
pada ayam diperlukan perubahan molekuler gen-gen internal yang lebih
kompleks. Pada penelitian menggunakan angsa yang diinfeksi A/Goose/GD/1/96
(H5N1), puyuh dapat tertular melalui kontak dengan feses, sedangkan pada ayam
hanya tertular melalui kontak dengan feses (Webster et al. 2002).
Burung puyuh mempunyai peranan dalam evolusi virus tipe A dengan
menyediakan lingkungan yang memungkinkan virus influenza asal itik dapat
beradaptasi dan menghasilkan varian yang mempunyai kemampuan untuk
menginfeksi spesies unggas lain. Puyuh dianggap sebagai hospes asal virus
H5N1/97 yang menginfeksi manusia. Hal ini didasarkan pada tinggi derajat
kerentanan puyuh terhadap virus A/Goose/Guang Dong/1/96 (H5N1) dan infeksi
ulang yang terus menerus dari virus H6N1 dan H9N2 pada puyuh (Webster et al.
2002). Dalam hal ini burung puyuh mungkin berperan sebagai mixing vessel yang
memfasilitasi peristiwa reasortasi virus H9N2, H5N1 dan H6N1 dan terjadinya
virus pandemik potensial di Asia (Xu et al. 2007).

Penanggulangan Avian Influenza
Tindakan penanggulangan penyakit AI dilakukan sesuai dengan status
penyakit AI yang terdapat di suatu daerah tertentu, teknologi yang diperlukan
untuk penanggulangan disesuaikan dengan tingkat penyakitnya. Jika penyakit AI
belum masuk ke dalam daerah tertentu, tindakan yang dilakukan adalah
pencegahan dan penolakan, namun jika sudah masuk dan mewabah status
penyakit dinyatakan sebagai epidemik maka tindakan penanggulangan dilakukan
adalah pengendalian wabah untuk menghentikan bertambahnya kasus AI dan
mencegah perluasan penyakit (Darminto 2006).

9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Balai Karantina Pertanian Yogyakarta.
Penelitian telah dilaksanakan sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2014.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner
Wates Yogyakarta. Pengambilan sampel usap trakea anak burung puyuh yang
dilakukan di ruang pengambilan sampel laboratorium wilayah kerja Adi Soetjipto
Balai Karantina Pertanian kelas II Yogyakarta.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan sebagai penelitian ini adalah sampel usap trakea
anak burung puyuh yang berumur satu sampai lima hari yang akan dilalulintaskan
melalui bandara Adi Soetjipto Yogyakarta. Etanol 96-100%, isopropanol, H5
Duplex Primer Prob Mix, MagMaxTM-96 AI/ND viral RNA isolation kit (Ambion
cat. No. AM1835), Ag-Path-ID One-step RT-PCR kit (Ambion,Cat. No
AM1005), nucleus free water, PBS Steril.
Alat-alat yang digunakan yaitu media transport virus yang berisi BHI, alat
usap trakea, heating blok, sentrifus, refrigerator, freezer -20, Biosafety Cabinet
Clas II (BSL II), PCR Work Station, Mikropipet dan mikrotips dengan ukuran
0.1-2,5µl; 2-20 µl; 20-200 µl dan 100-1000 µl. Tabung mikrosentrifus 2 ml,
tabung mikrosentrifus 15 ml, optical PCR tube atau optical 96-weel microplate
(ABI PRISMTM 96-well optical), adhesive cover untuk optical tube atau 96-well
microplate, adhesive cover applicator, mesin realtime PCR ABI 7500, mortar dan
pastel steril, gunting dan pinset steril, tabung steril 10 ml.

