Perspektif pembangunan agroindustri pangan di propinsi Jambi suatu model kajian strategi industrialisasi pertanian melalui dukungan kawasan sentra produksi

(1)

P

ERSPEKTIF

P

EMBANGUNAN

A

GROINDUSTRI

P

ANGAN

DI

P

ROPINSI

J

AMBI:

S

UATU

M

ODEL

K

AJIAN

S

TRATEGI

I

NDUSTRIALISASI

P

ERTANIAN

M

ELALUI

D

UKUNGAN

K

AWASAN

S

ENTRA

P

RODUKSI

S

AHRIAL

S

EKOLAH

P

ASCASARJANA

I

NSTITUT

P

ERTANIAN

B

OGOR

B

OGOR


(2)

ABSTRAK

SAHRIAL. Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi : Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi. Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS sebagai Ketua Komisi, serta H.R.M. AMAN WIRAKARTAKUSUMAH dan H. ADIL BASUKI AHZA sebagai Anggota Komisi.

Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis strategi industrialisasi pertanian berbasis sistem dengan dukungan kawasan sentra produksi di Propinsi Jambi. Pe-nelitian dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis struk-tural dengan menggunakan survei pakar berdasarkan metode Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement (MIC-MAC). Dari hasil ana-lisis berhasil diidentifikasi 44 parameter yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri pangan, dimana 6 parameter (karakteristik usaha, ja-ringan usaha, teknologi, infrastuktur, penyelenggaraan pemerintahan, dan sosial ekonomi) merupakan parameter eksplikatif. Pada tahap kedua dilakukan analisis prospektif dengan menggunakan skenario eksploratif berdasarkan metode Sys-tèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC). Hasil dari analisis prospektif meng-indikasikan agroindustri pangan memiliki keunggulan kompetitif untuk meme-nangkan persaingan di pasar global. Selanjutnya, pada tahap ketiga, dilakukan sin-tesis strategi pembangunan agroindustri pangan berbasis sistem. Strategi ini disin-tesis dalam bentuk skenario normatif berdasarkan metode SMIC. Skenario norma-tif memuat strategi yang diperlukan agar pembangunan agroindustri pangan dapat berkembang sampai tahap innovation-driven pada waktu yang ditentukan. Skena-rio terdiri dari dua bagian, yaitu : (1) skenaSkena-rio pembangunan sub-sistem usahatani yang disintesis berdasarkan 4 peubah kunci keberhasilan pembangunan sub-sistem usahatani yang terdiri dari pewilayahan sentra produksi, infrastruktur wilayah, mutu kebijakan pembangunan dan mutu penyelengara pemerintahan, serta (2) skenario pembangunan sub-sistem usaha pengolahan yang disintesis berdasarkan 4 peubah kunci keberhasilan pembangunan sub-sistem usaha pengolahan yang terdiri dari status technoware, status humanware, kerjasama teknologi dan ja-ringan kemitraan.


(3)

ABSTRACT

SAHRIAL. The Perspective of Food Agroindustrial Development in Jambi Pro-vince: A Model Study of the Strategy for Agroindustrial Development through Agriculture Zone Supports. Under the direction of H. MUSA HUBEIS as leader, H.R.M. AMAN WIRAKARTAKUSUMAH and H. ADIL BASUKI AHZA as members.

The objective of this study was to synthesize the strategy for food agro-industrial development through agriculture zone supports in Jambi Province. This study was conducted in three steps, i.e. structural analysis, prospects analysis, and strategy synthesis. Structural analysis was carried out based on expert survey using Matrice d’Impacts Croisés - Multiplication Appliquee à un Classement

(MIC-MAC) method. The results of structural analysis indicated 44 parameters affected the prospects of food agroindustrial development with 6 explicative para-meters, namely: characteristic of business, business networking, and technology as well as quality of governance, infrastructure, economic and social condition. The second step, prospects analysis was carried out based on explorative scenario using Systèmes et Matrices d’Impacts Croisés (SMIC) method. The result of pros-pects analysis forecasted that in the era of free trade, the development of food agroindustrial is in innovation driven stage. In this stage, the prospects of food agroindustry to win on global competition would be high. The results of structural analysis and prospect analysis were then synthesized to the strategy for food agro-industrial development based on normative scenario using SMIC method. The normative scenario contents the strategic scenarios for developing food agro-industry into innovation driven stage. The strategic scenarios consist of the scenario of on-farm agribusiness development and the scenario of down-stream agribusiness development. The scenario of on-farm agribusiness development was synthesis based on 4 key variables, namely: agriculture zone, infrastructure, quality of development policy, and quality of governance. The scenario of down-stream agribusiness development was synthesis based on 4 key variables, namely: status of technoware, status of humanware, technology networking, and business networking.


(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi : Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui

Dukungan Kawasan Sentra Produksi

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri di bawah arahan Komisi Pembimbing yang terdiri dari :

1. Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA (Ketua) 2. Prof. Dr. Ir. H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc. (Anggota) 3. Dr. Ir. H. Adil Basuki Ahza, MS (Anggota)

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Disertasi ini belum pernah digunakan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Bogor, Juni 2005

Sahrial


(5)

P

ERSPEKTIF

P

EMBANGUNAN

A

GROINDUSTRI

P

ANGAN

DI

P

ROPINSI

J

AMBI:

S

UATU

M

ODEL

K

AJIAN

S

TRATEGI

I

NDUSTRIALISASI

P

ERTANIAN

M

ELALUI

D

UKUNGAN

K

AWASAN

S

ENTRA

P

RODUKSI

S

AHRIAL

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

S

EKOLAH

P

ASCASARJANA

I

NSTITUT

P

ERTANIAN

B

OGOR

B

OGOR


(6)

Judul Disertasi : Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi

Nama : Sahrial NRP : 995191 Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing., DEA Ketua

Prof.Dr.Ir.H.R.M.AmanWirakartakusumah, M.Sc. Dr.Ir.H. Adil Basuki Ahza, MS Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr.Ir. Hj. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Tanggal Ujian : 18 Maret 2005 Tanggal Lulus :


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Riau pada tanggal 3 Nopember 1966 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan H. Abdul Hafids Sulaiman (almarhum) dan Hj. Sudartini Darmosoewito (almarhumah). Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Teknologi Pascapanen pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dilanjutkan dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun beasiswa pendidikan doktor diperoleh dari Proyek DUE Universitas Jambi.

Penulis bekerja pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi sejak tahun 1992. Menikah dengan Wiwit Rezeki dan dikaruniai satu orang putri bernama Pravijanti Sari Nastiti (almarhumah).


(8)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Perspektif Pembangunan Agroindustri Pangan di Propinsi Jambi: Suatu Model Kajian Strategi Industrialisasi Pertanian Melalui Dukungan Kawasan Sentra Produksi”. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang se-dalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing., DEA, Prof. Dr. Ir. H.R.M. Aman Wirakartakusumah, M.Sc. dan Dr. Ir. H. Adil Basuki Ahza, MS atas bimbingan yang diberikan sejak perencana-an penelitiperencana-an sampai pada penyusunperencana-an disertasi ini. Rasa terima kasih juga penu-lis sampaikan kepada para responden yang telah menyediakan waktu untuk mem-berikan informasi, data dan bahan, serta diskusi-diskusi untuk kepentingan penyu-sunan disertasi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Akhir kata, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2005 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Kawasan Sentra Produksi ... 8

Strategi Industrialisasi Pertanian di Indonesia ... 12

Peran Agroindustri Pangan dalam Pembangunan KSP ... 29

Peran Agroindustri Pangan dalam Pembangunan Ekonomi di Propinsi Jambi ... 33

Landasan Teori ... 38

Hasil Penelitian Terdahulu ... 56

METODE PENELITIAN ... 58

Kerangka Berpikir ... 58

Waktu dan Tempat Penelitian ... 61

Tatalaksana Penelitian ... 61

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

Analisis Situasional ... 74

Diagnosis Agroindustri Pangan Komoditas Pertanian Unggulan di Propinsi Jambi ... 109

Analisis Struktural ... 121

Analisis Prospektif ... 130

Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan ... 149

Strategi Pembangunan Agroindustri Pangan pada Tingkat Perusahaan .. 160

Pembahasan ... 167

KESIMPULAN DAN SARAN ... 186


(10)

Saran ... 187

Rekomendasi ... 187

DAFTAR PUSTAKA ... 189


(11)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Distribusi PDB Indonesia berdasarkan sektor pada tahun 1991-2002 .... 18

2. Distribusi PDB Indonesia pada tahun 1997-2002 ... 19

3. Distribusi PDB Sektor Pertanian pada tahun 1997 - 2002 ... 19

4. Distribusi PDB Sektor Industri pada tahun 1997 - 2002 ... 20

5. Klasifikasi agroindustri berdasarkan derajat pengolahan bahan baku .... 29

6. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1969-2001 ... 35

7. Distribusi persentase PDRB Propinsi Jambi menurut sektor industri pada tahun 1997-2001 ... 35

8. Ciri peramalan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif ... 41

9. Tingkat pengenalan dan kepuasan terhadap peramalan dengan metode kuantitatif dan kualitatif ... 41

10. Tahapan penelitian, aktivitas dan metode yang digunakan ... 59

11. Indikator daya tarik agroindustri pangan ... 67

12. Indikator kekuatan bisnis perusahaan agroindustri pangan ... 68

13. Tahapan proses analisis struktural menurut metode MIC-MAC ... 69

14. Pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi ... 75

15. Luas dan proporsi kemiringan lahan wilayah pengembangan KSP ... 77

16. Ketinggian tempat wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 78

17. Jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 78

18. Tipe iklim pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 79

19. Zonasi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 80

20. Kesesuaian agroekologi wilayah pengembangan komoditas pertanian ... 82

21. Jenis tanaman potensial, wilayah pengembangan dan produktivitas pada tahun 1998-2002 ... 83

22. Indeks LQ pendapatan komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi ... 85

23. Indeks LQ tenaga kerja komoditas pertanian yang menjadi basis ekonomi dan wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi ... 85

24. Hasil analisis daya saing komoditas pertanian unggulan dan wilayah pengembangan KSP Makro di propinsi Jambi ... 86


(12)

No. Teks Halaman 26. Perkembangan jumlah perusahaan industri dan penyerapan tenaga kerja

sektor industri di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 102

27. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa dengan kapasitas produksi industri CCO ... 106

28. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CCO dengan industri minyak goreng kelapa ... 106

29. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara produksi kelapa sawit dengan kapasitas produksi industri CPO dan PKO... 108

