PERANAN SUNTAN MARGA NGAMBUR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ADAT (studi di Pekon/desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung Barat)

(1)

THE ROLE OF “SUNTAN MARGA NGAMBUR” IN SETTLEMENT OF CUSTOMARY LAND DISPUTE

(A study in Sumber Agung “Pekon” or village in Ngambur district of West Lampung regency)

By Romi Gusman

Lampung society adopts patrilineal genealogy family relationship, which is divided into lineage society according to the origin “Poyang” that is called as “buay”. Every family according to the level of family has its own leader called as “penyeimbang” that contains of the oldest sons that inherited their fathers’ authority hereditary.

The research takes location of research purposively in Sumber Agung village of Ngambur district in West Lampung regency. The problem statement is to find out the roles of Suntan Marga Ngambur as custom’s “penyeimbang” or balancer of the families to settle the customary land dispute in their customary society. The research uses case study method with interpreting the qualitative data. The data is taken with deep interview, field, library and document studies.

The results of the research conclude that the customary land dispute settlement is conducted by the customary authorities (Suntan) and the local government of Sumber Agung village through customary discussion or “himpun” that wins the accused I, II and III by publishing the letter of land owning from the village chief


(2)

accused I, II, III on their legal land owning in Liwa state court.

The conclusion shows that the winning of accused party cases emphasizes the role of customary authorities of “Suntan” is very accepted by the government and the decision of Suntan is also accepted by the state court.


(3)

ABSTRAK

PERANAN SUNTAN MARGA NGAMBUR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ADAT

(studi di Pekon/desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung Barat)

Oleh Romi Gusman

Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut "buay". Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun.

Lokasi yang diambil dalam peneltian ini ditententukan dengan cara sengaja (Purposive) yaitu desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung Barat. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Peranan Suntan Marga Ngambur selaku penyimbang adat marga dalam melakukan penyelesaian terhadap sengketa tanah adat pada masyarakat adatnya. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu metode metode penelitian studi kasus dengan menginterpretasikan data Kualitatif. Teknik


(4)

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan melakukan studi lapangan, studi kepustakaan dan studi dokumentasi.

Dari pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa proses penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan oleh pemerintahan adat (Suntan) dan pemerintahan desa Sumber Agung melalui himpun/musyawarah adat yang memenangkan pihak tergugat I. II dan III dengan mengeluarkan Surat keterangan Kepemilikan tanah dari Kepala Desa dan diketahui oleh Saibatin/Suntan Penyimbang Adat Marga Ngambur merupakan salah satu pertimbangan Hakim yang menguatkan pihak tergugat I, II dan III mengenai kepemilikan tanah yang sah di Pengadilan Negeri Liwa.

Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa menangnya perkara terhadap tergugat di pengadilan semakin mempertegas bahwa peranan pemerintahan adat atau Suntan masih sangat di akui oleh pemerintah dan keputusan Suntan Marga Ngambur secara tersurat dibenarkan oleh Pengadilan (Negara).


(5)

(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masarakat yang pluralistik, yaitu masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadat yang tersebar dari seluruh kepulauan di Indonesia. Setiap daerah mempunyai tradisi, bahasa serta adat istiadat yang tersendiri, baik yang menyangkut hukum waris adatnya, perkawinan adat, hukum kekerabatan maupun harta kekayaan adat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 adat istiadat dan budaya diakui oleh Negara dan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan diri sesuai dengan budaya dan adat istiadatnya masing-masing. Hal ini termuat dalam pasal 28C yang berbunyi :

1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.

2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.


(7)

Adat istiadat merupakan cerminan bangsa Indonesia dan merupakan identitas diri bangsa. Pengakuan ini termuat dalam Undang-undang 1945 pasal 28i yang berbunyi :

“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan zaman dan peradaban”.

Adat istiadat ini juga termuat dalam PP No. 72 Tahun 2005 dimana dalam penjelasan umumnya menyatakan bahwa desa dapat membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan misalnya lembaga-lembaga adat. Lembaga kemasyarakatan bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra bagi lembaga pemerintah. Tokoh adat yang ada dalam suatu wilayah desa harus dilibatkan oleh pemerintahan desa dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.

Menurut P2NB (1995/1996:17).Masyarakat Lampung sebagai salah satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan pulau Sumatra, memiliki falsafah atau pandangan hidup yaitu Piil Pesenggiri. Masyarakat Lampung terbagi menjadi dua kelompok adat yaitu Masyarakat yang menganut adat sai batin dan masyarakat yang menganut adat pepadun . Masyarakat yang menganut adat saibatin pada umumnya tinggal di pesisir pantai seperti di sepanjang pantai Teluk Betung ,Teluk Semangka, Krui, Liwa, Pesisir Rajabasa, Malinting, dan Kalianda sedangkan masyarakat yang menganut adat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang Dan Pubian.


(8)

Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut "buay", misalnya Buay Pernong, Buay Belunguh, Buay Bejalan di Way, Buay Nyerupa dan sebagainya. Setiap kebuayan itu terdiri dari berbagai "jurai" dari kebuwaian, yang terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha). Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat (nuwou balak, lamban gedung). Ada kalanya buay-buay itu bergabung dalam satu kesatuan yang disebut "paksi". Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun.

Hubungan kekerabatan adat Lampung terdiri dari lima unsur yang merupakan lima kelompok yaitu :

1. Kelompok wari atau adik wari, yang terdiri dari semua saudara laki-laki yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk saudara angkat yang bertali darah.

2. Kelompok lebuklama yang terdiri dari saudara laki-laki dari nenek (ibu dari ayah) dan keturunannya dan saudara laki-laki dari ibu dan

keturunannya.

3. Kelompok baimenulung yang terdiri dari saudara-saudara wanita dari ayah dan keturunannya.


(9)

4. Kelompok kenubi yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu bersaudara dan keturunannya.

5. Kelompok lakau-maru, yaitu para ipar pria dan wanita serta kerabatnya dan para saudara karena istri bersaudara dan kerabatnya.

Adat istiadat Lampung sama halnya dengan adat istiadat daerah lainnya dan merupakan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adat ini diwarisi secara turun temurun, di bina dan di kembangkan secara tradisi karena masyarakat Lampung khususnya yang beradat saibatin dalam menentukan penyimbang adat sifatnya sangat tertutup dan bersifat palrilineal geneologis (mengikuti garis keturunan laki-laki).

Masyarakat adat yang hidup secara turun temurun mempunyai tatanan kehidupan sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi masyarakat tersebut. Masyarakat adat sebagai pranata sosial mempunyai kehidupan sosial yang secara turun-temurun di jaga dan dikembangkan oleh mayarakat tersebut. Pranata sosial masyarakat adat yang masih terjaga dengan baik biasanya sangat sulit untuk di masuki oleh hal-hal yang bersifat negatif dan dianggap tidak sesuai dengan ketentuan adat istiadat.

Lembaga dan masyarakat adat paksi buay bejalan di way termasuk marga yang telah di bentuk dipimpin oleh seorang Raja adat yang merupakan keturunan lurus dari Buai Bujalan di Way. Saibatin didukung dan dibantu oleh para Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas yang merupakan satu


(10)

kesatuan masyarakat adat berupa suku dan Jungku. Azas yang dianut Paksi Pak Sekala Bkhak adalah Saibatin Lulus Kawai, artinya apa yang dipakai oleh orang tuanya (gelar) secara otomatis diwariskan kepada anaknya yang tertua laki-laki, kecuali jika Suntan tidak mempunyai anak laki-laki maka jatuh pada anak tertua perempuan atau cucunya laki-laki (dari anak perempuan tersebut).

Tahun 1942-1998 telah terjadi perkembangan penduduk sehingga pada Raja dan Batin tersebut juga berkembang anak buah /keturunannya. Melihat hal tersebut Saibatin Buai Bejalan di Way, Sultan Jaya Kesuma II, pada tanggal 1 Agustus 1999 mengadakan evaluasi serta musyawarah adat di kembahang yang dihadiri para Dalom, Raja, Batin dan Suku-suku Marga. Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan dan dengan persetujuan dari para Dalom, Raja, Batin dan Suku-suku marga yang hadir dalam musyawarah adat tersebut maka ditetapkan oleh Saibatin adat bahwa dalam Paksi Buai Bejalan di Way terdapat empat Dalom, 12 Raja dibantu oleh 64 Batin dengan Radin Serta suku-suku dan jungku Buai Bejalan di Way sebagai pendukung, bawahan dan pembantu Saibatin Paksi. Jumlah Raja dan Batin diatas Masih tetap sampai sekarang. Secara umum tugas dan fungsi pejabat marga adalah : 1. Mengepalai Kepala Marga

Dalam Marga terdapat seorang pemimpin tertinggi/kepala adat yang disebut Suntan.


(11)

2. Melaksanakan kekuasaan administrasi pemerintahan adat

Dalam melaksanakan kepemimpinannya Suntan mempunyai kekuasaan dalam bidang administarasi pemerintahan adat.

3. Memimpin wilayah marga yang memiliki otonomi secara terbatas.

Sebagai seorang pimpinan dalam marga Suntan mempunyai wilayah yang dipimpinnya.wilayah ini mencakup wilayah yang didiami oleh masyarakat adatnya sampai pada tingkat Raja Bah Mekon.