Metode Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah usap trakea dari anak burung puyuh yang
akan dilalulintaskan melalui Bandara Adi Soetjipto Yogyakarta. Penentuan
jumlah sampel dengan menggunakan rumus mendeteksi penyakit dengan tingkat
kejadian penyakit (prevalensi) AI pada burung puyuh di wilayah Jawa Timur,
Jawa Tengah dan DIY adalah 78,1% (Tabbu et al I 2006). Pengambilan sampel
(sampling) dilakukan secara acak (convenience/sampling acak). Sampel yang
didapat disimpan di media transport virus yang berisi brain heart infusion broth
(BHI).
Menurut Thrusfield (2005), rumus untuk mendeteksi penyakit adalah n =
[1-(1-p)1/d] [N-d/2]+1] dengan keterangan N = jumlah populasi anak burung
puyuh, n = jumlah anak burung puyuh, d = jumlah anak burung puyuh yang sakit
dalam populasi (didapat dari prevalensi x jumlah populasi anak burung puyuh), p
= tingkat konfidensi. Jumlah populasi anak burung puyuh yang dilalulintaskan
melalui bandara Adi Soetjipto pada januari 2013 sampai dengan juli 2014 adalah

10
708.650 ekor dan tingkat kepercayaan 95%. Rincian besaran sampel tersaji pada
Tabel 1.
Tabel 1 Data sampel anak burung puyuh yang diambil di Laboratorium karantina
hewan BKP kelas II Yogyakarta
Asal
Nama
Umur anak burung Tujuan
Jumlah
pemilik puyuh (hari)
sampel
Solo
1
3
Manado
5
Klaten
2
3
Lampung
5
Solo
3
1
Padang
5
Boyolali
4
1
Manado
5
Yogyakarta
5
1
Medan
5
Yogyakarta
6
1
Banjarmasin
5
Total
30
Sampel yang berjumlah 30, kemudian di uji rRT-PCR dengan
pengelompokan menjadi enam sampel dimana satu kelompok terdiri dari lima
sampel.
Metode Pengujian rRT PCR (real time Reverse TranscriptionPolimerase Chain Reaction)
Pengujian rRT PCR mempunyai tingkat sensitifitas dan spesitifitas yang
tinggi. Metode ini dapat melihat apakah ada agen virus AI pada anak burung
puyuh. Spesimen yang digunakan dalam rRT-PCR adalah usap
tracheal/oropharingeal dalam viral transport media(Widiasih et al. 2012).
Preparasi Sampel
Preparasi sampel dikerjakan di dalam biosafety cabinet class (BSC) II.
Sampel usap trakea anak burung puyuh yang berada dalam media transport
viral/larutan BHI di-vortex, lalu alat swab ditekan pada dinding tabung dan usap
tersebut dibuang. Sampel usap dalam media transport viral/larutan BHI di
sentrifus pada 1000 g selama 10 menit. Cairan supernatan yang didapat
dipisahkan dari peletnya dan ditempatkan dalam tabung steril untuk diekstraksi
dengan kit yang digunakan.
Ekstraksi RNA
Ekstraksi RNA dengan Magmax-96 AI. Larutan lisis/binding (viral
lysis/binding solution) dipreparasi, bead resuspension mix, wash solution I dan II.
Tabel preparasi larutan lisis/binding (viral lysis/binding solution) (Tabel 2), Tabel
wash solution I dan II (Tabel 3), Tabel Bead resuspension mix (Tabel 4).

11
Tabel 2 Preparasi untuk membuat viral lysis/binding sol
Viral lysis/binding solution
1. Viral lysis/binding solution:
- Viral lysis/binding sol.
Concentrate
- Carrier RNA
2. Larutan
dicampur
dengan
resuspensi, lalu tambahkan:
- 100% isopropanol
3. Larutan
dicampur
dengan
vorteks, total volume

Volume per 1
sampel

Volume 6 untuk
sampel

50 µl

300 µl

1 µl

6 µl

50 µl

300 µl

101 µl

Tabel 3 Preparasi untuk wash solution mix
Volume per 1
Volume untuk 26
Wash solution mix
sampel/well
sampel
Larutan Wash solution mix I (35 ml
100 µl
600 µl
isopropanol absolute dimasukkan
ke dalam wash solution I
concentrate)
Larutan Wash solution mix II (80
100 µl
600 µl
ml ethanol absolute dimasukkan ke
dalam wash solution II concentrate)

1.

