THE ROLE OF “SUNTAN MARGA NGAMBUR” IN SETTLEMENT OF CUSTOMARY LAND DISPUTE (A study in Sumber Agung “Pekon” or village in Ngambur district of West Lampung regency)

THE ROLE OF “SUNTAN MARGA NGAMBUR” IN SETTLEMENT
OF CUSTOMARY LAND DISPUTE
(A study in Sumber Agung “Pekon” or village in Ngambur district of
West Lampung regency)

By
Romi Gusman

Lampung society adopts patrilineal genealogy family relationship, which is
divided into lineage society according to the origin “Poyang” that is called as
“buay”. Every family according to the level of family has its own leader called as
“penyeimbang” that contains of the oldest sons that inherited their fathers’
authority hereditary.

The research takes location of research purposively in Sumber Agung village of
Ngambur district in West Lampung regency. The problem statement is to find out
the roles of Suntan Marga Ngambur as custom’s “penyeimbang” or balancer of
the families to settle the customary land dispute in their customary society. The
research uses case study method with interpreting the qualitative data. The data is
taken with deep interview, field, library and document studies.


The results of the research conclude that the customary land dispute settlement is
conducted by the customary authorities (Suntan) and the local government of
Sumber Agung village through customary discussion or “himpun” that wins the
accused I, II and III by publishing the letter of land owning from the village chief

and acknowledged by “Saibatin” or “Suntan” (the customary balancer) of
Ngambur families, and this becomes one of judge considerations in enforcing the
accused I, II, III on their legal land owning in Liwa state court.

The conclusion shows that the winning of accused party cases emphasizes the role
of customary authorities of “Suntan” is very accepted by the government and the
decision of Suntan is also accepted by the state court.

ABSTRAK

PERANAN SUNTAN MARGA NGAMBUR DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA TANAH ADAT
(studi di Pekon/desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten
Lampung Barat)


Oleh
Romi Gusman
Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah
menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam
masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut
"buay". Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing mempunyai
pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak tertua laki-laki yang
mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun.

Lokasi yang diambil dalam peneltian ini ditententukan dengan cara sengaja
(Purposive) yaitu desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung
Barat. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
Bagaimana Peranan Suntan Marga Ngambur selaku penyimbang adat marga
dalam melakukan penyelesaian terhadap sengketa tanah adat pada masyarakat
adatnya. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu metode metode
penelitian studi kasus dengan menginterpretasikan data Kualitatif. Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan melakukan
studi lapangan, studi kepustakaan dan studi dokumentasi.


Dari pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa proses penyelesaian
sengketa tanah yang dilakukan oleh pemerintahan adat (Suntan) dan pemerintahan
desa Sumber Agung melalui himpun/musyawarah adat yang memenangkan pihak
tergugat I. II dan III dengan mengeluarkan Surat keterangan Kepemilikan tanah
dari Kepala Desa dan diketahui oleh Saibatin/Suntan Penyimbang Adat Marga
Ngambur merupakan salah satu pertimbangan Hakim yang menguatkan pihak
tergugat I, II dan III mengenai kepemilikan tanah yang sah di Pengadilan Negeri
Liwa.

Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa menangnya perkara terhadap tergugat
di pengadilan semakin mempertegas bahwa peranan pemerintahan adat atau
Suntan masih sangat di akui oleh pemerintah dan keputusan Suntan Marga
Ngambur secara tersurat dibenarkan oleh Pengadilan (Negara).

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat


Indonesia

merupakan masarakat

yang pluralistik,

yaitu

masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadat yang
tersebar dari seluruh kepulauan di Indonesia. Setiap daerah mempunyai
tradisi, bahasa serta adat istiadat yang tersendiri, baik yang menyangkut
hukum waris adatnya, perkawinan adat, hukum kekerabatan maupun harta
kekayaan adat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 adat istiadat dan budaya diakui oleh
Negara dan diberikan keleluasaan untuk mengembangkan diri sesuai dengan
budaya dan adat istiadatnya masing-masing. Hal ini termuat dalam pasal 28C
yang berbunyi :
1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.