Menurut Hadikusuma (1989:21).Kewenangan dan tugas penyimbang adat marga yang merupakan tugas Suntan adalah sebagai berikut :

1. Membawahi suku-suku marga yang ada pada wilayah marga

2. Mengurus, dan bertanggung jawab terhadap kegiatan adat-istiadat terkait upacara-upacara adat.

3. Berwenang melakukan penyelesaian terhadap persoalan (sengketa) yang terjadi pada masyarakat adat yang dipimpinnya.

Berdasarkan uraian diatas, salah satu tugas dari suntan adalah melakukan penyelesaian sengketa tanah yang terjadi pada masyarakatnya melalui musayawarah atau himpun adat. Dasar keputusan musyawarah adat merupakan pertimbangan yang paling mendasar jika penyelesaian tanah diajukan dipengadilan oleh para pihak yang merasa dirugikan atas keputusan adat tersebut.


(12)

Hasil wawancara Mizwar gelar Radin Idaman Gedung di desa Negeri Ratu Ngambur Lampung Barat pukul 20.00 Wib, menurutnya masyarakat adat terutama saibatin mempunyai sistem pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan pemerintahan formal. Kepemimpinan adat dalam pranata sosial Marga disebut Penyimbang Adat Marga. Penyimbang Adat Marga merupakan keturunan lurus dari Lamban Gedung (rumah adat) dimana dalam struktur adat Penyimbang Marga terdiri dari Suntan (anak tertua laki-laki), Pangeran (anak kedua laki-laki) dan Dalom (anak ketiga laki-laki).

Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat Saibatin adalah Suntan dimana Suntan merupakan orang yang mendiami Lamban Gedung. Sementara Pangeran dan Dalom jika sudah berkeluarga menempati rumah sendiri disebut Lamban punyikhan (rumah pangeran) dan Lamban Dalom (rumah Dalom). Selain itu, dalam tatanan pemerintahan marga Ngambur yang masih dalam keturunan Penyimbang Marga terdapat Khaja Lamban Gedung.

Dalam marga selain isi lamban gedung pada tingkat suku yang mendiami pekon terdapat suku saibatin, suku marga dan suku bah mekon (desa). Suku bah mekon mempunyai tatanan pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh khadin serta bawahan khadin yang disebut cepong.

Gelaran Suntan, Pangeran dan Dalom, panggilan seperti Pun dan Saibatin serta nama Lamban gedung hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan


(13)

adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli pangkat adat, baik dengan naik Pepadun atau dengan cara-cara lainnya terutama. Nama atau gelar adat harus mengikuti strata yang telah di tetapkan dan tidak boleh dipakai oleh pihak lain meskipun keturunan langsung penyimbang. Misalnya, Suntan hanya boleh diwariskan atau dipakai pada anak laki-laki pertama dan jika anak laki-laki pertama meninggal dunia, maka nama Suntan tidak boleh diwariskan pada anak kedua meskipun dia sebagai pengganti Suntan dan yang akan menjalankan pemerintahan adat di marga. Nama yang dipakai jika anak kedua tetap nama yang berhak disandangnya yaitu Pangeran. Nama Suntan baru bisa dipakai kepada anak laki-laki pertama dari pangeran, begitupun untuk selanjutnya. Marga Ngambur dalam menjalankan pemerintahan adat dipimpin oleh seorang Suntan bernama Suntan Baginda Ratu Riyanda.

Tugas pokok Penyimbang Adat Marga secara umum adalah mengayomi dan bertanggung jawab terhadap masyarakat adat marga secara menyeluruh. Salah satunya adalah melakukan penyelesaian sengketa tanah bagi masyarakatnya berdasarkan ketentuan hukum adat. Penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan Himpun Muakhi (rapat saudara) dengan melibatkan dalom, pengeran, suku saibatin, dan suku bah pamekon serta para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa tanah adat dapat dilihat pada kasus yang terjadi antara M. Ali Anwar (Penggugat) melawan Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini (tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat II) dan Majisin Ahya (tergugat III).


(14)

Kasus sengketa ini mulai diperdebatkan oleh tergugat pada tanggal I, II , III pada tanggal 7 April 2008, yaitu melapor kepada peratin Sumber Agung, Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat, Bahwa tanah yang dikuasai oleh M. Ali Anwar adalah milik orang tua mereka sejak zaman Jepang sekitar tahun 1966 yang telah diiwariskan kepada tergugat I, II dan III.

Proses penyelesaian sengketa tanah ini awalnya diselesaikan melalui pemerintahan Pekon Sumber Agung yaitu oleh peratin Sumber Agung dan dilanjutkan melalui adat setempat yaitu oleh kepala adat Marga Ngambur Suntan Baginda Ratu Riyanda. Dari hasil musyawarah antara aparat pemerintah desa Sumber Agung dan Kepala Adat Marga Ngambur membenarkan dan memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini (Tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat II) dan Majisin Ahya (tergugat III). Karena menurut yang mereka ketahui tanah tersebut adalah tanah bukaan Orang Tua mereka sejak jaman jepang sekitar tahun1966. Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa klaim M. Ali Anwar atas tanah tersebut adalah tidak benar.

M. Ali Anwar pada saat itu sebagai komandan koramil mulai membuka dan menanami tanah tersebut pada tanggal 23 September 1971 dengan surat izin dari Kepala Kampung Sumber Agung untuk membuka tanah tersebut Nomor : 10/DS/1971 Tertanggal 23 September 1971, Ukurannya ± 40x300 depa (3 Ha) yang terletak di Pekon Sumber Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat.


(15)

Adapun alasan dari para pihak tergugat I, II, III membiarkan tanah tersebut dikuasai oleh M. Ali Anwar (Penggugat) pada saat itu adalah :

1. Pada saat M. Ali Anwar membuka tanah tersebut saat itu masih dalam era orde baru dimana ABRI sangat ditakuti masyarakat, sedangkan M. Ali Anwar Sendiri pada saat itu menjabat sebagai komandan koramil.

2. Tanah tersebut hanya ditanami saja dan tidak dijual kepada pihak lain.

Pembukaan dan penguasaan tanah oleh M. Ali Anwar pada tahun 1971 hanya bersifat izin pembukaan lahan dari Kepala Kampung Sumber Agung. Pemberian izin pembukaan lahan tersebut di dasari oleh tekanan dari pihak M. Ali Anwar mengingat kewenangan M. Ali Anwar sebagai Danramil Kecamatan Pesisir. Selatan.

Setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru, dimana posisi ABRI bukan lagi menjadi kendaraan politik pemerintah yang mempunyai kewenangan luas, pihak Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini (tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat II) dan Majisin Ahya (tergugat III) merasa sudah waktunya untuk menuntut hak atas tanah keluarga mereka. Sehingga pihak Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini atas nama keluarga besarnya mendatangi tetua adat Marga Ngambur untuk memperolah pengakuan dari pihak adat Marga Ngambur kemudian pihak adat Marga Ngambur mengadakan musyawarah adat dengan para pihak serta pemerintahan Pekon Sumber Agung sehingga disimpulkan bahwa tanah tersebut berdasarkan bukti-bukti dari pihak adat Marga Ngambur serta


(16)

Pemerintahan Pekon Sumber Agung, Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini serta keluarga besarnya berhak atas tanah yang di klaim oleh M. Ali Anwar.

Keputusan Pemerintahan Pekon Sumber Agung dan Suntan Adat Marga Ngambur yang memenangkan pihak Ahmad Syahbudin dan keluarga sebagai pemilik tanah yang sah, dianggap merugikan M. Ali Anwar. Maka M Ali Anwar yang diwakili oleh kuasanya Ujang Monalisa meneruskan sengketa tanah ini pada pengadilan negeri Liwa.

Setelah gugatan dilakukan M.Ali Anwar pada Pengadilan Negeri Liwa, pihak tergugat melakukan sanggahan dengan menunjukkan surat keterangan dari Pemerintahan Pekon Sumber Agung serta Suntan Kepala Adat Marga Ngambur.

Dengan adanya surat pernyataan dari pemerintah desa Sumber Agung dan Kepala adat Marga Ngambur atas kepemelikan tanah tesebut, maka surat tersebut merupakan salah satu bukti otentik dari pihak tergugat dalam melakukan sanggahan atas gugatan dari penggugat.

Berdasarkan hukum adat yang berlaku pada Marga Ngambur penyelesaian sengketa tanah warga masyarakat adat apabila telah diselesaikan melalui musyawarah adat dengan diikuti oleh pihak pemerintahan desa, maka perkara tanah tersebut sudah dianggap selesai, akan tetapi, untuk kasus diatas sengketa tersebut tetap diselesaikan melalui hukum formal sehingga secara


(17)

tersirat peranan Suntan belum mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas. Peranan suntan pada kasus diatas, tetap terlihat mengingat pada tingkat pengadilan pihak tergugat dimenangkan oleh pengadilan dengan diktum pertimbangan putusan adalah adat melalui surat pengakuan atas tanah yang dikeluarkan penyimbang adat mengakui secara sah kepemilikan tanah sengketa adalah pihak tergugat.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Peranan Suntan Marga Ngambur selaku penyimbang adat marga dalam melakukan penyelesaian terhadap sengketa tanah adat pada masyarakat adatnya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian yang dilakukan bertujuan :

Untuk mengetahui peranan Suntan Marga Ngambur dalam melakukan penyelesaian terhadap sengketa tanah adat.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis, sebagai salah satu bahan kajian bagi penulis dan bagi Saibatin Penyimbang adat Marga Ngambur dalam membenahi


(18)

kekurangan-kekuarangan yang terjadi terhadap peranan Suntan dalam melakukan tugas-tugas adat marga.