30. Koefisien korelasi-jenjang Spearman antara industri CPO dengan industri minyak goreng kelapa sawit ... 108

31. Pertumbuhan pasar ekspor produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit 111

32. Pertumbuhan pasar domestik produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit ... 112

33. Volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2002 ... 113

34. Prakiraan volume dan pangsa ekspor CCO, CPO dan PKO Indonesia pada tahun 2007 ... 113

35. Pertumbuhan pangsa pasar produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit 114

36. Perkembangan mutu produk agroindustri kelapa dan kelapa sawit ... 115

37. Perkembangan produk turunan agroindustri kelapa dan kelapa sawit .... 115

38. Perkembangan teknologi proses agroindustri kelapa dan kelapa sawit .. 116

39. Perkembangan daya tarik agroindustri kelapa dan kelapa sawit ... 117

40. Posisi bersaing perusahaan industri CCO di Propinsi Jambi ... 118

41. Posisi bersaing perusahaan industri CPO di Propinsi Jambi ... 119

42. Daftar parameter sistem pembangunan agroindustri pangan ... 122

43. Karakteristik parameter sistem ... 124

44. Parameter masukan sistem pembangunan pangan ... 125

45. Parameter pengendali sistem pembangunan agroindustri pangan ... 126

46. Parameter luaran sistem pembangunan agroindustri pangan ... 127

47. Daftar kejadian hipotetis ... 131

48. Tahap evolusi karakteristik usahatani kelapa dan kelapa sawit ... 132

49. Tahap evolusi karakteristik perusahaan pengolahan ... 134

50. Tahap evolusi kemitraan agroindustri kelapa dan kelapa sawit ... 135


(13)

No. Teks Halaman

52. Tahap evolusi status technoware ... 137

53. Tahap evolusi status humanware ... 138

54. Tahap evolusi pewilayahan sentra produksi ... 140

55. Tahap evolusi penyelenggaraan pemerintahan ... 141

56. Tahap evolusi sosial ekonomi masyarakat ... 142

57. Peluang bersyarat proses evolusi sistem pembangunan agroindustri pangan ... 146

58. Daftar peubah kunci keberhasilan pembangunan agroindustri pangan beserta kriteria pengukuran/penilaian ... 151

59. Tahap perkembangan usahatani kelapa ... 153

60. Skenario perkembangan usahatani kelapa ... 154

61. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa ... 155

62. Skenario perkembangan perusahaan pengolahan kelapa ... 156

63. Tahap perkembangan usahatani kelapa sawit ... 157

64. Tahap perkembangan perusahaan pengolahan kelapa sawit ... 159

65. Posisi strategis dan spesifik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa kelapa sawit di Propinsi Jambi ... 160

66. Ragam strategi penyehatan usaha ... 161

67. Ragam strategi memperpanjang usaha ... 162

68. Ragam strategi mengundurkan diri ... 162

69. Ragam strategi divestasi ... 163

70. Ragam strategi mengejar posisi bersaing ... 163

71. Ragam strategi mempertahankan posisi bersaing ... 164

72. Ragam strategi menemukan ceruk pasar ... 165

73. Ragam strategi eksploitasi ceruk pasar ... 166

74. Perkembangan pasar ekspor CCO dunia ... 170

75. Perbandingan luas areal dan produksi kelapa, produksi dan ekspor CCO antara Indonesia, Filipina dan India pada tahun 2000 ... 171

76. Kandungan asam lemak beberapa jenis minyak nabati ... 172

77. Estimasi kapasitas produksi dunia untuk kokokimia dasar ... 174

78. Luas areal perkebunan dan kapasita PKS berdasarkan pola pengembang- an perkebunan di Propinsi Jambi pada tahun 2002 ... 181


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Keterkaitan antar sub-sistem dalam sistem agribisnis ... 23

2. Proses industrialisasi pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis di tingkat pedesaan ... 28

3. Proses pembangunan agroindustri berkelanjutan ... 30

4. Jalur perubahan ... 39

5. Keterkaitan antar metode berdasarkan tahapan penelitian ... 43

6. Teknik diagnosis menurut Metode PRECOM ... 45

7. Bagan Motor-Respons menurut Metode MIC-MAC ... 48

8. Tahapan kerja metode MIC-MAC ... 50

9. Metode penyusunan skenario ... 53

10. Kerangka berpikir konseptual penelitian ... 58

11. Diagram alir operasional penelitian ... 60

12. Proses sintesis skenario eksploratif ... 71

13. Proses sintesis skenario normatif ... 72

14. Peta pembagian wilayah pengembangan KSP Makro di Propinsi Jambi . 75 15. Topografi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 76

16. Ketinggian tempat wilayah pengembagan KSP di Propinsi Jambi ... 77

17. Penyebaran iklim di wilayah pengembangan KSP ... 79

18. Peta KSP komoditas pertanian unggulan ... 87

19. Distribusi persentase sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Pro- pinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 88

20. Laju pertumbuhan sektor pertanian propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 89 21. Jumlah dan pesentase penyerapan tenaga kerja di sub-sektor perkebunan di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 89

22. Peta KSP karet di Propinsi Jambi ... 91

23. Perkembangan jumlah tanaman karet pada tahap awal budidaya di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1907-1912 ... 91

24. Perkembangan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 92

25. Laju pertumbuhan luas areal tanaman karet di sentra produksi karet Pro- pinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 92


(15)

No. Teks Halaman 26. Perkembangan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi Jambi

tahun 1998-2002 ... 92 27. Laju pertumbuhan produksi karet di sentra produksi karet Propinsi

Jambi pada tahun 1998-2002

93

28. Perkembangan luas areal perkebunan karet berdasarkan pola pengusaha- an di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 93 29. Peta KSP kelapa di Propinsi Jambi ... 94 30. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi Propinsi

Jambi pada tahun 1998-2002 94

31. Perkembangan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 95 32. Laju pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa di sentra produksi

kelapa Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 95 33. Laju pertumbuhan produksi kelapa di sentra produksi kelapa Propinsi

Jambi pada tahun 1998-2002 96

34. Laju pertumbuhan luas areal dan produksi kelapa di Indonesia pada tahun 1998-2002 96

35. Peta KSP kelapa sawit di Propinsi Jambi ... 97 36. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi

berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 ... 97 37. Perkembangan produksi perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi

berdasarkan pola pengembangannya pada tahun 1998-2002 ... 98 38. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di sentra produksi

Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 98 39. Perkembangan produksi kelapa sawit di kawasan sentra produksi Propin-

si Jambi pada tahun 1998-2002 ... 98 40. Peta KSP kayu manis di Propinsi Jambi ... 99 41. Perkembangan luas areal perkebunan kayu manis pada kawasan sentra

produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 100 42. Perkembangan produksi kayu manis dari kawasan sentra produksi Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 100 43. Perkembangan industri dan penyerapan tenaga kerja industri di Propinsi Jambi pada tahun 1988-2002 ... 101 44. Kontribusi sektor industri terhadap PDRB Propinsi Jambi pada tahun

1993-2002 ... 102 45. Perkembangan jumlah perusahaan industri berdasarkan kelompok


(16)

No. Teks Halaman 46. Perkembangan jumlah perusahaan sub-sektor industri makanan dan

minuman di propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 104

47. Perkembangan jumlah perusahaan golongan agroindustri pangan skala besar/sedang di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 105

48. Perkembangan jumlah perusahaan industri CCO, CPO dan PKO di Propinsi Jambi pada tahun 1998-2002 ... 105

49. Pasar ekspor CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993-2002 ... 111

50. Pasar domestik CCO, CPO dan PKO pada tahun 1993-2002 ... 112

51. Matrik McKinsey-Ansoff posisi strategis perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi ... 120

52. Diagram motor-respon sistem pembangunan agroindustri pangan ... 123

53. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri pangan ... 126

54. Diagram masukan-luaran sistem pembangunan agroindustri pangan ... 129

55. Tahap evolusi karakteristik usahatani ... 133

56. Tahap evolusi karakteristik perusahaan pengolahan... 134

57. Tahap evolusi jaringan kemitraan ... 135

58. Tahap evolusi kerjasama teknologi ... 136

59. Tahap evolusi status technoware ... 137

60. Tahap evolusi status humanware ... 138

61. Tahap evolusi infrastruktur wilayah ... 139

62. Tahap evolusi penyelenggaraan pemerintahan ... 141

63. Tahap evolusi keadaan sosial ekonomi ... 142

64. Model struktural kejadian hipotetis ... 144

65. Jalur pertama evolusi karakteristik usahatani ... 147

66. Jalur kedua evolusi karakteristik perusahaan pengolahan ... 148

67. Jalur ketiga evolusi karakteristik perusahaan pengolahan ... 148

68. Model struktural skenario pembangunan agroindustri pangan ... 152

69. Model struktural pengendalian sistem pembangunan agroindustri kelapa sawit ... 158

70. Perkembangan harga CCO dan PKO pada tahun 2002 ... 173


(17)

No. Teks Halaman 72. Perkembangan produksi TBS dan kapasitas produksi PKS di Propinsi

Jambi pada tahun 1998-2002 ... 182 73. Tipologi aliansi strategis ... 183 74. Pembagian tipologi teknologi berdasarkan teknologi produk dan tekno- logi proses ... 184


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Daftar responden penelitian ... 207

2. Kuesioner penelitian ... 208

3. Kondisi agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 318

4. Luas dan jenis tanah pada wilayah pengembangan KSP Propinsi Jambi 321

5. Zona agroekologi wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 324

6. Kesesuaian zona agroekologi untuk komoditas pertanian potensial pada wilayah pengembangan KSP di Propinsi Jambi ... 327

7. Potensi lahan ... 343

8. Analisis basis ekonomi ... 357

9. Matriks analisis kebijakan (PAM) ... 361

10. Matriks hubungan kontekstual antar parameter sistem ... 365

11. Indikator tahap evolusi parameter sistem agroindustri pangan ... 366

12. Hubungan kontekstual antar kejadian hipotetis ... 367

13. Ragam strategi pada tingkat perusahaan ... 368

14. Hasil analisis AHP ragam strategi perusahaan pengolahan kelapa ... 369

15. Hasil analisis AHP ragam strategi perusahaan pengolahan kelapa sawit 371


(19)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang terbukti tangguh bertahan dalam badai krisis perekonomian yang melanda Indonesia. Pa-da saat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi hingga –13,13% paPa-da tahun 1998, sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan mampu bertahan pa-da pertumbuhan positif, walaupun papa-da tingkat pertumbuhan yang relatif renpa-dah, yaitu masing-masing 2,03%, 0,05% dan 1,92%. Bahkan di puncak krisis, sum-bangan sektor pertanian terhadap PDB meningkat dari 16,09% pada tahun 1997 menjadi 18,08% pada tahun 1998 (BPS, 2000a). Pada periode yang sama terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja dari 40,7% pada tahun 1997 menjadi 45,0% pada tahun 1998 (BPS, 2000b) atau setara dengan penciptaan sekitar 5 juta kesem-patan kerja baru di sektor pertanian (Dillon, 2004). Kenyataan ini mendorong pe-laku dan pengambil kebijakan di bidang ekonomi mengkaji kembali posisi sektor pertanian dalam strategi pembangunan ekonomi di Indonesia. Salah satu hasil ka-jian tersebut berupa upaya untuk mendorong percepatan produksi komoditas per-tanian unggulan dengan pendekatan pewilayahan komoditas pada kawasan andal-an melalui Program Pengembandal-angandal-an Kawasandal-an Sentra Produksi (KSP).

Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah pro-duksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewila-yahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) dengan menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi (economic of scale) dan ruang lingkup ekonomi (economic of scope) untuk meningkatkan pro-duktivitas usahatani (on-farm agribusiness) (Saragih, 1999a).


(20)

Pengembangan kawasan sentra produksi yang terencana dan terorganisasi secara baik merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor pertanian dengan menggunakan pendekatan sistem agribisnis. Agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), sub-sistem usahatani atau pertanian primer ( on-farm agribusiness), sub-sistem agroindustri (down-stream agribusiness) dan sub-sistem penunjang (supporting institution) (Badan Agribisnis, 1995).

Menurut Prabowo (1995), produk pertanian primer memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat, tetapi sebaliknya memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) yang lemah. Hal ini berarti, upaya pengembangan KSP yang semata-mata ditujukan untuk peningkatan produktivitas usahatani pri-mer (on-farm) hanya akan membawa dampak positif pada kegiatan penyediaan sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida (agro-kimia), serta alat dan mesin pertanian (agro-otomotif) yang dihasilkan oleh industri besar padat mo-dal dan teknologi (up-stream agribusiness) yang umumnya berada di luar wilayah KSP; sebaliknya kurang memberikan dampak positif bagi pengembangan sub-sistem agroindustri (down-stream agribusiness), khususnya yang berada di dalam wilayah KSP.

Di sisi lain, dari hasil kajian Kuncoro (1996) diperoleh kesimpulan, bahwa agroindustri, terutama industri pengolahan hasil pertanian, memiliki kaitan ( back-ward linkage) yang erat dengan sub-sektor penyedia input-nya, khususnya dengan sub-sistem usaha tani primer. Dengan demikian, pembangunan agroindustri pada KSP akan mampu memacu perkembangan sub-sistem pertanian primer dan kare-na pertanian primer memiliki keterkaitan yang erat dengan sub-sistem agribisnis hulu, maka baik secara langsung maupun tidak langsung, pembangunan agroin-dustri yang dikaitkan dengan pengembangan KSP akan memacu pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem agribisnis pada wilayah KSP tersebut. Lebih jauh dinyatakan oleh Saragih (1999a dan 2004), bahwa pembangunan keseluruhan komponen pada sistem agribisnis secara integratif dan simultan dapat menjadi penggerak utama (prime mover) bagi upaya peningkatan pendapatan riil petani dan masyarakat, penciptaan kesempatan kerja dan berusaha, serta pertumbuhan dan perkembangan wilayah secara menyeluruh dan sustainable.


(21)

Dengan pendekatan sistem yang integratif dan simultan, agribisnis diha-rapkan dapat menjadi lokomotif pembangunan nasional (agribusiness-lead deve-lopment strategy) dengan agroindustri sebagai inti (Rasahan dan Wibowo, 1997) atau sebagai motor penggerak utama (Pambudy, 1998; Didu, 2000a; Husodo, 2004). Strategi ini menekankan perlunya menjadikan agroindustri sebagai leading sector pembangunan ekonomi, karena agroindustri mampu berperan seba-gai penyeimbang dalam proses transformasi ekonomi (Saragih, 1995; Erwidodo, 1996; Tajima, 2000), khususnya dalam penyediaan lapangan kerja dan kesempat-an berusaha (Suyata, 1998; Tajima, 2000), penurunkesempat-an kesempat-angka kemiskinkesempat-an (Polmkesempat-an, 2000) dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi (Tajima, 2000).

Di samping itu, dari aspek pembangunan sosial budaya, agroindustri dike-tahui mampu berperan dalam dinamisasi kelembagaan lokal, pengembangan dan peningkatan kemandirian sumber daya manusia serta menumbuhkan jiwa kewira-usahaan, sikap keterbukaan dan sikap inovatif (Simatupang, 1995; Hallberg, 2000). Pembangunan agroindustri juga berperan sebagai wahana dalam proses difusi dan transformasi teknologi (Suradisastra, 1996; Suyata, 1998; Gaikwad, 1998; Polman, 2000; Hallberg, 2000). Dalam konteks kewilayahan, pembangun-an agroindustri dippembangun-andpembangun-ang dapat berperpembangun-an sebagai motor penggerak pembpembangun-angunpembangun-an wilayah. Hal ini karena agroindustri memiliki keterkaitan (backward and for-ward linkages) yang tinggi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya (Suradisastra, 1996; Gaikwad, 1998). Pembangunan agroindustri juga berperan dalam menum-buhkembangkan ekonomi kerakyatan melalui penyediaan lapangan kerja (labor intensity) dan kesempatan berusaha (jobcreation) (Suyata, 1998; Gaikwad, 1998; Hallberg, 2000).

Akan tetapi, di samping memiliki banyak keunggulan, fakta empirik juga menunjukkan bahwa tidak sedikit perusahaan agroindustri yang mengalami kega-galan, baik disebabkan oleh kesalahan manajemen, kekurangan bahan baku, atau kegagalan dalam pemasaran (APO dalam Soekartawi, 2000). Kegagalan tersebut tidak mengenal skala usaha, yaitu dapat terjadi pada perusahaan besar, menengah, ataupun kecil, baik yang menggunakan bahan baku hasil pertanian tertentu/spe-sifik ataupun tidak (Soekartawi, 2000; Darmawan dan Masroh, 2004). Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agroindustri akan


(22)

se-makin berat, dengan sese-makin meningkatnya intensitas persaingan sebagai akibat dari globalisasi dan liberalisasi perdagangan, pergeseran struktur industri dan pasar, serta perubahan faktor-faktor permintaan seiring dengan perkembangan teknologi (technology progress) dan perubahan sistem kemasyarakatan (society system) (Putsis, 1999; Weyerbrock and Xia, 2000). Dalam lingkungan bisnis, perubahan tingkat persaingan terjadi dengan cepat dan bersifat tidak teratur

(turbulent and chaostic) (Pettigrew and Whipp, 1991). Fenomena ini menuntut kemampuan perusahaan untuk dapat melakukan pembenahan kondisi internalnya agar mampu merespons dengan cepat setiap perubahan yang terjadi.

Pada tataran agroindustri, peningkatan intensitas persaingan menuntut perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan agroindustri harus mampu menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) melalui transformasi

factor-driven. Pertumbuhan agroindustri tidak boleh hanya mengandalkan ke-unggulan komparatif (comparative advantage) dari sumber daya alam (natural resources) dan tenaga kerja kurang terdidik (unskilled labour), tetapi harus mampu menciptakan keunggulan kompetitif melalui dorongan investasi ( invest-ment-driven) dan kemudian berlanjut pada dorongan inovasi (inovation-driven) (Hadi dan Noviandi, 1999). Transformasi factor-driven ini akan menggeser posisi produk agroindustri dari produk yang bersifat unskilled labour and natural resources intensive menjadi produk yang skilled labour and capital intensive dan selanjutnya menempati posisi sebagai produk yang skilled labour and knowledge intensive (Saragih, 1999b dan 2004).

Akan tetapi, sebagai suatu proses perubahan dalam konteks pembangunan wilayah yang berkelanjutan (sustainable regional development), transformasi

factor-driven harus berlangsung secara bertahap (gradually) melalui proses pe-nyesuaian dengan struktur ekonomi, tenaga kerja dan sosial budaya (Widiati, dkk, 1999). Ketidakharmonisan sistem transformasi faktor-faktor struktural sering didakwa sebagai penyebab terjadinya pemiskinan, eksploitasi sumber daya alam (Erwidodo, 1996) dan dehumanisasi sektor pertanian (Fakih, 1999), sehingga melahirkan sikap apatis terhadap proses industrialisasi pertanian. Pembangunan agroindustri, khususnya agroindustri pangan, diharapkan dapat berperan sebagai salah satu unsur yang mampu menjaga keharmonisan pentahapan proses


(23)

transfor-masi factor-driven. Hal ini karena teknologi yang digunakan dalam agroindustri pangan memiliki spektrum tingkat perkembangan yang luas (Ahza dan Wirakar-takusumah, 1997), sehingga dapat dikembangkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan endowment, pengetahuan dan teknologi setempat.

Agar proses penyesuaian factor driven dalam pembangunan agroindustri pangan dapat berlangsung secara harmonis, integratif dan simultan serta sesuai dengan sasaran yang diinginkan, diperlukan adanya suatu perencanaan strategis. Perencanaan tersebut harus bersifat efektif, dalam arti dapat dilaksanakan, menye-luruh dan utuh (holistic) serta berorietasi pada pencapaian tujuan (cybernetic) (Pettigrew dan Whipp, 1991; Eriyatno, 1999). Di samping itu, agar perencanaan strategis yang dibuat dapat merespons dan sejalan dengan arah perubahan yang akan terjadi di masa depan (Mintzberg, 1979; Argyris, 1985), maka penyusunan perencanaan strategis harus mempertimbangkan konsep situasi masa depan (Ackoff, 1991; Park and Seaton, 1996).

Eksplorasi konsepsi situasi masa depan secara sistematis dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis prospektif (Hubeis, 2000). Teknik ini terdiri dari tahapan analisis struktural dan sintesis skenario eksploratif untuk peramalan. Analisis struktural merupakan dasar untuk menentukan parameter kunci (key factors), yaitu parameter yang berperan sebagai penentu kecenderungan perubah-an atau trend factors. Selanjutnya parameter penentu tersebut disintesis ke dalam suatu skenario eksploratif untuk diprediksi kecenderungan perubahannya dengan menggunakan teori peluang (probabilistic theory). Interpretasi terhadap hasil peramalan kecenderungan perubahan memberikan gambaran rinci dan utuh

(holistic) tentang proses evolusi sistem sekaligus membentuk mental map of the future atau perspektif masa depan dari sistem yang dikaji (Widodo, 2000).

Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi perspektif masa depan pemba-ngunan agroindustri pangan di Propinsi Jambi dan menggunakannya sebagai ke-rangka kerja dalam mengkaji strategi industrialisasi pertanian dengan mengguna-kan pendekatan pewilayahan komoditas unggulan pada kawasan sentra produksi. Penentuan propinsi sebagai batasan pengkajian didasarkan pada pertimbangan bahwa penerapan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi sebagian besar wewenang kepada pemerintahan kabupaten/kota telah berimplikasi pada semakin


(24)

luasnya pusat-pusat pembuatan kebijakan dengan cakupan wilayah sasaran yang semakin sempit. Hal ini selain memberikan dampak positif, karena proses pembuatan kebijakan menjadi lebih dekat dengan masyarakat sasarannya, juga mengandung potensi konflik, sehingga dibutuhkan peran pemerintahan propinsi untuk koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program pembangunan yang di-buat oleh masing-masing kabupaten/kota agar tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Di bidang pertanian, peran pemerintah propinsi dalam perenca-naan dan pengendalian pembangunan regional diwujudkan dalam bentuk kewe-nangan pengaturan kawasan pertanian terpadu (Anonim, 2000).

Pemilihan Propinsi Jambi sebagai kasus didasarkan pada dua alasan uta-ma. Pertama, sektor pertanian masih merupakan penggerak utama pembangunan di Propinsi Jambi. Pada tahun 2000 sektor pertanian merupakan penyumbang ter-besar terhadap PDRB Propinsi Jambi, yaitu seter-besar 31,68%. Akan tetapi, domi-nasi sektor pertanian ini tidak diikuti oleh sub-sektor industri hasil pertanian. Pada tahun yang sama, sumbangan sub-sektor industri hasil pertanian terhadap PDRB hanya sebesar 3,89% (BPS Propinsi Jambi, 2002). Hal ini mengindikasi-kan pembangunan pertanian di Propinsi Jambi masih bersifat sektoral, terfokus pada usahatani primer dan belum terintegrasi dengan industri hasil pertanian (agro industri). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dalam pertumbuhan pertanian di Propinsi Jambi, sebagaimana dinyatakan oleh Saragih (2004), bahwa stagnasi pertanian akan terjadi jika pembangunan pertanian hanya berkisar pada usahatani primer (on farm).

Pertimbangan kedua didasarkan pada kenyataan tidak adanya prioritas dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini diindikasikan oleh luasnya cakupan tipe KSP yang dikembangkan. Pengembangan KSP di Propinsi Jambi mencakup keseluruhan tipe KSP yang ada, yaitu KSP Mikro Pertanian Dataran Tinggi, KSP Mikro Pertanian Dataran Rendah, KSP Mikro Perikanan Darat, KSP Mikro Perikanan Tambak, dan KSP Mikro Perikanan Laut (Bappeda, 1999). Keseluruhan tipe KSP ini mencakup tiga basis ekologi yang berbeda, yaitu ekologi lahan kering, ekologi sawah dan ekologi pantai (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Tidak adanya prioritas karena terlalu luasnya spektrum dan tipe KSP yang dibangun dapat mempersulit penyusunan rencana strategis (renstra), khususnya


(25)

strategi untuk meningkatkan daya saing produk pertanian melalui transformasi keunggulan spesifik (distinctive competence) kawasan menjadi keunggulan kom-petetif (competitive advantage) produk pertanian yang dihasilkan, karena tanpa adanya prioritas akan terjadi trade offs antara sasaran dari masing-masing tipe KSP yang dibangun.

Tidak adanya prioritas dan belum terintegrasinya pembangunan usahatani primer dengan pembangunan agroindustri dalam bentuk agribisnis terpadu meru-pakan permasalahan utama dalam pengembangan KSP di Propinsi Jambi. Hal ini dapat berimplikasi pada keberhasilan pembangunan pertanian yang diupayakan melalui pengembangan KSP. Oleh karena itu, agar pembangunan pertanian dapat berhasil diperlukan adanya pemilihan prioritas dan strategi yang dapat menginte-grasikan pembangunan sub-sistem usahatani dengan sub-sistem agroindustri dalam suatu sistem pembangunan agribisnis yang terpadu.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mensintesis strategi pembangun-an agroindustri ppembangun-angpembangun-an di Propinsi Jambi dengpembangun-an pendekatpembangun-an pewilayahpembangun-an komo-ditas pertanian unggulan pada kawasan sentra produksi berdasarkan konsep situa-si masa depan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : (1) menganali-sis struktur menganali-sistem pembangunan agroindustri pangan, (2) menganalimenganali-sis prospek pembangunan agroindustri pangan, dan (3) mensintesis strategi pembangunan agroindustri pangan.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

KAWASAN SENTRA PRODUKSI

Pengertian dan Batasan Kawasan Sentra Produksi

Sentra produksi memiliki pengertian yang berbeda dengan sentra industri. Demikian pula halnya dengan kawasan sentra produksi (KSP) memiliki batasan pengertian yang berbeda dengan kawasan sentra industri (KSI) ataupun kawasan industri (KI). Sentra produksi adalah suatu kawasan budidaya pertanian yang memiliki potensi dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Sedangkan sentra industri adalah kumpulan atau tempat terkonsentrasinya unit usaha industri kecil yang sejenis. Sentra ini terdiri dari sentra industri kecil logam, sentra industri kecil pangan, sentra industri kecil kimia dan bahan bangunan, sentra industri kecil sandang dan kulit, serta sentra industri kecil kerajinan umum (Suhardi, 1992a).

KSI dibedakan dengan KI berdasarkan peruntukannya. KSI merupakan wilayah untuk pembinaan industri kecil yang sejenis. KSI terdiri dari sentra-sentra industri kecil. KI (Industrial Estate atau Industrial Park) adalah suatu wilayah zonasi untuk kegiatan industri besar dan menengah yang dibangun di atas tanah yang luas dan dilengkapi dengan infrastruktur dan utilitas. Zonasi KI ditentukan berdasarkan topografi, lokasi serta aksesibiltas terhadap pasar dan sarana transportasi (Roestanto, 2000 dan 2004).

Berbeda dengan KSI dan KI yang merupakan kawasan industri, KSP ada-lah kawasan produksi yang diperuntukkan bagi kegiatan budidaya pertanian. Se-cara konsepsional, KSP dapat diberi batasan dalam pengertian mikro ataupun ma-kro. Dalam pengertian mikro, KSP adalah suatu kesatuan spasial kawasan yang memiliki fisik lahan, agroklimat, infrastruktur dan kelembagaan yang memung-kinkan bagi pengembangan ekonomi produktif berbasis pertanian. Sedangkan da-lam pengertian makro, KSP adalah suatu kesatuan fungsional kawasan yang me-rupakan batas pasar yang memiliki kemungkinan dijangkau secara ekonomi bagi komoditas yang dihasilkan dalam KSP Mikro (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b).


(27)

Luas kawasan KSP Makro ditentukan oleh ongkos produksi, biaya dis-tribusi dan perkembangan agroindustri pada kawasan tersebut. Semakin efisien ongkos produksi pada kawasan KSP Mikro, maka akan semakin luas KSP Makro-nya. Demikian pula dengan semakin baiknya aksesibilitas suatu KSP Mikro, maka akan semakin luas jangkauan KSP Makro-nya. Berdasarkan perkembangan agroindustrinya, luas KSP Makro ditentukan oleh derajat pengolahan produk yang dihasilkannya, apakah dalam bentuk bahan baku industri atau barang siap kon-sumsi. Dalam hal ini, kriteria KSP Mikro ditentukan oleh batas kawasan, potensi produksi, ketersediaan sarana dan prasarana, SDM, teknologi, keterkaitan antar sektor dan antar kawasan, perkembangan teknologi, permodalan dan kelembagaan (Bappeda, 1999). Dalam garis besarnya, tipe KSP Mikro dibedakan atas KSP Mi-kro Pertanian Dataran Tinggi, KSP MiMi-kro Pertanian Dataran Rendah, KSP MiMi-kro Pertanian Tertentu, KSP Mikro Perikanan Laut Lepas, KSP Mikro Perikanan Tambak dan KSP Mikro Perikanan Darat (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b).

Pengembangan Kawasan Sentra Produksi

Pengembangan KSP merupakan suatu bentuk program perencanaan ruang untuk sektor strategis yang diharapkan dapat mendorong percepatan produksi pertanian dengan perkembangan wilayah (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999b). Pengembangan KSP termasuk dalam konsep pengembangan wilayah baru, dimana ide pengembangannya didasarkan pada potensi yang telah ada (existed), baik untuk KSP skala mikro maupun makro (Bappeda, 1999).

Pengembangan KSP, selain bertujuan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah melalui peningkatan jumlah pro-duksi pertanian, dalam jangka panjang ditujukan untuk percepatan pertumbuhan dan perkembangan daerah melalui pemaduan aspek-aspek fungsional, spasial, waktu dan finansial dalam pembangunan daerah yang berdasarkan pada pewi-layahan komoditas pertanian unggulan (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a) yang menggunakan pendekatan dan strategi pemanfaatan skala ekonomi dan skop ekonomi untuk meningkatan produktivitas kegiatan usaha tani (Saragih, 1999a).

Menurut Hallberg (2000), skala ekonomi tergantung pada basis teknologi produksi yang digunakan. Sedangkan basis teknologi produksi menentukan


(28)

ting-kat produksi yang paling efisien. Dengan demikian, dalam kegiatan usaha tani, skala ekonomi menentukan ukuran luasan usaha yang paling efisien (Suryana dan Mardiyanto, 1998). Permasalahan efisiensi dan produktivitas usaha tani di Indo-nesia umumnya berhubungan dengan ukuran luasan usaha dan ragam produk yang dihasilkan (Rachmat, 1996; Saragih, 2000). Dalam hal ini, pengembangan KSP dimaksudkan untuk mencapai ukuran (economic of scale) usaha tani yang paling efisien dengan cara memadukan beragam jenis kegiatan (economic of scope)

dalam satu kawasan sentra produksi. Upaya ini dilakukan secara holistic melalui penerapan sistem agribisnis. Dalam hal ini, penerapan sistem agribisnis bertujuan untuk mereduksi kemungkinan munculnya konflik kepentingan antar pelaku da-lam pengembangan KSP.

Menurut Suryana dan Mardiyanto (1998), secara fungsional masyarakat pelaku agribisnis terdiri atas lima golongan, yaitu pemerintah, masyarakat tani dan pedesaan, masyarakat bisnis dan dunia usaha, masyarakat profesi serta masya-rakat ilmiah. Masing-masing golongan memiliki otoritas dan kepentingan yang dapat mempengaruhi keberlangsungan sistem yang dibangun. Oleh karena itu, diperlukan upaya sinkronisasi dan koordinasi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada. Dalam kerangka pengembangan KSP, upaya tersebut dila-kukan secara holistic melalui pemaduan aspek fungsional dan spasial.

