Pendirian Bangunan Candi di Jawa

9 masih menggunakan batu, tetapi pengerjaannya sudah sedemikian bagus dengan cara mengasah.Dan evolusi teknologi manusia masa lalu mengalami perkembangan yang sangat berarti adalah dengan dikenalnya teknologi peleburan bijih logam Soejono ed.,1975. Pada kurun waktu ini berbagai bentuk teknologi peralatan berhasil di buat dengan fungsinya yang berbeda-beda. Teknologi peralatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kelangsungan hidup maka dibuatlah berbagai alat-alat yang berhubungan dengan pertanian, sementara untuk memenuhi kebutuhan ritualnya dibuatlah berbagai media seperti nekara perunggu, moko, candrasa kapak perunggu yang bentuknya sangat indah dan sebagainya. Itulah sebabnya White menegaskan bahwa dengan kebudayaan yang mereka ciptakan dapat dimanfaatkan untuk proses penyesuaian dengan lingkungan yang sangat ganas.

5.2 Pendirian Bangunan Candi di Jawa

Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa,proses adaptasi mahluk manusia mengalami suatu perkembangan dari waktu-ke waktu sesuai dengan kemajuan jamannya.Oleh karena itu, seiring dengan masuknya peradaban baru kedalam ranah kebuadayaan Indonesia telah mewarnai kebudayaan Indosesia berikutnya walaupun sendi-sendi kebudayaan Indonesia masih tetap bertahan.Pada waktu dihadapkan dengan kebudayaan yang lebih maju, mahluk manusia juga mengalami proses penyesuaian dalam hal pola perilakunya. Penyesuaian ini tidak hanya dialami oleh masyarakat yang di datangi peradaban 10 baru itu, tetapi sebaliknya manusia yang membawa peradaban barupun harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masyarat local. Oleh sebab itulah, kehadiran peradaban Hindu dan Budha ditengah-tengah kebudayaan Indonesia asli tidak menghilangkan akar budaya yang telah berkembang sebelumnya. Malah sebaliknya, kehadiran kebudayaan India dianggap sebagai penyubur kebudayaan yang sudah ada sebagaimana dikemukakan oleh F.D.K Bosch, 1974 dalam bukunya Proses Hinduisasi di Kepulauan Hindia Belanda.Kehadiran peradaban India ke Nusantara yang diperkirakan telah berlangsung sejak abad IV M tidak saja mengantarkan bangsa ini memasuki masa sejarahnya tetapi juga membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan sosial masyarakatnya.Di satu sisi masyarakat Indonesia diantarkan untuk mengenal huruf dan bahasa, tetapi juga diperkenalkannya agama dan organisasi sosialnya. Organisasi sosial yang dikembangkan dapat di lihat dengan munculnya berbagai kerajaan yang tumbuh dan berkembang di nusantara dari kurun waktu abad IV-XV M. Sedangkan sistem keagamaan yang dikembangkan lebih kepada dua agama besar yaitu Hindu dan Budha sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai bukti baik yang tersurat dan tersirat dalam prasasti maupun karya- karya arsitektur keagamaan sebagaimana dapat disaksikan di Sumatra, Jawa dan Bali serta sedikit di Kalimantan dan NusaTenggara Barat Soemadio ed, 1975; Nurhadi Magetsari, 1980. Dalam hal pendirian bangunan-banguan suci keagamaan tidak hanya menerapkan konsep-konsep yang di bawa dari India, melainkan juga menyesuaikan dengan konsep-konsep yang sudah berkembang sebelumnya. Salah 11 satu bentuk penyesuaian antara konsep India dengan tradisi lokal adalah dalam pembangunan candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Dari sudut arsitekturnya, candi Borobudur merupakan perpaduan antara bangunan teras berundak yang merupakan bentuk arsitektur pada masa pra Hindu dan dipadukan dengan konsep Stupa dalam agama Budha Soekmono, 1986.Demikian pula dengan tata letaknya dalam satuan lingkungan geografis Kali Elo dan Kali Progo yang memiliki kemiripan dengan pola tata letak stupa Bharhut dalam konteks lingkungan Sungai Gangga dan Sungai Yamuna di India, sebagaimana dikemukakan oleh W.F.Stutterheim 1939 dalam tulisannya yang berjudul Notes on