Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, dan Ekstrak Jambu Biji (Psidium guajava L.) dengan Pemlastis Gliserin

(1)

KARAKTERISASI EDIBLE FILM DARI CAMPURAN TEPUNG

TAPIOKA, KITOSAN, DAN EKSTRAK JAMBU BIJI

(Psidium guajava L.) DENGAN PEMLASTIS GLISERIN

SKRIPSI

MUHAMMAD SADANI

100802005

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KARAKTERISASI EDIBLE FILM DARI TEPUNG TAPIOKA, KITOSAN, DAN EKSTRAK JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) DENGAN PEMLASTIS GLISERIN”. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua, Ibunda Paidimah dan Ayahanda Sofyan. Skripsi ini penulis dedikasikan untuk kedua orang tua yang dengan penuh cinta kasih telah membesarkan dan mendidik penulis dan senantiasa memberikan dukungan materil maupun moril serta doa kepada penulis. Kakak, Leny Novita, M.pd yang selalu memberikan semangat dan masukan kepada penulis serta kepada keluarga yang selalu mendoakan penulis. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga gelar sarjana sesuai harapan mereka.

2. Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Firman Sebayang, M.S selaku Dosem Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, pemikiran serta saran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Rumondang Bulan MS selaku Ketua Departemen Kimia dan Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku Sekretaris Jurusan FMIPA USU yang turut memberikan pengarahan serta mengesahkan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Staf Dosen jurusan Kimia FMIPA USU khususnya Bapak dan Ibu Dosen Biokimia FMIPA USU Bapak Drs. Firman Sebayang, MS, Ibu Dr. Rumondang Bulan, M.Si, Ibu Dr. Yuniarti Yusak, MS, dan Ibu Dra. Emma Zaidar M.Si.

5. Para sahabat di Laboratorium Biokimia FMIPA USU Kak Reisya, Kak Putri Pertiwi, Bang Ari, Bang Saipul, May, Sumariah, Adri, Eza, Kak Pia dan Kak Fika serta sahabat-sahabat seperjuangan stambuk 2010 Ely, Yuni, Nisa, Lisa, adik-adik asisten Biokimia 2011 dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk kebersamaan serta dukungan kepada penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri, semoga Allah selalu menunjukan jalan yang lurus kepada kita semua.


(3)

KARAKTERISASI EDIBLE FILM DARI TEPUNG TAPIOKA, KITOSAN, DAN EKSTRAK JAMBU BIJI (Psidium guajava L.)

DENGAN PEMLASTIS GLISERIN

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan dan ekstrak jambu biji merah (Psidium guajava L.) dengan pemlastis gliserin. Edible film dibuat dengan mencampurkan tepung tapioka dengan variasi 2;2,5;3;3,5; dan 4 gram, kitosan dengan komposisi tetap 2% (� �⁄ ) , ekstrak jambu biji merah dengan komposisi tetap 10 gram, ditambahkan dengan 2 ml gliserin, diaduk hingga homogen, dicetak di atas plat akrilik, dikeringkan didalam oven selama ± 2 hari. Edible film dengan variasi tepung tapioka memberikan hasil optimal pada 3,5 gram dan hasil ini dijadikan sebagai variabel tetap untuk pembuatan edible film kembali dengan variasi gliserin 2,5;3;3,5;4 dan 4,5 mL. Dari hasil penelitian pada variasi tepung tapioka diketahui bahwa edible film dengan penambahan 3,5 gram tepung tapioka memberikan hasil yang terbaik dengan nilai karakteristik seperti ketebalan, kuat tarik, kemuluran, SEM dan FTIR yaitu 0,262 mm, 0,0743 Kg/mm2, 15,11%, memiliki struktur permukaan yang halus dan kompatibel, serta analisa spektrum FTIR menunjukkan spektrum pada daerah 3291,69 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH. Pada variasi gliserin, edible film dengan penambahan 4,5 ml gliserin memberikan hasil yang terbaik dengan nilai yaitu 0,253 mm, 0,1841 KgF/mm2, 27,22%, memiliki permukaan yang halus dan kompatibel, serta analisa spektrum FTIR menunjukkan spektrum pada daerah 3294,29 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tepung tapioka, kitosan, dan gliserin dalam pembuatan edible film.


(4)

CHARACTERIZATION OF EDIBLE FILM FROM BLENDS CASSAVA STARCH, CHITOSAN, AND GUAVA (Psidium guava L.) EXTRACT

WITH GLYSERIN PLASTICISER

ABSTRACT

The research had been carried out about characterizing of edible film from blends cassava starch, chitosan, and guava (psidium guava l.) extract with glyserin plasticizer. Edible film was made by blending starch with various composition 2;2,5;3;3,5 and 4 grams, chitosan with composition constant is 2% (w/v), guava’s extract composition was constant in 10 grams, and then added with 2 Ml glyserin, stirred until homogenous, poured on the acrylic plate and dried in an oven for ± 2 days. Edible film with various composition of cassava starch gave optimum result at 3,5 grams and it be created as constant variable for making of edible film back with glyserin various composition 2,5;3;3,5,4 and 4,5 mL. From the result at cassava starch various composition known that edible film in adding 3,5 gram cassava starch gave the best result with characterization value such as thickness, stress, elasticity, SEM and FTIR namely 0,262 mm, 0,0743 Kg/mm2, 15,11%, has smooth and compatible surface structure, also FTIR spectrum analysis showed that spectrum at 3291,69 cm-1 range showed that hidrocyl group (OH) or –NH group exist. In glyserin various composition, edible film with adding 4,5 mL glyserin gave the best result with characterization value namely 0,253 mm, 0,1841 KgF/mm2, 27,22%, has smooth and compatible surface structure, also FTIR spectrum analysis showed that spectrum at 3294,29 cm-1 range showed that hidrocyl group (OH) or –NH group exist. This result showed that there was interaction between cassava starch, chitosan, and glyserin in making of edible film.

DAFTAR ISI


(5)

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel x

Daftar gambar xi

Daftar lampiran xii

BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar belakang 1

1.2 Perumusan masalah 2

1.3 Pembatasan masalah 3

1.4 Tujuan penelitian 4

1.5 Manfaat penelitian 4

1.6 Lokasi penelitian 5

1.7 Metodologi penelitian 5

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Jambu biji 6

2.1.1 Taksonomi jambu biji 8

2.1.2 Jenis-jenis jambu biji 8

2.1.2.1 Jambu sukun (Guava Sukun) 8 2.1.2.2 Jambu bangkok (Guava Bangkok) 9 2.1.2.3 Jambu merah (Guava Merah) 9 2.1.2.4 Jambu pasar minggu (Guava Pasar Minggu) 9 2.1.2.5 Jambu australia (Guava Australia) 9

2.2 Edible film 9

2.2.1 Sifat-sifat edible film 11

2.2.2 Aplikasi edible film 12

2.2.3 Zat pemlastis (Plasticizer) 13

2.3 Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film 14

2.3.1 Pati 14

2.3.2 Gliserin 16

2.3.3 Kitosan 18

2.3.3.1 Struktur kitosan 18

2.3.3.2 Kegunaan kitosan 19

2.3.3.3 Sifat-sifat fisika dan kimia 20 2.3.3.3.1 Sifat-sifat fisika 20 2.3.3.3.2 Sifat-sifat kimia 21


(6)

2.4.1 Fourier Transform Infrared (FTIR) 22 2.4.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) 23

2.4.3 Uji tarik 24

2.5 Bahan pangan 24

2.5.1 Kerusakan dan pengemasan bahan pangan 25

2.6 Tepung tapioka 26

BAB 3 Bahan dan Metode Penelitian

3.1 Alat dab bahan 27

3.1.1 Alat 27

3.1.2 Bahan 27

3.2 Prosedur penelitian 28

3.2.1 Pengambilan sampel 28

3.2.2 Pembuatan larutan pereaksi 28 3.2.2.1 Pembuatan larutan CH3COOH 1% 28 3.2.2.2 Pembuatan larutan kitosan 2% 28

3.2.3 Cara kerja 28

3.2.3.1 Preparasi sampel 28

3.2.3.2 Pembuatan edible film 28

3.2.3.2.1 Variasi tepung tapioka 29 3.2.3.2.2 Variasi gliserin 29 3.2.4 Pengukuran ketebalan edible film 29 3.2.5 Pengukuran kuat tarik dan kemuluran 29 3.2.6 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 31 3.2.7 Analisa FT-IR (Fourier Transform Infrared) 32