Pemaduan aspek fungsional bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan dan program secara fungsional. Pemaduan fungsional memiliki lima karakteristik utama (Simatupang, 1995a), yaitu :

1. Kelengkapan fungsional. Tersedianya seluruh fungsi agribisnis yang diperlu-kan untuk menghasildiperlu-kan, mengolah, dan memasardiperlu-kan produk pertanian hingga ke konsumen akhir.

2. Kesatuan tindak. Seluruh komponen sistem agribisnis melaksanakan fungsinya secara harmonis dalam satu kesatuan tindak.

3. Ikatan institusional. Hubungan di antara komponen dalam sistem agribisnis terjalin langsung melalui ikatan institusional (non-pasar).

4. Kesatuan hidup. Kelangsungan hidup dan perkembangan setiap komponen sistem agribisnis saling tergantung satu sama lain.


(29)

5. Koperatif. Setiap komponen sistem agribisnis saling membantu untuk ke-pentingan bersama.

Selain itu, KSP diharapkan mampu menjadi pedoman keterpaduan spasial yang mengaitkan antara kegiatan produksi dengan pusat pengolahan dan pemasaran melalui pengadaan prasarana dan perencanaan berbagai kegiatan atau fasilitas yang saling menunjang dalam suatu lokasi (Tim Pembina Pusat P-KSP, 1999a).

Menurut Hazell dan Roell (1983), keterkaitan produk akan lebih tinggi bila sektor-sektor yang saling berhubungan berada dalam satu lokasi atau pada lokasi yang saling berdekatan. Hal ini terjadi karena jika lokasi berdekatan maka ongkos transportasi akan dapat dihemat dan aktivitas produksi antar sektor dapat diharmoniskan (Djojodipuro, 1992 dan Sitorus, 1997). Pendekatan keterpaduan spasial ini sejalan dengan strategi district level industrialization yang menghen-daki dibangunnya industri pengolahan pada setiap wilayah produksi, sesuai dengan resources endowment yang dimiliki oleh wilayah tersebut (Arief, 1998).

Pengembangan KSP di Propinsi Jambi

KSP di Propinsi Jambi dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Kawasan Barat, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur. Secara administratif, Kawasan Barat terdi-ri daterdi-ri Kabupaten Keterdi-rinci, Merangin dan Sarolangun. Kawasan Tengah terditerdi-ri da-ri Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghada-ri, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Kawasan Timur terdiri dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Masing-masing wilayah KSP memiliki karakteristik fisik lahan, agro-klimat, infrastruktur, kelembagaan dan permasalahan tersendiri. Kawasan Barat (khususnya Kabupaten Kerinci) adalah dataran tinggi dan berbukit-bukit, serta merupakan wilayah penyangga (buffer zone) dari Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dalam hal ini, hanya sebagian kecil wilayah Kawasan Barat (khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun) yang merupakan dataran rendah. Sebaliknya, Kawasan Tengah dan Kawasan Timur memiliki topografi yang tergolong sebagai wilayah dataran rendah. Sebagian wilayah Kawasan Timur (khususnya di Kabupaten Tanjab Barat dan Tanjab Timur) merupakan daerah pe-sisir dengan panjang garis pantai 41,75 km yang setara dengan luas penangkapan


(30)

ikan sekitar 925.000 ha dan mengandung potensi produksi perikanan laut sebesar 114.036 ton/tahun (Bappeda, 1999; Nurdin, 2000).

Permasalah yang dihadapi dalam pengembangan komoditas unggulan pada KSP di propinsi Jambi secara umum mencakup keseluruhan sub-sistem agribisnis. Pada sub-sistem agribisnis hulu, permasalahan terutama berkenaan dengan kurang atau tidak tersedianya saprotan dan bibit/benih dengan mutu yang baik. Pada sub-sistem usaha tani, permasalahan terutama berkenaan dengan teknik budidaya yang diterapkan umumnya masih tradisional. Sedangkan permasalahan pada sub-sis-tem agroindustri terutama berkenaan dengan masih kurangnya ketersediaan unit usaha pengolahan hasil atau penanganan pascapanen. Untuk beberapa komoditas yang sudah memiliki unit usaha pengolahan, permasalahan yang ada umumnya berkenaan dengan skala usaha dan tingkat teknologi pengolahan yang digunakan relatif masih sederhana. Adapun permasalahan pada sub-sistem penunjang dalam garis besarnya berhubungan dengan terbatasnya pasar bagi komoditas yang di-kembangkan, belum optimalnya fungsi kelompok tani, rendahnya kemampuan SDM yang ada, serta terbatasnya modal (Bappeda, 1999).

SRATEGI INDUSTRIALISASI PERTANIAN DI INDONESIA

Tinjauan Teoritis Strategi Industrialisasi dan Pembangunan

Pembangunan mengandung pengertian pertumbuhan dan perkembangan. Dalam pengertian pertumbuhan, inti dari tujuan pembangunan adalah untuk men-capai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Pangestu dan Aswicahyono, 1997) yang secara kuantitatif diukur melalui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Adapun dalam pengertian perkembangan, pembangunan merupakan suatu proses transformasi struktural yang terencana dan terorganisasi. Transformasi dalam pembangunan mencakup perubahan komposisi sektor produktif dari basis ekonomi yang semula pertanian menjadi industri yang sejalan dengan proses transformasi sosial, budaya dan politik (Kuswartojo, dkk, 2000).

Penyusunan kebijakan pembangunan di negara berkembang seperti Indo-nesia sering dihadapkan pada permasalahan pemilihan sektor pembangunan yang


(31)

akan dijadikan fokus atau prioritas pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Pan-dangan pertama menganggap sektor industri yang harus dijadikan fokus pemba-ngunan, karenanya kebijakan investasi harus diprioritaskan pada sektor industri. Sebaliknya, pandangan lainnya berpendapat bahwa sektor pertanian yang harus menjadi fokus pembangunan, karena pertanian merupakan sektor yang paling mampu menyerap tenaga kerja.

Pandangan bahwa sektor industri yang sepatutnya dijadikan fokus pemba-ngunan dan prioritas investasi didasarkan pada paradigma keseimbangan umum

(general equilibrium) dalam proses pembangunan (Aziz, 1997). Keseimbangan tersebut merupakan hasil interaksi antar sektor pembangunan melalui keterkaitan produk (Nazara, 1997). Produk yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang tinggi memiliki kemampuan mendorong investasi baru pada sektor-sektor input (sektor pemasok bahan baku), sedangkan keterkaitan ke depan

(forward linkages) mendorong investasi baru pada sektor output (sektor pengguna hasil produksi). Menurut Yotopoulus and Nugent dalam Kasryno, dkk. (1998) kaitan ke belakang bersifat kausal, sedangkan kaitan ke depan bersifat permisif, sehingga sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang yang tinggi memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor yang memiliki kaitan ke depan yang tinggi. Dengan demikian, berdasarkan indeks keterkaitan produk, prioritas pertama pembangunan dan investasi harus difokus-kan pada sektor yang memiliki indeks kaitan ke beladifokus-kang dan ke depan yang tinggi. Prioritas kedua untuk sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang tinggi, tetapi indeks kaitan ke depan rendah. Prioritas ketiga adalah sektor yang memiliki indeks kaitan ke belakang rendah, tetapi indeks kaitan ke depannya tinggi. Sedangkan prioritas terakhir adalah sektor yang kedua indeks keterkaitan-nya rendah.

Hasil identifikasi indeks keterkaitan melalui hubungan input-ouput me-nunjukkan bahwa sektor industri memiliki indeks keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Hal ini berarti sektor industri merupakan sektor pemimpin (the leading sector) atau sektor kunci (the key sector); oleh karenanya harus dijadikan sebagai fokus pembangunan dan prioritas investasi. Sebaliknya, sektor pertanian memiliki indeks kaitan ke depan tinggi, tetapi indeks kaitan ke belakang rendah


(32)

(Prabowo, 1995). Oleh karenanya, sektor pertanian tidak sesuai untuk dijadikan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan. Pandangan ini banyak dianut oleh negara-negara yang sedang membangun, termasuk Indonesia.

Tantangan fundamental terhadap paradigma keterkaitan produk yang me-nyimpulkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor pemim-pin pembangunan muncul sejak pertengahan tahun 1970-an (Kasryno, dkk, 1998). Berbagai penelitian yang memperhitungkan keterkaitan konsumsi dan tenaga kerja terhadap permintaan produk industri menghasilkan kesimpulan bahwa sektor pertanian dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja dan permintaan konsumsi. Kesimpulan ini melahirkan perspektif keterkaitan berspektrum luas yang meletakkan titik berat program pembangunan pada sektor pertanian (Simatupang, 1998).

Telaah mengenai peran sektor pertanian dalam transformasi pembangunan menyimpulkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan di negara-negara berkembang (APO, 2000). Adapun peran sektor pertanian dalam pembangunan menurut Kuznet (Jhingan, 2002) adalah :

1. Kontribusi produk. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri dan bahan pangan bagi pekerja di sektor industri.

2. Kontribusi pasar. Rumah tangga di sektor pertanian adalah pasar utama untuk

output yang dihasilkan oleh sektor industri.

3. Kontribusi devisa. Sektor pertanian berperan sebagai penyumbang devisa melalui hasil ekspor produk-produk pertanian.

Adelman (1984) menjabarkan gagasan untuk menitikberatkan program pembangunan pada sektor pertanian dalam bentuk strategi industrialisasi berdasarkan permintaan pertanian (Agricultural-Demand-Led Industrialization Strategy). Strategi ADLI didasarkan atas lima preposisi (Arief, 1998), yaitu: 1. Strategi Export-led growth dalam situasi ekonomi internasional yang ada dan

akan terjadi tidak dapat diharapkan berhasil banyak dalam memecahkan masalah pembangunan. Proses pembangunan hendaklah tidak digantungkan atas ekspor yang di luar kontrol ekonomi nasional. Permintaan efektif di da-lam negeri dan bukan permintaan efektif di luar negeri yang harus menjadi penentu arah dan dinamika pembangunan.


(33)

2. Permintaan efektif di dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sek-tor pertanian sebagai seksek-tor utama dalam proses pembangunan, sehingga seksek-tor ini menjadi penyedia pasar efektif untuk produk-produk sektor industri. 3. Proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor

pertanian sebagai primadona tidak akan menyebabkan terjadinya konflik antara tujuan-tujuan pembangunan (pertumbuhan output, perluasan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan).

