PENGARUH KONSENTRASI GLISEROL DAN TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK BIODEGRADABLE FILM BERBASIS AMPAS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii

(1)

PENGARUH KONSENTRASI GLISEROL DAN TAPIOKA

TERHADAP KARAKTERISTIK BIODEGRADABLE FILM

BERBASIS AMPAS RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii

Oleh

ERLI NOVIDA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENGARUH KONSENTRASI GLISEROL DAN TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK BIODEGRADABLEFILM BERBASIS AMPAS RUMPUT

LAUT Eucheuma cottonii

Oleh

ERLI NOVIDA SARI

Biodegradable film merupakan film yang dapat dihancurkan secara alami oleh mikroorganisme. Karakteristik biodegradable film dapat dipengaruhi dengan bahan-bahan yang ditambahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gliserol dan tapioka yang tepat untuk menghasilkan karakteristik

biodegradable film berbasis ampas rumput laut eucheuma cottonii terbaik. Penelitian ini terdiri dari dua faktor dengan tiga ulangan yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Faktor pertama adalah penambahan konsentrasi gliserol yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 0,25%, 0,5% atau 0,75%. Faktor kedua adalah penambahan konsentrasi tapioka yang terdiri dari tiga taraf yaitu, 5%, 6% atau 7%.

Data untuk uji kuat tarik, uji persen pemanjangan, dan uji kelarutan diolah dengan analisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat serta signifikasi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Data


(3)

dianalisis lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5%. Analisis data secara deskriptif digunakan untuk kemurnian bahan baku ampas rumput laut menggunakan metode FTIR, penampakan biodegradable film secara visual dan biodegradabilitas. Data laju transmisi uap air diperoleh dari perlakuan terbaik dengan nilai kuat tarik tertinggi. Sebanyak 8,5 gram selulosa ampas rumput laut

Eucheuma cottonii dimasukan ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 0,5 gram CMC 1% (b/v), etanol 15 mL, gliserol (konsentrasi 0,25%; 0,5% dan 0,75%) dan tapioka (konsentrasi 0,5%; 0,6% dan 0,7%). Selanjutnya campuran tersebut dilarutkan dengan 50 mL aquades. Larutan dipanaskan dan diaduk selama 30 menit pada suhu 70oC menggunakan hot plate. Larutan diangkat dan dihilangkan gelembungnya. Larutan dituang pada kaca 20x20 cm dan dikeringkan pada suhu ruang selama 48 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi gliserol dan tapioka berpengaruh nyata terhadap kuat tarik dan persen pemanjangan film tetapi tidak berpengaruh nyata untuk kelarutan film. Hasil terbaik dapat diperoleh pada proses pembuatan

biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut dengan penambahan konsentrasi gliserol 0,25% dan tapioka 7% yang menghasilkan nilai kuat tarik 53,92 Mpa, persen pemanjangan 3,647%, kelarutan 86,173%, dan biodegradabilitas 14 hari. Laju transmisi uap air 6,13 g/(m2/hari) diperoleh dari perlakuan terbaik. Penambahan konsentrasi gliserol dan tapioka pada pembuatan

biodegradablefilm berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii dapat membuat karakteristik biodegradablefilm lebih plastis dan homogen.

Kata kunci : ampas rumput laut, biodegradablefilm, Fourier transform infra red, kuat tarik, permeabilitas uap air dan persen pemanjangan.


(4)

(5)

(6)

(7)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 4

1.4. Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Biodegradable Film ... 7

2.2. Gliserol ... 11

2.3. Tapioka ... 13

2.4. Echeuma cottonii ... 15

2.4.1. Klasifikasi Eucheuma cottonii ... 15

2.4.2. Ampas Rumput Laut Eucheuma cottonii ... 16

III. BAHAN DAN METODE ... 19

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 19

3.3. Metode Penelitian ... 20

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 20

3.4.1. Prosedur untuk Pemisahan Ampas Rumput Laut... 20

3.4.2. Prosedur untuk Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut .. 22

3.4.3. Prosedur Pembuatan Biodegradable Film ... 22

3.5. Pengamatan ... 23

3.5.1. Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR ... 24

3.5.2. Pengamatan Visual ... 24

3.5.3. Uji Kuat Tarik ... 25

3.5.4. Uji Persen Pemanjangan ... 25

3.5.5 Uji Biodegradabilitas ... 26

3.5.6. Uji Kelarutan ... 26


(8)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut ... 28

4.2. Penampakan Visual BiodegradableFilm ... 30

4.3. Kuat Tarik ... 33

4.4. Persen Pemanjangan ... 35

4.5. Biodegradabilitas ... 38

4.6. Kelarutan ... 40

4.7. Uji Laju Transmisi Uap Air ... 42

4.8. Penentuan Perlakuan Terbaik... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1. Simpulan ... 45

5.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(9)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Produksi plastik di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan konsumsi masyarakat, khususnya untuk plastik kemasan. Berdasarkan data INAPLAS (Indonesian Olefin Aromatic Plastic Industry Asociation) kebutuhan plastik masyarakat Indonesia pada tahun 2012 tercatat 2,9 juta ton sedangkan pada tahun 2013 diperkirakan akan meningkat menjadi 3,2 juta ton (Budi, 2013). Luasnya penggunaan bahan plastik sebagai bahan baku kemasan disebabkan oleh berbagai keunggulan antara lain ringan, kuat, mudah dibentuk, anti karat, tahan terhadap bahan kimia, mempunyai sifat isolasi listrik yang tinggi, serta dapat dibuat berwarna maupun transparan (Mujiarto, 2005). Plastik merupakan salah satu bahan pengemas tidak tahan panas sehingga apabila bahan plastik dipanaskan maka terjadikontaminasi produk melalui perpindahan monomernya. Hal ini dapat menyebabkan penyakit bagi manusia jika dikonsumsi secara terus menerus.

Plastik merupakan polimer sintetis dari minyak bumi atau petrokimia yang memiliki bobot molekul besar, jumlah cincin aromatik tinggi, dan ikatan-ikatan yang kompleks (Kim dan Rhee, 2003 dalam Syamsu et al., 2008) sehingga sulit terurai secara biologis oleh bakteri dan mikroba. Hal ini karena bakteri dan mikroba tidak memiliki enzim yang mampu mendegradasi polimer dari bahan


(10)

2

minyak bumi (Chandra dan Rustgi, 1998). Plastik yang tidak terurai menyebabkan penumpukan limbah plastik dalam jumlah besar. Penumpukan limbah plastik dalam skala besar dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan yang serius (Syamsu et al., 2008) karena plastik membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat terurai. Pada saat terurai partikel–partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah. Apabila plastik dibakar akan menghasilkan asap beracun seperti dioksin yang dapat memicu kanker dan gangguan saraf (Tanaga, 2010). Berdasarkan hal tersebut, kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara luas sehingga dibutuhkan bahan baku kemasan plastik yang bersifat mudah terurai (organik), tersedia di alam dalam jumlah besar, dan murah tetapi mampu menghasilkan kemasan dengan kekuatan yang sama dari kemasan plastik yang ada saat ini (Darni et al., 2009).

