PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM
BAB III PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM
3.1. Latar Belakang
Penguasaan Negara atas sumber daya alam berajak dalam penjabaran usaha perekonomian nasional yang ada dalam sejumlah undang-undang di bidang sumber daya alam. Dengan dasar yuridis formal undang-undang tersebut menunjuk Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), UUD 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi pilar dasar berpikir, dengan meletakan perekonomian sebagai dasar bidang ekonomi, dalam hubungan Negara dan masyarakat terhadap sumber daya alam yang ada, sebagai komponen ekonomi .
Jika dikontruksikan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk menjawab bagaimana konsep penguasaan Negara atas sumber daya alam itu; bagaimana sumber daya alam itu ditujukan untuk menjamin kemakmuran rakyat dan bagaimana peran swasta/modal/investor dalam perekonomian berkaitan dengan sumber daya alam. Pasal 33 ini pada level supra struktur politik akan mengarahkan perdebatan yang membenturkan konsep penguasaan publik dengan konsep kepemilikan perdata dari negara terhadap sumber daya alam, beserta konsekuensi hubungan hukumnya.
Hak Menguasai Negara (HMN), yaitu suatu hak yang dimiliki negara secara mutlak dalam menguasai sesuatu. Dalam konteks sumber daya alam, HMN yang dimaksud adalah hak negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana termaktub Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Kewenangan negara terhadap sumber daya alam itu, pada masa pemerintahan orde lama. Ditafsirkan dengan dikeluarkan UU No. 5-1960.
Tujuan utama dari UU No. 5-1960 adalah untuk melakukan redistribusi tanah dan melakukan pemerataan penguasaan tanah bagi rakyat. Menurut Mahfud M D, UU No. 5-1960 merupakan produk hukum yang sangat responsif, berwawasan kebangsaan, mendobrak watak kolonialis yang masih mencengkeram bangsa Indonesia hingga 15 tahun menjadi bangsa dan negara merdeka (tahun 1945 hingga tahun 1960). Pada masa itu, UU No. 5-1960 adalah aturan utama sebagai landasan pengaturan pertanahan, air, hutan, perkebunan, dan pertambangan.
Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah berusaha menata perekonomian dengan berkiblat kepada kepentingan modal. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1967), kemudian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5-1967), UU No. 11- 1967. Dalam ketiga undang-undang tersebut, pemerintah menempatkan prioritas modal asing.
Hak menguasai Negara dalam sumber daya alam, khususnya pertambangan dan kehutanan, dijadikan alat untuk melegalisasi kekuasaan pemerintah terhadap sumber daya alam yang berlebihan terutama untuk mendukung kelompok-kelompok kepentingan modal asing waktu itu. Di sisi lain pemerintah tidak mengakui pentingnya perlindungan fungsi dan daya dukung ekosistem sumber daya alam. Lahirnya UU No. 5-1967 dan UU No. 4-2009, dimaknai sebagai satu bentuk pemisahaan pengaturan tersendiri pada sumber daya alam, tidak berpangkal pada UU No. 5-1960.
Dalam perundang-undangan sumber daya alam tersebut, spealisasi itu diwujudkan menjadi sektrolisasi sumber daya alam yang secara objektif (alam dan lingkungan dieksploitasi) dinilai dengan kuantitatif dan spesifik yang diurus oleh instansi pemerintah secara khusus. Hal ini kemudian menghadirkan konflik antar depertemen yang mengurusi sumber daya alam (ego sektoral). Karena adanya ruang sumber daya alam yang tumpang tindih dalam pengaturan dan pengolahaan sumber daya alam antar instansi seperti BPN, Kementerian Lingkungan, Kehutanan, Pertambangan, dan lain-lain.
Fungsi penguasaan negara dalam menguasai sumber daya alam dalam UU No. 5-1960, penguasaan negara atas sumber daya alam dilembagakan dengan konsep HMN. Konsep tersebut memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk:
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Ini dasar yang penting dalam pengertian penguasaan negara atas sumber daya alam, dan menarik dikaji dalam hubungannya dengan putusan penguji Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UU No. 20-2002).
Mahkamah Konstitusi mengkons truksikan makna ”dikuasai negara” pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan melihat 5 (lima) fungsi negara dalam hal menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamya, antara lain: O Pengaturan (regelandaad);
O Pengelolaahan (beheersdaad); O Kebijakan (beleid); O Pengurusan (bestuursdaad); dan O Pengawasan (toezichthouensdaad).
bahwa, konsep penguasaan negara atas sumber daya alam lahir dari konsep hubungan publik. Konsepsi penguasan negara merupakan hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Dengan demikian paham kedaulatan rakyat itu, seharusnya rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus Dengan demikian paham kedaulatan rakyat itu, seharusnya rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus
Sedangkan konsep keperdataan penguasaan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini melegalkan hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan itu, tidak berarti bahwa pemerintah dapat menjual sumber daya alam kepada pihak swasta/investor, melainkan melakukan hubungan kontrak atau perjanjian dengan pihak swasta berkaitan dengan peralihan hak atas sumber daya alam. Di dalam hubungan keperdataan yang bersifat konsensual dari perjanjian atau kontrak antara kedua pihak atau lebih.
