HUKUM SUMBER DAYA ALAM diatur

PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK

PRAKATA

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam melimpah tentu saja wajib menjaganya dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Berawal dari kegalauan tersebut, saya ingin menunjukkan eksistensi diri dalam karya ilmiah berjudul “Hukum Sumber Daya Alam”. Di dalam karya ilmiah ini, menyajikan konstelasi pemikiran yang dapat digunakan dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan terkait sumber daya alam.

Saya berharap karya ilmiah ini bagai ex caelis oblatus.

Surabaya, Juni 2014

Penulis

SENARAI ISI

KAJIAN HUKUM TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

12

BAB III

PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM

31

BAB IV PENYELESAIAN KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM 47

BAB V

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

56

BAB VI

KAJIAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

60

71

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Pengantar

Sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelolah secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.

Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi kepada konservasi sumber daya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.

Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan. Telah terjadi banyak kerusakan atas sumber daya alam kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber daya alam tersebut. Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas, Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam di mana hal ini sebagai mata kuliah baru di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama. Pada dasarnya merupakan materi kuliah yang mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atau tentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untuk dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan. Telah terjadi banyak kerusakan atas sumber daya alam kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber daya alam tersebut. Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas, Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam di mana hal ini sebagai mata kuliah baru di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Widya Gama. Pada dasarnya merupakan materi kuliah yang mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atau tentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untuk dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan

1.2. Istilah Dan Pengertian

Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang- undang”.

Demikian juga pada ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan “Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini ”.

Pengertian sumber daya alam sendiri secara yuridis cukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian sumber daya alam ini dari Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut “Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi

alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan”.

Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2000 Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2000

Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan “Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 diantaranya adalah Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat peraturannya ”. Namun demikian penjelasan dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35- 2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.

Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari pendapat Siti Sundari Rangkuti, yang menyatakan “Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan ”. Berdasarkan kepentingan- kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan:

Hukum Bencana (Ramperenrecht); Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht); Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke

rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law); Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;

Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”.

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum Sumber Daya Alam merupakan bagian dari Hukum Lingkungan. Menurut Rangkuti, Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai- nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”.

Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan sumber daya alam maka Hukum Sumber Daya Alam adalah hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan sumber daya alam maka Hukum Sumber Daya Alam adalah hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya

1.3. Bidang Sumber Daya Alam Dan Kelembagaan Pengelolaannya

Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan sumber daya alam di Indonesia antara lain adalah: Q Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UU No. 5-1960);

Q Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (UU No. 11-1967);

Q Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air (UU No. 7-2004); Q Bidang Perikanan yang telah diatur oleh Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU No. 31-2004);

Q Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU No. 5-1990);

Q Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU

No. 41-1999). Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelolah oleh lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang menanganinya diantaranya adalah Departemen Dalam Negeri melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan; dan Departemen Kehutanan.

Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal sumber daya alam tidak diatur dan dikelolah secara sektoral namun dikelolah secara terpadu di bawah koordinasi lembaga yang memang berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup).

Hal ini sebagaimana amanat yang diatur di dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23-1997) Pasal 8 hingga Pasal 11. (Kenyataannya sampai hari ini persoalan sumber daya alam masih secara sektoral, oleh karena itu kemudian sekarang sedang diupayakan bahwa sumber daya alam dikelolah secara terpadu dan diatur tidak lagi secara sektoral. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sedang menggodok undang-undang pengelolaan sumber daya alam yang mengatur sumber daya alam secara terpadu).

1.4. Kondisi Faktual Sumber Daya Alam Di Indonesia

Sumber daya alam selain dapat dikategorikan dalam bentuk modal alam (natural resources stock) seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain. Juga dalam bentuk faktor produksi atau komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan, dan lain-lain. Upaya pelestarian kedua kategori sumber daya alam tersebut sangat ditentukan oleh daya dukungnya, karena memiliki keterbatasan untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan. Selain itu, sumber daya alam dapat dikategorisasi menjadi sumber daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam perlu ada perlakuan yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya.

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan, total garis pantai mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 5.500.000 km persegi, sedangkan total perairan laut seluas 5.800.000 km persegi. Potensi maksimum perikanan laut sebesar 6.700.000 sampai 7.700.000 metrik ton sedangkan untuk perikanan darat sebesar 3.600.000 metrik ton dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 30%. Terumbu karang di Indonesia mengandung lebih dari 70 (tujuh puluh) genus dan merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman karang (coral) paling tinggi di dunia.

Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel, batubara, bauksit dan sebagainya. Saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970-an Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel, batubara, bauksit dan sebagainya. Saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970-an

Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan. Dalam kurun waktu tiga dekade sejarah pertambangan banyak diwarnai konflik dengan masyarakat lokal karena ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Salah satu penyebabnya adalah sistem perijinan pertambangan yang dikelolah secara tersentralisasi, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat/lokal. Manajemen pertambangan yang sentralistis juga menimbulkan benturan kepentingan antara pertambangan dengan sektor lain. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada para investor melalui sistem kontrak karya sebagian besar terletak dalam kawasan hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman nasional, sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan taman nasional.

Dalam kondisi krisis, pemerintah mengharapkan ekspor pertambangan di pasar global akan menambah pendapatan negara dan menstabilkan nilai tukar asing serta mengontrol defisit. Namun dari pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini, akan sukar untuk mengandalkan industri pertambangan yang eksis saat ini. Peningkatan pendapatan negara hanya akan terjadi jika industri yang ada saat ini meningkatkan produksi atau profit. Artinya, akan terjadi berbagai implikasi yang terkait dengan lingkungan.

Peningkatan aktivitas pertambangan tentunya akan menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan skala kecil hanya akan memberi masukan pencemaran lingkungan dibandingkan hasilnya. Kesulitan pengawasan dan lemahnya Peningkatan aktivitas pertambangan tentunya akan menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan skala kecil hanya akan memberi masukan pencemaran lingkungan dibandingkan hasilnya. Kesulitan pengawasan dan lemahnya

Untuk sumber daya hutan, hutan tropis Indonesia sejak tahun 1967 telah dieksploitasi untuk meningkatkan pendapatan dan menghasilkan devisa negara, sehingga laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.800.000 ha per tahunnya. Kawasan hutan yang sudah ditebang oleh para pemegang HPH mengalami kerusakan mencapai 55% atau hampir mencapai 23.000.000 ha.

Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi di kawasan hutan konservasi, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia, yaitu 10.000 jenis tumbuh-tumbuhan, 1.500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar, pada satu dekade terakhir ini terancam semakin punah. Kebakaran hutan tahun 1997-1998 akibat pembukaan lahan (konversi hutan) untuk perkebunan besar kelapa sawit dengan cara bakar, mencapai hampir 5 ha luas hutan dengan kerugian ekonomi sebesar US$ 8 milyar.

Di Sumatera, total penurunan luas kawasan hutan dari 23.000.000 ha menjadi 16.000.000 ha di mana Sumatera Selatan dan Jambi tercatat sebagai wilayah yang tercepat penurunan luas hutannya. Di Kalimantan, total penurunan luas kawasan hutan dari 40.000.000 ha menjadi 30.000.000 ha, di mana Kalimantan Timur memiliki tingkat konversi hutan tertinggi. Sedangkan di Sulawesi laju penurunan luas hutan tergolong rendah, namun lebih karena konversi hutan sudah dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an. Dari tiga pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dari kurang lebih 69.000.000 ha luas hutan, saat ini hanya sekitar 57.000.000 ha. Artinya terjadi pengurangan kawasan hutan lebih dari 12.000.000 ha. Menurut World Bank (2000), jika pengelolaan sumber daya hutan tidak berubah, maka Sumatera akan kehilangan hutannya pada tahun 2005 dan Kalimantan 2010. Kondisi kehutanan semakin memprihatinkan, ketika ditemukan bahwa dari US$ 51.5 milyar utang swasta, ternyata US$ 4.1 milyar adalah utang industri Di Sumatera, total penurunan luas kawasan hutan dari 23.000.000 ha menjadi 16.000.000 ha di mana Sumatera Selatan dan Jambi tercatat sebagai wilayah yang tercepat penurunan luas hutannya. Di Kalimantan, total penurunan luas kawasan hutan dari 40.000.000 ha menjadi 30.000.000 ha, di mana Kalimantan Timur memiliki tingkat konversi hutan tertinggi. Sedangkan di Sulawesi laju penurunan luas hutan tergolong rendah, namun lebih karena konversi hutan sudah dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an. Dari tiga pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dari kurang lebih 69.000.000 ha luas hutan, saat ini hanya sekitar 57.000.000 ha. Artinya terjadi pengurangan kawasan hutan lebih dari 12.000.000 ha. Menurut World Bank (2000), jika pengelolaan sumber daya hutan tidak berubah, maka Sumatera akan kehilangan hutannya pada tahun 2005 dan Kalimantan 2010. Kondisi kehutanan semakin memprihatinkan, ketika ditemukan bahwa dari US$ 51.5 milyar utang swasta, ternyata US$ 4.1 milyar adalah utang industri

Di sektor perikanan, hampir 70% terumbu karang mengalami rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun, dan pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan bakau seluas 3.000.000 ha, hanya terdapat 36% yang hidup dalam kondisi baik. Sedangkan sisanya telah mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan untuk kayu bakar dan telah dikonversi menjadi tambak.

