Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia

(1)

DISERTASI

MODEL KONSEPTUAL REVITALISASI

PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS DI INDONESIA

Oleh:

WIRYANTO

NIM 098116007

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

MODEL KONSEPTUAL REVITALISASI

PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS DI INDONESIA

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

WIRYANTO

NIM 098116007

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PROMOTOR

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

Guru Besar Ilmu Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

KO-PROMOTOR

Prof. Dr. Karsono, Apt.

Guru Besar Ilmu Farmasetika

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

KO-PROMOTOR

Prof. Dr. Herman Mawengkang

Guru Besar Ilmu Matematika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara


(4)

(5)

Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal: 28 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI DISERTASI Ketua : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Anggota : Prof. Dr. Karsono, Apt.

Prof. Dr. Herman Mawengkang

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt.

Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt.


(6)

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Wiryanto

No. Induk Mahasiswa : 098116007

Program Studi : Doktor Ilmu Farmasi

Judul Disertasi : Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalti Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:

Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan

Pada tanggal 28 Agustus 2014 Yang menyatakan,


(8)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Wiryanto

No. Induk Mahasiswa : 098116007

Program Studi : Doktor Ilmu Farmasi

Judul Disertasi : Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi

Komunitas di Indonesia

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang saya buat adalah asli karya

saya sendiri, bukan plagiat, dan apabila di kemudian hari diketahui disertasi saya

tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi

apapun oleh Program Studi Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya

tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat

Medan, 28 Agustus 2014 Yang membuat pernyataan,

Wiryanto


(9)

Abstrak

Praktik farmasi komunitas di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuan penelitian adalah menyusun standar praktik farmasi komunitas, merancang model penentuan kriteria praktik, dan merancang model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.

Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar yang diadopsi dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku, terbagi ke dalam 5 aspek aktivitas standar: profesionalisme, manajerial, dispensing, asuhan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai langkah validasi, dilakukan survei pendapat/masukan dari para apoteker komunitas di Indonesia, menggunakan instrumen kuesioner dengan skala Likert lima poin pada masing-masing elemen standar. Instrumen kuesioner disusun menggunakan fasilitas google doc, dikirim langsung ke 800 alamat facebook apoteker komunitas di Indonesia untuk diisi secara online. Model penentuan kriteria praktik terdiri dari instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Penentuan kriteria praktik didasarkan pada perolehan poin kumulatif dan digambarkan melalui diagram jaring laba-laba (spider web). Selanjutnya dirancang sebuah model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari standar praktik, model penentuan kriteria praktik, dan model Nolan.

Hasil survei menunjukkan bahwa semua elemen penyusun standar praktik yang ditawarkan memperoleh pendapat positif dengan kisaran poin 3,64-4,56. Model penentuan kriteria praktik dapat digunakan untuk menentukan kriteria praktik. Penggunaan model penentuan kriteria praktik menyederhanakan proses penentuan kriteria praktik pada tahapan awal revitalisasi. Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari 3 tahapan revitalisasi dengan sasaran peningkatan level kehadiran dan level imbalan apoteker, peningkatan intensitas keterlibatan apoteker, dan peningkatan mutu kinerja apoteker sesuai standar.

Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas merupakan sebuah instrumen, yang dapat digunakan secara bertahap mengembalikan peran vital praktik farmasi komunitas, dalam penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Kata kunci: Praktik farmasi komunitas, standar praktik, kriteria praktik, model penentuan kriteria praktik, model konseptual revitalisasi, Indonesia.


(10)

Abstract

Community pharmacy practice in Indonesia is described as practices that do not comply with the laws and rules of the profession. The majority of pharmacists are supposed to function the pharmacy as a place to conduct pharmacy practices, but they prefer not present every day. The purposes of the research are to develop a community pharmacy practice standards, to design models criteria determining the practices, and to design a conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice in Indonesia.

The community pharmacy practice standards composed of standards elements adopted from various provisions of laws, regulations and applied rules of profession, divided into five aspects of the standard: professional, managerial, dispensing, pharmaceutical care, and community health services. As a validation step, an opinion survey/feedback from community pharmacists in Indonesia was conducted, using a questionnaire instrument with five-point Likert scale to each standard elements. Questionnaire instruments were prepared by using google doc, sent directly to 800 community pharmacists’ facebook address in Indonesia to be filled online. A model for the determination of practice criteria was designed consisting of instrument assessing level of standard compliance and instrument determining practices criteria. Determination of practices criteria was based on obtained cumulative points and illustrated by the diagram of spider webs. Furthermore, a model of revitalization concept of community pharmacy practice was designed by researcher. This model consists of standard of practice, determination of practice criteria models, and Nolan models.

The survey results showed that all the constituent elements of the standard practice offered obtained a positive opinion with a range of 3.64 to 4.56 points. The determination of practices criteria model can be used to determine the criteria for practice. The use of this model simplified the process of determination of practices criteria in the early stages of revitalization. The design of the conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice consisted of 3 stages of revitalization with the goal of improving the level of presence and level of remuneration of pharmacists, increasing the intensity of the involvement of pharmacists and increasing the quality of pharmacists according to standards.

Conceptual model of community pharmacy practice revitalization is an instrument, which can be used to gradually return the vital role of community pharmacy practice, in the implementation of pharmacy services that is safe, good quality, and affordable.

Keywords: community pharmacy practice, standards of practice, practice criteria, model of determination of practice criteria, model of conceptual revitalization, Indonesia.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini dengan sebaik-baiknya.

Disertasi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Doktor Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia”

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.), atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Doktor.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., sekaligus selaku Ko Promotor yang tiada henti memberikan dorongan, berbagai koreksi dan diskusi sehingga penulis terpacu untuk menyelesaikan Pendidikan Program Doktor Ilmu Farmasi.

4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Promotor yang telah menyediakan waktu dengan penuh kesabaran untuk berbagai koreksi dan diskusi, serta medorong penulis untuk segera menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Herman Mawengkang selaku Ko Promotor yang dengan penuh kesabaran menyediakan waktu untuk berbagai koreksi dan diskusi selama penelitian dan penyusunan disertasi ini.


(12)

6. Para penguji yaitu Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt., dan Dr. Faiq Bahfen, SH., yang telah memberikan kritik, koreksi, dan masukan sangat berguna bagi kesempurnaan disertasi ini.

7. Seluruh guru-guru saya di Fakultas Farmasi UGM dan di Program Doktor Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi USU, semoga ilmu-ilmu yang diajarkan selama ini memberi manfaat yang besar bagi saya dan bagi masyarakat.

8. Ahmad Subagiyo Apoteker, Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Pharm., Apt., Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt., Agus Dermawan, S.Farm., Apt., serta teman-teman seangkatan di Program Doktor Ilmu Farmasi atas segala bantuannya sepanjang penyelesaian disertasi ini.

9. Seluruh sejawat apoteker farmasi komunitas di Indonesia yang telah bersedia menjadi responden, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu per satu atas segala kebaikan dan bantuannya, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan disertasi ini. Dan pada akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi dunia farmasi, khususnya bagi masa depan profesi farmasi komunitas.

Medan, Agustus 2014

Penulis,


(13)

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama Lengkap : Wiryanto

Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 25 Oktober 1951

Agama : Islam

NIP : 1951 1025 198002 1 001

Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda / IVc

Pekerjaan : Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Alamat Kantor : Jl. Tridarma No. 5, Kampus USU, Medan No. Telepon/Fax : (061) 8223558 / (061) 8219775

Alamat Rumah : Taman Setiabudi Indah Blok F No.70 Medan No. Telepon Rumah/HP : (061) 8212773 / 082166578272

Alamat E-mail : wiryanto_2510@yahoo.com; wiryanto@usu.ac.id Nama Ayah : Alm. Wagiyo Wiryoharjono

Nama Ibu : Alm. Hj. Sri Ismaningsih Nama Istri : Dra. Sudewi, M.Si., Apt. Nama Anak : 1. Kartika Respati, SE.

2. Renny Widiastuti, S.Sos.

Nama Menantu : Muhammad Syafril Malau, S.Si., ME. Nama Cucu 1. Anindia Nafeeza Ayu Malau

2. Anindita Anthea Putri Malau

B. Riwayat Pendidikan

1957-1963 1964-1967 1968-1970 1971-1977 1977-1978 1986-1989 2009-2014

SD Negeri 2, Kartasura SMP Negeri, Kartasura

SMA Muhammadiyah I, Surakarta

Sarjana Farmasi: Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta Apoteker: Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta Magister Sains: Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta Doktor Ilmu Farmasi: Fakultas Farmasi USU Medan


(14)

C. Riwayat Pekerjaan 1980-sekarang 1995-2006 2006- sekarang 2008-2010 2009-2010

Staf Laboratorium Teknologi Formulasi Steril Kepala Laboratorium Teknologi Formulasi Steril Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Kepala Laboratorium Statistika

Kepala Laboratorium Farmasi Komunitas

D. Publikasi Ilmiah

1. Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotik Pasca PUKA di Kota Medan. Jakarta: Prosiding Kongres Ilmiah XVII ISFI, 7-8 Desember 2009.

