Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)

PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN
(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:
M. ZAKY AHLA FIRDAUSI
NIM. 1110044100041

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i


ABSTRAK
M. ZAKY AHLA FIRDAUSI. NIM. 1110044100041. “PENETAPAN ISBAT
NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan
Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)” Program Studi Hukum
Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses pengajuan Isbat Nikah bagi
Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, pertimbangan Hakim
pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs., dan pandangan Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran
setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan
isbat nikah nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. dan wawancara dengan hakim yang
menetapkan permohonan tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah
peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya
berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses pengajuan

isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa sama
dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama
WNI yang beragama Islam). Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun
1974 adalah bahwa permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan
menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan
suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Adapun alasan
permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.

Kata kunci: Isbat Nikah, Perkawinan Campuran, Penetapan Pengadilan Agama.
Pembimbing

: Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.

Daftar Pustaka

: Tahun 1980 s.d. 2014


KATA PENGANTAR



‫الرحيم‬
ّ ‫الرمن‬
ّ ‫بسم اه‬

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Rabbul
Izzati, Allah SWT., yang telah menerangi, menuntun dan membukakan hati serta
pikiran penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi
ini. Iringan shalawat dan salam senantiasa mengalir kepangkuan manusia pilihan,
Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Penetapan Isbat Nikah Bagi Perkawinan Campuran
(Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/Pdt.p/2014/PA.
Tgrs)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah
(S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut
ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :

i

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Bapak Arip Purkon M.A., Ketua Prodi
dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis.
4. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag., selaku dosen penguji I dan Ibu Sri Hidayati,
M.Ag., selaku penguji II, yang telah memberikan saran dan masukannya

kepada penulis guna kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani. M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan
studi perpustakaan.
8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Tigaraksa yang memberikan data
dan informasi yang penulis butuhkan.

ii

9. The Light Of My Life, Supporter tiada henti, kekuatan saat lemahku, pelipur
lara saat sedihku, Ayahanda Drs. Didi Kusnadi, M.Pd., dan Ibunda tercinta
Nuryati yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian dan
kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi yang

lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau
panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama
membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan
hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada
penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan Ibu selalu
tersenyum. Doakan selalu semoga anakmu ini selalu menjadi pribadi yang
baik, hamba Allah yang baik, dan menjadi anak yang membanggakan kalian.
Amiin. Ana UhibbukumaFillah.
10. Kepada Adik-Adiku Nadhia Rahma Al-Azkia, M. Zahid Noor El-Adly dan
Keluarga Besarku yang senantiasa ada dan berupaya membantuku dalam
menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta waktu. Terimakasih
untuk

selalu

memberikan

semangat

dan


membantu

penulis

untuk

menyelesaikan skripsi ini.
11. Big Thank’s To OPS Management Rifky (Ceper), Syahbana, Ulil Azmi, Rusdi,
Arkim, Zidni, Faudzan, Fajrul, Kahfi, Ipank, Zian, Erwin, Inayah, Rena,
Neneng, Arini, Khairunnisa serta sahabat-sahabat Peradilan Agama Angkatan
2010, Kawan Seperjuanganku Alif Septian, Redi, Luthfi dan sahabat S.M.S All
Stars yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman
seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.

iii

12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) DINAMIC dan Bapak Ibu
sekeluarga KKN Desa Kohod, Pakuhaji. yang selalu memberikan semangat
dan do’a kepada penulis.

Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.
Ciputat, 11 J u n i 2015 M.
24 Sya’ban 1436 H.
Penulis

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

BAB I


: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................

1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9

BAB II

D. Metode Penelitian ...................................................................

11

E. Study Review Terdahulu ........................................................

15


F. Sistematika Penulisan .............................................................

16

: HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN
A. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran ....................................

22

C. Prosedur Perkawinan Campuran ............................................ 25
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 28
BAB III

: ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Isbat Nikah ............................................................ 35

v


B. Dasar Hukum Isbat Nikah ....................................................... 38
C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah .............. 41
D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah .................................. 45
E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran ........................................