2

Adat istiadat merupakan cerminan bangsa Indonesia dan merupakan identitas
diri bangsa. Pengakuan ini termuat dalam Undang-undang 1945 pasal 28i
yang berbunyi :
“ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati selaras dengan
zaman dan peradaban”.

Adat istiadat ini juga termuat dalam PP No. 72 Tahun 2005 dimana dalam
penjelasan umumnya menyatakan bahwa desa dapat membentuk lembagalembaga kemasyarakatan misalnya lembaga adat. Lembaga kemasyarakatan
bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra bagi lembaga
pemerintah. Tokoh adat yang ada dalam suatu wilayah desa harus dilibatkan
oleh pemerintahan desa dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.

Menurut P2NB


(1995/1996:17).Masyarakat Lampung sebagai salah satu

suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan pulau Sumatra,
memiliki falsafah atau pandangan hidup yaitu Piil Pesenggiri. Masyarakat
Lampung

terbagi menjadi dua kelompok adat yaitu Masyarakat yang

menganut adat sai batin dan masyarakat yang menganut adat pepadun .
Masyarakat yang menganut adat saibatin pada umumnya tinggal di pesisir
pantai seperti di sepanjang pantai Teluk Betung ,Teluk Semangka, Krui,
Liwa, Pesisir Rajabasa, Malinting, dan Kalianda sedangkan masyarakat yang
menganut adat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah pedalaman
seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang Dan Pubian.

3

Masyarakat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertalian darah
menurut garis keturunan ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi

dalam masyarakat keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang
disebut "buay", misalnya Buay Pernong, Buay Belunguh, Buay Bejalan di
Way, Buay Nyerupa dan sebagainya. Setiap kebuayan itu terdiri dari berbagai
"jurai" dari kebuwaian, yang terbagi-bagi pula dalam beberapa kerabat yang
terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou, lamban tuha). Kemudian
dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat (nuwou balak,
lamban gedung). Ada kalanya buay-buay itu bergabung dalam satu kesatuan
yang disebut "paksi". Setiap kerabat menurut tingkatannya masing-masing
mempunyai pemimpin yang disebut "penyimbang" yang terdiri dari anak
tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan Ayah secara turun temurun.

Hubungan kekerabatan adat Lampung terdiri dari lima unsur yang merupakan
lima kelompok yaitu :
1. Kelompok wari atau adik wari, yang terdiri dari semua saudara laki-laki
yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk saudara angkat yang
bertali darah.
2. Kelompok lebuklama yang terdiri dari saudara laki-laki dari nenek (ibu
dari ayah) dan keturunannya dan saudara laki-laki dari ibu dan
keturunannya.
3. Kelompok baimenulung yang terdiri dari saudara-saudara wanita dari ayah

dan keturunannya.

4

4. Kelompok kenubi yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu bersaudara
dan keturunannya.
5. Kelompok lakau-maru, yaitu para ipar pria dan wanita serta kerabatnya
dan para saudara karena istri bersaudara dan kerabatnya.

Adat istiadat Lampung sama halnya dengan adat istiadat daerah lainnya dan
merupakan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Adat ini diwarisi secara turun temurun, di bina dan di
kembangkan secara tradisi karena masyarakat Lampung khususnya yang
beradat saibatin dalam menentukan penyimbang adat sifatnya sangat tertutup
dan bersifat palrilineal geneologis (mengikuti garis keturunan laki-laki).

Masyarakat adat yang hidup secara turun temurun mempunyai tatanan
kehidupan sesuai dengan norma-norma yang berlaku bagi masyarakat
tersebut. Masyarakat adat sebagai pranata sosial mempunyai kehidupan sosial
yang secara turun-temurun di jaga dan dikembangkan oleh mayarakat

tersebut. Pranata sosial masyarakat adat yang masih terjaga dengan baik
biasanya sangat sulit untuk di masuki oleh hal-hal yang bersifat negatif dan
dianggap tidak sesuai dengan ketentuan adat istiadat.