2. Peluang Penerapan PP 51 Tahun 2009 terkait Titik Impas: Studi Kasus di Apotek Farma Nusantara Medan. Makassar: Prosiding Kongres Ilmiah XVIII ISFI. 10-12 Desember 2010.

3. Kinerja Praktik Farmasi Komunitas Menjelang Implementasi PP 51 Tahun 2009. Medan: Prosiding Seminar & Workshop Pharmacy Update 3. 18-19 Maret 2011.

4. Penguatan Kaidah-Kaidah Profesi dalam Mewujudkan Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sesuai Standar. Medan: Prosiding Seminar & Workshop Pharmacy Update 3. 18-19 Maret 2011.

5. Standards of Community Pharmacy Practice In Indonesia. Nusa Dua: Proceedings of The 24th Federation of Asian Pharmaceutical Association (FAPA) Congress. 13-16 September 2012.

6. Profil Kinerja Praktik Farmasi Komunitas/Apotek di Indonesia. Medan: Prosiding Seminar Nasional Farmasi. 29 September 2012.

7. Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Beberapa Apotek Di Kota Medan. Medan: Prosiding Seminar Nasional Herbal. 23-24 Agustus 2013. 8. Community Pharmacy Practice Standards as Guidelines for Pharmacists in

Performing Profession in Indonesia. International Journal of Pharmacy Teaching & Practices 2014, Vol.5, Issue 1, 880-886.

9. Model Determining Criteria for Pharmacy Community Practice in Indonesia. Medan: Prosiding Seminar Internasional Sains dan Teknologi Farmasi 3. 31 Mei 2014.


(15)

DAFTAR SINGKATAN APA ACP-ASIM APTFI BAN PT BBM BKKBN BPJS BUMN BUMD CPD FIFO FEFO FIP IDT JPS KEPMENKES Lk Li MCPA OWA PBF

PD IAI Sumut PERMENKES PP PSPA PTF SIKA SIP SIPA SKPA SMS SPO SPSS STRA TBC THR UMP UU WHO

Apoteker Penanggungjawab Apotek

The American College of Physicians-American Society of Internal Medicine

Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Bahan Bakar Minyak

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah

Continuing Professional Development First In First Out

First Expire First Out

Fédération Internationale de Pharmaceutiques Inpres Desa Tertinggal

Jaring Pengaman Sosial Keputusan Menteri Kesehatan Level kehadiran

Level imbalan

Malaysian Community Pharmacist Association Obat Wajib Apotek

Pedagang Beasar Farmasi

Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia Sumatera Utara Peraturan Menteri Kesehatan

Peraturan Pemerintah

Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Perguruan Tinggi Farmasi

Surat Izin Kerja Apoteker Surat Izin Praktik

Surat Izin Praktik Apoteker

Sertifikasi Kompetensi Profesi Apoteker Short Message Service

Standar Prosedur Operasional

Statistical Product and Service Solutions Surat Tanda Regestrasi Apoteker

Tuberculosis

Tunjangan Hari Raya Upah Minimum Provinsi Undang-Undang


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN . . . i

HALAMAN PERNYATAAN . . . ii

ABSTRAK . . . iii

ABSTRACT . . . iv

KATA PENGANTAR . . . v

DAFTAR ISI . . . x

DAFTAR LAMPIRAN . . . xiv

DAFTAR GAMBAR . . . xv

DAFTAR TABEL . . . xvii

BAB I PENDAHULUAN . . . 1

1.1 Latar Belakang . . . 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian . . . 7

1.3 Perumusan Masalah . . . 13

1.4 Hipotesis . . . 14

1.5 Tujuan Penelitian . . . 14

1.6 Manfaat Penelitian . . . 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA . . . 16

2.1 Farmasi Komunitas . . . 16

2.1.1 Definisi . . . 16

2.1.2 Praktik Farmasi Komunitas . . . 17


(17)

2.1.4 Perkembangan Perizinan Apotek . . . 21

2.2 Profesi . . . 23

2.2.1 Definisi . . . 23

2.2.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi . . . 24

2.2.3 Karakteristik Inti Profesi . . . 27

2.2.4 Misi Profesi Farmasi . . . 29

2.2.5 Apoteker . . . 31

2.2.6 Profesionalisme . . . 32

2.2.7 Organisasi Profesi . . . 34

2.3 Pemodelan . . . 35

2.4 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas. . . 38

2.5 Implementasi Kebijakan . . . 44

2.5.1 Aktor-aktor Implementasi . . . 44

2.5.2 Teknik Implementasi Kebijakan . . . 48

2.6 Instrumen Kebijakan . . . 61

BAB III METODE PENELITIAN . . . 66

3.1 Menyusun Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 66

3.2 Merancang Model Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . . 70

3.3 Merancang Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 71

3.4 Diagram Alir Penelitian . . . 73

3.5 Defenisi Operasional . . . 74

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 78


(18)

4.2 Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 81

4.2.1 Elemen-elemen Penyusunan Draf Standar Praktik

Farmasi Komunitas . . . 81

4.2.2 Instrumen Kuesioner tentang Elemen-elemen Standar

Praktik Farmasi Komunitas . . . 83

4.2.3 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen Kuesioner . . 83

4.2.4 Pendapat Responden tentang Elemen-elemen Standar

Melalui Skala Likert . . . 83

4.2.5 Pengaruh Karakteristik Responden Terhadap

Pendapatnya Tentang Standar Praktek . . . 90

4.2.6 Pendapat/Masukan Responden tentang Kondisi dan

Situasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 94

4.3 Instrumen Kuesioner tentang Deskripsi Elemen-elemen

Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 99

4.3.1 Profil Kinerja Bisnis Praktik Farmasi Komunitas . . . 120

4.3.2 Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . . 129

4.3.3 Permasalahan Mendasar dalam Praktik Farmasi

Komunitas di Indonesia . . . 130

4.3.4 Model Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . 132

4.3.5 Simulasi Model Penentuan Kriteria Praktik . . . 135

4.3.6 Kriteria Praktik Farmasi Komunitas di Indonesia . . . 138

4.3.7 Pengaruh Karakteristik Responden Terhadap Tingkat

Pemenuhan Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 141

4.4 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas . . . 145

4.5 Simulasi Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi

Komunitas pada Beberapa Apotek di Kota Medan . . . 147

4.6 Strategi Implementasi Model Konseptual Revitalisasi Praktik

Farmasi Komunitas . . . 152


(19)

5.1 Kesimpulan . . . 155

5.2 Saran . . . 155

DAFTAR PUSTAKA . . . 156


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Perhitungan jumlah responden menggunakan instrumen

Raosoft . . . 165

Lampiran 2 Draf Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 166

Lampiran 3 Kuesioner tentang Elemen-elemen Praktik Farmasi

Komunitas . . . 170

Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas . . . 178

Lampiran 5 Pendapat/masukan umum responden terkait praktik

farmasi komunitas . . . 183

Lampiran 6 Kuesioner tentang Deskripsi Elemen-Elemen Standar

Praktik Farmasi Komunitas . . . 190

Lampiran 7 Standar Praktik Farmasi Komunitas . . . 199

Lampiran 8 Lembar Penilaian Tingkat Pemenuhan Standar Praktik 202

Lampiran 9 Lembar Penentuan Kriteria Praktik Farmasi Komunitas . . 210

Lampiran 10 Rumusan Penilaian Tingkat Pemenuhan Standar Untuk

Masing-Masing Elemen Standar . . . 211

Lampiran 11 Hasil penentuan kriteria 5 apotek di kota Medan . . . 225

Lampiran 12 Hasil penentuan kriteria 5 apotek di kota Medan setelah

langkah revitalisasi . . . 240

Lampiran 13 Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap pendapatnya tentang standar praktik dan aspek

aktivitas standar . . . 255

Lampiran 14 Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi

praktik farmasi komunitas . . . 10

Gambar 1.2 Proses penyusunan standar dan perancangan model penentuan kriteria praktik farmasi komunitas . . . 11

Gambar 1.3 Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas . . . 13

Gambar 2.1 Proses Pemodelan . . . .. . . 37

Gambar 2.2 Empat variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 50

Gambar 2.3 Dua variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan 53 Gambar 2.4 Tiga kelompok variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 54

Gambar 2.5 Lima variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan 58 Gambar 2.6 Empat kelompok variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan . . . 60

Gambar 2.7 Sepuluh jenis instrumen kebijakan . . . 61

Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian . . . 73

Gambar 4.1 Distribusi persentase seluruh pendapat responden terhadap elemen-elemen standar praktik farmasi komunitas/apotek . . . 89

Gambar 4.2 Distribusi imbalan yang diterima responden per bulan . . 121

Gambar 4.3 Distribusi Imbalan yang diharapkan responden per bulan 122 Gambar 4.4 Persentase distribusi jumlah lembar resep per hari . . . 124