Kemasan plastik yang berbahan baku organik bersifat mudah terurai salah satunya adalah biodegradable film. Penelitian mengenai biodegradable film telah lama dilakukan terutama oleh negara-negara maju seperti Jerman. Biodegradable film

dapat memiliki tingkat kekuatan yang relatif sama dengan plastik sintetik (Vroman and Tighzert, 2009). Selain itu, penggunaan biodegradable film pada bahan pengemas dapat memberikan perlindungan terhadap kualitas produk dengan baik dan memperpanjang masa simpan, serta juga dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang ramah lingkungan (Mindarwati, 2006).

Biodegradable film dapat terbuat dari polisakarida yang berasal dari tumbuhan seperti selulosa, pati dan agar-agar.


(11)

3

Ampas rumput laut dapat digunakan sebagai bahan baku biodegradable film. Pada industri rumput laut bagian yang digunakan hanya sekitar 30-35%, sedangkan 65-70% menjadi limbah yang belum banyak dimanfaatkan (Wekridhany et al., 2012). Oleh karena itu, pemanfaatan ampas rumput laut perlu dilakukan. Pemanfaatan ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas sudah pernah diteliti dan memiliki hasil yang baik (Sintaria, 2012). Pada penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa ampas rumput laut memiliki kandungan komponen selulosa sebesar 17,47%; hemiselulosa 21,16% dan lignin 8,23%. Kandungan selulosa yang tinggi menjadikan ampas rumput laut Eucheuma cottonii memiliki potensi sebagai bahan baku untuk biodegradable film.

Penelitian terdahulu, mengenai biodegradable film berbahan baku ampas nanas menunjukkan hasil film yang baik namun bersifatkaku (Zulferiyenni et al., 2004),

kemudian dengan penambahan gliserol sebagai plasticizer pada biodegradable film berbahan baku ampas nanas menunjukkan bahwa gliserol mampu merubah sifat biodegradable film menjadi lebih plastis, namun memiliki permukaan film yang tidak homogen (Satriyo, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian pembuatan biodegradable film berbahan baku utama ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan penambahan gliserol sebagai

plasticizer dan tapioka sebagai bahan pengisi, namun belum tersedia informasi tentang formulasi bahan ampas rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan gliserol sebagai plasticizer dan tepung tapioka sebagai bahan pengisi yang optimum untuk menghasilkan biodegradable film dengan karakteristik yang diinginkan.


(12)

4

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gliserol dan tapioka yang tepat untuk menghasilkan karakteristik biodegradable film dari ampas rumput laut

Eucheuma cottonii terbaik.

1.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian mengenai biodegradable film sudah banyak dilakukan. Salah satunya penelitian mengenai biodegradable film dari ampas nanas, namun biodegradable film yang dihasilkan bersifat kaku (Zulferiyenni et al., 2004), sehingga perlu dilakukan penambahan gliserol sebagai bahan plasticizer. Hal ini tidak berbeda dengan biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut yang memerlukan penambahan gliserol sebagai zat pemlastis. Selain itu, biodegradable film yang terbuat dari polisakarida tumbuhan jenis selulosa yang sukar larut pada bahan lain menyebabkan permukaan biodegradable film yang dihasilkan menjadi kurang rata sehingga perlu dilakukan penambahan tapioka sebagai bahan pengisi. Akan tetapi belum tersedia informasi tentang formulasi bahan ampas rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan gliserol sebagai plasticizer dan tepung tapioka sebagai bahan pengisi yang optimum untuk menghasilkan biodegradable film dengan karakteristik yang diinginkan.

Ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki kandungan komponen selulosa sebesar 17,47%; hemiselulosa 21,16%, dan lignin 8,23% (Sintaria, 2012), sehingga ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii sangat potensial dijadikan


(13)

5

penambahan gliserol menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh pada konsentrasi gliserol 0,5% (v/b), dengan nilai kelarutan 47,22%, kuat tarik 199,63 Mpa dan persen perpanjangan 11,93% (Satriyo, 2012). Penambahan gliserol pada formulasi berfungsi sebagai plasticizer pada biodegradable film. Gliserol akan menghasilkan film yang lebih plastis karena adanya kuat tarik yang lebih tinggi. Kuat tarik yang tinggi pada biodegradable film mampu memberikan perlindungan produk dari gangguan mekanis. Selain itu, gliserol dapat meningkatkan permeabilitas film (Gontard and Guilbert, 1992).

Penelitian mengenai pembuatan kertas dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii

dengan penambahan tapioka diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi tapioka 6% (b/v), dengan nilai derajat putih 52,40%, dan daya renggang 1,76 GPa (Sintaria, 2012). Penambahan tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi pada rongga-rongga biodegradable film, sehingga dapat memperkecil pori-pori dan menghomogenkan permukaan biodegradable film (Chandra, 2011). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses gelatinisasi. Gelatinisasi dapat terjadi dengan adanya penambahan air dengan suhu tinggi. Gelatinisasi mengakibatkan air terperangkap dalam granula-granula pati. Air ini akan terlepas pada saat proses pengeringan dan terjadi penyusutan. Penyusutan ini menghasilkan film yang stabil dan halus (Winarno, 1997). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan formulasi bahan komposit yang merujuk pada formulasi pembuatan

biodegradable film dari bahan selulosa dengan rentang persentase untuk gliserol 0,25% (v/v); 0,5% (v/v) atau 0,75% (v/v), sedangkan untuk tepung tapioka 5% (b/v); 6% (b/v) atau 7% (b/v).


(14)

6

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat konsentrasi gliserol yang tepat untuk menghasilkan karakteristik

biodegradable film dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii terbaik. 2. Terdapat konsentrasi tapioka yang tepat untuk menghasilkan karakteristik

biodegradable film dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii terbaik. 3. Terdapat interaksi antara gliserol dan tapioka yang tepat untuk

menghasilkan karakteristik biodegradable film dari bahan ampas rumput laut Eucheuma cottonii terbaik.


(15)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biodegradable Film

Biodegradable film secara umum diartikan sebagai film yang dapat didaur ulang dan dihancurkan secara alami oleh mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek. Ada tiga jenis biodegradable berdasarkan penggunaannya, yaitu:

biodegradable film, biodegradable coating, dan enkapsulasi. Biodegradable coating langsung di bentuk pada produk, sedangkan pada biodegradable film

pembentukannya tidak secara langsung melainkan sebagai pelapis dan pengemas. Enkapsulasi adalah biodegradable packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Biodegradable film berfungsi sebagai penghambat perpindahan uap air, penghambat pertukaran gas, pencegah kehilangan aroma, pencegah perpindahan lemak, peningkatan karakteristik fisik, dan pembawa zat aditif (Austin, 1985).

Biodegradable film berdasarkan komponen penyusunnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein, turunan selulosa, alginat, pektin, dan pati. Lipida yang biasa digunakan gliserol, waxes, asil gliserol dan asam lemak, sedangkan komposit merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid. Biodegradable film


(16)

8

baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap air, sehingga mampu menjaga umur simpan produk. Di sisi lain, biodegradable film yang terbuat dari campuran protein dan polisakarida baik digunakan sebagai penghambat perpindahan gas yang efektif untuk mencegah oksidasi lemak (Austin, 1985).