4. Alokasi sumber daya sebagian besar hendaklah ditujukan untuk pengembangan sektor pertanian dan peningkatan produktivitas penduduk di sektor pertanian. 5. Strategi ADLI secara implisit mengandung perubahan komposisi output.

De-ngan strategi ADLI sebagian besar output terdiri dari barang-barang kebutuhan massa (wage-goods).

Strategi ADLI memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan agroindustri berdasarkan adanya keterkaitan konsumsi yang tinggi antara sektor pertanian dan sektor industri, dengan tetap mempertimbangkan adanya keter-kaitan produk antar sektor pembangunan (Kasryno, dkk, 1998). Keterketer-kaitan kon-sumsi tercipta karena nilai tambah yang diperoleh dari sektor pertanian diguna-kan untuk membeli produk dari sektor industri dalam rangka memenuhi kebu-tuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan produk adalah keterkaitan yang terjadi melalui penggunaan produk suatu industri sebagai bahan baku bagi industri lainnya.

Penerapan strategi industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dimulai dengan industri substitusi impor (import-substitution industrialization strategy). Strategi ini berorientasi pada penciptaan output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri sudah dikuasai oleh negara-negara maju, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai penggerak pembangunan (Prebisch dalam Dasril, 1993). Pelaksanaan strategi industrialisasi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa pengembangan industri substitusi impor akan membuahkan hasil yang cepat dan dapat menimbulkan penghematan devisa (Arief, 1998).

Strategi industrialisasi substitusi impor dianut oleh negara-negara Amerika Latin (Brazil, Mexico, Peru, Argentina dan Chili), Asia Selatan (India dan


(34)

Pakistan), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina), Afrika (Kenya dan Zaire), dan lain-lain. Sedangkan bagi negara-negara yang memiliki pasar dalam negeri yang kecil seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura terpaksa memulai proses industrialisasi melalui strategi industrialisasi berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) (Arief, 1998).

Adapun pendapat mengenai alternatif strategi industrialisasi di Indonesia dikemukakan antara lain oleh Saragih (1995) dan Alam (1996). Saragih (1995) mengajukan tiga jalur pengembangan industri di Indonesia. Ketiga jalur tersebut tercakup di dalam empat alternatif strategi pengembangan industri sebagaimana dikemukakan Alam (1996), yaitu:

1. Strategi industri berspektrum luas (Broad-based industry), yaitu strategi pe-ngembangan industri yang diarahkan pada pemanfaatan sumber daya alam dan manusia secara maksimal dengan tidak terlalu tergantung pada banyak modal. 2. Strategi industri teknologi tinggi (Hi-tech industry), yaitu stategi

pengem-bangan industri yang memanfaatkan akselerasi perkempengem-bangan teknologi, seperti industri pesawat terbang.

3. Strategi industri promosi ekspor (Export-led industry), yaitu strategi pengem-bangan industri melalui peningkatan ekspor dan persaingan internasional. 4. Strategi entreport, yaitu strategi pengembangan industri jasa pelayanan

komer-sial, seperti pariwisata dan telekomunikasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Singapura dan Hongkong.

Keempat strategi industri sebagaimana dikemukakan oleh Alam (1996) tersebut bersifat mutually exclusive, sehingga hanya memilih salah satu strategi untuk diterapkan adalah tidak mungkin. Akan tetapi, karena tujuan penyusunan strategi industrialisasi adalah untuk memberikan arah bagi pengembangan industri dan terlalu banyaknya strategi dapat mempersulit perencanaan kebijakan karena adanya trade offs antara sasaran dari masing-masing strategi (Pangestu dan Aswicahyono, 1997), maka pemilihan salah satu alternatif strategi yang dominan perlu dilakukan, dengan tidak meninggalkan alternatif strategi pendukung.


(35)

Tinjauan Empiris Strategi Industrialisasi di Indonesia

Pendekatan kebijakan industrialisasi dalam berbagai tahap pembangunan Indonesia dipengaruhi oleh keadaan sejarah dan politik, ideologi dan pola pemi-kiran pengambil keputusan, serta keadaan ekonomi, terutama perubahan keadaan eksternal (Pangestu, 1996). Pendekatan strategi industrialisasi substitusi impor yang didasarkan pada kebijakan proteksi, subsidi, dan lisensi sudah dimulai sejak zaman Belanda untuk mencegah membajirnya barang-barang impor dari Jepang pada awal tahun 1930-an. Pada masa kemerdekaan, sistem proteksi, subsidi, dan lisensi ini terus berkembang, tetapi sektor industri tidak mengalami perkembang-an yperkembang-ang berarti. Sampai pertengahperkembang-an tahun 1960-perkembang-an, sumbperkembang-angperkembang-an sektor industri pada PDB kurang dari 10% (Wie, 1996).

Perkembangan pesat industrialisasi dimulai sejak awal Orde Baru. Pa-ngestu (1996) membagi tahapan industrialisasi masa Orde Baru ke dalam empat periode. Pertama, periode stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1973). Dalam perio-de ini dilakukan pemulihan stabilitas makroekonomi, perio-deregulasi perdagangan dan sistem devisa dan pemberian insentif terhadap PMA dan PMDN. Kebijakan ini menghasilkan pertumbuhan sektor industri yang relatif tinggi (9,6% per tahun).

Pada periode kedua atau periode boom minyak (1973-1981), pertumbuhan sektor industri mencapai 14,2% per tahun. Pertumbuhan yang tinggi ini dipacu oleh kombinasi kebijakan substitusi impor dan investasi serta peningkatan kemilikan oleh pemerintah yang dibiayai dari penghasilan minyak. Argumentasi pe-ningkatan peran pemerintah dalam sektor industri didasarkan pada pertimbangan strategis (industri semen, pupuk dan besi baja), teknologi (pesawat terbang) dan peningkatan nilai tambah (pengilangan minyak, LNG dan petrokimia).

Periode ketiga merupakan periode kebijakan industrialisasi yang ambiva-len (1982-1985). Penurunan harga minyak mentah menyebabkan pemerintah terpaksa melakukan pengurangan proyek-proyek industri berat dan padat modal. Di sisi lain terjadi peningkatan sistem tata niaga impor, penggunaan sistem non-tarif, lisensi impor, dan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri. Dalam periode ini, pertumbuhan sektor industri berjalan lambat dan alot. Pertumbuhan hanya mencapai angka 2,1% per tahun pada tahun 1981-1983, tetapi naik menjadi 16,3% pada tahun 1984, dan turun kembali menjadi 5,4% pada tahun 1985 dan


(36)

3,2% pada tahun 1986. Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya permintaan dalam negeri, karena terjadinya penurunan harga minyak (Wie, 1996).

Perubahan arah kebijakan industrialisasi di Indonesia terjadi pada periode keempat (1986-1991). Periode ini diawali dengan terjadinya penurunan harga mi-nyak mentah yang tajam pada tahun 1986, sehingga pemerintah terpaksa melaku-kan strategi peningkatan efisiensi serta peningkatan persaingan dan orientasi eks-por dengan menggunakan instrumen kebijakan devaluasi, pelonggaran persyaratan investasi, perbaikan prosedur impor dan ekspor, dan penurunan hambatan non-tarif untuk memperbaiki iklim investasi dan menggalakkan ekspor non-migas. Upaya ini berhasil meningkatkan pertumbuhan sektor industri menjadi 11% per tahun dan mengantarkan Indonesia menuju negara semi industri, yang ditandai dengan terjadinya perubahan struktur produksi pada tahun 1991 dan pencapaian pangsa kontribusi sektor industri yang mendekati angka 20%. Peningkatan pangsa kontribusi sektor industri terhadap PDB terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, walaupun kemudian terjadi sedikit penurunan pada tahun 1998 akibat krisis moneter (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi PDB Indonesia berdasarkan sektor pada tahun 1991-2002

Lapangan Usaha 1991 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Pertanian 18,43 16,09 18,08 19,61 17,23 16,99 17,47 Pertambangan dan Galian 15,68 8,85 12,59 10.00 13,86 13,23 11,91 Industri 19,95 26,79 25,00 25,99 24,90 24,98 24,98 Listrik, Air dan Gas 0,68 1,25 1,18 1,22 1,31 1,46 1,81 Konstruksi 6,02 7,44 6,46 6,15 6,05 5,88 5,74 Perdagangan, Hotel & Rest. 15,89 15,86 15,35 15,99 15,74 16,16 16,08 Pengangkutan dan Kom. 5,57 6,14 5,43 5,02 4,93 5,23 6,05 Perbankan & Lembaga Keu 4,49 8,66 7,31 6,48 6,36 6,31 6,56

Sewa Rumah 2,53 - - - -

Pemerintahan dan Hankam 7,35 - - - -

Jasa-Jasa Lain 3,40 8,92 8,59 9,54 9,63 9,75 9,38

Sumber : BPS, 2003.

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 dan diikuti oleh krisis perekonomian, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sampai titik terendah pada tahun 1998. Pada tahun tersebut laju pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar -13,13% yang disebabkan oleh pertumbuhan negatif pada hampir semua sektor perekonomian; kecuali beberapa sub-sektor di sektor pertanian yang tetap mengalami pertumbuhan positif (BPS, 2000a). Keadaan ini


(37)

menyebabkan penurunan sumbangan sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa) terhadap PDB, tetapi sebaliknya terjadi peningkatan sumbangan sektor primer (pertanian) terhadap PDB pada tahun 1998-1999, walaupun kembali turun pada tahun-tahun berikutnya (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi PDB Indonesia pada tahun 1997-2002

Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002 I. Primer (Pertanian) 16,09 18,06 19,61 17,23 16,99 17,47 II. Sekunder (Industri) 26,79 24,48 25,99 24,90 24,98 25,01 III. Tersier (Jasa-Jasa) 39,58 37,07 37,03 36,66 37,45 38,07

Sumber : BPS, 2003.

Peningkatan sumbangan sektor pertanian terhadap PDB pada tahun 1998-1999 terjadi pada sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (Tabel 3). Sedangkan pada sektor industri, walaupun terjadi penurunan sumbangannya terhadap PDB, tetapi sumbangan sub-sektor makanan, minuman dan tembakau (ISIC 31) justru mengalami peningkatan (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa pertanian dan industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor dan sub sektor ekonomi yang dapat bertahan dan bahkan dapat tetap tumbuh positif pada saat sektor-sektor ekonomi lainnya mengalami konstraksi negatif.

Tabel 3. Distribusi PDB Sektor Pertanian pada tahun 1997 – 2002

Sektor/Sub-sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Pertanian

- Tanaman Bahan Makanan - Tanaman Perkebunan - Peternakan - Kehutanan - Perikanan 16,09 8,31 2,62 1,86 1,56 1,73 18,06 9,10 3,36 1,77 1,71 2,12 19,61 10,57 3,27 2,16 1,26 2,39 17,23 8,91 2,67 2,14 1,18 2,33 16,99 8,70 2,59 2,10 1,08 2,53 17,47 8,77 2,60 2,16 1,05 2,90 Sumber : BPS, 2003.