2.

3.

4.

Tabel 4 Preparasi untuk membuat bead resuspension mix
Larutan Bead resuspension
Volume per 1
Volume 6 untuk
mix
sampel/well
sampel
Bead resuspension mix:
- Bead resuspension sol
6 µl
36 µl
- Nuclease/Rnase-free water
4 µl
24 µl
Larutan
dicampur
dengan
resuspensi,
kemudian
di
tambahkan:
4 µl
24 µl
- RNA binding beads
Larutan
dicampur
dengan
resuspensi,
kemudian
ditambahkan:
6 µl
36 µl
- 100% isopropanol
Larutan dicampur
dengan
20 µl
vorteks, total volume

Isolasi disiapkan dalam Microplate 96-well, 101 µl viral lysis binding sol
per satu well dan 50 µl suspensi sampel ditambahkan ke dalam well dengan
menyentuhkan ujung pipet ke lysis/binding sol untuk mencegah bubble aerosol.
Microplate 96-well yang berisi ketiga larutan tersebut digoyang dengan orbital
shaker dengan mengatur pada posisi 4-5 (550-600 rpm) selama 30 detik. Larutan
20 µl bead resuspensi mix (divorteks dulu sebelum dipipet) kemudian dimasukkan

12
ke dalam masing-masing sampel. Microplate 96-well yang berisi sampel digoyang
dengan orbital shaker dengan posisi 2-3 (550-600 rpm) selama empat menit.
Microplate 96-well diletakkan ke dalam 96-well magnetic stand dan diinkubasi
pada suhu kamar selama dua menit untuk capture RNA binding (capture telah
sempurna jika timbul transparansi pada suspense). Supernatant (kira-kira 170 µl
per well) diambil kemudian dibuang. Jika supernatant terambil semua maka akan
diperoleh RNA yang lebih murni. Plate dilepaskan dari magnetic stand, lalu
ditambahkan 100 µl wash solution I ke dalam masing-masing sampel. Microplate
96-well kemudian digoyang dengan orbital shaker dengan posisi 4-5 (550-600
rpm) selama 30 detik. Plate diletakkan ke dalam 96-well magnetic stand dan
diinkubasi pada suhu kamar (20 sampai 25 oC) selama satu menit untuk capture
RNA binding. Sejumlah 100 µl per well supernatan dibuang. Plate dipindahkan
dari magnetic stand, lalu ditambahkan 100 µl wash solution II ke dalam masingmasing sampel. Plate kemudian digoyang dengan orbital shaker dengan posisi 4-5
(550-600 rpm) selama 30 detik. Plate diletakkan ke dalam 96-well magnetic stand
dan inkubasi pada suhu kamar selama satu menit untuk capture RNA binding.
Supernatan yang terbentuk dibuang (kira-kira 100 µl per well) untuk memperoleh
RNA lebih murni. Plate dipindahkan dan diletakkan ke dalam shaker dan
digoyang selama dua menit pada posisi 4-5 (550-600 rpm) untuk mengevaporasi
sisa-sisa alkohol. 35 µl buffer elusi ditambahkan ke dalam masing-masing sampel
dan dishaker selama 3 menit. Plate diletakkan ke dalam 96-well magnetic stand
dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 menit untuk capture RNA binding.
Supernatan diambil sebanyak 30 µl dan dimasukkan ke dalam tabung 1.5 ml
kemudian langsung diuji.
Penyiapan reagen master mix
Ag-Path-ID One-Step RT-PCR Kit (Ambion, Cat. No AM1005) digunakan
untuk reaksi rRT-PCR dengan total volume 25 µl. Primer yang digunakan adalah
Primer H5-Duplex Primer Probe Mix yang terdiri dari primer forward H5
IVA-D148H5 (AAHL, Geelong, Australia), Primer reverse H5 IVA-D149H5
(AAHL, Geelong, Australia), Probe H5-IVA-H5a (AAHL, Geelong, Australia)
dan Primer forward H5-IVA-D204f (AAHL, Geelong, Australia), Primer forward
H5-IVA-D205r (AAHL, Geelong, Australia) dan probe H5-IVA-D215P (AAHL,
Geelong, Australia). Semua komponen reaksi rRT-PCR yang tercantum pada
Tabel 5.
Tabel 5 Komponen-komponen reaksi rRT-PCR
Komposisi master mix RRT-PCR untuk H5-Influenza A
Komponen
Volume untuk 1
Volume untuk 6 x reaksi
reaksi (µl)
Nuclease free water
0.124
0.744
2X RT-PCR Buffer
12,5
75
25X RT-PCR Enzyme
1
6
Mix
H5-Duplex primer probe
6.376
38.256
Mix
Total Volume
20
Aliquot 20 µl per well