cultural Relations between South India and Java. Strategi adaptasi juga diterapkan dalam pola pemukiman ataupun pusat- pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Permukiman masyarakat pada waktu berpengaruhnya peradaban Hindu dan Budha masih memilih tempat-tempat yang secara ekologis memiliki sumber daya alam yang memadai untuk bisa dikembangkan seperti lingkungan fisik yang subur untuk bercocok tanam dan tentunya juga memiliki akses yang baik pula untuk berhubungan dengan masyarakat luar. Strategi seperti ini tidak hanya terlihat dalam hal pemukiman masyarakatnya tetapi juga dengan pusat-pusat kerajaan sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi tidak jarang berada pada lingkungan yang memiliki akses langsung keluar sebagaimana ditunjukkan oleh banyak peradaban dunia seperti peradaban Mesopotamia di lembah Sungai Euprat, peradaban Mesir kuno di lembah Sungai Nil, peradaban Harappa dan Mahenjodaro di lembah Sungai Indus Doedjani,1998. Demikian pula dengan kerajaan Airlangga 12 menggunakan Kali Brantas sebagai akses untuk mengadakan kontak-kontak dengan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara.Selanjutnya akan dikemukakan mengenai pendirian bangunan-banguan keagamaan pada masa Hindu-Budha yang lazim disebut dengan nama Candi atau kuil tempat atau pusat upacara keagamaan yang diselenggarakan untuk kepentingan komunitas pendukungnya. Dalam hubungan ini, bahwa hasil penelitian terhadap bentuk, gaya, ukuran dan lain sebagainya serta fungsinya memberi petunjuk adanya keteraturan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa telah ada aturan umum yang dipakai sebagai pedoman dalam mendirikan bangunan candi. Untuk mendapat gambaran mengenai lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat mendirikan banguan candi atau kuil, akan dikemukakan sumber India kuna yang disebut Manasara- Silpasastra. Dalam kitab ini dibahas mengenai aturan-aturan pendirian kuil di India.Dikatakan bahwa sebelum bangunan kuil didirikan , arsitek pendeta sthapaka dan arsitek perencana sthapati harus terlebih dahulu menilai kondisi dan kemampuan lahann yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan suci tersebut Acharya, 1933:13-21;Kramrisch, 1946: 3-17.Kitab ini tidak saja memberi petunjuk mengenai penilaian atas lahan yang akan dijadikan tempat bangunan suci, tetapi juga menjelaskan letak bangunan suci harus berdekatan dengan air, karena air mempunyai potensi untuk membersihkan, menyucikan, dan menyuburkan. Bahkan dalam kitab Silpaprakasa lebih ditegaskan lagi bahwa suatu bidang lahan tanpa sungai harus dihindari sebagai tempat berdirinya bangunan kuil Boner dan Sarma, 1966:10. Karenanya menjadi syarat, demikian Soekmono, bahwa pembangunan sebuah kuil sebagai pertanda kesucian suatu 13 tempat dan sebagai pusat serta sasaran pemujaan, harus berdekatan dengan air Soekmono, 1977: 238. Bilamana air ini tidak ada dari sumber alamiah,hendaknya dibuatkan kolam ataupun dengan cara menempatkan sebuah kendi guna menyediakan air itu.Dengan uraian yang dicontohkan dalam kitab Manasara-Silpasastra dan Silpaparakasa dapat kita simpulkan bahwa pertimbangan potensi lahan dan air, ikut memainkan peranan penting dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para arsitek masa lalu berkenaan dengan pemilihan lokasi yang akan digunakan sebagai tempat berdirinya bangunan yang bersifat keagamaan Mundardjito, 2002:12.Oleh karena demikian pentingnya potensi lahan yang akan dijadikan tempat berdirinya bangunan suci, kiranya perlu dipertegas dengan pernyataan Soekmono 1977:238 sebagai berikut”Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri.Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanyalah menduduki tempat nomor dua.”Ritually,the site of the temple is a Tirtha whereverit is situated Kramrisch,1946:5.

5.3 Pendirian Candi di Bali