Lembaga dan masyarakat adat paksi buay bejalan di way termasuk marga
yang telah di bentuk dipimpin oleh seorang Raja adat yang merupakan
keturunan lurus dari Buai Bujalan di Way. Saibatin didukung dan dibantu
oleh para Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas yang merupakan satu

5

kesatuan masyarakat adat berupa suku dan Jungku. Azas yang dianut Paksi
Pak Sekala Bkhak adalah Saibatin Lulus Kawai, artinya apa yang dipakai
oleh orang tuanya (gelar) secara otomatis diwariskan kepada anaknya yang
tertua laki-laki, kecuali jika Suntan tidak mempunyai anak laki-laki maka
jatuh pada anak tertua perempuan atau cucunya laki-laki (dari anak
perempuan tersebut).

Tahun 1942-1998 telah terjadi perkembangan penduduk sehingga pada Raja
dan Batin tersebut juga berkembang anak buah /keturunannya. Melihat hal

tersebut Saibatin Buai Bejalan di Way, Sultan Jaya Kesuma II, pada tanggal 1
Agustus 1999 mengadakan evaluasi serta musyawarah adat di kembahang
yang dihadiri para Dalom, Raja, Batin dan Suku-suku Marga. Dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan dan dengan persetujuan dari para
Dalom, Raja, Batin dan Suku-suku marga yang hadir dalam musyawarah adat
tersebut maka ditetapkan oleh Saibatin adat bahwa dalam Paksi Buai Bejalan
di Way terdapat empat Dalom, 12 Raja dibantu oleh 64 Batin dengan Radin
Serta suku-suku dan jungku Buai Bejalan di Way sebagai pendukung,
bawahan dan pembantu Saibatin Paksi. Jumlah Raja dan Batin diatas Masih
tetap sampai sekarang. Secara umum tugas dan fungsi pejabat marga adalah :
1. Mengepalai Kepala Marga
Dalam Marga terdapat seorang pemimpin tertinggi/kepala adat yang
disebut Suntan.

6

2. Melaksanakan kekuasaan administrasi pemerintahan adat
Dalam melaksanakan kepemimpinannya Suntan mempunyai kekuasaan
dalam bidang administarasi pemerintahan adat.
3. Memimpin wilayah marga yang memiliki otonomi secara terbatas.

Sebagai seorang pimpinan dalam marga Suntan mempunyai wilayah yang
dipimpinnya.wilayah ini mencakup wilayah yang didiami oleh masyarakat
adatnya sampai pada tingkat Raja Bah Mekon.

Menurut Hadikusuma (1989:21).Kewenangan dan tugas penyimbang adat
marga yang merupakan tugas Suntan adalah sebagai berikut :
1. Membawahi suku-suku marga yang ada pada wilayah marga
2. Mengurus, dan bertanggung jawab terhadap kegiatan adat-istiadat terkait
upacara-upacara adat.
3. Berwenang melakukan penyelesaian terhadap persoalan (sengketa) yang
terjadi pada masyarakat adat yang dipimpinnya.

Berdasarkan uraian diatas, salah satu tugas dari suntan adalah melakukan
penyelesaian sengketa tanah yang terjadi pada masyarakatnya melalui
musayawarah atau himpun adat. Dasar keputusan musyawarah adat
merupakan pertimbangan yang paling mendasar jika penyelesaian tanah
diajukan dipengadilan oleh para pihak yang merasa dirugikan atas keputusan
adat tersebut.