2. Secara Praktis, sebagai salah satu masukan dalam meningkatkan peranan-peranan pemimpin adat dalam melakukan penyelesaian sengketa terhadap masyarakat dengan tidak mengesampingkan aturan-aturan hukum formal.


(19)

(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Teori 1. Definisi Peranan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:854) peranan diartikan sebagai tindakan seseorang dalam suatu peristiwa. Sedangkan menurut Margono Slamet (2000:14) peranan mencakup tindakan atau perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang menempati suatu posisi didalam suatu sistem sosial.

Anton Moelyono dalam Onong U (2002:7) Peranan merupakan sesuatu yang diartikan memiliki arti positif yang diharapkan akan memberikan sesuatu yang berdaya guna dalam memperoleh hasil yang lebih baik serta dapat mempengaruhi sesuatu hal lain.

Margono Slamet (1985:15) mendefinisikan peranan sebagai sesuatu yang mencakup tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati suatu posisi dalam status sosial.

Soerjono Soekanto (2006:212) memberikan arti peranan sebagai aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melakukan atau melaksanakan


(21)

hak-hak dan kewajibannya sesuaian dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Dalam hal ini peranan mencakup tiga hal yaitu :

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan sengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. 2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Teori peran (Role Theori) secara prinsif memberikan definisi terhadap peranan dari berbagai sudut pandang dimana peranan itu terjadi tergantung pada disiplin ilmu dan orientasi yang akan dicapai pemberi teori. Biddle dan Thomas dalam Sarlito Wirawan Sarwono (1998:209) membagi peristilahan dalam teori peran pada 4 (empat) golongan. Istilah-istilah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial

Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi menjadi :

a. Aktor/pelaku yaitu orang yang sedang berprilaku menuruti suatu peran tertentu.

b. Target/sasaran atau orang lain yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor atau prilakunya.


(22)

c. Target/sasaran atau orang lain yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor atau prilakunya.

2. Perilku yang muncul dalam interaksi tersebut

Biddle dan Thomas memberikan 5 (lima) istilah dalam tentang perilaku yang berkaitan dengan peran yaitu:

a. Harapan (Expectation)

Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.

b. Norma

Norma hanya merupakan salah satu bentuk harapan. Jenis-jenis harapan menurut Secord dan Bacman adalah sebagai berikut :

1. Harapan yang bersifat meramalkan ( acticipatory) yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi

2. Harapan normatif merupakan keharusan yang menyertai suatu peran. Harapan normatif ini menurut Biddle dan Thomas dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu :

a. Harapan yang terselubung yaitu harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan.

b. Harapan yang terbuka yaitu harapan-harapan yang diucapkan. c. Wujud perilaku (Performance)

Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma wujud perilaku adalah nyata, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain.


(23)

d. Penilaian dan Sanksi (Evaluation and Sanction)

Penilaian dan sanksi dapat datang dari orang lain maupun dari dalam diri sendiri. Jika penilaian dan sanksi datang dari orang lain berarti penilaian dan sanksi itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Jika penilaian dan sanksi datang dari dalam diri pribadi, maka pelaku sendirilah yang memberi penilaian dan sanksi berdasarkan pengetahuannya tentang harapan-harapan dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat.

Berdasarkan beberapa definisi dan batasan mengenai peranan Suntan diatas maka dapat simpulkan bahwa peranan adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewaijibannya sesuai dengan kedudukannya. Dengan kata lain peranan adalah sesuatu yang penting dan diharapkan dari seseorang yang memiliki tugas utama dalam kegiatan. Jika seseorang menjalankan kegiatan tersebut dengan baik maka dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya.

2. Definisi Marga

Depdikbud (1981/1982:20), Dalam tatanan adat saibatin, marga merupakan satu kesatuan geneologis yang mendiami suatu wilayah dan mempunyai tatanan pemerintahan adat. Budimansyah (1984:118) kesatuan geneologis merupakan persekutuan hukum yang anggota-anggotanya mempunyai dasar


(24)

ikatan persamaan keturunan, artinya anggota-anggota kelompok tersebut terikat karena mereka berasal dari nene moyang yang sama.

Menurut Kiay Paksi (1995:15) marga adalah suatu pemerintahan yang sifatnya kekerabatan. Marga berusaha memiliki tanah yang ada disekeliling wilayahnya. Tanah-tanah ini sifatnya merupakan hutan cadangan untuk lahan pertanian sampai anak cucu.Dengan demikian, marga adalah suatu bentuk pemerintahan adat yang sifatnya kekerabatan dikarenakan anggota-anggotanya terikat pada suatu ikatan persamaan keturunannya yaitu berasal dari nenek moyang yang sama.

Marga Ngambur merupakan salah satu paksi yang merupakan keturunan lurus dari paksi buay bejalan di way dari paksi pak sekala berak. Marga Ngambur merupakan marga yang ada di sebelah selatan pesisir krui. Dalam tatanan pemerintahan adat marga ngambur mempunyai pimpinan adat yang disebut Suntan. Penentuan penyimbang adat sesuai dengan ketentuan keturunan dari paksi buay bejalan di way.

3. Definisi Suntan

Menurut Kiay Paksi (1995:41) dalam tatanan adat saibatin, pemimpin tertinggi adat dalam marga adalah Pun penyimbang adat yang bergelar pangeran. Pun Penyimbang merupakan orang yang dihormati dan menjadi panutan dalam marga karena statusnya sebagai keturuan lurus dari saibatin. Dalam konteks geneologis patrilineal, penyimbang adat secara langsung


(25)

memberikan tampuk kekuasaan adat kepada pewarisnya yaitu anak laki-laki tertua dari pun penyimbang adat. Anak laki-laki tertua tersebut disebut Suntan atau Suttan. Jadi Suntan atau Suttan adalah anak laki-laki tertua dari pun penyimbang adat sebagi pewaris langsung pemerintahan adat pada marga berkedudukan sebagai ”pandia” bagi keluarga besarnya.

1). Peranan Suntan Marga Ngambur

Perkembangan peranan pemerintahan selalu mengalami pergeseran, pergeseran tersebut yang terahir yaitu peran pemerintah dari Government ke Governance. Penggantian istilah Government menjadi Governance yang menunjukan penggunaan otorita politik, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Dalam bahasa Indonesia kata Governance diterjemahkan menjadi “tata pemerintahan” ada pula yang menerjemahkan menjadi “kepemerintahan”. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada fasilitator dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik Negara menjadi milik rakyat.

Kepala adat Marga Ngambur yang dipimpin oleh Suntan dalam sistem pemerintahan adat juga memilki peranan yang tidak jauh berbeda dengan peranan kepala adat umumnya yaitu sebagai kepala pemerintahan adat atau orang nomor satu di sistem pemerintahan adat. Suntan sebagai penyelenggara pemerintahan adat, menjadi koordinator dalam setiap acara adat dan memantau berlangsungnya kegiatan adat.


(26)

Suntan juga berperan dibidang politik pemerintahan, misalnya saja saat penjajahan sampai prakemerdekaan, Suntan membantu pemerintah memulihkan krisis nasionalisme dalam masyarakat yang hampir luntur akibat pemberontakan dan penjajahan dari orang-orang yang ingin berkuasa dan suntan berperan sebagai Pembina kehidupan masyarakat adat serta suntan berperan menjaga kelestarian adat istiadat yang merupakan keturunannya.

Suntan penyimbang adat marga Ngambur tidak berperan sebagai pemegang kekuasaan penuh atau memilki otoritas mutlak. Dalam menjalankan sistem pemerintahan adat suntan melibatkan masyarakat dan tokoh adat lainnya (Dalom, Raja, Batin dan lainnya). Suntan tidak lagi sebagai pemberi pelayan kepada masyarakat secara keseluruhan, suntan dapat dikatakan sebagai fasilitator bagi masyarakat adat dalam menjalankan kehidupan masyarakat.

Dikatakan sebagai fasilitator artinya kepala adat/suntan lebih besar perananya sebagai sarana bagi masyarakat adatnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat positif misalnya dalam masalah pembangunan rumah adat, adanya keinginan masyarakat adat untuk memiliki tempat berkumpul atau rumah adat namun dalam pembangunannya terhambat oleh dana. Kepala adat melaksanakan perannya sebagai Fasilitator yaitu berusaha mengajukan proposal misalnya pembuatan rumah adat, kepada pihak lain misalnya pemerintah daerah setempat.


(27)

Berhasilnya tidaknya seseorang menjadi pemimpin ditentukan oleh bagaimana seseorang pemimpin tersebut berperan sebagai pimpinan, artinya bagaimana peranan kepemimpinannya. Kepemimpinan memegang peranan yang penting dalam manajemen suatu lembaga. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki ciri-ciri ideal seorang pemimpin.

2). Fungsi Suntan Marga Ngambur

Sejarah pertumbuhan pemerintahan yang ada di Indonesia menunjukan bahwa perkembangan pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah terbentuknya masyarakat. Ketika beberapa orang hidup berkelompok secara permanen dan membentuk suatu masyarakat, pada saat itu pula terbentuk embrio pemerintahan, yakni suatu kelompok, bagian kelompok atau institusi yang mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat agar dapat bertahan terhadap serangan dari luar kelompok. Hal itu terjadi pada kelompok masyarakat kecil sampai pada masyarakat warga Negara.

Hubungan antara pemerintah dan masyarakat bersifat sangat dinamis. Pada awalnya, pemerintahan yang dibentuk oleh masyarakat menjalankan fungsi utama melayani masyarakat yang memberikan


(28)

kewenangan kepadanya, seiring perjalanan waktu pemerintah menjadi berkuasa dan menguasai masyarakat yang membentuknya.