3.3 Bagan penelitian 33

3.3.1 Preparasi sampel 33

3.3.2 Pembuatan edible film 34

3.3.2.1 Variasi tepung tapioka 34

3.3.2.2 Variasi gliserin 35

3.3.3 Pengujian edible film 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian 37


(7)

4.1.2 Kuat tarik dan kemuluran edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dan ekstrak jambu biji 41

4.1.3 Analisa SEM 42

4.1.4 Analisa FTIR 43

4.2 Pembahsan 43

4.2.1 Analisa kuat tarik dan kemuliran 43

4.2.2 Analisa SEM 44

4.2.3 Analisa FTIR 45

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 46

5.2 Saran 46

Daftar pustaka 47


(8)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 2.1 Kandungan gizi dalam 100 g buah jambu biji 7 Tabel 2.2 Daftar komposisi nutrisi tepung tapioka 26 Tabel 4.1 Hasil analisa karakterissi edible film dari 2 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin 37 Tabel 4.2 Hasil analisa karakterissi edible film dari 2,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin 37 Tabel 4.3 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin 38 Tabel 4.4 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin 38 Tabel 4.5 Hasil analisa karakterissi edible film dari 4 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin 38 Tabel 4.6 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2,5 ml gliserin 39 Tabel 4.7 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3 ml gliserin 39 Tabel 4.8 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3,5 ml gliserin 39 Tabel 4.9 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%

kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4 ml gliserin 40 Tabel 4.10 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2%


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Jambu biji merah 7

Gambar 2.2 Struktru amilosa 15

Gambar 2.3 Struktur amilopektin 16

Gambar 2.4 Struktur gliserin 17

Gambar 2.5 Struktur polimer kitosan 19

Gambar 3.1 Kurva tegangan dan regangan bahan polimer 30 Gambar 3.2 Bentuk spesimen untuk analisis kuat tarik dan kemuluran ASTM


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran 1. Hasil analisa karakterisasi edible film 49

Lampiran 2. Hasil analisa permukaan dengan SEM 53

Lampiran 3. Hasil analisa gugus fungsi FT-IR 58


(11)

KARAKTERISASI EDIBLE FILM DARI TEPUNG TAPIOKA, KITOSAN, DAN EKSTRAK JAMBU BIJI (Psidium guajava L.)

DENGAN PEMLASTIS GLISERIN

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pembuatan edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan dan ekstrak jambu biji merah (Psidium guajava L.) dengan pemlastis gliserin. Edible film dibuat dengan mencampurkan tepung tapioka dengan variasi 2;2,5;3;3,5; dan 4 gram, kitosan dengan komposisi tetap 2% (� �⁄ ) , ekstrak jambu biji merah dengan komposisi tetap 10 gram, ditambahkan dengan 2 ml gliserin, diaduk hingga homogen, dicetak di atas plat akrilik, dikeringkan didalam oven selama ± 2 hari. Edible film dengan variasi tepung tapioka memberikan hasil optimal pada 3,5 gram dan hasil ini dijadikan sebagai variabel tetap untuk pembuatan edible film kembali dengan variasi gliserin 2,5;3;3,5;4 dan 4,5 mL. Dari hasil penelitian pada variasi tepung tapioka diketahui bahwa edible film dengan penambahan 3,5 gram tepung tapioka memberikan hasil yang terbaik dengan nilai karakteristik seperti ketebalan, kuat tarik, kemuluran, SEM dan FTIR yaitu 0,262 mm, 0,0743 Kg/mm2, 15,11%, memiliki struktur permukaan yang halus dan kompatibel, serta analisa spektrum FTIR menunjukkan spektrum pada daerah 3291,69 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH. Pada variasi gliserin, edible film dengan penambahan 4,5 ml gliserin memberikan hasil yang terbaik dengan nilai yaitu 0,253 mm, 0,1841 KgF/mm2, 27,22%, memiliki permukaan yang halus dan kompatibel, serta analisa spektrum FTIR menunjukkan spektrum pada daerah 3294,29 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tepung tapioka, kitosan, dan gliserin dalam pembuatan edible film.


(12)

CHARACTERIZATION OF EDIBLE FILM FROM BLENDS CASSAVA STARCH, CHITOSAN, AND GUAVA (Psidium guava L.) EXTRACT

WITH GLYSERIN PLASTICISER

ABSTRACT

The research had been carried out about characterizing of edible film from blends cassava starch, chitosan, and guava (psidium guava l.) extract with glyserin plasticizer. Edible film was made by blending starch with various composition 2;2,5;3;3,5 and 4 grams, chitosan with composition constant is 2% (w/v), guava’s extract composition was constant in 10 grams, and then added with 2 Ml glyserin, stirred until homogenous, poured on the acrylic plate and dried in an oven for ± 2 days. Edible film with various composition of cassava starch gave optimum result at 3,5 grams and it be created as constant variable for making of edible film back with glyserin various composition 2,5;3;3,5,4 and 4,5 mL. From the result at cassava starch various composition known that edible film in adding 3,5 gram cassava starch gave the best result with characterization value such as thickness, stress, elasticity, SEM and FTIR namely 0,262 mm, 0,0743 Kg/mm2, 15,11%, has smooth and compatible surface structure, also FTIR spectrum analysis showed that spectrum at 3291,69 cm-1 range showed that hidrocyl group (OH) or –NH group exist. In glyserin various composition, edible film with adding 4,5 mL glyserin gave the best result with characterization value namely 0,253 mm, 0,1841 KgF/mm2, 27,22%, has smooth and compatible surface structure, also FTIR spectrum analysis showed that spectrum at 3294,29 cm-1 range showed that hidrocyl group (OH) or –NH group exist. This result showed that there was interaction between cassava starch, chitosan, and glyserin in making of edible film.

DAFTAR ISI


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolpraset, 2006).

Pembungkusan makanan merupakan tahapan pengemasan bahan makanan yang menggunakan bahan pengemas yang tepat. Pengemasan ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas dan keamanan bahan makanan tersebut. Adapun fungsi pengemasan makanan itu diantaranya adalah mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran (Syarief, Santausa, dan Ismayana, 1989).

Bahan pengemasan yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas, logam, dan kaca. Namun pemakaian material sintetis tersebut dapat berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga sekarang ini diperlukan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan (biodegradable) (Henrique, 2007).

Ada beberapa cara yang telah dilakukan dalam mengurangi penggunaan plastik yaitu pengembangan plastik yanng bersifat biodegradable dan pengembangan bahan kemasan pangan yang tidak hanya bersifat biodegradable tapi juga bersifat edible, bahan kemasan ini sering disebut edible film, yaitu lapisan tipis yang melapisi bahan pangan dan aman dikonsumsi (Muktaruddin dan Suyatno, 2011).

Penelitian mengenai edible film sudah lama dilakukan oleh para peneliti yang memanfaatkan bahan baku lokal seperti di negara Jepang, Amerika serikat, Thailand dan lain sebagainya. Di Indonesia hal sejenis telah berkembang pesat seperti


(14)

penggunaan pati tapioka, pati ganyong, dan pati lainnya (Muktaruddin dan Suyatno, 2011). Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film yang dapat menggantikan polimer plastik karena sifatnya yang ekonomis,dapat diperbaruhi, dan memberikan karakteristik yang baik (Bourtoom, 2007).

Jambu biji dikatakan sebagai buah yang istimewah karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, seperti potasium dan besi. Selain itu, kaya akan serat, karetenoid, dan polifenol. Kandunga vitamin C jambu biji merah sekitar 87 mg, dua kali lipat dari jeruk manis (49 mg/100 gr), lima kali lipat dari orange, serta delapan kali lipat dari lemon (10,5 mg/100 gr). Dibandingkan jambu air dan jambu bol, kadar vitamin C pada jambu biji merah jauh lebih besar, yaitu 17 kali lipat dari jambu air (5 mg/100 gr) dan empat kali lipat dari jambu bol (22 gm/100 gr) (Soedarya, 2009)

Menurut Siti Wafiroh (2010) yang berjudul “Pembuatan dan Karakterisasi Edible Film dari Komposit Kitosan-Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Pemlastis Asam Laurat” menjelaskan bahwa edible film dari komposit kitosan-pati garut dengan pemlastis asam laurat memberikan kondisi optimun yaitu kitosan 4% (w/v), pati garut 1% (w/v) dan pemlastis asam laurat sebesar 1 gram.

Menurut Maulan Karnawidjaja Wahyu (2008) yang berjudul “Pemanfaatan Pati Singkong sebagai Bahan Baku Edible Film” menjelaskan bahwa edible film yang dibuat dari pati singkong dapat digunakan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahankan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga 25-44 hari.