Gambar 4.5 Persentase distribusi harga per lembar resep . . . 125

Gambar 4.6 Persentase distribusi omset apotek per hari . . . 126


(22)

Gambar 4.8 Distribusi (%) kriteria hasil penentuan tanpa dan dengan

model penentuan kriteria praktik . . . 139

Gambar 4.9 Diagram jaring laba-laba (spider web) tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan aspek aktivitas standar hasil penentuan tanpa dan dengan model penentuan kriteria

praktik . . . 141

Gambar 4.10 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi

Komunitas . . . 147

Gambar 4.11 Strategi implementasi model konseptual revitalisasi


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Fokus perubahan implementasi PP No. 25 tahun 1980 dari

PP No. 26 tahun 1965 (Patra, 1985). . . 39

Tabel 2.2 Empat tingkatan penting perbaikan mutu pelayanan

kesehatan . . . 41 Tabel 4.1 Karakteristik responden . . . 78

Tabel 4.2 Rerata poin pendapat responden terhadap elemen-elemen

standar praktik farmasi komunitas/apotek . . . 84

Tabel 4.3 Tujuh elemen standar yang memperoleh rerata poin di

bawah 4. . . 88

Tabel 4.4 Penggabungan pertama 3 elemen standar ke dalam elemen

standar yang lain . . . 89

Tabel 4.5 Nilai p pengaruh karakteritik responden terhadap pendapatnya tentang standar praktik dan aspek aktivitas

standar . . . 91

Tabel 4.6 Penggabungan kedua 4 elemen standar ke dalam elemen

standar yang lain . . . 100

Tabel 4.7 Data Tingkat Kehadiran Apoteker di Apotek . . . 131

Tabel 4.8 Deskripsi tahapan dan sasaran pembinaan dan pengawasan 133

Tabel 4.9 Model rumusan penilaian berdasarkan tahapan pembinaan dan pengawasan dengan level kehadiran (lk) dan level imbalan (li)

apoteker sebagai variabel untuk 25 elemen standar . . . 133

Tabel 4.10 Kriteria praktik hasil simulasi model penentuan kriteria

praktik menggunakan 4 level kehadiran sebagai variable . . 137

Tabel 4.11 Rerata poin kumulatif dan kriteria praktik hasil penentuan

tanpa dan dengan model penentuan kriteria praktik . . . 138

Tabel 4.12 Rerata poin dan kriteria praktik berdasarkan aspek

aktivitas standar hasil penentuan tanpa dan dengan model


(24)

Tabel 4.13 Nilai p Hasil Analisis Statistik Pengaruh Karakteristik

Responden terhadap Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar . 142

Tabel 4.14 Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas

secara bertahap sesuai aspek permasalahan . . . 146

Tabel 4.15 Hasil penentuan kriteria 5 praktik farmasi komunitas di


(25)

Abstrak

Praktik farmasi komunitas di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuan penelitian adalah menyusun standar praktik farmasi komunitas, merancang model penentuan kriteria praktik, dan merancang model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.

Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar yang diadopsi dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku, terbagi ke dalam 5 aspek aktivitas standar: profesionalisme, manajerial, dispensing, asuhan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai langkah validasi, dilakukan survei pendapat/masukan dari para apoteker komunitas di Indonesia, menggunakan instrumen kuesioner dengan skala Likert lima poin pada masing-masing elemen standar. Instrumen kuesioner disusun menggunakan fasilitas google doc, dikirim langsung ke 800 alamat facebook apoteker komunitas di Indonesia untuk diisi secara online. Model penentuan kriteria praktik terdiri dari instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Penentuan kriteria praktik didasarkan pada perolehan poin kumulatif dan digambarkan melalui diagram jaring laba-laba (spider web). Selanjutnya dirancang sebuah model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari standar praktik, model penentuan kriteria praktik, dan model Nolan.

Hasil survei menunjukkan bahwa semua elemen penyusun standar praktik yang ditawarkan memperoleh pendapat positif dengan kisaran poin 3,64-4,56. Model penentuan kriteria praktik dapat digunakan untuk menentukan kriteria praktik. Penggunaan model penentuan kriteria praktik menyederhanakan proses penentuan kriteria praktik pada tahapan awal revitalisasi. Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas terdiri dari 3 tahapan revitalisasi dengan sasaran peningkatan level kehadiran dan level imbalan apoteker, peningkatan intensitas keterlibatan apoteker, dan peningkatan mutu kinerja apoteker sesuai standar.

Model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas merupakan sebuah instrumen, yang dapat digunakan secara bertahap mengembalikan peran vital praktik farmasi komunitas, dalam penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Kata kunci: Praktik farmasi komunitas, standar praktik, kriteria praktik, model penentuan kriteria praktik, model konseptual revitalisasi, Indonesia.


(26)

Abstract

Community pharmacy practice in Indonesia is described as practices that do not comply with the laws and rules of the profession. The majority of pharmacists are supposed to function the pharmacy as a place to conduct pharmacy practices, but they prefer not present every day. The purposes of the research are to develop a community pharmacy practice standards, to design models criteria determining the practices, and to design a conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice in Indonesia.

The community pharmacy practice standards composed of standards elements adopted from various provisions of laws, regulations and applied rules of profession, divided into five aspects of the standard: professional, managerial, dispensing, pharmaceutical care, and community health services. As a validation step, an opinion survey/feedback from community pharmacists in Indonesia was conducted, using a questionnaire instrument with five-point Likert scale to each standard elements. Questionnaire instruments were prepared by using google doc, sent directly to 800 community pharmacists’ facebook address in Indonesia to be filled online. A model for the determination of practice criteria was designed consisting of instrument assessing level of standard compliance and instrument determining practices criteria. Determination of practices criteria was based on obtained cumulative points and illustrated by the diagram of spider webs. Furthermore, a model of revitalization concept of community pharmacy practice was designed by researcher. This model consists of standard of practice, determination of practice criteria models, and Nolan models.

The survey results showed that all the constituent elements of the standard practice offered obtained a positive opinion with a range of 3.64 to 4.56 points. The determination of practices criteria model can be used to determine the criteria for practice. The use of this model simplified the process of determination of practices criteria in the early stages of revitalization. The design of the conceptual model of the revitalization of community pharmacy practice consisted of 3 stages of revitalization with the goal of improving the level of presence and level of remuneration of pharmacists, increasing the intensity of the involvement of pharmacists and increasing the quality of pharmacists according to standards.

Conceptual model of community pharmacy practice revitalization is an instrument, which can be used to gradually return the vital role of community pharmacy practice, in the implementation of pharmacy services that is safe, good quality, and affordable.

Keywords: community pharmacy practice, standards of practice, practice criteria, model of determination of practice criteria, model of conceptual revitalization, Indonesia.


(27)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam

berbagai bidang pekerjaan meliputi regulasi dan pengelolaan obat, farmasi

komunitas, farmasi rumah sakit, industri farmasi, kegiatan akademik, pelatihan

tenaga kesehatan lainnya, dan penelitian. Peran profesional dalam semua bidang

pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi obat optimal, baik dengan cara

berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian obat, maupun dengan

cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat resep dan pengguna

produk-produk farmasi. Apoteker merupakan profesional kesehatan paling mudah

diakses oleh publik, mereka menyediakan kebutuhan obat-obatan baik melalui

resep ataupun tanpa resep. Selain memastikan secara akurat pasokan

produk-produk yang tepat, kegiatan profesional mereka juga mencakup konseling pasien

pada saat dispensing obat baik melalui resep maupun tanpa resep, informasi obat

kepada profesional kesehatan lain, pasien dan masyarakat umum, dan

berpartisipasi dalam program promosi kesehatan.

Menurut Anderson (2002), farmasi adalah profesi kesehatan yang

memiliki tanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat-obatan dilakukan

secara aman, efektif, dan rasional. Menurut Jan Smits, presiden Asosiasi Apoteker

Belanda, perhatian utama apoteker adalah pasien, dengan penekanan pada

keselamatan penggunaan obat, kepatuhan pasien, penyampaian informasi terkait

obat, serta peningkatan ketepatan pada peresepan dan dispensing obat-obatan


(28)

komunitas mencakup berbagai pekerjaan mulai dari (a) memastikan ketepatan

terapi dan hasilnya; (b) dispensing sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

lainnya; (c) melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit; hingga (d)

memberikan kontribusi kepada manajemen sistem kesehatan (Wledenmayer, dkk.,

2006).

Menurut Kronus (1975), Ladinsky (1971), dan Quinney (1964), di farmasi

komunitas terdapat konflik antara etika dan bisnis bersamaan dengan hadirnya

farmasi komunitas itu sendiri. Konflik muncul karena farmasi komunitas adalah

bisnis sementara apoteker komunitas adalah profesional layanan kesehatan.