Di bawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22-1999), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23-2014), Menteri Kehutanan dilanjutkan kewenangannya untuk mengelolah seluruh kawasan lindung seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan kawasan buru. Pemerintah daerah dilibatkan dalam alokasi dan pengelolaan kawasan hutan lainnya, seperti daerah resapan air dan perlindungan hutan, hutan produksi dan kawasan lindung terbatas untuk konservasi, seperi taman hutan raya dan taman wisata.

Banyak kawasan lindung mencakup wilayah yang sangat luas, seperti dikemukakan oleh T N Lorentz luasnya 2.500.000 ha, hampir 60% mencakup wilayah administrasi satu kabupaten. Dengan adanya desentralisasi, maka tanggung jawab pemeliharaan kawasan lindung tersebut ada pada pemerintah daerah. Persoalan di pemerintah daerah adalah menambah anggaran bagi biaya operasional kawasan tersebut.

Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan sejauh ini belum didasarkan pada prinsip keadilan, keberlanjutan dan demokrasi, karena lebih diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga kurang memperhatikan kaidah-kaidah keadilan, pelestarian, konservasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.

Persoalan lainnya adalah limbah industri dan limbah domestik (rumah tangga) serta penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah menimbulkan pencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian yang Persoalan lainnya adalah limbah industri dan limbah domestik (rumah tangga) serta penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah menimbulkan pencemaran hampir seluruh sungai di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian yang

Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga terhitung tinggi di sebagian besar sumur penduduk, karena sekitar 13% dari sumur- sumur penduduk yang diperiksa di wilayah Jakarta Selatan mengandung zat kimia jenis merkuri, yang berasal dari bakteri coli dan amoniak dari limbah tinja, organo chloride dan organo phospor yang berasal dari pupuk kimia, detergen, pestisida, limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari industri.

Kondisi lingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian besar air sungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dan diproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan BAPEDAL terhadap kualitas air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari polutan yang mencemari air sungai ternyata berasal dari industri- industri yang membuang limbahnya ke sungai. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 2.200.000 ton limbah B3 telah dibuang ke sungai-sungai di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.

Sampai satu dekade ke depan, perekonomian Indonesia masih akan tergantung pada sektor sumber daya alam, seperti hutan, tambang, perikanan, yang tentunya akan menjadi peluang maupun risiko. Dalam situasi krisis ekonomi dan ketidakpastian politik serta banyaknya pelanggaran hukum, risiko yang mungkin terjadi dengan adanya desentralisasi di bidang sumber daya alam akan mempercepat penurunan kualitas lingkungan.

Dengan adanya kewenangan baru yang diberikan kepada pemerintah daerah maka kecenderungannya pemerintah daerah mengabaikan atau akan lebih intensif meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa melihat keseimbangan dan keamanan lingkungan. Kurangnya kapasitas teknis pengelolaan serta ketidakberpihakan pada kebutuhan masyarakat lokal akan akses sumber daya alam, kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya sumber daya alam dan kerusakan dalam jangka panjang dan mungkin juga tidak dapat dipulihkan bagi kebutuhan dasar akan sumber daya alam daerah tersebut.

Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas selain dipicu oleh kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik, Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas selain dipicu oleh kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik,

1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor (misalnya kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian). Pola ini tidak menghargai peran sumber daya alam sebagai fungsi publik misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan kualitas dan keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin rendah keragaman pangan menyebabkan semakin rendah keamanan pangan. Secara inheren, pendekatan sektoral merupakan pendekatan reduksionis sehingga memiliki cacat bawaan karena ukuran kinerja pembangunan dirumuskan secara parsial. Dalam kondisi yang demikian, seandainya setiap sektor berhasil pun berbagai kebutuhan publik yang diperlukan seperti aspek lingkungan hidup, kebutuhan antar generasi, dan lain-lain tidak akan mampu terpenuhi.

2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada equity yang berakibat minimnya perhatian terhadap penyelesaian masalah-masalah tenurial, terjadinya kesenjangan penyediaan infrastruktur ekonomi antar wilayah dan antar desa kota, dan rendahnya perhatian terhadap berbagai dampak negatif pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.