Menurut Jimmy (2013) yang berjudul “ Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin, dan Ekstrak Mangga (Mangifera indica L.) menjelaskan bahwa edible film dengan menggunakan 6 g tepung tapioka, 80 ml akuades, 2% kitosan, 10 g ekstrak mangga, dan 2 g gliserin menunjukan hasil yang terbaik dengan ketebalan 0,248 mm, kuat tarik sebesar 0,2285 KgF/mm2, kemuluran 48,91% dan dari hasil SEM terlihat permukaan film yang rata, rapat, dan berpori kecil.


(15)

Menurut Oriza (2014) yang berjudul “Karakterisasi dan analisa kadar nutrisi

edible film dari campuran ekstrak daun sirsak (Annona muricata) dengan tepung

tapioka, kitosan dan gliserin” menjelaskan bahwa hasil edible yang terbaik pada

campuran 4 g tepung tapioka, 32 ml akuades, kitosan 2%, 2 mL gliserin dan 10 gr

ekstrak daun sirsak dengan hasil ketebalan 0.032 mm , kuat tarik sebesar 0.468

KgF/mm2, dan kemuluran 37.36% . Dari hasil SEM dapat dilihat permukaan film

yang rata, rapat, halus dan juga berpori-pori kecil.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh variasi tepung tapioka dan gliserin yang digunakan dalam pembuatan edible film.

2. Bagaimana karakterisasi edible film dengan penambahan ekstrak jambu biji (Psidium guajava L.), tepung tapioka, gliserin dan kitosan yang meliputi ketebalan, kuat tarik, kemuluran, uji SEM, serta uji FTIR.

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi oleh:

1. Sampel jambu biji yang digunakan berasal dari jenis dan varietas jambu biji merah.


(16)

3. Tepung tapioka yang digunakan dengan merk mazenna diperoleh dari Pasar Belawan

4. Kitosan yang digunakan diperoleh dari Dosen Pembimbing

5. Gliserin yang digunakan diperoleh dari laboratorium Biokimia FMIPA USU, Medan

6. Ekstrak jambu biji yang ditambahkan adalah sebanyak 10 g, kitosan yang ditambahkan 2%

7. Parameter yang diteliti adalah sifat mekanik (ketebalan, kuat tarik dan kemuluran), dan sifat fisik (analisa Scan Electron Microscope/SEM dan analisa Spectroscopy Fourier Transform Infra Red/FT-IR)

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui pengaruh variasi tepung tapioka dan gliserin yang digunakan dalam pembuatan edible film.

2. Untuk mengetahui karakterisasi edible film dengan penambahan ekstrak jambu biji (Psidium guajava L.), tepung tapioka, gliserin, dan kitosan.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

Mengurangi penggunaan bahan pengemas makanan yang bersifat nonbiogegradable serta mennghasilkan edible film yang ramah lingkungan.


(17)

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia/KBM FMIPA USU, Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Laboratorium Geologi Kuarter ITB Bandung, Laboratorium Kimia Organik UGM Yogyakarta, dan Laboratorium IKM Baristand Medan

1.7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut:

1. Edible film dibuat dari tepung tapioka, gliserin (sebagai variabel bebas), kitosan dan ekstrak jambu biji (sebagai variabel tetap). Untuk setiap variasi tersebut dilakukan analisa pengukuran ketebalan, kuat tarik, SEM dan FTIR

2. Edible film yang dihasilkan dilakukan pengukuran ketebalan dengan menggunakan jangka sorong

3. Edible film yang dihasilkan dilakukan pengujian kuat tarik dan kemuluran dengan menggunakan alat Torsee’s Electronic System Tokyo Testing Machine.

4. Edible film yang dihasilkan dilakukan analisa SEM dengan penentuan secara mikroskopi.

5. Edible film yang dihasilkan dilakukan analisa FT-IR dengan penentuan secara spektroskopi.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jambu Biji

Jambu biji (Psidium guajava L.) atau sering disebut juga jambu batu, jambu siki dan jambu klutuk adalah tanaman tropis yang berasal dari Brasil, disebarkan ke Indonesia melalui Thailand. Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Buah jambu biji dikenal mengandung banyak vitamin C. Selain itu, jambu biji mengandung banyak serat sehingga sangat cocok sekali dikonsumsi untuk menjaga kesehatan.

Jambu biji atau bahasa latinnya Guava, merupakan jenis tanaman perdu dengan cabang yang banyak. Tinggi pohon ini rata-rata 10-12 meter. Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah ini dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Adapun besar buahnya sangat bervariasi. Buah jambu biji sangat digemari oleh masyarakat karena buahnya yang segar dan manis (Susilo, 2009).

Hingga saat ini, jambu biji telah dibudidayakan dan menyebar luas di berbagai pulau di Indonesia. Jambu biji diperbanyak dengan persilangan melalui stek atau okulasi dengan jenis jambu biji lain yang unggul, sehingga mendapatkan pohon jambu biji yang lebih besar dengan biji yang lebih sedikit, bahkan tidak berbiji seperti jambu bangkok.

Tanaman ini dapat tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Pada umur 2-3 tahun jambu biji sudah mulai berbuah. Asal jambu biji tidak pasti, namun diyakini dari daerah di Meksiko sampai ke Amerika Tengah menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Asia Selatan, India, Srilanka, dan Indonesia. Jambu biji tersebar oleh manusia, burung, dan hewan lainnya (Soedarya, 2009).


(19)

Gambar 2.1 Jambu Biji Merah Tabel 2.1 Kandungan Gizi dalam 100 gram Buah Jambu Biji

Komponen Gizi Kandungan

Kalori 36-50

Air 77-86 g

Serat 2,8-5,5 g

Protein 0,9-1,0 g

Lemak 0,1-0,5 g

Abu 0,43-0,7 g

Karbohidrat 9,5-10 g

Kalsium 9,1-17 mg

Fosfor 17,8-30 mg

Besi 0,30-0,70 mg

asam askorbat (vitamin C) 200-400 mg Thiamin (vitamin B1) 0,046 mg riboflavin (vitamin B2) 0,03-0,04 mg niasin (vitamin B3) 0,6-1,068 mg (Soedarya, 2009)


(20)

2.1.1 Taksonomi Jambu Biji

Jambu biji adalah tanaman dari keluarga melati (Myrtaceae) genus Psidium dengan sekitar 100 spesies. Jambu biji sekarang dibudidayakan dan dikembangkan diseluruh daerah tropis karena permintaaan terhadap jambu biji meningkat.

Tanaman ini, jika diklasifikasikan termasuk jenis tanaman berkeping dua. Klasifikasi tanaman jambu biji adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L.

2.1.2 Jenis-Jenis Jambu biji

2.1.2.1 Jambu Sukun (Guava Sukun)

Menurut Soedarya (2009) tedapat beberapa jenis jambu biji diantaranya jambu sukun. Kata “sukun” berarti “tidak berbiji”. Beberapa kelebihan dari jambu jenis ini diantaranya: relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit, dapat berproduksi terus menerus sepanjang tahun meskipun relatif sedikit, dan tidak memiliki biji yang banyak.


(21)

2.1.2.2 Jambu Bangkok (Guava Bangkok)

Jambu bangkok berukuran besar dengan daging yang tebal dan sedikit biji, rasanya agak hambar dan berbentuk bulat sempurna dengan garis tengah sekitar 10 cm.

2.1.2.3 Jambu Merah (Guava Merah)

Bentuk buah jambu jenis ini bulat dan bermoncong di pangkalnya, kulitnya agak tebal, daging buahnya berwarna merah, dengan banyak biji serta memiliki rasa yang manis.

2.1.2.4 Jambu Pasar Minggu (Guava Pasar Minggu)

Jambu dengan jenis ini memiliki dua jenis varian, yaitu jambu dengan daging buah putih dan jambu dengan daging buah merah. Bentuk buah agak lonjong dengan bagian ujung membulat, dan bagian pangkal buah meruncing.

2.1.2.5 Jambu Australia (Guava Australia)

Guava australia diintroduksi dari Australia. Keistimewaannya adalah berdaun merah keunguan, dapat dijadikan sebagai tanaman hias.

2.2 Edible Film

Edible film didefinisikan sebagai suatu material berbentuk lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan dapat digunakan sebagai penghalang kelembaban, oksigen dan gerakan zat terlarut pada makanan. Edible film dapat digunakan untuk lapisan pembungkus makanan yang atau dapat ditempatkan sebagai lapisan antara komponen makanan (Giulbert, 1986).