Berdasarkan bahan baku yang dipakai, biodegradable film dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama campuran petrokimia (non-renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat

biodegradable. Kelompok kedua bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources) secara keseluruhan seperti dari bahan tanaman pati, selulosa dan hewan seperti cangkang atau mikroorganisme (Ningsih, 2010).

Secara umum karakteristik kemasan yang diukur dan diamati dari sebuah film

kemasan termasuk biodegradable film antara lain kuat tarik (tensile strength), persen pemanjangan (elongation to break), permeabilitas (Harsunu, 2008) dan kelarutan (Gontard and Guilbert,1992).

a. Kuat tarik

Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film

sebelum film putus atau robek. Kuat tarik menggambarkan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran kuat tarik berhubungan erat dengan konsentrasi plasticizer yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Penggunaan plasticizer pada konsentrasi tertentu akan menghasilkan film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Harsunu, 2008).


(17)

9

b. Persen Pemanjangan

Persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga film terputus. Pada umumnya plasticizer dalam jumlah lebih besar akan membuat nilai persen pemanjangan suatu film

meningkat lebih besar (Harsunu, 2008). c. Laju Transmisi Uap

Nilai laju transmisi uap suatu jenis film digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas di dalamnya. Nilai laju transmisi uap juga digunakan untuk menentukan produk atau bahan pangan apa yang sesuai untuk kemasan tersebut. Nilai laju transmisi uap mencakup laju transmisi uap terhadap uap air dan gas (Harsunu, 2008).

d. Kelarutan

Kelarutan adalah persentase kelarutan biodegradable film yang dilihat dari berat kering setelah dicelupkan dalam air selama waktu tertentu (Gontard and Guilbert, 1992).

Karakteristik biodegradable film yang baik yaitu mampu mendekati karakteristik kemasan berbahan baku petrokimia. Bahan pengemas yang paling sering digunakan adalah polietilen. Polietilen merupakan polimer dari monomer etilen yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri minyak dan batubara. Polietilen memiliki sifat lunak, transparan, fleksibel serta mempunyai kekuatan benturan dan kekuatan sobek yang baik. Pemanasan polietilen pada suhu 1100C menyebabkan plastik ini lunak dan cair. Polietilen memiliki sifat permeabilitas yang rendah dan sifat mekanik


(18)

10

yang baik pada ketebalan 0.00254 -0.0254 cm sehingga digunakan sebagai bahan pengemas. Polietilen termasuk golongan termoplastik yang dapat dibentuk menjadi kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Harumningtyas, 2010). Berdasarkan densitasnya maka plastik polietilen dibedakan menjadi:

1. Polietilen densitas rendah/LDPE (Low Density Polyethylene)

LDPE (Low Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis plastik yang memiliki massa jenis rendah, kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaannya agak berlemak. Pada suhu dibawah suhu 600C sangat resisten terhadap senyawa kimia dan daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, namun kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Titik lelehnya berkisar antara 105-1150C. LDPE biasanya digunakan untuk film, mangkuk, botol, dan wadah/kemasan. Plastik LDPE dapat didaur ulang, namun sulit dihancurkan (Julianti dan Nurminah, 2006). Plastik ini mempunyai kekuatan terhadap kerusakan dan ketahan putus yang tinggi.Nilai kuat tarik LDPE yaitu 9,86 Mpadan kemuluran 100% (Boedeker plastic, 2013).

2. Polietilen densitas tinggi/HDPE (High Density Polyethylene)

HDPE (High Density Polyethylene) dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan dan suhu yang rendah. HDPE merupakan senyawa termoplastik dari atom karbon dan sistem yang bergabung menghasilkan berat molekul tinggi. HDPE merupakan salah satu jenis plastik sintetik yang memilki massa jenis tinggi, yaitu memiliki densitas antara 935-956,86 kg/cm3. Proses pembuatannya dimulai dari gas metana yang diubah menjadi etilen, kemudian dengan aplikasi panas dan tekanan (10 atm, 50-700C), diubah lagi menjadi polietilen. Rantai polimer yang terbentuk memiliki unit karbon berkisar antara


(19)

11

500.000-1.000.000. Rantai cabang yang panjang dan pendek muncul di sepanjang rantai utama, semakin panjang rantai jumlah cabang semakin banyak. HDPE memilki nilai kuat tarik 144 Mpa dan kemuluran 146%. HDPE merupakan salah satu bahan plastik yang aman untuk digunakan karena HDPE mampu mencegah reaksi kimia antara plastik berbahan HDPE dengan makanan /minuman yang dikemasnya. HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram, dan lebih tahan terhadap suhu tinggi (Harumningtyas, 2010).

2.2. Gliserol

Bahan tambahan yang dicampurkan pada pembuatan plastik bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik plastik. Sifat mekanik plastik sangat penting dalam pengemasan dan penyimpanan produk terutama dari faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, benturan antara bahan dengan alat atau wadah selama penyimpanan dan pendistribusian (Harsunu, 2008). Bahan yang ditambahkan berfungsi sebagai plasticizer, penstabil, pewarna, dan penyerap UV.

Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi, jika ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat material menjadi lebih plastis.

Plasticizer berfungsi untuk mengurangi kerapuhan film, meningkatkan permeabilitas terhadap gas, uap air, dan zat terlarut serta meningkatkan plastis (Gontard and Guilbert, 1992). Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan biodegadable film antara lain gliserol, lilin lebah, polivinil alkohol dan sorbitol (Julianti dan Nurminah, 2006).


(20)

12

Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Gliserol memiliki berat molekul 92,1 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm2. Rumus molekul gliserol adalah C3H8O3 dengan nama kimia 1,2,3, - propanatriol. Gliserol terdapat pada lemak hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa netral, rasa manis, tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20oC dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290oC. Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol namun tidak larut dalam minyak. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik (Winarno, 1997). Gliserol memiliki titik didih tinggi karena adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat antar molekul gliserol (Austin, 1985).

Gliserol bermanfaat sebagai anti beku (antifreeze) serta mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya. Campuran antara gliserol dan asam lemak digunakan sebagai bahan kosmetika dan obat-obatan (Austin, 1985). Struktur gliserol disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur gliserol Sumber: Winarno, 1997


(21)

13

2.3. Tapioka

Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu segar (Astawan 2010). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati berbentuk butiran putih (granula), rasa tawar dan tidak berbau. Pati memiliki bentuk granula berbeda–beda untuk setiap tanaman. Berikut gambar granula pati tapioka disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Granula pati Sumber: Anwar, 2002

Pati tapioka terdiri dari butiran- butiran kecil yang disebut granula. Granula ini akan membengkak karena menyerap air saat dimasukkan ke dalam air dingin, namun jumlah air yang terserap terbatas sehingga pembengkakan juga terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai 30%. Sebaliknya, apabila pati mentah dimasukkan ke dalam air pada suhu antara 550C - 650C maka akan terjadi pembengkakan maksimum tetapi tidak mampu kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997).