Apoteker komunitas berada dalam bisnis penjualan obat-obatan sekaligus

memiliki tanggung jawab legal dan etis bagi pasien mereka (Resnik, dkk., 2000).

Pada kenyataannya, disamping sebagai obyek profesi apoteker, sediaan farmasi

adalah komoditas dagang yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi. Apoteker

dihadapkan pada konflik peran, apakah melakukan pekerjaan berciri profesional

yang memposisikan sediaan farmasi sebagai obyek profesi, atau melakukan

pekerjaan non-profesional yang memposisikan sediaan farmasi sebagai komoditas

dagang.

Cordina, dkk. (2008), berpendapat bahwa liberalisasi di Maldova salah

satu negara di Eropa Timur, telah mendorong farmasi lebih sebagai bagian dari

sektor komersial ketimbang sebagai bagian dari profesional dalam sistem

kesehatan. Sementara Anderson (1977), berpendapat bahwa banyak waktu

apoteker komunitas dihabiskan tanpa pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya.

Tugas-tugas tidak produktif yang hanya membutuhkan tingkat keterampilan teknis

rendah, seharusnya dapat dikerjakan oleh tenaga teknis kefarmasian dengan biaya


(29)

Di Indonesia, apoteker komunitas hanya menyediakan sedikit waktu, yaitu

kurang dari 20 jam per minggu, baik untuk pekerjaan profesional maupun

pekerjaan non-profesional dalam kegiatan sehari-hari. Konsep praktik farmasi

komunitas tidak berkembang dengan baik, lebih tepat digambarkan sebagai toko

obat. Apotek pada keyataannya lebih banyak dikelola oleh tenaga non-profesional

yang tidak memiliki kualifikasi tertentu, dengan pengetahuan sangat terbatas

tentang obat (Hermansyah, dkk., 2012).

Ahaditomo (2002), ketua umum Pengurus Pusat ISFI periode tahun

2000-2005, menilai bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia sebagai praktik yang

tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah

profesi. Sementara Bahfen (2006), seorang staf ahli menteri kesehatan bidang

mediko legal, berpendapat bahwa sebelum tahun 2004 Indonesia mempunyai

masalah dalam pengaturan praktik farmasi, oleh karena berbagai standar yang

perlu diimplementasikan belum ada.

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 249 juta merupakan negara

berpenduduk terbesar keempat dunia setelah Republik Rakyat Cina, India, dan

Amerika Serikat. Mengacu pada Indikator Indonesia Sehat 2010 (Menkes RI,

2003), Indonesia membutuhkan sekitar 25 ribu apoteker komunitas untuk

memberikan pelayanan farmasi. Saat ini jumlah apoteker yang terregistrasi di

Komite Farmasi Nasional telah mencapai lebih dari 48 ribu orang tersebar di 33

provinsi (Anonim, 2014). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan

kelulusan apoteker setiap tahunnya dari 29 Perguruan Tinggi yang program

pendidikan S1 farmasinya terakreditasi A dan B (APTFI, 2014; BAN PT, 2014).

Dengan asumsi bahwa separoh dari apoteker terregistrasi adalah apoteker


(30)

profesional, jumlah tersebut dapat dikatakan sudah cukup. Masalahnya menjadi

lain ketika fakta mengatakan bahwa penyebaran apoteker tidak merata dan

pelayanan farmasi tidak dilakukan secara profesional. Penyebaran apoteker tidak

merata disebabkan oleh adanya kecenderungan apoteker menumpuk di kawasan

perkotaan, yang mengakibatkan kekurangan apoteker di kawasan kabupaten.

Sementara pelayanan farmasi yang tidak dilakukan secara profesional pada

dasarnya tidak lagi menuntut pemenuhan jumlah apoteker sesuai Indikator

Indonesia Sehat 2010.

Profesi farmasi diakui penting sebagai penyedia layanan kesehatan di

banyak negara maju, akan tetapi di kebanyakan negara berkembang profesi

farmasi masih kurang dimanfaatkan (Azhar, dkk., 2009). Pada tahun 1997,

Fédération Internationale de Pharmaceutiques (FIP) menerbitkan dokumen

standar kualitas pelayanan farmasi sebagai pedoman cara pelayanan farmasi yang

baik (Good Pharmacy Practice), dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas

praktik farmasi di seluruh negara (FIP, 1997). Selanjutnya pada tahun 1998, FIP

menerbitkan dokumen cara pelayanan farmasi yang baik khusus untuk negara

sedang berkembang (Good Pharmacy Practice in Developing Countries) (FIP,

1998a).

Indonesia melalui kerja sama Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian

dan Alat Kesehatan (Ditjen Yanfar dan Alkes), Departemen Kesehatan RI dengan

organisasi profesi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merespon kedua

dokumen FIP di atas dengan menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek, antara lain bertujuan menyediakan pedoman praktik bagi apoteker dalam

menjalankan profesi, dan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan


(31)

Kefarmasian di Apotek meliputi Pengelolaan Sumber Daya, Pelayanan, dan

Evaluasi Mutu Pelayanan.

Permasalahan praktik farmasi komunitas di Indonesia ternyata tidak dapat

terselesaikan hanya dengan diterbitkannya berbagai peraturan. Penelitian tentang

profil pelayanan kefarmasian di apotek setelah 5 tahun Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek ditetapkan, menyimpulkan bahwa pelayanan kefarmasian

di apotek masih dilaksanakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Obat keras

tetap saja dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko pada

penggunanya, dijual tanpa resep dokter dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto,

2009).

Hasil penelitian terhadap pelayanan permintaan obat-obat keras tanpa

resep dokter di 25 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa semua apotek

(100%) melayani permintaan obat antibiotika, 6 apotek (24%) melayani

permintaan obat psikotropika, dan semua apotek (100%) melayani permintaan

obat-obat untuk penyakit degeneratif. Dari segi siapa yang melayani permintaan

obat-obat keras tanpa resep tersebut, 5 (8,9%) dilayani oleh apoteker, 22 (39,3%)

dilayani oleh asisten apoteker, dan 29 (51,8%) dilayani oleh pegawai biasa

(Elyarni, 2009). Sementara penelitian tentang kehadiran apoteker di 68 apotek di

kota Medan menunjukkan, bahwa 52,9% tidak hadir setiap harinya, 26,5% hadir

setiap hari pada jam tertentu, dan 20,6% hadir pada setiap jam buka apotek

(Ginting, 2009). Penelitian lain yang dilakukan beberapa tahun kemudian tentang

kehadiran apoteker di 52 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa 40,4% hadir

sekali sebulan, 15,4% hadir sekali seminggu, 13,5% hadir 2 hingga 4 kali

seminggu, 21,1% hadir setiap hari pada jam tertentu, dan 9,6% hadir pada setiap


(32)

Didorong oleh kebutuhan mendesak akan sebuah peraturan pelaksanaan,

terutama menyangkut syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan

pekerjaan kefarmasian, pada tahun 2009 pemerintah RI menetapkan Peraturan

Pemerintah (PP) No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009). Pada

tahun yang sama pemerintah RI menetapkan Undang-undang (UU) No. 36 tentang

Kesehatan menggantikan UU No. 23 tahun 1992 (Pemerintah RI, 2009), dan ISFI

menetapkan Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a). Dengan ditetapkannya

PP No. 51 tahun 2009 ini, maka telah tersedia perangkat hukum untuk kembali

dilakukan langkah-langkah revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia.

Langkah-langkah revitalisasi dimaksud adalah implementasi berbagai ketentuan

baru dalam PP ini ke dalam praktik secara sistematis, terukur, dan bertahap,

meliputi (a) mewujudkan definisi apotek sebagai “sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker”; (b) melakukan sertifikasi kompetensi apoteker; (c) melakukan regestrasi apoteker sebagai tenaga kesehatan;

dan (d) mensyaratkan izin praktik bagi apoteker yang akan melakukan praktik.

Ketidakberhasilan implementasi berbagai peraturan penting seperti PP

No. 25 tahun 1980 dan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 mengindikasikan bahwa

implementasi peraturan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan di Indonesia.

Dan ketidakberhasilan implementasi PP No. 51 tahun 2009 yang saat ini berlaku,

merupakan ancaman bagi hilangnya peran vital farmasi komunitas, karena

penanganan pekerjaan kefarmasian diserahkan kepada orang lain yang tidak

mempunyai kompetensi dan kewenangan untuk itu. Konsekuensi selanjutnya

adalah gagalnya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu,

dan terjangkau, yang akan membawa implikasi kerugian bagi masyarakat


(33)

Dibutuhkan strategi pembinaan dan pengawasan secara terencana,

sistematis, terukur, dan bertahap menyangkut berbagai aspek kehidupan bagi

pemangku kepentingan, baik komunitas profesi apoteker itu sendiri maupun

profesi-profesi kesehatan lain, pemilik modal apotek, serta masyarakat pengguna

obat.