Pada abad ke-XIX kehidupan Negara di dasarkan pada ide Negara kepolisian (police state). Dalam konsepsi ini, aktifitas pemerintahan sangat terbatas, hanya pada aspek kehidupan masyarakat yaitu aktifitas hanya terbatas pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat. Pemerintah bersifat pasif (negative state) karena hanya berperan sebagai wasit, penjaga garis (night watcham) saja. Artinya sepanjang tidak terjadi ketidak amanan atau ketidak tertiban pemerintah tidak berbuat banyak.

Pada abad ke-XX konsep pada abad ke-XIX tersebut berubah menjadi konsep Negara kesejahteraan (walfare state). Pemerintah tidak lagi bersifat pasif (negatif). Akan tetapi secara positip, aktip berusaha mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan. Dalam Negara kesejahteraan pemerintah harus melakukan fungsi mengsejahterakan.

Fungsi pemerintahan yang dirumuskan dalam klasifikasi Irving Swerdlow (dalam buku ajar Syarief Makhya 2004:54) yaitu :

1. Operasi langsung (operations), yang pada pokoknya pemerintah menjalankan sendiri kegiatan-kegiatan tertentu.


(29)

2. Pengawasan langsung (direct control), yaitu penggunaan perizinan, lisensi (untuk kredit, kegiatan ekonomi dll), penjatahan dan lain-lain. Ini dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah yang “action laden” (yang berwenang dalam berbagai perizinan, alokasi, tariff, dan lain-lain) atau kalau tidak menjadi action laden.

3. Pengawasan tidak langsung (indirect control) yakni dengan memberi pengaturan dan syarat-syarat, misalanya pengaturan penggunaan dana devisa tertentu diperbolehkan asal untuk barang-barang tertentu. 4. Pengaruh langsung (direct influence), yang maksudnya dengan

persuasi dan nasehat, ,misalnya saja supaya golongan masyarakat tertentu dapat turut menggabungkan diri dalam koorporasi tertentu atau ikut program lain yang dicanangkan pemerintah negara.

5. Pengaruh tidak langsung (Inderect influence), yang merupakan bentuk

keterlibatan kebijaksanaan ringan. Hal ini misalnya bentuk pemberian imformasi, penjelasan kebijaksanaan, pemberian tauladan, serta penyuluhan dan pembinaan agar masyarakat bersedia menerima hak-hak baru

Dilihat dari fungsi pemerintah, menurut Irving Swerdlow, fungsi pemerintah tidak jauh berbeda dimana pemerintahan adat juga memiliki fungsi-fungsi seperti pemerintahan Negara. Pemerintah dalam lembaga adat Paksi Buay Bejalan di Way dalam hal ini Suntan juga memiliki fungsi mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.


(30)

Suntan marga Ngambur dalam pemerintahan adat berfungsi menjaga ketertiban dan keamanan warga adatnya, membantu kesejahteraan masyarakat umumnya dan warga adat pada khususnya. Suntan juga befungsi sebagai penentu siapa saja yang akan ikut berunding dalam acara musyawarah adat. Namun kenyataan yang ada sekarang, sering kali yang ikut dalam musyawarah adat bukanlah orang yang semestinya yang telah ditunjuk oleh suntan. Artinya jika diadakan musyawarah adat untuk membentuk hirarki pemerintah adat atau orang-orang yang ikut dalam musyawarah tersebut tidaklah semua merupakan orang-orang yang ditunjuk suntan.

Suntan juga mempunyai fungsi politik ketika akan diadakan pemilihan kepala daerah baik di tingkat desa, kabupaten atau propinsi banyak para calon pemimpin tersebut yang mendekati para suntan agar kelak warga adatnya memilh calon tersebut. Terkadang juga suntan diajak bermusyawarah untuk mendapatkan strategi pendekatan kepada masyarakat. Hal ini banyak dilakuan oleh para calon pemimpin tersebut karena mereka mengetahui bahwa masyarakat lebih dekat dengan pemimpin adatnya dari pada pemimpin daerah setempat, sehingga mereka mau mengikuti apa kata pemimpin adat atau suntannya.


(31)

4. Defini Sistem Pemerintahan Adat a.Pengertian Sistem

Menurut Webster’s New Colligiate Dictionari (2002:33) sistem terdiri atas kata ”syn” dan Bistanai (greek) yang artinya menempatkan bersama yaitu suatu kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip yang membentuk satu kesatuan dan hubungan satu sama yang lainnya. Di dalamnya ada tiga unsur yaitu Faktor-faktor yang dihubunkan, hubungan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk satu kesatuan.

Menurut (Pamudji, 1982:9) sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir atau suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh.

Menurut (Syafe’i, 1993:14) sistem adalah satu kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian yang terkait mengenai satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya, begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil. Rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kesetabilan sistem itu sendiri.

Dari uraian di atas, maka dapat dismpulkan bahwa pengertian sistem secara umum yaitu merupakan satu kesatuan dari suatu rangkaian yang terdiri dari sub-sub sistem yang saling berkaitan atau memiliki pengaruh antara satu


(32)

dengan yang lainnya, dan digunakan sebagai pola untuk mencapai tujuan bersama.

b. Pengertian Pemerintahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis pengertian pemerintahan berasal dari kata pemerintah, sedangkan pemerintah berasal dari kata perintah. Kata perintah menurut kamus adalah perkataan yang bermaksud menyuruh sesuatu. Kata pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara atau suatu wilayah tertentu.

Menurut Taliziduhu Ndraha (2005:57), mendefinisikan pemerintahan adalah kegiatan pemerintah saja, sehingga apa yang dilakukan pemerintah, itulah pemerintahan.

Pemerintahan menurut Syafe’i (1998:15) berarti badan organ elit yang melakukan pekerjaan mengatur dan mengurus suatu negara atau wilayah. Sedangkan pemerintahan menurut R. Maciver seperti yang dikutif dalam Inu Kencana Syafe’i dalam manajemen pemerintahan (1998) bahwa pemerintahan itu adalah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan bagaimana Manusia itu bisa diperintah.

Menurut Rias Rasyid (1998”139) adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat. Ia diadakan bukan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk


(33)

melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi teraapainya tujuan bersama.

Jadi menurut penjelasan beberapa definisi diatas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan adalah orang yng berkuasa dan berfungsi sebagai pelayanan bagi masyarakat untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat dan negara.

C. Pengertian Adat

Menurut Drs. Sudjarwo (1986:81), Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.

Menurut Fachruddin Suharyadi (2003:66) Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi


(34)

keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.

Menurut uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa adat adalah aturan/norma yang tidak tertulis, atau kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.

Sehingga dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan adat merupakan suatu rangkaian keseluruhan dalam lembaga-lembaga adat yang saling berkaitan menurut pola dan norma tertentu dan mempunyai fungsi penting dalam mencapai tujuan. Dalam sistem pemerintahan adat Lampung dipimpin oleh Seorang Raja atau Suntan sebagai kepala pemerintahan adat. Dalam sistem pemerintahan aturan/norma kebanyakan tidak tertulis atau berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya.


(35)

5. Definisi Sengketa

a. Pengertian Sengketa/konflik

Menurut Seri Inis XLI, (2003:27).Sengketa atau Konflik berasal dari kata Confligare conflitm yang bermakna saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada makna bentuk benturan, tabrakan, ketidak sesuaian, pertentangan, interaksi yang antagonis. Sengketa/konflik merupakan bagian dari hidup manusia yang tidak pernah dapat teratasi sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan sengketa dimuka bumi ini. Berbagai macam keinginan seseorang dan tidak dapat terpenuhinya keinginan tersebut dapat juga berakhir dengan sengketa.

Adapun menurut Usman, (2003:1).Dalam kosa kata Inggris terdapat dua istlah, yakni ”conflict” dan ”dispute” yang kedua-duanya mengandung arti tentang adanya perbedaan kepentingan antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai ”sengketa” sedangkan dispute sebagai ”sengketa”. Sebuah sengketa dapat berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang dirugikan merasa tidak puas, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagi penyebab kurugian atau kepada pihak lain.

Menurut Emirzon, (2001:21)Sengketa dapat diartikan sebagai percekcokan yaitu dengan pertentangan atau ketidak sesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan kerjasama


(36)

Menurut Coffey et al dalam Pace dan Faules, (2003:374) menyatakan bahwa :

”Sengketa atau sengketa baik dalam kontek pertentangan antar kelompok atau pertentangan antar pribadi adalah kritikan, percekcokan, sindiran dan prilaku mengabaikan orang lain dan dengan sengaja adalah indikator yang jelas dari hubungan yang sulit sebagaimana kebalikannya menunjukkan hubungan yang memuaskan.”

Sengketa adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial. Konflk adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbuatan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.

Dari berbagai penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Sengketa adalah pertentangan, sengketa, percekcokan yang timbul dari ketidak puasan terhadap suatu hal atau dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan yng timbul dari seseorang atau kelompok orang dari suatu sistem sosial yang memiliki perbedaan dalam memandang suatu hal yang diwujudkan dalam prilaku yang tidak atau kurang sejalan dengan pihak lain. Sedangkan sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara 2 pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya yang diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan.