Konsep penguasaan negara atas sumber daya alam harus dilihat sebagai bagian dari sistem hak atas sumber daya alam. Hak dalam kontruksi politik, maka ia bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengembangan hak dalam suatu sistem hak.
Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila mengarah kepada satu tujuan. Tujuan yang digariskan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga rakyat adalah subjek yang seharusnya terlibat secara partisipatif dan menentukan dalam penguasaan serta pengeloalan sumber daya alam yang ada.
Rakyat dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang utama dalam upaya untuk mendapatkan kemakmuran, dalam tataran ini setiap penguasaan terhadap sumber-sumber hajat orang banyak, dan penguasaan sumber daya alam. Rakyat yang seharusnya didepankan dalam konteks negara. Namun pasca orde baru, pergantian kepimpinan dan perubahan di berbagai sektor semangat refomasi berlangsung, terjadi perubahan yang mendasar.
Eskalasi perubahan untuk level hukum yang tertinggi terjadi dalam paket perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk perubahaan di level undang-undang dan kebijakaan dibawahnya. Di bidang peraturan perundang- undangan sumber daya alam, masih mempertahankan pola fragmentasi dalam berbagai peraturan bergaya orde baru tetap dilanjutkan dan bersifat masif.
Dalam artian pada level di bawah undang-undang terdapat peraturan yang banyak disorot, dan jadi polemik di masyarakat Dalam artian pada level di bawah undang-undang terdapat peraturan yang banyak disorot, dan jadi polemik di masyarakat
Ini mensyaratkan, bahwa peraturan yang dibuat dalam di bidang sumber daya alam, memberi ruang yang terbuka terjadinya kapalitas modal yang memandang sumber daya alam sebagai komoniti yang dijualbelikan untuk kepentingan investasi dan asing. Penguasaan sumber daya alam yang menguasai hajat orang banyak seperti air, listrik, panas bumi, minyak dan gas bumi, kehutanana, perkebunanan, perikanan dan penanaman modal. Dalam level undang-undang telah melegalisasikan sumber-sumber daya alam yang dikuasai negara, pada hakekitnya menjadi urusan privat dan pemilik modal. Penguasaan sumber daya alam yang dikuasai oleh korporat atau perusahaan swasta/asing, telah menyampingkan hak- hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dikelolahnya. Kemudian rakyat yang menjadi korban atas kebijakan penguasaan negara atas sumber daya alam. Masyarakat diusir, digusur, dipinggirkan dan dijauhkan dari hidupnya dengan sumber alam yang ada.
Negara dalam hal ini gagal melindungi kepentingan rakyat dalam hubungan publik, negara telah menjual sumber daya alam ini pada korporat/swasta, mengarah pada hubungan privat antara negara. Sementara rakyat tidak terlibat didalamnya, akibatnya
kemiskinan, masalah ekologi, dan bencana. 1
Dasar hukum asas hak menguasai negara. Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
1 http://polhukam.kompasiana.com/hukum/2010/07/08/hak-penguasaan-negara-atas- sda-di-kaltim-188213.html.
pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada Pasal 2 UU No. 5-1960 yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. asas ini sebenarnya memiliki semangat pengganti asas domein verklaring yang berlaku pada masa kolonial belanda, yang ternyata hanya memberikan keuntungan pada pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Hak menguasai dari negara memberi wewenang kepada negara untuk:
a . Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang- undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :
Penatagunaan tanah; Pengaturan tata ruang; Pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
b . Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang- undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti:
Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (land reform) , Pengaturan hak pengelolaan tanah.
c . Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti
Pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Hak tanggungan, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU No. 4-1996), hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Hak tanggungan dapat digolongkan ke dalam hubungan hukum antar orang dan perbuatan hukum atas tanah, karena pada dasarnya hak tanggungan adalah merupakan ikutan (asesoris) dari suatu perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.
Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.
Dinamika pembangungan nasional, sering kali menuntut negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada negara untuk dipergunakan bgai kepentingan umum.Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.
Turunan dari UU No. 5-1960 yang secara eksplisit dibunyikan pada undang-undang lainnya tentang hak menguasai dari negara, antara lain tercantum pada: % Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5-1967). Pasal 5 ayat (2) UU No. 5-1967, redaksi dan konstruksinya persis seperti pasal 2 ayat (2) UU No. 5-1960, hanya saja tidak menggunakan UU No. 5-1960 sebagai salah satu referensinya.
% Pada Pasal 1 angka 1 UU No. 11-1967 yang mengatur mengenai penguasaan bahan galian
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi (UU No. 3-1972).
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (UU No. 11-1974).
% UU No. 23-1997. % Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No. 22-2001). % Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UU No. 25-2007). Maria S W Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yaitu pertama, oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa hal- hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut.
Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan.