Peneliti tertarik mengemas strategi tersebut di atas sebagai sebuah model

konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia. Model konseptual

dimaksud adalah sebuah konsep bertahap dan berkelanjutan, yang merupakan

instrumen pembinaan dan pengawasan untuk memastikan proses revitalisasi

praktik farmasi komunitas berjalan dengan baik. Revitalisasi praktik farmasi

komunitas adalah serangkaian proses menjadikan vital kembali tugas dan fungsi

praktik farmasi komunitas, mengacu pada peraturan perundang-undangan dan

kaidah-kaidah profesi yang berlaku.

2. Kerangka Pikir Penelitian

Pada pasal 28H ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya pada pasal 4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan kembali

bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dan pada pasal 5 ayat 2 bahwa “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”.

Berkaitan dengan pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat


(34)

Kesehatan dikatakan bahwa “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”. Dan pada pasal 108 dikatakan bahwa “Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat

serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Untuk menjalankan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut di atas

sebagaimana mestinya, terutama yang menyangkut syarat keahlian dan

kewenangan bagi pelaksanaan praktik kefarmasian, pemerintah RI telah

menetapkan PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pada pasal 5

dinyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan,

produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Salah satu

fasilitas pelayanan sediaan farmasi adalah apotek, yang didefinisikan sebagai

sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker

(Presiden RI, 2009).

Berbagai perangkat hukum dan profesi telah tersedia, namun berbagai

sikap tidak profesional dari mayoritas apoteker membuat situasi dan kondisi

penyelenggaraan pelayanan kefarmasian menjadi tidak kondusif. Realitanya

bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia saat ini, dideskripsikan oleh para

pemerhati sebagai praktik yang tidak berpedoman pada perangkat hukum dan

profesi (Anonim, 2002a; Anonim, 2002b; Ahaditomo, 2002; Anonim, 2002c). Oleh


(35)

komunitas di Indonesia kembali berpedoman pada perangkat hukum dan profesi,

agar menghasilkan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Sesuai dengan pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

bahwa tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus

memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan

kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Dalam penelitian

ini yang dimaksud dengan standar praktik farmasi komunitas adalah standar untuk

pemenuhan berbagai ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan di atas.

Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar

untuk memastikan terlaksananya berbagai ketentuan dalam perangkat hukum dan

profesi, meliputi peran profesional apoteker, manajemen, dan sarana mengacu

pada peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku,

yaitu UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pemerintah RI, 2009), PP No. 51

tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009), Kepmenkes RI

No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menkes

RI, 2004), Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a), Good Pharmacy Practice

(WHO, 1996; FIP, 1997; FIP, 1998), serta mengacu pada hasil penelitian

Chisholm, dkk., (2006), dan penelitian Cordina, dkk., (2008). Secara skematis

proses penyusunan draf standar praktik farmasi komunitas dan perancangan

instrumen penilaian tingkat pemenuhannya ditunjukkan pada Gambar 1.1, dan

kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas


(36)

(37)

(38)

Untuk mempermudah dan menyederhanakan, proses penentuan kriteria

praktik dirancang menjadi sebuah model. Model terdiri dari instrumen penilaian

tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Instrumen

penilaian tingkat pemenuhan standar berupa kuesioner terdiri dari 2 atau 3 pilihan

deskripsi elemen-elemen standar dalam skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4.

Instrumen penentuan kriteria praktik merupakan instrumen pengolah data hasil

pengisian instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar, sehingga secara

otomatis menghasilkan keluaran berupa perolehan poin kumulatif, kriteria

akreditasi, kriteria praktik, kriteria aspek aktivitas standar, diagram jaring

laba-laba (spider web), dan tindak lanjut revitalisasi.

Melalui model penentuan kriteria praktik, penyelenggaraan praktik farmasi

komunitas akan terbagi menjadi beberapa kriteria praktik yang sekaligus dapat

digunakan sebagai dasar penentuan kriteria akreditasi apabila diperlukan. Dari

segi pembinaan dan pengawasan, praktik farmasi komunitas dengan kriteria

bawah standar akan mendapatkan pembinaan agar dapat ditingkatkan hingga

mencapai kriteria di atasnya, atau kalau tidak memungkinkan dapat dikenakan

sangsi penutupan sementara sampai dengan pencabutan izin/penutupan tetap.

Standar praktik farmasi komunitas dan model penentuan kriteria praktik

akan menjadi bagian dari rancangan model revitalisasi praktik farmasi komunitas,

menggunakan model Nolan (Langley, dkk., 1996) meliputi Plan, Do, Check,

Action (PDCA), dan Continuos Quality Improvement sesuai tahapan aspek

permasalahan yang menjadi sasaran revitalisasi. Secara skematis rancangan model


(39)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian di atas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah:

a. Apakah standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh

para apoteker komunitas di Indonesia sebagai pedoman untuk menjalankan

praktik farmasi komunitas, sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai

ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi.

b. Apakah model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan

sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di

Indonesia.

Gambar 1.3 Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas


(40)

c. Apakah model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai

instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur,

dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai

standar di Indonesia.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini

adalah:

a. Standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh apoteker

komunitas di Indonesia sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi,

sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan

perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi.

b. Model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan sebagai

instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di Indonesia.

c. Model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai

instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur,

dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai

standar di Indonesia.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian, tujuan penelitian

ini adalah:

a. Menghasilkan standar praktik farmasi komunitas yang dapat diterima oleh

apoteker komunitas sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi,

sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan


(41)

b. Menghasilkan sebuah model penentuan kriteria praktik yang dapat digunakan

sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di

Indonesia.

c. Menghasilkan sebuah model konseptual revitalisasi yang dapat digunakan

sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis,

terukur, dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas

sesuai standar di Indonesia.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah tersedianya sebuah model konseptual

revitalisasi yang dapat ditawarkan kepada institusi terkait sebagai instrumen

pembinaan dan pengawasan, untuk: (a) mewujudkan penyelenggaraan praktik

farmasi komunitas sesuai standar, yang dapat menghasilkan pelayanan

kefarmasian bermutu, aman, dan terjangkau, dan (b) mendorong dan memberikan

kemungkinan bagi apoteker penanggung jawab apotek untuk dapat menjalankan

tugas dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan


(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmasi Komunitas 2.1.1 Definisi.

Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk

kesehatan lainnya dijual atau disediakan langsung kepada masyarakat secara

eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa resep dokter (FIP, 1998). Di

Indonesia dikenal dengan nama Apotek, merupakan tempat menjual dan

kadang-kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel (Anonim, 2011a). Sejalan dengan perkembangan bidang kefarmasian, definisi apotek mengalami

beberapa kali perubahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 1965

yang dimaksud dengan apotek adalah tempat tertentu, di mana dilakukan

usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal 2 huruf e dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7

tahun 1963 tentang Farmasi (Presiden RI, 1965). Selanjutnya PP No. 26 tahun

1965 diubah melalui PP No. 25 tahun 1980 dan definisi apotek berubah menjadi

suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran

obat kepada masyarakat (Presiden RI, 1980). Terakhir dengan diterbitkannya PP

No. 51 tahun 2009 definisi apotek berubah menjadi sarana pelayanan kefarmasian


(43)

2.1.2 Praktik Farmasi Komunitas

Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu wujud pengabdian

profesi apoteker. Untuk penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi

komunitas, WHO dan FIP menerbitkan dokumen Cara Praktik Farmasi yang Baik

di Farmasi Komunitas dan Farmasi Rumah Sakit atau Good Pharmacy Practice

(GPP) In Community and Hospital Pharmacy Settings (WHO, 1996) dan Standar

Kualitas Pelayanan Kefarmasian atau Standard for Quality of Pharmacy Services

(FIP, 1997).

Dengan maksud yang sama, Indonesia menetapkan Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotik (Menkes RI, 2004) sebagai pedoman bagi para apoteker

dalam menjalankan profesi, dengan tujuan melindungi masyarakat dari pelayanan

yang tidak profesional. Penetapan standar pelayanan ini merupakan konsekuensi

perubahan fundamental dari pelayanan berorientasi produk ke pelayanan

berorientasi pasien yang mengacu pada filosofi asuhan kefarmasian

(pharmaceutical care), yaitu pelayanan komprehensif di mana apoteker

mengambil tanggung jawab mengoptimalkan terapi obat, untuk mencapai hasil

yang lebih baik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk.,

1998).

Asuhan kefarmasian didefinisikan pertamakali oleh Hepler dan Strand

(1990), melibatkan apoteker untuk memikul tanggung jawab atas hasil-hasil terapi

obat, di samping distribusi produk farmasi yang aman, akurat, dan efisien. Sebuah

komponen penting akibat pergeseran paradigma ini adalah peran profesional yang

terbarukan bagi para apoteker dalam proses pelayanan kepada pasien.