Tabel 4. Distribusi PDB Sektor Industri pada tahun 1997 – 2002

Sektor 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Industri Pengolahan

A. Industri Migas B. Industri Tanpa Migas - Makanan, Minuman, Tembakau (ISIC 31)

26,79 2,49 24,30 11,08 24,48 2,94 21,55 12,14 25,99 3,19 22,80 13,90 24,90 4,29 20,61 11,31 24,98 3,87 21,10 11,24 25,01 3,52 21,49 11,32


(38)

Di sisi lain, hasil kajian yang dilakukan oleh Arief (1998) menunjukkan bahwa proses industrialisasi berdasarkan strategi industrialisasi substitusi impor dan promosi ekspor walau telah berhasil menyebabkan terjadinya transformasi struktur produksi, tetapi tidak diikuti dengan transformasi ekonomi yang seim-bang. Ketidakseimbangan ini disebabkan karena tidak terintegrasinya proses industrilisasi dengan sektor pertanian (Arief, 1998). Data pada tahun 1999 mem-perlihatkan walau sektor industri memberi sumbangan 25,99% terhadap PDB, tetapi jumlah tenaga kerja yang mampu diserap hanya 17,8%. Sebaliknya pada tahun yang sama, sektor pertanian mampu menyerap 43,6% tenaga kerja, walau-pun sumbangannya terhadap PDB hanya mencapai 19,61% (BPS, 2000b).

Proses industrilisasi haruslah dilaksanakan atas dasar adanya keterkaitan yang luas dan kokoh dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (backward and forward linkages industrialization) (Crawford, 1991; Arief, 1998). Dengan demikian, proses industrialisasi di Indonesia semestinya berbasis pada sektor per-tanian. Pemikiran ini mendorong pengambil kebijakan untuk merancang program ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian dan sub-sektor agroindustri.

Sesungguhnya prioritas pembangunan sektor industri di Indonesia pada awalnya terkait erat dengan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri, khususnya dengan sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari urutan prioritas pembangunan industri selama Repelita I - III. Selama Repelita I (1969/70 - 1973/74) prioritas pembangunan diberikan pada pembangunan industri yang mendukung sektor per-tanian. Selama Repelita II (1974/75 - 1978/79) prioritas diberikan pada industri pengolahan sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku; dan pada Repeli-ta III (1979/80 - 1983/84) industri yang didirikan adalah industri pengolahan bahan baku untuk menghasilkan produk industri manufaktur. Akan tetapi, setelah dicapainya swasembada pangan pada tahun 1984, arah pembangunan industri Indonesia mulai bergeser sebagaimana dapat dilihat dari kebijakan pembangunan industri pada Repelita IV (1984/85 - 1988/89) yang memprioritaskan pembangun-an industri barpembangun-ang modal.

Koreksi terhadap konsep dan arah pembangunan industri di Indonesia ter-cermin dari prioritas industrialisasi pada Repelita VI (1994/95 - 1998/99) dengan dimasukkannya upaya mengembangkan industri kecil dan pedesaan, serta


(39)

penye-barannya ke daerah sebagai prioritas tambahan pembangunan industri (Pangestu dan Aswicahyono, 1997). Namun sebagaimana dikatakan oleh Wie (1996), pola pembangunan industri di Indonesia tidak selalu sejalan dengan kebijakan resmi dan kadangkala kebijakan resmi pembangunan industri tidak jelas, sehingga mem-beri peluang munculnya berbagai tafsiran dalam menentukan prioritas.

Strategi Industrialisasi Pertanian dengan Pendekatan Sistem Agribisnis Pengertian Industrialisasi Pertanian dan Sistem Agribisnis

Pemikiran tentang pembangunan ekonomi berbasis pertanian (agricultural led development strategy) telah diperdebatkan sejak masa awal perencanaan pem-bangunan nasional. Pemikiran ini didasarkan pada argumen tahap-tahap pemba-ngunan ekonomi yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja. Pada tahap awal, pembangunan industri harus terkait erat (backward and forward linkages)

dengan sektor pertanian (Crawford, 1991). Keterkaitan ini akan menjadi amat kuat apabila sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi (Byerlee dalam Kuncoro, 1996). Kaitan yang paling sesuai diperoleh melalui pembangunan industri hasil pertanian atau agroindustri (Kuncoro, 1996).

Pembangunan agroindustri serta penggunaan peralatan mekanis (meka-nisasi) dalam sektor pertanian sering dijadikan sebagai ciri dimulainya proses in-dustrialisasi pertanian. Pandangan ini membatasi pengertian inin-dustrialisasi perta-nian hanya sebagai proses transformasi struktur produksi pertaperta-nian (Dasril, 1993) dan struktur ketenagakerjaan (Prabowo, 1995). Pengertian yang lebih luas diberi-kan oleh Simatupang (1995a) yang mendefinisikan industrialisasi pertanian sebagai suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Proses transformasi tersebut dilakukan melalui konsolidasi usaha tani yang disertai dengan koordinasi seluruh mata rantai agribisnis dalam satu alur produksi melalui mekanisme non-pasar (Council on Food, Agricultural and Resources Economics, 1994). Definisi ini memberikan pengertian peran pende-katan agribisnis dalam proses industrialisasi pertanian sebagai gabungan antara konsep sistem dan konsep bisnis (Nishimura, 1999).

Sebagai konsep sistem, agribisnis adalah suatu kesatuan sistem yang ter-diri dari empat sub-sistem yang saling terkait erat, yaitu sub-sistem agribisnis


(1)

Kelapa Dalam 4,87 4,86 5,44 5,38 5,38 1,39 1,57 1,34 1,18 1,16 Potensial Kelapa Hibrida 5,28 4,94 3,22 3,91 3,94 0,68 0,61 0,39 0,46 0,46 Tidak Potensial Kelapa Sawit 23,17 23,28 29,47 32,98 36,33 3,00 2,86 3,58 3,91 4,21 Potensial Kemiri 6,07 6,43 6,00 6,13 6,13 0,31 0,37 0,33 0,34 0,33 Tidak Potensial Kopi 3,30 3,43 2,09 2,61 2,67 0,87 1,23 0,58 0,72 0,71 Tidak Potensial

Kapulaga - - - - Tidak Potensial

Lada 2,04 2,00 2,50 0,65 0,90 0,46 0,43 0,56 0,15 0,21 Tidak Potensial

Teh - - - - Tidak Potensial

Vanili - - - - Tidak Potensial

Sarolangun Kakao 1,25 1,24 1,26 3,63 3,61 0,17 0,24 0,24 0,70 0,69 Tidak Potensial Karet 7,18 7,18 7,55 7,58 7,54 1,52 1,74 1,81 1,73 1,70 Potensial Kayu Manis 7,86 7,68 3,02 3,02 3,02 2,25 2,48 0,74 0,66 0,65 Tidak Potensial Kelapa Dalam 4,87 4,86 5,10 4,70 4,70 0,63 0,60 0,62 0,56 0,54 Tidak Potensial Kelapa Hibrida 5,28 4,94 3,11 6,98 6,98 0,68 0,61 0,38 0,83 0,81 Tidak Potensial Kelapa Sawit 23,17 23,28 31,90 30,72 25,71 1,20 1,33 1,77 1,69 1,39 Potensial Kemiri 6,07 6,43 7,50 8,50 7,50 1,60 2,30 2,09 2,33 2,00 Potensial Kopi 3,30 3,43 2,16 2,34 2,52 0,75 0,74 0,49 0,53 0,57 Tidak Potensial

Kapulaga - - - - Tidak Potensial

Lada 2,04 2,00 2,50 2,03 1,67 0,41 0,45 0,54 0,49 0,41 Tidak Potensial

Teh - - - - Tidak Potensial

Vanili - - - - Tidak Potensial

F Kerinci Kakao - - - - Tidak Potensial

Karet 5,78 5,75 6,22 6,09 6,26 1,22 1,39 1,49 1,39 1,41 Potensial

Lanjutan Lampiran 7.

Produktivitas (kwintal/ha) Indeks Produktivitas Keterangan Wilayah KSP

Makro

Kabupaten/ Kota

Komoditas

Pertanian 1998 1999 2000 2001 2002 1998 1999 2000 2001 2002

Kayu Manis 16,33 20,24 19,90 24,34 22,92 4,67 6,53 4,89 5,35 4,93 Potensial Kelapa Dalam 1,54 1,77 1,61 1,92 1,92 0,20 0,22 0,20 0,23 0,22 Tidak Potensial

Kelapa Hibrida - - - - Tidak Potensial


(2)

Kemiri 1,60 2,36 0,52 2,70 2,64 0,42 0,85 0,14 0,74 0,70 Tidak Potensial Kopi 1,98 1,99 1,97 2,26 2,46 0,45 0,43 0,44 0,51 0,56 Tidak Potensial Kapulaga 3,00 2,76 3,14 2,00 2,09 1,11 0,95 1,01 0,57 0,54 Tidak Potensial Lada 1,17 1,20 3,33 1,67 1,83 0,24 0,27 0,73 0,40 0,45 Tidak Potensial Teh 20,93 21,29 21,29 24,55 20,90 1,97 2,08 2,06 2,26 1,92 Potensial Vanili 37,93 11,72 8,57 2,50 3,45 33,57 10,10 6,59 1,26 1,74 Potensial

Propinsi Kakao 2,33 2,29 2,33 3,64 3,59 0,32 0,43 0,45 0,70 0,69 Tidak Potensial

Jambi Karet 7,20 7,39 7,42 7,34 7,27 1,53 1,79 1,78 1,68 1,64 Potensial

Kayu Manis 15,07 18,12 18,29 22,26 21,04 4,31 5,85 4,49 4,89 4,52 Potensial Kelapa Dalam 14,13 14,15 14,16 13,95 13,95 1,83 1,74 1,72 1,65 1,62 Potensial Kelapa Hibrida 4,80 4,21 2,11 3,97 3,97 0,62 0,52 0,26 0,47 0,46 Tidak Potensial Kelapa Sawit 21,52 24,21 30,02 30,68 30,25 1,11 1,39 1,66 1,69 1,63 Potensial Kemiri 3,36 3,56 1,33 3,16 3,22 0,88 1,28 0,37 0,87 0,86 Tidak Potensial Kopi 2,93 2,88 2,66 2,98 3,01 0,66 0,62 0,60 0,68 0,69 Tidak Potensial Kapulaga 3,12 3,14 3,44 3,80 3,34 0,63 0,70 0,75 0,91 0,81 Tidak Potensial Lada 3,24 3,03 3,38 2,19 2,28 1,20 1,04 1,09 0,63 0,58 Tidak Potensial Teh 20,93 21,29 21,29 24,55 20,90 1,97 2,08 2,06 2,26 1,92 Potensial Vanili 33,28 11,72 8,57 2,50 3,45 29,45 10,10 6,59 1,26 1,74 Potensial