13

Reaksi rRT-PCR
Dalam reaksi PCR sebaiknya diikutkan kontrol : Kontrol positif tinggi,
kontrol positif rendah, kontrol positif ekstraksi, kontrol negatif dan kontrol tanpa
cetakan/cetakan RNA ( NTC : Non template control ), Master mix Ag-Path-ID
One-Step RT-PCR Kit disiapkan (Ambion, Cat. No. AM1005) untuk uji
berdasarkan hitungan jumlah reaksi yang telah ditentukan pada. Semua larutan
dicampur dengan baik dengan cara memvorteks. Aliquot 20 µl master mix ke
dalam lubang yang telah ditentukan pada ABI PRISMTM 96-well optical.
Sebanyak 5 µl RNA virus dimasukkan ke dalam lubang uji secara hati-hati. Untuk
kontrol tanpa template tidak dimasukkan RNA sama sekali. Tutup dengan ABI
PRISMTM optical adhesive cover dan sentrifus untuk menurunkan semua reagen
ke dasar tabung. Jalankan pengujian dengan thermocycler dengan kondisi reaksi
10 menit pada suhu 45 oC.
Analisis Data
Data yang dihasilkan dari penelitian dianalisis secara deskriptif. Data
dirangkum, dianalisis dan disajikan secara grafis, sehingga dapat memberikan
informasi dalam bentuk tabel, dan gambar (Mattjik & Sumertajaya 2013).

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian rRT-PCR
Tiga puluh sampel usap trakea dari semua daerah tidak terdeteksi virus AI
terhadap uji rRT-PCR (Tabel 6).
Tabel 6 Hasil rRT-PCR pada sampel anak burung puyuh
Nama sampel
Detektor
Ct
S1
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
S2
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
S3
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
S4
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
S5
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
S6
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
Kontrol positif
AI Duplex H5
28.39
Kontrol negatif
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
NTC
AI Duplex H5
Tidak terdeteksi
keterangan : NTC (Non template Control), S (sampel), Ct (cycle threshold).
Analisa sekuen target gen H5 menunjukkan tidak diperoleh amplifikasi
target gen H5 pada kontrol negatif (NTC) dan semua sampel yang diuji
konfirmasi hasil positif hanya diperoleh kontrol positif yang digunakan seperti
ditunjukkan oleh kurva amplifikasi yang memotong garis deteksi (threshold) di
siklus PCR ke 28.39 atau nilai ct 28.39 (Gambar 2) .

a

Gambar 2

b

Grafik hasil pengujian rRT-PCR, (a) Grafik raw data sampel uji
rRT-PCR, (b) Grafik kurva amplifikasi dengan garis sampel yang
tidak menembus garis Treshold: 0.200000, Baseline start: 3,
Baseline End: 15.