47

F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah ................... 48
BAB IV

: ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN DI
PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa .................... 51
B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ...

60

C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran
di Pengadilan Agama Tigaraksa .............................................. 65
D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor
0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs ........................................................ 66
E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam
Perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran Setelah
Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 ....................................... 69
F. Analisis Penulis ....................................................................... 73
BAB V

:PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 86
B. Saran ......................................................................................

88

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... 92

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing
2. Surat Permohonan Data dan Wawancara
3. Surat Balasan dari Pengadilan Agama Tigaraksa
4. Pedoman Wawancara
5. Hasil Wawancara
6. Penetapan Nomor : 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.

vii

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan awal terbentuknya institusi kecil dalam keluarga.
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, baik perorangan maupun
kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram
dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi
kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah SWT.
Perkawinan menurut pandangan

Islam

merupakan suatu ibadah,

sunnatullah, dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnatullah berarti menurut
Qadrat dan Iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah
Nabi Muhammad SAW berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Rasul yang
telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.1
Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh
aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak
tertulis (hukum adat).
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dijelaskan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
1

Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media,
2007), h. 41

1

2

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti saat ini, maka
komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya
terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Keterbukaan
Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu
pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Selain
itu, manusia mempunyai rasa cinta yang universal, tidak mengenal perbedaan warna
kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila
terjadi perkawinan antar manusia yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda
yaitu antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA).
Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah perkawinan campuran.
Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal 57 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut : ”Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kemudian menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana
para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana ditentukan oleh

3

hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat 1). Hal mana haruslah
dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat 2). Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika
pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat 4).
Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 60 tersebut, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memerintahkan pula supaya
perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61
ayat 1).
Perkawinan yang selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah
lembaga yang memberikan legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup
dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman
sebuah keluarga salah satunya ditentukan oleh syarat dan rukun yang telah
ditetapkan menurut syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain
yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan
Agama/Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri
maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

4

Pencatatan

perkawinan

bertujuan

untuk

mewujudkan

ketertiban

perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masingmasing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau
pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang
lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak
masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Jika perkawinan tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum maka mereka yang melaksanakan perkawinan
tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum atau memperoleh haknya ketika
terjadi pelanggaran atas perkawinan mereka. Keterlibatan pegawai pencatat nikah
dalam suatu perkawinan adalah untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu
terwujudnya ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum bagi masyarakat
dalam bidang perkawinan.
Oleh karena itu dalam pernikahan tersebut harus diatur sedemikian rupa
agar mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Keluarga sakinah
pada dasarnya terbentuk dalam 2 dimensi : dimensi kualitas hidup dan dimensi
waktu, durasi atau stabilitas.2 Untuk itulah di Indonesia dibuat UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, yang merupakan sumber hukum materil perkawinan.
Seiring dengan perkembangan zaman UU tersebut mulai menampakkan
kelemahannya. Pada dasarnya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

2

Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), h. 17

5

merupakan sumber hukum materil dalam peradilan. Namun saat ini dalam perkara
peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut.
Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah, seperti dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) bahwa Isbat Nikah yang
diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.3 Artinya jika mengacu kepada
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974
ketika seseorang menikah sebelum adanya UU Perkawinan tersebut (sebelum
tahun 1974) maka diperkenankan untuk melakukan Isbat nikah, karena pada saat
itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah.
Akan tetapi setelah adanya UU Perkawinan tersebut maka pihak yang
menikah sirri (nikah dibawah tangan) dilarang untuk melakukan Isbat Nikah.
Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Isbat nikah yang
masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan sirri tersebut
terjadi setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Tujuan utama disahkannya
UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upaya yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia adalah dengan pencatatan nikah. Adanya pencatatan
nikah ini, sebagai konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang
sah oleh hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan
perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan
perceraian, pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya.
3

Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan,
Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991), h.2