7

Hasil wawancara Mizwar gelar Radin Idaman Gedung di desa Negeri Ratu
Ngambur Lampung Barat pukul 20.00 Wib, menurutnya masyarakat adat
terutama saibatin mempunyai sistem pemerintahan yang tidak jauh berbeda
dengan pemerintahan formal. Kepemimpinan adat dalam pranata sosial
Marga disebut Penyimbang Adat Marga. Penyimbang Adat Marga
merupakan keturunan lurus dari Lamban Gedung (rumah adat) dimana dalam
struktur adat Penyimbang Marga terdiri dari Suntan (anak tertua laki-laki),
Pangeran (anak kedua laki-laki) dan Dalom (anak ketiga laki-laki).

Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat Saibatin adalah Suntan dimana
Suntan merupakan orang yang mendiami Lamban Gedung. Sementara
Pangeran dan Dalom jika sudah berkeluarga menempati rumah sendiri
disebut Lamban punyikhan (rumah pangeran) dan Lamban Dalom (rumah
Dalom). Selain itu, dalam tatanan pemerintahan marga Ngambur yang masih
dalam keturunan Penyimbang Marga terdapat Khaja Lamban Gedung.

Dalam marga selain isi lamban gedung pada tingkat suku yang mendiami
pekon terdapat suku saibatin, suku marga dan suku bah mekon (desa). Suku
bah mekon mempunyai tatanan pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh
khadin serta bawahan khadin yang disebut cepong.

Gelaran Suntan, Pangeran dan Dalom, panggilan seperti Pun dan Saibatin
serta nama Lamban gedung hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan
keluarganya dan dilarang dipakai oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan

8

adat tidak terdapat kemungkinan untuk membeli pangkat adat, baik dengan
naik Pepadun atau dengan cara-cara lainnya terutama. Nama atau gelar adat
harus mengikuti strata yang telah di tetapkan dan tidak boleh dipakai oleh
pihak lain meskipun keturunan langsung penyimbang. Misalnya, Suntan
hanya boleh diwariskan atau dipakai pada anak laki-laki pertama dan jika
anak laki-laki pertama meninggal dunia, maka nama Suntan tidak boleh
diwariskan pada anak kedua meskipun dia sebagai pengganti Suntan dan yang
akan menjalankan pemerintahan adat di marga. Nama yang dipakai jika anak
kedua tetap nama yang berhak disandangnya yaitu Pangeran. Nama Suntan
baru bisa dipakai kepada anak laki-laki pertama dari pangeran, begitupun
untuk selanjutnya. Marga Ngambur dalam menjalankan pemerintahan adat
dipimpin oleh seorang Suntan bernama Suntan Baginda Ratu Riyanda.

Tugas pokok Penyimbang Adat Marga secara umum adalah mengayomi dan
bertanggung jawab terhadap masyarakat adat marga secara menyeluruh.
Salah satunya adalah melakukan penyelesaian sengketa tanah bagi
masyarakatnya berdasarkan ketentuan hukum adat. Penyelesaian sengketa ini
dilakukan dengan Himpun Muakhi (rapat saudara) dengan melibatkan dalom,
pengeran, suku saibatin, dan suku bah pamekon serta para pihak yang
bersengketa.

Penyelesaian sengketa tanah adat dapat dilihat pada kasus

yang terjadi

antara M. Ali Anwar (Penggugat) melawan Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini
(tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat II) dan Majisin Ahya (tergugat III).

9

Kasus sengketa ini mulai diperdebatkan oleh tergugat pada tanggal I, II , III
pada tanggal 7 April 2008, yaitu melapor kepada peratin Sumber Agung,
Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat, Bahwa tanah yang
dikuasai oleh M. Ali Anwar adalah milik orang tua mereka sejak zaman
Jepang sekitar tahun 1966 yang telah diiwariskan kepada tergugat I, II dan III.