15
Hasil pembacaan rRT-PCR pada sampel ini memberikan informasi bahwa
sampel anak burung puyuh yang akan dilalulintaskan tidak terdeteksi adanya agen
virus AI. Hasil pemeriksaan fisik mendukung hasil pengujian rRT-PCR yang
menunjukkan bahwa sampel pada tersebut tidak terdeteksi virus AI.
Real time PCR adalah teknik yang relatif baru, namun sudah banyak
digunakan untuk mendiagnosa dan mempelajari penyakit-penyakit unggas yang
pathogen (Lee & Suarez 2004). Untuk mempermudah dan mempercepat waktu
deteksi virus AI ini maka metode yang digunakan adalah rRT-PCR, dikarenakan
dengan rRT-PCR akan mempersingkat waktu dan dengan jumlah virus yang
sedikit pun mampu mendeteksi karena rRT-PCR mempunyai sensitifitas dan
spesitifitas yang tinggi dibangingkan dengan pengujian PCR konvensional
(Widiasih et al. 2012).
Metode pengujian rRT-PCR berfokus pada fase eksponensial karena
memberikan data yang paling tepat dan akurat. Garis threshold adalah tingkat
deteksi dimana reaksi mencapai intensitas fluoresens diatas latar belakang. Jumlah
siklus PCR yang dibutuhkan untuk mendapatkan signal fluoresens yang melintasi
threshold disebut cycle threshold (Ct). Nilai Ct digunakan dalam kuantisasi hilir
atau deteksi ada atau tidaknya agen. Jumlah template DNA pada reaksi yang tidak
diketahui dapat ditentukan secara akurat dengan membandingkan nilai-nilai Ct
sampel yang tidak diketahui konsentrasinya dengan standart uji (AAHL 2013).
Nilai Ct berkorelasi dengan kuantitas urutan DNA target. Kuantitas urutan DNA
target tinggi diawal reaksi, nilai Ct akan lebih cepat diketahui (Hejawuli &
Dharmayanti 2014).
Sampel yang digunakan adalah usap trakea, dikarenakan hampir sebagian
besar subtipe virus influenza A selain bereplikasi pada saluran pernafasan juga
bereplikasi pada saluran pencernaan (Tumpey et al. 2002) sehingga diharapkan
hasil akan lebih akurat dengan adanya jumlah virus yang lebih banyak pada alat
swab yang digunakan. RT-PCR merupakan salah satu alternatif metode yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus influenza walaupun gen virus ada
dalam jumlah sedikit pada suatu sampel, spesimen asal hewan hidup yang dapat
digunakan untuk diagnosis AI berupa usap pada traktus respiratorius bagian atas
(usap hidung, usap trakea) atau usap kloaka, namun pada kondisi di lapang cara
pengambilan usap kloaka merupakan cara yang paling cepat dan aman (WHO
2003).
Sejumlah kecil RNA virus AI dapat dideteksi bahkan ketika virus sudah
terinaktivasi dengan menggunakan teknik RT-PCR, sedangkan isolasi virus pada
TAB (telur ayam berembrio) membutuhkan virus yang hidup, oleh karenanya
metode amplifikasi dengan RT-PCR lebih sensitif. Pada surveilans virus AI secara
rutin di lapangan, diperlukan metode yang cepat, akurat, sensitive, dan spesifik
sehingga keberadaan virus AI dapat dengan cepat, tepat, dan akurat diketahui.
Metode RT-PCR dapat menjadi solusi karena beberapa kelebihan yang dimiliki.
Sampel yang dibutuhkan juga bervariasi, baik sampel usap maupun sampel organ.
Pada studi mengenai surveilans virus AI pada pasar unggas ditunjukkan pada usap
trakea lebih cocok digunakan dan mengandung lebih banyak virus dibandingkan
sampel dari usap kloaka atau lingkungan (Bulaga et al., 2003; Haryanto et al.
2012).
Pemeriksaan sampel dengan menggunakan rRT-PCR dikenal akurat, tetapi
masih perlu diperhatikan tata cara pengambilan sampel yang benar di lapangan