Lampiran 8. Analisis basis ekonomi

a. LQ Tenaga Kerja

Tenaga Kerja (KK) Indeks LQ Tenaga Kerja

Wilaya

h

KSP Makro

Kabupaten/ Kota

Komoditas

Pertanian 1998 1999 2000 2001 2002 1998 1999 2000 2001 2002 Keterangan Timur A Tanjab Barat Karet 5.309 5.435 4.653 4.653 4.653 0,32 0,34 0,28 0,28 0,28 Non Basis

Kelapa Dalam 25.065 26.679 29.341 24.232 24.232 3,08 3,54 3,76 2,79 3,22 Basis Kelapa Sawit 10.559 10.559 10.823 10.847 10.836 1,80 1,95 1,65 1,60 1,75 Basis


(3)

B Tanjab Timur Karet 2.376 2.182 2.800 1.848 1.848 0,16 0,15 0,18 0,12 0,13 Non Basis Kelapa Dalam 21.729 20.115 22.562 25.309 22.589 2,98 2,98 3,13 3,22 3,48 Basis

Kelapa Sawit 0 0 0 438 438 0,00 0,00 0,00 0,07 0,08 Non Basis

Tengah C Batanghari Karet 29.570 29.570 29.398 31.093 31.122 2,00 2,13 1,94 2,01 2,06 Basis Kelapa Dalam 2.422 2.422 2.350 2.704 2.350 0,34 0,37 0,33 0,34 0,35 Non Basis Kelapa Sawit 10.693 10.693 13.536 10.845 11.818 2,08 2,25 2,24 1,74 2,11 Basis Muaro Jambi Karet 15.410 15.410 17.121 15.261 15.363 0,85 0,90 0,92 0,81 0,81 Non Basis

Kelapa Dalam 3.849 3.849 3.921 3.921 3.921 0,44 0,47 0,44 0,41 0,46 Non Basis Kelapa Sawit 16.025 16.025 21.025 16.848 16.376 2,53 2,74 2,83 2,23 2,34 Basis

Kopi 610 610 610 610 610 0,23 0,25 0,26 0,21 0,20 Non Basis

Kapulaga 27 27 27 27 27 0,70 0,71 0,81 0,70 0,68 Non Basis

Lada 90 90 90 90 90 1,12 1,22 1,26 1,27 1,24 Basis

D Bungo Karet 28.429 28.070 27.173 31.053 30.897 1,77 1,64 1,56 1,77 1,81 Basis Kelapa Sawit 3.908 3.895 2.433 6.491 9.607 0,70 0,67 0,35 0,92 1,52 Non Basis Tebo Karet 35.357 34.912 34.595 36.698 39.551 2,15 2,00 1,99 2,04 2,23 Basis

Kelapa Sawit 4.974 4.959 9.379 7.553 6.658 0,87 0,83 1,35 1,04 1,01 Non Basis Barat E Merangin Karet 37.616 36.257 39.041 39.001 39.421 2,01 1,74 1,95 1,90 1,96 Basis

Kelapa 14.500 14.500 14.502 14.142 14.142 1,60 1,46 1,53 1,34 1,56 Basis Kelapa Sawit 17.337 17.337 17.955 18.138 11.671 2,66 2,43 2,25 2,19 1,57 Basis Kayu Manis 7.630 7.630 7.630 7.630 7.704 1,81 1,65 1,75 1,71 1,73 Basis

Lanjutan Lampiran 8.

Tenaga Kerja (KK) Indeks LQ Tenaga Kerja Wilayah KSP

Makro

Kabupaten/ Kota

Komoditas

Pertanian 1998 1999 2000 2001 2002 1998 1999 2000 2001 2002 Keterangan Sarolangun Karet 31.215 30.086 35.917 34.517 27.039 2,36 2,05 2,56 2,38 1,90 Basis


(4)

Kemiri 187 187 175 175 175 0,66 0,57 0,53 0,53 0,53 Non Basis

F Kerinci Karet 288 302 209 267 219 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 Non Basis

Kayu Manis 24.246 24.228 24.810 25.149 25.212 4,56 4,81 4,88 4,91 4,99 Basis

Teh 0 0 0 0 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Non Basis

Vanili 4.175 4.175 3.687 2.820 2.652 6,60 7,00 7,50 8,77 8,35 Basis

Propinsi Karet 182.524 185.570 190.907 194.391 190.113

Jambi Kelapa 88.088 88.563 90.675 100.081 85.646

Kelapa Sawit 63.468 63.496 76.036 78.276 70.331

Kopi 26.364 26.937 24.432 30.139 30.139

Kapulaga 385 414 341 400 400

Kemiri 3.945 4.153 4.462 4.385 4.385

Kayu Manis 41.019 41.188 41.536 42.186 42.186

Lada 803 803 734 730 730

Teh 0 0 0 0 0

Vanili 4.879,0 4.879,0 4.012,0 2.652,0 2.652,0

Lanjutan Lampiran 8.

b. LQ Pendapatan

Pendapatan (Juta Rupiah) Indeks LQ Pendapatan) Wilayah KSP

Makro

Kabupaten/ Kota

Komoditas


(5)

Timur A Tanjab Barat Karet 28.307 28.340 32.648 31.553 31.613 6,80 7,69 9,02 7,72 7,30 Basis Kelapa Dalam 54.579 54.664 54.539 55.021 55.021 25,97 23,87 23,85 22,24 20,81 Basis Kelapa Sawit 23.995 30.542 43.832 49.896 49.100 10,06 11,32 15,15 15,43 13,91 Basis B Tanjab Timur Karet 5.160 5.168 6.388 5.788 5.293 1,12 1,32 1,49 1,27 1,14 Basis Kelapa Dalam 44.447 44.517 44.642 44.694 44.694 19,08 18,26 16,49 16,19 15,74 Basis Kelapa Sawit 809 1.030 1.900 1.457 1.458 0,31 0,36 0,55 0,40 0,38 Non Basis Tengah C Batanghari Karet 90.797 99.189 107.079 99.271 99.271 37,26 42,31 48,93 45,54 40,46 Basis

Kelapa Dalam 362 356 355 361 361 0,29 0,24 0,26 0,27 0,24 Non Basis Kelapa Sawit 20.237 28.640 58.867 60.447 62.359 14,50 16,68 33,64 35,07 31,17 Basis Muaro Jambi Karet 47.477 51.867 60.945 49.372 49.495 19,14 23,39 27,89 20,10 19,81 Basis

Kelapa Dalam 213 210 211 212 212 0,17 0,15 0,15 0,14 0,14 Non Basis Kelapa Sawit 24.793 35.088 59.392 81.299 81.883 17,45 21,60 34,00 41,85 40,20 Basis

Kopi 66 66 65 66 68 0,08 0,08 0,07 0,06 0,07 Non Basis

Kapulaga 4 4 4 4 4 0,25 0,23 0,20 0,16 0,15 Non Basis

Lada 0 29 26 26 0 0,00 0,39 0,35 0,35 0,00 Non Basis

D Bungo Karet 91.409 85.020 79.454 90.606 91.179 37,55 39,16 36,97 37,59 37,19 Basis Kelapa Sawit 8.047 16.967 15.667 31.225 44.763 5,77 10,67 9,12 16,38 22,40 Basis Tebo Karet 150.846 140.300 145.072 147.371 138.659 88,40 90,46 94,50 90,64 80,69

Basis

Kelapa Sawit 4.218 8.894 16.718 15.576 15.749 4,31 7,83 13,62 12,12 11,24 Basis Barat E Merangin Karet 101.122 101.174 103.401 105.340 107.496 39,74 44,37 46,23 41,80 41,94 Basis

Kelapa 332 331 337 337 337 0,26 0,23 0,24 0,22 0,22

Non

Basis

Kelapa Sawit 25.062 26.610 61.771 45.771 51.822 17,19 15,93 34,55 22,97 24,80

Basis

Kayu Manis 3.523 3.550 3.493 3.530 3.533 61,69 66,59 49,03 41,73 40,82 Basis


(6)

Pendapatan (Juta Rupiah) Indeks LQ Pendapatan

Wilaya

h

KSP Makro

Kabupaten/ Kota

Komoditas

Pertanian 1998 1999 2000 2001 2002 1998 1999 2000 2001 2002 Keterangan Sarolangun Karet 118.760 118.821 116.735 123.713 130.944 54,52 61,77 60,09 57,35 59,69

Basi

s

Kelapa Sawit 11.671 12.392 11.975 39.075 23.164 9,35 8,80 7,71 22,91 12,95

Basi

s

Kemiri 4 5 3 3 3 0,13 0,27 0,09 0,09 0,08

Non

Basi

s

F Kerinci Karet 423 410 431 358 224 0,12 0,13 0,13 0,10 0,06 Non Basis

Kayu Manis 45.663 52.230 52.450 64.468 60.790 558,4 684,5 513,9 532,2 490,5 Basis Teh 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 42,30 42,72 43,10 38,83 38,73 Basis Vanili 2.000 1.000 3.000 1.000 1.000 1,49 0,47 2,02 0,51 0,35 Non Basis Propinsi Karet 634.302 630.289 652.153 653.371 654.176 18,38 21,29 21,73 19,65 19,34 Basis

Jambi Kelapa 103.127 103.299 103.302 103.978 103.978 5,92 5,61 5,45 5,17 5,04 Basis

Kelapa Sawit 118.829 160.161 270.120 324.745 330.160 6,01 7,39 11,26 12,35 11,97 Basis Kopi 15.771 15.369 15.318 16.083 16.639 1,43 1,36 1,14 1,16 1,20 Basis

Kapulaga 4 4 4 4 4 0,99 0,86 0,79 0,84 0,77 Non Basis

Kemiri 4 5 3 3 3 0,05 0,12 0,03 0,09 0,10 Non Basis

Kayu Manis 49.245 55.993 56.155 68.100 64.425 63,58 80,90 58,77 61,01 56,42 Basis

Lada 0 29 26 26 0 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 Non Basis

Teh 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 4,47 4,71 4,60 4,21 4,20 Basis Vanili 2.000 1.000 3.000 1.000 1.000 0,14 0,08 0,22 0,05 0,05 Non Basis