Edible film telah banyak menerima banyak perhatian pada beberapa tahun belakangan ini karena keuntungannya yang lebih besar dibandingkan dengan plastik sintetik. Keuntungannya yang paling utama adalah bahwa edible film dapat ikut dimakan bersama dengan produk makanan yang dikemas.


(22)

Edible film dapat berfungsi sebagai agen pembawa antimikroba dan antioksidan. dalam aplikasi yang sama edible film juga dapat digunakan di permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan.

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumnya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap air dibandingkan dengan edible film yang tebuat dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik(Hui,2006).

Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu metode casting, yaitu dengan mendispersikan bahan baku edible film, pengaturan pH larutan, pemanasan larutan, pencetakan, pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada metode standart dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Namun pada umumnya dilakukan penambahan hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang tidak mudah hancur dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas (Wahyu, 2008).

2.2.1 Sifat-sifat Edible Ffilm

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut.

Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.


(23)

1. Ketebalan edible film

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile.

2. Perpanjangan edible film atau elongasi

Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik. Nilai elongasi edible film menunjukkan kemampuan rentangnya.

3. Peregangan edible film atau tensile strength

Peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangan menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel.

4. Kelarutan film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam.

5. Laju transmisi uap air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin(Gontard, 1993).


(24)

Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit. Bahan-bahan tamBahan-bahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor, dan pewarna.

Komponen yang cukup besar dalam pembuatan edible film adalah plasticizer, yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas, menghindari film dari keretakan, meningkatkan permeabilitas terhadap gas,uap air, zat terlarut, dan meningkatkan elastisitas film. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, polivinil alkohol, dan sorbitol.

Aplikasi dari edible film dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan

Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran, dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.

2. Sebagai barrier

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut: Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film, diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge, yang merupakan barrier yang baik untuk adsorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah.

Di Jepang bahan ini digunakan untuk mengoreng tempura. Edible film yang terbuat dari zein (protein jagung), dengan nama dagang Z’coat TM (Cozean) digunakan untuk produk-produk seperti permen dan coklat. Fry shield yang dipatenkan oleh Kerry Ingredient, terdiri dari pektin, remah-remahan roti dan kalsium, digunakan untuk mengurangi lemak pada saat penggorengan, seperti pada penggorengan French fries.


(25)

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau adhesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan penambahan bumbu.

4. Pelapis

Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible film, adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti E. dan Nurminah M., 2007).

2.2.3 Zat Pemlastis (Plasticizer)

Plasticizer didefenisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi. Jika ditambahkan pada material lain dapat merubah sifat material tersebut. Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler, meningkatkan fleksibilitas film, dan menurunkan sifat barrier film.

Gliserol dan sorbitol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah poliol (gliserol, sorbitol, dan polyethylene glikol) biasa digunakan sebagai plasticizer pada pembentukan film hidrofilik (Gontard and Guilbert, 1992)

Pemlastis adalah suatu bahan yang ditambahkan kedalam suatu material berupa elastomer untuk meningkatkan pengolahannya, fleksibilitas, dan tarikannya. Suatu pemlastis dapat menurunkan viskositas leburnya, temperature transisi gelas, dan modulus elastis dari produk tanpa mengubah bentuk karakter kimia dari material pemlastis (Muller,1990).


(26)

2.3 Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film

Bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan edible film antara lain antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba yang umumnya sering digunakan adalah asam benzoat, asam askorbat, kalium sorbat, dan asam propionat. Antioksidan yang sering digunakan berupa senyawa asam dan senyawa fenolik. Senyawa asam yang digunakan antara lain asam sitrat dan asam sorbet. Sedangkan senyawa fenolik yang dipakai adalah BHA, BHT (Mumtaaz,2006).

Pada pembuatan edible film dari bahan dasar yang terbuat dari pati, digunakan bahan – bahan seperti gula, urea, gliserin, dan kitosan. Yang masing – masing dari bahan tersebut mempunyai fungsi sebagai sumber karbohidrat, sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba.

2.3.1 Pati

Amilum atau dalam kehidupan sehari-hari disebut pati terdapat pada umbi, daun, batang dan biji-bijian. Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa dan sisanya amilopektin.

Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4 -glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang (Poedjiadi,1994).

Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila ditambahkan dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut).

Amilosa. Hidrolisis lengkap amilosa meghasilkan hanya D-Glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanya


(27)

β dalam selulosa, dan α dalam amilosa. Hal ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini. Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, banyaknya satuan bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu.

Gambar 2.2 struktur amilosa

Amilopektin. Suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dari amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida.

Gambar 2.3 struktur amilopektin

Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis tak lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa, yang kedua ini berasal dari percabangan-1,6 (Fesenden,1986).


(28)

2.3.2 Gliserin

Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki sifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut :

a) Farmasi

Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi.

b) Bahan makanan

Gliserin digunakan sebagai pelarut ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli.

c) Kosmetik

Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun, tidak iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner,1953).

Gliserin dengan rantai HO-CH2-CH-(OH)-CH2-OH adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Senyawa ini bisa menurunkan titik beku pelarutnya dengan mengganggu pembentukan kristal es pelarut.

Gliserin juga dapat meningkatkan titik didih pelarutnya dengan menghalangi molekul-molekul pelarut saling bertumbukan, dengan demikian mengurangi tekanan uap pelarutnya. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.


(29)

CH2 – OH |

CH – OH |

CH2 – OH

Gambar 2.4 struktur gliserin

Gliserin merupakan humektan yang biasa dipakai untuk kosmetik (hand and body lotion, cream pelembab, dll), untuk bahan dasar pembuatan sabun juga merupakan bahan utama untuk pasta gigi. Fungsinya adalah untuk mengikat air/pelembab sehingga cream selalu basah dan tidak cepat mengering di udara bebas.

Gliserin mudah dicerna dan tidak beracun dan bermetabolisme bersama karbohidrat, meskipun berada dalam bentuk kombinasi pada sayuran dan lemak binatang. Untuk produk makanan dan pembungkus makanan yang kontak langsung dengan konsumen, syarat utamanya adalah tidak beracun. Kegunaannya di dalam produk makanan dan minuman antara lain sebagai :

- Pelarut untuk pemberi rasa - Pengental dalam sirup

- Bahan pengisi dalam makan rendah lemak (biskuit) - Pencegah kristalisasi gula pada permen dan es (http:susyanairi.blogspot.com/gliserin/html)

2.3.3 Kitosan

Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai bentuk rantai linier, sebagai produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan basa kuat (Muzarelli, 1988). Kitosan adalah poly-D-glukosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa (Simunek et al.,2006).


(30)

2.3.3.1Struktur Kitosan

Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Jika sebagian besar gugus asetil pada kitin disubstitusikan oleh atom hidrogen menjadi gugus amino dengan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi, hasilnya dinamakan kitosan atau kitin terdeasetilasi. Kitosan mempunyai rumus-rumus umum (C6H9NO3)n atau disebut sebagai poli (β-(1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa). Kitosan bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan derajat polimerisasi yang berbeda. Kitin dan kitosan adalah nama untuk dua kelompok senyawa yang dibatasi dengan stoikiometri, kitin adalah poli N-asetilglukosamin yang terdeasetilasi sedikit. Derajat deasetilasi biasanya bervariasi diantara 8-15%, tetapi tergantung pada sumber yang digunakan untuk memperoleh kitin, dan metode yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian. Sedangkan kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin dengan derajat deasetilasi antara 50-70% (Bastaman, 1989).

O O O O O H O

HOH2C

H

H HO

NH2 H

H

H HOH2C

NH

HOH2C

O H NH2 H H HO OH H C O CH3 H H C-2 C-2 C-2 n Gambar 2.5 Struktur Polimer Kitosan

Pada proses deasetilasi kitin yang diperoleh dari kulit udang dan cangkang kepiting menjadi kitosan, kitin ditambah NaOH 60 % , lalu campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 120oC selama 4 jam. Campuran disaring melalui kertas saring wollfram, selanjutnya larutan dititrasi menggunakan HCl untuk mengendapkan kembali kitosan yang masih ada dalam larutan. Campuran yang menghasilkan endapan disentrifuge untuk memisahkan kitosan. Padatan yang diproleh dicuci dengan akuades, padatan yang didapat berupa serbuk kitosan berwarna putih krem,


(31)

lalu dikeringkan pada 80oC selama 24 jam,maka diperoleh hasil sebanyak 55% (Puspawati dan Simpen, 2010).