16
serta media yang digunakan harus dipastikan dalam keadaan baik dan tidak
melewati masa kadaluwarsa pemakaian media tersebut agar hasil diagnosa yang
didapat benar-benar akurat (Fiqri et al. 2011). Amplifikasi gen virus AI secara
RT-PCR akan memberikan hasil positif apabila dilakukan dengan jumlah RNA
sebagai template memenuhi jumlah minimum yang telah ditentukan. Jumlah DNA
virus kurang dari 0.01-0.1µg tidak dapat diamplifikasi menggunakan RT-PCR
(Yuwono 2006). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil amplifikasi RTPCR adalah adanya perbedaan materi dan metode yang digunakan serta adanya
perbedaan strain dan subtipe virus yang diteliti, selain itu perbedaan kualitas
masing-masing sampel juga ikut berperan (Noroozian et al. 2007).
Penggunaan primer H5-Duplex Primer Probe mix pada penelitian ini
dikarenakan diantara 16 subtipe HA, virus-virus AI dari subtipe H5 dan H7
memiliki kemampuan untuk melakukan mutasi genetik yang berakibat pada
perubahan patogenesitas virus dari LPAI menjadi HPAI yang umumnya terjadi
setelah proses introduksi dan adaptasi virus LPAI pada unggas-unggas domestik
golongan ayam, puyuh dan kalkun. Indonesia adalah salah satu Negara yang
masih melaporkan adanya kasus AI khususnya H5N1 HPAI pada unggas
(Wibawa, 2013). Agen VAI tidak terdeteksi dalam pengujian rRT-PCR yang
sudah menggunakan primer H5-Duplex Primer Probe mix ini menunjukkan
bahwa tidak adanya VAI dari subtipe H5 yang sudah banyak ditemukan di
wilayah Jawa Tengah dan DIY, sehingga dapat disimpulkan bahwa burung puyuh
yang diperiksa tidak terinfeksi VAI terutama subtipe H5.
Menurut Kartikasari (2008), metode rRT-PCR ini memiliki sensitifitas dan
spesitivitas yang sangat tinggi dalam mendeteksi keberadaan virus influenza
dalam spesimen apapun walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Ketika
pembacaan amplifikasi DNA menggunakan mesin rRT-PCR, selain sampel yang
dibaca, disertakan juga kontrol positif dan kontrol negatif. Fungsi dari kontrol ini
adalah untuk mengetahui apakah sewaktu mencampurkan mix reagen ke dalam
sampel terdapat kontaminasi atau tidak. Kontrol negatif akan tetap negatif setelah
pembacaan jika tidak ada kontaminasi atau dengan kata lain bahwa pengerjaan
pencampuran reagen berhasil dan hasil rRT-PCR dianggap layak dan dapat
dipercaya. Hal itu pun berlaku sebaliknya, apabila kontrol negatif menjadi positif
maka dapat diperkirakan adanya kontaminasi pada saat pencampuran reagen dan
hasil dari pembacaan itu dianggap tidak dapat dipercaya dan untuk selanjutnya
pemeriksaan harus dilakukan pengulangan. Pada penelitian ini telah melalui
proses yang benar dengan hasil kontrol negatif tetap negatif sehingga pembacaan
proses rRT-PCR ini dapat dipercaya.
Pemeriksaan Fisik Anak Burung Puyuh
Sebanyak 30 sampel usap trakea anak burung puyuh dan DOQ yang
berasal dari Kota Solo, Kabupaten Klaten, Boyolali dan DI Yogyakarta diambil
sesaat sebelum dilalulintaskan dengan disertai tindakan karantina di tempat
pengeluaran seperti pemeriksaan fisik dan dokumen.
Anak burung puyuh yang berumur satu hari disebut DOQ. Besarnya
seukuran jari dengan berat 8 gram sampai 10 gram dan berbulu jarum halus. Anak
burung puyuh yang sehat berbulu kuning mengembang, gerakannya lincah,
besarnya seragam dan aktif mencari makan atau minum (Sugiharto 2005). Untuk