Gelatinisasi merupakan salah satu sifat pati tapioka. Pada proses gelatinisasi, perubahan tampak saat larutan pati dipanaskan. Larutan pati yang semula keruh menjadi jernih. Selain itu, melemahnya ikatan antara molekul pati menyebabkan


(22)

14

air dapat dengan mudah masuk ke dalam granula sehingga menyebabkan granula membengkak. Pada saat pembengkakan maksimum, maka granula akan pecah yang menyebabkan molekul berantai panjang mulai membuka atau terurai. Campuran pati dan air menjadi makin kental. Pada pendinginan, maka molekul pati akan membentuk jaringan dengan molekul air terkurung di dalamnya sehingga terbentuk gel (Winarno, 1997).

Tapioka tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5 dari berat total. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi (Winarno, 1997). Gambar struktur kimia amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Struktur amilosa Sumber: Winarno, 1997

Gambar 4. Struktur amilopektin Sumber: Winarno, 1997


(23)

15

Tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat. Tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan, menambah kecerahan, dan meningkatkan kemampuan daya cetak lembaran. Penambahan tapioka dilakukan pada saat biodegradable film dibentuk. Tapioka berfungsi untuk menutup pori-pori yang tidak terisi sempurna oleh selulosa (Chandra, 2011).

2.4. Eucheuma cottonii

2.4.1. Klasifikasi Eucheuma cottonii

Lokasi budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii antara lain Lombok, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Aslan, 1998). Rumput laut jenis Eucheuma cottoni memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram (Atmadja, 1996 dalam Mindarwati, 2006). Klasifikasi Eucheuma cottonii

menurut Doty (1985) dalam Mindarwati (2006) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea

Genus : Eucheuma


(24)

16

a b

Gambar 5. Eucheuma cottonii (a: basah, b: kering)

Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai, yaitu pada perairan yang terlindung dari terpaan angin dan gelombang besar, kedalaman perairan 7,65-9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22- 48 cm/detik (Wiratmaja, 2011).

2.4.2. Ampas Rumput Laut Eucheuma cottonii

Rumput laut Eucheuma sp. terbagi menjadi dua jenis yaitu Eucheuma spinossum

dan Eucheuma cottonii. Eucheuma cottonii mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karagenan (Aslan,1998). Pada industri ekstraksi karagenan, Eucheuma cottonii yang digunakan hanya sekitar 30-35%, sedangkan 65-70% menjadi limbah yang cenderung terbuang dan menjadi sampah organik (Wekridhany et al., 2012).

Menurut Riyanto dan Wilaksanti (2006), ampas rumput laut masih memiliki kandungan zat gizi antara lain kadar air 80-84%, protein 0,5-0,8%, lemak 0,1-0,2% dan abu 2-3%. Kadar karbohidrat ampas rumput laut sebesar 13-15%,


(25)

17

dengan komponen selulosa sebesar 16-20%, hemiselulosa 18-22%, lignin 7-8% dan serat kasar 2,5-5%. Berdasarkan penelitian Sintaria (2012), diketahui bahwa ampas rumput laut jenis Eucheuma cottonii, memiliki kandungan komponen selulosa sebesar 17,47%, hemiselulosa 21,16%, dan lignin 8,23%. Komposisi kimia Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottonii

Komposisi Jumlah

Kadar Air (%) Protein (%) Lermak (%) Abu (%) Serat kasar (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Mineral Cu (ppm) Mineral Pb (ppm) Thiamin (mg/100 gram) Riboflavin (mg/100 gram) Vitamin C (mg/100 gram) Karagenan (%) 13,90 2,69 0,37 17,09 0,95 22,39 0,121 2,763 0,040 0,14 2,7 12 61,51 Sumber: Winarno, 1997

Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman. Selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun seperti jamur, ganggang dan lumut. Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1) Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat


(26)

18

polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa.

2) Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan.

3) Selulosa µ (Gamma Cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP

kurang dari 15.

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas di bawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon). Selulosa dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat (NC), asam sulfat (SC) dan asam fosfat (FC). Dari ketiga unsur tersebut, NC memiliki nilai ekonomis yang' strategis daripada asam sulfat/SC dan fosfat/FC karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku propelan/bahan peledak pada industri pembuatan amunisi/mesin (Kirk and Othmer, 1978). Selulosa rumput laut disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Selulosa rumput laut Sumber: Sudjadi, 2008


(27)

19

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Lampung, Laboratorium Kimia Fisik, Prodi Kimia FMIPA-ITB dan Laboratorium Uji dan Kalibrasi Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Jakarta, pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan biodegradable film dalam penelitian ini adalah rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii yang diperoleh dari Pesawaran. Sedangkan bahan lain yang digunakan adalah gliserol merk

Chemical Product, tapioka cap Ibu Tani, aquades, etanol 96%, CMC 1%, H2O2 merk J.T. Beaker. Alat-alat yang digunakan adalah FTIR tipe Scimitar 2000, kamera merk Casio tipe Exilim Ex-Zs6, testing machine MPY merk PA-104-30, cawan, shaker waterbath merk Memmert tipe WB 14, hot plate, magnetik stirrer, termometer, timbangan digital merk Mettler PJ 3000, pH meter, alumunium foil, baskom, gelas Erlenmeyer, desikator, pipet tetes, kain saring, kertas saring,


(28)

20

kompor merk Hitachi, panci, pipet tetes, saringan stainless steel, spatula dan peralatan laboratorium lainnya.

3.3. Metode Penelitian

Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua faktor, konsentrasi gliserol (G) sebagai faktor pertama yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0,25% (G1); 0,5% (G2) atau 0,75% (G3). Faktor kedua adalah konsentrasi tapioka (T) yang terdiri dari tiga taraf yaitu 5% (T1); 6% (T2) atau 7% (T3). Data uji kuat tarik, uji persen pemanjangan, dan uji kelarutan diolah dengan analisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat serta signifikasi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tukey. Data dianalisis lebih lanjut dengan uji BNJ pada taraf 5%. Sedangkan data untuk pengujian bahan baku ampas rumput laut menggunakan analisis FTIR, pengamatan penampakan biodegradable film secara visual, uji biodegrabilitas disajikan dalam bentuk gambar dan laju transmisi uap air dianalisis dari hasil perlakuan terbaik.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Prosedur untuk Pemisahan Ampas Rumput Laut

Sampel rumput laut kering sebanyak 675 gram dicuci dan dibersihkan. Sampel rumput laut direndam selama 24 jam kemudian ditimbang. Sampel rumput laut


(29)

21

dimasak selama 30 menit pada suhu 900-1000C sampai mendidih dengan perbandingan rumput laut dan air 1:20. Sampel diperas dengan kain saring, untuk memisahkan karagenan dan ampas. Ampas dicuci hingga bersih. Diagram alir memperoleh ampas rumput laut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir pemisahan ampas rumput laut Sumber: Mailisa (2012, dengan modifikasi)

Rumput laut kering sebanyak 675 gram

Dicuci dan direndam selama 24 jam

Ditimbang

Dimasak selama 30 menit suhu 90-1000C sampai mendidih rumput laut dan air 1:20

Diperas dengan kain saring

Karagenan Ampas rumput laut

Ampas rumput laut Dicuci


(30)