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
Dari uraian diatas, maka kita mendapat dengan mengetahui bahwa ada unsur keadilan dalam sudut pandang Hobbes dengan adanya penguasaan oleh negara. Menurut beliau, tidak ada keadilan alamiah yang lebih tinggi daripada hukum positif. Jika dikaitkan lebih jauh dengan teori keadilannya Hobbes dengan hak menguasai negara terhadap pertambangan yang tercantum pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka akan semakin jelas titik tautnya pada suatu konsep bela iu “Untuk tercapainya perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat, orang-orang harus menyerahkan kebanyakan hak-hak alamiahnya kepada suatu kekuata n yang berdaulat dalam negara”.
d. Implementasi di masyarakat
Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari undang-undang dasar atau konstitusi negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara
dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau pemerintah harus memiliki sense of public service , sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public obedience . Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara
memperoleh legitimasi politik dan legitimasi sosial. 2 Otoritas negara, dalam hal ini Negara Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana dalam pembukaan atau mukadimah undang-undang dasar dinyatakan bahwa salah satu tugas negara yang membentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia.
Kemudian, dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan dan dideklarasikan
2 Humambalya. 2011. Hak Menguasai Negara (yang menggila). Diakses dari http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-
menggila/Januari 2014.
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya adalah dikuasai oleh negara. Pasal tersebut tidak mengikutkan wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara.
Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan kuasa baik kepada badan usaha maupun perorangan untuk melakukan pengusahaan/pengelolaan atas bahan galian dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk pembuatan kontrak karya pertambangan yang memuat kedudukan seimbang antara negara selaku pemilik bahan galian (prinsipal) dengan investor (kontraktor pertambangan). Oleh karena itu, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten sebagai wakil negara tidak sebatas dalam bentuk pemberian izin saja, melainkan juga turut serta mengawasi semua bentuk pengusahaan
pertambangan. 3 Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konsep penguasaan negara Pan Mohamad Faiz. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia karena didalamya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hiduporang banyak; dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Berarti dalam
3 http://civicsedu.blogspot.com/2012/06/asas-hak-menguasai-negara-hukum- agraria.html.
hal ini, selama 60 tahun Indonesia merdeka, selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga memperoleh tafsiran yang seragam.
Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara. Diantaranya yaitu:
Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yangdiberi kekuasaan untuk mengatur segala- galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum. Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan.
Sedangkan menurut J J Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagaisuatu badan atau organisasi rakyat
bersumber dari hasil perjanjian masyarakat yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membeladan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.
Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa. Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar- besarnya kemakmuran rakyatakan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut: ® Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang
didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
® Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu ® Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu
® Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Berikut ini adalah beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi “dikuasai oleh negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara
lain yaitu: Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.
Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:
a Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat;
a Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinyapersertaan pemerintah;
a Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara; dan
a Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.
Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut: (1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara
melalui Pemerintahadalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk disini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya,
(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk
usaha-usaha tertentu Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:
1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dariperekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektivitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelolah, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajatorang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services) , harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga dapat kita cermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya alam. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU No. 22-2001), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UU No. 20-2002), dan UU No. 7-2004 menafsirkan mengenai “hak menguasai negara” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalampengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid) , melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad)
Dengan demikian, makna hak menguasai negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.
Seperti penafsiran Mohammad Hatta yang kemudian diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelolah ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam Seperti penafsiran Mohammad Hatta yang kemudian diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelolah ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam
Catatan bagi UU No. 7-2004 mengenai perkara judicial review UU No. 7-2004 yang diajukan oleh sekelompok warganegara Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu pertimbangan khusus didalam putusannya yaitu ketentuan mengenai conditionally constitutional. Ketentuan ini tentunya masih asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan ketentuan conditionally constitutional , yang merujuk pada perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia hukum peradilan Indonesia
Secara garis besar, ketentuan tersebut mempunyai pengertian bahwa apabila undang-undang, dalam hal ini UU No. 7-2004, dalam pelaksanaannya ditafsirkan berbeda dengan apa yang ditafsirkan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusannya, maka terhadap undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk dapat diajukan pengujian kembali.
Dengan adanya pertimbangan ini, sepertinya dapat kita artikan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak saja menilai atas segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan hukumnya, tetapi juga mencoba untuk membuat pertimbangan sehingga mengeluarkan putusan yang bervisi ke masa depan, khususnya dalam mengawal pelaksanaan undang-undang tersebut agar tetap sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terlepas dari isi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang sumber daya air yang menyatakan bahwa permohonan pemohon ditolak, yang jelas keberadaan ketentuan tersebut sempat menjadi perdebatan hangat.
Sebagai konsekuensi logis atas putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan judicial review UU No. 7-2004 tersebut, berbagai peraturan pemerintah yang harus dan akan dibuat atas perintah dari dan untuk melaksanakan UU No. 7-2004 harus betul-betul memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan dimaksud. Sebab apabila tidak, besar kemungkinan akan terkena conditionally constitutional warning dari Mahkamah Konstitusi, yang untuk k edua kalinya akan “berijtihad” setelah menyatakan
Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24-2003) tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat) dengan membuka kemungkinan dapat diajukannya kembali pengujian UU No. 7-2004 dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 60 UU No. 24-2003 yang menyatakan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.