2.3.3.2Kegunaan Kitosan

Dewasa ini, aplikasi kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitosan berperan sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi affinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara dibidang pertanian dan pangan, kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental, dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman dan penjernih sari buah. Biopolimer ini juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membrane dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan (Sugita dkk, 2009).

2.3.3.3Sifat-sifat Fisika dan Kimia

2.3.3.3.1 Sifat Fisika

Pada umumnya polisakarida alami seperti selulosa, dekstran, pektin, alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan kitin dan kitosan bersifat basa (Kumar, 2000). Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [�]11 -3 hingga -10o (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik seperti asam asetat, asam


(32)

format, dan asam piruvat pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15 – 1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya (Sugita dkk, 2009).

2.3.3.3.2 Sifat Kimia

Adanya gugus amino dan hidroksil dari kitosan menyebabkan kitosan mudah dimodifikasi secara kimia antara lain dalam reaksi pembentukan:

a. N-Asilasi

Metode yang paling sederhana adalah dengan mereaksikan asam karboksilat dengan kitosan, pemanasan larutan kitosan dalam asam formiat 100% pada suhu 90oC dengan penambahan piridin sedikit demi sedikit untuk menghasilkan N-formilkitosan, serta N-asetil dalam asam asetat 20% (Kaban, 2007).

Pereaksi yang paling umum digunakan untuk N-asilasi kitosan adalah asil anhidrida dan telah digunakan dalam kondisi heterogen dan homogen. Tiga sistem yang telah diuji adalah : (a) anhidrida asetat- asam asetat glacial-HClO4; (b) anhidrida asetat pada temperatur ruangan selama 120 jam yang diikuti proses refluks anhidrida asetat selama 2 jam; (c) anhidrida asetat-metanol pada temperatur ruangan.


(33)

Dari ketiganya, metode yang paling baik digunakan adalah metode yang terakhir (Roberts, 1992).

b. O-Asilasi

Gugus amino kitosan lebih reaktif daripada gugus hidroksilnya. Karenanya gugus amino perlu diproteksi selama proses asilasi untuk menghasilkan O-Asil kitosan. Metode proteksi yang dilakukan antara lain melalui pembuatan basa Schiff disusul O-Asetilasi menggunakan larutan asetat anhidrida-piridin untuk mencegah hidrolisis asam dari basa schiff. Pembuatan O-Asetil kitosan dapat juga dilakukan dengan melarutkan kitosan dalam asam formiat 90% yang mengandung asetat anhidrida dan HClO4, dengan asumsi protonasi gugus amino akan mencegah terjadinya N-Asetilasi. N- dan O-Asilasi kitosan juga dapat diperoleh bersamaan dengan menggunakan asil klorida. Caranya dengan merefluks kitosan dalam campur dodekanoil klorida berlebih-piridin-kloroform dan ditambah asam klorida sesudah direfluks 5 jam. Produk yang diperoleh sesudah 9 jam larut dalam kloroform, benzen, dietil eter dan piridin (Kaban, 2007).

c. Eter Kitosan

Pembuatan derivat O-alkil kitosan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu O-alkilasi kitin diikuti pengurangan N-asetilasi dan O-alkilasi derivat kitosan, dimana gugus amino diproteksi selama reaksi alkilasi. Karboksimetil kitosan yang diperoleh melalui prosedur pertama menghasilkan garam natrium dengan gugus amin bebas dalam bentuk basa maupun garam hidroklorida dari amino dengan gugus karboksimetil dalam bentuk asam. Sensitifitas terhadap penambahan elektrolit meningkat dengan bertambahnya karboksimetilasi. Perlakuan alkali kitin dengan epiklorohidirin pada 0-15oC diikuti deasetilasi menghasilkan O-hidroksialkil kitosan (Kaban, 2007).


(34)

2.4.1 Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik dan mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang berbeda. Radiasi inframerah juga mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat oleh mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5-50 µm atau bilangan gelombang 4000-200 cm-1 . Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metoda ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik(Sagala,2013).

FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratan-persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrument FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi. Dan kemampuan untuk substraksi digital memungkinkan seseorang untuk melahirkan spektrum-spektrum lainnya yang tersembunyi(Steven, 2001).

2.4.2 Scanning Elektron Microscopy (SEM)

Mikroskop electron adalah sebuah mikroskop yang dapat melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali. Mikroskop ini menggunakan elektrostatik dan elektromagnetik untuk pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop electron menggunakan jauh lebih banyak energy dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya(Sagala,2013).


(35)

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron.

Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan(Wirjosentono, 1996).

Prinsip dasar dari SEM adalah electron. Didalam SEM, digunakan sinyal electron BSEs (Backscaterred Electrons) dan Ses (Secondary Electrons). Yang membedakan topografi dan specimen permukan dipengaruhi oleh keluarnya intensitas sinyal electron yang dikumpulkan berdasarkan gelombang-gelombang pemindaian (Sagala, 2013).

2.4.3 Uji Tarik

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (Emaks) yang digunakan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao).

Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan (gaya per satuan luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan terhadap regangan merupakan gambar karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan (Wirjosentono, 1996).


(36)

Semua bahan pangan semula berasal dari jaringan hidup dan berasal dari bahan organik. Karena sifat organik, bahan pangan mudah mengalami peruraian atau kerusakan oleh mikroorganisme saprofitik dan parasitif. Jika terjadi kerusakan pangan, dua proses yang berbeda terlibat di dalamnya, yaitu :

a. Autokatalisis

Kata autolisis berarti destruksi diri, dan ini dipergunakan untuk menjelaskan proses pemecahan tingkat sel yang disebabkan oleh enzim yang terjadi setelah pemotongan atau pemanenan. Dalam berapa hal, kegiatan enzim terbatas pada yang bersifat menguntungkan, misalnya dalam proses pematangan buah dan pengempukan daging. Namun demikian ada juga yang bersifat merugikan.

b. Kerusakan mikrobiologik

Begitu struktur selulernya rusak, pangan mudah diserang oleh mikroorganisme. Penyebab utama kerusakan mikrobiologik adalah bakteri, jamur, dan khamir. Organisme-organisme tersebut memecah komponen organik kompleks di dalam pangan menjadi senyawa lebih sederhana dan menyebabkan perubahan terhadap flavor, tekstur, warna, dan bau pangan tersebut (Sherington K.B.,1992).

2.5.1 Kerusakan dan pengemasan bahan pangan

Pengemasan memegang peran penting dalam pengawetan bahan pangan. Adanya pengemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan. Kerusakan yang terjadi dapat berlangsung secara spontan, tetapi seringkali terjadi karena pengaruh lingkungan luar dan pengaruh kemasan yang digunakan.

Kemasan membatasi bahan pangan dengan lingkungan sekeliling untuk mencegah atau menghambat proses kerusakan selama waktu yang dibutuhkan.Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi dalam dua golongan. Pada golongan pertama, kerusakan lebih ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat


(37)

dicegah dengan pengemasan saja. Kerusakan pada golongan kedua tergantung pada lingkungan dan hampir semuanya dapat kontrol dengan kemasan yang digunakan.

Kerusakan golongan pertama termasuk perubahan-perubahan fisik, biokimia, dan kimia, serta mikrobiologis yang tidak dapat dikontrol seluruhnya dengan pengemasan. Kerusakan golongan kedua adalah kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan, absorbs dan interaksi dengan oksigen, serta kehilangan dan pertambahan cita rasa yang tidak diinginkan. Pengemasan dibutuhkan tidak hanya untuk mencegah kebusukan saja tapi juga berperan dalam menjaga bahan tetap bersih dan dalam kondisi higienis (Winarno F.G.,1992).

2.6 Tepung Tapioka

Singkong (Manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka (Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004).

Tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Salah satu contohnya yaitu digunakan dalam pembuatan edible film yang berfungsi sebagai matriks. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun (kain), juga dapat digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.


(38)

Tabel 2.2 Daftar komposisi nutrisi tepung tapioka No Kandungan

zat Kadar zat

1 Air 9 gram

2 Kalori 363 kal 3 Protein 1.1 gram 4 Lemak 0.5 gram 5 Karbohidrat 88.2 gram 6 Kalsium 84 mg 7 Phospor 125 mg

8 Besi 1.0 mg

9 Vitamin B1 0.4 mg (Astawan, 2010)


(39)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

− Hotplate Gallenkamp

− Oven Gallenkamp

− Neraca analitis Mettler Toledo

− Gelas beaker Pyrex

− Labu takar Permacolor

− Gelas ukur Pyrex

− Thermometer YZ

− Spatula

− Pipet tetes

− Botol reagen

− Botol aquadest

− Magnetik stirrer

− Alat Torse Tokyo testingMachine

− SEM (Scanning Electron Microscopy) JSM-6360

− Spektrofotometer FT-IR

− Plat akrilik

− Jangka sorong

− Blender 3.1.2 Bahan

− Jambu Biji

− Kitosan

− Tepung tapioka Sanghee


(40)

− Aquadest

− CH3COOH(aq) teknis

3.2 Prosedur Penelitian 3.2.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa buah jambu biji yang diperoleh dari pasar pagi Belawan, buah jambu biji memiliki nama latin Psidium guajava L.