22

3.4.2. Prosedur untuk Pemurnian Selulosa Ampas Rumput Laut

Ampas rumput laut sebanyak 1350 gram dihidriolisis dalam 100 ml larutan hidrogen peroksida 2% (v/v) selama 3 jam pada suhu 850C dengan shaker waterbath. Ampas dicuci hingga pH netral, kemudian disaring dengan kain saring sehingga diperoleh selulosa. Diagram alir pemurnian selulosa dari ampas rumput laut Eucheuma cottonii pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir pemurnian selulosa dari ampas Eucheuma cottonii

Sumber: Hidayati (2000, dengan modifikasi)

3.4.3. Prosedur Pembuatan Biodegradable Film

Selulosa ampas rumput laut sebanyak 8,5 gram dimasukan kedalam Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 gram CMC 1% (b/v), etanol 15 ml, gliserol dan tapioka masing-masing sesuai perlakuan. Selanjutnya campuran tersebut dilarutkan dengan 50 ml aquades. Larutan dipanaskan dan diaduk selama 30 menit pada suhu 70o C menggunakan hot plate. Larutan diangkat dan dihilangkan

Ampas rumput laut sebanyak 1350 gram

Dihidrolisis dengan H2O2 sebanyak 2 %(v/v) dengan suhu 850C selama 3 jam

Dicuci hingga pH netral

Disaring dengan kain saring

Selulosa

Air


(31)

23

gelembungnya. Larutan dituang pada kaca 20 x 20 cm, kemudian dikeringkan pada suhu ruang selama 48 jam. Pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada

diagram alir pembuatan biodegradable film pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pelaksanaan penelitian Sumber: Indarti dan Elsy (2008, dengan modifikasi)

3.5. Pengamatan

Pada penelitian ini bahan baku ampas rumput laut dan selulosa ampas rumput laut dianalisis menggunakan metode FTIR, sedangkan pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan visual biodegradable film, analisis kuat

Dipanaskan dan diaduk pada suhu 70oC, selama 30 menit

Etanol 15 ml Aquades 50 ml CMC 1% (b/v) Gliserol: 0,25% (v/b) ; 0,5% (v/b) atau 0,75% (v/b)

Tapioka:5% (b/v); 6% (b/v) atau 7% (b/v)

Dihilangkan gelembung

Dicetak pada kaca berukuran 20x20 cm Selulosa sebanyak 8,5 gram

Dikeringkan pada suhu ruang selama 48 jam

Biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut


(32)

24

tarik, persen pemanjangan, biodegrabilitas dan kelarutan. Analisis laju transmisi uap air dilakukan berdasarkan nilai kuat tarik tertinggi.

3.5.1. Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR

Analisis Gugus Fungsi yaitu menggunakan FTIR tipe Scimitar 2000. Sampel yang digunakan merupakan sampel padat sehingga sebelum di analisis harus dibentuk menjadi pellet yaitu campuran antara sampel dan KBr yang digiling halus menggunakan mortar dengan perbandingan 1:100 menjadi partikel berukuran 5 mm, kemudian pellet dimasukkan ke dalam die sets yang telah tersusun dengan benar. Pellet diratakan lalu tutup, kelebihan pellet yang tertinggal dibersihkan. Die sets diletakkan ke dalam pike hand press lalu press selama 15 detik. Press dihentikan kemudian die sets diambil. Pellet dianalisis dengan menempatkan ke dalam set holder, kemudian dicari spektrum yang sesuai. Hasil yang didapat berupa difraktogram hubungan antar panjang gelombang dengan intensitas. Spektrum direkam menggunakan spektrofotometer infra red pada suhu ruang. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kemurnian selulosa melalui gugus fungsi ampas rumput laut sebelum dan setelah proses pemurnian (Darni et al., 2009).

3.5.2. Pengamatan Visual

Pengamatan visual dilakukan dengan menggunakan camera visual biasa (Merk Casio type Exilim EX-ZS6). Biodegradable film yang dihasilkan difoto untuk mengetahui penampakan fisik (kehomogenan) lembaran film.


(33)

25

3.5.3. Uji Kuat Tarik

Uji kuat tarik diukur dengan Testing Machine MPY (Type: PA-104-30, Ltd Tokyo, Japan). Sebelum dilakukan pengukuran disiapkan lembaran film ukuran 2,5 x 15 cm dan dikondisikan di laboratorium dengan kelembaban (RH) 50% selama 48 jam. Instron diset pada initial grip separation 50 mm, crosshead speed

50 mm/menit dan loadcell 50 kg. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum. Kekuatan tarik diukur dengan rumus :

Keterangan :

= kekuatan tarik (Mpa) = gaya kuat tarik (N)

A = luas penampang (mm2) (ASTM, 1983)

3.5.4. Uji Persen Pemanjangan

Uji persen pemanjangan diukur dengan Testing Machine MPY (Type: PA-104-30, Ltd Tokyo, Japan). Sebelum dilakukan pengukuran disiapkan lembaran sampel film ukuran 2,5 x 15 cm dan dikondisikan di laboratorium dengan kelembaban (RH) 50% selama 48 jam. Instron diset pada initial grip separation 50 mm,

crosshead speed 50 mm/ menit dan loadcell 50 kg. Persen pemanjangan dihitung pada saat film pecah atau robek. Sebelum dilakukan penarikan, panjang film diukur sampai batas pegangan yang disebut dengan panjang awal (lo), sedangkan panjang film setelah penarikan disebut panjang setelah putus (l1) dan dihitung persen perpanjangan dengan rumus yaitu:


(34)

26

Keterangan lo = panjang awal

l1 = panjang setelah putus (ASTM, 1983)

3.5.5. Uji Biodegradabilitas

Biodegradable film yang dihasilkan diuji sifat biodegradabilitasnya dengan cara dikubur di dalam tanah dengan ukuran film 10 x 10 cm dan kedalaman 12 cm di dalam gelas plastik. Proses penguburan dilakukan selama dua minggu kemudian dilakukan pengamatan setiap satu minggu sekali (Gontard and Guilbert, 1992).

3.5.6. Uji Kelarutan

Uji kelarutan plastik biodegradable dalam air dilakukan dengan cara memasukkan lembaran film plastik dengan ukuran 2x10 cm kedalam bejana yang berisi air. Kelarutan dalam air dinyatakan persentase sebagian film yang larut dalam air setelah perendaman selama satu minggu.

Keterangan : a = berat sampel awal (g) b = berat cawan (g)


(35)

27

3.5.7. Uji Laju Transmisi Uap Air Metode Cawan

Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor transmission rate tester Bergerlahr metode cawan. Film yang akan diukur dikondisikan sebelumnya pada ruangan yang bersuhu 25 ± 20C selama 24 jam. Bahan penyerap uap air (desikan) diletakkan dalam cawan sedemikian rupa sehingga permukaan berjarak 3 mm dari film yang akan diuji. Tutup cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga permukaan bagian yang terluar menghadap keatas. Film diletakkan kedalam tutup cawan, lalu cincin karet diletakkan untuk menyegel kedalam, ditutup sehingga cincin tersebut menekan film. Selanjutnya cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001gram, kemudian diletakkan dalam humidity chamber, ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama dan ditentukan pertambahan berat cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat (mg) dan waktu (jam). Nilai laju transmisi uap air yang melewati film dihitung dengan rumus :

Keterangan :

= water vapor transmission rate

m2 = pertambahan berat (mg/jam)


(36)

45

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Konsentrasi gliserol berpengaruh nyata terhadap kuat tarik, persen pemanjangan, biodegradabilitas dan laju transmisi uap air tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi gliserol 0,25%.