6

Seperti yang telah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 2
dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam pasal 2 ayat
(2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut
mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah diundangkannya UU No. 1
Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan. Tidak
dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak hukum bagi
pasangan suami-istri. Namun demikian pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
(b) Hilangnya Akta Nikah.
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian.
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No.1 Tahun 1974 dan.
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Pasal 7 ayat 3e KHI tersebut tampaknya memberikan celah hukum
sehingga seorang hakim mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan
Perkara Isbat nikah.
Dilakukannya isbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai
beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi

7

agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan

syarat-syarat

perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun

menurut

perundang-undangan. Ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif
pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan,
perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.4 Sedangkan yang kedua
adalah manfaat represif berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta
nikah karena lain hal, bisa mengajukan

isbat nikahnya (penetapan) kepada

pengadilan.5
Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana
empuk bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat
nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari pihak
lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri sudah hamil
menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah lahir anak yang
kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan lagi untuk poligami
lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir sama untuk tujuan sama.
Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim) untuk bertindak tegas atau
minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang masih pantas diberi isbat nikah.
Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat seperti ustad, kiyai, muballig,
meletakkan Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam Indonesia,
sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang diberlakukan di
Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih) Islam konvensional

4

Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-III,
h. 111-112.
5
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, h.117

8

yang dikonsepkan para imam mazhab di zamannya. Sehingga tidak ada lagi istilah
sah menurut agama tetapi belum menurut negara. Dengan ungkapan lain, undangundang itulah hukum Islam (agama) sekaligus hukum negara.6
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh
Isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensip penulis
menuangkannya ke dalam karya Ilmiyah berjudul “ Penetapan Isbat Nikah Bagi
Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor:
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyak perkara yang masuk dalam penetapan Isbat Nikah dalam
Lingkungan Pengadilan Agama Tigaraksa setiap tahunnya. Akan tetapi
dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada perkara Isbat Nikah
dengan alasan Perkawinan Campuran Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
2. Perumusan Masalah
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat nikah dapat
diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum diberlakukannya
Khoiruddin Nasution, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,” http://maulhayat.blogspot.com/
2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html (diakses pada 12 April 2014)
6

9

UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada penetapan pengadilan
tentang isbat nikah terhadap

perkawinan yang dilaksanakan setelah

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk perkawinan campuran
seperti yang tertuang dalam penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam
perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1
Tahun 1974 ?
b. Bagaimana proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di
Pengadilan Agama Tigaraksa ?
c. Bagaimana

Pertimbangan

Hakim

pada

Penetapan

Nomor

0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat
nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 ?
b. Proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan
Agama Tigaraksa ?
c. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?

10

2. Manfaat penelitian
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam memutuskan perkara Isbat Nikah setelah terbitnya UU No. 1
Tahun 1974,serta dampak yang terjadi akibat pengabulan isbat nikah
yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, dan solusi yang
ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
ilmu pengetahuan bagi:
1) Peneliti
Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti
tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang
mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi
setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi
akibat pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1
Tahun 1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.
2) Masyarakat
Hasil penelitian ini tentunya akan sangat bermanfaat sebagai ilmu
pengetahuan bagi masyarakat tentang peraturan isbat nikah yang
sesuai dengan UU Perkawinan .

11

3) Lembaga Peradilan Agama
Penelitian ini diharapkan sebagai informasi agar dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam pemutusan Perkara Isbat Nikah.

D. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis
Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu
perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku
atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal
tentang pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa
dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan
datang langsung ke Pengadilan Agama. Sehingga data yang diperoleh bisa
bervariasi dan lebih lengkap.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.7
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut :
a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan
7

h. 6.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

12

data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.
Penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen Penetapan Isbat
Nikah Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. serta sumber informasi dari
para hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan
Agama Tigaraksa.
b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau
bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung
pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder
diantaranya adalah:
1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
3) PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
5) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya
dengan masalah isbat nikah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
dengan

menggunakan

metode

dokumentasi

dan

metode

interview/wawancara.
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variabel yang
berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,

13

notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.
Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa
tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas
dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil
metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji
atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip
atau dokumen salinan penetapan permohonan isbat nikah yang telah
diputus Pengadilan Agama Tigaraksa.
b. Metode Interview
Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan
sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula.
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang halhal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan.8 Dengan menggunakan
metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung, jujur,
dan benar serta keterangan lengkap dari informan sehubungan dengan
obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh informasi yang valid dengan
bertanya langsung kepada informan. Dalam hal ini informan adalah para
hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama
Tigaraksa.