(37)

b. Tahap-tahap Terjadinya Sengketa

Proses terjadinya sengketa menurut Bloonfield et al, dalam Fauzi, (2002:74-75) menyebutkan bahwa sengketa terbagi dalam 4 tahapan yaitu : 1. Tahapan diskusi. Dalam tahap ini terdapat perbedaaan pendapat antara

pihak-pihak, namun cukup dekat untuk bekerja sama. Komunikasi diharapkan berupa perdebatan langsung dari diskusi antara kedua belah pihak. Hubungan anatara kedua belah pihak diwarnai dengan kepercayaan dan saling menghargai. Isu-isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah isu substantive dan obyektif. Kemungkinan hasilnya diasumsikan mampu memuaskan kedua belah pihak.

2. Tahap polarisasi. Kedua belah pihak mulai mengambil jarak, menarik diri dan menjauhkan satu sama lain. Karena jarak tersebut, komunikasi mulai tidak langsung dan bergantung kepada intervensi atau malah misintervensi. Persepsi mengenai pihak lainnya mengeras menjadi stereotif yang kaku. Karena tidak ada tantangan dari faktor yang muncul dalam interaksi langsung. Hubungan memburuk dari yang tadinya menghormati menjadi lebih dingin ketika semua pihak tidak lagi memandang pihak yang lain sebagai pihak yang penting, melainkan sebagai pihak yang tidak dapat diandalkan. Isu-isu yang ditekankan buakan lagi elemen yang obyektif, namun bergeser kecemasan psikologis mengenai hubungan itu. Hasil yang dimungkinkan bukan lagi kemenangan kedua belah pihak, namun harus terdapat kompromi untuk memenangkan sebagian dan kehilangan yang lainnya.


(38)

3. Tahap Segregasi. Kedua belah pihak menjauh dari pihak lawannya. Komunikasi terbatas pada ancaman. Persepsi telah menguat menjadi gambaran ”kita sebagai yang baik dan mereka sebagai yang jahat”. Hubungan diwarnai berbagai ketidak percayaan dan saling tidak menghargai. Isu yang ditekankan pada pertikaian adalah kepentingan dan nilai utama setiap kelompok, taruhannya ditingkatkan pada tahap ini. Hasilnya dianggap sebagai perhitungan zero sum (situasi kalah menang secara sederhana). Metodelogi yang dipilih untuk mengelola situasi adalah kompetisi dentensif, ketika masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya sendiri sejauh mungkin, sambil berusaha untuk lebih cerdik dari pada lawannya.

4. Tahap Destruksi. Ini merupakan tahap permusuhan yang sepenuhnya. Kumunikasi kini hanya terdiri dari kekerasan langsung atau sama sekali tanpa hubungan. Untuk menjastifikasi kekerasan, persepsi mengenai pihak lain menjadi penjelasan yang memojokan mengenai pihak lawan sebagai bukan manusia, psikopat atau lainnya. Hubungan antara kedua belah pihak dianggap berada dalam kondisi tanpa harapan. Isu yang ditekankan kini adalah keselamatan suatu puhak terhadap agresi pihak lainnya. Kemungkinan hasil yang dipersepsikan bagi semua adalah sama-sama kalah, situasinya sedemikian buruk sehingga keduanya akan harus membayar mahal. Metode yang dipilih untuk mengelola sengketa pada tahap ini adalah usaha untuk menghancurkan pihak lawan, suatu keadaan perang.


(39)

Menurut Emirzon (2001, 21-23) faktor-faktor yang mendorong timbulnya bentuk sengketa yaitu :

1. Sengketa Data (Data Conflict)

Sengketa data terjadi karena kekurangan informasi (Lock at information), kesalahan informasi (miss information), adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan interpretasi terhadap data, adanya penapsiran terhadap prosedur.

2. Sengketa Kepentingan (Interes conflict)

Dalam pelaksanaan kegiatan, setiap pihak memilki kepentingan. Tanpa adanya kepentingan antar pihak tidak akan dapat mengadakan kerjasama. Timbulnya sengketa kepentingan ini adalah karena adanya beberapa hal sebagai berikut :

a. Ada perasaan atau tindakan bersaing b. Ada kepentingan substansi

c. Ada kepentingan prosedural d. Ada kepentingan psikologi

3. Sengketa Hubungan (Relationship conflict)

Sengketa hubungan dapat terjai oleh adanya kadar emosi yang kuat (strong emotion), karena adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi (poor comunication) dan tingkah laku negatif yang berulang-ulang (repetitive negative behaviour).

4. Sengketa Struktur (structural conflict)

Sengketa struktur dapat terjadi karena adanya pola merusak prilaku atau interaksi kontrol yang tidak sama, adanya kekuasaan dan kekeasaan


(40)

geografi, psikologi yang tidak sama atau faktor-faktor lingkungan yang menghalangi kerjasama serta waktu yang sedikit.

5. Sengketa/Sengketa Nilai (Value Conflict)

Sengketa nilai terjadi karena adanya perbedaan kriteria evaluasi pendapat atau perilaku disebabkan adanya pandangan hidup, ideologi atau agama, adanya penilaian sujektif tanpa memperhatikan orang lain.

c. Jenis-Jenis Sengketa

Menurut Soekanto dalam Wahyu dan Akdan (2005:29), jenis-jenis Sengketa dibedakan sebagai berikut :

a. Sengketa Pribadi

Sengketa pribadi timbul karena berbagai faktor antara lain : faktor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utama bagi terbentuknya kepribadian

b. Sengketa rasial

Sengketa rasial terjadi bukan hanya karena kepentingan, tujuan maupun kegagalan dalam komunikasi akan tetapi perbedaan kebudayaan dan ciri-ciri badaniah dapat menjadi latar belakang timbulnya sengketa

c. Sengketa antar kelas sosial

d. Masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan sosial, hidup saling membutuhkan, jenjang pendidikan da tingkat perekonomian masyarakat sangat bervariasi sehingga rentan menimbulkan sengketa.


(41)

e. Sengketa antar golongan masyarakat

Sengketa ini terjadi manakala sub-sub sistem di masyarakat tidak menjalankan fungsinya secara adil dan profesional sehingga kelompok masyarakat tertentu merasa terabaikan.

f. Sengketa berskala internasional antar negara

Sengketa antar dua negara atau lebih yang disebabkan oleh faktor-faktor kenegaraan atau sudah memasuki tanggung jawab negara.

d. Penyebab Terjadinya Sengketa/Konflik

Sengketa tidak terjadi serta-merta dan mendadak tanpa adanya sebab dan proses yang jelas. Terjadinya sengketa/sengketa melalui tahapan-tahapan tertentu. Menurut Hendrariks dalam Wahyudi dan Akdan (2005:18), proses terjadinya sengketa/sengketa ada tiga tahap yaitu : peristiwa sehari-hari yang menyebabkan ketidakpuasan antar seseorang atau kelompok, adanya pertentangan dan timbulnya pertentangan.

Bagi masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh adat istiadat dan kebiasaan, sengketa/sengketa yang sangat rentan terjadi adalah sengketa/sengketa tanah antar individu masyarakat maupun secara kolektif dengan orang lain atau lembaga lain di luar lembaga adat. Faktor-faktor penyebab sengketa tanah yaitu :

a. Proses lahirnya kebijakan penetapan peralihan hak atas tanah milik rakyat menjadi perkebunan dan kepentingan lain dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh.


(42)

b. Proses ganti rugi (sewa tanah) yang tidak transparan dan adil

c. Tidak terpenuhinya kesepakatan antar pihak-pihak yang berkepentingan d. Proses sertifikasi tanah yang berbelt-belit akibat administrasi tanah yang

kacau

e. Menurut Fauzi, (2002:71).Hak ulayat dan hukum adat terkadang diabaikan bahkan tidak diakui.

Salah satu faktor penyebab utama yang menjadi dasar timbulnya sengketa/sengketa tanah adalah kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan yang dijalankan beriringan dengan kebijakan lain seperti penanaman modal yang semuanya mempunyai konsekuensi yaitu pembebasan tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan.

Menurut Emirzon (2001:15).Penyelesaian sengketa merupakan kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai dengan dibantu oleh orang lain sehingga para pihak yang bersengketa merasa tidak ada yang dirugikan. Penanganan sengketa/sengketa dapat dilakukan dengan mekanisme antara lain : pengaduan, penelitian, pencegahan mutasi, muasyawarah dan penyelesaian melaui pengadilan

Timbulnya sengketa/konflik bermula apabila salah satu pihak yang berkepentingan merasa dirugikan dan menyampaikannya kepada orang lain dan menuntut hak-hak yang diinginkannya. Sengketa tanah adat timbul


(43)

apabila seseorang merasa mempunyai hak atas suatu tanah dan menuntut penyelesaian secara administratif kepada pihak yang berwenang.

B. Kerangka Pikir

Masyarakat adat saibatin pada tingkat marga dipimpin oleh seorang penyimbang adat yang disebut Suntan/Suttan. Seorang suntan merupakan penentu keluarganya akan tetapi bukan mengepalai wilayah. Kedudukannya hanya sebagai ”pandia” yaitu orang yang bergelar adat karena keturunannya. Tugas, fungsi dan kewenangan suntan dewasa ini hampir terabaikan oleh masyarakat mengingat banyaknya masyarakat pendatang yang secara tidak langsung akan mempengaruhi adat istiadat serta tatanan budaya yang ada. Salah satu tugas Suntan yang sangat potensial adalah penyelesaian sengketa tanah masyarakat atau tanah dalam wilayah adat. Penyelesaian sengketa tanah melalui musyawarah dalam tatanan masyarakat adat dianggap sangat efektif karena Suntan sebagai pimpinan adat di marga masih sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat. Selain itu pendekatan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Suntan bersifat kekeluargaan dan menjunjung tinggi kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Peyelesaian sengketa tanah adat melalui Suntan bersifat terbuka bagi kalangan masyarakat adat, sehingga proses demokratisasi berjalan sesuai dengan kehendak masyarakat.