3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan replikasi dari pendekatan sektor di daerah dengan orientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat yang memegang fungsi-fungsi pengendalian dengan kriteria, standar, dan pedoman yang ditetapkan secara sentralistik akan kehilangan sifat komprehensif, apabila fungsi- fungsi pengendalian tersebut didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor.

4. Pola ini makin diperburuk oleh kondisi di mana tidak terdapat departemen yang mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga setiap departemen berjalan sesuai dengan visi sektoralnya masing-masing tanpa memperhatikan dan

pelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.

memperhitungkan

5. Kebijakan hukum pengelolaan sumber daya alam yang bercorak sentralistik seperti yang digunakan sampai saat ini selain tidak memberikan perlindungan bagi kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup, juga kurang memberi ruang bagi akses, kepentingan, dan hak-hak masyarakat adat atas penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Implikasi dari kondisi-kondisi seperti diuraikan di atas dari segi politis telah mengabaikan fakta pluralisme hukum dalam pengelolaan sumber daya alam; dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat; dari segi kehidupan sosial-budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat adat; dan secara ekologi telah menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam; sehingga kemudian selain muncul konflik-konflik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terjadi proses pemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat lokal.

BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

2.1. Peraturan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah UU No. 5-1960; UU No. 11-1967; UU No. 7-2004; UU No. 31-2004; UU No. 5-1990; dan UU No. 41-1999.

Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada

aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.

1. UU No. 5-1960 UU No. 5-1960 adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UU No. 5-1960 mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pasal 1 ayat (2)

menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan

nasional”. Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelolah secara terpisah? Dalam hubungan ini, UU No. 5-1960 memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UU No. 5-1960 menyatakan nasional”. Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelolah secara terpisah? Dalam hubungan ini, UU No. 5-1960 memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UU No. 5-1960 menyatakan

UU No. 5-1960 lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam.Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UU No. 5-1960 hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap- tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UU No. 5-1960 yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan UU No. 5-1960 yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UU No. 5-1960 dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UU No. 5-1960 memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara modern dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).

Dalam kenyataannya tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan.

Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UU No. 5-1960 dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.

Meskipun UU No. 5-1960 memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UU No. 5-1960 memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, Meskipun UU No. 5-1960 memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UU No. 5-1960 memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik,

UU No. 5-1960 menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasarnya adalah urusan pemerintah pusat. UU No. 5-1960 tidak mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.

Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UU No. 5-1960. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UU No. 5-1960 utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UU No. 5-1960 tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UU No. 5-1960.

2. UU No. 11-1967 Pemahaman tentang sumber daya alam dalam UU No. 11- 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. UU No. 11-1967 mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat. Pada saat ini UU No. 11-1967 telah diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu Bara (UU No. 4-2009).

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, UU No. 11-1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use- oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang. Undang- undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.

Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya”. Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).

UU No. 4-2009 ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan

B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.

Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan

Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.

3. UU No. 7-2004 Air yang dimaksudkan dalam UU No. 7-2004 ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU No. 7-2004 ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamya yang masih berpusat pada negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya semangat privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak-hak masyarakat termasuk didalamnya masyarakat adat tidak diakomodatif.

Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaan oleh pemerintah daerah didasarkan Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaan oleh pemerintah daerah didasarkan

4. UU No. 31-2004 UU No. 31-2004 ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam UU No. 31-2004 ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan.Dilihat dari sisi ini, cakupan UU No. 31-2004 ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU No. 31-2004 ini.

Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum. Ciri sumber daya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumber daya perikanan di masa mendatang.

Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU No. 31-2004 ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Dengan demikian UU No. 31-2004 telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.

Aspek lain yang menarik dalam UU No. 31-2004 ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta Aspek lain yang menarik dalam UU No. 31-2004 ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta

Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31-2004 ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang sama UU No. 31-2004 ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU No. 31-2004 ini merupakan undang-undang yang sangat terbarui dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.

UU No. 31-2004 juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU No. 31-2004 tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.

Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU No. 31-2004 juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU No. 31-2004 juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab

Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU No. 31-2004 disusun dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumber daya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan.

Selain dari aspek-aspek itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (UU No. 45-2009) juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perikanan ini.

Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumber daya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumber daya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah

Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 31-2004 baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung dibalik ketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumber daya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah. Meski UU No. 31-2004 ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat sektoral.

5. UU No. 5-1990 Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam UU No. 5-1990. UU No. 5-1990 ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

UU No. 5-1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya UU No. 5-1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya

kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

sistem

penyangga

Pasal 4 UU No. 5-1990 menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.