8

I, h. 59

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996), cetakan-

14

4. Analisis Data
Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari
sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan
dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman
yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan
yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses
pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu
uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.9
Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau
analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri
berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para
tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya
dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa
isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam
mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.10
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012 M.
9

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h. 103.
10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 163.

15

E. Study Review Terdahulu
Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan
seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif
hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis
ketahui, belum ada seorangpun yang menulis Penetapan isbat nikah bagi
Perkawinan Campuran (analisis penetapan pengadilan agama Tigaraksa nomor :
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada
beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat
penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang
mendasar. Misalnya:
Skripsi yang berjudul “Dampak penolakan isbat nikah terhadap hak
perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih
berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam isbat nikah.
Kemudian yang kedua “Isbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis
penetapan nomor :083/Pdt.P/2010/PA.JS.) yang ditulis oleh Indro Wibowo,
Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun
2011. Lebih fokus kepada isbat nikah dalam perkawinan yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai dengan salinan putusan no:
083/Pdt.P/2010/PA.JS.
Ketiga adalah: “Study putusan Isbat nikah sirri di Pengadilan Agama
Cilegon (perkara no: 33/Pdt.p/2011/PA.Clg). yang disusun oleh Muhamad
Muachir, Mahasiswa Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah pada tahun 2012.

16

Skripsi ini berfokus kepada putusan isbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama
Cilegon dengan alasan perkawinan tidak tercatat atau nikah sirri.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkrit dari penelitian ini, maka
sistematika penulisannya disusun sebagai berikut:
Bab I, pendahuluan, meliputi pembahsan tentang: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penulisan, study review terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II, hakekat perkawinan campuran, meliputi pembahasan tentang:
pengertian perkawinan campuran, dasar hukum perkawinan campuran, prosedur
perkawinan campuran, dan akibat hukum perkawinan campuran.
Bab III, kajian teoritis tentang Isbat Nikah, meliputi pembahasan tentang:
pengertian Isbat Nikah, dasar hukum Isbat Nikah, alasan diperbolehkannya
permohonan Isbat Nikah, syarat-syarat permohonan Isbat Nikah, Isbat Nikah
perkawinan campuran, manfaat pencatatan perkawinan dan Isbat Nikah.
Bab IV, Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,
yang didalamnya menjelaskan tentang: Gambaran Umum Pengadilan Agama
Tigaraksa, permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa, persyaratan

permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa,
pertimbangan hakim pada penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs, pandangan
hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara Isbat Nikah Perkawinan
Campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 dan Analisis Penulis
Bab V penutup, yang didalamnya berisi tentang: kesimpulan dan saran.

17

17

BAB II
HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN

A. Pengertian Perkawinan Campuran
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum
antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan
diberlakukan

terhadap

perkawinan

antara

dua

orang

yang

berbeda

kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op
de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898).
Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam
Staatsblaad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De
Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR). Artikel 1 dari Staatsblaad ini
memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut
diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda dinamakan perkawinan
campuran.1 Pengertian yang demikian mengandung arti yang sangat luas, apabila
ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang bersangkutan yang hendak

1

Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional
Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 10

17

18

menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah melakukan perkawinan
campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda kewarganegaraannya.2
Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah:
“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum
yang berlainan”.3 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti
perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia
atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihakpihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan adalah perkawinan campuran.
Menurut konsepsi pasal 1 tersebut, perkawinan antara dua orang yang
berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di
luar Indonesia, misalnya orang Arab dan orang Inggris, merupakan perkawinan
campuran dalam arti GHR.
Perkawinan campuran dalam GHR tersebut termasuk pula perkawinanperkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara dua orang warganegara
Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara
seorang warganegara Indonesia dan seorang asing. Akan tetapi, bila pihak atau
pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum
perkawinan Betsluit Wetboek (BW), maka bagi perkawinan tersebut berlakulah
ketentuan BW.4

2

Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia,
cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 226.
3
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898
No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 60
4
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, h. 61.