Kasus penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di Marga Ngambur pada hakekatnya secara adat sudah tuntas akan tetapi salah satu pihak yang


(44)

bersengketa belum puas atas keputusan adat sehinga melakukan gugatan ke pengadilan. Perkara di pengadilan berlangsung selama enam bulan dan putusan pengadilan memenangkan pihak tergugat. Salah satu diktum pertimbangan putusan pengadilan memenangkan tergugat adalah adanya surat keputusan Suntan penyimbang adat saibatin Marga Ngambur yang menerangkan bahwa kepemilikan sah atas tanah yang di sengketakan adalah pihak tergugat. Disamping surat tersebut, rekomendasi penyimbang adat. Dalam hal ini secara tersurat keputusan pengadilan negeri liwa menguatkan keputusan adat sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan suntan masih sangat diakui dan di hormati.


(45)

Bagan Kerangka Pikir

Sengketa Tanah Adat

Musyawarah Adat Suntan /Kepala

Marga

Penyelesaian Sengketa Berwenang dalam

menyelesaikan sengketa adat termasuk tanah adat.

Para Pihak yang Bersengketa

Bertanggung jawab atas semua kepentingan adat istiadat pada masyarakat

Sebagai kepala marga

Keputusan Saibatin Penyimbang

Adat

Penggugat Menggugat

Kembali Pengadilan

Peradilan Umum


(46)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1 B.Perumusan Masalah ... 12 C.Tujuan Penelitian ... 12 D.Kegunaan Penelitian ... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Tentang Teori ... 14 1. Definisi Peranan ... 14 2. Definisi Marga ... 17 3. Definisi Suntan ... 18 4. Definisi Sistem Pemerintahan Adat ... 25 5. Definisi Sengketa/Konflik ... 29 B. Kerangka Pikir .. ………... 37 III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian ... 40 B. Fokus Penelitian ... 43 C.Lokasi Penelitian ... 45 D.Jenis Data ... 45 E. Sumber Data ... 46 F. Sumber Informan ... 53 G.Teknik Pengumpulan Data ... 53 H.Teknik Pengolahan Data ... 54 I. Teknik Analisis Data ... 56 IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A.Sejarah Singkat Marga Ngambur Buay Bejalan di Way ... 59 B. Gambaran Lokasi Penelitian ... 65 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Sistem Pemerintahan Adat Marga Ngambur Buay Bejalan

di Way ... …… 77 B. Gambaran Mengenai Sengketa Tanah ... 80


(47)

C.Peraturan Adat Tentang Sengketa Tanah ... 83 D.Fungsi dan Peranan Suntan Marga Ngambur ... 85 E. Musyawarah Adat ... 93 F. Proses Penyelesaian Tanah Melalui Pemerintahan Adat dan

Pemerintahan Pekon/Desa ... 94 G.Sebab di Gugat Kembali ke Pengadilan ... 101 H.Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan

Negeri Liwa ... 103 IV. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan ... 114 B. Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA


(48)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Batas Wilayah ... 65 2. Luas Wilayah Menurut Penggunaan ... 65 3. Tanah Swah, Tanah Kering dan Tanah Basah ... 66 4. Tanah Perkebunan ... 66 5. Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan ... 66 6. Luas Tanaman Pangan Mnurut Komoditas Tahun Ini ... 67 7. Jenis Komoditas yang di budidayakan ... 67 8. Tanaman Apotik Hidup dan Sejenisnya ... 68 9. Pemilikan Lahan Perkebunan ... 68 10. Luas dan Hasil Perkebunan Jenis Komoditas ... 69 11. Jenis Populasi Ternak ... 69 12. Jenis dan Alat Produksi Budidaya Ikan Laut dan Payau... 70 13. Jenis dan Sarana Produksi Budidaya Ikan Air Tawar ... 70 14. Jumlah Penduduk ... 71 15. Usia ... 71 16. Pendidikan ... 74 17. Mata Pencarian ... 74 18. Agama ... 75 19. Kewarganegaraan ... 75 20. Etnis ... 76 21. Ketidak cocokan antara perbatasan tanah yang di akui oleh


(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Setiap penelitian dapat menghasilkan penelitian yang maksimal haruslah direncanakan, untuk itu diperlikan desain penelitian. Desaian penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menaganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan penelitian itu. Dengan demikian, desain penelitian sangatlah penting untuk membimbing peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara akurat.

Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode penelitian studi kasus dengan menginterpretasikan data Kualitatif. Penelitian studi kasus yaitu salah satu metode dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bila mana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Selain itu penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu studi-studi kasus eksplanatoris, eksporatoris dan deskriptif. Dari ketiga tipe diatas penulis memilih studi


(50)

kasus deskriptif yang memberikan gambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai peran suntan marga ngambur dalam penyelesaian sengketa tanah adat.

Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematis dan akurat fakta dan karekteristik mengenai populasi atau bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian mengenai data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi (Saifuddin Azwar: 1997:9).

Metode diskriptif adalah metode penelitian dengan cara menganalisis data dan menyajikan data secara sistematis sehingga lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktanya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Uraian kesimpulan didasari oleh angka yang diolah tidak secara terlalu dalam. Kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan (ternd) (Saifuddin Azwar, 1997:6).

Mardalis 1989:26 (Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal) penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan meninterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memproleh


(51)

informasi-informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variable-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa melainkan hanya mendiskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variable-variabel yang diteliti.

Menurut Kirk dan Miller (1986:9) Metode penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara pundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalm peristilahannya.

Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (versten). Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku dalam situasi tertentu menurut perspektif sendiri (Lexi.J.Meleong 2001:4).

Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar penomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif akan tetapi penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berfikir formal dan argumentative (Saifuddin Azwar 1997:5).


(52)

Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud penelitian deskriptif kualitatif dalam skripsi ini adalah metode penelitian untuk merumuskan sebuah gambaran yang tersusun secara sistematis, faktual dan akurat mengenai peranan Suntan Marga Ngambur dalam penyelesaian sengketa tanah adat yaitu dengan cara melakukan himpun lunik (rapat kecil) yang dihadiri pihak yang berkepentingan serta suku saibatin (suku dibawah Suntan Marga) sesuai dengan kapasitas dari setiap suku marga dengan melihat bagian dari suku siapa yang bersengketa.

Dalam laporan penelitian ini data yang penulis sajikan berupa naskah wawancara, penerapan dilapangan dan dukumen resmi lainnya. Sedangkan untuk pengolahan dan penyajian data, peneliti mengguanakan metode kualitatif.

Dengan mengunakan metode ini, maka peneliti berusaha untuk menjelaskan dan menafsirkan tentang peran Suntan Marga Ngambur dalam penyelesaiaan sengketa tanah adat.

B. Fokus Penelitian

Fokus kajian penelitian atau pokok soal yang akan diteleti mengandung penjelasan mengenai dimensi-dimensi apa yang akan menjadi pusat perhatian serta yang nantinya akan dibahas secara mendalam dan tuntas. Dimana yang diangkat sebagai fokus kajian penelitian adalah fenomena yang menunjukan


(53)

adanya peran Suntan Marga Ngambur dalam penyelesaian sengketa tanah adat. Oleh karena itu, pada prinsipnya fokus penelitian bertujuan untuk dapat membantu peneliti melakukan penelitian dalam mengetahui peran Suntan secara luas dan mendalam.

Dalam hal ini variabel yang akan ditelti adalah mengenai peran, Suntan Marga Ngambur dan penyelesaian sengketa tanah adat, dan yang menjadi fokus masalahnya adalah :

1. Peranan, Fungsi, dan wewenang Suntan/kepala adat dalam pemerintahan adat saibatin Marga Ngambur.

2. Peranan, fungsi dan wewenang Suntan/kepala adat dalam penyelesaian sengketa tanah adat.

Peranan Suntan dalam pemerintahan adalah sebagai mitra kerja bagi pemerintahan desa (pekon) sekaligus secara tersurat merupakan penasehat kepala desa (peratin). Sedangkan fungsi Suntan dalam pemerintahan secara kelembagaan adat adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur pemerintahan desa akan tetapi pengawasannya hanya bersifat preventif.

Dalam penyelesaian sengketa tanah adat bagi masyarakatnya, peranan suntan menjadi sangat luas karena suntan dapat mengambil langkah penyelesaian yang cepat melalui musyawarah adat sesuai dengan kewenangannya sebagai pemimpin tertinggi pada lembaga adat yang mempunyai hak dan kuasa atas masyarakat adatnya.


(54)

C. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian merupakan cara baik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori subtantif dan menjajaki lapangan mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan, sementara itu keterbatasan geografis dan praktis, seperti waktu, biaya dan tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.(Lexy J.Moleong 2004:86)

Lokasi yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan cara sengaja (Purposive) yaitu desa Sumber Agung kecamatan Ngambur kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan dari informasi dari masyarakat dan tokoh adat mengenai peran suntan marga Ngambur dalam penyelesaian sengketa tanah adat di daerah tersebut.

D. Jenis Data

Data adalah segala keterangan dan informasi mengenai segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Jenis data yang dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diproleh langsung dari informan dan data yang diprolh dari bahan pustaka, dokumen-dokumen resmi dan media baik masa maupun elektronik.