3.2.2 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.2.2.1 Pembuatan larutan CH3COOH 1%

Dipipet 1 mL larutan CH3COOHglasial kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100 mL. diencerkan dengan aquadest hingga garis tanda.

3.2.2.2 Pembuatan larutan kitosan 2%

Ditimbang 1 g kitosan kemudian dimasukkan kedalam gelas beaker. Ditambahkan 50 mL larutan CH3COOH 1% . Didiamkan selama ± 1 jam hingga seluruh kitosan larut.

3.2.3 Cara Kerja 3.2.3.1 Preparasi Sampel

Buah jambu biji dibersihkan kemudian diiris tipis-tipis hingga disisakan biji buah. Kemudian dihaluskan dengan blender hingga didapat ekstrak jambu.

3.2.3.2 Pembuatan Edible Film 3.2.3.2.1 Variasi Tepung Tapioka

Sebanyak 2 g tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 34,5 mL aquadest. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan diatas hotplate pada suhu ±65oC hingga mengental. Ditambahkan 10 g ekstrak buah jambu biji sambil diaduk hingga homogen. Kemudian ditambahkan larutan kitosan 2% dan 2 mL gliserin. Diaduk hingga homogen dan dibiarkan mengental. Campuran dituang ke plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ±35oC selama ± 2


(41)

hari. Dilakukan prosedur yang sama untuk tepung tapioka dengan variasi 2,5 g, 3 g, 3,5 g, dan 5 g dan akuades dengan variasi 34 ml, 33,5 ml, 33 ml, dan 32,5 ml.

3.2.3.2.2 Variasi Gliserin

Sebanyak 3,5 g tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah diisi dengan 32 mL aquadest. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan diatas hotplate pada suhu ±65oC hingga mengental. Ditambahkan 10 g ekstrak buah jambu biji sambil diaduk hingga homogen. Kemudian ditambahkan larutan kitosan 2% dan 2,5 mL gliserin. Diaduk hingga homogen dan dibiarkan mengental. Campuran dituang ke plat akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ±35oC selama ± 2 hari. Dilakukan prosedur yang sama untuk gliserin dengan variasi 3 ml, 3,5 ml, 4 ml, dan 4,5 ml dan akuades dengan variasi 31,5 ml, 31ml, 30,5 ml, dan 30 ml.

3.2.4 Pengukuran Ketebalan Edible Film

Edible film yang diperoleh dipotong dengan ukuran 10 cm x 10 cm, kemudian dilakukan pengukuran dengan menggunakan jangka sorong sebanyak dari tiga sisi, yaitu sudut sisi kiri atas, sudut sisi kanan atas dan tengah. Kemudian, dicari rata-rata dari ketebalan tersebut.

3.2.5 Pengukuran Kuat Tarik dan Kemuluran

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan tarik suatu bahan didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum (Emaks) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang awal (A0).

σ =

�����

��

keterangan :

σ = kekuatan tarik bahan ( kgf mm2


(42)

F = tegangan maksimum ( kgf)

Ao = luas penampang ( mm2)

Bila suatu bahan dikenakan beban tarik yang disebut tegangan (gaya per satuan luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan terhadap regangan merupakan gambar karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan. Untuk bahan polimer bentuk kurva tegangan regangan terlihat pada gambar 3.1.

Tegangan lumer

Kuat tarik Tegangan putus

Perpanjangan Lumer

Tegangan

Regangan

Gambar 3.1 Kurva tegangan dan regangan bahan polimer

Spesimen yang digunakan untuk uji kekuatan tarik berdasarkan ASTM D 638 seperti terlihat pada gambar 3.2. rangkaian alat uji tarik diset sesuai denagn yang diperlukan. Kecepatan tarik 100 mm/menit dan beban maksimum 100 kg.f. sampel yang sudah berbentuk dumbell dijepitkan pada alat uji tarik, kemudian alat dijalankan dan data yang dihasilkan diamati pada monitor.


(43)

Gambar 3.2. Bentuk Spesimen Untuk Analisis Kuat Tarik dan Kemuluran ASTM D-638-72-Type IV.

Disamping bersama kekuatan tarik ( σ ) sifat mekanik bahan juga diamati dari sifat kemulurannya ( ε ) yang didefenisikan sebagai :

ε

=

It− I0

I0 x 100%

ε = kemuluran ( % )

I0 = panjang spesimen mula-mula ( mm )

It = panjang spesimen setelah diberi beban ( mm )

( Wirjosentono,1996)

3.2.6 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada specimen interaksi berkas electron dengan specimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas electron, sinar x, electron sekunder, absorbansi electron.

115 mm

64 mm

6 mm

25,5 mm

19 mm


(44)

Dalam hal ini, dilihat permukaan dari pencampuran tepung tapioka dengan ekstrak jambu biji, kitosan dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal

3.2.7 Analisa FT – IR (Fourier Transform Infra Red)

Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) merupakan analisa terhadap interaksi senyawa-senyawa yang terkandung dalam edible film berupa uluran atau lekukan gugus fungsi yang ditampilkan dalam bentuk spektrum gelombang. Dalam hal ini, dilihat spektrum interaksi gugus fungsi dari edible film hasil campuran tepung tapioka dengan kitosan, ekstrak jambu biji, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik edible film yang optimal.

3.3 Bagan Penelitian 3.3.1 Preparasi Sampel

Buah Jambu Biji

Dibersihkan

Dihaluskan dengan blender Diiris tipis-tipis

Disaring dengan kain kasa

Ekstrak Jambu Biji Residu


(45)

3.3.2 Pembuatan Edible Film 3.3.2.1 Variasi Tepung Tapioka

catatan: dilakukan hal yang sama untuk tepung tapioka 2.5 ; 3 ; 3.5 ; 4 gram

Tepung Tapioka

Ditimbang sebanyak 2 g

Ditambahkan 34,5 mL aquadest Dimasukkan ke dalam gelas beaker

Dipanaskan di atas hotplate (± 650C)

Larutan Putih

Ditambahkan 10 g ekstrak buah jambu biji

Ditambahkan 2 mL gliserin

Ditambahkan larutan kitosan 2 % (W/V)

Diaduk hingga homogen dan mengental

Larutan Merah

Edible Film

Dituang ke plat akrilik dan diratakan


(46)

3.3.2.2 Variasi Gliserin

Tepung Tapioka

Ditimbang sebanyak 3,5 g

Ditambahkan 32 mL aquadest Dimasukkan ke dalam gelas beaker

Dipanaskan di atas hotplate (± 650C)

Larutan Putih

Ditambahkan 10 g ekstrak buah jambu biji

Ditambahkan 2,5 mL gliserin

Ditambahkan larutan kitosan 2 % (W/V)

Diaduk hingga homogen dan mengental

Larutan Merah

Edible Film

Dituang ke plat akrilik dan diratakan

Dikeringkan di dalam oven (± 350C)


(47)

3.3.3 Pengujian Edible Film

Edible Film

Uji Fisik

Uji FT-IR Uji SEM Pengukuran

Ketebalan

Kuat Tarik dan Kemuluran


(48)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dan ekstrak jambu biji yang telah dilakukan diperoleh karakterisasi edible film sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil analisa karakterisasi edible film dari 2 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0112 kgF/mm2

2 Kemuluran 9,02 %

3 Ketebalan 0,252 mm

Tabel 4.2 Hasil analisa karakterissi edible film dari 2,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0306 kgF/mm2

2 Kemuluran 9,38 %


(49)

Tabel 4.3 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0414 kgF/mm2

2 Kemuluran 10,61 %

3 Ketebalan 0,256 mm

Tabel 4.4 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0743 kgF/mm2

2 Kemuluran 15,11 %

3 Ketebalan 0,262 mm

Tabel 4.5 Hasil analisa karakterissi edible film dari 4 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0659 kgF/mm2

2 Kemuluran 15,04 %


(50)

Tabel 4.6 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2,5 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,0657 kgF/mm2

2 Kemuluran 12,37 %

3 Ketebalan 0,265 mm

Tabel 4.7 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,1008 kgF/mm2

2 Kemuluran 16,35 %

3 Ketebalan 0,260 mm

Tabel 4.8 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3,5 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,1271 kgF/mm2

2 Kemuluran 18,85 %


(51)

Tabel 4.9 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,1581 kgF/mm2

2 Kemuluran 23,99 %

3 Ketebalan 0,260 mm

Tabel 4.10 Hasil analisa karakterissi edible film dari 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin

No Parameter Hasil

1 Kuat tarik 0,1841 kgF/mm2

2 Kemuluran 27,22 %

3 Ketebalan 0,253 mm

4.1.1 Penentuan Ketebalan

Penentuan ketebalan pada edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dan ekstrak jambu biji dapat dihitung dengan menggunakan jangka sorong.