Proses penyelesaian sengketa tanah ini awalnya diselesaikan melalui
pemerintahan Pekon Sumber Agung yaitu oleh peratin Sumber Agung dan
dilanjutkan melalui adat setempat yaitu oleh kepala adat Marga Ngambur
Suntan Baginda Ratu Riyanda. Dari hasil musyawarah antara aparat
pemerintah desa Sumber Agung dan Kepala Adat Marga Ngambur
membenarkan dan memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik Ahmad
Syahbuddin Bin Sarbini (Tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat II) dan
Majisin Ahya (tergugat III). Karena menurut yang mereka ketahui tanah
tersebut adalah tanah bukaan Orang Tua mereka sejak jaman jepang sekitar
tahun1966. Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa klaim M. Ali
Anwar atas tanah tersebut adalah tidak benar.

M. Ali Anwar pada saat itu sebagai komandan koramil mulai membuka dan
menanami tanah tersebut pada tanggal 23 September 1971 dengan surat izin
dari Kepala Kampung Sumber Agung untuk membuka tanah tersebut Nomor
: 10/DS/1971 Tertanggal 23 September 1971, Ukurannya ± 40x300 depa (3
Ha) yang terletak di Pekon Sumber Agung Kecamatan Pesisir Selatan
Kabupaten Lampung Barat.

10

Adapun alasan dari para pihak tergugat I, II, III membiarkan tanah tersebut
dikuasai oleh M. Ali Anwar (Penggugat) pada saat itu adalah :
1. Pada saat M. Ali Anwar membuka tanah tersebut saat itu masih dalam era
orde baru dimana ABRI sangat ditakuti masyarakat, sedangkan M. Ali
Anwar Sendiri pada saat itu menjabat sebagai komandan koramil.
2. Tanah tersebut hanya ditanami saja dan tidak dijual kepada pihak lain.

Pembukaan dan penguasaan tanah oleh M. Ali Anwar pada tahun 1971 hanya
bersifat izin pembukaan lahan dari Kepala Kampung Sumber Agung.
Pemberian izin pembukaan lahan tersebut di dasari oleh tekanan dari pihak
M. Ali Anwar mengingat kewenangan M. Ali Anwar sebagai Danramil
Kecamatan Pesisir. Selatan.

Setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru, dimana posisi ABRI bukan lagi
menjadi kendaraan politik pemerintah yang mempunyai kewenangan luas,
pihak Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini (tergugat I), Rusdi Bin Arpan (tergugat
II) dan Majisin Ahya (tergugat III) merasa sudah waktunya untuk menuntut
hak atas tanah keluarga mereka. Sehingga pihak Ahmad Syahbuddin Bin
Sarbini atas nama keluarga besarnya mendatangi tetua adat Marga Ngambur
untuk memperolah pengakuan dari pihak adat Marga Ngambur kemudian
pihak adat Marga Ngambur mengadakan musyawarah adat dengan para pihak
serta pemerintahan Pekon Sumber Agung sehingga disimpulkan bahwa tanah
tersebut berdasarkan bukti-bukti dari pihak adat Marga Ngambur serta

11

Pemerintahan Pekon Sumber Agung, Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini serta
keluarga besarnya berhak atas tanah yang di klaim oleh M. Ali Anwar.

Keputusan Pemerintahan Pekon Sumber Agung dan Suntan Adat Marga
Ngambur yang memenangkan pihak Ahmad Syahbudin dan keluarga sebagai
pemilik tanah yang sah, dianggap merugikan M. Ali Anwar. Maka M Ali
Anwar yang diwakili oleh kuasanya Ujang Monalisa meneruskan sengketa
tanah ini pada pengadilan negeri Liwa.

Setelah gugatan dilakukan M.Ali Anwar pada Pengadilan Negeri Liwa, pihak
tergugat melakukan sanggahan dengan menunjukkan surat keterangan dari
Pemerintahan Pekon Sumber Agung serta Suntan Kepala Adat Marga
Ngambur.

Dengan adanya surat pernyataan dari pemerintah desa Sumber Agung dan
Kepala adat Marga Ngambur atas kepemelikan tanah tesebut, maka surat
tersebut merupakan salah satu bukti otentik dari pihak tergugat dalam
melakukan sanggahan atas gugatan dari penggugat.