2. Konsentrasi tapioka berpengaruh nyata terhadap kuat tarik, persen pemanjangan, biodegradabilitas dan laju transmisi uap air tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan biodegradable film dari selulosa ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada konsentrasi tapioka 7%.

3. Terdapat interaksi antara kedua perlakuan penambahan konsentrasi gliserol dan konsentrasi tapioka terhadap kuat tarik, persen pemanjangan, biodegradabilitas, permeabilitas uap air dan kelarutan biodegradable film

dari selulosa ampas rumput laut. Hasil perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan konsentrasi gliserol 0,25% dan tapioka 7 % dengan nilai kuat tarik 53,92 Mpa, persen pemanjangan 3,65%, kelarutan 86,17%, dan


(37)

46 biodegradabilitas 14 hari. Laju transmisi uap dari perlakuan terbaik yang memiliki nilai kuat tarik tertinggi menghasilkan nilai 6,13 g/(m2/hari).

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan nilai persen pemanjangan

biodegradable film dari bahan selulosa ampas rumput laut yang sesuai dengan standar untuk pengemas bahan pangan.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk pembuatan biodegradablefilm dari bahan selulosa ampas rumput laut dengan metode pencetakan film yang tepat agar film yang dihasilkan lebih baik.


(38)

47

DAFTAR PUSTAKA

Ariestiani. 2012. Permeabilitas Uap Air dari Film atau Plastik. http://google. search. com. ariestiani.files.wordpress.com/2012/05/lap-permebilitas- anni1.doc. Diakses 06 Maret 2013.

Amna. 2012. Mengukur Permeabilitas Uap Air dari Plastik. http://google. search. com. mengukur-permeabilitas- uap-air-dari-plastik. html. Diakses 06 Maret 2012.

Anwar, E. 2002. Pemanfaatan Maltodekstrin dari Pati Singkong sebagai Bahan Penyalut Lapis Tipis Tablet. Jurnal Makara Sains. Farmasi FMIPA. Universitas Indonesia. 6(1): 1-10.

Aslan dan M. Laode. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 54 Hlm.

ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society for Testing and Material Philadelpia. New york. 578 Hlm. Diakses pada tanggal 18 Mei 2012.

Austin, P. A. 1985. Shereve’s Chemical Process Industries. Mc graw – Hill Book Co. Tokyo.

Bambang. 2011. Instrumen FTIR dan Membaca Spektra FTIR. http://anekakimia. blogspot.com/2011/06/instrumen-ftir-dan-membaca-spektra-ftir.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Boedeker plastic. 2013. Polyethylene Specification. http://www.boedeker.com/ polye_p.htm. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Budi, Y. 2013. Penyiapan Sumber Daya di Bidang Moulding. https://www.

ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/65/penyiapan-sumber-daya-di-bidang-moulding.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Chandra, L.H. 2011. Pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol dalam pembuatan edible coating pada penyimpanana buah melon. (Skripsi). Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. 68 Hlm.


(39)

48 Chandra, R., and R. Rustgi. 1998. Biodegradable Polymers. Program Polymer

Science. 23:1273–1335. Department of Polymer Technology and Applied Chemistry. Delhi College of Engineering, Delhi-110006. India.

Darni, Y., H. Utami dan S. Asriah. 2009. Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka dengan Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut Eucheuma spinossum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas Lampung. 14 Hlm.

Daffi, R. dan J. Kusnadi. 2012. Formulasi Edible film sebagai Antibacterial

Active Packaging dengan Penambahan Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) (Kajian Proporsi Pati Tapioka Dan Suhu Pengeringan Edible film). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 20 Hlm.

Fransisca, D. 2013. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap sifat fisik biodegradable film dari bahan komposit selulosa nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 52 Hlm

Gunawan, V. 2009. Formulasi dan aplikasi edible coating berbasis pati sagu dengan penambahan vitamin C pada paprika. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 50 Hlm.

Gontard, N., and S. Guilbert. 1992. Bio Packaging : Tecnology and Properties of Edible Biodegradable Material of Agricultural Origin. Food Packaging a Preservation. The Aspen Publisher Inc. Gaithersburg, Maryland. 30 Hlm.

Harsunu, B. 2008. Pengaruh konsentrasi plasticizer gliserol dan komposisi khitosan dalam zat pelarut terhadap sifat fisik edible film dari khitosan. (Skripsi). Departemen Metalurgi dan Material. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. 105 Hlm.

Harumningtyas. 2010. Aplikasi edible plastik pati tapioka dengan penambahan madu untuk pengawetan buah jeruk Citrus sp. (Skirpsi). Universitas Airlangga. Surabaya. 98 Hlm.

Hidayati. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu sebagai Bahan Dasar Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains. 13(1):59-78.

Indarti, l. dan R. Elsy. 2008. Bioselulosa sebagai BiodegradableFilm. Prosiding Teknologi Proses. Seminar nasional pangan. Yogyakarta. 153 Hlm.


(40)

49 Jajo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih. www.jajo66.files.wordpress.com%2f2008%2f10%2fdegradasi.lignoselulo sa.pdf. 21 Hlm. Diakses 20 September 2013

Kemala, T., M. S. Fahmi dan S.S. Achmadi. 2010. Pembuatan dan Pencirian Polipaduan Polistiren Pati. Jurnal Sains Materi Indonesia. Departemen Kimia. FMIPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 12(1):30 – 35.

Kirk, R.E. and D. F. Othmer. 1978. Encyclopedia of Chemical Technology.

Verlogsgesselscraft MGH, Weinheim. Germany. 3(3): 1- 938.

Krisna, D. 2011. Pengaruh regelatinisasi dan modifikasi hidrotermal terhadap sifat fisik pada pembuatan edible film dari pati kacang merah (Vigna Angularis Sp.). (Tesis). Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. 65 Hlm.

Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 23 Hlm. http: //www. hayati_ ipb.com/users/ rudyet/individu 2001/ Rindam _latief. htm-87k. Diakses pada 30 Juni 2012.

Mailisa, T. 2012. Pengaruh konsentrasi asam perasetat dan cmc terhadap sifat kimia pulp berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 86 Hlm .

Mindarwati, E. 2006. Kajian pembuatan edible film komposit dari karagenan sebagai pengemas bumbu instan rebus. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 Hlm.

Mujiarto, I. 2005. Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif. Jurnal Traksi. 3(2): 65- 75.

Ningsih, S.2010. Optimasi pembuatan bioplastik polihidroksialkanoat menggunakan bakteri mesofilik dan media limbah cair pabrik kelapa sawit. (Tesis). Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara. Medan. 136 Hlm.