Sebagai contoh penentuan ketebalan edible film dari 2 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin pada lampiran 1

Adapun perhitungan ketebalan rata-rata edible film:

Uji ketebalan (A1) = 0,30 mm

Uji ketebalan (A2) = 0,25 mm


(52)

Uji ketebalan rata-rata = 0,30mm+0,25mm+0,25mm

3

= 0,267 mm

Hasil ketebalan untuk variasi tapioka dan gliserin berikutnya dapat dilihat pada lampiran 1

4.1.2 Kuat Tarik dan Kemuluran Edible Film dari Campuran Tepung Tapioka, Kitosan, Gliserin dan Ekstrak Jambu Biji

Penentuan kadar kuat tarik edible film dari campuran tepung tapioka, kitosan, gliserin dan ekstrak jambu biji dapat dihitung sebagai berikut:

Kuat tarik = Fmaks

Ao = Load

Ao

Kemuluran = stroke

lo

×

100%

Sebagai contoh penentuan kuat tarik dan kemuluran edible film dari 2 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin pada lampiran 1

Perlakuan I

Load : 0,01 KgF

Stroke : 9,64 mm/menit

Panjang sampel mula-mula (lo) : 110 mm

Tebal sampel : 0,267 mm

Lebar sampel : 6,0 mm

Ao = lebar sampel x tebal sampel

= 6,0 mm x 0,267 mm


(53)

Kuat tarik = 0,01

1,602

= 0,0063 KgF/mm2

Kemuluran = 9,64

110

×

100%

= 8,76%

Hasil kuat tarik dan kemuluran untuk variasi tapioka dan gliserin berikutnya dapat dilihat pada lampiran 1

4.1.3 Analisa SEM

Hasil pemeriksaan SEM menunjukkan bentuk permukaan dari edible film dari tepung tapioka sebagai bahan baku dan kitosan, gliserin serta ekstrak jambu biji merah sebagai bahan pengisi. Dari foto SEM menunjukkan hasil terbaik pada pembuatan edible film dengan variasi tepung tapioka yaitu pada penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin serta pada variasi gliserin yaitu pada penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin dengan permukaan yang rata serta kompatibel. Hasi SEM dapat dilihat pada lampiran 2.


(54)

4.1.4 Analisa FTIR

4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

2930.12 CH 2935,13 CH 3294,29 OH 3291,69 OH 3361,17 NH/OH 2880,17 CH 3297,00 OH 3297,98 OH

panjang gelombang(cm-1)

tapioka kitosan gliserin

variasi gliserin (4,5 ml) variasi tapioka (3,5 gr)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Analisa Kuat Tarik Dan Kemuluran

Kuat tarik dan kemuluran berhubungan dengan sifat kimia film. Kuat tarik adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik, merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus atau sobek (Krochta dan Mulder Johnston, 1997). Pengukuran ini digunakan untuk mengetahui besarnya gaya yang dibutuhkan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Kuat tarik film yang terlalu kecil menunjukkan film tersebut kurang coco untuk dijadikan kemasan, karena sifat fisiknya kurang kuat dan mudah sobek.


(55)

Dari perbandingan hasil kuat tarik dapat disimpulkan bahwa edible film pada variasi tepung tapioka dengan penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin lebih tinggi yaitu kuat tarik 0,0743 KgF/mm2 dan kemuluran 15, 11%, hal ini disebabkan karena proses pencampuran yang lebih stabil sehingga permukaan film yang dihasilkan merata dan tidak mudah patah jika ditarik serta pada penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin dihasilkan edible film pada titik jenuh sehingga molekul-molekul yang terdispersi dan berinteraksi dengan struktur rantai polimer dan menyebabkan rantai polimer sukar bergerak serta kekuatan tarik meningkat karena adanya gaya intermolekul diantara rantai pati. Dari perbandingan hasil kuat tarik edible film pada variasi gliserin dengan penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin lebih tinggi yaitu kuat tarik 0,1841 KgF/mm2 dan kemuluran 27,22%, hal ini disebabkan oleh penggunaan gliserin sebagai plastisizer yang semakin banyak akan meningkatkan keelastisan edible film tersebut sehingga edible film yang dihasilkan tidak mudah sobek. Gliseris berfungsi sebagai plastisizer untuk mengurangi daya tarik intermolekulkular rantai polimer pati sehingga mengurangi sifat mudah retak.

4.2.2 Analisa SEM

Analisa SEM berfungsi untuk melihat permukaan penampang, permukaan melintang dan membujur suatu spesimen secara mikroskopik dengan perbesaran tertentu. Sehingga topografi, tonjolan, lekukan dan pori-pori pada permukaan dapat terlihat.

Analisa SEM akan memperlihatkan morfologi permukaan dari edible film tersebut. Hasil SEM edible film pada variasi tepung tapioka yaitu dengan penambahan 4 gram tepung tapioka dengan perbesaran 2.000 x menunjukkan permukaan edible film yang kurang kompatibel dan kurang rata dibandingkan edible film dengan penambahan 3,5 gram tepung tapioka, hal ini disebabkan pada penambahan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dihasilkan edible film pada titik jenuh sehingga menyebabkan permukaan yang semakin rata dan padat pada permukaan. Hasil SEM edible film pada variasi gliserin yaitu dengan


(56)

penambahan 4 ml gliserin dengan perbesaran 2.000 x menunjukkan permukaan edible film yang kurang kompatibel dan kurang rata dibandingkan edible film dengan penambahan 4,5 ml gliserin, hal ini disebabkan semakin banyak jumlah gliserin sebagai plastisizer yang ditambahkan akan menyababkan permukaan yanng semakin ratadan padat pada permukaannya. Gliserin sebagai plastisizer berfungsi untuk menurunkan gaya intermolekuler rantai polimer pati, selain itu gliserin merupakan molekul hidrofilik dengan berat molekul rendah dan mudah masuk ke dalam rantai pati.

4.2.3 Analisa FTIR

Dari gambar 3.1 memberikan spektrum dengan serapan pada daerah 3297,98 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari unit α-glukosa, dari gambar 3.2 memberikan spektrum dengan serapan pada daerah 3297,00 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) yang berasal dari gliserin serta serapan pada daerah bilangan gelombang 2880,17 cm-1 menunjukkan adanya CH alifatis, pada gambar 3.3 memberikan spektrum dengan serapan pada daerah 3361,17 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atan gugu -NH, gambar 3.4 yaitu edible film dengan uji mekanik optimal pada variasi tapioka memberikan spektrum dengan serapan pada daerah 3291,69 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atan gugu –NH serta serapan pada bilangan geelombang 2930,12 cm-1 yang menunjukkan adanya CH, gambar 3.5 yaitu edible film dengan uji mekanik optimal pada variasi gliserin memberikan spektrum dengan serapan pada daerah 3294,29 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksil (OH) atan gugus –NH serta serapan pada bilangan geelombang 2935,13 cm-1 yang menunjukkan adanya CH. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara tepung tapioka, kitosan dan gliserin pada edible film yang dibuat.


(57)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Pembuatan edible film pada variasi tepung tapioka dengan menggunakan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin serta pada variasi gliserin dengan menggunakan 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang lain.

2. Dari karakterisasi edible film pada variasi tepung tapioka diperoleh hasil uji kekuatan tarik sebesar 0,0743 KgF/mm2, kemuluran 15,11%, ketebalan 0,262 mm, dan hasil SEM terlihat permukaan yang rata dan kompatibel serta pada variasi gliserin diperoleh hasil kekuatan tarik 0,1841 KgF/mm2, kemuluran 27,22%, ketebalan 0,253 mm, dan hasil SEM terlihat permukaan yang rata dan kompetibel juga.