Berdasarkan hukum adat yang berlaku pada Marga Ngambur penyelesaian
sengketa tanah warga masyarakat adat apabila telah diselesaikan melalui
musyawarah adat dengan diikuti oleh pihak pemerintahan desa, maka perkara
tanah tersebut sudah dianggap selesai, akan tetapi, untuk kasus diatas
sengketa tersebut tetap diselesaikan melalui hukum formal sehingga secara

12

tersirat peranan Suntan belum mampu menyelesaikan sengketa secara tuntas.
Peranan suntan pada kasus diatas, tetap terlihat mengingat pada tingkat
pengadilan pihak tergugat dimenangkan oleh pengadilan dengan diktum
pertimbangan putusan adalah adat melalui surat pengakuan atas tanah yang
dikeluarkan penyimbang adat mengakui secara sah kepemilikan tanah
sengketa adalah pihak tergugat.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana Peranan Suntan Marga Ngambur selaku penyimbang adat marga
dalam melakukan penyelesaian terhadap sengketa tanah adat pada masyarakat
adatnya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian yang dilakukan bertujuan :
Untuk mengetahui peranan Suntan Marga Ngambur dalam melakukan
penyelesaian terhadap sengketa tanah adat.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis, sebagai salah satu bahan kajian bagi penulis dan bagi
Saibatin

Penyimbang

adat

Marga

Ngambur

dalam

membenahi

13

kekurangan-kekuarangan yang terjadi terhadap peranan Suntan dalam
melakukan tugas-tugas adat marga.
2. Secara Praktis, sebagai salah satu masukan dalam meningkatkan perananperanan pemimpin adat dalam melakukan penyelesaian sengketa terhadap
masyarakat dengan tidak mengesampingkan aturan-aturan hukum formal.

14

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pemerintahan adat dewasa ini meskipun mengalami penurunan peran dan
fungsinya, akan tetapi masih sangat diakui oleh masyarakat dan Negara dalam
merumuskan kebijakan masyarakat adat dan menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi pada masyarakat.
Dalam menjalankan kepemimpinannya Suntan atau kepala adat Marga
Ngambur berwenang dan bertanggung jawab untuk mengatur dan menjaga
ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan
masyarakat adatnya. Maka apabila terjadi sengketa dalam masyarakat adat
yang dipimpinnya, Suntan berwenang untuk menyelesikan persengsengketaan
tersebut melalui musyawarah adat yang dibantu oleh para bawahannya yaitu
Raja Lamban Gedung, Suku Saibatin, Suku Marga dan Suku Bahmekon.
Dalam penyelesaian sengketa tanah yang terjadi antara M. Ali Anwar dengan
Ahmad Sahbuddin dan Rusdi Arpan awalnya diselesaikan oleh Suntan Marga
Ngambur melalui himpun atau musyawarah adat. Mengenai sengketa tanah ini
sebenarnya menjadi tanggung jawab Suku Marga setempat. Karena