17
pengiriman anak burung puyuh selain yang berumur satu hari ada juga yang
berumur tiga sampai lima hari, karena pada umur tersebut kondisi anak burung
puyuh masih seragam dengan cara pemberian pakan yang mudah pada saat dalam
kemasan (sebagian besar sampai umur tiga hari masih ada yolk sac pada anak
burung puyuh tersebut) (Wheindrata 2014).
Hasil pemeriksaan fisik sebelum pengambilan sampel usap trakea,
menunjukkan bahwa DOQ maupun anak burung puyuh yang akan dilalulintaskan
dalam kondisi sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit AI. Gejala
LPAI pada unggas dalam bentuk ringan yang tidak diikuti oleh infeksi sekunder,
akan terlihat adanya gangguan pernafasan, anoreksia, depresi, sinusitis, serta tidak
menunjukkan ada gejala-gejala penyakit seperti lesu, menyendiri, mengantuk
(Tabbu 2000) seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 DOQ yang sehat
Menurut Tabbu (2006) gejala klinis HPAI pada ayam pedaging, ayam
buras maupun burung puyuh cenderung bersifat tidak spesifik dibandingkan
dengan gejala klinis HPAI pada ayam petelur. Gejala yang terlihat biasanya hanya
depresi berat dan peningkatan kematian yang drastis dari hari ke hari. Mortalitas
dapat mencapai 70%-100%. Hasil pengumpulan informasi dari peternak burung
puyuh yang akan dilalulintaskan, tidak mengalami penurunan produksi maupun
peningkatan jumlah kematian dalam kurun waktu enam bulan terakhir (BKPK II
Yogyakarta 2014).
Perdagangan unggas antara daerah membutuhkan proses yang lebih sulit.
Seperti proses pemilihan kesehatan unggas yang akan dikirim, proses pengemasan
dan proses pengiriman. Proses kemasan pengiriman anak burung puyuh ke luar
daerah dapat dilihat pada Gambar 4.

18

a

b

Gambar 4 Kemasan box untuk pengiriman Anak burung puyuh melalui BKP II
Yogyakarta ke luar Jawa, (a) Box tertutup, (b) Box terbuka.
Proses pemilihan unggas yang akan dikirim termasuk faktor utama dalam
lalu lintas unggas termasuk pemilihan bibit burung puyuh. Bibit burung puyuh
yang unggul merupakan modal utama beternak burung puyuh untuk mencapai
produktivitas yang tinggi dan kelangsungan produksi telur yang panjang. Berawal
di Semarang Selatan, pembibitan burung puyuh ini menyebar sampai ke wilayah
Jawa Tengah bagian selatan seperti Kota Solo, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo,
Klaten bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring perkembangan jaman ternak
burung puyuh merambat sampai pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga
Papua (Wheindrata 2013). Oleh karena itu burung puyuh sebagai salah satu hewan
pembawa virus AI yang sebagian besar berasal dari daerah yang endemik AI serta
burung puyuh merupakan reservoir yang paling potensial untuk terjadinya mutasi
genetik virus AI ke bentuk yang transmissible ke mamalia (Sun et al. 2011) maka
perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas media pembawa AI
ini.
Saat ini, burung puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) banyak
berkembang untuk tujuan produksi daging dan telur. Produksi puyuh telah
menjadi sektor yang penting dalam industri perunggasan bagi banyak Negara.
Rasa yang khas dari daging dan telur, pertumbuhan yang lebih cepat dibanding
dengan unggas lain, produksi lebih cepat dengan hasil yang banyak, biaya
pemeliharaan rendah merupakan beberapa keuntungan dari burung puyuh (Ozsoy
& Orhan 2011).
Bibit burung puyuh yang unggul merupakan modal utama beternak burung
puyuh untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan kelangsungan produksi telur
yang panjang. Berawal di Semarang Selatan, pembibitan burung puyuh ini
menyebar sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian selatan seperti Kota Solo,
Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Klaten bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seiring perkembangan jaman ternak burung puyuh merambat sampai pulau
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga Papua (Wheindrata 2013).
Gejala klinis HPAI pada ayam pedaging, ayam buras maupun burung
puyuh cenderung bersifat tidak spesifik dibandingkan dengan gejala klinis HPAI