Paul Pierpaoli (1992), seorang pendidik dan praktisi farmasi menyatakan bahwa


(44)

sejati, menjadi advokat pasien yang bertanggung jawab penuh, memiliki

komitmen untuk mencapai hasil terapi yang optimal.

Sebagaimana layanan kesehatan modern yang mengharuskan apoteker

memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis tingkat lanjut, asuhan kefarmasian

membutuhkan pengembangan lebih lanjut karakteristik-karakteristik yang

membuat apoteker menjadi sebuah profesi, bukan sekadar sebuah pekerjaan

(Benner dan Beardsley, 2000). Ibnu Gholib Ganjar (2004), ketua Asosiasi

Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), berpendapat bahwa asuhan

kefarmasian adalah pola pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien,

merupakan ekspansi kebutuhan yang meningkat dan tuntutan pelayanan farmasi

yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan pasien.

Dengan ditetapankannya Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,

apoteker dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan komitmen.

Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk

melaksanakan interaksi langsung dengan pasien, melaksanakan pemberian

informasi, monitoring penggunaan obat agar tujuan akhirnya sesuai harapan, dan

mendokumentasikannya dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari

kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses

pelayanan, dan dituntut mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain

dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Maka

komitmen apoteker merupakan elemen penting dalam pelayanan kefarmasian agar

senantiasa menampilkan kinerja terbaik bagi kemanfaatan pasien yang dilayani

(FIP, 1997). Masyarakat dan profesi lain akan menilai bagaimana apoteker

mewujudkan komitmen ini ke dalam praktik. Lebih lanjut untuk mewujudkan


(45)

a. Perhatian utama apoteker adalah kebaikan/kesejahteraan pasien.

b. Inti kegiatan adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya dengan

kualitas terjamin, pemberian informasi dan saran yang tepat bagi pasien, dan

melakukan pemantauan dampak penggunaan obat.

c. Kontribusi peran apoteker adalah promosi peresepan yang rasional dan

ekonomis, serta penggunaan obat secara tepat.

d. Tujuan setiap elemen pelayanan kefarmasian harus relevan bagi setiap pasien,

terdefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua

pihak yang terlibat.

Ada beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk memenuhi keempat syarat tersebut:

a. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktik,

meskipun diakui bahwa faktor ekonomi juga penting.

b. Apoteker harus mempunyai peluang memberikan masukan untuk setiap

keputusan penggunaan obat-obatan, dan harus ada sistem yang memungkinkan

apoteker melaporkan kejadian buruk penggunaan obat, kesalahan pengobatan,

cacat dalam hal kualitas produk, atau diketemukannya produk palsu.

c. Hubungan berkelanjutan dengan profesional kesehatan lain khususnya dokter,

harus dipandang sebagai suatu kemitraan yang didasarkan atas rasa saling

percaya dan keyakinan dalam segala hal terkait farmakoterapi.

d. Hubungan antar apoteker harus dijalin sebagai hubungan kesejawatan untuk

meningkatkan pelayanan kefarmasian, bukan sebagai pesaing.

e. Praktisi apoteker dan manajer apotek harus berbagi tanggung jawab untuk

mendefinisikan, mengevaluasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan.

f. Apoteker harus menyadari pentingnya informasi medis dan pengobatan setiap


(46)

g. Apoteker membutuhkan informasi yang independen, komprehensif, obyektif

dan terkini tentang terapi dan obat-obatan yang digunakan.

h. Apoteker harus menerima tanggungjawab pribadi dalam setiap praktik, untuk

menjaga dan menilai kompetensi mereka sepanjang kehidupan profesionalnya.

i. Program pendidikan untuk memasuki dunia profesi harus sesuai, baik untuk

praktik kefarmasian masa kini maupun untuk kemungkinan perubahan di masa

mendatang.

j. Standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan harus dipatuhi oleh para

apoteker praktisi.

2.1.3 Apotek Sebagai Bisnis

Apoteker yang memiliki apotek sendiri atau manajer bisnis farmasi adalah

pelaku bisnis. Dengan demikian, mereka memiliki dua tujuan: (a) untuk pelayanan

kesehatan pasien, dan (b) menghasilkan keuntungan yang cukup untuk bertahan

dalam bisnis. Hal ini sama pentingnya bagi apoteker maupun pekerja farmasi

lainnya di apotek, harus memahami tujuan bisnis dan melakukan semua yang

mereka bisa untuk membantu membuat bisnis sukses (Kelly, 2002). Untuk

menyesuaikan pengaruh sosial dan pasar, apotek mempunyai kecenderungan

menciptakan berbagai model yang bersifat dinamis. Apotek telah lama dianggap

menjadi salah satu pilar masyarakat, mereka menyediakan pelayanan dengan jam

buka yang panjang, dengan apoteker selalu siap untuk mengatasi berbagai

masalah kesehatan masyarakat. Apotek dengan kepemilikan perseorangan

cenderung mengkhususkan diri dalam pelayanan kesehatan rumah, peracikan, dan

penyediaan peralatan medis. Selain itu, telah ada inisiatif untuk mengembangkan


(47)

dalam model praktik komunitas. Di samping apotek dengan kepemilikan

perseorangan, saat ini berkembang beberapa model apotek, seperti Apotek

Waralaba (Franchise) yang diperuntukkan bagi siapa saja yang mempunyai modal

tertentu untuk bergabung dalam manajemen waralaba tertentu. Selanjutnya

Apotek Jaringan dengan sepuluh gerai ritel atau lebih yang beroperasi di bawah

satu bendera perusahaan, dan Apotek Supermarket merupakan model kombinasi

farmasi dengan supermarket. Penawaran utama dari Apotek Supermarket adalah

kemudahan one-stop shopping bagi mayoritas konsumen yang membutuhkan

(Pisano, 2003).

2.1.4 Perkembangan Perizinan Apotek

Peraturan perundang-undangan yang pertama kali diterbitkan berkaitan

dengan apotek di Indonesia adalah UU No. 3 tentang Pembukaan Apotek pada

tahun 1953 (Pemerintah RI, 1953a). Bila sebelumnya apotek dibuka di mana saja

tanpa memerlukan izin dari pemerintah, sejak saat itu pemerintah dapat menutup

kota-kota tertentu untuk pendirian apotek baru apabila jumlahnya dianggap telah

mencukupi. Selanjutnya pada tahun yang sama terbit UU No. 4 tentang Apotek

Darurat (Pemerintah RI, 1953b) yang membenarkan seorang asisten apoteker

dengan masa pengalaman tertentu memimpin sebuah apotek. Hal ini sebagai

pengatasan masalah kurangnya tenaga apoteker untuk daerah-daerah yang belum

ada atau yang belum mencukupi jumlah apoteknya.

Sebagai pelaksanaan pasal 4 UU No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, pada

tahun 1965 diterbitkan PP No. 26 tentang Apotek (Presiden RI, 1965) yang

membatalkan semua PP sebelumnya tentang Apotek. Melalui PP No. 26 ini mulai


(48)

sebagai mata pencaharian, akan tetapi lebih sebagai sarana distribusi perbekalan

farmasi yang harus mendistribusikan obat kepada masyarakat kapan dibutuhkan

secara meluas dan merata.

Penampilan apotek selama kurun waktu 15 tahun di bawah PP No. 26

tahun 1965 pada kenyataannya lebih memberi peluang sebagai usaha dagang, dan

dinilai telah menyimpang dari tugas dan fungsi utamanya sebagai sarana

pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Aspek pelayanan kesehatan yang

dilakukan oleh apotek menjadi semakin kecil, apotek kembali tampil dengan

fungsi utama sebagai penjual obat kepada masyarakat, hubungan apotek dan

pasien cenderung bersifat relasi antara penjual dan pembeli. Eksistensi dan

peranan apoteker sebagai tenaga ahli profesional di apotek semakin kurang jelas,

sehingga apoteker tidak dapat mengembangkan tanggung jawab keahliannya

untuk kepentingan masyarakat luas. Maka pada tahun 1980 terbit PP No. 25

tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek (Presiden RI, 1980),

sebagai upaya profesionalisasi pelayanan obat kepada masyarakat dengan sasaran

utama peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui apotek. Perubahan

mendasar terjadi pada kedudukan dan cara pengelolaan apotek dari bentuk usaha

dagang menjadi tempat pengabdian profesi, yang lebih sesuai dengan fungsi

apotek, yaitu sebagai tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian,

pendistribusian, serta informasi perbekalan farmasi yang dibutuhkan masyarakat

oleh tenaga kefarmasian. Langkah nyata yang membekali seorang apoteker untuk

melaksanakan fungsi apotek tersebut adalah pengalihan izin apotek serta

pengelolaannya secara keseluruhan dari badan usaha kepada apoteker.

Pada tahun 1992 terbit UU No. 23 tentang Kesehatan (Pemerintah RI,


(49)

oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal

ini membawa konsekuensi diterbitkannya PP No. 51 tahun 2009 menggantikan PP

No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek dan

PP No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker. Melalui PP

No. 51 tahun 2009pekerjaan kefarmasian diatur dengan tujuan:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh

dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan

kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

serta peraturan perundangan-undangan; dan

c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga

kefarmasian.