Suku

Marga tidak sanggup untuk menyelesaikan sengketa tanah ini, maka ini secara

otomatis

menjadi

kewenangan

Suntan

Marga

Ngambur

untuk

menyelesaikannya melalui himpun/musyawarah adat. Adapun peranan Suntan
dalam proses penyelesaian sengketa tanah tersebut yaitu :
a). Suntan Marga Ngambur memfasilitasi sebagai simbol adat .
Sebagai seorang kepala adat Suntan mempasilitasi kedua belah pihak
untuk melakukan musyawarah adat di rumah kepala adat yang dihadiri
oleh seluruh jajaran Suntan dan Peratin/kepala desa Sumber Agung dengan
mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama dan dihadiri oleh bapak
camat Ngambur selaku kepala wilayah kecamatan Ngambur.
b). Memberikan pertimbangan dari keterangan kedua belah pihak.
Setelah mendengarkan keterangan atau pendapat dari kedua belah pihak
dan seluruh peserta musyawarah adat, Suntan memberikan pertimbangan
mengenai kebenaran pendapat-pendapat yang disampaikan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa dan seluruh peserta musyawarah adat.
c). Memberikan Keputusan dari hasil musyawarah adat.
Setelah mempertimbangkan kebenaran pendapat-pendapat seluruh peserta
musyawarah adat, Suntan Marga Ngambur memberikan keputusan dari
hasil musyawarah adat tersebut. Pada kasus M. ali Anwar melawan Rusdi
bin Arpan dan keluarganya, Suntan Marga Ngambur dan Peratin/kepala
desa Sumber Agung memutuskan Rusdi bin Arpan dan keluarganya
sebagai yang berhak atas tanah yang dipersengketakan.

d). Membuat rekomendasi atas keputusan musyawarah adat.
Apabila hasil musyawarah adat tidak diterima salah satu pihak yang
bersengketa dan meneruskan penyekesaiannya melalui pengadilan umum,
maka Suntan selaku kepala adat membuat Rekomendasi berupa Surat
Putusan hasil musyawarah adat sebagai pertimbangan majelis hakim di
pengadilan umum.

Sengketa tanah antara M. Ali Anwar melawan Rusdi bin Arpan, adat secara
kelembagaan telah melakukan penyelesaian dan membuat keputusan bersama
Kepala Desa (Peratin) Sumber Agung. Dalam keputusan tersebut Pemerintahan
Adat dan Pemerintahan Desa (Pekon) membenarkan bahwa tanah yang
menjadi sengketa adalah milik Rusdi Arpan dan keluarga yang termaktub
dalam gugatan M. Ali Anwar.

Akibat ketidak puasan M. Ali Anwar atas keputusan Pemerintahan Adat dan
Pemerintahan Pekon, M. Ali Anwar melakukan gugatan pada Pengadilan
Negeri Liwa dan putusan Pengadilan Negeri Liwa membenarkan pihak
tergugat secara keseluruhan dengan adanya bukti surat keterangan dan hasil
keputusan rapat adat bersama pemerintahan pekon (desa).

Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa menangnya perkara terhadap
tergugat di pengadilan semakin mempertegas bahwa peranan pemerintahan

adat atau Suntan masih sangat di akui oleh pemerintah dan keputusan Suntan
Marga Ngambur secara tersurat dibenarkan oleh Pengadilan (Negara).

B. Saran

Berdasarkan

pembahasan

dan

kesimpulan

di

atas,

penulis

dapat

mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1.

Agar Pemerintah lebih memperhatikan tatanan masyarakat adat sehingga
tatanan

pemerintahan

adat

dapat

menjalankan

fungsi-fungsi

kemasyarakatan yang lebih nyata bagi masyarakat.
2.

Masyarakat seharusnya menyadari bahwa Pemerintahan Adat diakui
Negara sehingga apa yang menjadi keputusan pemerintahan adat harus
dipatuhi secara keseluruhan karena sesungguhnya Pemerintahan Adat
adalah pemerintahan yang paling dekat dan paling mengetahui kondisi
sosial pada masyarakatnya. Untuk itu pemerintahan adat harus melakukan
sosialisasi mengenai sosial budaya terhadap masyarakat adat.

3.

Pemerintahan adat harus tanggap mengenai berbagai macam sengketa di
wilayah adat khususnya sengketa tanah adat, karena apapun yang terjadi
dalam wilayah

pemerintahan adat merupakan tanggung jawab Suntan

selaku kepala adat dalam menyesaikan sengketa dalam masyarakat adat
4.

Pemeritah Kabupaten Lampung Barat agar memperhatikan keberadaan dan
perkembangan pemerintahan adat yang ada di kabupaten Lampung Barat,

karena bagaimana pun kebudayaan yang ada di Negara Indonesia
umumnya dan kabupaten Lampung Barat khususnya perlu dilestarikan
keberdaannya.