(55)

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis, yaitu : a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan. Data primer dalam penulisan skripsi ini diproleh dengan mengadakan wawancara mendalam dengan responden dalam hal ini suntan, raja dan tokoh adat lainnya.

b. Data Skunder

Data skunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen (data tidak langsung) melalui buku-buku, dan media elektronik (Internet, televise dll).

E. Sumber Data

1. Dokumentasi

Terkecuali untuk penelitian untuk masayarakat yang belum mengenal baca-tulis, informasi informasi dokumenter tentunya relevan untuk setiap topik studi kasus. Tipe informasi ini bisa menggunakan berbagai bentuk dan hendaknya menjadi objek rencana-rencana pengumpulan data yang eksplisit. Sebagai contoh, pertimbangkan jenis dokumen-dokumen berikut ini :

 Surat, memorandum dan pengumuman resmi;

 Agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan dan laporan-laporan peristiwa lainnya;

 Dokumen-dokumen administrative-proposal, laporan kemajuan dan dokumen-dokumen intern lainnya;


(56)

 Penelitian-penelian atau evaluasi-evaluasi resmi pada “situs” yang sama, dan

 Kliping-kliping baru dan artikel-artikel lain yang muncul di media massa.

Manfaat dari tipe-tipe dokumen ini dan yang lain tidaklah selalu disandarkan pada keakurataan atau kekurangan biasannya. Memang dokumen perlu digunakan hati-hati dan tidak asal diterima sebagaimana adanya dari tempat pengambilannya. Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Pertama, dokumen membantu penverifikasia ejaan desain judul atau nama yang benar dari organisasi-organisasi yang telah disinggung dalam wawancara. Kedua, dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumber-sumber lain, jika bukti documenter bertentangan dan bukan mendukung, peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang bersangkutan. Ketiga, Inferensi dapat dibuat dari dokumen-dokumen. Namun begitu , inferensi-inferensi ini harus diperlakukan hanya sebagai rambu-rambu bagi penelitian selanjutnya dan bukan sebagai temuan definitif, sebab inferensi ini suatu saat bisa menghasilkan arah yang keliru.

Karena nilainya secara keseluruhan, dokumen memainkan peran yang sangat penting dalam mengumpulkan data studi kasus. Penelusuran yang sistematis terhadap dokumen yang relevan karenanya penting sekali bagi rencana pengumpulan data. Sebagai contoh, selama kunjungan lapangan, perlu


(57)

dialokasikan waktu untuk penggunaan perpustakaan setempat dan pusat-pusat referensi lainnya.

Pada saat yang sama, banyak orang yang kritis terhadap ketergantungan studi kasus kepada dokumen. Hal ini karena peneliti studi kasus salah anggapan terhadap jenis dokumen tertentu seperti proposal untuk proyek atau program-seolah-olah dokumen tersebut pasti berisi kebenaran dan tak dapat diragukan. Dalam kenyataannya, masih perlu dilakukan tinjauan terhadap dokumen yang ada guna memahami bahwa dokumen itu ditulis untuk beberapa tujuan dan audiens yang spesifik. Dalam kaitan ini peneliti studi kasus merupakan pengamat untuk kepentingan orang lain, dan bukti dokumenternya mencerminkan komunikasi antar kelompok yang berupaya mencapai beberapa tujuan. Dengan mencoba secara tekun mengindentifikasi kondisi-kondisi ini, peneliti akan terhindar dari kesalahan arah oleh bukti dokumenter dan akan lebih kritis dalam menginterpretasi kandungan-kandungan bukti semacam itu.

2. Rekaman Arsip

Pada banyak studi kasus rekaman arsip seringkali dalam bentuk komputerisasi –bisa merupakan hal yang relevan. Ini meliputi :

 Rekaman layanan, seperti jumlah klien yang dilayani dalam suatu periode tertentu;

 Rekaman Keorganisasian, seperti bagan dan anggaran organisasi pada periode waktu tertentu;


(58)

 Data survey, seperti rekaman atau adata sensus yang terkumpul sebelumnya disekitar “situs”; dan

 Rekaman-rekaman pribadi, seperti buku harian, kalender dan daftar nomor telepon.

Rekaman-rekaman arsip ini dan lainnya dapat digunakan bersama-sama dengan sumber-sumber informasi yang lain dalam pelaksanaan studi kasus. Namun demikian, tak seperti bukti dokumenter, kegunaan rekaman arsip akan berpariasi pada satu studi kasus dan lainnya. Pada beberapa penelitian, rekaman tersebut begitu penting sehingga bisa menjadi objek perolehan kembali dan begitu luas. Pada penelitian-penelitian lainnya, rekaman mungkin hanya sepintas relevansinya.

Bilamana bukti arsip dianggap relevan, peneliti harus berhati-hati untuk menentukan kondisi yang menghasilkan bukti yang bersangkutan beserta keakuratannya. Terkadang rekaman arsip bisa bersifat kuantitatif, tetapi jumlah semata-mata tidak otomatis bisa dianggap sebagai tanda keakuratannya. Umumnya rekaman arsif untuk tujuan spesifik dan audiens yang spesifik pula (diluar penelitian studi kasus sendiri), dan kondisi-kondisi seperti ini harus dihargai sepenuhnya agar kegunaan dari rekaman arsif yang bersangkutan bisa diinterpretasikan secara tepat.


(59)

3. Wawancara

Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangt penting ialah wawancara. Konklusi semacam ini mungkin mengejutkan, karena adanya asosiasi yang sudah terbiasa antara wawancara dan metodelogi survei. Namun demikian, wawancara memang merupakan sumber informasi yang esensial bagi studi kasus.

Wawancara bisa mengambil beberapa bentuk. Yang paling umum, wawancara bertipe open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada reponden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi, peneliti bisa meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya.

Makin besar bantuan responden dalam penggunaan cara yang disebut diatas, makin besar perannya sebagai “informan”. informan-informan kunci sering kali sangat penting bagi keberhasilan studi kasus. Secara keseluruhan, wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus, karena studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan. Urusana-urusan kemanusian ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui pihak yang diwawancarai, dan para responden yang mempunyai informasi dapat memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik kedalam situasi yang berkaitan. Para responden tersebut juga dapat memberi bagian-bagian


(60)

bukti dari sejarah situasi yang bersangkutan, agar peneliti yang bersangkutan memiliki kesiapan untuk mengindentifikasi sumber-sumber bukti relevan lainnya. Namun demikian, wawancara tersebut harus selalu dipandang sebagai laporan verbal. Laporan tersebut cenderung mencakup masalah-masalah yang bias, ingatan yang lemah dan artikulasi yang tidak akurat. Sekali lagi, Pendekatan yang beralasan adalah mendukung data wawancara dengan informasi dari sumber-sumber lain.

4. Observasi Langsung

Dengan membuat kunjungan lapangan terhadap situs studi kasus, peneliti mencipkan kesempatan untuk observasi langsung. Dengan berasumsi bahwa penomena yang diamati tidak asli hitiris, beberapa pelaku atau kondisi lingkungan sosial yang relevan akan bersedia untuk observasi. Observasi semacam itu berperan sebagai sumber bukti lain bagi suatu studi kasus. Observasi tersebut dapat terbentang mulai dari kegiatan pengumpulan data yang formal hingga yang kausal. Yang paling formal, protokol observasi dapat dikembangkan sebagai bagian dari protokol studi kasus, dan peneliti bersangkutan bisa diminta mengukur peristiwa tipe prilaku tertentu dalam periode waktu tertentu dilapangan. Yang kurang formal observasi langsung bisa dilakukan selama melangsungkan kunjungan lapangan termasuk kesempatan-kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain seperti pada wawancara.


(61)

Bukti observasi sering kali bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang tofik yang akan diteliti. Demikian pula, observasi suatu lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang akan diteliti. Observasi tersebut bisa begitu berharga sehingga peneliti bisa mengambil poto-poto pada situs studi kasus. Paling kurang poto-poto ini akan mebantu memuat karekteristik-karekteristik penting bagi pengamat luat (lihat Dabbs, 1982 dalam Robert K.Yin :113).

Untuk meningkatkan reabilitas bukti observasi , prosedur yang umumnya adalah memiliki lebih dari satu pengamat dalam membuat jenis observasi forman ataupun kausal. Karenanya, jika sumber yang ada menungkinkan, penyelidikan studi kasus hendaknya memungkinkan pengguanaan multi pengamat.

5. Observasi Partisipan

Obserpasi partisipan adalah suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situsi tertentu dan berpartisifasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Di lingkungan perkotaan misalnya, peran-peran ini bisa terbentang mulai dari interaksi sosial umum dengan berbagai lapisan penduduk hingga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan fungsional khusus dalam lingkungan sosial yang bersangkutan (lihat Yin, 1982a).


(62)

F. Sumber Informan

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber informasi adalah tokoh adat, pemerintahan desa dan masyarakat yang dianggap penulis kompeten dan mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah adalah :

1). Aryanda gelar Suntan Baginda Ratu 2). Mat Azani ( Peratin Sumber Agung) 3). Rusdi Arpan Pihak Tergugat

4). Ahmad Sahbuddin pihak tergugat 5). Damran gelar Raja Mahkota Batin 6). Mizwar gelar Radin Idaman Gedung

7). Darmansyah Yusi, SH gelar Pangeran Kapitan Marga (Saibatin Marga Pugung/Ketua HKJS)

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ilmu sosial masalah pengumpulan data kadang-kadang bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu seorang peneliti sebelum terjun kelapangan untuk mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dapat menentukan teknik-teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitiannya nanti dilapangan.