Nourieddini, H. and V. Mendikonkuru. 1997. Glycerolysis of fats and methyl ester. J. Am. Oil. Chem. Socs. 74(4):418-425.

Nugroho, A., Basito dan R.B. Katri. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film

Tapioka dengan Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan. 2(1):1-12. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Sebelas Maret.


(41)

50 Nurjannah, W. 2004. Isolasi dan karakterisasi alginate dari rumput laut sargassum sp untuk pembuatan biodegradable film komposit alginate tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.

Riyanto, B dan M, Wilaksanti. 2006. Cookies Berkadar Serat Tinggi Subtitusi

Tepung Ampas Rumput Laut dari Pengolahan Agar Agar Kertas. Buletin

Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9(1) : 47-57.

Satriyo. 2012. Kajian penambahan chitosan, gliserol dan cmc terhadap karakteristik biodegradable film dari bahan komposit nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 Hlm.

Sintaria, D. 2012. Pengaruh konsentrasi hidrogen peroksida H2O2dan tepung tapioka terhadap sifat fisik kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 53 Hlm.

Sogiana, M.B. 2013. Pencirian Bioplastik Tepung Tapioka Terplastisasi Gliserol dengan Penambahan Karaginan. Jurnal Online. Jurusan Kimia. FMIPA IPB. Bogor. 31 Hlm.

Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta. 281 Hlm.

Syamsu, K., K. Setyowati dan A. Khoiri. 2008. Pengaruh Penambahan Pemlastis (Polietilen Glikol 400, Dietilen Glikol, dan Dimetil Ftalat) terhadap Proses Biodegradasi Bioplastik Poli-B-Hidroksialkanoat pada Media Cair dengan Udara Terlimitasi. Jurnal Teknologi Pertanian. 4(1):1-15.

Tanaga, N. 2010. Analisis kelayakan ekspansi investasi mesin pengolahan limbah plastik pada PT MIKE MEILINDO TANAGA. (Skripsi). Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jurusan Manajemen. Universitas Bina Nusantara. Jakarta 96 Hlm.

Teknopangan dan agroindustri. 2008. Edible Film. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. 1(12):183- 187. http://www.teknopangan& agroindustri. com. Diakses pada tanggal 01 Agustus 2012.

Theresia, V. 2003. Aplikasi dan karakterisasi sifat fisik mekanik plastik

biodegradable dari campuran LLDPE dan tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 Hlm.

Vroman, I., and L. Tighzert. 2009. Biodegradable Polymers. Material Journal. 2:307-344.


(42)

51 Wahyuni, S. 2001. Mempelajari karakteristik fisik dan kimia edible film dari gelatin tulang domba dengan plasticizer gliserol. (Skripsi). Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 78 Hlm.

Wekridhany, A., Y. Darni dan D. Agustina. 2012. Pengaruh rasio selulosa/NaOH pada tahap alkalinisasi terhadap peningkatan produksi natrium karboksimetilselulosa (Na-CMC) dari residu rumput laut eucheuma spinossum. Jurnal Penelitian. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Lampung. Bandarlampung. 8 Hlm.

Widyasari, R. 2011. Pengaruh konsentrasi dan lama inkubasi enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa TKKS menjadi gula reduksi sebagai bahan baku bioethanol. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 61 Hlm.

Widyastuti, E. 2012. Modifikasi pati. Prosiding Teknologi Pangan. Universitas Brawijaya. Malang. 6 Hlm.

Wikipedia. 2012. Glycerol. http://en.wikipedia.org/wiki/gliserol. Diakses tanggal 28 mei 2012.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiratmaja. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah rumput Laut Eucheuma Cottonii sebagai Bahan Baku. Ejournal. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/13.%20jurnal-cakram. wiratmaja%20ok. pdf. Diakses tanggal 28 mei 2011.

Wirawan, S., A. Prasetya dan Ernie. 2012. Pengaruh Plasticizer pada Karakteristik Edible Film dari Pectin. Jurnal Reaktor. 14(1):67.

Zulferiyenni, T. Hanum dan A.S. Suharyono. 2004. Pemurnian selulosa nanas untuk bahan dasar pembuatan film selulosa. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 4(1): 55-62.


(1)

46 biodegradabilitas 14 hari. Laju transmisi uap dari perlakuan terbaik yang memiliki nilai kuat tarik tertinggi menghasilkan nilai 6,13 g/(m2/hari).

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan nilai persen pemanjangan biodegradable film dari bahan selulosa ampas rumput laut yang sesuai dengan standar untuk pengemas bahan pangan.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk pembuatan biodegradable film dari bahan selulosa ampas rumput laut dengan metode pencetakan film yang tepat agar film yang dihasilkan lebih baik.


(2)

47

DAFTAR PUSTAKA

Ariestiani. 2012. Permeabilitas Uap Air dari Film atau Plastik. http://google. search. com. ariestiani.files.wordpress.com/2012/05/lap-permebilitas- anni1.doc. Diakses 06 Maret 2013.

Amna. 2012. Mengukur Permeabilitas Uap Air dari Plastik. http://google. search. com. mengukur-permeabilitas- uap-air-dari-plastik. html. Diakses 06 Maret 2012.

Anwar, E. 2002. Pemanfaatan Maltodekstrin dari Pati Singkong sebagai Bahan Penyalut Lapis Tipis Tablet. Jurnal Makara Sains. Farmasi FMIPA. Universitas Indonesia. 6(1): 1-10.

Aslan dan M. Laode. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 54 Hlm.

ASTM. 1983. Annual Book of ASTM Standards. American Society for Testing and Material Philadelpia. New york. 578 Hlm. Diakses pada tanggal 18 Mei 2012.

Austin, P. A. 1985. Shereve’s Chemical Process Industries. Mc graw – Hill Book Co. Tokyo.

Bambang. 2011. Instrumen FTIR dan Membaca Spektra FTIR. http://anekakimia. blogspot.com/2011/06/instrumen-ftir-dan-membaca-spektra-ftir.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Boedeker plastic. 2013. Polyethylene Specification. http://www.boedeker.com/ polye_p.htm. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Budi, Y. 2013. Penyiapan Sumber Daya di Bidang Moulding. https://www.

ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/65/penyiapan-sumber-daya-di-bidang-moulding.html. Diakses pada tanggal 10 Mei 2013.

Chandra, L.H. 2011. Pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol dalam pembuatan edible coating pada penyimpanana buah melon. (Skripsi). Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. 68 Hlm.


(3)

48 Chandra, R., and R. Rustgi. 1998. Biodegradable Polymers. Program Polymer

Science. 23:1273–1335. Department of Polymer Technology and Applied Chemistry. Delhi College of Engineering, Delhi-110006. India.

Darni, Y., H. Utami dan S. Asriah. 2009. Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka dengan Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut Eucheuma spinossum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas Lampung. 14 Hlm.

Daffi, R. dan J. Kusnadi. 2012. Formulasi Edible film sebagai Antibacterial Active Packaging dengan Penambahan Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) (Kajian Proporsi Pati Tapioka Dan Suhu Pengeringan Edible film). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 20 Hlm.

Fransisca, D. 2013. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap sifat fisik biodegradable film dari bahan komposit selulosa nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 52 Hlm

Gunawan, V. 2009. Formulasi dan aplikasi edible coating berbasis pati sagu dengan penambahan vitamin C pada paprika. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 50 Hlm.