2.2 Profesi 2.2.1 Definisi

Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan

terhadap suatu pengetahuan khusus. Sebuah profesi diidentifikasi melalui adanya

kemauan individual praktisinya untuk mematuhi etika dan standar profesional

melebihi persyaratan legal minimal (FIP, 2004). Suatu profesi biasanya memiliki

asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk

bidang profesi tersebut. Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu disebut

profesional. Profesi merupakan pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah

profesi (Anonim, 2011b). Dalam literatur lain dikatakan bahwa profesi adalah

sekelompok individu yang mematuhi standar etika dan mandiri, diterima oleh


(50)

khusus yang diperoleh melalui pembelajaran berasal dari penelitian, pendidikan,

dan pelatihan pada tingkat tinggi, yang digunakan bagi kemaslahatan orang lain

(Kelly, 2002).

2.2.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi

Apakah farmasi dianggap sebuah profesi perlu dilakukan analisis secara

mendalam. Berbagai literatur secara luas memperdebatkan sosiologi profesi, apa

sebenarnya profesi itu, atribut apa dari suatu pekerjaan yang umumnya diterima

sebagai pembeda sebuah profesi. Pertanyaan seperti mengapa beberapa pekerjaan

naik ke status profesi sedangkan yang lain tidak adalah teka-teki sosiologis yang

membutuhkan penjelasan. Sejak Parsons (1939), menerbitkan makalahnya

berjudul Profesi dan Struktur Sosial, banyak teori telah dipostulasikan. Sampai

tahun 1970-an, kebanyakan penulis mencoba untuk menjelaskan profesi sebagai

posisi unik dalam masyarakat dengan cara memberikan definisi. Mereka mencoba

mengidentifikasi atau mendefinisikan karakteristik dari suatu pekerjaan yang

khusus atau khas dengan status profesional. Ini mengakibatkan berkembangnya

atribut profesi, yang di antaranya dikemukakan oleh Goode (1960) yaitu 10 atribut

ideal sebagai ciri yang paling sering dikutip sebagai berikut:

a. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan dan pelatihan.

b. Mahasiswa profesional mengalami proses pelatihan ekstensif dan sosialisasi.

c. Praktik profesional diakui secara legal dalam bentuk lisensi.

d. Pemberian lisensi dan proses masuk sebagai profesional diatur oleh anggota

profesi.


(51)

f. Profesi memiliki pendapatan, kekuatan, dan status yang tinggi, dan dapat

menuntut pendatang baru berkemampuan lebih tinggi.

g. Profesional relatif bebas dari evaluasi secara awam.

h. Norma-norma praktik ditegakkan oleh profesi seringkali lebih ketat daripada

kontrol hukum.

i. Anggota profesi memiliki rasa identifikasi dan afiliasi yang kuat dengan

kelompok kerja mereka.

j. Sebuah profesi menjadi pekerjaan seumur hidup.

Menurut Benner dan Beardsley (2000), profesi adalah sebuah pekerjaan

yang memiliki 10 karakteristik sebagai berikut:

a. Pelatihan terspesialisasi yang lama dalam sebuah badan ilmu pengetahuan.

b. Berorientasi pelayanan.

c. Sebuah ideologi yang didasarkan atas keyakinan orisinil yang dianut oleh para

anggotanya.

d. Sebuah etika yang mengikat para praktisinya.

e. Sebuah badan ilmu pengetahuan yang unik bagi para anggotanya.

f. Seperangkat kepiawaian yang membentuk teknik profesi.

g. Sebuah serikat dari mereka yang berhak mempraktikkan profesi tersebut.

h. Kewenangan yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk lisensi dan

sertifikasi.

i. Pengaturan yang diakui ketika profesi dipraktikkan.

j. Berupa teori tentang manfaat sosial yang bersumber dari ideologi.

Seorang profesional adalah seorang anggota profesi yang menampilkan 10

karakteristik sebagai berikut (Benner and Beardsley, 2000; Chisholm, dkk., 2006;


(52)

a. Pengetahuan dan keterampilan dari sebuah profesi.

b. Komitmen untuk memperbaiki diri dalam pengetahuan dan keterampilan.

c. Orientasi pelayanan.

d. Kebanggaan profesi.

e. Hubungan yang terikat perjanjian dengan klien.

f. Kreativitas dan inovasi.

g. Hati nurani dan keterpercayaan.

h. Akuntabilitas atas karyanya.

i. Pengambilan keputusan mendalam yang etis.

j. Kepemimpinan.

Beberapa sosiolog menyatakan bahwa profesi tertentu telah mencapai

statusnya, karena profesi tersebut melakukan fungsi-fungsi penting untuk kerja

masyarakat industri modern. Sosiolog melihat hal tersebut sebagai penjelasan

struktural-fungsional. Pandangan struktural-fungsional masyarakat analog dengan

organ ketika semua bagian organ berfungsi menjamin kesejahteraan organ itu.

Analogi ini dapat diibaratkan dengan sistem fisiologis tubuh manusia. Semua

lembaga sosial menggunakannya, jika tidak, mereka akan berhenti memiliki

fungsi dan dengan cepat akan menghilang.

Masyarakat industri yang kompleks membutuhkan pengetahuan pakar, dan

profesi melaksanakan fungsi menerapkan keahlian mereka untuk kepentingan

masyarakat. Pendekatan baik sifat maupun fungsional telah dikalahkan oleh

analisis yang lebih kritis dan realistis, profesi dapat dikatakan memiliki


(53)

2.2.3 Karakteristik Inti Profesi

Karakteristik inti semua profesi telah diidentifikasi sebagai berikut

(Taylor, dkk.,2003):

a. Memiliki pengetahuan dan pelatihan khusus. Untuk dapat diterima dalam

profesi, seseorang harus menjalani masa pelatihan tingkat tinggi, sangat khusus

dan jangka waktu tertentu, hingga memahami dan siap praktik dalam

pengabdian profesi. Karena itu praktik profesional memiliki keahlian yang

tidak mudah diakses semua orang. Dalam banyak hal pengetahuan khusus

profesional tidak dimiliki oleh konsumen yang dilayanai, akibatnya mereka

bergantung pada layanan profesional.

b. Berorientasi pelayanan. Profesional harus bekerja untuk kepentingan pasien

mereka, dan tidak berniat mengejar kepentingan diri mereka sendiri.

Karakteristik ini sangat penting karena sebuah profesi memiliki karakteristik

lain yaitu monopoli praktik di bidang mereka. Dalam bidang kefarmasian,

dikenal dan ditanamkan pengertian pelayanan berupa konsep terstruktur,

lengkap dengan panduan pelaksanaan operasionalnya, sehingga ditetapkan

sebagai standar profesional (professional standard) oleh asosiasi apoteker

internasional (FIP) yang disebut sebagai Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical

Care).

c. Monopoli praktik. Monopoli ini diberikan oleh undang-undang dan dijamin

oleh negara, dengan kata lain adalah ilegal untuk seseorang selain anggota

profesi melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan, misalnya adalah ilegal bagi

siapapun selain seorang ahli bedah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan

transplantasi jantung. Praktik profesi bersifat otonom dan tidak tergantikan


(54)

dan diputuskan benar/salah oleh profesi itu sendiri (esoterik). Dalam bidang

kefarmasian di Indonesia, hal tersebut telah diatur dalam PP No. 51 tahun

2009.

d. Mempunyai regulasi sendiri. Selain pembatasan praktik, profesi memonitor

atau menjadi polisi bagi dirinya sendiri. Friedson (1970), berpendapat bahwa

sebuah profesi berbeda dari pekerjaan lain, karena diberi hak untuk

mengendalikan pekerjaannya sendiri. Sebuah profesi mengatur sistem

pelatihan, memutuskan siapa yang memenuhi syarat untuk memasuki profesi,

dan menilai siapa yang kompeten untuk berpraktik dalam profesi itu. Artinya,

mereka mengatur dirinya sendiri. Seorang profesional harus memelihara

derajat keterampilan dan pengetahuannya terkait dengan kegiatan

profesionalnya, berarti seseorang yang bukan profesional tidak dibenarkan

mengevaluasi atau mengatur kegiatan profesi. Jika para profesional tidak

melakukan secara kompeten atau secara etis, mereka membentuk badan

pengawas profesional. Dalam kasus farmasi, Royal Pharmaceutical Society of

Great Britain (RPSGB) adalah untuk Inggris dan Ikatan Apoteker Indonesia

(IAI) untuk Indonesia. Dalam bidang kefarmasian, profesi apoteker tercantum

dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No. 51 tahun 2009

tentang pekerjaan kefarmasian, dan memiliki kode etik apoteker yang diakui

negara.