19

Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR, dan bahkan
juga dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia, karena pasal 2 itu
dengan tegas menjunjung tinggi asas persamarataan penghargaan terhadap stelselstelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan
pasal 2 GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap stelsel-stelsel
hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu
menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal
ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang
baru pada tahun 1848, dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan
bahwa seorang bukan Eropa yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus
tunduk terlebih dahulu pada Hukum Perdata Eropa.5
Mengenai asas persamarataan sebagai dimuat dalam pasal 2 GHR,
walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang
secara strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum
dalam keluarga.6
Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun
pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan adalah :
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
5

Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar BaruVanhoeve, 1980), h. 128
6
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, h. 128

20

Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita.
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
3. Karena perbedaan kewarganegaraan.
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur
kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita
yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena
unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini
pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat
menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan
Indonesia.7 Tegasnya, perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :8
1. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita warga
negara asing.
2. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria warga
negara asing.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara
seorang warga negara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga
7

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993), h. 103.
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.
46

21

padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda
hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian
perkawinan internasional sebagai berikut :
“Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung
unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai
mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya,
atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya
dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya”.9
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu :10
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel)
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul
perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda
kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan.
Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal)
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia
asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin
dengan orang Jawa.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama (Interreligius)

9

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International
Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36.
10
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi Pustaka
Publiser, 2006), h. 242.

22

Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masingmasing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang
Islam dengan orang Kristen.

B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan
campuran adalah sebagai berikut:
1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit
Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de
gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai
berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah
hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang
masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu: 11
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warga negara dan orang
asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara
seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita
Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan
sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
11

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 90

23

c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan
adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3
(tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (2) Golongan Timur Asing (3)
Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang
dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan
campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia (2)
antara Eropa dan Tionghoa (3) antara Eropa dan Arab (4) antara Eropa dan
Timur Asing (5) antara Indonesia dan Arab (6) antara Indonesia dan
Tionghoa (7) antara Indonesia dan Timur Asing (8) antara Tionghoa dan
Arab.
d. Perkawinan Campuran Antar Agama
Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula
perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem
hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam
hal

perkawinan

mengesampingkan

hukum

dan

ketentuan

agama.

Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak
perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah
kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M. dianggap perlu
untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan
bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap
suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu

24

adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq
pada Tahun 1900. 12
2. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
(pasal 57)
b. Ruang Lingkup. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
adalah hasil

Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam

menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU
Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.

13

Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran

adalah:
1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan.
2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

12

Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad
1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 61.
13
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cet-1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230

25

Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya
perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU
Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama
Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka
yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan
ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama
yang

bersangkutan

membolehkan,

maka

perkawinan

campuran

dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai
pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang
dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam
dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.14
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah
zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena
sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.

C. Prosedur Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di
Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:15
1. Fotokopi paspor yang sah
14

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 231
15
LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses
pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.

26

2. Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon
3. Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4. Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar
5. Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
6. Membayar biaya pencatatan.
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1. Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan :
a. Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b. Surat Keterangan asal usul (N.2)
c. Surat Persetujuan mempelai (N.3)
d. Surat Keterangan tentang orang tua (N.4)
e. Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2. Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
a. Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita
b. Kartu imunisasi
c. Imunisasi Tetanus Toxoid II
Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke
KUA kecamatan, untuk :
3. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model
N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat
dilakukan oleh wali atau wakilnya

27

4. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1)
Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA (2) Pernikahan yang
dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya bedolan sesuai
ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ Kantor Departemen Agama masingmasing daerah.
5. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu.
a. Surat keterangan untuk nikah menurut N.1
b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul
calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat
menurut model N2.
c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3.
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat
setingkat menurut model N4.
e. Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia
21 tahun menurut model N5.
f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan.
g. Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar.
h. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun.
i. Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasannya
atau kesatuannya.
j. Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.

28

k. Akta cerai atau kutipan buku pend