Gontard, N., and S. Guilbert. 1992. Bio Packaging : Tecnology and Properties of Edible Biodegradable Material of Agricultural Origin. Food Packaging a Preservation. The Aspen Publisher Inc. Gaithersburg, Maryland. 30 Hlm.

Harsunu, B. 2008. Pengaruh konsentrasi plasticizer gliserol dan komposisi khitosan dalam zat pelarut terhadap sifat fisik edible film dari khitosan. (Skripsi). Departemen Metalurgi dan Material. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. 105 Hlm.

Harumningtyas. 2010. Aplikasi edible plastik pati tapioka dengan penambahan madu untuk pengawetan buah jeruk Citrus sp. (Skirpsi). Universitas Airlangga. Surabaya. 98 Hlm.

Hidayati. 2000. Pemutihan Pulp Ampas Tebu sebagai Bahan Dasar Pembuatan CMC. Jurnal Agrosains. 13(1):59-78.

Indarti, l. dan R. Elsy. 2008. Bioselulosa sebagai Biodegradable Film. Prosiding Teknologi Proses. Seminar nasional pangan. Yogyakarta. 153 Hlm.


(4)

49 Jajo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih. www.jajo66.files.wordpress.com%2f2008%2f10%2fdegradasi.lignoselulo sa.pdf. 21 Hlm. Diakses 20 September 2013

Kemala, T., M. S. Fahmi dan S.S. Achmadi. 2010. Pembuatan dan Pencirian Polipaduan Polistiren Pati. Jurnal Sains Materi Indonesia. Departemen Kimia. FMIPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 12(1):30 – 35.

Kirk, R.E. and D. F. Othmer. 1978. Encyclopedia of Chemical Technology. Verlogsgesselscraft MGH, Weinheim. Germany. 3(3): 1- 938.

Krisna, D. 2011. Pengaruh regelatinisasi dan modifikasi hidrotermal terhadap sifat fisik pada pembuatan edible film dari pati kacang merah (Vigna Angularis Sp.). (Tesis). Magister Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. 65 Hlm.

Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 23 Hlm. http: //www. hayati_ ipb.com/users/ rudyet/individu 2001/ Rindam _latief. htm-87k. Diakses pada 30 Juni 2012.

Mailisa, T. 2012. Pengaruh konsentrasi asam perasetat dan cmc terhadap sifat kimia pulp berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 86 Hlm .

Mindarwati, E. 2006. Kajian pembuatan edible film komposit dari karagenan sebagai pengemas bumbu instan rebus. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 Hlm.

Mujiarto, I. 2005. Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif. Jurnal Traksi. 3(2): 65- 75.

Ningsih, S.2010. Optimasi pembuatan bioplastik polihidroksialkanoat menggunakan bakteri mesofilik dan media limbah cair pabrik kelapa sawit. (Tesis). Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara. Medan. 136 Hlm.

Nourieddini, H. and V. Mendikonkuru. 1997. Glycerolysis of fats and methyl ester. J. Am. Oil. Chem. Socs. 74(4):418-425.

Nugroho, A., Basito dan R.B. Katri. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka dengan Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan. 2(1):1-12. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Sebelas Maret.


(5)

50 Nurjannah, W. 2004. Isolasi dan karakterisasi alginate dari rumput laut sargassum sp untuk pembuatan biodegradable film komposit alginate tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.

Riyanto, B dan M, Wilaksanti. 2006. Cookies Berkadar Serat Tinggi Subtitusi Tepung Ampas Rumput Laut dari Pengolahan Agar Agar Kertas. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9(1) : 47-57. Satriyo. 2012. Kajian penambahan chitosan, gliserol dan cmc terhadap

karakteristik biodegradable film dari bahan komposit nanas. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 Hlm.

Sintaria, D. 2012. Pengaruh konsentrasi hidrogen peroksida H2O2dan tepung tapioka terhadap sifat fisik kertas berbasis ampas rumput laut Eucheuma cottonii. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 53 Hlm.

Sogiana, M.B. 2013. Pencirian Bioplastik Tepung Tapioka Terplastisasi Gliserol dengan Penambahan Karaginan. Jurnal Online. Jurusan Kimia. FMIPA IPB. Bogor. 31 Hlm.

Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta. 281 Hlm.

Syamsu, K., K. Setyowati dan A. Khoiri. 2008. Pengaruh Penambahan Pemlastis (Polietilen Glikol 400, Dietilen Glikol, dan Dimetil Ftalat) terhadap Proses Biodegradasi Bioplastik Poli-B-Hidroksialkanoat pada Media Cair dengan Udara Terlimitasi. Jurnal Teknologi Pertanian. 4(1):1-15.

Tanaga, N. 2010. Analisis kelayakan ekspansi investasi mesin pengolahan limbah plastik pada PT MIKE MEILINDO TANAGA. (Skripsi). Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Jurusan Manajemen. Universitas Bina Nusantara. Jakarta 96 Hlm.

Teknopangan dan agroindustri. 2008. Edible Film. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. 1(12):183- 187. http://www.teknopangan& agroindustri. com. Diakses pada tanggal 01 Agustus 2012.

Theresia, V. 2003. Aplikasi dan karakterisasi sifat fisik mekanik plastik biodegradable dari campuran LLDPE dan tapioka. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 Hlm.

Vroman, I., and L. Tighzert. 2009. Biodegradable Polymers. Material Journal. 2:307-344.


(6)

51 Wahyuni, S. 2001. Mempelajari karakteristik fisik dan kimia edible film dari gelatin tulang domba dengan plasticizer gliserol. (Skripsi). Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 78 Hlm.

Wekridhany, A., Y. Darni dan D. Agustina. 2012. Pengaruh rasio selulosa/NaOH pada tahap alkalinisasi terhadap peningkatan produksi natrium karboksimetilselulosa (Na-CMC) dari residu rumput laut eucheuma spinossum. Jurnal Penelitian. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Lampung. Bandarlampung. 8 Hlm.

Widyasari, R. 2011. Pengaruh konsentrasi dan lama inkubasi enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa TKKS menjadi gula reduksi sebagai bahan baku bioethanol. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandarlampung. 61 Hlm.

Widyastuti, E. 2012. Modifikasi pati. Prosiding Teknologi Pangan. Universitas Brawijaya. Malang. 6 Hlm.

Wikipedia. 2012. Glycerol. http://en.wikipedia.org/wiki/gliserol. Diakses tanggal 28 mei 2012.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiratmaja. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah rumput Laut Eucheuma Cottonii sebagai Bahan Baku. Ejournal. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/13.%20jurnal-cakram. wiratmaja%20ok. pdf. Diakses tanggal 28 mei 2011.

Wirawan, S., A. Prasetya dan Ernie. 2012. Pengaruh Plasticizer pada Karakteristik Edible Film dari Pectin. Jurnal Reaktor. 14(1):67.

Zulferiyenni, T. Hanum dan A.S. Suharyono. 2004. Pemurnian selulosa nanas untuk bahan dasar pembuatan film selulosa. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 4(1): 55-62.