(63)

Sesuai dengan metode penelitian maka untuk memperoleh data-data maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan :

1. Studi Lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan menggunakan pedoman secara tertulis dilakukan secara langsung dengan tatap muka antara si pencari data (peneliti) dengan informan (Suntan)

2. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan (Library Research) yaitu studi yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan mengajarkan teori-teori, serta peraturan-peraturan dan informasi lain yang diperoleh dari buku-buku literature lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi digunakan untuk mendukung dua teknik pengumpulan data di atas. Peneliti melakukan studi dokumentasi, yaitu dengan cara mempelajari bahan-bahan tulisan yang berhubungan dengan peran Suntan Marga Ngambur dalam penyelesaian sengketa tanah adat.

H. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data menurut Efendi, Tukiran dan Sucipto (dalam Singarimbun 1995:240) terdiri dari :


(64)

1. Editing

Cara yang diguakan untuk meneliti kembali data yng telah diproleh dilapangan baik yang diproleh melalui wawancara maupun dukumentasi guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Editing dalam penelitian ini digunakan pada penyajian hasil wawancara berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan menggunakan kalimat baku dan bahasa yang mudah dimengerti.

2. Interpretasi

Memberikan penafsiran atau penjabaran atas hasil penelitian untuk dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diproleh dengan data lain.Interpretasi dalam penelitian ini yaitu, menafsirkan atau menjabarkan kesimpulan hasil wawancara dengan menghubungkan kesimpulan yang diperoleh sehingga diperoleh makna yang lebih luas.

Cara ynag digunakan untuk meneliti kembali data yang telah diproleh di lapangan baik yang diperoleh melalui wawancara maupun dokumentasi guna menghindari kekeliruan dan kesalahan. Editing pada penelitian ini digunakan pada penyajian hasil wawancara berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan kalimat baku dan bahasa yang mudah dimengerti.


(65)

I. Teknik Analisis Data

Patton (dalam Lexy J. Moleong, 2004:280) mendefinisikan analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan urutan dasar.

Sedangkan Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J. Moleong 2004:280) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menentukan tema dan rumusan hipotesis (ide), seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantauan pada tema dan hipotesis itu.

Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisi data adalah proses mengatur urutan data, kategori sehingga dapat dijadikan pola yang memiliki relevansi dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yang kemudian dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini di gunakan analisis data secara deskriptif dengan pendekatan secara kualitatif yang menyajikan data bukan berupa data angka, metode data diskriptif ini sifat merupakan keadaan objek atau subjek peneliti pada saat melakukan penelitian tersebut dilakukan sebagaimana adanya dengan cara data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya di susun secara sistematis dan logis untuk mendapatkan gambaran umum tentang perbandingan sistempemerintahan adat lampung sai batin dan


(66)

adat lampoon pepepadun. Penelitian kualitatif adalahpenggambaran suatu penomena atau permasalahan tampa melakukan pengukuran atau memperolh data yang brupa angka.

Menurut Mettew Miles dan A. Michael Haberman (1992:16) pada tiga komponen analisis data kualitatif yaitu:

1. Reduksi Data

Data yang di proleh di lapangan dituangkan dalam laporan atau uraian yang lengkap dan terperinci. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasikan sedemikian rupa, sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diferivikasi. Hasil wawancara dan dokumentasi digolongkan dalam fokus-fokus kajian penelitian.

2. Penyajian (display) Data

Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan penelit melihat data secara keseluruhan dan bagian-bagian penting. Bentuk penyajian data yang digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif, oleh karena itu informasi yang dikompleks akan disederhanakan kedalam bentuk tabulasi yang selektif dan mudah dipahami. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan memilih data yang lebih relevan dengan konteks penelitian, disajikan dalam kalimat baku dan mudah dimengerti.

3. Verifikasi Data (menarik kesimpulan)

Verifikasi data dimaksud bahwa peneliti berusaha mencari arti, pola, tema, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin menjelaskan akan sebab-sebab dan


(67)

sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung, dalam hal ini dilaksanakan dengan cara penambahan data baru.


(1)

(2)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Pemerintahan adat dewasa ini meskipun mengalami penurunan peran dan fungsinya, akan tetapi masih sangat diakui oleh masyarakat dan Negara dalam merumuskan kebijakan masyarakat adat dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat.

Dalam menjalankan kepemimpinannya Suntan atau kepala adat Marga Ngambur berwenang dan bertanggung jawab untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya. Maka apabila terjadi sengketa dalam masyarakat adat yang dipimpinnya, Suntan berwenang untuk menyelesikan persengsengketaan tersebut melalui musyawarah adat yang dibantu oleh para bawahannya yaitu Raja Lamban Gedung, Suku Saibatin, Suku Marga dan Suku Bahmekon.

Dalam penyelesaian sengketa tanah yang terjadi antara M. Ali Anwar dengan Ahmad Sahbuddin dan Rusdi Arpan awalnya diselesaikan oleh Suntan Marga Ngambur melalui himpun atau musyawarah adat. Mengenai sengketa tanah ini sebenarnya menjadi tanggung jawab Suku Marga setempat. Karena Suku Marga tidak sanggup untuk menyelesaikan sengketa tanah ini, maka ini secara


(3)

otomatis menjadi kewenangan Suntan Marga Ngambur untuk menyelesaikannya melalui himpun/musyawarah adat. Adapun peranan Suntan dalam proses penyelesaian sengketa tanah tersebut yaitu :

a). Suntan Marga Ngambur memfasilitasi sebagai simbol adat .

Sebagai seorang kepala adat Suntan mempasilitasi kedua belah pihak untuk melakukan musyawarah adat di rumah kepala adat yang dihadiri oleh seluruh jajaran Suntan dan Peratin/kepala desa Sumber Agung dengan mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama dan dihadiri oleh bapak camat Ngambur selaku kepala wilayah kecamatan Ngambur.

b). Memberikan pertimbangan dari keterangan kedua belah pihak.

Setelah mendengarkan keterangan atau pendapat dari kedua belah pihak dan seluruh peserta musyawarah adat, Suntan memberikan pertimbangan mengenai kebenaran pendapat-pendapat yang disampaikan oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan seluruh peserta musyawarah adat.

c). Memberikan Keputusan dari hasil musyawarah adat.

Setelah mempertimbangkan kebenaran pendapat-pendapat seluruh peserta musyawarah adat, Suntan Marga Ngambur memberikan keputusan dari hasil musyawarah adat tersebut. Pada kasus M. ali Anwar melawan Rusdi bin Arpan dan keluarganya, Suntan Marga Ngambur dan Peratin/kepala desa Sumber Agung memutuskan Rusdi bin Arpan dan keluarganya sebagai yang berhak atas tanah yang dipersengketakan.


(4)

d). Membuat rekomendasi atas keputusan musyawarah adat.

Apabila hasil musyawarah adat tidak diterima salah satu pihak yang bersengketa dan meneruskan penyekesaiannya melalui pengadilan umum, maka Suntan selaku kepala adat membuat Rekomendasi berupa Surat Putusan hasil musyawarah adat sebagai pertimbangan majelis hakim di pengadilan umum.

Sengketa tanah antara M. Ali Anwar melawan Rusdi bin Arpan, adat secara kelembagaan telah melakukan penyelesaian dan membuat keputusan bersama Kepala Desa (Peratin) Sumber Agung. Dalam keputusan tersebut Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Desa (Pekon) membenarkan bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah milik Rusdi Arpan dan keluarga yang termaktub dalam gugatan M. Ali Anwar.

Akibat ketidak puasan M. Ali Anwar atas keputusan Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon, M. Ali Anwar melakukan gugatan pada Pengadilan Negeri Liwa dan putusan Pengadilan Negeri Liwa membenarkan pihak tergugat secara keseluruhan dengan adanya bukti surat keterangan dan hasil keputusan rapat adat bersama pemerintahan pekon (desa).

Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa menangnya perkara terhadap tergugat di pengadilan semakin mempertegas bahwa peranan pemerintahan


(5)

adat atau Suntan masih sangat di akui oleh pemerintah dan keputusan Suntan Marga Ngambur secara tersurat dibenarkan oleh Pengadilan (Negara).

B.Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Agar Pemerintah lebih memperhatikan tatanan masyarakat adat sehingga tatanan pemerintahan adat dapat menjalankan fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lebih nyata bagi masyarakat.

2. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa Pemerintahan Adat diakui Negara sehingga apa yang menjadi keputusan pemerintahan adat harus dipatuhi secara keseluruhan karena sesungguhnya Pemerintahan Adat adalah pemerintahan yang paling dekat dan paling mengetahui kondisi sosial pada masyarakatnya. Untuk itu pemerintahan adat harus melakukan sosialisasi mengenai sosial budaya terhadap masyarakat adat.

3. Pemerintahan adat harus tanggap mengenai berbagai macam sengketa di wilayah adat khususnya sengketa tanah adat, karena apapun yang terjadi dalam wilayah pemerintahan adat merupakan tanggung jawab Suntan selaku kepala adat dalam menyesaikan sengketa dalam masyarakat adat

4. Pemeritah Kabupaten Lampung Barat agar memperhatikan keberadaan dan perkembangan pemerintahan adat yang ada di kabupaten Lampung Barat,


(6)

karena bagaimana pun kebudayaan yang ada di Negara Indonesia umumnya dan kabupaten Lampung Barat khususnya perlu dilestarikan keberdaannya.