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengujian terhadap organoleptik, antimikroba dan laju transmisi uap air pada edible film yanng dihasilkan serta pengaplikasiannya secara langsung sebagai bahan pengemas.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. England : The Queen’s University of Belfast.

Bourtoom,T. 2007. Effect Of Some Process Parameters On The Properties Of Edible Film Prepared From Starch. Departement Of Material Product Technology, SongKhala.

Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid Kedua.Jakarta: Erlangga.

Gontard,N.,Guilbert,S.,dan Cuq,J.L.1993.Water and Glyserol as Plasticizer Affect Mechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. USU : J. Food Science.

Henrique, C.M.2007. Classification Of Cassava Starch Film By Physicochemical Properties and Water Vapor Permeability Qualification by FTIR and PLS. Journal Of Food Science

Http: //susyanairi.blogspot.com/gliserin/html. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 http://www.teknopangan_dan_agroindustri.com

Hui,Y.H.2006.Handbook of food Science,Technology, and Enggineering Volume I.CRC Press.USA

Julianti,E. dan Nurminah,M.2007.Buku Ajar Teknologi Pengemasan.http:

Kaban, J. 2007. Studi Karakteristik dan Aplikasi Film Pelapis Kelat Logam Alkali

Tanah Alginat-Kitosan. Disertasi Program Doktor Ilmu Kimia. Sekolah

Pascasarjana USU Medan.

Kumar, M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Application. Reactive & Functional Polymers 46(1): hal 1-27.

Minner, C. S. 1953. Glycerol. New York : Reinhold publishing corporation.

Muktarudin., dan Suyatno.2011.Penambahan Protein Belut Sawah Pada Pembuatan Edible Film Pati Tapioka Termodifikasi.Isn:1979-8245X

Muller, H. 1990. Plastic Additive Handbook. 3rd edition. Munich : Hanser Publisher

Mumtaaz. 2006. Bahan Baku Edible Coating

pada tanggal 22 Agustus 2010

Muzzarelli, R. V., Baldassare, F. Conti, P. Ferrara, dan G. Biagini. 1988. Biological Activity of Chitosan: Ultrastructural Study Biomaterial. 9:247-252.


(59)

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia.

Puspawati, N.M., dan Simpen, I.N. 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin Dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Jurnal Kimia 2010 PP. 79090. ISSN 1907-9850.

Sagala,S.T.Rizki.2013.Karakterisasi Pembuatan Edible Film Dari Campuran Tepung Rumput Laut (Eucheuma sp.) Kitosan dan Gliserin.Skripsi.Medan : Departemen Kimia Universitas Sumatera Utara.

Sediaoetama,A.D.1989.Ilmu Gizi. Jilid I.Jakarta:Penerbit Dian Rakyat.

Simunek, J.G., B. Tishchenko, dan Hodrova. 2006. Effect of Chitosan of Human Colonic Bacteria”. Jounal Folia Microbiology. Vol. 51 (4), hal : 306- 308. Soedarya, A. 2009. Budibaya Usaha Pengolahan Agribisnis Guajava. Pustaka

Grafika.

Stevens,M.P. 2000.Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Jakarta : Pradnya Paramita

Sudarmadji, S. 1992. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Jakarta : Erlangga.

Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza, A., dan Wahyono, D. 2009. Kitosan Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor : IPB press.

Susilo, J. 2009. Sukses Bertanam Jambu Biji dan Jambu Air Di Pekarangan Rumah dan Kebun. Pustaka Baru Press

Syarief, R., S.Santausa., St.Ismayana, 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan Dan Gizi, IPB.

Wahyu.M.K.2008.Pemanfaatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film.Bandung. UNPAD Press

Winarno,F.G.1992.Pengantar teknologi Pangan.Jakarta:PT. Gramedia.

Wirjosentono,B.1995. Perkembangan Polimer di Indonesia.Orasi Ilmia Lustrum 6. Medan : Universitas Sumatera Utara


(60)

(61)

LAMPIRAN 1. HASIL ANALISA KARAKTERISASI EDIBLE FILM

Tabel 1.1. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 2 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,01 9,64 0,267 0,0063 8,76

2 II 0,03 10,28 0,24 0,0208 9,35

3 III 0,01 9,86 0,25 0,0066 8,96

Rata-rata 0,252 0,0112 9,02

Tabel 1.2. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 2,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,03 9,86 0,250 0,0200 8,96

2 II 0,05 10,12 0,250 0,0333 9,20

3 III 0,06 10,97 0,260 0,0384 9,97

Rata-rata 0,253 0,0306 9,38

Tabel 1.3. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,05 10,48 0,267 0,0310 9,53

2 II 0,07 12,73 0,250 0,0466 11,57

3 III 0,07 11,82 0,250 0,0467 10,75


(62)

Tabel 1.4. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,10 14,16 0,267 0,0562 12,87

2 II 0,15 18,73 0,260 0,0962 17,03

3 III 0,11 16,97 0,260 0,0705 15,43

Rata-rata 0,262 0,0743 15,11

Tabel 1.5. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 4 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,09 16,53 0,267 0,0562 15,03

2 II 0,10 16,98 0,240 0,0694 15,44

3 III 0,11 16,12 0,255 0,0719 14,65

Rata-rata 0,254 0,0659 15,04

Tabel 1.6. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2,5 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,12 14,62 0,260 0,0769 13,29

2 II 0,10 13,84 0,270 0,0617 11,98

3 III 0,09 12,91 0,265 0,0586 11,74


(63)

Tabel 1.7. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,14 16,17 0,270 0,0864 14,70

2 II 0,16 18,82 0,260 0,1026 17,11

3 III 0,17 18,96 0,250 0,1133 17,24

Rata-rata 0,260 0,1008 16,35

Tabel 1.8. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 3,5 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,17 18,23 0,250 0,1133 16,57

2 II 0,20 21,89 0,250 0,1333 19,90

3 III 0,21 22,08 0,260 0,1346 20,07

Rata-rata 0,253 0,1271 18,85

Tabel 1.9. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF) Stroke (mm/menit) Ketebalan (mm) Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,23 25,12 0,260 0,1474 22,84

2 II 0,25 26,88 0,260 0,1603 24,44

3 III 0,26 27,19 0,260 0,1667 24,69


(64)

Tabel 1.10. Hasil analisa kuat tarik dan kemuluran edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin

No Perlakuan Load (kgF)

Stroke (mm/menit)

Ketebalan (mm)

Kuat Tarik (KgF/mm2)

Kemuluran (%)

1 I 0,28 30,10 0,250 0,1867 27,36

2 II 0,26 27,91 0,250 0,1733 25,37

3 III 0,30 31,83 0,260 0,1923 28,94


(65)

LAMPIRAN 2. HASIL ANALISA PERMUKAAN DENGAN SEM

2.1. Permukaan edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

a. Perbesaran 150

b. Perbesaran 500 x


(66)

2.2. Permukaan edible fim dari campuran 4 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 2 ml gliserin

a. Perbesaran 150 x

b. Perbesaran 500 x


(67)

2.3. Permukaan edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4 ml gliserin

a. perbesaran 150 x

b. perbesaran 500 x


(68)

2.4. Permukaan edible fim dari campuran 3,5 g tepung tapioka, 2% kitosan, 10 g ekstrak jambu biji dan 4,5 ml gliserin

a. perbesaran 150 x

b. perbesaran 500 x


(69)

LAMPIRAN 3. HASIL ANALISA GUGUS FUNGSI DENGAN FT-IR


(70)

(71)

(72)

Gambar 3.4 FT-IR Edible film dengan uji mekanik optimal pada variasi tepung tapioka


(73)

(74)

(75)

(1)

(2)

(3)

Gambar 3.4 FT-IR Edible film dengan uji mekanik optimal pada variasi tepung tapioka


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Terhadap Kadar Kolesterol Mencit (Mus Musculus) Diabetik

1 60 55

Penggunaan Sari Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) Dalam Sediaan Krim Pelembab

14 87 66

Karakterisasi Edible Film dari Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Penambahan Tepung Tapioka , Kitosan dan Gliserin Sebagai Pemlastis.

3 23 81

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 13

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 0 2

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

1 3 6

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 1 18

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 0 2

Pembuatan Edible Film dari Tepung Tapioka dengan Penambahan Ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.), Kitosan, dan Gliserin Sebagai Pembungkus Dodol dan Sosis

0 0 15

Karakterisasi Edible Film dari Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Penambahan Tepung Tapioka , Kitosan dan Gliserin Sebagai Pemlastis.

1 1 13