Kelly (2002), berpendapat bahwa ada tiga karakteristik umum dan dikenal

luas untuk sebuah profesi yaitu studi dan pelatihan, ukuran keberhasilan, dan

asosiasi. Studi dan pelatihan yang diberikan oleh perguruan tinggi dengan

pengetahuan dan keterampilan khusus untuk mempraktikkan profesi. Selain itu,


(55)

harus menerima tugas dan tanggung jawab menjadi seorang profesional. Sebelum

diperbolehkan untuk praktik profesi, mahasiswa profesional harus diuji secara

komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa mahasiswa

sebagai calon profesional tersebut memenuhi persyaratan minimum untuk praktik

profesi. Apoteker harus melalui pendidikan di perguruan tinggi dan kemudian

harus mengikuti pelatihan magang selama 1.000-2.000 jam sebelum memenuhi

syarat untuk mengambil lisensi praktik profesional.

Keberhasilan profesi didasarkan pada layanan terhadap kebutuhan pasien,

dan untuk itu biasanya profesional menerima imbalan. Imbalan untuk seorang

profesional sejati adalah apabila mereka menyediakan dan melaksanakan

pelayanan kepada pasien. Fokus praktik seorang apoteker adalah kepada pasien

dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Konseling dan pemberian nasehat-nasehat

kepada pasien tanpa kompensasi finansial telah menjadi bagian dari praktik

farmasi sejak awal. Menjadi anggota profesi berarti bekerja sama dengan sesama

anggota dan anggota profesi lain. Masing-masing anggota bekerja,

mengembangkan atau meningkatkan standar profesi, dan menghadiri berbagai sesi

pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi farmasi atau

organisasi profesi untuk meningkatkan keterampilan mereka. Apoteker memiliki

organisasi profesi baik tingkat lokal, nasional, dan tingkat internasional. Berbagi

informasi satu sama lain adalah salah satu kekuatan dari profesi farmasi.

2.2.4 Misi Profesi Farmasi

Misi profesi farmasi secara ringkas adalah membantu pasien menggunakan

obat dengan cara terbaik. Secara sederhana, ini adalah dasar dari pelayanan


(56)

Agar dilakukan secara efektif dan aman, apoteker harus memelihara dan terus

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesional mereka sepanjang karir.

Profesional kesehatan harus terus belajar hal-hal yang baru, sementara pendidikan

berbasis kompetensi mempersiapkan seorang apoteker untuk memasuki praktik.

Tidak ada program profesional yang dapat menyediakan atau mengembangkan

semua pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan yang dibutuhkan

apoteker. Hal ini membutuhkan kombinasi pendidikan sebelum praktik, pelatihan

dalam praktik, pengalaman kerja, dan belajar seumur hidup. Bagi seorang

profesional, pendidikan merupakan sesuatu yang berkelanjutan (Anonim, 2004).

Sebagai ahli obat-obatan, apoteker memiliki peran penting untuk

diaktualisasikan. Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan, apoteker dapat

meningkatkan akses masyarakat terhadap berbagai aspek pelayanan primer,

meningkatkan keselamatan penggunaan obat, dan meningkatkan kerasionalan

penggunaan obat.

Menurut gugus tugas cetak biru (blue print) untuk farmasi, visi profesi

farmasi adalah luaran farmakoterapi yang optimal melalui pusat pelayanan

kesehatan, untuk mewujudkannya diperlukan 5 area tindakan strategis (Hill, dkk.,

2008):

a. Sumber daya manusia Farmasi.

b. Pendidikan dan pengembangan profesional berkelanjutan.

c. Teknologi informasi dan komunikasi.

d. Kelangsungan dan keberlanjutan keuangan.


(1)

pendapatnya tentang standar praktik dan aspek aktivitas standar

(Sambungan)

Mann-Whitney Test

Test Statisticsa

pendapat thd

profesionalis-me

pendapat thd manajerial

pendapat thd asuhan kefarmasian

pendapat thd dispensing

pendapat thd yankesmas

pendapat thd std praktik

Mann-Whitney U 15659.000 15460.500 14331.500 14490.500 15784.500 14762.000 Wilcoxon W 27749.000 27550.500 26421.500 26580.500 27719.500 26852.000

Z -1.489 -1.679 -2.785 -2.624 -1.342 -2.347

Asymp. Sig. (2-tailed) .137 .093 .005 .009 .180 .019

a. Grouping Variable: frekuensi kehadiran

Mann-Whitney Test

Test Statisticsa

pendapat thd

profesionalis-me

pendapat thd manajerial

pendapat thd asuhan kefarmasian

pendapat thd dispensing

pendapat thd yankesmas

pendapat thd std praktik Mann-Whitney U 16521.500 16471.500 15990.500 16284.500 16693.000 16900.500 Wilcoxon W 31227.500 31177.500 35691.500 35985.500 31228.000 31606.500

Z -.400 -.449 -.927 -.635 -.143 -.028

Asymp. Sig. (2-tailed) .689 .654 .354 .526 .886 .978


(2)

Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas

Mann-Whitney Test

Ranks

Jenis kelamin N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

Perempuan 53 49.94 2647.00

Laki-laki 50 54.18 2709.00

Total 103

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 1216.000

Wilcoxon W 2647.000

Z -.760

Asymp. Sig. (2-tailed) .447

a. Grouping Variable: Jenis kelamin

Mann-Whitney Test

Ranks

Perguruan

Tinggi N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

negeri 76 43.42 3300.00

swasta 13 54.23 705.00

Total 89

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 374.000

Wilcoxon W 3300.000

Z -1.473

Asymp. Sig. (2-tailed) .141


(3)

Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas (Sambungan).

Mann-Whitney Test

Ranks

pengalaman

menjadi APA N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

=<5 tahun 58 50.85 2949.50

>5 tahun 39 46.24 1803.50

Total 97

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 1023.500

Wilcoxon W 1803.500

Z -.834

Asymp. Sig. (2-tailed) .404

a. Grouping Variable: pengalaman menjadi APA

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Pekerjaan lain selain APA N Mean Rank

kriteria tingkat pemenuhan standar

POM 3 48.17

Kemenkes 9 35.78

RS-Puskesmas 11 46.82

Dosen PTF 22 35.23

Lain-lain 10 35.25

Tidak ada 14 21.86

Total 69

Test Statisticsa,b

kriteria tingkat pemenuhan standar

Chi-Square 12.249

df 5

Asymp. Sig. .032

a. Kruskal Wallis Test


(4)

Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas (Sambungan).

Mann-Whitney Test

Ranks

Ada tidaknya

pekerjaan lain N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

Tidak Ada 14 21.86 306.00

Ada 55 38.35 2109.00

Total 69

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 201.000

Wilcoxon W 306.000

Z -2.880

Asymp. Sig. (2-tailed) .004

a. Grouping Variable: Ada tidaknya pekerjaan lain

Mann-Whitney Test

Ranks

Kehadiran di

apotek N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

tiap hari 62 36.51 2263.50

tidak tiap hari 38 73.33 2786.50

Total 100

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 310.500

Wilcoxon W 2263.500

Z -6.534

Asymp. Sig. (2-tailed) .000


(5)

terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas (Sambungan).

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Imbalan per bulan N Mean Rank

kriteria tingkat pemenuhan standar

=<2.000.000 50 53.23

>2.000.000-3000000 25 34.64

>3000000-5000000 12 31.50

>5000000 1 10.50

Total 88

Test Statisticsa,b

kriteria tingkat pemenuhan standar

Chi-Square 15.935

df 3

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Imbalan per bulan

Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas (Sambungan)

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Kepemilikan Apotek N Mean Rank

kriteria tingkat pemenuhan standar

Milik sendiri 21 31.26

BUMN 9 32.83

Perusahaan swasta 13 40.81

Perorangan 55 61.25

Total 98

Test Statisticsa,b

kriteria tingkat pemenuhan standar

Chi-Square 24.820

df 3

Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test


(6)

Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengaruh karakteritik responden terhadap tingkat pemenuhan standar praktik farmasi komunitas (Sambungan).

Mann-Whitney Test

Ranks

lokasi apotek N Mean Rank Sum of Ranks

kriteria tingkat pemenuhan standar

pulau jawa 49 46.43 2275.00

luar pulau jawa

54 57.06 3081.00

Total 103

Test Statisticsa

kriteria tingkat pemenuhan standar

Mann-Whitney U 1050.000

Wilcoxon W 2275.000

Z -1.904

Asymp. Sig. (2-tailed) .057

a. Grouping Variable: lokasi apotek

Kruskal-Wallis Test

Ranks

rerata omset per hari N Mean Rank

kriteria tingkat pemenuhan standar

=<2.000.000 40 56.18

>2.000.000-3000000 12 49.50

>3000000-5000000 20 51.35

>5000000 28 42.21

Total 100

Test Statisticsa,b

kriteria tingkat pemenuhan standar

Chi-Square 4.326

df 3

Asymp. Sig. .228

a. Kruskal Wallis Test